3. Tingkat Diskriminasi
Indikator pertama muncul apabila terdapat proporsi yang tidak seimbang
atas anggota kelompok tertentu yang memegang jabatan yang kurang diminati
dalam suatu institusi tanpa memertimbangkan preferensi ataupun kemampuan
mereka. Ada 3 perbandingan yang bisa membuktikan distribusi semacam itu :
a. Perbandingan atas keuntungan rata-rata yang diberikan institusi pada
kelompok yang terdiskriminasi dengan keuntungan rata-rata yang
diberikan oleh kelompok lain.
b. Perbandingan atas proporsi kelompok terdiskriminasi yang terdapat
dalam tingkat pekerjaan paling rendah dengan proporsi kelompok lain
dalam tingkat yang sama
c. Perbandingan proporsi dari anggota kelompok tersebut yang memegang
jabatan lebih menguntungkan dengan proporsi kelompok lain dalam
jabatan yang sama.
Utilitas
Argumen utilitarian menentang diskriminasi rasial dan seksual didasarkan
pada gagasan bahwa produktivitas masyarakat akan optimal jika pekerjaan
diberikan dengan berdasarkan kompetensi (atau kebaikan). Pekerjaan-
pekerjaan yang berbeda, menurut argumen ini memerlukan keahlian dan sifat
kepribadian yang berbeda jika kita ingin agar semuanya se produktif
mungkin. Jadi, untuk memastikan agar pekerjaan bisa dilaksanakan
seproduktif mungkin, maka semuanya harus diberikan pada individu-individu
yang keahlian dan kepribadiannya merupakan yang paling kompeten bagi
pekerjaan tersebut. diskriminasi terhadap para pencari kerja berdasarkan ras,
jenis kelamin, agama, atau karakteristik- karakteristik lain yang tidak
berkaitan dengan pekerjaan adalah tidak efisien dan bertentangan dengan
prinsip-prinsip utilitarian.
Akan tetapi argumen utilitarian dihadapkan pada dua keberatan. Pertama,
jika argumen ini benar, maka pekerjaan haruslah diberikan dengan dasar
kualifikasi yang berkaitan dengan pekerjaan, hanya jika hal tersebut akan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. kedua argumen utilitarian juga
harus menjawab tuntutan penentangnya yang menyatakan bahwa masyarakat
secara keseluruhan akan memperoleh keuntungan dari keberadaan bentuk-
bentuk diskriminasi seksual tertentu.
Hak
Argumen non-utilitarian yang menentang diskriminasi rasial dan seksual
salah satunya menyatakan bahwa diskriminasi salah karena hal tersebut
melanggar hak moral dasar manusia. Teori kant, menyatakan bahwa manusia
haruslah diperlakukan sebagai tujuan dan tidak boleh sebagai sarana. Prinsip
ini berarti masing-masing individu memiliki hak moral untuk diperlakukan
sebagai seorang yang merdeka dan sejajar dengan semua orang lain, dan
bahwa semua individu memiliki kewajiban moral korelatif untuk
memperlakukan satu sama lain sebagai individu yang merdeka dan sederajat.
Tindakan diskriminasi melanggar prinsip ini dalam dua cara:
1. Diskriminasi didasarkan pada keyakinan bahwa suatu kelompok tertentu
dianggap lebih rendah dibandingkan kelompok lain: bahwa orang-orang
kulit hitam, misalnya tidak kompeten dan tidak layak memperoleh
penghargaan dibandingkan orang kulit putih atau mungkin bahwa kaum
perempuan dianggap tidak kompeten dan tidak layak memperoleh
penghargaan dibandingkan kaum pria.
2. Diskriminasi menempatkan kelompok yang terdiskriminasi dalam posisi
sosial dan ekonomi yang rendah. Kaum perempuan dan minoritas
memiliki peluang kerja yang terbatas dan memperoleh gaji yang lebih
kecil.
Keadilan
Melihat diskriminasi sebagai pelanggaran atas prinsip-prinsip keadilan.
Contohnya, John Rawls menyatakan bahwa diantara prinsip-prinsip keadilan
yang menjelaskan “posisi awal”, yang paling penting adalah prinsip
kesamaan hak untuk memperoleh kesempatan. “ketidakadilan sosial dan
ekonomi sudah seharusnya diatur sedemikian rupa sehingga dapat disalurkan
pada pekerjaan-pekerjaan yang terbuka bagi semua orang dalam kondisi yang
menjunjung kesamaan untuk memperoleh kesempatan.”
Pendekatan lain terhadap moralitas diskriminasi yang juga melihat
diskriminasi sebagai salah satu bentuk ketidakadilan, mendasarkan
pandangan pada “prinsip keadilan formal” individu-individu yang setara
dalam segala hal yang berkaitan misalnyapekerjaan harusnya diperlakukan
secara sama sekalipun mereka berbeda dalam aspek-aspek yang tidak relevan
lainnya.
e. Pelecehan Seksual
Kaum perempuan, seperti telah dicatat sebelumnya merupakan korban dari
salah satu bentuk diskriminasi yang terang-terangan dan koersif, mereka
menghadapi kemungkinan pelecehan seksual. Meskipun kaum pria, dalam
contoh-contoh tertentu, juga menjadi korban pelecehan seksual, namun sejauh
ini kaum perempuan lah yang paling sering menjadi korban. Pada tahun 1978,
Eual Empoyment Opportunity Commission memublikasikan serangkaian
“pedoman” untuk mendefinisikan pelecehan seksual dan menetapkan apa
yang menurut mereka sebagai tindakan yang melanggar hukum. Pedoman
tersebut menyatakan:
Kontak verbal atau fisik lain yang sifatnya seksual merupakan pelecehan
seksual bila:
1. Sikap tunduk terhadap tindakan tersebut secara eksplisit ataupun implisit
deikaitkan dengan situasi atau syarat-syarat kerja seseorang,
2. Sikap tunduk atau penolakan terhadap kegiatan tersebut digunakan sebagai
dasar untuk membuat keputusan yang berpengaruh pada individu yang
bersangkutan,
3. Tindakan tersebut bertujuan mengganggu pelaksanaan pekerjaan
seseorang atau menciptakan lingkungan kerja yang di warnai dengan
kekhawatiran, sikap permusuhan, atau penghinaan.
f. Di Luar Ras dan Jenis Kelamin: Kelompok Lain
Age Discrimination dalam Employment Act tahun 1967 melarang
diskriminasi terhadap pegawai yang lebih tua berdasarkan usia, sampai
mereka berusia 65 tahun. Ketentuan ini diubah tahun 1978 yang melarang
diskriminasi sampai pegawai mencapai usia 70 tahun. Pada tanggal 17
Oktober 1986, undang-undang baru ditetapkan yang melarang PHK pada
usia-usia tertentu. Para penderita cacat sekarang juga dilindungi oleh
Americans with Disabilities Act tahun 1990, yang melarang diskriminasi
terhadap mereka dan mewajibkan perusahaan mengakomodasi para pegawai
dan konsumen yang menderita cacat. Tidak ada hukum federal yang melarang
diskriminasi berdasarkan orientasi seksual, dan hanya beberapa negara bagian
yang memiliki undang-undang yang melarang diskriminasi terhadap kaum
gay dan transeksual.
Meskipun ilegal, perusahaan bisa mengajukan berbagai alasan untuk
memecat atau menolak memberikan asuransi kesehatan pada para pegawai
yang diketahui mengidap AIDS. Sejumlah negara bagian dab pemerintah kota
menetapkan peraturan-peratuan untuk mencegah diskriminasi terhadap
penderita AIDS, namun banyak perusahaan yang tidak diawasi, dan sebagian
diantarnya terus melakukan diskriminasi terhadap para korban penyakit yang
mengerikan ini. Banyak perusahaan yang juga menerapkan kebijakan yang
melarang perekrutan tenaga kerja yang kelebihan berat badan, kelompok
individu yang oleh sebagian besar hukum negara tidak dilindungi. Saat ini,
kelompok-kelompok tersebut masih sama rentannya dengan kaum
perempuan, minoritas, dan para pegawai usia lanjut.
g. Tindakan Afirmatif
Semua kebijakan itu adalah negatif, semuanya bertujuan untuk mencegah
diskriminasi lebih jauh. Dengan demikian, kebijakan-kebijakan tersebut
mengakibatkan fakta bahwa, akibat diskriminasi masa lalu, kaum perempuan
dan minoritas saat ini tidak memiliki keahlian yang sebanding dengan kaum
pria kulit putih; karena diskriminasi masa lalu, kaum perempuan dan
minoritas saat ini tidak banyak terwakili dalam jabatan-jabatan yang lebih
prestisu dan diminati. Untuk menghapus pengaruh-pengaruh diskriminasi
masa lalu, banyak perusahaan yang melaksanakan program-program tindakan
afirmatif yang dimaksudkan untuk mencapai distribusi yang lebih
respresentatif dalam perusahaan dengan memberikan preferensi pada kaum
perempuan dan kelompok minoritas. Tujuan penyelidikan adalah untuk
menentukan apakah jumlah pegawai perempuan dan minoritas dalam
klasifikasi kerja tertentu lebih kecil dibandingkan yang diperkirakan dari
tingkat ketersediaan tenaga kerja kelompok ini di wilayah tempat mereka
direkrut. Sejumlah besar keputusan pengadila federal menyetujui bahwa
penggunaan program tindakan afirmatif untuk mengatasi masalah-masalah
yang ditimbulkan dari diskriminasi masa lalu dalam proses perekrutan
pegawai adalah sah. Jadi, meskipun program-program tindakan afirmatif yang
memberikan preferensi pada pegawai perempuan dan minoritas tidak
dinyatakn ilegal, namun pengaruhnya akan hilang begitu saja pada saat
perusahaan menghadapi masa sulit dan harus memecat pegawai, karena efek
sistem senioritas yang terakhir direkrut, yang pertama dipecat, akan
berpengaruh paling besar pada pegawai perempuan dan minoritas yang
direkrut melalui program tersebut.
Program tindakan afirmatif secara umum dikritik dengan alasan
bahwa,dalam upaya memperbaiki kerugian akibat diskriminasi masa lalu,
program-program itu sendiri juga menjadi diskriminatif, baik rasial mauoun
seksual. Argumen yang digunakan untuk membenarkan program-program
tindakan afirmatif dalam menghadapi kecaman di atas dapat kelompokkan ke
dalam dua bagian. Argumen kedua menginterpretasikan perlakuan
preferensial sebagai suatu saran guna mencapai tujuan-tujuan sosial tertentu.
Sementara argumen yang pertama (kompensasi) cenderung melihat ke
belakang karena memfokuskan pada kesalahn dari tindakan-tindakan masa
lalu, argumen instrumentalis (kedua) lebih melihat ke depan sejauh
memfokuskan pada hal-hal yang baik di masa mendatang (dan kesalahan
yang terjadi di masa lalu dianggap tidak relevan).
h. Tindakan Afirmatif Sebagai Kompensasi
Keadilan kompensatif, mengimplikasikan bahwa seseorang wajib
memberikan kompensasi terhadap orang-orang yang dirugikan secara
sengaja. Selanjutnya, program tindakan afirmatif diinterpretasikan sebagai
salah satu bentuk ganti rugi yang diberikan kaum pria kulit putih kepada
perempuan dan kelompok minoritas karena telah merugikan mereka dengan
secara tidak adil mendiskriminasikan mereka di masa lalu. Kelemahan
argument yan mendukung tindakan afirmatif yang didasarkan pada prinsip
kompensasi adalah prinsip ini mensyaratkan kompensasi hanya dari individu-
individu yang secara sengaja merugikan orang lain, dan memberikan
kompensasi hanya pada idividu-individu yang dirugikan. Sebagai contoh, jika
lima orang berambut merah melukai atau melakukan tindakan yang
merugikan pada lima orang yang berambut hitam, maka keadilan kompensatif
hanya mewajibkan kelima orang berambut merah tersebut memberikan
kompensasi hanya pada kelima orang berambut hitam dalam bentuk apa saja
yang mereka peroleh jika kelima orang berambut merah tersebut tidak
merugikan mereka. Namun demikian, keadilan kompensatif tidak
mewajibkan kompensasi dari semua anggota suatu kelompok yang
didalamnya termasuk pelaku-pelaku tindakan yang merugikan. Prinsip ini
juga mewajibkan kompensasi diberikan kepada semua angota suatu kelompok
yang didalamnya terdapat korban tindakan yang merugikan.
l. Praktik Diskriminasi
Dapat dipahami bahwa peraturan hukum secara bertahap diubah dan
disesuaikan dengan pertimbangan moral tersebut, dan bahwa dalam berbagai
cara muncul pengakuan atas terjadinya bentuk-bentuk diskriminasi terhadap
tenaga kerja. Diantara tindakan-tindakan yang dianggap disrkriminatif adalah
sebagai berikut:
1. Rekrutmen. Perusahaan-perusahaan yang sepenuhnya bergantung pada
referensi verbal para pegawai saat ini dalam rekrut pegawai baru
cenderung merekrut pegawai dari kelompok ras dan seksual yang sama
dengan yang terdapat dalam perusahaan.
2. Screening (seleksi). Kualifikasi pekerjaan dianggap diskriminatif jika
tidak relevan dengan pekerjaan yang akan dilaksanakan (misalnya
mensyaratkan lulusan SMU atau sarjana atau membawa surat “sakti”
untuk pekerjaan-pekerjaan manual dimana tingkat dropout/kelompok
minoritas secara statistik relatif tinggi).
3. Kenaikan pangkat. Proses kenaikan pangkat, kemajuan kerja, dan
transfer dikatakan diskriminatif jika perusahaan memisahkan evaluasi
kerja pria kulit putih dengan pegawai perempuan dan pegawai dari
kelompok minoritas.
4. Kondisi pekerjaan. Pemberian gaji dikatakan diskriminatif jika diberikan
dalam jumlah yang tidak sama untuk orang-orang yang
melaksanakanpekerjaan yang pada dasarnya sama.
5. PHK. Memecat pegawai berdasarkan ketimbangan ras dan jenis kelamin
jelas merupakan diskriminasi.
Kesimpulan
Satu hal yang cukup penting adalah fakta bahwa hanya ada sebagian kecil
calon tenaga kerja yang berasal dari kelompok pria kulit putih. Sebagian besar
pegawai baru di masa mendatang adalah kaum perempuan dan minoritas.
Kecuali jika perubahan-perubahan besar dilaksanakan untuk memenuhi
kebutuhan yang sesuai dengankarakteristik mereka, maka mereka tetap tidak
akan dapat masuk dengan “nyaman” kedalam dunia kerja.
Dalam kaitannya dengan kecerendungan demografi masa mendatang,
kepentingan diri yang semakin tinggi juga akan mendorong usaha bisnis
memberikan ada kaum perempuan dan minoritas. Biaya atau akibat dari sikap
tidak membantu/mendukung datangnya gelombang tenaga kerja perempuan
dan minoritas dengan kebutuhan-kebutuhan mereka, tidak akan hanya
dirasakan oleh perempuan dan minoritas.
Banyak usaha bisnis, yang menyadari bahwa kecerendungan tersebut,
telah melaksanakan program-program untuk mempersiapkan diri guna
merespon kebutuhan kaum perempuan dan minoritas. Untuk merespons
kebutuhan kaum perempuan, misalnya banyak perusahaan yang menyediakan
pelayanan perawatan anak dan jam kerja yang fleksibel agar pegawai
perempuan yang punya anak berkesempatan merawatnya. Perusahaan lain
malaksanakan sejumlah program tindakan afrmatif yang cukup agresif untuk
mengintegrasikan kelompok-kelompok minoritas kedalam perusahaan dimana
mereka diberi pendidikan, pelatihan kerja, keahlian, konseling, dan bantuan
lain yang dimaksudkan agar mereka mampu berasimilasi dengan pegawai lain.
Menilai dan menangani tenaga kerja yag beragam adalah lebih dari
tindakan yang benar secara etis dan moral. Demografi tenaga kerja untuk
decade selanjutnya menunjukkan dengan jelas bahwa perusahaan-perusahaan
yang gagal melaksanakan tugas merekrut, malatih, dan mempromosikan kaum
perempuandan minoritas tidak aka mampu memenuhi kebutuhan akan tenaga
kerja.