Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI

TUBERKULOSIS (TBC)

Dosen Pengampu: Numlil Khaira Rusdi, M.Si., Apt.

Disusun Oleh:
Nathiratun Ni’mah 1504015254
Nia Khairani Sholeh 1504015261
Nidia Gita Prameswari 1504015262
Kelas: F2
Kelompok: 5

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI DAN SAINS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
JAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tuberculosis paru (TB paru) merupakan salah satu penyakit infeksi yang
prevalensinya paling tinggi di dunia. Berdasarkan laporan World Health Organitation
(WHO, 2012) sepertiga populasi dunia yaitu sekitar dua milyar penduduk terinfeksi
Mycobacterium Tuberculosis. Lebih dari 8 juta populasi terkena TB aktif setiap
tahunnya dan sekitar 2 juta meninggal. Lebih dari 90% kasus TB dan kematian
berasal dari negara berkembang salah satunya Indonesia (Depkes RI, 2012)
Menurut World Health Organization sejak tahun 2010 hingga Maret 2011, di
Indonesia tercatat 430.000 penderita TB paru dengan korban meninggal sejumlah
61.000. Jumlah ini lebih kecil dibandingkan kejadian tahun 2009 yang mencapai
528.063 penderita TB paru dengan 91.369 orang meninggal (WHO Tuberculosis
Profile, 2012).
Di Indonesia, tuberculosis merupakan masalah utama kesehatan masyarakat
dengan jumlah menempati urutan ke-3 terbanyak di dunia setelah Cina dan India,
dengan jumlah sekitar 10% dari total jumlah pasien tuberculosis di dunia.
Diperkirakan terdapat 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang setiap
tahunnya. Jumlah kejadian TB paru di Indonesia yang ditandai dengan adanya Basil
Tahan Asam (BTA) positif pada pasien adalah 110 per 100.000 2 penduduk
(Riskesdas, 2013).
Bakteri Mycrobacterium tuberculosis ini berbentuk batang dan bersifat tahan
asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Bakteri ini pertama
kali ditemukan oleh Robert Koch pada tahun1882 dan sering menginfeksi organ paru-
paru dibanding bagian lain tubuh manusia. Bakteri ini sering masuk dan berkumpul di
dalam paru-paru dan berkembang biak menjadi banyak (terutama pada orang dengan
daya tahan tubuh yang rendah), dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau
kelenjar getah bening. Tuberkulosis juga dapat menimbulkan TB laten Infeksi (LTBI)
atau penyakit aktif sebagai progresif yang dapat menyebabkan kerusakan progresif

1
dari paru-paru. Sehingga menyebabkan kematian pada kebanyakan pasien yang tidak
menerima pengobatan.
Peningkatan jumlah kasus TB di berbagai tempat pada saat ini, diduga
disebabkan oleh berbagai hal, yaitu (1) diagnosis tidak tepat, (2) pengobatan tidak
adekuat, (3) program penanggulangan tidak dilaksanakan dengan tepat, (4) infeksi
endemik HIV, (5) migrasi penduduk, (6) mengobati sendiri (self treatment), (7)
meningkatnya kemiskinan, dan (8) pelayanan kesehatan yang kurang memadai.
Tuberkulosis anak merupakan faktor penting di negara berkembang karena jumlah
anak berusia < 15 tahun adalah 40%-50% dari jumlah seluruh populasi (Kartasasmita,
2009).
Faktor risiko yang erat hubungannya dengan terjadinya infeksi TB antara lain
adalah anak yang terpajan dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB BTA
positif ), daerah endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (higiene dan
sanitasi tidak baik), dan tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara,atau panti
perawatan lain), yang banyak terdapat pasien TB dewasa aktif. Sumber infeksi TB
pada anak yang terpenting adalah pajanan terhadap orang dewasa yang infeksius,
terutama dengan BTA positif (Kartasasmita, 2009).
B. Tujuan Praktikum
Tujuan praktikum ini, yaitu:
1. Mampu menjelaskan patofisiologi dan patologi klinik penyakit TB (etiologi,
manifestasi klinis, interpretasi data laboratorium, dan patogenesisnya).
2. Mampu menjelaskan tipe-tipe penyakit TB beserta alogritma terapinya.
3. Melakukan tahap-tahap identifikasi DRP pada pasien TB.
4. Mampu memberikan solusi pada DRP yang ditemukan.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Penyakit
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Dapat menghasilkan infeksi yang tenang, laten, serta
penyakit progresif dan aktif. Secara global, 2 miliar orang terinfeksi dan sekitar 2 juta
orang meninggal akibat TB setiap tahun. M. tuberculosis ditularkan dari orang ke
orang dengan batuk atau bersin. Kontak dekat pasien TB kemungkinan besar
terinfeksi (Dipiro 2015). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya (Kemenkes RI 2011)
B. Epidemiologi
Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun
2001 didapatkan bahwa penyakit pada sistem pernapasan merupakan penyebab
kematian kedua setelah sistem sirkulasi. Pada SKRT 1992 disebutkan bahwa penyakit
TB merupakan penyebab kematian kedua, sementara SKRT 2001 menyebutkan
bahwa TB adalah penyebab kematian pertama pada golongan penyakit infeksi. Pada
tahun 2004 WHO memperkirakan setiap tahunnya muncul 115 orang penderita TB
paru menular (BTA+) pada setiap 100.000 penduduk. Saat ini Indonesia masih
menduduki urutan ke-3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan China.
(PDPI Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan TB di Indonesia hlm. 1).
C. Patofisiologi
Infeksi primer biasanya hasil dari menghirup droplet nuklei yang mengandung
M. tuberculosis. Perkembangan ke penyakit klinis tergantung pada tiga faktor: (1)
jumlah M. tuberculosis organisme yang dihirup (menginfeksi dosis), (2) virulensi
organisme-organisme ini, dan (3) respon imun seluler yang dimediasi oleh host. Jika
makrofag paru menghambat atau membunuh bacilli, infeksi akan gagal. Jika tidak,
M. tuberculosis akhirnya menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah. M.
tuberculosis paling sering menginfeksi daerah apikal posterior paru-paru, di mana
kondisi yang paling menguntungkan untuk kelangsungan hidupnya (DiPiro 2009).

3
Limfosit T menjadi aktif selama 3 hingga 4 minggu, menghasilkan interferon-
γ (IFN-γ) dan sitokin lainnya. Ini merangsang makrofag mikrobisida untuk
mengelilingi fokus tuberkulosis dan membentuk granuloma untuk mencegah
perluasan lebih lanjut. Pada titik ini, infeksi sebagian besar terkendali, dan replikasi
bacillary jatuh secara dramatis. Semua mikobakteria yang tersisa diyakini berada
terutama di dalam granuloma atau di dalam makrofag yang menghindari deteksi dan
lisis. Selama 1 sampai 3 bulan, terjadi hipersensitivitas jaringan, yang menghasilkan
tes kulit tuberkulin positif. Penyakit primer progresif terjadi pada sekitar 5% pasien,
terutama anak-anak, lansia, dan pasien dengan gangguan kekebalan. Ini muncul
sebagai pneumonia progresif dan sering menyebar, menyebabkan meningitis dan
bentuk TB berat lainnya, bahkan sebelum tes kulit mereka menjadi positif (Dipiro et
al. 2009).
D. Tanda dan Gejala
Gejala TB pada orang dewasa umumnya penderita mengalami batuk dan
berdahak terus-menerus selama 3 minggu atau lebih, batuk darah atau pernah batuk
darah. Adapun gejala-gejala lain dari TB pada orang dewasa adalah sesak nafas dan
nyeri dada, badan lemah, nafsu makan dan berat badan menurun, rasa kurang enak
badan (malaise), berkeringat malam, walaupun tanpa kegiatan, demam meriang lebih
dari sebulan (Depkes RI 2005).
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan :
1. Tanda-tanda infiltrate (redup, bronkhial, ronki basah, dan lain-lain)
2. Tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastrum.
3. Sekret disaluran napas dan ronki.
4. Saluran napas amfrotik karna adanya kavitas yang berhubungan langsung
dengan bronkys (Priyanto).
E. Diagnosis
Pemeriksaan fisik terdapat suara khas pada perkusi dada, bunyi dada, dan
peningkatan suara yang bergetar sering diamati pada auskultasi. Tes laboratorium
terjadi peningkatan pada perhitungan sel darah putih dengan dominasi limfosit,

4
pertimbangan diagnostik, buangan dahak positif, dan bronkoskopi serat optik (jika tes
sputum tidak meyakinkan dan kecurigaan tinggi) (Dipiro 2015).

Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai


keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak
untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang
dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-
Sewaktu (SPS).
• S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung
pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk
mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
• P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah
bangun tidur. Pot dahak dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di
Fasyankes.
• S (sewaktu): dahak dikumpulkan di Fasyankes pada hari kedua, saat
menyerahkan dahak pagi.
Pengambilan 3 spesimen dahak masih diutamakan dibanding dengan spesimen
dahak mengingat masih belum optimalnya fungsi sistem dan hasil jaminan mutu
eksternal pemeriksaan laboratorium (Kemenkes RI 2011 Pedoman Nasional
Pengendalian Tuberkulosis).
Pemeriksaan biakan, peran biakan dan identifikasi M. Tuberculosis pada
pengendalian TB adalah untuk menegakkan diagnosis TB pada pasien tertentu, yaitu :
pasien TB ekstra paru, pasien TB anak, dan pasien TB BTA negatif. Pemeriksaan
tersebut dilakukan jika keadaan memungkinkan dan tersedia laboratorium yang telah
memenuhi standar yang ditetapkan (Kemenkes RI 2011 Pedoman Nasional
Pengendalian Tuberkulosis).
Uji kepekaan obat TB bertujuan untuk resistensi M. Tuberculosis terhadap
OAT. Uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan di laboratorium yang tersertifikasi
dan lulus pemantapan mutu atau Quality Assurance (QA). Pemeriksaan tersebut

5
ditujukan untuk diagnosis pasien TB yang memenuhi kriteria suspek TB-MDR
(Kemenkes RI 2011 Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis).

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Anamnesis pada pemeriksaan fisik
2. Laboratorium darah urin (LED normal atau meningkat, limfositasis)
3. Foto thoraks PA dan lateral. Gambaran foto toraks yang menunjang diagnosis
TB, yaitu:
a. Bayangan lesi terletak di lapangan atas paru atau segmen apical lobus
bawah.
b. Bayangan berawan (patchy) atau bercak (nodular)
c. Adanya kavitas, tunggal atau ganda
d. Kelainan bilateral, terutama di dilapangan atas paru
e. Adanya klasifikasi
f. Bayangan menetap pada foto ukang beberapa minggu kemudian
g. Banyang milier

4. Pemeriksaan sputum BTA


Pemeriksaan sputum BTA memastikan diagnosis TB paru, namun pemeriksaan
ini tidak sensitive karena hanya 30-70 persen pasien TB yang dapat didiagnosis
bedasarkan pemeriksaan ini.
5. Tes PAP (peroksidase anti peroksidase)
Merupakan uji serologi imunoperoksidase memakai alat histogen
imunoperoksidase staning untuk menentukan adanya IgG spesifik terhadap basil
TB
6. Tes mantoux/ tuberculin
7. Teknik polymerase chain reaction

6
Deteksi DNA kuman secara spesifik melalui aplifikasi dalam berbagai tahap
sehingga dapat mendeteksi meskipun hanya ada 1 mikroorganisme dalam
specimen. Juga dapat mendeteksi adanya resistensi
8. Becton Dickinson Diagnostik Instrumen System (BACTEC)
Deteksi grouth index bedasarkan CO2 yang dihasilkan dari metbolisme asam
lemak oleh M. Tuberculosis

9. Enzyme Linked immunosorbent Assay


Deteksi respon humoral memakai antigen-antibody yang terjadi. Pelaksanaannya
rumit dan antibody dapat menetap dlam waktu lama sehingga menimbulkan
masalah.
10. MYCODOT
Deteksi antibody memakai antigen liporabinomannan yang direkatkan apada
suatu alat berbentuk seperti sisir plastic, kemudian dicelupkan dalam serum
pasien. Bila terdapat antibody spesifik dalam jumlah memadai maka warna sisir
akan berubah.
G. Algoritma Terapi

7
Di bawah ini merupakan alogaritma terapi TB menurut Kemenkes RI
(Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis) tahun 2011.

H. Pengobatan TB
Paduan pengobatan yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan
TB oleh Pemerintah Indonesia :
 Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3.
 Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3.
 Kategori 3 : 2 HRZ/4H3R3.

1. KATEGORI-1 (2HRZE/4H3R3)
• Tahap intensif terdiri dari HRZE diberikan setiap hari selama 2 bulan.

8
• Tahap lanjutan yang terdiri dari HR diberikan tiga kali dalam seminggu
selama 4 bulan.

Obat ini diberikan untuk:


 Penderita baru TB Paru BTA Positif.
 Penderita baru TB Paru BTA negatif Rontgen Positif yang “sakit berat”
 Penderita TB Ekstra Paru berat

2. KATEGORI-2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
 Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan
HRZES setiap hari. Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari.
 Tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu.

Obat ini diberikan untuk penderita TB paru BTA(+) yang sebelumnya pernah diobati,
yaitu:
 Penderita kambuh (relaps)
 Penderita gagal (failure)
 Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default).

3. KATEGORI-3 (2HRZ/4H3R3)
 Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ).
 Tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu.

Obat ini diberikan untuk:


 Penderita baru BTA negatif dan röntgen positif sakit ringan
 Penderita TB ekstra paru ringan.

9
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
A. Tanggal dan Waktu
Praktikum farmakoterapi dilakukan pada hari Jumat, 21 Oktober 2018 pukul
08.00-10.30 WIB.
B. Judul Praktikum
Judul dari praktikum ini, yaitu studi kasus Tuberkulosis.
C. Kasus dan Pertanyaan
1. Kasus
Tn HG adalah seorang pria berusia 35 tahun (TB: 175, BB: 68 kg) datang
dengan keluhan 4 minggu batuk produktif. Batuk awalnya tidak produktif dengan

10
dahak kuning setelah 2 minggu. Pasien telah mengobati sendiri dengan antitusif tanpa
resep, tanpa bantuan, dan dia mengalami hemoptisis pagi ini. Dia mengeluh demam,
menggigil, berkeringat di malam hari, dispnea saat aktivitas, kelelahan, dan
penurunan berat badan 7 kg selama 2 bulan terakhir. Pasien saat ini bekerja sebagai
buruh di proyek konstruksi rumah baru, dan beberapa rekan kerjanya memiliki gejala
pernapasan yang serupa. Pasien menikah dan memiliki tiga anak. Pasien memiliki
riwayat merokok 1-2 pack per hari dan kadang minum alkohol. Pasien tidak memiliki
riwayat penyakit kronis apapun.
Pada pemeriksaan fisik, HG adalah seorang pria yang tampak kurus dalam
gangguan pernapasan ringan. Detak jantungnya adalah 94 kali/menit, frekuensi
pernapasannya adalah 24 kali/menit, dan suhunya 38,9°C. Bunyi napas bronkial
dicatat di lobus kanan atas pada auskultasi dada, dan radiografi dada menunjukkan
infiltrat merata di lobus kanan atas.
Data laboratorium yang signifikan meliputi:
 Jumlah sel darah putih 13.200/µL (72% leukosit polimorfonuklear, 3% band, 12%
limfosit, 13% monosit)
 Jumlah sel darah merah 3,7 x 106/µL
 Hemoglobin 11,2 g/dL
 Hematokrit 34%
 Trombosit 269 103/µL
 Elektrolit serum, fungsi ginjal, dan fungs hati berada dalam batas normal.
Dokter mendiagnosis pasien tersebut TB. Pasien kemudian diberikan resep
obat sebagai berikut:
Isoniazid 300 mg 1x1 tab/hari
Rifampisin 450 mg 1x1 tab/hari
Pirazinamid 500 mg 1x1 tab/hari
Etambutol 250 mg 1x1 tab/hari
Streptomisin 1,5 g 0,75 g/hari
2. Pertanyaan
1) Tanda dan gejala apakah yang menunjukkan penyakit TB pada Tn. HG?

11
2) Faktor risiko TB apa yang dimiliki oleh pasien?
3) Berdasarkan riwayat pengobatan, termasuk tipe apakah kasus yang dialami
pasien?
4) DRP apakah yang ada pada kasus tersebut? Bagaimana solusi untuk DRP pasien
pada kasus tersebut?
5) Informasi non farmakologi yang perlu disampaikan ke pasie

12
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Tanda dan gejala apakah yang menunujukan penyakit TBC pada pasien Tn
HG?
Menurut kasus di atas, tanda dan gejala yang dialami Tn. HG yaitu
 Batuk produktif selama 4 minggu dengan dahak kuning setelah 2 minggu
 Hemoptosis
 Demam, menggigil, berkeringat di malam hari
 Dispnea saat aktivitas
 Kelelahan
 Penurunan berat badan 7 kg selama 2 bulan terakhir.
2. Faktor resiko Tb apa yang dimiliki oleh pasien?
Faktor risiko yang menyebabkan Tn. HG mengalami TB adalah karena terdapat
beberapa rekan kerja memiliki gejala pernapasan yang serupa, riwayat merokok
1-2 pack/hari dan kadang minum alkohol.
3. Berdasarkan riwayat pengobatan termasuk tipe apakah kasus TB yang
dialami pasien?
Tipe penderita TB berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, yaitu Kasus
baru
Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah mengkonsumsi OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).
4. DRP apakah yang ada pada kasus tersebut?
Tabel selanjutnya

13
Nama obat Tepat Obat Tepat dosis Rekomendasi

Isoniazid 300 Tepat Obat: Tepat Dosis: karena dosis pada pasien -
mg 1X1 tab/ 300mg/hari
hari pada Dipiro 2015
INH merupakan AHFS
salah satu obat
pada fase intensif. Terapi sehari: 5 mg/kg/hari (dosis biasa: 300
mg/hari)

- Untuk terapi sehari/ seminggu: 5mg/kg (max.:


900 mg).

Rifampicin Tepat Obat: Tidak Tepat Dosis: karena dosis pada pasien 600 mg 1 x 1
450mg 1X1 hanya 450mg/hari di bawah dosis rekomendasi tab/hari
tab/ hari pada Dipiro 2015 yaitu max. 600mg/day
rifampicin
merupakan salah Terapi harian : 10 mg/kg/hari (max: 600
satu obat pada fase mg/hari) (AHFS 2011)
intensif.
10 mg/kg/day, max 600 mg/day (DIH ed 17)

Pirazinamid Tepat Obat: Tidak Tepat Dosis: karena dosis pada pasien 1500 mg 1 x 1
500mg 1X1 dibawah dosis rekomendasi yang seharusnya tab/hari
tab/ hari pada Dipiro 2015 yaitu 1500 mg/day
pyrazinamid
merupakan salah Terapi sehari: 15-30 mg/kg (max. 1500 mg/day
satu obat pada fase untuk BB 56-75 kg) (AHFS 2011)
intensif.
15-30 mg/kg/day, max 1500 mg/day untuk BB
56-75 Kg (DIH ed 17)

Etambutol Tepat Obat: Tidak Tepat Dosis: karena dosis pada pasien 1200 mg 1 x 1
250 mg 1X1 dibawah dosis rekomendasi yang seharusnya tab/hari
tab/ hari Pada Dipiro 2015 yaitu 1200 mg/day
etambuthol
merupakan salah Terapi sehari: Max 1200 mg/day untuk BB 56-
satu obat pada fase 75 kg (AHFS, 2011)
intensif.
15-25 mg/kg/day, max 1200 mg/day (DIH ed
17)

Sterptomisin Tidak tepat obat Tidak tepat dosis karena karena tidak tepat obat
1.5 g , 0.75 alasan karena
gram / hari streptomisin
digunakan pada
kategori 2

14
sedangkan pasien
masuk ke
pengobatan
kategori 1

Interaksi obat dari obat-obat tersebut menurut Medscape yaitu, risiko


hepatotoksik lebih besar ketika lebih besar ketika Rifampisin dan Isoniazid diberikan
bersamaan daripada ketika diberikan sendiri. Rifampisin tampaknya mengubah
metabolisme Isoniazid dan meningkatkan jumlah metabolit beracun. Pasien lanjut
usia, mengalami gangguan hati, adalah asetilator Isoniazid yang lambat,minum
alkohol setiap hari, berjenis kelamin perempuan, atau menggunakan agen
penginduksi CYP450 yang kuat mungkin berisiko lebih besar mengalami
hepatotoksik.
5. Bagaimana solusi untuk DRP pada kasus tersebut?
 Streptomisin tidak perlu diberikan karena tidak sesuai kategori pengobatan
pasien.
 Untuk mengurangi efek samping dari Isoniazid yang menyebabkan kesemutan
sampai rasa terbakar di kaki dapat ditambahkan Vitamin B6 (Piridoksin) 100
mg/hari.
 Pada penggunaan rifampisin perlu penambahan suplemen hepatoprotektor
seperti curcuma tablet untuk mencegah efek samping dari rifampisin.
 Rifampisin dapat menyebabkan tidak ada nafsu makan, mual, dan sakit perut
sehingga OAT diberikan pada malam hari sebelum tidur.
 Perlu adanya perubahan aturan pemakaian/rekomendasi aturaran pakai
R/ Isoniazid 300 mg 1 dd tab/hari
R/ Rifampicin 600 mg 1 dd 1 tab/ hari

15
R/ Pirazinamid 1500 mg 1 dd 1 tab/ hari
R/ Etambutol 1200 mg 1 dd 1 tab/ hari
6. Informasi non farmakologi yang perlu disampaikan ke pasien?
Informasi non farmakologi yang perlu disampaikan ke pasien yaitu,
mengembalikan berat badan pasien ke keadaan berat badan normal, tutup mulut
saat batuk dan bersin, tidak meludah atau buang dahak sembarangan, hindari
kontak langsung dengan anak-anak karena sistem imun mereka masih belum kuat
dan cenderung lemah, biarkan sinar matahari masuk ke dalam ruangan untuk
membunuh kuman TB yang mungkin bersemayam dalam rumah. Ketika
membuka jendela, sirkulasi udara pun dapat membantu mendorong kuman-
kuman keluar rumah sehingga kuman-kuman tersebut mati ketika terpapar sinar
UV dari sinar matahari.

16
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang paling sering (sekitar 80%)
terjadi di paru-paru. Penyebabnya adalah suatu basil gram positif tahan asam dengan
pertumbuhan sangat lambat yaitu Mycobacterium tuberculosis. Biasanya penyakit ini
dapat ditularkan melalui inhalasi percikan ludah (droplet), dari satu individu ke
individu lainnya, dan membentuk kolonisasi di bronkiolus atau alveolus. Bakteri ini
juga dapat masuk ke tubuh melalui saluran cerna, melalui ingesti susu tercemar yang
tidak dipasteurisasi, atau kadang-kadang melalui lesi kulit. Bakteri ini merupakan
bakteri basil yang sangat kuat sehingga memerlukan waktu lama untuk
mengobatinya.
Dalam kasus ini, pasien berumur 35 tahun dan dilihat dari gejala serta
pemberian obat-obat dalam resep maka pasien ini mengalami penyakit Tuberkulosis
kategori 1 dengan kasus baru, alasannya karena pasien belum pernah mengonsumsi
OAT apapun. Pada kasus Tn. HG, Streptomisin tidak diperlukan pada pengobatan,
karena Streptomisin tidak termasuk kedalam OAT kategori 1 yang diberikan pada
pasien TB baru. Selain itu isoniazid sudah tepat tapi rifampisin, ethambutol dan
pirazinamid tidak tepat dosis sehingga perlu adanya perbubahan dosis dalam
penggunaannya untuk mencapai efek terapi yang maksimal sesuai berat badan pasien.

17
DAFTAR PUSTAKA

AHFS. 2011. Drug Information Essentials. USA: American Society of Health-


System Pharmacists.

American Pharmacist Association. 2007. Drug Information Handbook 17th Edition.

Departemen Kesehatan RI. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Tuberkulosis.


Jakarta: Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.

DiPiro J.T., Robert L.T., Gary C.Y., Gary R.M., Barbara G.W., L.M. Posey. 2005.
Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach. USA: The McGraw-Hill
Companies. Ohio: Lexi-Comp Inc.

DiPiro J.T., Barbara G.W., Terry L.S., C.V. DiPiro. 2009. Pharmacotherapy
Handbook 7th Edition. USA: The McGraw-Hill Companies.

DiPiro J.T., Barbara G.W., Terry L.S., C.V. DiPiro. 2015. Pharmacotherapy
Handbook 9th Edition. USA: McGraw-Hill Education.

Kementrian Kesehatan RI. 2011 .Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.


Jakarta: Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan.

Priyanto. 2008. Farmakoterapi dan Terminologi Medis. Jakarta : Lembaga Studi dan
Konsultasi Farmakologi (Leskonfi).

_______. 2015. Tuberkulosis Temukan Obati Sampai Sembuh. Jakarta: PUSDATIN.


Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2006. Pedoman Penatalaksanaan TB
(Konsensus TB). Jakarta: PDPI.

18

Anda mungkin juga menyukai