Anda di halaman 1dari 10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Biologi Ikan Nilem (Osteochilus hasselti )


Taksonomi ikan nilem berdasarkan klasifikasi yang disusun oleh Saanin
(1984) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Sub-phylum : Craniata
Class : Pisces
Subclass : Actinopterygi
Ordo : Ostariophysi
Sub-ordo : Cyprinoidae
Famili : Cyprinidae
Sub-famili : Cyprininae
Genus : Osteochilus
Species : Osteochilus hasselti

Ciri-ciri morfologi ikan nilem menurut Hadjamulia (1979) adalah badan


memanjang pipih kesamping (compress) memiliki panjang baku 2,5-3,0 kali
tinggi badan, mulut dapat disembulkan dengan bibir berkerut, sungut ada dua
pasang dan permukaan sirip punggung terletak di belakang permukaan sirip dada.
Menurut warna sisiknya, ikan nilem dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ikan
nilem berwarna kehitaman atau coklat hijau pada punggungnya dan terang
dibagian perut dan pada ikan nilem merah dengan punggung merah atau kemerah-
merahan dengan bagian perut agak terang (Hardjamulia 1978).
Ikan nilem merupakan jenis ikan sungai atau perairan tawar yang
bentuknya mirip ikan mas, tawes, dan karper, hanya kepalanya lebih kecil,
badannya lebih memanjang dan sirip punggungnya lebih panjang. Pada kedua
sudut mulutnya terdapat dua pasang sungut peraba. Tubuhnya ditutupi oleh sisik
yang berwarna hijau keabu-abuan, coklat atau kehitam-hitaman dan merah.
Ukuran yang dipelihara di kolam biasanya paling besar hanya sekitar 25 cm
dengan berat lebih kurang 150 g. Di perairan bebas data mencapai 32 cm ikan
nilem tergolong jenis ikan pemakan plankton, perifiton dan tumbuhan air (Huet
1970). Menurut Hardjamulia (1978) benih ikan nilem mengkonsumsi fitoplankton

5
6

dan zooplankton, yang tergolong kelas Bacillariophyceae, Chlorophyceae,


Cynophceae, sedangkan ikan dewasa memakan Bacillariophyceae, daun-daunan
yang lunak, dan detritus.
Di daerah tropis, umumnya ikan nilem dipelihara dengan baik pada daerah
dengan ketinggian 150-1000 m dari permukaan laut. Suhu optimum untuk
pertumbuhan ikan nilem adalah 18-28°C (Asnawi 1983). Ikan nilem betina dapat
mulai dipijahkan pada umur satu setengah tahun dengan berat sekitar 100 g. ikan
jantan sudah mulai dapat dipijahkan sekitar umur delapan bulan. Induk betina
dapat dipijahkan setiap tiga atau empat bulan sekali. Ikan jantan dan betina dapat
dibedakan dengan cara memijit bagian perut kearah anus. Ikan jantan akan
mengeluarkan cairan putih susu dari lubang genitalnya, sedangkan betina tidak.
Induk betina yang sudah matang telur dicirikan dengan perutnya yang relatif
membesar dan lunak bila diraba, serta dari lubang genitalnya keluar cairan jernih
kekuningan bila perut dipijat perlahan-lahan ke arah anus.
Ikan nilem akan melakukan pemijahan pada kondisi oksigen berkisar
antara 5-6 ppm, karbondioksida bebas yang optimum untuk kelangsungan hidup
ikan yaitu ≤ 1 ppm (Willoughby 1999). Menurut Susanto (2001) suhu yang
optimum untuk kelangsungan hidup ikan nilem berkisar antara 18-280C, dan
untuk pH berkisar antara 6,7-8,6 sedangkan untuk kandungan ammonia yang
disarankan adalah 0,5 ppm. Diperairan bebas biasanya ikan nilem memijah pada
akhir musim penghujan di daerah-daerah yang berpasir dan berair jernih. Di
kolam, pemijahan ikan dapat dilakukan sepanjang tahun dengan cara mengatur
kondisi lingkungan (Sumantadinata 1981). Embrio ikan nilem yang dihasilkan
dari pemijahan akan berkembang sampai menetas menjadi larva dalam 1-2 hari.
Menurut Harris (1974) dalam Wijayanti (2002), perkembangan embrio
ikan nilem secara keseluruhan hampir sama dengan ikan mas. Perbedaannya
terletak pada ukuran dan kecepatan prosesnya. Proses perkembangan embrio ikan
nilem lebih cepat daripada perkembangan ikan mas. Telur ikan nilem menetas
31-33 jam setelah pembuahan pada suhu 24,7°C dan kuning telur diserap habis
setelah 96 jam. Masa kritis ikan nilem terjadi 6-9 dan 12 jam setelah pembuahan
7

(pada fase gastrulasi dan proses pembentukan mata dan otak) serta pada larva
berumur 60-96 jam (fase penyerapan seluruh kuning telur).

2.2 Pertumbuhan Ikan


Pertumbuhan adalah perubahan ukuruan baik panjang maupun bobot
badan sejalan dengan perubahan waktu (Moyle dan Cech 1998 dalam Effendie
1997). Pertumbuhan ikan dipengaruhi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
eksternal antara lain kualitas air khususnya suhu air, nutrisi khususnya protein,
dan faktor internal antara lain genetik (Dunham 2004). Kualitas air khususnya
suhu, beraksi mempengaruhi struktur dan fungsi protein serta makro molekul lain
dalam tubuh ikan sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan ikan (Devlin dan
Nagahama 2002). Menurut Shalaby et al. (2007) dalam Muslim dkk. (2011b),
tingkat kandungan protein dalam pakan ikan berpengaruh terhadap pertumbuhan
ikan yang dipelihara.
Pemberian pakan yang mengandung hormon metyltestosteron, dapat
meningkatkan daya cerna dan laju penyerapan nutrient sehingga pertumbuhan
meningkat (Yamazaki 1983). Menurut Phelps dan Popma (2000), hormon
androgen mempunyai dua aktifitas fisiologi yaitu androgenic activity dan
anabolic activity. Pertumbuhan ikan terkait dengan anabolic activity yaitu
merangsang biosintesis protein.

2.3 Diferensiasi Kelamin


Jenis kelamin suatu individu ditentukan oleh faktor lingkungan dan
genetik yang bekerja sama. Secara genetik, jenis kelamin ditentukan oleh
kromosom. Ada dua jenis kromosom yaitu gonosom dan autosom. Gonosom
adalah kromosom yang berperan dalam mentukan jenis kelamin, sedangkan
autosom adalah yang tidak menentukan jenis kelamin (Yatim 1986). Secara
genetik jenis kelamin suatu individu sudah ditetapkan pada waktu
pembuahan, tetapi pada masa embrio, gonad (organ kelamin primer) masih
berada dalam keadaan indifferen, yaitu keadaan bakal-bakal untuk menjadi
betina atau jantan dalam bentuk dan semua perlengkapan struktur betina dan
jantan sudah ada. Phelps dan Popma (2000) menyebutkan bahwa pada ikan,
8

diferensiasi seks gonad merupakan proses yang kompleks tidak seperti pada
kebanyakan hewan vertebrata lainnya. Selain faktor genetik dan kromosom seks,
terdapat faktor lain yang mempengaruhi hasil dari proses akhir perkembangan
gonad dan seks fenotip yang diperoleh yaitu faktor lingkungan.
Davy dan Chourinard (1980) menyatakan bahwa perkembangan
gonad meliputi dua fase yaitu fase pertumbuhan dan fase perkembangan
dikendalikan oleh system endokrin. Pada fase pertumbuhan gonad,
diferensiasi kelamin belum mantap sehingga pembentukan gonad masih
dapat diarahkan dengan pemberian hormon steroid sintesis (Hunter dan
Donalson 1983).
Perubahan kelamin buatan paling efektif dilakukan saat diferensiasi
kelamin. Perubahan jenis kelamin secara buatan dimungkinkan karena pada fase
pertumbuhan gonad belum terjadi diferensiasi kelamin dan belum ada
pembentukan steroid sehingga pembentukan gonad dapat diarahkan dengan
menggunakan hormon steroid sintetis (Yamazaki 1983). Hormon tersebut dapat
mengatur beberapa fenomena reproduksi misalnya proses diferensiasi gonad,
pembentukan gamet, ovulasi, spermiasi, pemijahan. Hormon steroid biasanya
diberikan secara langsung ke ikan terutama pada masa perkembangan gonad
(diferensiasi seks), cara ini telah berhasil diterapkan pada beberapa jenis ikan
seperti ikan nila, koan, mas dan beberapa jenis ikan lainnya.

2.4 Perendaman Larva


Pemberian hormon dengan cara perendaman pada stadia larva yaitu saat
mulai kehilangan kuning telur atau pada saat fase bintik mata. Cara ini diyakini
sangat efektif karena selain mudah menyiapkan hormon, sederhana dan tidak
memerlukan waktu yang lama, diduga juga bahwa pada stadia larva masih berada
pada fase labil sehingga mudah dipengaruhi oleh rangsangan dari luar serta pada
fase larva gonad belum terdiferensiasi seks, apakah jantan atau betina. Metode
pemberian hormon dengan perendaman hormon akan masuk ke dalam tubuh dan
menuju organ tertentu seperti pada ikan jantan langsung menuju ke testis dan
betina langsung menuju ke ovarium (Suhendar 1991).
9

2.5 Hormon Metiltestosteron


Hormon memiliki definisi klasik sebagai suatu substansi kimia yang
diproduksi oleh jaringan khusus yang kemudian diseksresikan ke dalam darah,
untuk kemudian dibawa ke organ target. Menurut Hunter dan Donaldson (1983),
hormon steroid seksual yang berguna untuk proses pengubahan kelamin antara
lain androgen yang terdiri atas testosteron dan metiltestosteron yang memiliki
pengaruh maskulinitas, dan estrogen seperti estron serta estradiol yang
berpengaruh terhadap feminitas. Hormon steroid merupakan hormon yang dapat
mempengaruhi reproduksi hewan, merangsang proses pertumbuhan, diferensiasi
kelamin, dan juga mempengaruhi tingkah laku ikan (Donaldson et al. 1978).
Hunter dan Donaldson (1983) juga menjelaskan bahwa pemberian beberapa jenis
hormon androgen dapat menyebabkan timbulnya efek maskulinisasi atau juga
efek dari sifat antara maskulin dan feminin. Testosteron dan esternya merupakan
hormon alami yang dihasilkan oleh gonad jantan. Pada fase embrionik, hormon ini
dapat menyebabkan timbulnya sifat jantan pada saluran genital, tetapi tidak
mempengaruhi gonad secara keseluruhan.
Metiltestosteron merupakan androgen yang paling sering dipakai untuk
merubah jenis kelamin dan penggunaan metiltestosteron pada dosis yang berbeda
akan memberikan pengaruh yang berbeda pula (Nagy et al. 1981). 17α-
metiltestosteron merupakan hormon sintetik yang molekulnya sudah dimodifikasi
agar tahan lama di dalam tubuh. Hal ini dikarenakan pada karbon ke-17 telah
ditempeli gugus metil agar tahan lebih lama (Zairin 2002).
Carman et al. (1998) menyebutkan bahwa cara oral dan perendaman
merupakan metode dalam aplikasi penggunaan hormon. Pada metode perendaman,
agar efektif perlu diperhatikan konsentrasi hormon dan lama waktu perendaman.
Efek yang berlawanan dapat terjadi dari penggunaan hormon steroid seks yaitu
terjadinya maskulinisasi setelah pemberian hormon esterogen atau yang lebih
sering terjadi yaitu terjadinya feminimisasi setelah pemberian hormon androgen.
Paradoxal effect disebabkan oleh dosis yang tinggi atau periode pemberian
hormon yang terlalu lama. Hal ini terjadi karena hormon tersebut (termasuk 17α-
methiltestosteron) bersifat aromatizable (Piferrer dan Donaldson 1990).
10

2.6 Aplikasi Hormon


Aplikasi pemberian hormon pada ikan dapat dilakukan dengan cara
penyuntikan berkala, perendaman atau secara oral dengan media melalui pakan.
Keberhasilan penggunaan hormon steroid bergantung kepada beberapa faktor
diantaranya jenis dan umur ikan, dosis hormon yang digunakan, lama waktu
pemberian dan cara pemberian hormon (Hunter dan Donaldson 1983).
Dalam proses perlakuan, hormon yang sesuai serta metode aplikasi yang
tepat harus dipikirkan dengan tepat. Tujuannya untuk memastikan bahwa gonad
yang belum terdiferensiasi mendapatkan pengaruh dari pemberian hormon dengan
dosis dan lama perlakuan yang tepat untuk mengarahkan ke kelamin tertentu.
Selain jenis hormon steroid yang akan digunakan, hal lain yang harus
dipertimbangkan antara lain metode atau cara pemberian, dosis hormon steroid
yang akan digunakan, waktu mulainya perlakuan serta lama pemberian hormon
steroid. Faktor-faktor tersebut akan berinteraksi secara aktif dengan proses
perkembangan gonad serta somatik spesies ikan yang akan kita teliti, dengan
dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan seperti suhu, cahaya, dan lain-lain
(Hunter dan Donaldson 1983). Lama waktu perlakuan hormon merupakan salah
satu faktor yang paling kritis serta penting untuk mengalihkan ke kelamin tertentu
(Piferrer 2001).
Steroid sebagai pemrakarsa proses diferensiasi seksual harus diberikan
dengan waktu yang sesuai dengan diferensiasi seksual yang terjadi secara alami.
Sedangkan dosis yang tepat untuk mengaplikasikan sex reversal, dipengaruhi oleh
aktivitas biologi hormon itu sendiri. Dosis yang terlalu tinggi dan waktu perlakuan
yang cukup lama dapat menyebabkan terhambatnya masa pembentukan gonad
(Shreek dalam Hunter dan Donaldson 1983), selain itu juga menyebabkan
fenomena paradoksial, meningkatnya mortalitas, dan menurunnya tingkat
pertumbuhan khususnya perlakuan yang menggunakan estrogen (Hunter dan
Donaldson 1983). Katz et al. (1976) dalam Hunter dan Donaldson (1983)
menyatakan bahwa pemberian hormon yang berlebihan dapat menyebabkan
kematian yang tinggi dan dapat menyebabkan ikan menjadi steril. Perlakuan yang
singkat dengan hormon selama stadia awal dari proses determinasi seksual dapat
11

menyebabkan perubahan secara permanen pada sifat fenotip seksual sedangkan


perlakuan yang berlebihan baik dari segi dosis maupun lama perlakuan dapat
menyebabkan terjadinya gangguan pada perkembangan gonad atau terjadinya
sterilisasi pada ikan. Hal ini dapat menyebabkan ketidakmampuan fungsional dari
steroid eksogenous yang dihasilkan oleh jaringan-jaringan dalam tubuh serta sifat
genetis internal serta aktivitas-aktivitas fisiologis dalam tubuh, dan bahkan dapat
menyebabkan timbulnya efek-efek yang bersifat patologis pada perkembangan
gonad (Devlin dan Nagahama 2002).

2.7 Testis Sapi


Organ reproduksi sapi jantan dapat dibagi menjadi tiga komponen yaitu (a)
organ kelamin primer yaitu testis, (b) sekelompok kelenjar-kelenjar kelamin
pelengkap yaitu kelenjar vesikulares, prostatan dan cowper dan saluran-saluran
yang terdiri epididymis dan vas deferens, (c) alat kelamin atau organ kopulatoris
yaitu penis (Toelihere 1981). Menurut Taylor dan Thomas (2004), organ
reproduksi sapi terdiri dari testicle, epididymis, scrotum, vasdeferens, accessory
glands dan penis. Testis sapi berjumlah dua buah, dalam keadaan normal kedua
testis berukuran sama besar, terletak pada daerah prepubis, terbungkus dalam
kantong scrotum dan digantung oleh funiculus spermaticus yang mengandung
unsur-unsur yang terbawa oleh testis dalam perpindahannya dari cavum
abdominalis melalui canalis inguinalis ke dalam scrotum (Toelihere 1981).
Testis sapi pada umumnya berukuran panjang 10-13 cm, lebar 5-6,5 cm
dan berat 300-400 gr. Menurut Toelihere (1981), berat testis sapi tergantung pada
umur, berat badan dan jenis/varietas sapi. Setiap testis banyak mengandung tubuli,
di antara tubuli dalam jaringan interstitial mengandung pembuluh darah, lymphe,
dan syaraf, terdapat sel-sel datar dan polygonal yang disebut sel-sel interstitial
dari leydig, yang menghasilkan androgen (hormon jantan) terutama testosteron.
Testis sebagai organ kelamin primer mempunyai dua fungsi yaitu (1)
menghasilkan spermatozoa atau sel-sel kelamin jantan, dan (2) mensekresikan
hormon kelamin jantan (testosteron). Spermatozoa dihasilkan di dalam tubuli
12

seminiferi sedangkan hormon androgen (testosteron) diproduksi oleh sel-sel


interstitial dari Leydig (Toelihere 1981).
Menurut Hafez (1980) dalam Muslim et al. (2011a), kandungan hormon
testosteron dalam cairan testis (testicular fluid) sebanyak 2,3 µg-1 100 ml. Pada
testis sapi White Fulani kandungan hormon testosteron berkisar antara 15-18 ng
ml-1 (Adamu et al. 2006). Menurut Iskandariah (1996), testis sapi segar
mengandung hormon testosteron alami berkisar 2300-27700 pg g-1 testis dan
protein 63,49%. Sedangkan berdasarkan hasil penelitian Muslim et al. (2011b),
kandungan testosteron dari tepung testis sapi yaitu sebesar 10.01 mcg g-1 tepung
testis sapi.
Hasil analisa proksimat kandungan nutrisi testis sapi segar (TSS) dan
tepung testis sapi (TTS) berdasarkan penelitian Muslim et al. (2011a), dapat
dilihat pada tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Hasil Proksimat Testis Sapi Segar dan Tepung Testis Sapi (%)
Karbohidrat
Kadar Kadar
Bobot Sampel Protein Lemak Serat
Air Abu BETN
Kasar
TSS 10,19 1,79 86,78 0,88 0 0,36
Basah
TTS 71,76 12,61 5,90 6,97 0,02 2,74

TSS 77,08 13,54 0 6,66 0 2,72


Kering
TTS 76,26 13,40 0 7,41 0,02 2,91

Sumber : Tesis Muslim yang berjudul Maskulinisasi Ikan Nila Oreochromis


niloticus dengan Pemberian Tepung Testis Sapi pada tahun 2011
Berdasarkan data di atas, kandungan protein tertinggi pada testis sapi segar
(TSS) sebesar 77,08% dan tepung testis sapi (TTS) sebesar 76,26% (dalam bobot
kering). Selain kandungan protein dalam TTS terdapat juga kandungan lemak
sebesar 13,40%, kadar abu 7,41%, serat kasar 0,02% dan BETN 2,91%.
Pemberian tepung testis sapi berfungsi sebagai sumber hormon untuk penjantanan
(fungsi gonatik), juga berfungsi secara somatik (pertumbuhan), sedangkan
13

maskulinisasi menggunakan hormon atau bahan kimia sintetik hanya berfungsi


gonatik.

2.8 Mekanisme Maskulinisasi


Hormon androgen bekerja secara umpan balik dalam mengendalikan
pelepasan gonadotropin pituitary dan berperan penting dalam diferensiasi serta
pembentukan kelamin jantan dan sifat kelamin sekundernya. Androgen masuk ke
dalam sel sitoplasma, selanjutnya diikat oleh reseptor khusus. Reseptor ditemukan
dalam sitosol yang keberadaannya dipengaruhi oleh androgen. Steroid reseptor
komplek (ligan) ini kemudian menuju nukleus dan berikatan dengan akseptor
pada genom. Hal tersebut memungkinkan transkripsi spesies baru mRNA
yang memberikan kode untuk sintesis protein tertentu didalam sitoplasma.
RNA bertambah secara nyata terutama dalam fraksi mikrosom, hal ini akan
merangsang terjadinya spermatogenesis.
Menurut Donough (1999) dalam Hariani (1997) menyebutkan bahwa
hormon steroid akan mempengaruhi sel target seperti gonad dan saluran otak.
Hal ini diduga karena pada saat fertilisasi sudah terbentuk sel kromosom yang
apabila diberi hormon testosteron dari luar, maka hormon ini akan merangsang
hormon endogen mensintesis steroid untuk pertumbuhan dan perkembangan gonad
secara fungsional.

2.9 Pemeriksaan Gonad Metoda Asetokarmin


Perbedaan morfologi atau ciri-ciri kelamin sekunder ikan jantan dan betina
pada umumnya baru bisa dilihat setelah ikan dewasa. Dalam kegiatan budidaya,
pembedaan jenis kelamin sangat penting karena terkait langsung dengan proses-
proses selanjutnya, selain itu juga faktor efisiensi (waktu, biaya, dan tenaga). Oleh
karena itu identifikasi jenis kelamin ikan perlu dilakukan sedini mungkin. Teknik
pembedaan jenis kelamin antara lain dapat dilakukan dengan pemeriksaan ciri-ciri
kelamin dan pemerikasaan gonad. Identifikasi gonad untuk ikan dewasa relatif
mudah dilakukan karena ukuran gonad yang cukup besar. Namun pada ikan muda
yang ukuran gonadnya kecil biasanya harus melalui metoda khusus.
14

Salah satu teknik dalam pemeriksaan gonad ikan-ikan kecil yaitu dengan
pewarnaan gonad dengan menggunakan larutan asetokarmin. Asetokarmin adalah
larutan pewarna yang digunakan untuk mewarnai gonad untuk pemeriksaan
dengan mikroskop. Kendala yang dialami adalah tingkat kesulitan dalam
menemukan gonad ikan muda, karena gonad ikan muda relatif kecil sehingga sulit
untuk diambil. Kelemahan metode asetokarmin ini yaitu ikan yang diambil
gonadnya harus dimatikan (Zairin 2002).
Karakteristik gonad jantan dan betina sangat berbeda. Gonad jantan
memiliki ukuran kecil, berwarna putih susu, dan berpasangan. Gonad betina agak
mirip gonad jantan, tetapi berwarna agak kekuningan dan diselubungi lemak.
Bentuknya relatif hampir sama untuk semua jenis ikan. Kadang-kadang di dalam
gonad yang sama dapat dijumpai gonad ikan yang hermaprodit yaitu sekaligus
terdapat bakal testis dan bakal ovari. Dengan pewarnaan asetokarmin, sel bakal
sperma tampak berupa titik-titik kecil berjumlah banyak. Sel bakal telur tampak
berbentuk bulatan besar dan bagian inti berada ditengah dengan warna lebih pucat
dikelilingi sitoplasma yang berwarna merah.

Anda mungkin juga menyukai