Kelompok 6 - SKI
Kelompok 6 - SKI
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliahSistem Keuangan Islam
Dosen Pengampu: Ahmad Budiman, M.S.I
Disusun Oleh:
Kelompok 6 MKS-6A
1. Anna kholibbiyah (12406183003)
2. Lia selviana (12406183004)
3. Bastiana Erika Putri (12406183006)
4. Julinda Rizqi Prasiwi (12406183015)
5. Risma Dwi Agustin (12406183016)
i
KATA PENGANTAR
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
COVER ........................................................................................................... i
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan ......................................................................................... 14
B. Saran ..................................................................................................... 14
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem keuangan Islami merupakan bagian dari konsep yang lebih
luas tentang ekonomi Islam, yang tujuannya adalah memperkenalkan
sistem nilai dan etika Islam ke dalam lingkungan ekonomi. Karena dasar
etika ini, maka keuangan dan perbankan Islam bagi kebanyakan muslim
adalah bukan sekedar sistem transaksi komersial. Persepsi Islam dalam
transaksi finansial itu dipandang oleh banyak kalangan muslim sebagai
kewajiban agamis. Kemampuan lembaga keuangan Islam menarik investor
dengan sukses bukan hanya tergantung pada tingkat kemampuan lembaga
itu menghasilkan keuntungan, tetapi juga pada persepsi bahwa lembaga
tersebut secara sungguh-sungguh memperhatikan restriksi-restriksi agamis
yang digariskan oleh Islam.
Seiring dengan terjadinya krisis global dalam sistem keuangan
kapitalis, kini para ekonom barat mulai mengadopsi sistem keuangan
Islami. Banyak dari mereka yang melakukan kajian mendalam terhadap
perekonomian yang berlandaskan prinsip-prinsip Syariat Islam. Sistem
yang bersumber dari ajaran Allah SWT, ini terbukti tetap tangguh
menghadapi permasalahan tersebut baik yang terjadi tahun 1998 maupun
2008 dan hingga kini. Sistem keuangan Islami terkait erat dengan harta
kekayaan, akad transaksi serta transaksi yang diperbolehkan dan dilarang
syariah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian sistem keuangan Islami?
2. Bagaimana konsep memelihara harta ?
3. Bagaimana pengertian akad/kontrak/transaksi ?
4. Apa saja yang termasuk dalam transaksi yang dilarang dalam Islam ?
5. Apa saja prinsip sistem keuangan Islami ?
6. Bagaimana instrumen keuangan Islami ?
7. Bagaimana ciri-ciri sistem keuangan Islami ?
8. Apa pentingnya sistem keuangan Islami ?
1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sistem keuangan Islami.
2. Untuk mengetahui konsep memelihara harta.
3. Untuk mengetahui akad/kontrak/transaksi.
4. Untuk mengetahui transaksi yang dilarang dalam Islam.
5. Untuk mengetahui prinsip sistem keuangan Islami.
6. Untuk mengetahui instrumen keuangan Islami.
7. Untuk mengetahui ciri-ciri sistem keuangan Islami.
8. Untuk mengetahui pentingnya sistem keuangan Islami.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Istilah "Keuangan Islami" menunjukkan dua kekuatan kata yang
bersaing. Kata benda "keuangan" menunjukkan bahwa pasar keuangan
Islam dan lembaga yang berurusan dengan alokasi keuangan dan risiko
kredit. Dengan demikian, keuangan Islam harus didasari dengan prinsisp
yang setidaknya mirip dengan bentuk dari pembiayaan lainnya. Di sisi
lain, kata sifat "Islami" menunjukkan beberapa perbedaan mendasar antara
keuangan Islam dan lembaga keuangan konvensional. Sistem keuangan
Islam adalah sistem keuangan yang berdasarkan prinsip prinsip Islam,
bagaimana cara memproduksinya, mendapatkannya dan
mendistribusikannya sesuai dengan jalan yang telah di atur oleh Al-
Qur’an, Sunnah dan juga Ijma Ulama serta memberikan kontribusi yang
positif terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Sistem keuangan merupakan tatanan perekonomian dalam suatu
negara yang berperan melakukan aktifitas jasa keuangan yang
diselenggarakan oleh lembaga keuangan. Tugas utama sistem keuangan
adalah sebagai mediator antara pemilik dana dengan pengguna dana yang
digunakan untuk membeli barang atau jasa serta investasi.1
1
Zamir Iqbal Dan Abbas Mirakhor. Pengantar Keuangan Islam: Teori dan Praktek. (Jakarta:
Kencana. 2008)
3
di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-
banyak supaya kamu beruntung”. (QS 62:10)
Islam menganjuran manusia untuk bekerja dan juga melakukan hal
yang memang dianggap baik, seperti berniaga. Juga menghindari kegiatan
meminta-minta dalam mencari harta kekayaan. Sebagaimana diriwayatkan
oleh hadis-hadis berikut: “Harta yang paling baik adalah harta yang
diperoleh oleh tangannya sendiri...”(HR. Bazzar At Thabrani) “Barang
siapa membuka bagi dirinya satu pintu meminta-minta (yakni
membiasakan diri meminta-minta meski belum benar-benar terpaksa)
niscaya Allah akan membukakan baginya tujuh puluh pintu kemiskinan”.
(HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Harta yang baik harus memenuhi dua kriteria, yaitu diperoleh dengan
cara yang sah dan benar (legal and fair), serta dipergunakan dengan dan
untuk hal-hal yang baik di jalan Allah SWT. Menurut Islam, kepemilikan
harta kekayaan pada manusia terbatas pada kepemilikan kemanfaatannya
selama masih hidup di dunia, dan bukan kepemilikan secara mutlak.
Dalam pengunaan harta, manusia tidak boleh mengabaikan kebutuhannya
di dunia, namun disisi lain juga harus cerdas dalam menggunakan
hartanya untuk mencari pahala akhirat. Ketentuan syariah yang berkaitan
dengan penggunaan harta, antara lain:
1. Tidak boros dan tidak kikir
2. Memberikan infak dan shadaqah
3. Membayar zakat sesuai ketentuan
4. Memberi pinjaman tanpa bunga (qardhul hasan)
5. Meringankan kesulitan orang berutang
C. Akad/Kontrak/Transaksi
Akad adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan
suatu keridaan dalam berakad diantara dua orang atau lebih, sehingga
terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara’. Fiqh
muamalah membagi akad menjadi dua bagian, yakni:
1. Akad tabarru’ (Gratuitous Contract), yaitu perjanjian.
4
Akad tabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong menolong dalam rangka
berbuat kebaikan, pihak yang berbuat kebaikan hanya mengharapkan
imbalan dari Allah SWT, dan bukan dari manusia.
2. Akad tijarah (Compensantional Contract)
Adalah perjanjian yang menyangkut transaksi untuk memperoleh
keuntungan. Berdasarkan tingkat kepastian dari hasil yang diperoleh,
akad tijarah dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu:
a. Natural uncertainty contract adalah satu jenis kontrak transaksi yang
secara alamiah mengandung ketidakpastian dalam memperoleh
keuntungan. Contoh akad dalam kelompok ini adalah musyarakah,
mudharabah, muzara’ah, musaqamah, dan mukhabarah.
b. Natural Certainty Contract adalah satu jenis kontrak transaksi dalam
bisnis yang memiliki kepastian keuntungan dan pendapatnya, baik
dari segi jumlah dan waktu penyerahannya. Contohnya adalah
murabahah, salam, istishna’, dan ijarah.
Dalam akad harus memenuhi ketentuan rukun dan syarat sahnya suatu
akad ada tiga yaitu:
1. Pelaku yaitu para pihak yang melakukan akad. Pihak yang melakukan
akad harus memenuhi syarat yaitu orang yang merdeka, mukalaf dan
orang yang sehat akalnya.
2. Objek akad merupakan sebuah konsekuensi yang harus ada dengan
dilakukannya suatu transaksi tertentu. Objek jual beli adalah barang
dagangan, objek mudharabah dan musyarakah adalah mudal dan
kejasama, objek sewa menyewa adalah manfaat atas barang yang
disewakan dan seterusnya.
3. Ijab kabul merupakan kesepakatan dari para pelaku dan menunjukkan
mereka saling rida.2
2
Sri Nurhayati. Akuntansi Syariah Di Indonesia Edisi 4. (Jakarta: Salemba Empat, 2015)
5
1. Semua aktivitas bisnis terkait dengan barang dan jasa yang
diharamkan Allah SWT.
Aktivitas investasi dan perdagangan atau semua transaksi yang
melibatkan barang dan jasa yang diharamkan Allah SWT, walaupun
ada kesepakatan dan rela sama rela antara pelaku transaksi maka
haram karena tidak memenuhi rukun sahnya suatu akad.
”Sesungguhnya Allah mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging
babi, dan (hewan) yang disembelih dengan (menyebut nama) selain
Allah, tetapi barang siapa terpaksa (memakannya) bukan karena
menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka Allah
sungguh Maha Pengampun, dan Maha Penyayang.” (QS 16: 15)
”Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan sesuatu juga
mengharamkan harganya.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
2. Riba
Dalam Al Qur’an secara bertahap namun jelas dan tegas
memperingatkan kita tentang riba. Hal ini dapat dilihat dari turunnya
ayat-ayat Al Qur’an secara berturut-turut dari QS 30:39, QS 4:160-
161, QS 3:130 dan QS 2:278-280. Larangan riba sebenarnya tidak
hanya berlaku untuk agama Islam, melainkan juga diharamkan oleh
seluruh agama samawi selain Islam. Yahudi melarang pengambilan
bunga (riba). Baik dalam Old Testament (Perjanjian Lama) maupun
undang-undang Talmud. Dan dalam kalangan Kristiani dalam Kitab
Perjanjian Baru dalam ayat Lukas 6:34-35 merupakan ayat yang
mengecam praktik pengambilan bunga (riba).
3. Penipuan
Penipuan terjadi apabila salah satu pihak tidak mengetahui
informasi yang diketahui pihak lain dan dapat terjadi di dalam empat
hal, yakni dalam kuantitas, kualitas, harga dan waktu penyerahan.
”Dan janganlah kamu campur adukan kebenaran dan kebathilan, dan
(janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedang kamu mengetahui.”
(QS 2:42)
4. Perjudian
6
Transaksi penjudian adalah teransaksi yang melibatkan dua
pihak atau lebih, di mana mereka menyerahkan uang/harta kekayaan
lainnya, kemudian mengadakan permainan tertentu, baik dengan kartu,
adu ketangkasan, atau media lainnya. ”Wahai orang-orang yang
beriman, sesunguhnya minuman keras, berjudi, berkorban (untuk
berhala) dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan
keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan
itu agar kamu beruntung. (QS 5:90)
5. Gharar/transaksi yang mengandung ketidak pastian
Gharar terjadi jika terdapat incomplete information, sehingga
ada ketidak pastian antara duabelah pihak yang bertransaksi.
Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan pertikaian antara para pihak
dan ada pihak yang dirugikan. Dapat terjadi di dalam lima hal, yakni
dalam kuantitas, kualitas, harga dan waktu penyerahan dan akad.
”Bagaimana pendapatmu jika Allah mencegah biji untuk menjadi
buah, sedang salah seorang dari kamu menghalalkan (mengambil)
harta saudarannya?” (HR. Bukhari)
6. Ihtikar/penimbunan barang
Ihtikar dilarang karena dapat merugikan orang lain dengan
melangkannya/sulit didapat dan harganya yang tinggi. Dengan ikhtikar
orang dapat memperoleh keuntungan yang besar dibawah penderitaan
orang lain. ”Tidak menimbun barang kecuali orang yang berdosa”.
(HR. Muslim, Turmudzi dan Abu Dawud)
7. Monopoli
Alasan larangan monopoli sama dengan larangan penimbunan
barang (ihtikar), walaupun seorang monopolis tidak selalu melakukan
penimbunan barang. Monopoli biasanya dilakukan dengan membuat
entry barrier, untuk menghambat produsen atau penjual masuk ke
pasar agar ia menjadi pemain tunggal di pasar dan dapat menghasilkan
keuntungan yang tinggi. “Wahai Rasulullah saw, harga-harga naik,
tentukanlah harga untuk kami. Rasulullah lalu menjawab: Allah yang
sesungguhnya penentu harga, penahan, pembentang dan pemberi
7
rizeki. Aku berharap agar bertemu dengan Allah, tak ada seorangpun
yang meminta padaku tentang adanya kezaliman dalam urusan darah
dan harta.” (HR. Ashabus Sunan)
8. Bai’an najsy/rekayasa permintaan
An-Najsy termasuk dalam kategori penipuan (tadlis), karena
merekayasa permintaan, di mana satu pihak berpura-pura mengajukan
penawaran dengan harga yang tinggi, agar calon pembeli tertari dan
membeli barang tersebut dengan harga yang tinggi. ”Janganlah kamu
sekalian melakukan penawaran barang tanpa maksud untuk membeli.”
(HR. Turmidzi)
9. Suap
Suap dilarang karena suap dapat merusak sistem yang ada dalam
masyarakat, sehingga menimbulkan ketidak adilan sosial dan
permasalahan perlakuan. Pihak yang membayar suap pasti akan
diuntungkan dibandingkan yang tidak membayar. ”... dan janganlah
kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim ...” (QS 2:188)
10. Ta’alluq/penjual bersyarat
Ta’alluq terjadi apabila ada dua akad saling dikaitkan di mana
berlakunya akad pertama tergantung pada akad kedua, sehingga dapat
mengakibatkan tidak terpenuhinya rukun (suatu yang harus ada dalam
akad) yaitu objek akad. Misal A bersedia menjual barang X ke B
asalkan B kembali menjual barang tersebut kepada A; atau A bersedia
menerima pesanan B asalkan C dapat memenuhi pesanan A.
11. Bai al inah/pembelian kembali oleh penjual dari pihak pembeli
Misalnya, A menjual secara kredit pada B kemudian A membeli
kembali barang yang sama dari B secara tunai. Dari contoh ini, kita
lihat ada dua pihak yang seolah-olah melakukan jual beli, namun
tujuannya bukan untuk mendapatkan barang melainkan A
mengharapkan untuk mendapatkan uang tunai sedangkan B
mengharapkan kelebihan pembayaran.
12. Jual beli dengan cara talaqqi al- rukban
8
Jual beli dengan cara mencegat atau menjumpai pihak penghasil
atau pembawa barang perniagaan dan membelinya, di mana pihak
penjual tidak mengetahui harga pasar atas barang yang dibawanya
sementara pihak pembeli mengharapkan keuntungan yang berlipat
dengan memanfaatkan ketidak tahuan mereka. "Janganlah kamu
mencegat kafilah/rombongan yang membawa dagangan di jalan, siapa
yang melakukan itu dan membeli darinya, maka jika pemilik barang
tersebut tiba di pasar (mengetahui harga), ia boleh berkhiar.” (HR.
Muslim)
9
5. Kesucian kontrak. Islam menilai perjanjian sebagai suatu yang tinggi
nilainya sehingga seluruh kewajiban dan pengungkapan yang terkait
dengan kontrak harus dilakukan.
6. Aktivitas usaha harus sesuai syariah. Seluruh kegiatan usaha tersebut
haruslah merupakan kegiatan yang diperbolehkan menurut syariah.
Jadi, prinsip keuangan syariah mengacu kepada prinsip rela sama rela
(antaraddim munkum), tidak ada pihak yang menzalimi dan dizalimi (la
tazhlimuna wa la tuzhlamun), hasil usaha muncul bersama biaya (al
kharaj bi al dhaman), dan untung bersama risiko (al ghunmu bi al
ghurni).3
3
Rachmat Syafei. Fiqih Muamalah, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001)
10
a. Murabahah adalah transaksi penjualan barang dengan biaya
perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual
dan pembeli.
b. Salam adalah transaksi jual beli di mana barang yang dijual belikan
belum ada. Barang diserahkan secara tangguh, sedangkan
pembayarananya dilakukan secara tunai.
c. Istishna’ memiliki sistem yang mirip dengan salam, namun dalam
istishna’ pembayaran dapat dilakukan di muka cicilan dalam
beberapa kali (termin) atau ditangguhkan dalam jangka waktu
tertentu.
d. Ijarah adalah akad sewa menyewa antara pemilik objek sewa dan
penyewa untuk mendapakan manfaat atas objek sewa yang
disewakan.
3. Akad lainnya meliputi:
a. Sharf adalah perjanjian jual beli suatu valuta dengan valuta lainnya.
b. Wadiah adalah akad penitipan dari pihak yang mempunyai
uang/barang kepada pihak yang menima titipan dengan catatan
kapan pun titipan diambil pihak penerima titipan wajib
menyerahkan kembali uang/barang titipan tersebut.
c. Qardhul Hasan adalah pinjaman yang mempersyaratkan adanya
imbalan, waktu pengambilan pinjaman ditetapkan bersama antara
pemberi dan penerima pinjaman.
d. Al-Wakalah adalah jangka pemberian kuasa dari satu pihak kepihak
yang lain.
e. Kafalah adalah perjanjian pemberian jaminan atau penanggungan
atas pembayaran utang atas suatu pihak atau pihak lain.
f. Hiwalah adalah pengalian utang atau piutang dari pihak pertama (al-
muhil) kepada pihak lain (al-muhal ’alaih) atas dasar saling
mempercayai.
g. Rahn merupakan sebuah perjanjian pinjaman dengan pinjaman aset.
11
Ciri-ciri sistem keuangan Islami adalah:
1. Harta publik dalam sistem keuangan Islami adalah harta Allah.
2. Rasul adalah orang pertama yang melakukan praktik keuangan Islam.
3. Al-Qur’an dan sunah merupakan sumber yang mendasar bagi
keuangan Islam.
4. Sistem keuangan Islami adalah sistem keuangan yang universal.
5. Sistem keuangan Islami mengambil prinsip alokasi terhadap layanan
sebagai sumber sumber pendapatan negara.
6. Sistem keuangan Islam ditandai dengan transpransi.
7. Sistem keuangan Islam adalah modal toleransi umat Islam.4
4
Andri Soemitra. Bank Dan Lembaga Keuangan Shari’ah. (Jakarta: Kencana, 2010)
12
menaikkan investasi dengan mengidentifiasi dan mendanai kesempatan
usaha yang baik, memantau kinerja manajer, memberikan kesempatan atas
perdagangan, mencegah dan mendiversifikasi resiko, dan memfasilitasi
pertukaran barang dan jasa. Sedangkan tujuan utamanya adalah
kesejahteran ekonomi, perluasan kesempatan kerja, dan tingkat
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, keadilan sosio-ekonomi serta
distribusi pendapatan dan kekayaan yang wajar, stabilitas nilai uang, dan
mobilisasi serta investasi tabungan untuk pembangunan ekonomi yang
mampu memberikan jaminan keuntungan (bagi hasil) bagi semua pihak
yang terlibat dengan penghapusan bunga dari semua transaksi keuangan.
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sistem Keuangan Islam merupakan sistem keuangan yang mengatur
perekonomian dengan prinsip yang sesuai pada syariat Islam. mulai dari
bagaimana cara mendapatkannya, memprosuksi, dan mendistribusikannya
dengan syarat dan ketentuan yang sudah diatur dalam Al-Qur’an, Sunnah dan
juga Ijma Ulama untuk memberikan kontribusi yang positif terhadap
pertumbuhan ekonomi masyarakat. Adanya sistem keuangan Islam dapat
dijadikan landasan dalam semua kegiatan transaksi, seperti pada pelarangan
adanya riba, kegiatan atau aktivitas yang diharamkan, penipuan, perjudian,
gharar, ihtikar, monopoli, rekayasa permintaan, suap, penjualan bersyarat,
dan lain sebagainya.
Dalam Sistem Keuangan Islam terdapat beberapa prisip yang diatur dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah seperti pelarangan Riba, pemberian risiko, tidak
menganggap uang untuk modal potensial, dilarang melakukan kegiatan
spekualtif, dan aktivitas yang harus sesuai dengan prinsip Islam dengan akad
dan ketentuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Sistem keuangan berperan
sangat penting dalam perekonomian masyarakat, sistem keuangan yang baik
dapat mensejahterakan masyarakat, dapat memperluas kesempatan lapangan
kerja, dan tingkat pertumbuhan perekonomian semakin meningkat serta dapat
di ridhoi oleh Allah SWT.
B. Saran
Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, maka dari itu penyusun
menyarankan agar para pembaca lebih mendalami lagi materi tentang
mengapa harus ada Sistem Keuangan Islam, prinsip dan pentingnya sistem
keuangan Islam dengan membaca sumber-sumber yang lain yang lebih
lengkap, tidak hanya sebatas membaca makalah ini. Untuk peningkatan
14
DAFTAR PUSTAKA
Iqbal, Zamir Dan Abbas Mirakhor. 2008. Pengantar Keuangan Islam: Teori
dan Praktek. Jakarta: Kencana.
Nurhayati, Sri. 2015. Akuntansi Syariah Di Indonesia Edisi 4. Jakarta:
Salemba Empat.
Soemitra, Andri.2010. Bank Dan Lembaga Keuangan Shari’ah.
Jakarta: Kencana.
Syafei, Rachmat. 2001. Fiqih Muamalah. Bandung. CV. Pustaka Setia.
15