Ikan Nilem
Nilem (Osteochilus hasselti) merupakan ikan endemik Indonesia yang hidup di
sungai-sungai, danau dan rawa-rawa, tersebar di pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan.
Namun, sejalan dengan perkembangan, ikan tersebut kemudian dibudidayakan di kolam-
kolam untuk tujuan komersial. Secara nasional keberadaannya kurang begitu populer
kecuali di Jawa Barat. Hampir 80 % produksi nasional ikan nilem berasal dari Jawa Barat
(Cholik et al. 2005).
Panjang tubuh ikan nilem dapat mencapai 32 cm. Bentuk tubuh ikan nilem agak
memanjang dan pipih, ujung mulut runcing dengan moncong (rostral) terlipat, serta bintik
hitam besar pada ekornya, dan terdapat sungut di mulutnya. Menurut Kottelat (1993)
Osteochilus hasselti CV mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : SL. 320, LL. 30-33,
terdapat sisik 51/2 antara awal sirip punggung dan gurat sisi, tidak ada tubus keras pada
moncong, 6-9 baris bintik-bintik berwarna sepanjang barisan sisik (walaupun tidak selalu
jelas), terdapat bintik bulat besar pada batang ekor, batang ekor dikelilingi 16 sisik dan
bagian depan sirip punggung dikelilingi 26 sisik. Terdapat 12-18 1/2 jari-jari bercabang
pada sirip punggung.
Ikan nilem diklasifikasikan sebagai berikut (Nelson 1994):
Phylum : Chordata
Sub phylum : Vetebrata
Super class : Gnasthostoma
Grade : Teleostomi
Class : Actinopterygii
Subclass : Neopterygii
Division : Teleostei
Subdivision : Euteleostei
Superorder : Ostariophysi
Ordo : Cypriniformes
Familia: Cyprinidae
Genus : Osteochillus
5
Ikan nilem hidup di lingkungan air tawar dengan kisaran pH antara 6,0-7,0 dan
kandungan oksigen terlarut yang cukup (Cholik et al. 2005). Ikan ini merupakan jenis
ikan pemakan detritus dan jasad penempel yang disebut epifiton dan perifiton, pada
stadia larva dan benih ikan ini pemakan fitoplankton dan zooplankton atau jenis alga ber
sel satu seperti diatom dan ganggang yang termasuk ke dalam kelas Cyanophyceae dan
Chlorophyceae (Syandri, 2004; Cholik et al. 2005).
Ikan nilem mampu hidup dan berkembang biak pada perairan jernih dan berpasir
serta berada pada kawasan berelevasi tinggi. Ikan nilem memiliki potensi reproduksi
yang cukup tinggi. Seekor nilem betina dapat menghasilkan telur sebanyak 80.000-
110.000 butir telur dan memijah sepanjang tahun (Cholik et al. 2005). Pemijahan secara
alami di mulai pada awal musim penghujan. Ikan ini bersifat ovipar dan pembuahan
terjadi di luar tubuhnya. Induk ikan jantan nilem mulai memijah pada umur sekitar satu
tahun dengan panjang 20 cm dan berat antara 80-100g. Sedangkan untuk induk betina
mulai memijah pada umur 1 tahun dengan berat di atas 120 g (Cholik et al. 2005).
Di daerah Priangan (Jawa Barat) ikan nilem sangat diminati dan digemari
terutama dalam bentuk olahan seperti pindang nilem yang merupakan santapan terkenal,
disamping itu ikan ini banyak dijual dalam bentuk cemilan, dendeng dan telurnya pun
sangat digemari masyarakat. Harga ikan ini dapat mencapai hingga lebih dari 200%
setelah muncul inovasi produk olahan nilem tersebut (Rahardjo dan Marliani 2007).
Dengan melihat keunggulan tersebut, ikan ini memiliki prospek yang bagus sebagai
komoditas perikanan yang potensial untuk dikembangkan.
Keragaman Genetik
Keragaman genetik adalah hirarki paling rendah dalam tingkat keragaman hayati.
Keragaman hayati meliputi keragaman habitat, komunitas, populasi sampai dengan
spesies. Keragaman genetik merupakan cerminan keragaman dalam suatu spesies yang
disebut subspesies (Soewardi 2007). Menurut Dunham (2004), keragaman genetik
penting untuk keberlangsungan hidup suatu spesies dalam jangka waktu yang lama.
Keragaman genetik dapat menjaga kebugaran suatu spesies atau populasi dengan cara
6
adalah sumber yang dapat meningkatkan variasi genetik dalam banyak populasi (Irwanto
2006).
Seleksi mengubah frekuensi alel terkait dengan peluang untuk menyumbangkan
satu atau lebih genotipe pada generasi berikutnya (Soewardi 2007). Perubahan struktur
genetik ditentukan oleh pemilihan fitness genotipe dimana individu yang tidak mampu
bertahan akan tersingkir dan tidak terlibat dalam pembentukan generasi berikutnya.
Penghanyutan gen adalah pencuplikan materi genetik yang berlangsung tidak
biasa pada saat pembentukan gamet dan fertilisasi sehingga menyebabkan menurunnya
keragaman genetik suatu populasi. Penurunan keragaman genetik ini dapat menurunkan
kemampuan suatu populasi untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan.
Penghanyutan gen akan terjadi jika sebagian kecil dari populasi terpisah dari populasi
asal yang besar. Populasi kecil yang terpisah ini akan membawa sebagian kecil
keragaman genetik dari populasi asalnya sehingga kedua populasi itu akan memiliki gene
pool yang berbeda. Penghanyutan gen dapat pula terjadi karena sebagian besar populasi
mati sehingga populasi yang tersisa akan membentuk populasi baru. Akibatnya populasi
baru akan memiliki gene pool yang lebih terbatas dibanding dengan populasi asal
(Soewardi 2007) .
Fenotipe Morfomeristik
Fenotipe adalah suatu karakteristik yang dapat diamati dan diukur dari suatu
organisme. Ekspresi fenotipe (P) ditentukan oleh faktor genotipe (G) dan lingkungan (E)
serta interaksi keduanya (GE) sebagai berikut :
P = G + E + GE (Hardjosubroto 1994)
yang mengarah pada perubahan morfologi, reproduksi dan ketahanan hidup. Perubahan
fenotipe ini tidak berarti adanya perubahan genetik dari suatu populasi sehingga adanya
perbedaan fenotipe diantara populasi tidak dapat dikatakan sebagai adanya perbedaan
genetik. Meskipun dipengaruhi oleh lingkungan, karakter morfologi juga memiliki
kelebihan yaitu dalam mengidentifikasi stok ikan terutama bila tidak cukup waktu untuk
mengumpulkan perbedaan genetik antar populasi karena perubahan genetik terjadi sangat
lambat pada populasi ukuran besar khususnya karena penghanyutan gen secara acak
(Turan 1999).
Performa karakter morfologi dipetakan secara pengukuran morfometrik dan
meristik (morfomeristik). Ukuran morfometrik dapat digunakan untuk membedakan
populasi ikan yaitu meliputi pengukuran panjang total, panjang standar, panjang kepala
dan tinggi badan. Namun pengukuran berdasarkan karakter-karakter tersebut dinilai
masih memiliki kelemahan karena hanya memberikan gambaran bentuk tubuh ikan
secara umum (Widiyati 2003). Sebagai suatu alternatif, dikenal suatu metode
morfometrik yang lebih baru yaitu sistem jaringan truss atau truss morfometrik. Menurut
Pollar et al. (2007), metode ini dapat memberikan informasi yang lebih lengkap dalam
menggambarkan suatu bentuk ikan. Pada metode ini ditentukan titik-titik truss baik
secara vertikal, horizontal maupun diagonal. Pemilihan titik truss di sepanjang tubuh ikan
merupakan faktor penting dalam rangka mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya
mengenai tubuh ikan, oleh karena itu penentuan titik truss adalah khas untuk setiap jenis
ikan (Widiyati 2003).
Metode ini telah berhasil cukup baik diterapkan pada beberapa spesies ikan antara
lain ikan nila (Oreochromis niloticus) (Widiyati et .al. 2004), udang galah
(Macrobrachium rosenbergii) (Hadi et al. 2002), baung (Mystus nemurus) (Nugroho et
al. 2005), ikan anchovy (Engraulis encrasicolus L.) (Turan et al. 2004), Tor tambroides
(Pollar et al. 2007), ikan sardin (Sardina pilchardus) (Silva 2003).
Performa meristik melibatkan penghitungan jumlah jari-jari sirip, tulang atau
tulang rawan dari bagian tubuh ikan. Fenotipe meristik sering digunakan untuk
identifikasi dan membedakan genera, spesies, strain, persilangan, populasi atau kelompok
spesies dan individu (Sherizan 2007). Beberapa contoh identifikasi berdasarkan data
meristik adalah untuk membedakan ikan nila (Oreochromis sp.) (Sherizan 2007).
9
Pengukuran performa morfologi lebih mudah dilakukan dan biayanya jauh lebih murah
dibandingkan dengan pemetaan karakter genotipe.
digunakan untuk studi linkage-mapping pada spesies ikan. Linkage map menghasilkan
sejumlah marka RAPD untuk determinasi kelamin, dan juga pola warna, ketahanan
terhadap penyakit, respon imun serta trait kualitatif lain, disamping trait kuantitatif yang
dapat digunakan untuk linkage selection (Jayasangkar 2005). Teknik RAPD telah
digunakan dalam penelitian ikan Barbus sp asal Spanyol (Callejas & Ochando 2003),
ikan mas (Cyprinus carpio) (Bártfai et al. 2001), alga merah (Gelidium sesquipedale)
(Alberto et al. 1999), rumput laut Kappaphycus alavarezii (Parenrengi et al. 2006) dan
ikan batak (Tor soro) (Asih et al. 2008).
Menurut Beaumont dan Hoare (2003), teknik RAPD merupakan teknik analisis
DNA yang cepat dan murah dalam mendapatkan data molekuler genetik. Hal serupa juga
dinyatakan oleh Dunham (2004), bahwa RAPD memiliki kriteria sebagai sistem marka
yang ideal karena polimorfiknya yang tinggi, mudah dan cepat, serta ekonomis.
Disamping itu RAPD tidak membutuhkan probe atau informasi sekuens seperti untuk
analisis RFLP dan DNA satelit. Sedangkan menurut Liu (2005), RAPD memiliki semua
keunggulan sebagai marka hasil PCR, primer yang digunakan tersedia secara komersial
dan teknik ini tidak membutuhkan pengetahuan mengenai target sekuens DNA atau
organisasi gennya.