Anda di halaman 1dari 2

Tema :

Nama : Steffani Sarah Pratiwi M


“Inklusi Politik dalam Pilkada NPM : 3014210416
2018”
Matkul/kelas : HAD / G

Menurut saya, Inklusif politik dalam Pilkada telah menunjukan kerjanya


walaupun tidak ada perubahan yang signifikan dari Pilkada sebelumnya. Hal ini
bisa dilihat persentase pengusahan masih berdominasi dan juga petahanan di
Pilkada 2018 meningkat sebagai tanggung jawab untuk memenangkan pilkada di
daerah tersebut karena memiliki tingkat popularitas yang tinggi dan sumber daya
yang lebih memadai. Hal ini menjelaskan demokrasi kita masih terbilang mahal
dan partai politik mendukung petahanan karena kekuatiran akan kehilangan basis
pemilu 2019 yang akan datang. Menjadikan keberadaaan pasangan calon tunggal
pun kian mapan. Banyak daerah-daerah yang memiliki dominasi partai politik
yang kuat menunjukan pola-pola yang mendorong terciptanya calon tunggal yang
berada di daerah yang memiliki dominasi partai politik yang kuat.

Kehadiran kelompok-kelompok yang rentan seperti penyandang


disabilitas, marjinal, pengungsi dan perempuan sebagai peserta pilkada masih
tergolong rendah dan hampir tidak diperhatikan oleh Pilkada. Pasal 13 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menyebutkan hak
politik penyandang disabiltas, diantaranya hak untuk memilih dan dipilih dalam
jabatan publik, menyalurkan aspirasi politik baik tertulis maupun lisan ; memilih
partai politik dan/ atau individu yang menjadi peserta dalam pemilihan umum
pada semua tahap dan/atau bagian penyelenggaraannya. Namun menjelang
Pilkada 2018, ketiadaan perwakilan penyandang disabilitas menjadi kandidat,
sejak awal sudah ditutup dengan adanya keputusan KPU Nomor 231 Tahun 2017
dan bagi penyandang disabilitas mental dicabut hak konstitual pemilih dalam UU
Pilkada Nomor 8 Tahun 2015 ayat ( 3) huruf ( a ). Dalam hal ini penyandang
disabilitas mental masih menghadapi sejumlah tantangan. Selain stigma, mereka
juga mengalami diskirminasi terkaitan pemenuhan hak inidividu untuk dipilih
dalam Pilkada 2018. Bentuk diskriminasi dimaksud termuat dalam Surat
Keputusan (SK) Nomor 231/PL.03.1-kept/06/KPUXII/2017 yang mengatur
tentang petunjuk Teknik standar kemampuan jasmani dan rohani, standar
pemeriksaan kesehatan jasmani dan rohani, serta bebas narkotika pada pemilihan
kepala daerah ( Pilkada ). Ketentuan KPU Nomor 231ini sangat diskriminatif dan
sengaja langsung akan menggugurkan calon penyandang disabilitas, terkhusus
kepada penyandang disabilitas mental yang diharuskan memiliki dokumen syarat
kesehatan mental yang dibutuhkan. Dengan kata lain, tidak semua penyandang
disabilitas menderita sakit mental tapi dalam Ketentuan KPU Nomor 231 telah
menggeneralisir semua penyandang disabilitas seakan menderita sakit mental.
Harusya ketentuan KPU secara langsung bertentangan dengan peraturan, yakni
PKPU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan pemilihan Gebernur dan Wakil
Geburnur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota
,yang menyebutkan bahwa diperlakukan sama bagi calon penyandang disabiltas ,
termasuk penyandang disabiltas mental, yang akan dipilih pada pilkada 2018.

Hal ini terjadinya banyaknya hambatan yang mereka hadapi. Hambatan


tersebut mulai dari level konstruksi sosial hingga level kebijakan yang
menghambat masyarakat adat, perempuan, dan penyandang disabilitas untuk maju
dalam kandidat Pilkada 2018. Tantang juga dihadapi penyelenggara terkaitan
domisil pengungsi yang tidak sama dengan domsili kependudukan mereka. Dalam
hak memilih dan dipilih kelompok minoritas dan marginal, sangat jelas
keberadaaan kelompok ini sangat rentan untuk ketidak turut sertaan dalam
pemerintah. Hal ini bisa melanggar konstitusi, karena setiap warga negara berhak
untuk ikut serta dalam pemerintahan. KPU perlu melakukan langkah-langkah
strategis dan tepat guna mengantisipasi terhambatnya partisipasi politik kelompok
minoritas dan marginal pada pilkada 2018.

Anda mungkin juga menyukai