“Inklusi Politik dalam Pilkada NPM : 3014210416 2018” Matkul/kelas : HAD / G
Menurut saya, Inklusif politik dalam Pilkada telah menunjukan kerjanya
walaupun tidak ada perubahan yang signifikan dari Pilkada sebelumnya. Hal ini bisa dilihat persentase pengusahan masih berdominasi dan juga petahanan di Pilkada 2018 meningkat sebagai tanggung jawab untuk memenangkan pilkada di daerah tersebut karena memiliki tingkat popularitas yang tinggi dan sumber daya yang lebih memadai. Hal ini menjelaskan demokrasi kita masih terbilang mahal dan partai politik mendukung petahanan karena kekuatiran akan kehilangan basis pemilu 2019 yang akan datang. Menjadikan keberadaaan pasangan calon tunggal pun kian mapan. Banyak daerah-daerah yang memiliki dominasi partai politik yang kuat menunjukan pola-pola yang mendorong terciptanya calon tunggal yang berada di daerah yang memiliki dominasi partai politik yang kuat.
Kehadiran kelompok-kelompok yang rentan seperti penyandang
disabilitas, marjinal, pengungsi dan perempuan sebagai peserta pilkada masih tergolong rendah dan hampir tidak diperhatikan oleh Pilkada. Pasal 13 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menyebutkan hak politik penyandang disabiltas, diantaranya hak untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik, menyalurkan aspirasi politik baik tertulis maupun lisan ; memilih partai politik dan/ atau individu yang menjadi peserta dalam pemilihan umum pada semua tahap dan/atau bagian penyelenggaraannya. Namun menjelang Pilkada 2018, ketiadaan perwakilan penyandang disabilitas menjadi kandidat, sejak awal sudah ditutup dengan adanya keputusan KPU Nomor 231 Tahun 2017 dan bagi penyandang disabilitas mental dicabut hak konstitual pemilih dalam UU Pilkada Nomor 8 Tahun 2015 ayat ( 3) huruf ( a ). Dalam hal ini penyandang disabilitas mental masih menghadapi sejumlah tantangan. Selain stigma, mereka juga mengalami diskirminasi terkaitan pemenuhan hak inidividu untuk dipilih dalam Pilkada 2018. Bentuk diskriminasi dimaksud termuat dalam Surat Keputusan (SK) Nomor 231/PL.03.1-kept/06/KPUXII/2017 yang mengatur tentang petunjuk Teknik standar kemampuan jasmani dan rohani, standar pemeriksaan kesehatan jasmani dan rohani, serta bebas narkotika pada pemilihan kepala daerah ( Pilkada ). Ketentuan KPU Nomor 231ini sangat diskriminatif dan sengaja langsung akan menggugurkan calon penyandang disabilitas, terkhusus kepada penyandang disabilitas mental yang diharuskan memiliki dokumen syarat kesehatan mental yang dibutuhkan. Dengan kata lain, tidak semua penyandang disabilitas menderita sakit mental tapi dalam Ketentuan KPU Nomor 231 telah menggeneralisir semua penyandang disabilitas seakan menderita sakit mental. Harusya ketentuan KPU secara langsung bertentangan dengan peraturan, yakni PKPU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan pemilihan Gebernur dan Wakil Geburnur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota ,yang menyebutkan bahwa diperlakukan sama bagi calon penyandang disabiltas , termasuk penyandang disabiltas mental, yang akan dipilih pada pilkada 2018.
Hal ini terjadinya banyaknya hambatan yang mereka hadapi. Hambatan
tersebut mulai dari level konstruksi sosial hingga level kebijakan yang menghambat masyarakat adat, perempuan, dan penyandang disabilitas untuk maju dalam kandidat Pilkada 2018. Tantang juga dihadapi penyelenggara terkaitan domisil pengungsi yang tidak sama dengan domsili kependudukan mereka. Dalam hak memilih dan dipilih kelompok minoritas dan marginal, sangat jelas keberadaaan kelompok ini sangat rentan untuk ketidak turut sertaan dalam pemerintah. Hal ini bisa melanggar konstitusi, karena setiap warga negara berhak untuk ikut serta dalam pemerintahan. KPU perlu melakukan langkah-langkah strategis dan tepat guna mengantisipasi terhambatnya partisipasi politik kelompok minoritas dan marginal pada pilkada 2018.