MAKALAH
MAKALAH
MAKALAH
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 5 MKS 6A
APRIL 2021
0
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan
rahmat serta hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Tujuan Sistem Keuangan Islam”.
Makalah ini penulis susun guna memenuhi tugas mata kuliah Sistem Keuangan
Islam. Dalam pembuatan makalah ini, penulis banyak mendapat hambatan. Akan
tetapi, atas bantuan dari berbagai pihak hambatan tersebut dapat teratasi. Oleh karena
itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, penulis berharap kritik dan saran dari pembaca untuk menyempurnakan
makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis, pembaca dan
umumnya bagi kita semua.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Cover ............................................................................................................................. i
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan ..................................................................................................... 15
B. Saran ............................................................................................................... 16
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem keuangan global yang berlaku saat ini sebagian besar menganut
sistem ekonomi berbasis bunga. Dalam ruang lingkup domestik masing-masing
negara, sistem keuangan menitikberatkan pada kebijakan ekonomi menuju
keseimbangan menggunakan instrumen bunga, sehingga bunga menjadi variabel
vital dalam penyusunan kebijakan ekonomi baik moneter maupun fiskal. Sistem
keuangan Islami merupakan bagian dari konsep yang lebih luas tentang ekonomi
Islam, yang tujuannya adalah memperkenalkan sistem nilai dan etika Islam ke
dalam lingkungan ekonomi. Karena dasar etika ini, maka keuangan dan perbankan
Islam bagi kebanyakan muslim adalah bukan sekedar sistem transaksi komersial.
Persepsi Islam dalam transaksi finansial itu dipandang oleh banyak kalangan
muslim sebagai kewajiban agamis. Seiring dengan terjadinya krisis global dalam
sistem keuangan kapitalis, kini para ekonom barat mulai mengadopsi sistem
keuangan Islami.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud pengertian sistem keuangan Islam?
2. Apa saja tujuan dari sistem keuangan Islam?
3. Apa saja prinsip yang ada di dalam sistem keuangan Islam?
4. Apa saja peran dalam sistem keuangan Islam?
5. Apa saja instrument yang ada pada sistem keuangan Islam?
6. Bagaimana konsep keuangan dalam Islam?
C. Tujuan
1. Mengetahui dan memahami pengertian sistem keuangan Islam
2. Mengetahui dan memahami tujuan sistem keuangan Islam
3. Mengetahui dan memahami prinsip yang ada di dalam sistem keuangan Islam
4. Mengetahui dan memahami peran sistem keuangan Islam
5. Mengetahui dan memahami instrument yang ada pada sistem keuangan Islam
6. Mengetahui dan memahami konsep keuangan dalam Islam
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
B. Tujuan Sistem Keuangan Islam
Tujuan utama sistem keuangan Islam adalah: menghapus bunga dari semua
transaksi keuangan dan menjalankan aktifitasnya sesuai dengan prinsip-prinsip Islam,
distribusi kekayaan yang adil dan merata, kemajuan pembangunan ekonomi (Mervyn
K. Lewis Dan Latifa M. Algoud, 2007).
Sistem keuangan Islam bertujuan untuk memberikan jasa keuangan yang halal
kepada komunitas muslim, di samping itu juga diharapkan mampu memberikan
kontribusi yang layak bagi tercapainya tujuan sosio-ekonomi Islam. Target utamanya
adalah kesejahteraan ekonomi, perluasan kesempatan kerja, tingkat pertumbuhan
ekonomi yang tinggi, keadilan sosio-ekonomi dan distribusi pendapatan, kekayaan
yang wajar, stabilitas nilai uang, dan mobilisasi serta investasi tabungan untuk
pembangunan ekonomi yang mampu memberikan jaminan keuntungan (bagi hasil)
kepada semua pihak yang terlibat (M. Umer Chapra, 2000).
Sistem keuangan Islam diharapkan mampu menjadi alternatif terbaik dalam
mencapai kesejahteraan masyarakat. Penghapusan prinsip bunga dalam sistem
keuangan Islam memiliki dampak makro yang cukup signifikan, karena bukan hanya
prinsip investasi langsung saja yang harus bebas dari bunga, namun prinsip investasi
tak langsung juga harus bebas dari bunga. Perbankan sebagai lembaga keuangan
utama dalam sistem keuangan dewasa ini tidak hanya berperan sebagai lembaga
perantara keuangan (financial intermediary), namun juga sebagai industri penyedia
jasa keuangan (financial industry) dan instrumen kebijakan moneter yang utama (Heri
Sudarsono, 2003).1
1
Al-Kharaj: Journal of Islamic Economic and Business Vol. 1 No. 1, Juni 2019
3
2. Pemberian risiko. Hal ini konsekuensi logis dari pelanggaran riba yang
menetapkan hasil bagi pemberi modal di muka. Sedang melalui pembagian risiko
maka pembagian hasil akan dilakukan di belakang yang besarnya tergantung dari
hasil yang diperoleh. Hal ini juga membuat kedua belah pihak akan saling
membantu untuk bersama-samamemperoleh laba, selain lebih mencerminkan
keadilan.
3. Tidak menganggap uang sebagai modal pontensial. Sistem keungan Islam
memandang uang boleh dianggap sebagai modal kalau digunakan bersamaan
dengan sumber daya yang lain untuk memperoleh laba.
4. Larangan melakukan kegiatan spekulatif. Hal ini sama dengan pelangaran untuk
transaksi yang memiliki tingkat ketidak pastian yang sangat tinggi, judi dan
transaksi yang memiliki resiko yang sangat besar.
5. Kesucian kontrak. Islam menilai perjanjian sebagai suatu yang tinggi nilainya
sehingga seluruh kewajiban dan pengungkapan yang terkait dengan kontrak
harus dilakukan.
6. Aktivitas usaha harus sesuai syariah. Seluruh kegiatan usaha tersebut haruslah
merupakan kegiatan yang diperbolehkan menurut syariah.2
Prinsip-prinsip Islam dalam sistem keuangan yaitu (Qutb Ibrahim, 2007):
a. Kebebasan bertransaksi, namun harus didasari dengan prinsip suka sama suka
dan tidak ada yang dizalimi, dengan didasari dengan akad yang sah. Dan transaksi
tidak boleh pada produk yang haram. Asas suka sama suka untuk melakukan
kegiatan bisnis atau perniagaan sangat penting. Tidak ada unsur paksaan dalam
hal ini yang dapat menimbulkan kerugian masing-masing.
b. Bebas dari maghrib (maysir yaitu judi atau spekulatif yang berfungsi mengurangi
konflik dalam sistem keuangan, gharar yaitu penipuan atau ketidak jelasan, riba
pengambilan tambahan dengan cara batil).
c. Bebas dari upaya mengendalikan, merekayasa dan memanipulasi harga.
d. Semua orang berhak mendapatkan informasi yang berimbang, memadai, akurat
agar bebas dari ketidaktahuan bertransaksi.
2
Muh. Arafah, “Sistem Keuangan Islam: Sebuah Telaah Teoritis”, Journal of Islamic Economic and
Business Vol. 1 No. 1, Juni 2019, hal 58.
4
e. Pihak-pihak yang bertransaksi harus mempertimbangkan kepentingan pihak
ketiga yang mungkin dapat terganggu, oleh karenanya pihak ketiga diberikan hak
atau pilihan. Menurut Muhammad (Muhammad, 2000),
Adapun prinsip-prinsip dalam keuangan Islam adalah:
1. Larangan menerapkan bunga pada semua bentuk dan jenis transaksi
2. Menjalankan aktivitas bisnis dan perdagangan berdasarkan pada kewajaran dan
keuntungan yang halal.
3. Mengeluarkan zakat dari hasil kegiatannya.
4. Larangan menjalankan monopoli.
5. Bekerja sama dalam membangun masyarakat, melalui aktivitas bisnis dan
perdagangan yang tidak dilarang oleh Islam
Jadi, prinsip keuangan syariah mengacu kepada prinsip rela sama rela
(antaraddim munkum), tidak ada pihak yang menzalimi dan dizalimi (la tazhlimuna
wa la tuzhlamun), hasil usaha muncul bersama biaya (al kharaj bi al dhaman), dan
untung bersama risiko (al ghunmu bi al ghurni).
3
Shinta Dewianty, “Sistem Lembaga Keuangan Shari’ah”, Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum
Islam, Vol. 2, No. 1. Hal 46.
5
E. Instrumen Sistem Keuangan Islam
6
4. Jaminan sosial.
Di dalam al-Quran banyak dijumpai ajaran yang menjamin tingkat dan kualitas
hidup minimum bagi seluruh masyarakat.
5. Pelarangan terhadap praktek-praktek usaha yang kotor.
Ada beberapa praktek bisnis yang dilarang dalam Islam seperti pelarangan
terhadap praktek penimbunan, takhfîf (curang dalam timbangan), tidak jujur, tidak
menghargai prestasi, proteksionisme, monopoli, spekulasi, pemaksaan dan
lainlain. Hal ini dilarang karena bila ditolerir akan dapat merusak pasar sehingga
kealamiahan pasar menjadi rusak dan terganggu.
6. Peranan Negara.
Untuk tegaknya tujuan dan nilai-nilai sistem ekonomi syariah diatas diperlukan
power atau peranan negara terutama dalam aspek hukum, perencanaan dan
pengawasan alokasi atau distribusi sumber daya dan dana, pemerataan pendapatan
dan kekayaan serta pertumbuhan dan stabilitas ekonomi. 4
4
M. Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI Press, 1998
5
Abdurrahman al-Jaziriy, Kitab al-Fiqh ‘ala Mazhahib al-Arba’ah, Juz II (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), h.
141.
6
Abi Bakr ibn Muhammad Taqiyuddin, Kifayat al-Akhyar (Bandung: Al-Ma’arif, t.th.), h. 329.
7
harta dengan harta, maka jadilah penukaran hak milik secara tetap.718 Jadi yang
dimaksud jual beli adalah suatu
perjanjian yang disepakati antara kedua belah pihak untuk saling tukar
menukar benda yang mempunyai nilai secara sukarela dengan ketentuan yang
dibenarkan oleh syara. Allah swt. telah menjadikan harta sebagai salah satu sebab
tegaknya kemaslahatan manusia di dunia. Untuk mewujudkan kemaslahatan
tersebut, Allah swt. telah mensyariatkan cara perdagangan tertentu. Sebab, apa
saja yang dibutuhkan oleh setiap orang tidak bisa dengan mudah diwujudkan
setiap saat, dan karena mendapatkannya dengan menggunakan kekerasan dan
penindasan itu merupakan tindakan yang merusak, maka harus ada sistem yang
memungkinkan tiap orang untuk mendapatkan apa saja yang dia butuhkan tanpa
harus menggunakan kekerasan dan penindasan.
7
Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 97.
8
Abi Bakr ibn Muhammad Taqiyuddin, op. cit., h. 281.
9
Idris Ahmad, Fiqh al-Syafi’iyah (Jakarta: Karya Indah, 1986), h. 106.
10
Taqyuddin An-Nabhani, An-Nidlam al-Iqtishadi fi al-Islam, terj. Moh. Maghfur Wachid, Membangun
Sistem Ekonomi Alternatif: Perspektif Islam (Cet. VII; Surabaya: Risalah Gusti, 2002), h. 153.
8
mengajak kepada yang lain, baik secara lisan maupun tertulis untuk mengadakan
kerjasama (perseroan). Kemudian yang lain menerima perseroan tersebut.
Sedangkan syarat sah tidaknya transaksi perseroan tersebut amat tergantung
kepada sesuatu yang ditransaksikan, yaitu harus sesuatu yang bisa dikelola.
Artinya sesuatu itu bisa diwakilkan untuk dikelola, sehingga sama-sama mengikat
kedua belah yang melakukan syirkah tersebut.
Adapun yang dijadikan dasar hukum syirkah oleh para ulama adalah
sebuah hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Abu Dawud:
َ ِث أَنَا یَقُو ُل َ للا إِن قَا َل َرفَعَ ُھ ھ َُری َرة َ أَبِي
عن ُ صاحِ بَ ُھ أ َ َحدُھُ َما یَ ُخن لَم َما یكَی ِن الش ِر ثَال
َ خَانَ ُھ فَإِذَا
)داود أبوا رواه( بَینِ ِھ َما مِن تُ خ ََرج11
11
Abi Dawud Sulaiman bin al-Asy’ash al-Sajastaniy, Sunan Abi Dawud, Kitab al-Buyu’, Bab Fi al-
Syirkah, hadis no.
2936 dalam Mausu’ah al-Hadits al-Syarif ver. 2 [CD ROM]. Jami’ al-Huquq Mahfudzah li Syirkah al-
Baramij al-Islamiyah al- Dauliyah, 1991-1997.
12
Taqyuddin An-Nabhani, op. cit., h. 155.
9
a) Salah satu pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuan pihak yang
lainnya, sebab syirkah adalah akad yang terjadi atas dasar rela sama rela dari
kedua belah pihak yang tidak ada kemestian untuk dilaksanakan apabila salag
satu pihak tidak menginginkannya lagi. Hal ini menunjukkan pencabutan
kerelaan syirkah oleh salah satu pihak.
b) Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk ber-tasharruf (keahlian
mengelola harta), baik karena gila maupun karena alasan lainnya.
c) Salah satu pihak meninggal dunia, tetapi apabila anggota syirkah lebih dari
dua orang, yang batal hanyalah yang meninggal saja. Syirkah berjalan terus
pada anggota-anggotanya yang masih hidup. Apabila ahli waris anggota yang
meninggal menghendaki turut serta dalam syirkah tersebut, maka dilakukan
perjanjian baru bagi ahli waris yang bersangkutan.
d) Salah satu pihak dalam pengampuan, baik karena boros yang terjadi pada
waktu perjanjian syirkah tengah berjalan maupun sebab yang lainnya.
e) Salah satu pihak jatuh bangkrut yang berakibat tidak berkuasa lagi atas harta
yang menjadi saham syirkah. Pendapat ini dikemukakan oleh mazhab Maliki,
Syafi’i, dan Hanbali. Sedangkan Hanafi berpendapat bahwa keadaan bangkrut
itu tidak membatalkan perjanjian yang dilakukan oleh yang bersangkutan.
f) Modal para anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas nama syirkah.
Bila modal tersebut lenyap sebelum terjadi pencampuran harta hingga tidak
dapat dipisah-pisahkan lagi, yang menanggung resiko adalah para pemiliknya
sendiri. Apabila harta lenyap setelah terjadi percampuran yang tidak bisa
dipisah-pisahkan lagi menjadi resiko bersama. Kerusakan yang terjadi setelah
dibelanjakan menjadi resiko bersama. Apabila masih ada sisa harta, syirkah
masih dapat berlangsung dengan kekayaan yang masih ada. 13
g) Berdasarkan alasan-alasan di atas, maka syirkah atau perseroan tersebut dapat
bubar, dan apabila salah seorang pesero itu menuntut pembubaran, maka
pesero yang lain harus memenuhi tuntutan tersebut.
13
Ahmad Azhar Basyir, Riba, Utang Piutang dan Gadai (Bandung: Al-Ma’arif, 1983), h. 65-66.
10
3. Konsep Mudharabah/Qiradh (Bagi Hasil)
Mudharabah berasal dari kata al-dharb, yang berarti secara harfiah adalah
bepergian atau berjalan (QS. al-Muzzammil [73]: 20). Selain itu disebut juga
qiradh yang berasal dari kata qardhu, berarti al-qathu (potongan) karena pemilik
memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian
keuntungannya. Ada pula yang menyebut mudharabah atau qiradh dengan
muamalah. 14
Menurut para fuqaha, mudharabah adalah akad antara dua pihak (orang)
saling menanggung, salah satu pihak menyerahkan hartanya kepada orang lain
untuk diperdagangkan dengan bagian yang telah ditentukan dari keuntungan,
seperti setengah atau sepertiga dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.15
Sayyid Sabiq berpendapat, mudharabah ialah akad antara dua belah pihak untuk
diperdagangkan dengan syarat keuntungan dibagi dua sesuai dengan perjanjian. 16
عنَ ِح ِ صالَ ص َھیب ب ِن ُ عن َ صلى ِ للا َرسُو ُل َقا َل َقا َل أَبِی ِھ َ ع َلی ِھ ُ للا َ َإِلَى البَی ُع البَ َر َكةُ فِی ِھن ث ثَل
َ سل َم َو
ضةُ َو أ َ َجل َ َِیر الب ُِر طُ لَ أَخ َو ال ُمق
َ ار ِ ت ِبالشع ِ )ماجھ إبن رواه( لِلبَی ِع لَ لِلبَی17
14
Muhammad Khathib al-Syarbini, Al-Iqna’ fi Hal al-Alfadz Abi Syuja’ (Indonesia: Dar al-Ihya al-Kutub
al-Arabiyah,
t.th.), h. 53.
15
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Ed. 1 (Cet. III; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h. 136.
16
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, terj. M. Thalib, Fikih Sunnah, Jilid 4 (Cet. 1; Bandung: PT. Al-Ma’arif,
1998), h.212.
17
Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibn Majah, Kitab al-Tijarah, Bab al-Syirkah wa
al Mudharibah, hadis no. 2280 dalam Mausu’ah al-Hadits al-Syarif ver. 2 [CD ROM]. Jami’ al-Huquq
Mahfudzah li Syirkah al- Baramij al-Islamiyah al-Dauliyah, 1991-1997.
11
‘Dari Shalih bin Shuhaib dari bapakbya (Shuhaib) berkata bahwa Rasulullah saw.
telah bersabda: ada tiga perkara yang diberkati: jual beli yang ditangguhkan,
memberi modal, dan mencampur gandum dengan jelai untuk keluarga, bukan
untuk dijual.’ (HR. Ibnu Majah).
Selain itu, menurut Ibn Hajar bahwa mudharabah telah ada sejak zaman
Rasulullah, beliau tahu dan mengakuinya, bahkan sebelum diangkat menjadi
Rasul, Muhammad telah melakukan qiradh, yaitu Muhammad mengadakan
perjalanan ke Syam untuk menjual barang-barang milik Khadijah, yang kemudian
menjadi isteri beliau. 18
Dalam pengelolaan mudharabah terdapat biaya yang dikeluarkan. Biaya
bagi mudharib (pengelola) diambil dari hartanya sendiri selama ia tinggal di
lingkungan atau daerahnya sendiri. Demikian juga bila ia mengadakan perjalanan
untuk kepentingan mudharabah. Bila biaya mudharabah diambil dari keuntungan,
kemungkinan pemilik harta (modal) tidak akan memperoleh bagian dari
keuntungan karena mungkin saja biaya tersebut besar atau bahkan lebih besar dari
keutungan.
Namun bila pemilik modal mengizinkan pengelola untuk membelanjakan
modal mudharabah guna keperluan dirinya di tengah perjalanan atau karena
penggunaan tersebut sudah menjadi kebiasaan, maka ia boleh menggunakan
modal mudharabah. Jadi, biaya pengelolaan mudharabah pada dasarnya
dibebankan kepada pengelola modal, namun tidak masalah biaya diambil dari
keuntungan apabila pemilik modal mengizinkannya atau berlaku kebiasaan.
18
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam (Jakarta: Attahiriyah, 1990), h. 196.
12
pemiliknya.19 Menurut Sayyid Sabiq bahwa ariyah itu dikategorikan tolong-
menolong, sehingga kedudukannya sunnah.20
‘Dari Abi Umamah berkata bahwasanya saya mendengar Nabi saw. berkata dalam
khutbah di Haji Wada bahwa barang pinjaman adalah benda yang wajib
dikembalikan ...’ (HR. Tirmizi). 21
Dalam hal peminjaman, ada beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam
pinjam- meminjam atau utang-piutang tentang nilai-nilai sopan santun yang
terkait dengannya, yaitu:
a) Sesuai dengan QS. al-Baqarah (2): 282, utang piutang supaya dikuatkan
dengan tulisan dari pihak berhutang dengan disaksikan dua orang saksi laki-
laki atau dengan seorang saksi laki-laki dengan dua orang saksi wanita. Untuk
sekarang ini, tulisan tersebut dibuat di atas kertas bersegel atau bermaterai.
b) Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak
disertai niat dalam hati akan membayarnya atau mengembalikannya.
c) Pihak berpiutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak
berutang. Bila yang meminjam tidak mampu mengembalikan, maka yang
berpiutang hendaknya membebaskannya.
19
Abdurrahman al-Jaziriy, op. cit., h. 271.
20
Sayyid Sabiq, op. cit., h. 67.
21
Abi Isa Muhammad bin Isa al-Saurah, Sunan al-Tirmidziy, Kitab al-Buyu’ an Rasulullah, Bab Ma Jaa
fi an alAriyah Muaddah, hadis no. 1186 dalam Mausu’ah al-Hadits al-Syarif ver. 2 [CD ROM]. Jami’ al-
Huquq Mahfudzah li Syirkah
al-Baramij al-Islamiyah al-Dauliyah, 1991-1997.
13
d) Pihak yang berutang bila sudah mampu membayarnya pinjaman hendaknya
dipercepatpembayaran utangnya karena lalai dalam pembayaran pinjaman
berarti berbuat dzalim. 22
22
Hendi Suhendi, op. cit., h. 98.
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sistem keuangan Keuangan adalah senjata politik, sosial, dan ekonomi
yang ampuh di dunia modern. Ia berperan penting tidak hanya dalam alokasi dan
distribusi sumber daya yang langka, tetapi juga dalam stabilitas dan pertumbuhan
ekonomi. Karena sumber-sumber lembaga keuangan berasal dari deposit yang
diletakkan oleh bagian yang representative mewakili seluruh penduduk, cukup
rasional kalau ia juga dianggap sebagai sumber nasional. Seluruhnya harus
digunakan untuk kesejahteraan bagi masyarakat. Namun karena sumber-sumber
keuangan itu sangat langka maka perlu digunakan dengan keadilan dan efesiensi
yang optimal (M Umer Chapra, 1999).
Tujuan utama dari sistem keuangan Islam adalah: menghapus bunga dari
semua transaksi keuangan dan menjalankan aktifitasnya sesuai dengan prinsip-
prinsip Islam, distribusi kekayaan yang adil dan merata, kemajuan pembangunan
ekonomi (Mervyn K. Lewis Dan Latifa M. Algoud, 2007).
Prinsip keuangan syariah mengacu kepada prinsip rela sama rela
(antaraddim munkum), tidak ada pihak yang menzalimi dan dizalimi (la
tazhlimuna wa la tuzhlamun), hasil usaha muncul bersama biaya (al kharaj bi al
dhaman), dan untung bersama risiko (al ghunmu bi al ghurni).
Peran utama dari sistem keuangan adalah untuk menciptakan insentif
untuk alokasi yang efisien atas keuangan dan sumber daya nyata untuk tujuan
kompetisi. Sistem keuangan yang berfungsi dengan baik, menaikkan
investasi dengan mengidentifiasi dan mendanai kesempatan usaha yang
baik, memantau kinerja manajer, memberikan kesempatan atas perdagangan,
mencegah dan mendiversifikasi resiko, dan memfasilitasi pertukaran barang dan
jasa.
Adapun nilai instrumental sistem ekonomi kapitalis adalah persaingan
sempurna, kebebasan keluar masuk pasar tanpa restriksi, serta informasi dan
bentuk pasar yang atomistik monopolistik. Sedangkan nilai instrumental sistem
ekonomi Marxis, antara lain adalah: adanya perencanaan ekonomi yang bersifat
15
sentral dan mekanistik, serta pemilikan faktor-faktor produksi oleh kaum proletar
secara kolektif.
Konsep keuangan dalam Islam pada intinya adalah memberikan ruang
kepada masyarakat untuk menerapkan sistem tolong menolong, keadilan dalam
berusaha, menghilangkan unsur kecurangan dan penghapusan sistem ribawi.
Kesemuanya itu dimaksudkan agar mekanisme perekonomian dewasa ini selalu
merujuk kepada tuntunan syariah, sehingga nantinya tercipta masyarakat yang
sejahtera
B. Saran
Demikian yang dapat penulis sampaikan penulis sadar bahwa masih
banyak kesalahan yang perlu penulis perbaiki dalam penulisan makalah ini. Hal
ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan dan kurangnya referensi yang
penulis miliki. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari pembaca
sangat penulis harapkan untuk perbaikan kedepannya.
16
DAFTAR PUSTAKA
Abi Bakr ibn Muhammad Taqiyuddin, Kifayat al-Akhyar (Bandung: Al-Ma’arif, t.th.),
h. 329.
Abi Isa Muhammad bin Isa al-Saurah, Sunan al-Tirmidziy, Kitab al-Buyu’ an
Rasulullah. 1991-1997.Bab Ma Jaa fian alAriyah Muaddah, hadis no. 1186 dalam
Mausu’ah al-Hadits al-Syarif ver. 2 [CD ROM].Jami’ al-Huquq Mahfudzah li
Syirkah Al-Baramij al-Islamiyah al-Dauliyah.
Abi Dawud Sulaiman bin al-Asy’ash al-Sajastaniy, Sunan Abi Dawud, Kitab al-Buyu’.
Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibn Majah, Kitab al-Tijarah.
Ahmad Azhar Basyir. 1983. Riba, Utang Piutang dan Gadai .Bandung: Al-Ma’arif.h.
65-66.
17
Al-Kharaj: Journal of Islamic Economic and Business Vol. 1 No. 1, Juni 2019
Hendi Suhendi. 2007.Fiqh Muamalah, Ed. 1.Cet. III; Jakarta: Raja Grafindo Persada.
h. 136.
Muh. Arafah, “Sistem Keuangan Islam: Sebuah Telaah Teoritis”, Journal of Islamic
Muhammad Khathib al-Syarbini, Al-Iqna’ fi Hal al-Alfadz Abi Syuja’ (Indonesia: Dar
M. Daud Ali. 1998.Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI Press.
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, terj. M. Thalib, Fikih Sunnah, Jilid 4 (Cet. 1; Bandung:
18