Anda di halaman 1dari 30

Pemikiran Tokoh-Tokoh Tasawuf

Disusun untuk memenuhi tugas kuliah Ilmu Tasawuf


Dosen pengampu: Umi Kulsum M.pd

Disusun oleh:
1. Aljanatun Vivin (4119155)
2. Hesni Riskyan Farih (4119156)
3. M. Hasan Irwani (4119195)

KELAS D
JURUSAN EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN
TAHUN 2020

i
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan
inayah-Nya, sehingga kami bisa menyelesaikan makalah mata kuliah Ilmu Tasawuf
tentang tokoh-tokoh tasawuf.
Tujuan dibuatnya makalah ini sebagai tugas dari mata kuliah Ilmu Tasawuf.
Makalah yang telah dibuat ini mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu
ucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu dan berkontribusi dalam
pembuatan makalah mata kuliah Ilmu Tasawuf tentang Tokoh-Tokoh Tasawuf. Terlepas
dari semua itu, bahwa makalah ini masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat
maupun tatanan bahasanya, oleh karena itu segala saran dan kritik dari pembaca sangat
dibutuhkan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat menambah wawasan, pengetahuan dan
inspirasi untuk pembaca.

Pekalongan, 3 Oktober 2020

Penulis

ii
Daftar Isi

Halaman Judul..........................................................................................................................i
Kata Pengantar..........................................................................................................................ii
Daftar Isi..................................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................................2
C. Tujuan Makalah..........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Biografi Tokoh-tokoh Tasawuf..................................................................................3
B. Pemikiran dan Karya Tasawuf
1. Pemikiran dan Karya Tasawuf Hasan Basri.........................................................7
2. Pemikiran dan Karya Tasawuf Robi’ah al-Adawiyyah......................................12
3. Pemikiran dan Karya Tasawuf Al-Ghazali.........................................................16
4. Pemikiran dan Karya Tasawuf Ibn ‘Arabi..........................................................18
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan...............................................................................................................25
B. Saran.........................................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................27

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tasawuf adalah salah satu cabang ilmu islam yang menekankan dimensi atau aspek
spiritual dalam islam. Dalam sebuah kaitan terhadap manusia, tasawuf lebih menekankan
aspek rohani daripada jasmani. Tasawuf menjadi dimensi spiritual Islam yang paling
menarik belakangan ini. Pada kehidupan kontemporer, sufisme layak sebagai perantara
bagi terciptanya asosiasi multi agama yang rukun. Pada kajian modern, sufisme
terbukti mampu aktif dalam mempopulerkan pendekatannya sendiri, yang harmonis
dengan pluralism, demokrasi, toleransi dan koeksistensi.
Sejarah munculnya tasawuf dalam Islam bersamaan dengan munculnya Agama
Islam itu sendiri, yaitu semenjak Nabi Muhammad SAW diutus menjadi Rasul untuk
segenap umat manusia dan seluruh alam semesta. Tasawuf menjadi salah satu pilar Islam
dan merupakan suatu revolusi spiritual “tsaurah ruhiyyah”. Secara umum dalam
mendekatkan diri kepada Allah swt, tasawuf merujuk kepada kebersihan batin yang
menjadi sentral ajaran serta sikap. Apabila Allah SWT adalah sesuatu yang Maha Suci dan
Maha Agung, maka Dia hanya bisa didekati dengan kesucian dan kebersihan diri serta
keagungan tingkah laku hamba-Nya. Dengan demikian tasawuf ingin membawa
manusia kepada kedekatan hakiki hingga hidup menjadi utuh.
Tasawuf dalam Islam sendiri memiliki beberapa bagian atau masa, yaitu pada masa
klasik, masa kontemporer, masa abad pertengahan, dan masa modern. Orang yang ahli
dalam tasawuf disebut dengan sufi. Seorang sufi selalu ingin dekat dengan Tuhan-Nya dan
untuk mencapai itu ada beberapa tingkatanya. Pemikiran tokoh sufi dalam kajian
tasawuf sangat beragam bentuknya dan masing-masing sufi memiliki ciri khas yang
berbeda dalam pemikiran, meskipun muaranya sama yakni menuju al-Haq (Allah swt),
semisal pada masa klasik ada Hasan Al-Basri, Ibrahim bin Adham, Rabi’ah Adawiyah.
Kemudian pada masa abad pertengahan ada Ma’ruf al-Karkhi, Abu al-Hasan Surri al-Saqti,
Abu Sulaiman al-Darani. Lalu pada masa Kontemporer ada Ibn ‘Arabi, Umar Ibn Al-
Faridh, Ibnu Sabi’in. Dan pada masa modern ada Al-Qusyairi dan Al-Ghazali.

1
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas didapatkan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Biografi Tokoh-Tokoh Tasawuf ?
2. Apa Saja Ajaran dan Pemikiran Tokoh – Tokoh tasawuf ?
3. Apa Saja Karya-Karya Tokoh – Tokoh tasawuf ?

C. Tujuan Masalah
Dari rumusan masalah diatas diperoleh tujuan dari makalah sebagai berikut:
1. Mengetahui Biografi Tokoh-Tokoh Tasawuf.
2. Mengetahui Ajaran dan Pemikiran Tokoh – Tokoh tasawuf.
3. Mengetahui Karya-Karya Tokoh – Tokoh tasawuf.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tokoh Tasawuf pada Masa Klasik


Masa ini yaitu pada masa abad pertama dan kedua hijriyah belum bisa sepenuhnya
disebut sebagai masa tasawuf tapi lebih tepat disebut sebagai masa kezuhudan. Tasawuf
pada masa ini lebih bersifat amaliah dari pada bersifat pemikiran. Bentuk amaliah itu seperti
memperbanyak ibadah, menyedikitkan makan dan minum, menyedikitkan tidur dan lain
sebagainya. Diantara tokoh-tokoh tasawuf pada masa ini yaitu:
1. Hasan Al-Basri
Nama lengkapnya adalah al-Hasan bin Abi al-Hasan Abu Sa’id. Dia
dilahirkan di Madinah pada tahun 21 Hijriah/642 Masehi dan meninggal di Basrah pada
tahun 110 Hijriah/728 M. Ia adalah putera Zaid bin Tsabit, seorang budak bfudak yang
tertangkap di Maisan, yang kemudian menjadi sekretaris Nabi Muhammad SAW. la
memperoleh pendidikan di Basrah. la sempat bertemu dengan sahabat-sahabat Nabi,
termasuk tujuh puluh diantara mereka yang mengikuti perang Badar.1
2. Ibrahim bin Adham
Namanya adalah Ahu Ishaq Ibrahim bin Adham, lahir di Balkh dari keluarga
bangsawan Arah. Dalam cerita sufia, ia dikatakan sebagai seorang pangeran yang
meninggalkan istana dan mengembara menjalani hidup sebagai seorang pertapa sambil
mencari nafkah yang halal hingga meninggal di negeri Persia kira-kira pada tahun 160
H/777 M.
Ibrahim bin Adham adalah salah seorang zahid di Khurasan yang sangat menonjol
di zamannya. Kendatipun dia putera seorang raja dan pangeran kerajaan Balkh, dia tidak
terpesona oleh kekuasaan dan kerajaan yang dibawahinya.
3. Rabi’ah al-Adawiyah
Nama lengkapnya ialah Ummu al-Khair Rabi’ah bin Isma’il alAdawiyah al-
Qisiyah. Informasi tentang biografinya begitu sedikit, dan sebagiannya hanya bercorak
1
Dewan Editor, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet. III, Tahun 1994

3
mitos. Dia lahir di Basrah pada tahun 96 H /713 M, lalu hidup sebagai hamba sahaya
keluarga Atik. Dia berasal dari keluarga miskin dan dari kecil dia tinggal di kota
kelahirannya. Di kota ini namanya sangat harum sebagai seorang manusia suci dan sangat
dihormati oleh orang-orang saleh semasanya. Menurut sebuah riwayat dia meninggal
pada tahun 185 H./801 M. Orang-orang mengatakan bahwa dia dikuburkan di dekat kota
Jerussalem.
B. Tokoh Tasawuf pada masa Abad pertengahan
Masa ini sudah bisa dikatakan sebagai masa tasawuf, yaitu pada abad ketiga dan keempat
hijriyah mendapat sebutan shufi. Hal itu dikarenakan tujuan utama kegiatan ruhani mereka
tidak semata-mata kebahagiaan akhirat yang ditandai dengan pencapaian pahala dan
penghindaran siksa, akan tetapi untuk menikmati kehidupan langsung dengan Tuhan yang
didasari dengan rasa cinta2. Diantara tokoh-tokoh tasawuf pada masa ini yaitu:
1. Ma’ruf al-Karkhi
Namanya adalah Abu Muahfuz Ma’ruf bin Firuz al-Karkhi. Ia berasal dari Persia,
namun hidupnya lebih lama di Bagdad. Ia meninggal di kota ini juga pada tahun 200 H /
815 M. Ma’ruf al-Karkhi dikenal sebagai sufi yang selalu diliputi rasa rindu kepada Allah
sehingga ia digolongkan ke dalam kelompok auliya’. Dia dipandang sangat berjasa dalam
meletakkan dasar-dasar tasawuf.
Ma’ruf al-Karkhi adalah orang pertama yang mengembangkan tasawufnya dari
paham cinta (al-hubb) yang dibawa oleh Rabi’ah al-Adawiyah. Ia mengatakan bahwa
timbulnya rasa cinta kepada Allah itu bukan karena diusahakan melalui belajar, tetapi
datangnya semata-mata karena karunia Allah.
2. Abu al-Hasan Surri al-Saqti
Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan Surri al-Muglisi al-Saqti. Dia
adalah murid Ma’ruf al-Karkhi dan paman al-Junaidi dan merupakan tokoh sufi
terkemuka di Bagdad. Ia meninggal pada tahun 253 H / 867 M dalam usia 98 tahun.
Dalam menjalankan ajaran tasawuf, dia beramal siang - malam untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT, dengan penuh khusu’ dan tawadu’. Siang dan
malam yang dia lalui tidaklah berarti tanpa diisi dengan ibadah dan pengabdian. Karena
hanya dengan memperbanyak ibadah dan pengabdian itulah, menurutnya dia dapat

2
Samsul Munir Amin, ilmu Tasawuf, Jakarta: Amzah, tahun 2015

4
bertemu dengan Tuhan, dan pertemuan dengan Tuhan itu meruakan puncak keabadian
yang sejati.
3. Abu Sulaiman al-Darani
Nama lengkapnya ialah Abu Sulaiman Abdurrahman bin Utbah al-Darani.
Dia dilahirkan di Daran, sebuah kampung di kawasan Damakus, dan meninggal pada
tahun 215 H / 830 M. Dia adalah murid Ma’ruf dan merupakan tokoh sufi terkemuka,
seorang ‘arif dan hidupnya sangat wara’. Hidup kerohaniannya penuh diliputi dengan
kebersihan jiwa dan kesucian pribadi.
C. Tokoh Tasawuf pada Masa Modern
Masa ini disebut juga sebagai masa konsolidasi yakni memperkuat tasawuf dengan dasar
aslinya yaitu Alqur’an dan Hadits yang sering disebut juga dengan tasawuf sunny yakni
tasawuf yang sesuai dengan tradisi sunnah Nabi dan para sahabat. Diantara tokoh-tokoh
tasawuf pada masa ini adalah:
1. Al-Qusyairi
Nama lengkap al-Qusyairi adalah Abdul Karim bin Hawazin, lahir tahun 376 H di
Istiwa, kawasan Nishafur, salah satu pusat ilmu pengetahuan pada masanya. Dan Al-
Qusyairi wafat tahun 465 H.
2. Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin ta’us Ath-thusi Asy-Syafi’i
Al-Ghazali. Ia dipanggil Al-Ghazali karena ia lahir di Ghazalah suatu kota di Kurasan,
Iran, tahun 450 H/1058 M, ayahnya seorang pemintal kain wol miskin yang taat.
Di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni berdasarkan Al-Qur'an
dan sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlu Al Sunnah wa Al-jama’ah. Menurut
Al-Ghazali, jalan menuju tasawuf baru dapat dicapai dengan mematahkan hambatan-
hambatan jiwa, serta membersihkan diri dari moral yang tercela, sehingga kalbu
dapat lepas dari segala sesuatu yang selain Allah dan berhias dengan selalu
mengingat Allah.
D. Tokoh Tasawuf pada Masa Kontemporer
Masa ini adalah masa yang ditandai dengan munculnya falsafi yakni tasawuf yang
memadukan antara rasa dan rasio, tasawuf bercampur dengan filsafat terutama filsafat
yunani. Pengalaman-pengalaman yang diklaim sebagia persatuan anatara Tuhan dan hamba

5
kemudian diteorisasikan dalam bentuk pemikiran seperti konsep Wahdatul Wujud. Tokoh-
tokoh pada masa ini antara lain :
1. Ibn Arabi
Nama lengkapnya Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Abdullah Ath Tha’i Al-
Haitami. Ia lahir di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol, tahun 560 H. karya yang
telah dihasilkannya antara lain Al-Futuhat Al-Makkiyah, tarjuman Al-Asuywan dan
masih banyak lagi.
Ajaran tasawuf dari Ibn Arabi adalah wahdatul wujud ( kesatuan wujud ) yaitu
bahwa wujud semua yang ada ini hanyalah satu dan pada hakekatnya wujud makhluk
adalah wujud khalik pula.
2. Umar Ibn Al-Faridh
Umar Ibn Al-Faridh berasal dari Homat ( Tanah Syam ), lahir di Kairo, Mesir. Ia
hidup dari tahun 1181-1235 M. Selama hidupnya ia tinggal di Mekkah dan ia
meninggal di Kairo. Dia terkenal dengan keistimewaannya mengubah syair pencintaan
kepada Tuhan. Syair yang bernilai tinggi dalam lapangan kecintaan kepada Tuhan.
Dorongan rasa keindahan dalam jiwa yang sejati. Sama sekali adalah kesaksian
terhadap yang haq, yang mutlak dan jujur, timbul dari kebersihan jiwa dan terang
jernihnya penglihatan mata rohani.
Syair kecintaan pada Tuhan dari Ibnu Faridh telah menimbulkan inspirasi bagi
berpuluh dan beratus penyair lain, sehingga sesudah abad keenam dan ketujuh lahir
syair-syair shufiyah.
3. Ibnu Sabi’in
Nama lengkapnya Ibnu Sabi’in adalah ‘Abdul Haqq bin Ibrahim Muhammad bin
Nashr. Dilahirkan pada tahun 614 H (1216/1217) M di Murcia, Spanyol. Dia adalah
seorang sufi yang juga filosofnya dari Andalusia.
Ajaran-ajaran tasawufnya yakni, Paham kesatuan mutlak, yaitu wujud adalah satu
alias wujud Allah semata. Ibn Sabi’in menempatkan ketuhanan pada tempat yang
pertama. Wujud Allah, menurutnya adalah asal segala yang ada pada masa lalu, masa
kini maupun masa depan.
4. Ibnu Masarrah

6
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abdullah bin Massarah. Ia lahir di
Cordova, Andalusia pada tahun 269 H/883 M. Ibn Masarrah merupakan seorang sufi
sekaligus filosof dari Andalusia juga. Ia memberikan pengaruh besar terhadap esoteric
mazhab Al-Mariyyah. Ia termasuk sufi aliran ittihadiyyah. Ia penganut sejati aliran
Mu'tazilah. Namun berpaling pada mazhab Neoplatonisme. Oleh karena itu ia dituduh
mencoba menghidupkan kembali filsafat Yunani kuno.
Ajaran tasawufnya yaitu, Jalan menuju keselamatan adalah menyucikan jiwa,
zuhud dan mahabbah, Dengan penakwilan ala philun ( aliran isma’iliyyah ) terhadap
ayat-ayat Al-Qur'an, ia menolak adanya kebangkitan jasmani dan siksa neraka bukanlah
dalam bentuk yang hakikat.3

1. Pemikiran Dakwah dan Komunikasi Hasan Basri


a) Pemikiran Hasan Basri
Abdul Mun’im al-Hifni, seorang ahli tasawuf Kairo, memasukkan Hasan
Basri dalam kelompok sufi besar. Dia mengatakan bahwa Hasan Basri
adalah seorang zahid yang wara’ dan komunikator yang nasihatnya menyejukkan
hati dan kalimatnya menyentuh akal rasional. Terkait dengan tasawuf, Hasan
Basri berkata, “Barangsiapa yang memakai tasawuf karena tawaduk (kepatuhan)
kepada Allah akan ditambah Allah cahaya dalam diri dan hatinya, dan
barangsiapa yang memakai tasawuf karena kesombongan kepada-Nya akan
dicampakkan-Nya ke dalam neraka.”
Kedalaman pengetahuan Hasan Basri mengenai tasawuf membuatnya
cenderung untuk mengartikan beberapa istilah dalam agama Islam menurut
pendekatan tasawuf. Islam, misalnya, diartikannya sebagai penyerahan hati
dan jiwa hanya kepada Allah SWT dan keselamatan seorang muslim dari
gangguan muslim lain. Orang beriman, menurutnya, adalah orang yang
mengetahui bahwa apa yang dikatakan oleh Allah SWT, itu pulalah yang harus
dia katakan. Orang mukmin ialah orang yang paling baik amalannya dan paling
takut kepada Allah SWT, dan sekalipun ia menafkahkan hartanya setinggi
gunung ia seakan-akan tidak dapat melihatnya (tidak menceritakannya).
3
Muhammad Basyrul Muvid,Tasawuf Kontemporer, Jakarta: Amzah, Tahun 2020

7
Para sufi, menurut pengertiannya, ialah orang yang hatinya selalu
bertakwa kepada Allah SWT dan memiliki ciri-ciri antara lain sebagai
berikut: berbicara benar, menepati janji, mengadakan silaturahmi, menyayangi
yang lemah, tidak memuji diri, dan mengerjakan yang baik-baik. Faqih,
menurutnya, ialah orang yang zahid terhadap dunia dan senang terhadap akhirat,
melihat, dan memahami agamanya, senantiasa beribadah kepada Tuhannya,
bersikap wara', menjaga kehormatan kaum muslimin dan harta mereka, dan
menjadi penasihat dan pembimbing bagi masyarakatnya.
‘Abd Hakim Hasan meriwayatkan bahwa Hasan Basri pernah
mengatakan, “Aku pernah menjumpai suatu kaum yang lebih zuhud terhadap
barang yang halal daripada kamu dari barang yang haram.”
Dari ucapannya ini dia membagi zuhud pada dua tingkatan, yaitu;
zuhud terhadap barang haram, ini adalah tingkatan zuhud yang elementer,
sedangkan yang lebih tinggi ialah, ialah zuhud terhadap barang yang halal, suatu
lantaran zuhud yang lebih tinggi daripada yang sebelumnya. Dan dirinya telah
mencapai tataran yang kedua ini, sebagaimana diekspresikan dalam bentuk
sedikit makan, tidak terikat oleh makanan dan minuman, bahkan dia pernah
mengatakan, seandainya menemukan alat yang dapat dipergunakan mencegah
makan, pasti akan dilakukan, katanya, “Aku senang makan sekali dapat
kenyang selamanya, sebagaimana semen yang tahan dalam air selama-lamanya.”
Ektstrimitas pemikiran zuhud Hasan al-Basri dapat dilihat dari ucapannya,
”Jika Allah menghendaki seseorang itu baik, maka Dia mematikan
keluarganya sehingga dia dapat leluasa dalam beribadah.4
Pesan Hasan al-Basri kepada sahabat-sahabatnya agar terhindar dari fitnah
dunia, “Waspadalah terhadap dunia ini. Dia seperti ular yang lembut sentuhannya
dan mematikan bisanya. Berpalinglah dari pesonanya. Sedikit terpesona,
anda akan terjerat olehnya. Waspadalah terhadap personanya. Pada saat yang lain
dia mengharapkan teman-temannya bisa meniru Nabi Dawud as, “Anda bisa
menjadi Dawud as., orang yang sehebat dia makan roti jelai di biliknya,
dan memberi makan keluarganya dengan makanan kasar, sedangkangkan

4
Ibid, Hal 66

8
rakyatnya dengan jagung pilihan; dan bila malam ia kenakan kain kasar, ia ikat
sebuah tangannya pada lehernya dan menangis hingga fajar. Dia membenci apa
yang dibenci Allah dan kebajikanlah bagi yang senantiasa mengikuti jejaknya.5
Ajaran ini mengandung nilai moral, agar seseorang ingin memikirkan
lingkungannya, tidak egois sebagaimana dilaksanakan oleh Dawud as.
Dalam keadaan yang bagaimanapun tetap berada dalam syariat agama,
menjalankan perintah dan meninggalkan larangan-Nya.
Ada benang merah antara Hasan al-Basri dengan Nabi saw. dan
sahabatsahabatnya. Dia menempatkan mereka sebagai tipe ideal, al-Masal al-A’la,
yang tidak tergiur dengan dunia, mau berkorban demi orang lain meskipun
dirinyansendiri mengalami kesulitan. Mereka sabar dan tahan lapar, tidak makan
kecuali sekedar mencukupi kebutuhan minimalnya. Karena itulah ia bisa
berzuhud terhadapnya. Berbeda dengan manusia pada umumnya yang tidak
menemukan bau busuk dunia karena setiap saat bergelimang dengan bau-
bauannya itu.
Tipe kezuhudannya ialah khauf dan raja’ dia selalu menangis meratapi diri
dan kaumnya, kehidupannya dirundung kesusahan selamanya, sehingga badannya
kurus, sakit, dan merana dalam kehidupan. Keluasan dan kedalaman ilmunya
membuat Hasan Al-Basri banyak didatangi orang yang ingin belajar
langsung kepadanya. Nasihat Hasan Al-Basri mampu menggugah hati
seseorang, bahkan membuat para pendengarnya mencucurkan air mata. Nama
Hasan Al-Basri makin harum dan terkenal, menyebar ke seluruh negeri dan
sampai pula ke telinga penguasa.
Ketika Hajaj Tsaqofi memegang kekuasan gubernur Iraq, ia terkenal akan
kediktatorannya. Perlakuannya terhadap rakyat, terkadang sangat melampaui
batas. Nyaris tak ada seorang pun penduduk Basrah yang berani
mengajukan kritik atasnya atau menentangnya. Hasan Al-Basri adalah salah
satu di antara sedikit penduduk Basrah yang berani mengutarakan kritik pada Al-
Hajaj. Bahkan di depan Al-Hajaj sendiri, Hasan Al-Basri pernah
mengutarakan kritiknya yang amat pedas. Saat itu, tengah diadakan peresmian

5
Ibid, Hal 67-68

9
istana Al-Hajaj di tepian kota Basrah. Istana itu dibangun dari hasil keringat
rakyat, dan kini rakyat diundang untuk menyaksikan peresmiannya. Saat itu
tampillah Hasan Al-Basri menyuarakan kritiknya terhadap Al-Hajaj, “Kita telah
melihat apa-apa yang telah dibangun oleh Al-Hajaj. Kita juga telah mengetahui
bahwa Fir’au membangun istana yang lebih indah dan lebih megah dari istana
ini. Tetapi Allah menghancurkan istana itu, karena kedurhakaan dan
kesombongannya.” Kritik itu berlangsung cukup lama. Beberapa orang mulai
cemas dan berbisik kepada Hasan Al-Basri, “Ya Abu Sa’id, cukupkanlah
kritikmu, cukuplah!” Namun beliau menjawab, “Sungguh Allah telah
mengambil janji dari orang-orang yang berilmu, supaya menerangkan
kebenaran kepada manusia dan tidak menyembunyikannya.”
Melihat ketenangan Hasan Al-Basri, seketika kecongkakan Al-Hajaj sirna.
Kesombongan dan kebengisannya hilang. Ia langsung menyambut Hasan Al-Basri
dan berkata lembut, “Kemarilah ya Abu Sa’id.” Al-Hasan mendekatinya dan
duduk berdampingan. Semua mata memandang dengan kagum. Mulailah Al-
Hajaj menanyakan berbagai masalah agama kepada sang Imam, dan dijawab
oleh Hasan Al-Basri dengan bahasa yang lembut dan mempesona. Semua
pertanyaannya dijawab dengan tuntas. Hasan Al-Basri dipersilakan untuk
pulang. Usai pertemuan itu, seorang pengawal Al-Hajaj bertanya, “Wahai
Abu Sa’id, sungguh aku melihat anda mengucapkan sesuatu ketika hendak
berhadapan dengan Al-Hajaj. Apakah sesungguhnya kalimat yang anda baca
itu?” Hasan Al-Basri menjawab, “Saat itu kubaca: Ya Wali dan
PelindungKu dalam kesusahan. Jadikanlah hukuman Hajaj sejuk dan keselamatan
buatku, sebagaimana Engkau telah jadikan api sejuk dan menyelamatkan
Ibrahim.”
Ibadah yang didasarkan kepada iman dan ilmu membawa orang selalu
takut dan prihatin sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Fathir ayat 28
dan alHujurat ayat 13. Hasan Basri menghadapi dunia dengan prihatin dan
waspada, berlaku zuhud dan penuh kesucian, menajamkan hati dengan takut
dan harap kepada Allah setiap waktu.
b) Karya-Karya Hasan Basri

10
Pendapat al-Hasan al-Basri banyak ditemukan dalam berbagai
kitab. Walaupun begitu, para ulama berbeda pendapat tentang ada tidaknya karya
tulis yang tinggalkan oleh al-Hasan al-Basri. Imam Muhammad Abu Zahrah (w.
1394 H), misalnya, berpendapat bahwa al-Hasan al-Basri tidak pernah
meninggalkan satu kitab pun dan kita tidak pernah melihat adanya kitab yang
ditulisnya, sedang pendapat-pendapatnya yang kita lihat sekarang ini
disampaikan melalui riwayat para muridnya. Berbeda dengan Abu Zahrah, Ibnu
Nadim berpendapat bahwa al-Hasan alBasri pernah menulis buku tentang tafsir
dan risalah tentang jumlah ayat yang berjudul al-‘Adad atau ‘Adad Ayi al-
Qur’an al-Karim (Jumlah Ayat-Ayat AlQur’an). Risalah-risalah yang pernah
ditulisnya ialah;
(1) al-Ihklas (keikhlasan)
(2) Risalah mengenai jawabannya terhadap Khalifah Abdul Malik ibn
Marwan
(3) Risalah Fada’il Makkah wa as-Sakan fih (Keutamaan Mekah dan
Ketenangan di Dalamnya), yang menurut Ahmad Ismail al-Basit
merupakan risalahnya satusatunya (naskah aslinya telah diedit oleh
Dr. Sami Makki al-Ani, guru besar kebudayaan Islam di Universitas
Kuwait, dan telah diterbitkan pada 1980 oleh Maktabah al-Fallah,
Kuwait); dan
(4) Risalah Faraid ad-Din (Kewajibankewajiban terhadap Agama) yang
naskahnya masih tersimpan di Maktabah alAuqaf, Baghdad. Selain
itu, di Maktabah Taimur, Cairo, masih terdapat beberapa manuskrip
tersebut ialah Syurut al-Imamah (Syarat-syarat bagi Pemimpin),
Wasiyyah an-Nabi li Abi Hurairah (Wasiat Nabi Muhammad SAW
kepada Abu Hurairah), dan al-Istigfarat al-Munqizat min an-Nar
(Berbeda Istigfar yang dapat menyelamatkan dari Neraka).
Untuk mengembangkan ilmu yang pertama diterimanya, ia membuka
Madrasah al-Hasan al-Basri, yaitu sebuah forum khusus untuk berdiskusi
dan inilah ia mengajarkan berbagai ilmu keislaman. Di antara murid-
muridnya ialah Wasil ibn Atha (tokoh Muktazilah, w. 131 H), Amr ibn Ubaid

11
(tokoh Muktazilah,w. 145 H), Ma’bad al-Jahani (w. 80 H), Gailan ad-
Dimasyqi (w. 105 H), dan Qatadah ibn Di’amah as-Sadusi al-Basri (w. 118 H).
Murid-muridnya yang lain ialah Hamid at-Tawil (ulama dan penghafal hadis, w.
143 H), Bakr ibn Abdullah al-Muzani (seorang faqih Basrah, w. 108 H),
Sa’ad ibn Iyas (seorang faqih Basrah, w. 144 H), Malik ibn Dinar (seorang
ulama dan zuhud, w. 127 H), dan Muhammad ibn Wasi’ al-Azadi al-Basri (ahli
kiraat dan ulama Basra, w. 123 H).
Para ahli kalam memandangnya sebagai salah seorang pemuka
Muktazilah, karena ia berbicara tentang masalah al-qada wa al-qadar (ketentuan
dan takdir Allah) yang didasarkan pada pandangan bahwa manusia
mempunyai kebebasan berkehendak. Di samping itu ia dikenal sebagai ahli
fiqih dan tafsir. Keilmuannya dalam dua bidang yang disebut terakhir diakui oleh
banyak ulama, antara lain oleh Anas ibn Malik dan Ja’far as-Sadiq (imam mazhab
Ja’fari).6 Ia menyampaikan pesan-pesan pendidikannya melalui dua cara. Pertama,
ia mengajak murid-muridnya untuk menghidupkan kembali kondisi masa
salaf, seperti yang terjadi pada masa para sahabat Nabi SAW, terutama pada masa
Umar ibn Khattab, yang selalu berpegang kepada Kitabullah dan sunah
Rasulullah SAW. Kedua, ia menyeru murid-muridnya untuk bersikap zuhud
dalam menghadapi kemewahan dunia. Zuhud menurut pengertiannya ialah tidak
tamak terhadap kemewahan dunia dan tidak pula lari dari soal dunia, tetapi
selalu merasa cukup dengan apa yang ada.
2. Pemikiran dan karya Tasawuf Rabi’ah al-‘Adawiyyah
Sebagaimana yang disampaikan oleh Ibrahim Ibrahim Muhammad Yasin, bahwa
Rabi’ah al-‘Adawiyah termasuk sufi peletak dasar tasawuf falsafi tahap awal sebelum
kemudian berkembang pada abad keenam dan ketujuh melalui pionernya, yaitu Ibn
‘Arabi.7 Rabi’ah al-‘Adawiyah merupakan sufi perempuan yang terkenal dengan konsep
mahabbah Ilahi-nya. Untuk mencapai tingkatan tertinggi sampai pada tingkat
mahabbahdan makrifat, Rabi’ah menempuh berbagai jalan atau tingkatan sebagaimana

6
Ibid, Hal 181
7
brahim Muhammad Yasin, Al-Madkhal ila Tasawwuf al-Falsafi, Kuwait: Muntada Sur al-Azbakiyyah, Tahun 2002

12
para sufi lainnya. Meskipun demikian, Rabi’ah memiliki beberapa cara yang lain dengan
beberapa sufi.8
Tahap pertama yang harus dilalui seseorang, menurut Rabi’ah al-‘Adawiyah,
adalah berlaku zuhud. Hal ini berbeda dengan kebanyakan sufi yang mengatakan bahwa
tahap pertama adalah taubat. Meski demikian, Rabi’ah tidak menafikan taubat sebagai
sesuatu yang harus dilakukan seseorang. Namun, bagi Rabi’ah, taubat orang yang
melakukan maksiat itu berdasar pada kehendak Allah Swt.9 Cerita tentang kezuhudan
Rabi’ah al-‘Adawiyah tercermin dari sikapnya yang menghindari dunia.
Tahap yang kedua adalah Rida. Dengan usaha yang terus-menerus, Rabi’ah
meningkatkan martabatnya dari tingkat zuhud hingga mencapai tingkat Rida. Jiwa yang
Ridaadalah jiwa yang luhur, menerima segala ketentuan Allah Swt., berbaik sangka pada
tindakan dan Keputusan-Nya, serta meyakini firman-Nya.
Tahap ketiga setelah Ridaialah Ihsan, yaitu melakukan ibadah seakan-akan dapat
melihat Allah Swt., atau kalau tidak bisa setidaknya merasa bahwa dirinya dilihat oleh
Allah Swt. Suatu saat Rabi’ah pernah ditanya: “Kamu beribadah kepada Allah Swt.,
apakah kau dapat melihat-Nya?” ketika itu Rabi’ah menjawab: “Kalau aku tak bisa
melihat-Nya, tentu aku tak akan beribadah pada-Nya. Farid al-Din Attar kemudian
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan melihat oleh Rabi’ah itu bukanlah melihat
dengan mata tetapi melalui kashafiyah. Setelah ketiga tahapan itu dicapai, barulah
seseorang bisa mencapai tahap mahabbah.
Sebagaimana dikutip oleh Hamka, Mustafa Abd al-Raziq pernah berkata bahwa
sebelum Rabi’ah, tasawuf itu masih bersifat sederhana. Belum ada metode atau tahapan-
tahapan tertentu. Maka, tepat jika dikatakan Rabi’ah ini adalah guru bagi para sufi yang
datang setelahnya.10
Konsep yang dikembangkan oleh Rabi’ah adalah mahabbah Ilahiyah(cinta Ilahi)
nya. Rabi’ah sendiri, sebagaimana disampaikan oleh Muhammad Atiyyah Khamis, telah
memperluas makna atau lingkup mahabbah Ilahiyah-nya. Dahulu Rabi’ah mencintai
Allah karena mengharapkan surga-Nya, atau karena takut neraka-Nya sehingga ia selalu
8
Sururin, Rabi’ah al-’Adawiyah Hub Bal-Ilahi: Evolusi Jiwa Manusia Menuju Mahabbah dan Makrifah, 2nd
edition, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Tahun 2002
9
Farid al-Din ‘Attar Naisaburi, Tazkirat al-Auliya’, Markaz Tahqiqat, Tahun 2008, Hal 105
10
Hamka, Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya, Edisi ke-19, Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, Tahun 1994,
Hal 76.

13
berdoa: “Ya Tuhan, apakah Engkau akan membakar hamba-Mu di dalam neraka, yang
hatinya terpaut pada-Mu, yang lidahnya selalu menyebut-Mu, dan hatinya selalu
bertakwa pada-Mu?” Setelah menyadari bahwa cinta yang seperti itu adalah cinta yang
sangat sempit, ia kemudian meningkatkan cinta Allah dan mencintai Allah itu bukan
karena apa-apa, karena memang Allah patut dicintai.11 Doanya yang paling populer
berkenaan dengan hal ini sebagaimana berikut yang Artinya: “Ya Tuhan, jika aku
beribadah kepada-Mu karena takut neraka-Mu, maka bakarlah aku dengan api neraka.
Atau jika aku beribadah kepada-Mu karena mengharap surga-Mu, maka haramkanlah
surga atas diriku. Tetapi, jika aku beribadah kepada-Mu hanya demi Engkau, maka
janganlah Kau tutup Keindahan Wajah-Mu”.
Cinta Rabi’ah kepada Allah Swt. adalah cinta yang tulus, dan bukan karena surga
ataupun neraka. Bahkan suatu saat ketika Rabi’ah sakit, ia ditanya tentang sebab
penyakitnya. Lalu, Rabi’ah menjawab bahwa penyebab sakitnya adalah karena tergoda
oleh surga sehingga ia merasa dicela oleh Tuhannya. 12
Rabi’ah adalah orang pertama yang mampu membuat pembagian mahabbah 13
(cinta) sehingga lebih mendekat pada perasaan. Cinta menurut Rabi’ah ada dua macam,
yaitu: cinta karena dorongan hati belaka, dan cinta yang didorong karena hendak
membesarkan dan mengagungkan. Rabi’ah mencintai Allah karena ia merasakan dan
menyadari betapa besarnya nikmat dan kekuasaan-Nya, sehingga cintanya menguasai
seluruh lubuk hatinya. Ia mencintai Allah karena hendak mengagungkan dan
memuliakan-Nya.14
Selayaknya orang yang sedang dimabuk cinta, Rabi’ah sering kali menciptakan
syair-syair cinta yang ditujukan kepada Allah Swt. Di antara syair cintanya yang terkenal
adalah:
Artinya:
Aku mencintai-Mu dengan dua cinta
Cinta karena hasrat diriku kepada-Mu
11
Muhammad Atiyyah Khamis, Rabi’ah al-’Adawiyah, terj. Aliudin Mahjuddin, Jakarta: Pustaka Firdaus, Tahun
1994, Hal 59
12
‘Abd al-Karim bin Hawazin bin Abd al-Malik al-Qushairi, Al-Risalah al-Qushairiyah, Vol. 2, Kairo: Dar al-Ma’arif,
n.d., Hal 413.
13
Harun Nasution, Falsafat dan mistisisme dalam Islam: Falsafat Islam - Mistisisme Islam – Tasawuf, Jakarta:
Bulan Bintang, Tahun 2010, Hal 55.
14
Ibid, Hal 62

14
Dan cinta karena hanya Engkau yang memilikinya
Dengan cinta hasrat, aku selalu sibuk menyebut nama-Mu
Dengan cinta karena diri-Mu saja, dan tidak yang lain
Karena aku berharap Engkau singkapkan Tirai Wajah-Mu
Agar aku bisa menatap-Mu
Tak ada puja-puji bagi yang ini atau yang itu
Seluruh puja-puji hanya untuk-Mu saja.15
Begitu sangat cintanya Rabi’ah kepada Allah Swt., hingga ia tidak merasa sedikit
pun benci kepada setan, sebab di dalam hatinya sudah tak ada lagi ruang kosong yang
tersisa untuk mencintai selain-Nya. Bahkan, suatu saat Rabi’ah bermimpi bertemu
Rasulullah Saw. Lalu, ia ditanya apakah Rabi’ah mencintai Rasulullah Saw.? Rabi’ah
pun menjawab bahwa cintanya kepada Allah Swt. telah memalingkan cintanya maupun
bencinya kepada makhluk.16
Terkait landasan teologis konsep mahabbahini, Nasution mengatakan bahwa
konsep mahabbah ini mempunyai dasar yang kuat baik dari al-Qur’an maupun al-Hadis.
Di antaranya QS. al-Ma’idah ayat 54, QS. Ali Imran ayat 31, serta hadis berikut artinya:
“Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan perbuatan-perbuatan baik,
hingga Aku cinta padanya. Orang yang Kucintai menjadi telinga, mata, dan tangan-
Ku”.17
Inilah jalan sufi yang ditempuh oleh Rabi’ah al-‘Adawiyah yang selalu berusaha
mewujudkan ide tasawuf berupa konsep mahabbah Ilahiyahini kepada generasi Muslim
sesudahnya sehingga mampu mengangkat derajat mereka dari nafsu rendah. Sebagaimana
diketahui bahwa kondisi masyarakat Basrah pada saat itu sedang terlena dalam kehidupan
duniawi, berpaling dari Allah dan menjauhi orang-orang yang mencintai Allah, serta
menjauhi segala sesuatu yang bisa mendekatkan diri pada Allah Swt. Dengan terangkat
jiwanya, mereka mendapatkan kedudukan tinggi. Rabi’ah mendidik manusia dengan
akhlak yang mulia dan mengajarkan pada manusia arti cinta Ilahi, bahkan tidak jarang

15
Abd al-Rahman Badawi, Shahidah al-'Ishq al-Ilahi Rabi`ah al-'Adawiyyah, 2nd edition, Kairo: Maktabah al-
Nahdah al-Misriyyah, Tahun 1962, Hal 64
16
Ibid, Hal 105
17
Ibid, Hal 56

15
menyenandungkannya dalam bentuk syair agar dapat membangkitkan minat mereka pada
cinta Ilahi.18
3. Pemikiran dan Karya Tasawuf Al-Ghazali
Al-Ghazali juga melakukan kajian yang mendalam pada sejumlah pemikiran
dalam berbagai bidang yang berkembang pada masanya, yang kemudian
melahirkan beberapa kritiknya terhadap empat kelompok aliran pemikiran yang sedang
berkembang pada masa itu, yakni teolog, filsuf, aliran batiniyah, dan kaum sufi. 19
Setelah rampung mengkritik para teolog, filsuf dan penganut aliran batiniah,
AlGhazali mulai mengkaji karya-karya sufi secara mendalam. Akhirnya, ia tertimpa
krisis psikis yang sangat kronis, karena ia tahu betapa senjangnya antara kehidupan sufi
dan jalan yang ditempuhnya saat itu; yang prestisius, mencari ketenaran dan
kekayaan. Krisis ini berlangsung selama enam bulan dan membuatnya menjadi sangat
lemah. Agaknya, hal tersebut timbul karena ia hendak bertindak jujur terhadap dirinya
sendiri. Ia sadar bahwa motivasinya mengajar ilmu-ilmu, pada awalnya, tidak lain adalah
hanyalah untuk memperoleh jabatan dan membuatnya terkenal, yang ia sadari betapa
lemahnya dan rendahnya motivasi itu. Untuk itu, ia berusaha melepaskan diri dari sikap
yang demikian.
Akibat krisis ini, Al-Ghazali meninggalkan kedudukannya sebagai guru besar di
perguruan al-Nizamiyah pada tahun 488H/1095 M. Ia berhenti mengajar dan ber-
uzlahselama sepuluh tahun. Sejak pengunduran diri hingga saat wafatnya, Al-
Ghazali menjalani kehidupan sederhana sebagai seorang sufi, di samping selingan
aktifitas belajar dan menyusun sejumlah kitab.
Al-Ghazali memilih tasawuf Sunni yang berdasarkan Al-qur’an dan sunnah Nabi
ditambah dengan doktrin Ahl As-Sunnah Wa Al-Jama’ah. Dari paham tasawufnya itu, ia
menjauhkan semua kecendrungan gnostik yang memengaruhi para filsuf Islam, seperti
sekte Isma’iliyyah, Syi’ah, dan Ikhwan Ash-Shafa. Ia menjauhkan tasawufnya dari
paham ketuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan. Itulah sebabnya, dapat
dikatakan bahwa tasawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak Islam. Corak tasawufnya
adalah psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral. Hal ini dapat dilihat

18
Ibid, Hal 51
19
Ida Faridatul Hasanah, Fitriyah, Konsep Ajaran Tasawuf: Studi Perbandingan Pemikiran Al-Ghazali dan Rabi’ah
Adawiyah, Attanwir : Jurnal Keislaman dan Pendidikan, Volume 13 (2) September (2020), Hal 68-70

16
dalam karya-karyanya, seperti Ihya’ Ulum Ad-din, Minhaj Al-Abidin, Mizan
Al-‘Amal, Bidayah AlHidayah, Mi’raj As-Salikin, dan Ayyuha Al-Walad.
Menurut Al-Ghazali, jalan menuju tasawuf dapat dicapai dengan cara mematahkan
hambatan-hambatan jiwa dan membersihkan diri dari moral yang tercela, sehingga kalbu
lepas dari segala sesuatu selain Allah dan selalu mengingat-Nya. Ia berpendapat bahwa
sosok yang terbaik, jalan mereka adalah yang paling benar, dan moral mereka
adalah yang paling bersih. Sebab, gerak dan diam mereka, baik lahir maupun batin,
diambil dari cahaya kenabian. Selain cahaya kenabian di dunia ini tidak ada lagi cahaya
yang lebih mampu memberi penerangan.
Keyakinan orang awam dibangun atas dasar taqlid dengan hanya mengikuti
perkataan orang bahwa si fulan ada di rumah, tanpa diselidiki lagi. Bagi ulama keyakinan
adanya si fulan di rumah di bangun atas dasar tanda-tanda, seperti suaranya yang
terdengar walaupun tidak kelihatan orangnya. Sementara orang arif tidak hanya
melihat tandatandanya melalui suaranya di balik dinding. Lebih jauh dari itu, ia pun
memasuki rumah dan menyaksikan dengan mata kepalanya bahwa si fulan benar-benar
berada di dalam rumah.
Ma’rifat seorang sufi tidak dihalangi hijab, sebagaimana ia melihat si fulan ada di
dalam rumah dengan mata kepalanya sendiri. Ringkasnya, ma’rifat menurut Al-Ghazali
tidak seperti ma;rifat menurut orang awam ataupun ma’rifat ulama atau
mutakallim, tetapi ma’rifat sufi yang dibangun atas dasar dzauq rohani dan kasf
Ilahi. Ma’rifat semacam ini dapat dicapai oleh para khawash auliya’ tanpa melalui
perantara, langsung dari Allah SWT. Sebagaimana ilmu kenabian yang diperoleh
langsung dari Tuhan walaupun dari segi perolehan, ilmu ini berbeda antara nabi dan
wali. Nabi Muhammad SAW. mendapat ilmu Allah SWT melalui perantara malaikat,
sedangkan wali mendapat ilmu melalui ilham. Sekalipun demikian, keduanya sama-
sama memperoleh ilmu dari Allah SWT.
Menurut al-Ghazali, setiap amalan yang dijalankan oleh seorang salik
memiliki bidayah dan nihayah. Nama lain dari bidayah adalah syari’at dan thariqat,
sementara nihayah disebut dengan hakikat. Syari’at adalah lahiriyah hakikat, sedangkan

17
hakikat adalah bathin syari’at. Keduanya saling berhubungan seperti dua sisi mata uang
yang tak bisa dipisahkan. Syari’at tanpa hakikat hampa, hakikat tanpa syari’at batil.20
4. Pemikiran dan Karya Tasawuf Ibn ‘Arabi
a). Pemikiran Ibn ‘Arabi
Tentang bab hikmah penciptaan manusia pertama, Adam a.s, misalnya, menurut
Ibn ‘Arabi, mengandung unsur “penyatuan” antara nilai-nilai Ilahi dengan wujud
manusia. Sebagian orang kemudian memahaminya sebagai wahdat al-wujud,manusia
citra/cermin Tuhan, insan kamil, dan lain sebagainya.
Ketika Realitas ingin melihat esensi nama-nama-Nya yang indah atau ingin
melihat esensi-Nya dalam sebuah objek inklusif yang meliputi seluruh perintahNya,
yang didasarkan pada eksistensi, Dia akan memperlihatkan rahasi Diri-Nya kepada-
Nya.21
Adam adalah prinsip refleksi untuk cermin dan ruh dari bentuk (Tuhan)… 22
Semua nama yang membentuk Citra Allah memanifestasi dalam formasi manusia
sehingga informasi ini menempati tingkat di mana ia meliputi dan menggabungkan
semua eksistensi.23
Allah menyatukan polaritas kualitas ini hanya pada Adam, untuk membuat satu
distingsi atasnya. Kemudia, Dia mengatakan kepada Iblis: “Apa yang menghalangi
kamu bersujud kepada makhluk yang Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku?”24
Jadi, dia mengatakan dalam hadis Qudsi, “Aku adalah pendengaran dan
penglihatannya”…
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami, bahwa proses penciptaan manusia, yaitu
begitu hasil ciptaan-Nya itu berwujud, maka bersamaan dengan itu pulalah, nama
dan sifat-sifat-Nya melekat pada “hasil” ciptaan-Nya. Inilah yang ditegaskan Ibn
‘Arabi setiap kali berbicara tentang hakikat penciptaan manusia.
Konsekuensi ontologis sifat teomorfis manusia yang mencakup semua nama
Ilahi yang menampakkan dirinya pada alam sebagai keseluruhannya, adalah bahwa
ia mencakup semua realitas alam. Manusia adalah “totalitas alam” (majmu’ la-alam).
20
Ibid, Hal 68-70
21
Ibn ‘Arabi, Fushus al-Hikam, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1980, Hal 48
22
Ibid, Hal 49
23
Ibid, Hal 50
24
Ibid, 55

18
Manusia oleh Ibn ‘Arabi disebut “miniatur alam” (mukhtasar al-‘alam) atau “alam
kecil” atau “mikrokosmis” (al-‘alam al-asagir). Apabila manusia oleh Ibn ‘Arabi
disebut “alam kecil” atau “mikrokosmos”, maka alam olehnya disebut “alam besar”
atau “makrokosmos (al-‘alam al-kabir). Biasanya pula, manusia oleh sufi ini disebut
“manusia kecil” atau “mikroantropos” (alinsan al-sagir) dan alam olehnya disebut
“manusia besar” atau makroantropos (al-insan al-kabir).
Penyebutan manusia sebagai mikrokosmos dan bagian dari citra Ilahi itu jelas
merupakan sebuah anugerah yang luar biasa mulia. Mungkin hanya Ibn ‘Arabi-lah
yang mengagungkan diri manusia hingga ke tingkat tertinggi hingga berdekatan
dengan sifat Tuhan, bila dibanding dengan pemikir-pemikir lain. Di hadapan Ibn
‘Arabi, kelebihan manusia dibanding makhluk lain (binatang) tidak dipandang dari
segi kemampuannya berfikir, sebagaimana banyak diungkap oleh para ahli kalam,
kaum teolog dan pandangan umum lainnya.
Bagi Ibn ‘Arabi, perbedaan yang paling mendasar antara manusia dengan
makhluk lain (atau yang sering dibandingkan dengan binatang) bukan karena
manusia itu memiliki akal untuk berfikir dibanding dengan binatang. Tetapi tidak
lain adalah karena penciptaannya yang merupkan dari “bentuk Ilhai” (as-surah al-
ilahiyah).
Hal tersebut sesuai dengan hadis yang terkenal di kalangan sufi: “Sesungguhnya
Allah menciptakan Adam menurut bentuk-Nya” (Inna Allah khalaqa Adam ‘ala
suratihi) (H.R. Bukhari dan Muslim). Makna dari hadis ini dapat dipahami secara
letterlickdan secara nyata telah tergambar secara eksplisit, bahwa “bentuk Tuhan”
melekat pada diri manusia. Karenanya, Allah menuntun Adam sejak diciptakannya
sebagai manusia pertama layaknya seorang “ibu melahirkan bayinya”. Firmannya,
“Dia telah mengajari Adam semua nama” (Q.S. al-Baqarah: 31), dan ruh yang
ditiupkan ke dalam diri manusia pun—sebagaimana disebutkan al-Qur’an—juga
bagian dari “Ruh Tuhan” (Q.S. al-Hijr: 29).
Manusia adalah “kata” yang memisahkan (kalimah fa silah), artinya ia berdiri
sebagai batas pemisah atau pembeda antara Tuhan dan alam karena ia adalah bentuk

19
Tuhan dan alam adalah cermin yang memantulkan bentuk itu, sedangkan Tuhan
adalah Dzat yang bentuknya adalah manusia. 25
Manusia yang dimaksud oleh Ibn ‘Arabi pada ungkapan itu merujuk pada gagasan
pemikirannya yang lain, yaitu tentang manusia sempurna (insan alkamil). Benar
bahwa manusia sebagai perantara antara alam dan Tuhan, agar Dia dapat dikenal, dan
karenanya, manusia adalah sebab bagi adanya alam. Tujuan awal penciptaan alam
dan segala isinya agar Dia dapat dikenal. Karenanya, setiap makhluk merupakan
lokus penampakan diri Tuhan, dan manusia (dalam hal ini manusia sempurna)
menjadi lokus dari penampakan diri Tuhan itu secara sempurna. Hanya manusia
sempurnalah yang dapat menerima anugerah nama dan sifat-sifat Tuhan itu.
Ibn ‘Arabi mengatakan, alam adalah cermin Tuhan. Sementara alam tanpa
manusia ibarat cermin buram yang tidak dapat memantulkan gambar. Gambar Tuhan
tidak dapat dilihat dengan jelas dalam cermin seperti itu. Karenanya, perintah Tuhan
mengharuskan kebeningan cermin (alam) itu agar dapat memantulkan gambar-Nya
dengan jelas. Adam, atau manusia, adalah kebeningan cermin itu sendiri dan
sekaligus roh bentuk atau gambar. Cermin itu menjadi bening dan memantulkan
gambar Tuhan dengan jelas. 26
Itu sebabnya, menurut Masataka Takeshita, tiga dari tujuh penyebutan frase
manusia sempurna dalam Fushus al-Hikamdigunakan dengan merujuk pada Adam.
Jadi konsep manusia sempurna sangat berkaitan dengan spekulasinya atas Adam,
yang diciptakan dalam citra Tuhan sebagai wakil-Nya di muka bumi. Pantaslah
Adam (manusia) diangkat oleh Allah sebagai khalifah di muka bumi ini.
Dengan demikian, kata Ibn ‘Arabi, apa pun yang kita sifatkan kepada Tuhan,
maka manusialah sifat itu. Manusia menjadi bagian dari Tuhan, yang terpantul dari
penciptaan alam. Ia berwujud di dalam hamparan alam, yang dengannya pula
menjadi imajinasi darinya.
Kesufian Ibn ‘Arabi tidak hanya didominasi oleh pengalaman mistik
personalnya, tetapi diikuti pula oleh pengalaman dalam perjalanan bertemu dengan
orang-orang shaleh maupun berkunjung ke tempat-tempat suci. Karena itulah, setelah

25
Kautsar Azhari Noer, Ibn al-‘Arabi, Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, Jakarta: Paramadina, 1995, Hal 123-
124
26
Ibid, Hal 127

20
banyak melakukan perjalanan, ia menerima undangan dari alMalik al-Adil,
(penguasa keturunan Salahuddin al-Ayyubi) agar tinggal di Damaskus.Al-Asyraf,
setelah ayahnya al-Adil meninggal terus mendukung Ibn ‘Arabi. Sang guru
menggunakan waktunya menyelesaikan al-Futuhat al-Makkiyah(Penyingkapan-
Penyingkapan yang Diterima di Makkah) dan kumpulan puisi utamanya, ad-Diwan.
Pada masa inilah ia juga menulis Fushus al-Hikamsebagai ringkasan dari ajaran-
ajarannya.
Kitab Fushus al-Hikam (Cincin Pengikat Hikmah/Untaian Mutiara
Kebijaksanaan) merupakan karya relatif lebih pendek daripada Futuhatnya, tetapi
paling banyak dibaca dan disyaraholeh pengkajinya (mungkin karena paling sulit),
serta paling berpengaruh dan paling termasyhur. Buku ini disusun pada 627 H/1229
M, sepuluh tahun sebelum ia wafat. Menurut Ibn ‘Arabi sendiri, kandungan dalam
karya ini sepenuhnya didasarkan pada ilham pengetahuan spiritualnya dari Nabi yang
memegang sebuah kitab di tangannya dan beliau memerintahkan untuk mengambil
dan membawanya ke dunia sehingga orangorang bisa mengambil manfaat darinya.
Aku melihat Rasulullah dalam suatu kunjungan kepadaku pada akhir Muharam 627
H, di kota Damaskus. Dia memegang sebuah kitab dan berkata kepadaku: “Ini adalah
kitab Fushus al-Hikam, ambil dan sampaikan kepada manusia agar mereka bisa
mengambil manfaat darinya”. Aku menjawab: “Segenap ketundukan selayaknya
dipersembahkan ke hadirat Allah dan Rasul-Nya, ketundukan ini seharusnya
dilaksanakan sebagaimana kita perintahkan”. Oleh karena itu, aku melaksanakan
keinginanku, memurnikan niat, dan mencurahkan maksudku untuk menulis
(menerbitkan) kitab ini, seperti diperintahkan sang rasul, tidak ada tambahan ataupun
pengurangan di dalamnya.
Maka dengan mempertimbangkan banyaknya kajian tentang ini, dan pengagungan
yang amat tinggi oleh para pengikut Ibn ‘Arabi—menurut Chittick, kita bisa
menerima pendapat Corbin bahwa karya ini tidak diragukan lagi merupakan tulisan
terbaik Ibn ‘Arabi tentang doktrin esoterik. Dalam pandangan Qunawi, karya itu
merupakan salah satu tulisan pendek Ibn ‘Arabi yang paling berharga. Berdasarkan
al-Qur’an dan hadis, Ibn ‘Arabi membicarakan penyingkapan hikmah Ilahi pada para
nabi, atau kalimat Tuhan sejak Adam hingga Muhammad. Dia menjelaskan bahwa

21
setiap Nabi merupakan teofani yang khas dari hikmah yang dicakup oleh asma Ilahi
tertentu.
b). Karya-Karya Tasawuf Ibn ‘Arabi
Fushus al-Hikam,sebagaimana judulnya, mengandung mutiara hikmah dari carita
cerita para nabi. Ibn ‘Arabi tidak hanya bercerita secara deskriptif dengan
menggambarkan kisah para nabi yang lazim ditulis oleh kaum teolog atau sejarawan,
tetapi sesuai kapasitasnya sebagai seorang sufi, ia juga memasukkan unsur-unsur
tasawuf mistik dalam setiap analisis yang ia bangun. Secara lengkap, judul-judul bab
dalam buku Fushus al-Hikam sebagai berikut:
1. Hikmah Keilahian dalam Firman tentang Adam
2. Hikmah Penghembusan Napas dalam Firman tentang Syis
3. Hikmah Keagungan dalam Firman tentang Nuh
4. Hikmah Kesucian dalam Firman tentang Idris
5. Hikmah Cinta yang Mempesona dalam Firman tentang Ibrahim
6. Hikmah Realitas dalam Firman tentang Ishaq
7. Hikmah Keindahan dalam Firman tentang Isma’il
8. Hikmah Ruh dalam Firman tentang Ya’qub
9. Hikmah Cahaya dalam Firman tentang Yusuf
10. Hikmah Kesatuan dalam Firman tentang Hud
11. Hikmah Pembukaan dalam Firman tentang Salih
12. Hikmah Hati dalam Firman tentang Syu’aib
13. Hikmah Kekuasaan dalam Firman tentang Lut
14. Hikmah Takdir dalam Firman tentang ‘Uzair
15. Hikmah Kenabian dalam Firman tentang ‘Isa
16. Hikmah Kepengasihan dalam Firman tentang Sulayman
17. Hikmah Wujud dalam Firman tentang Dawud
18. Hikmah Napas dalam Firman tentang Yunus
19. Hikmah yang Gaib dalam Firman tentang Ayyub
20. Hikmah Kemuliaan dalam Firman tentang Yahya
21. Hikmah Penguasaan dalam Firman tentang Zakariyya
22. Hikmah Kedekatan dalam Firman tentang Ilyas

22
23. Hikmah Kebajikan dalam Firman tentang Luqman
24. Hikmah Kepemimpinan dalam Firman tentang Harun
25. Hikmah Keunggulan dalam Firman tentang Musa
26. Hikmah Tempat Meminta dalam Firman tentang Khalid
27. Hikmah Singularitas dalam Firman tentang Muhammad

Tentang bab hikmah penciptaan manusia pertama, Adam a.s, misalnya,


menurut Ibn ‘Arabi, mengandung unsur “penyatuan” antara nilai-nilai Ilahi dengan
wujud manusia. Sebagian orang kemudian memahaminya sebagai wahdat al-
wujud,manusia citra/cermin Tuhan, insan kamil, dan lain sebagainya. Ketika Realitas
ingin melihat esensi nama-nama-Nya yang indah atau ingin melihat esensi-Nya
dalam sebuah objek inklusif yang meliputi seluruh perintahNya, yang didasarkan
pada eksistensi, Dia akan memperlihatkan rahasi Diri-Nya kepada-Nya.
Adam adalah prinsip refleksi untuk cermin dan ruh dari bentuk (Tuhan)…
Semua nama yang membentuk Citra Allah memanifestasi dalam formasi manusia
sehingga informasi ini menempati tingkat di mana ia meliputi dan menggabungkan
semua eksistensi. Allah menyatukan polaritas kualitas ini hanya pada Adam, untuk
membuat satu distingsi atasnya. Kemudia, Dia mengatakan kepada Iblis: “Apa yang
menghalangi kamu bersujud kepada makhluk yang Aku ciptakan dengan kedua
tangan-Ku?”
Jadi, dia mengatakan dalam hadis Qudsi, “Aku adalah pendengaran dan
penglihatannya”… Dari penjelasan di atas, dapat dipahami, bahwa proses penciptaan
manusia, yaitu begitu hasil ciptaan-Nya itu berwujud, maka bersamaan dengan itu
pulalah, nama dan sifat-sifat-Nya melekat pada “hasil” ciptaan-Nya. Inilah yang
ditegaskan Ibn ‘Arabi setiap kali berbicara tentang hakikat penciptaan manusia.
Pengaruh pemikiran tasawuf Ibn ‘Arabi menurut pengamatan William C.
Chittick, berdasarkan sejumlah karya populernya yang dia temukan di India, dan
menyebutnya sebagai indikasi akan pengaruh Syaikh Akbar yang begitu luas di
lingkungan masyarakat muslim seluruh dunia.
Bahkan menurut James Morris, dengan mengulang pernyataan terkenal
Whitehead tentang Plato, dan dengan derajat melebih-lebihkan yang agak serupa,

23
dapat dikatakan bahwa sejarah pemikiran Islam setelah Ibn ‘Arabi (setidaknya
hingga abad ke-18 dan saat persinggungan Islam dengan Barat modern) hanyalah
sebagai serangkaian catatan kaki terhadap karyanya.
Buku-buku Ibn ‘Arabi, seperti al-Futuhat al-Makkiyah dan termasuk Fushus
al-Hikam,berisi ensiklopedi segala persoalan sosial keagamaan, sehingga tidaklah
heran kalau pemkiran-pemikirannya memiliki relevansi sampai saat sekarang.
Ajaran-ajaran tasawuf terus dikaji dan dipopulerkan oleh generasi setelahnya, baik
oleh murid-murid setianya, maupun oleh pengkaji tasawuf, yang secara intens
mendalami ajarang sang syaikh.
Secara lebih khusus terhadap karya Fushus al-Hikam,Sadruddin al-Qunawi,
seorang murid langsung Ibn ‘Arabi menulis komentar terhadap karyanya, yang diberi
judul al-Fukuk. Dalam proses penulisannya, Qunawi mengungkapkan butir-butir
dasar yang terdapat di dalam buku. Semua komentator terkemudian memberikan
perhatian pada masalah yang dikemukan dalam tajuk-tajuk bab itu, dan sebagian
besar mengikuti acuan Qunawi.
Selain Qunawi, ada pula Mu’ayyid al-Din Jandi (murid Qunawi) yang juga
mengomentari Fushus al-Hikam. Jandi menulis sebuah buku dalam bahasa Persia dan
Arab. Ia menyatakan dalam pengantar komentarnya atas Fushus al-Hikam bahwa ia
berhutang budi dalam menulis karya itu sepenuhnya pada pengaruh spiritual
gurunya. Pada saat Qunawi mulai menjelaskan kepadanya makna pengantar buku ini,
ia melakukan control spiritual pemahaman Jandi dan mengajarainya makna
keseluruhan buku tersebut. Kemudian, Qunawi menceritakan kepadanya bahwa Ibn
‘Arabi telah melakukan hal yang sama.

24
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tokoh Tasawuf pada Masa Klasik antara lain Hasan Al-Basri, Ibrahim bin
Adhal, Rabi’ah al-Adawiyah.Tokoh Tasawuf pada masa Abad pertengahan yaitu
Ma’ruf al-Karkhi, Abu al Hasan Surri al-Saqti, Abu Sulaiman al-Darani.
Tokoh Tasawuf pada Masa Modern ada Al-Qusyairi dan Al-Ghazali. Tokoh
Tasawuf pada Masa Kontemporer Ibn Arabi, Umar Ibn Al-Faridh, Ibnu Sabi’in dan
Ibnu Masarrah
Pemikiran Dakwah dan Komunikasi Hasan Basri.
1. Pemikiran Hasan Basri
Abdul Mun’im al-Hifni, seorang ahli tasawuf Kairo, memasukkan Hasan
Basri dalam kelompok sufi besar. Dia mengatakan bahwa Hasan Basri
adalah seorang zahid yang wara’ dan komunikator yang nasihatnya menyejukkan
hati dan kalimatnya menyentuh akal rasional
Karya-Karya Hasan Basri
a. al-Ihklas (keikhlasan)
b. Risalah mengenai jawabannya terhadap Khalifah Abdul Malik ibn Marwan
c. Risalah Fada’il Makkah wa as-Sakan fih (Keutamaan Mekah dan
Ketenangan di Dalamnya),
d. Risalah Faraid ad-Din (Kewajibankewajiban terhadap Agama) yang
naskahnya masih tersimpan di Maktabah alAuqaf, Baghdad. Selain
itu, di Maktabah Taimur
e. Pemikiran dan karya Tasawuf Rabi’ah al-‘Adawiyyah
Rabi’ah adalah orang pertama yang mampu membuat pembagian mahabbah (cinta)
sehingga lebih mendekat pada perasaan.
2. Pemikiran dan Karya Tasawuf Al-Ghazali
Al-Ghazali juga melakukan kajian yang mendalam pada sejumlah pemikiran
dalam berbagai bidang yang berkembang pada masanya, yang kemudian

25
melahirkan beberapa kritiknya terhadap empat kelompok aliran pemikiran yang sedang
berkembang pada masa itu, yakni teolog, filsuf, aliran batiniyah, dan kaum sufi.
Selain Qunawi, ada pula Mu’ayyid al-Din Jandi (murid Qunawi) yang juga
mengomentari Fushus al-Hikam. Jandi menulis sebuah buku dalam bahasa Persia dan
Arab. Ia menyatakan dalam pengantar komentarnya atas Fushus al-Hikam bahwa ia
berhutang budi dalam menulis karya itu sepenuhnya pada pengaruh spiritual gurunya.
Pada saat Qunawi mulai menjelaskan kepadanya makna pengantar buku ini, ia melakukan
control spiritual pemahaman Jandi dan mengajarainya makna keseluruhan buku tersebut.
Kemudian, Qunawi menceritakan kepadanya bahwa Ibn ‘Arabi telah melakukan hal yang
sama.
B. Saran
Karena keterbatasan pengetahuan dan
pengalaman penulis, penulis yakin makalah ini belum bisa dikatakan baik dan jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran serta kritik yang
membanagun dari pembaca untuk memperbaiki makalah ini dan sebagai pembelajaran
penulis untuk kedepannya agar penulis dapat menyusun tugas maupun makalah dengan
baik lagi.

26
DAFTAR PUSTAKA

Dewan Editor.1994.Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve


Amin, samsul Munir. 2015. ilmu Tasawuf. Jakarta: Amzah
Muvid, Basyrul. 2020. Tasawuf Kontemporer. Jakarta: Amzah
Yasin, Brahim. 2002. Al-Madkhal ila Tasawwuf al-Falsafi, Kuwait: Muntada Sur al-Azbakiyyah
Sururin. 2002. Rabi’ah al-’Adawiyah Hub Bal-Ilahi: Evolusi Jiwa Manusia Menuju Mahabbah
dan Makrifah, 2nd edition, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Hamka. 1994. Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya, Edisi ke-19, Jakarta: PT. Pustaka
Panjima
Abd al-Rahman Badawi, Shahidah al-'Ishq al-Ilahi Rabi`ah al-'Adawiyyah, 2nd edition, Kairo:
Maktabah al-Nahdah al-Misriyyah, Tahun 1962, Hal 64
Faridatul Hasanah, Ida. 2020. Konsep Ajaran Tasawuf: Studi Perbandingan Pemikiran Al-
Ghazali dan Rabi’ah Adawiyah, Attanwir : Jurnal Keislaman dan Pendidikan, Volume 13
Ibn ‘Arabi, Fushus al-Hikam. 1980. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi
Azhari Noer, Kautsar. 1995. Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, Jakarta: Paramadina

27

Anda mungkin juga menyukai