Anda di halaman 1dari 151

i

Sanksi Pelanggaran Pasarl 22:


Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002
Tentang Hak Cipta

1. Barang siapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak


melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1
(satu) bulan dan/ atau denda paling sedikit Rp.
1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling
lama 7 (tujuh) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,


mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan
atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait
sebagaidimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling
banyak Rp. 500.000.000,00 (limaratus juta rupiah).

ii
Diterbitkan atas kerja sa:

iii
Memberantas Buta Batik di negeri Batik
Oleh: Adi Kusrianto

Hak cipta ada pada penulis

Diterbitkan pertama kali oleh


Penerbit PT Elex Media Komputindo
Kelompok Gramedia, Anggota IKAPI, Jakarta 2008

iv
PRAWACANA

Masyarakat Indonesia saat ini benar-benar telah mencintai Batik


sebagai salah satu warisan budaya bangsa dari masa lalu yang patut
dibanggakan. Atau sebaliknya, kalau orang Indonesia tidak cinta
batik mereka akan malu sebagai bangsa Indonesia, karena batik
sudah menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Oleh karenanya mereka
berusaha mencintai batik,
sekalipun masih banyak yang
tidak paham, apa yang
mereka sebut batik.
Menurut anggapan banyak
orang (awam), batik adalah
“kain tradisional khas Indo-
nesia!” Yah, kurang lebih
hanya seperti itu. Jadi kain
apapun kalau khas Indonesia
itu Batik. Begitu cintanya
pada kain tradisional yang
mencirikan sebagai orang
Indonesia, yaitu batik, maka
kain jumputan (tie dyeing)
pun disebut batik. Tidak
tanggung-tanggung, di daerah
Nganjuk pernah disebut
bahwa Batik Khas Nganjuk Gambar No 1 : Iklan yang dimuat
ternyata tie dyeing1 (data ini pada situs http://rumahbatiknganjuk.
saya peroleh saat melakukan blogspot.com/2016/03/batik-khas-
nganjuk.html

1
Saya mendapati batik khas Nganjuk yang saat itu di display di Dekranaska
Jatim, Jl. Kedungdoro adalah kain jumputan.

v
riset penulisan buku “Keeksotisan Batik Jawa Timur” yang saya
susun bersama Doktor Yusak Anshori dan diterbitkan Elex Media
Komputindo 2011), praktis saat itu Nganjuk saya lewati sebagai
daerah batik Jawa Timur. Padahal konon Nyai Majapahit yang
membawa batik Majapahit ke Juwana pada saat pelariannya itu
berasal dari Anjuk Ladang yang sekarang bernama Nganjuk. Jadi
disayangkan kalau orang Nganjuk zaman now tidak paham batik.
Iklan-iklan batik khas Nganjuk yang menyebut sebagai kota Angin
itu nyata-nyata kain jumputan (celup ikat/ tie dyeing) dan tidak ada
pihak-pihak yang merasa berkepentingan untuk meluruskan.

Bukan hanya Nganjuk yang mudah-mudahan saat ini sudah


menyadari kekeliruan ini lalu benar-benar punya batik motif khas
Nganjuk, tetapi jumputan ala Kalimantan juga disebut Batik
Sasirangan, batik khas Kalimantan. Padahal secara definitif,
Sasirangan menurut Wikipedia adalah adalah kain adat suku Banjar
di Kalimantan Selatan, kain yang didapat dari proses pewarnaan
rintang dengan menggunakan bahan perintang seperti tali, benang
atau sejenisnya menurut corak-corak tertentu. Jadi sama sekali tidak
ada kosa kata yang mendefinisikan bahwa kain Sasirangan itu adalah
Batik.

vi
Gambar No 2 : Unggahan di internet yang semakin menyesatkan istilah
Batik, seolah merupakan pembenaran.

Jumputan ala Jepang juga disebut Batik Shibori. Alamaaakkk, latah


kali orang-orang kita ini.

Gambar No 3 : Batik Shibori khas dari Sleman, Jogya. Astaga!

Belakangan yang saya semakin heran munculnya tulisan yang


menyatakan batik ecoprint, atau ecoprint merupakan salah satu
jenis batik yang berasal dari alam. Astaga!!. Payahnya yang ikut

vii
menyebut istilah seperti itu justru ada yang datang dari kalangan
pengusaha batik beneran. Sungguh memprihatikan.

Gambar No 4 : Statemen yang menyebut Batik Ecoprint pun tidak


terbendung lagi, seolah ada definisi baru tentang batik.

Yang saya pernah menyaksikan, ketika mahasiswa yang dilatih


membuat ecoprint oleh Pak Prima Amri, dari sanggar batik Klampis
Ireng ternyata hasilnya tidak memuaskan, maka untuk menguatkan
disain pak Prima berinisiatif membatik bagian pinggir dari kain
ecoprint buatan mahasiswanya dengan motif pinggiran agar kain
karya mahasiswa tadi bisa dijadikan bahan busana pada tugas
semester berikutnya.
Juga Mbak Naning Gustiningtiyas, pembatik trah Lasem yang
belakangan banyak memberikan pelatihan Ecoprint bercita-cita
(baru cita-cita lho) untuk menyempurnakan hasil ecoprint-nya yang
ornamen-ornamen hasil dari dedaunan dirasa kurang keren, akan
diperkuat dengan teknik membatik. (Ini sah-sah saja, seperti

viii
menguatkan motif ecoprint dengan sulaman/ bordiran, lukisan dll
kreasi). Nah, kedua contoh diatas itu beda. Itu memang ecoprint
yang dibatik, karena pembuatnya memang ahli batik. Beda yaaa.
Akan lebih mengenaskan lagi kalau tak lama lagi muncul statement
Eco print adalah batik alam khas Indonesia. Gubrakkkk!!!!. Bukankah
ecoprint itu sudah lama dibuat orang di Rusia, Eropa Timur, Eropa
Tengah, dan belahan dunia lain di atas kain wool. Yang beda
mungkin bentuk dedaunannya. Disana gak banyak daun jati, daun
kenikir......
Dari laman Facebook saya muncul berbagai reaksi dari para pecinta
batik:
Betul pak Adi Kusrianto masih ada kesalahpahaman soal batik.
Semoga semakin banyak yang mau meluangkan waktunya untuk
meluruskan pengetahuan soal batik. Terimakasih pak untuk
konsistensinya
Lily Hapsari (Penggiat batik, Jakarta):
“Agar masyrakat faham dan bisa membedakan mana yang batik
dan mana yang bukan, rasanya perlu ada figur yang
berkompeten membrikan pecerahan dan sosialisasi secara
gencar kepada masyarat, agar kita semua tidak mudah
dibodohin oleh orang yang hanya berambisi mencari keuntungn
saja dengan mengorbankan pengertian tentang batik.”
Ju Joemain Bedjo (Pembatik, Kediri):
“. Saya prihatin kalau orang-orang menyebut ecoprint dan tie
dyeing sebagai batik, padahal jelas-jelas Batik adalah motif
yang dibuat menggunakan canting dan malam “
Sri Kholifah, Pelatih Batik di beberapa Negara,
Ketua II Asosiasi Batik & Tenun Indonesia Bhuana Jatim

“ .Sangat disayangkan apabila masyarakat Indonesia sebagai


pemilik Batik tidak memahami apa itu batik dan melestarikan

ix
keanggunan yang dimiiki batik. Untuk melestarikan batik
sebagai warisan budaya tinggi jelas perlu pengtahuan dan
pemahaman tentang batik “.
Yani, Pecinta Batik
“Adalah sesuatu yang tak ternilai, menemukan dan membaca
tulisan tentang batik... Judul buku yang sangat menggelitik
yang dibuat oleh Bapak Adi Kusrianto ini, diharapkan dapat
menjadi magnet yang menarik orang membaca isinya.... Buku
ini sangat bermanfaat bagi kami, para pecinta dan pelestari
busana nasional, untuk mengenal berbagai informasi penting
tentang batik.....Semoga buku ini dapat menggugah kecintaan
kita kepada batik yang merupakan salah satu dari ribuan
warisan budaya adiluhung, yang dimiliki oleh bangsa
Indonesia. “
Nuniek Silalahi S.S.,M. Pd.
Ketua Himpunan Ratna Busana Jawa Timur

Saya berharap tulisan ini mampu memberikan bacaan ringan yang


menambah wawasan, apa sebenarnya batik kita ini.
Selamat membaca.

Adi Kusrianto

x
DAFTAR ISI BUKU
PraWacana ......................................................................................... v
Daftar Isi Buku ................................................................................... xi
Apakah Batik Indonesia Selamanya akan Diakui Unesco? ................... 1
Definisi Batik Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia: .......................... 1
Lalu apakah Dunia (UNESCO) akan mengakui Batik Indonesia
selamanya? Bisa jadi tidak. Kenapa? ....................................................... 3
Bahkan Raffles pun turut Meyakinkan UNESO (Adi Kusrianto) ....... 8
Batik Klasik di Jawa Timur ................................................................. 13
Ide Membuat Batik Nasional Indonesia, hingga munculnya Adi
Wastra Nusantara ............................................................................. 18
Sinjang/ Nyamping/ Jarit/ Sewek (Apa sih bedanya??)...................... 24
Batik dalam Kehidupan Orang Jawa ................................................. 31
Sidomukti..oh Sidomukti... ................................................................ 35
Motif Sidomukti, Sodoasih, Sidomulyo, Sidoluhur .................................. 38
Sidomukti simbul keseimbangan. .......................................................... 40
Harapan pada Sidoluhur........................................................................ 46
Batik dipandang dari sudut Ekonomi Rakyat ..................................... 48
Urutan Proses dalam Membuat Batik Tulis di Lasem ............................. 49
Batik Rakyat Masuk Keraton ................................................................. 55
Oey Soe Tjoen, Si Legenda dari Pekalongan .................................... 59
Harapan dari Jepang ............................................................................. 63
Talkshow Batik di SMARTFM SURABAYA ........................................... 67
Batik Klasik Dan Batik Modern .............................................................. 67
Batik Becak, Derita Batik di Zaman Pendudukan Jepang .................. 72
Lukisan Batik dan Batik Lukis ............................................................ 75

xi
Secara teknis: ........................................................................................ 76
Secara motif: ......................................................................................... 76
Kegunaan: ............................................................................................. 77
Lukisan Batik dan Batik Lukis ................................................................. 81
Kreatifitas Pewarnaan Batik .................................................................. 83
Mengenal PATOLA, kain KUNO generasi sebelum Batik Kita ............. 88
Jejak Patola pada Batik Yogya dan Pekalongan ................................. 93
Pengaruh Patola di Pekalongan............................................................. 97
Pengaruh Patola di Yogyakarta ............................................................. 97
The Heirloom of Indonesian Textile/ Kain yang di keramatkan
sebagai Pusaka di Negeri kita .......................................................... 101
Usaha Memalsukan Batik................................................................ 105
Mengenal Chintz, Kain India yang “menaklukkan” Dunia Barat....... 109
Lebih Dalam Mengenal Kain Mori ................................................... 115
Mori Primisima, Riwayatmu Dulu.................................................... 117
Mori Prima dan Mori Biru ............................................................... 121
Mori Prima .......................................................................................... 121
Mori Biru ............................................................................................. 122
Dokumen UNESCO yang menetapkan Batik Indonesia sebagai Warisan
Dunia .............................................................................................. 127
Indonesian Batik/ Batik Indonesia ....................................................... 127
Kebijakan Pengamanan (Yang dilakukan oleh Negara) ........................ 129
Location (Address) ............................................................................... 130
Lokasi/Alamat ..................................................................................... 130
Section/Division in Charge ................................................................... 130
Seksi/ Devisi Yang Bertanggung Jawab................................................ 131
Name of National List .......................................................................... 132
Nama yang tercantum pada Daftar Nasional ...................................... 132

xii
Management Organization of National List ......................................... 132
Organisasi Manajemen Daftar Nasional .............................................. 132
Summary ............................................................................................. 132
Ringkasan ........................................................................................... 133
Daftar Pustaka ................................................................................ 135
Tentang Penulis .............................................................................. 137

***

xiii
Batik “Penyu Belimbing” karya
Naning Gustiningtiyas. Usaha
pelestarian jenis penyu yang
populasinya tinggal 100 ekor.

xiv
APAKAH BATIK INDONESIA
SELAMANYA AKAN DIAKUI
UNESCO?

Adi Kusrianto

Definisi Batik Menurut Kamus Besar Bahasa


Indonesia:
Kain bergambar yang pembuatannya secara khusus dengan
menuliskan atau menerakan malam pada kain itu, kemudian
pengolahannya diproses dengan cara tertentu.
Jika mengacu pada kata : “Pembuatannya secara khusus dengan
menuliskan atau menerakan malam pada kain” itu adalah definisi
teknik perintang warna (Resist Dyeing). Yaitu teknik yang telah
dikenal sejak zaman purba dan bangsa-bangsa lain telah melakukan
teknik itu. Definisi itu belum menyebut teknik spesifik pembuatan
batik (yang berbeda dengan bangsa lain).
Di Persia Kuno dan Negara-negara Timur Tengah sudah ada
pembuatan motif dengan teknik resist dyeing. Sementara di Asia,
teknik yang sama dilakukan di Tiongkok semasa Dinasti Tsang

1
antara tahun 618 hingga 907 Masehi. Di Jepang semasa Dinasti Nara
antara tahun 715 hingga 794 yang disebut “ro-kechi”. Sedangkan di
Afrika, teknik pewarnaan kain dengan resist dyeing juga dapat
dijumpai pada Suku Yoruba di Nigeria, serta Suku Soninke dan Wolof
di Senegal.
Lebih spesifik definisi Batik adalah teknik menghias
kain dengan perintang warna, yang cara
menggoreskan motif/ coraknya dengan menggunakan
canting.
Catatan: teknik batik dengan cap dari metal juga diakui sebagai teknik
batik, dan alatnya disebut ‘canting cap’.

Menurut GP Rouflaer seorang pustakawan Belanda yang melakukan


pengamatan dari hasil temuan motif gringsing yang ditemukan
semenjak abad ke 12 di Kediri, karena kehalusan dan kecermatan
goresan motifnya hanya bisa dibuat menggunakan alat yang
kemudian disebut canting.
Awalnya pada era batik klasik, kain batik itu hiasan/ motifnya
dengan menggunakan motif- motif tertentu. Menurut Sri Soedewi
Syamsi, dalam bukunya Pola ragam hias Batik Yogya dan Solo, batik
itu dibuat menggunakan motif-motif tertentu, masing2 memiliki
nama dan fungsi.
Aturan dalam menyusun hiasan kain batik terdiri dari komponen-
komponen yaitu motif utama, motif hias pelengkap, dan sebagai
background ada motif isen-isen.
Ketika UNESCO melakukan penelitian apakah masih ada kelompok/
komunitas/ suku yang secara tradisi memakai/ menggunakan kain
batik untuk menjalankan ritual tradisi tertentu. Ternyata mereka
menemukan bahwa (setidaknya) suku Jawa memang hingga saat ini
masih menggunakan batik dengan motif tertentu untuk menjalankan
ritual tertentu.
Dengan demikian definisi lebih lengkap:

2
Jadi Batik Indonesia, jika didefinisikan harus mencakup hal-hal yang
disebut diatas. Berdasarkan batasan tadilah maka lembaga dunia
yang terdiri dari berbagai bangsa (termasuk diantaranya bangsa
Malaysia) menerima bahwa “Batik adalah Budaya tak- benda
Warisan Manusia (Representative List of the Intangible Cultural
Heritage of Humanity) dari bangsa Indonesia.

Lalu apakah Dunia (UNESCO) akan mengakui


Batik Indonesia selamanya? Bisa jadi tidak.
Kenapa?
Jika batik indonesia ternyata dalam perkembangannya diketahui
tidak mampu menjaga pelestarian lingkungan, justru industri batik
menyebabkan pencemaran karena limbah pewarna kimia, limbah
waterglass zat kimia yang dikenal sebagai salah satu zat mordanting
(penyerap dan pengunci pewarna pada tekstil). Hal ini para perajin
batik tidak peduli bagaimana mereka membuang limbah tanpa
terlebih dulu melakukan upaya penjinakan kerasnya zat kimia yang
dipakai dalam proses batik.

3
Ada teman yang melakukan aktifitas finishing batik dirumahnya, lalu
serta merta ia membuang limbahnya ke got depan rumah. Apa yang
terjadi, beberapa hari kemudian para tetangga berujar, bahwa tidak
lagi ada jentik-jentik, tikus dan kecoak di got tersebut. Itu dampak
awal dari dibuangnya limbah di got. Semua organisme yang ada di
aliran got mati. Jika itu dilakukan terus-menerus, maka dampak lebih
serius akan terjadi, yaitu rusaknya ecosistem disekitar lingkungan
tersebut. Jika hal semacam itu tidak dicegah, maka teknik produksi
batik akan di tuduh sebagai pencemar lingkungan secara diam-diam.

Foto limbah cair


dari Batikaa

Gambar No 5 : Limbah Batik Cair yang dibuang ke got dan dialirkan ke laut
tanpa pengolahan limbah menyebabkan perubahan pasir menjadi berwana
biru kehijauan. (Foto penelitian J. Sahertian & Tim)

Gambar No 6 : Rumah perajin batik yang tidak dilengkapi dengan


perangkat pengolah limbah hanya membuang limbah cair batik di halaman
belakang rumah mereka. (Foto penelitian J. Sahertian & Tim)

4
Gambar No 7 : Akibat zat kimia
pewarna batik membuat tangan
perajin batik ini berwarna keku-
ningan.

Gambar No 8 : Tangan perajin batik ini


belang dan gatal-gatal

Itu baru limbah. Bagaimana dengan motif dan cara pembuatan batik
yang semakin banyak yang meninggalkan cara-cara tradisional.
Bukan lagi menggunakan canting, cap dan malam. Apakah pada
perkembangannya dunia masih mengakui bahwa itu adalah batik?
Apakah para desainer batik zaman now yakin bahwa mereka itu
paham bagaimana motif batik ? Memang batik motifnya tidak harus
dibekukan (freezing) dan senantiasa mengikuti pola batik klasik.
Sejak munculnya batik pesisiran sudah terjadi “breaking the rule”
terhadap motif batik. Munculnya “Batik Peranakan”, “Batik Belanda”,
“Batik Jawa Hokokai”, “Batik Jawa Baru”, “Batik Nusantara” pasca
Indonesia merdeka. Perlukah para desainer batik paham? Ataukah
mendesain apa saja, asal laku dijual, asal mengikuti trend mode
dunia? Bukankah Konsumen itu raja?.
Saya kuwatir suatu saat seniman batik luar negeri lebih paham batik
kita dibanding kita sendiri.

5
Catatan:
banyak wastra Nusantara yang di negeri kita sudah dianggap ‘punah’,
ternyata beberapa museum di luar negeri masih menyimpannya lengkap
dengan detil informasinga.
Catatan: banyak literatur yang disusun oleh penulis-penulis asing yang
justru menjadi referensi dan patokan informasi yang lebih dianggap valid
dibanding catatan yang dibuat penulis lokal.
Sadarkah Anda, Borobudur kita bertahun-tahun diakui dunia sebagai
salah satu seven wonder (salah satu dari tujuh keajaiban dunia).
Kenapa Borobudur sekarang tercoret, sementara Tembok Besar
China, Taj Mahal India, patung Cristo Redentor (Jesus Sang Penebus)
di Rio De Janeiro masih bertahan ? Mikiir........
Bisa jadi suatu saat Batik bukan lagi diakui dunia, karena
rakyat Indonesia tidak mampu merawat, mempertahankan
keaslian dan ke eksotisan Batik Indonesia. Batik hanya
menjadi barang dagangan semata yang dipakai sebagai
obyek dagangan tanpa merawat konten penting dari budaya
yang bernama Batik.

Gambar No 9 : Kreatifitas, inovasi menerobos pasar?

6
Gambar No 10 : Kemampuan menangkap selera pasar.

Saya tidak bermaksud mengadili, terserah dari sudut pandang mana


Anda memandang. Monggo, please welcome.

***

7
BAHKAN RAFFLES PUN TURUT
MEYAKINKAN UNESO
(Adi Kusrianto)

Adi Kusrianto

Dua ratus tahun (dua abad) sebelum UNESCO bersidang di Abu


Dhabi UAE untuk menyatakan bahwa Indonesia yang berhak
menyandang sebagai pemilik Batik sebagai warisan Budaya Lisan
dan Non Bendawi, Thomas Stanford Raffles telah menulis buku “The
History of Java” yang diantaranya menggambarkan tentang keadaan
penduduk di pulau Jawa, adat-istiadat, keadaan geografi dll pada
pengamatannya antara tahun 1811-1816 pada saat ia menjabat
sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda. Tidak ayal lagi, tulisan
Raffles inilah yang menyumbang sebagai data utama mengenai
kepemilikan batik bagi bangsa Indonesia, yang membuat bangsa-
bangsa lain yang turut mengklaim bahwa mereka juga memiliki
budaya yang sama di negara mereka masing-masing tidak bisa
berargumen lebih lanjut.
Dalam pidato pengukuhan tersebut, pihak UNESCO menyampaikan
pertimbangan sebagai berikut:
“Type of Batik that will be reinforced as Word Heritage is
a type of batik tulis (hand writen batik) and not type of
printed batik. That is so because printed batik is also

8
produced in several other counties while batik tulis is
only produced in Indonesia.”
(“Jenis Batik yang akan dikukuhkan sebagai Word Heritage adalah
jenis ‘batik tulis’ dan bukan jenis batik printing. Hal itu karena batik
printing juga diproduksi di beberapa negara lain sedangkan ‘batik
tulis’ hanya diproduksi di Indonesia. ").

Gambar No 11 : Cuplikan isi dari History Of Java tulisan Raffles.

Catatan:
Kesaksian Raffles yang ditulis berdasarkan pengamatan selama ia menjabat
sebagai Gubernur Jendral di Pulau Jawa menceritakan batik sebagaimana yang
ia ketahui dan temukan/ dicatat pada saat itu. Jadi orientasinya tentu hanya
pada batik Jawa. Jika saat itu ada batik-batik diluar pulau Jawa tidak
tersebutkan oleh catatan Rafless karena memang tulisan yang dibuat hanya
tentang Sejarah Jawa saja.
Dalam perjalanannya, batik sebagai sebuah seni budaya kreatif tak
ayal lagi berkembang sesuai daya imajinasi dan inovasi yang kreatif.
Bukan hanya di ranah seni kreatif melainkan juga di bidang
marketing kreatif. Itulah yang menyebabkan dipasaran terdapat
banyak sekali produk-produk dengan label “batik”, karena nama itu

9
menjadi identik dengan cap kecintaan pada Indonesia yang
diungkapkan dengan cara berbusana yang sesuai dengan trend
dunia, tetapi tidak lepas dari ciri keIndonesiaan. (Belakangan selain
batik juga motif-motif Adi wastra Nusantara yang lain mulai
digandrungi).
Catatan:
Apa yang disebut sebagai Adi Wastra Nusantara meliputi Batik Tulis, Kain
Tenun Tradisional (Tenun Ikat, Tenun Songket, Tenun Lurik), dan Kain Sulaman
(hand embroidery).

Semula produk batik printing sempat di tolak sebagai batik, sampai


akhirnya memperoleh istilah yang lebih tepat yaitu “kain printing
dengan motif batik” sehingga tidak lagi dianggap sebagai “fake batik”
alias batik palsu.

Tak ayal lagi, bahwa sebagai karya seni budaya, Batik hidup dan
berkembang sesuai selera zaman serta mengikuti berkembangnya
akal budi manusia. Batik tidak bisa di kekang agar tetap seperti
beberapa abad yang lalu. Maka muncullah batik-batik selera zaman.
Mulai munculnya batik-batik dengan pengaruh budaya bangsa asing,
seperti batik dengan pengaruh budaya Islam yang dibawa orang
Arab/ Yaman (munculnya batik Besurek di Bengkulu), batik
peranakan dan batik Belanda di pantai utara Jawa, dan lebih spesifik
batik pengaruh Tiongkok (bukan sekedar budaya peranakan).

10
Di Jawa sendiri tradisi memakai kain batikpun berkembang sesuai
budaya dan tradisi kedaerahan (silahkan baca artikel saya “Sinjang/
Nyamping/ Jarit/ Sewek”).
Munculnya batik cap di awal abad ke 19 yang dipicu permintaan
batik yang melebihi kapasitas kemampuan para pembatik tulis saat
itu, karena di pusat-pusat pembatikan seperti Solo, Pekalongan,
Lasem, Juwana dll tidak mampu memenuhi permintaan ekspor batik
yang dilakukan VOC saat itu.
Bahkan melihat animo masyarakat Eropa khususnya Belanda
terhadap batik Jawa membuat pengusaha Belanda memproduksi
Batik di Belgia dengan mendatangkan beberapa pembatik dari Jawa.
Tetapi karena perbedaan budaya, pembatik Jawa yang biasa bekerja
dengan kecermatan serta memiliki kebiasaan yang berbeda dengan
budaya barat yang bekerja cepat dan dengan efisiensi, akhirnya
menghasilkan batik dengan kualitas yang buruk, sehingga akhirnya
konsumen Belanda tetap memilih batik dari Jawa. Itulah yang
menyebabkan produsen batik dari Pekalongan dan Solo membuat
batik cap (hingga kini stempel logam itu dinamai Canting Cap).
Catatan:
Pada tahun 1600an VOC pernah membuat batik printing (fake batik). Hal ini
saya tulis pada subbab lain di buku ini yang berjudul Usaha Membuat Batik
Palsu yang gagal.

Konsepnya berbeda dengan motif dengan teknik cap (wooden block)


di India yang dikenal sebagai Chitz. Hal ini saya bahas pada bab
“Mengenal Kain Chintz”. Jika di India pewarna kain di cap kan
langsung di atas permukaan kain, tanpa perintang warna.

***

11
12
BATIK KLASIK DI JAWA TIMUR

Adi Kusrianto

Sebelum mengenal Batik, raja-raja di Jawa Timur menggunakan


bahan busana dari kain impor yang diperoleh dari pedagang luar
negeri (India dan China). Mereka tidak mensakralkan kain-kain
impor tadi karena kain-kain tersebut tidak dibuat berdasarkan
kemauan mereka. Atau setidaknya motif maupun proses
pembuatannya tidak melibatkan mereka secara emosianal maupun
menuangkan karsa mereka atas “isi” bahan busana itu.
Semenjak dikenalnya teknik membatik, yang dilakukan oleh para
abdidalem, maka para raja memesankan apa yang menjadi “karsa”
(selera, filsafat) itu ke dalam kain yang di disain itu. Dari proses
itulah ter wakili idealisasi budaya raja atau kraton ke dalam motif
batik. Dan semenjak itu pulalah kain batik mendapatkan cap sebagai
busana aristokrat Jawa.

13
Ketika dibawa ke dalam corak batik, ornamen-ornamen tadi dibuat
dengan lebih teliti, detil serta dengan sentuhan tangan kaum
bangsawan kraton. Apa yang diistilahkan sebagai Batik Kraton, Batik
Aristokrat, Batik Raja sesungguhnya adalah karya seni batik yang
halus yang di lukis menggunakan goresan canting.
Sebagaimana seni yang lain pada jaman itu, para seniman, baik itu
seniman yang menuangkan karyanya pada logam (keris, tombak,
perhiasan) pada tembikar (perabot untuk rumah tangga keraton),
kayu (ukir), kulit (wayang, mahkota, aksoseris ) hingga kain batik,
seniman melakukan dengan (semacam) pressure yang datang dari
dalam dirinya sendiri. “Tekanan” itu diantaranya berupa rasa
hormat, ke seganan, kepatuhan yang sangat tinggi dihadapan raja.
Merasa bahwa dirinya bukanlah apa-apa sedangkan raja adalah
agung, tinggi, terhormat diatas segala-galanya (diluar konsep
agama). Oleh karenanya pada diri seniman muncul suatu kekuatan
atau spirit yang terjadi diluar kemampuan kehidupan normalnya.
Oleh karenanya sebelum memulai karyanya para seniman sering
melakukan ritual berpuasa yang bermacam-macam. Puasa pantang
makan minum, puasa mutih (hanya makan nasi tanpa garam dan
perasa lain), hingga puasa tidak berbicara (sebagai manifestasi dari
konsentrasi yang dicurahkan pada proyek pekerjaan yang sedang
dilakukan). Hasil dari produk budaya semacam itu adalah cerminan

14
dari kehalusan budi dari kaum aristokrat. Anggapan bahwa raja
berbudi halus, luhur, patut diteladani.
Bagi rakyat (diluar keluarga raja), seni batik kemudian dijadikan
sebagai model budaya untuk mengagungkan rasa hormat kepada
kaum aristokrat, sebagai simbol produk budaya yang prima, halus
bahkan sebagai kultur “dewaraja”. Jika sebelumnya rakyat yang
membuat batik sebagai perintang waktu, sebagai upaya pemenuhan
kebutuhan sandang, kemudian bergeser pandangannya bahwa batik
adalah produk budaya istana. Yang bagus adalah batik seperti yang
dibuat untuk raja. Fungsinya tergeser dari kepentingan rakyat
menjadi kepentingan raja, dengan tujuan untuk memperkuat
kedudukan raja. .
Motif-motif batik klasik mengandung beberapa arti
dan dipandang cukup berarti bagi sebagian orang
Jawa. Ornamen batik klasik mampu melahirkan
citarasa keindahan. Indah dalam arti mampu
memadukan tata warna serta susunan bentuk
ornamennya sehingga harmonis. Didalamnya harus
mampu memberikan keindahan jiwa, sehingga
memberikan gambaran yang utuh sesuai paham
kehidupan yang dianutnya.
Batik Klasik memuat pandangan falsafah orang Jawa yang memberi
arti simbolik secara kosmologi tentang adanya dunia bawah dan
dunia atas yang sering dipadukan menjadi dunia tengah atau
dwitunggal. Sikap menggabungkan dua menjadi satu seperti itu
pada masyarakat Jawa disebut Sinkretisme. (Geertz, 1976 (first published
1960))

15
Gambar No 12 : Di Candi Arimbi (Ngrimbi) terdapat Patung Raden Wijaya
yang pakaiannya patut diduga itu adalah batik.

Mengutip thesisnya, Drs. Hasanuddin, MSn yang menulis bahwa,


temuan arkeologi berupa arca di dalam Candi Arimbi (didukuh
Ngrimbi desa Pulosari, kecamatan Bareng,Kabupaten Jombang)
menggambarkan sosok Raden Wijaya, raja pertama Majapahit yang
memerintah antara 1294-1309, yang memakai kain dengan ragam
hias berbentuk kawung (Van der Hoop, 1949). Bisa saja ragam hias pada
kain itu dibuaat dengan teknik lukis, prada, tenun songket, ataupun
batik. Tetapi bila diamati secara lebih teliti, yaitu dengan
membandingkan rincian pada bentuk perhiasan manik-manik dan
urat daun teratai, maka bobot arca tersebut sangat rinci, halus dan
teliti. Ketelitian dalam menggambarkan garis dan titik menjadi
indikasi teknik yang dipakai saat membuat kain itu. Garis lembut
sejajar sebagai batas bentuk elips kawung mengingatkan pada garis
sejajar yang dihasilkan oleh canting carat loro (canting dengan dua
buah cucuk) pada teknik membatik. Sedangkan susunan titik yang
runtut hampir berdekatan hanya mungkin dihasilkan oleh canting

16
cecek siji yang biasa digunakan untuk membuat isenisen cecek
(titik). Jadi dapat disimpulkan bahwa teknik hias pada kain tersebut
bukan tritik, plangi, ataupun dengan ikat. Dengan teknik tenun
songket sulit menghasilkan garis lembut sejajar, apalagi titik yang
hampir bersinggungan. Yang paling mungkin adalah teknik lukis,
prada, atau batik. Sementara teknik lukis dan prada kurang lazim
dipakai untuk pakaian, apalagi pakaian raja. Alasannya karena
lukisan atau prada cepat rontok, akibat dari ramuan cat alam yang
kurang bisa bertahan lama. Sedangkan teknik batik bisa bertahan
lama. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kain yang dipakai
Raden Wijaya seperti yang nampak pada arca di Candi Ngrimbi
adalah batik.
Catatan : Aline terakhir ini pernah dimuat pada buku saya “Batik, Filosofi,
Motif dan Kegunaannya”.

***

17
IDE MEMBUAT BATIK
NASIONAL INDONESIA, HINGGA
MUNCULNYA ADI WASTRA
NUSANTARA

Adi Kusrianto

Memasuki jaman kemerdekaan, batikpun sampai pada babak baru


dalam perkembangannya mengikuti situasi saat itu. Dari sisi
perkembangan motif batik, setelah pergerakan revolusi
kemerdekaan, batik memasuki babak yang lebih stabil.
Pada tahun 1950 Bung Karno yang berjiwa nasionalis, mulai
memikirkan munculnya konsep batik nasional, bukan lagi batik
Solo, batik Yogya, batik Pekalongan maupun Cirebon dan Lasem.
Untuk itu beliau meminta beberapa orang seniman batik untuk
menciptakan batik nasional Indonesia.
Mereka yang ditugasi Bung Karno untuk mengembangkan batik
Indonesia diantaranya adalah KRT. Hardjonagoro (Go Tik Swan),
Iwan Tirta dan Saridjah Niung (Ibu Soed). Selain ketiga tokoh ini,
seniman- seniman batik yang sekaligus kolektor serta perancang

18
adibusana yang mengembangkan batik nasional terdapat nama-
nama Asmoro Damais (salah seorang tokoh yang memperjuang-kan
batik diakui UNESCO), Josephine W. Komara (lebih dikenal dengan
panggilan Obin dari Ang Siok Bin), Abdul Kadir Mohamad juga
dikenal dengan Ridaka serta keluarga Oei Soe Tjoen. Pada periode
itu pengembangan batik telah memasuki unsur penggabungan
dengan teknik kriya anyaman (desain pertenunan) serta bordir
(sulaman), sehingga terlahirlah istilah Adi Wastra Nusantara dengan
memunculkan berbagai potensi tekstil tradisional Indonesia.

19
1931 - 2008

Gambar No 13: Saridjah Niung (1908 -1993)

20
21
Jika mengamati tokoh-tokoh pergerakan batik pasca revolusi, tidak
ada satupun nama tokoh Jawa Timur yang terlibat.
Rata-rata mereka adalah tokoh batik dari Jawa Tengah (Solo, Blora,
Pekalongan) yaitu Go Tik Swan (KRT Hardjonagoro), Iwan Tirta,
Abdul Kadir Mohammad, Oei Soe Tjoen. Kemudian tokoh-tokoh Jawa
Barat dan Jakarta seperti Ibu Soed, Ibu Asmoro Damais dan Ibu Obin.
Pada periode setelah kemerdekaan muncul istilah batik Djawa
Baroe.
Apa yang disebut sebagai Batik Djawa Baroe itu merupakan evolusi
dari batik Jawa Hokokai, di mana motif nya masih menyertakan
unsur-unsur ornamen batik klasik yang berasal dari keraton dan
hiasan bunga-bunga dalam ornamen modern, bukan lagi lung-
lungan. Pada periode ini mulailah muncul ornamen bunga mawar
yang di tampilkan secara eksplosif sebagai unsur yang paling
menarik. Tetapi isen-isen yang dipilih sudah tidak serumit dan
serapat pada batik Hokokai. Tekanan kehidupan yang di akibatan

22
pendudukan Jepang beralih menjadi semangat nasionalisme
kebangsaan. Inilah awalnya pencarian wajah Batik Nasional
Indonesia.

Gambar No 14: (Atas)


Batik Java Hokokai

Gambar No 15: (Kanan)


Batik Djawa Baroe. ***

***

23
SINJANG/ NYAMPING/ JARIT/
SEWEK (APA SIH BEDANYA??)

Di kalangan orang Jawa, ada istilah Sinjang dan Nyamping. Lalu ada
juga istilah Jarit dan Sewek. Dalam bahasa nasional Indonesia semua
itu dikenal dengan istilah “Kain Panjang” (seberapa panjang sih?).
Bahasa Jawa memang “wonderful”. Kalau dalam bahasa Inggris kata
“rice” itu untuk menyebut sejak padi saat tumbuh disawah (rice
field) gabah, beras, nasi, bubur, sampai upo. Nah bahasa Jawa kalau
masih disawah namanya pari (padi) setelah dipanen masih berkulit
namanya gabah, setelah dikuliti namanya beras, setelah ditanak
namanya nasi, kalau dimasak dengan banyak air namanya bubur,
kalau nasi beberapa butir namanya upo.
Untuk menyebut kain batik ada istilah Sinjang, Nyamping dan Jarit?
Apakah sekedar kromo inggil, kromo madyo dan boso ngoko?.
Coba perhatikan kalimat berikut ini.
“Bulik tindak Suroboyo NGAGEM JARIT”. (Bulik pergi ke Surabaya
mengenakan jarit).

24
Pertanyaannya, jarit yang dipakai Bulik menggunakan wiru (wiron)
apa tidak?.
Jawabnya tentu tidak.
Kalau kalimat berikut:
“Senaosa wonten ndalem, eyang putri tansah NGAGEM NYAMPING”.
(Sekalipun di rumah, eyang putri (grand ma) selalu memakai
NYAMPING (kain panjang)).
“Bu Darmo ngrawuhi resepsi ngagem SINJANG LATAR PETHAK”. (Bu
Darmo menghadiri resepsi mengenakan SINJANG (kain panjang) ber
latar warna putih).
Nah pertanyaannya kain panjang yang dikenakan grand ma dan Bu
Darmo itu pakai di wiru apa tidak?
Jawabnya Iya, ...DI WIRU.
Mengapa?
Istilah Nyamping dan Sinjang, digunakan wanita Jawa bergaya klasik
yang motif batiknya cenderung batik klasik (bisa batik
vorstenlanden alias batik model kraton, motif petani maupun batik
Sudagaran). Cirinya batik-batik tersebut di atas tanpa menggunakan
tumpal (baik tumpal pinggir, tumpal kepala dan tumpal-tumpak
lain). Batik klasik, saat dipakai biasanya selalu di wiru yaitu dilipit-
lipit didepan diantara kedua paha, baik wanita maupun pria.

25
Ketika muncul Batik Pesisiran yang ditandai dengan adanya Tumpal
(kebiasaan yang di ekspor dari budaya Melayu Riau), maka kain
panjang yang sering disebut Jarit (basa ngoko/ basa Jawa madya)
tidak lagi perlu di wiru. Karena dibagian depan diantara kedua paha
ada tumpalnya. Ciri kain untuk wanita tumpalnya ada di depan, di
kedua ujung kain, disebut tumpal kepala.

26
Gambar No 16 : Tumpal pada wanita terletak di depan, jadi tanpa wiru.

Kain panjang untuk Pria, biasanya sebagai sarung, tumpalnya


terletak di bokong. Walaupun demikian tetap ada “breaking the rule”
alias diluar patokan itu.

Gambar No 17 : Tumpal Pria terletak di bokong.

27
Gambar No 18 : Perbedaan batik tumpal dan non tumpal.

Memang akhirnya di kalangan masyarakat Jawa terjadi salah kaprah,


mengartikan Sinjang, Nyamping dan Jarit (di Jawa Timur juga ada
istilah SEWEK). Semua dianggap sama. Kain Panjang.

Gambar No 19 : Tumpal pada


batik pesisiran.

Tumpal mulai muncul di Batik Jawa, ketika pengusaha batik


Pekalongan di awal abad ke 20 menerima banyak pesanan kain batik

28
dari Riau, orang Melayu memesan batik khas mereka dengan ciri ada
tumpalnya, dengan motif Pucuk Rebung yang sangat populer, juga
pinggiran atas dan bawah berupa motif khas “Itiek pulang petang”,
gambar itik berbaris membentuk garis pinggir pada kain batik.

Gambar No 20 : Motif pinggiran “Itiek Pulang Petang”.

Motif ini disukai juga konsumen Jawa, lalu akhirnya berpengaruh


pada ciri Batik Pesisiran. Bagi orang Mentaraman (Yogya/ Solo/
Pacitan/Trenggalek/ Kediri dsb.) semula ada percakapan khas:
“Ini bukan Batik”.
“Lah, apa kalau begitu?”.
“Ini batik Pesisiran”.
Nah memangnya batik pesisiran itu bukan batik?
Bukan. Karena tidak bisa dijadikan pakaian saat ada hajatan,
pengantinan. Semua itu ada adadnya sendiri-sendiri, gak boleh
saltum. Ora ilok! Nah, lu.... Itu wong Jowo sing ora Njowo lho. Ngerti
gak maksudnya. Orang Jawa yang tidak mengerti etika Jawa.
Para pengamat batik dari Belanda menyebut batik pesisiran ini
adalah “Batik Foklore” alias batik rakyat, kebalikan dari Batik
Vorstenlanden untuk kalangan bangsawan. Padahal sebelum
generasi Batik Pesisiran sudah ada batik petani/ batik rakyat di
wilayah pulau Jawa bagian tengah sampai ke Cirebon.

29
Gambar No 21 : Batik Petani pedalaman Jawa Tengah.

Gambar No 22: Batik Petani dari Cirebon, motif Kompeni

30
BATIK DALAM KEHIDUPAN
ORANG JAWA

Adi Kusrianto

“Sejak lahir, menjalani hidup di dunia hingga meninggal, diselimuti


dengan kain batik. Batik sangat dekat dengan kehidupan, khususnya
dalam lingkungan keluarga.” (Sri Sultan Hamengku Buwana X).
Dipetik dari buku "Batik, Filosofi, Motif dan Kegunaan - Adi
Kusrianto"
Tradisi Jawa sangat menjunjung tinggi dan menghargai nilai-nilai
etis dan estetis dalam berpakaian. Oleh karenanya kita sering
mendengar pepatah Ajining Diri Saka Lati, Ajining Raga Saka Busana
(kehormatan diri terletak pada kata-kata, kehormatan badan
terletak pada pakaian) .
Pada awalnya motif batik juga diciptakan menurut fungsi dari para
pemakainya dalam kehidupan sehari-hari. Jadi sangatlah mungkin
kalau dari motif batik yang dikenakan dapat dikenali dari keluarga
mana si pemakainya berasal.
Pada mulanya batik digunakan sebagai busana, meliputi jarit,
sarung, dan kemben yang digunakan sebagai penutup dada.
Selanjutnya sebagai busana tambahan, batik digunakan sebagai
selendang, iket atau udheng sebagai ikat kepala, juga sebagai
selendang gendongan. Selain itu ada kain batik yang hanya

31
digunakan sebagai busana upacara, baik di keraton maupun saat
prosesi pernikahan, yaitu dodot.

Batik sebagai Perlengkapan Hidup Sehari-hari


Begitu pentingnya peran batik dalam kehidupan orang Jawa
sehingga selain berfungsi sebagai busana sehari-hari, kain batik juga
digunakan pada banyak upacara, baik sebagai pakaian upacara,
sebagai sarana atau perlengkapan maupun sebagai hadiah atau
pemberian pada saat-saat tertentu.

Ada berbagai macam upacara adat yang sudah mendarah daging di


masyarakat Jawa. Sejak manusia lahir, ia sudah diperkenalkan
dengan upacara sepasaran, selapanan, puputan, tedhak siten, dan
ruwatan dengan berbagai macam perlengkapannya dan terus
berlanjut hingga anak itu menjadi dewasa. Setelah dewasa, manusia
akan tertarik dengan lawan jenis yang berujung pada keinginan
untuk membangun keluarga dan meneruskan keturunan. Upacara
adat perkawinan tradisional mencerminkan pandangan hidup

32
masyarakat terhadap makna hakiki suatu perkawinan antara dua
insan, pria dan wanita yang menjamin kelestarian hidup manusia,
turun-temurun dari generasi ke generasi. Pada akhir kehidupan
setiap manusia akan meninggalkan dunia dan kembali ke hadirat
Tuhan Yang Maha Kuasa. Pada saat itu keluarga yang ditinggalkan
akan mengadakan upacara sebagai penghormatan yang terakhir,
sebagai ungkapan iman secara religius dengan mendoakan si arwah
supaya dapat diterima di sisiNya.

Kaum remaja kini banyak yang menjadi penggemar busana


berbahan kain batik karena motif-motifnya yang inovatif dan
berkesan “gaul”. Namun ada inovasi motif batik yang membuat Mari
S. Condronegoro, penulis buku “Memahami Busana Adat Keraton
Yogyakarta”, gemas. Ia mengatakan masih ada remaja yang salah
kaprah dalam mengenakan motif batik. Dia mencontohkan,
penggunaan motif segi empat kecil yang diberi dua garis sehingga
membentuk motif empat potongan segitiga. Dalam dunia batik, motif
itu disebut slobok. Motif ini kadang diberi selingan motif lain, seperti
parang, agar manis dan gaul. Motif slobok tengah populer di
kalangan anak muda. Padahal, kain batik bermotif slobok hanya
dipakai untuk menutupi jasad jenazah atau alas peti jenazah.

33
***

34
SIDOMUKTI..OH SIDOMUKTI...

Adi Kusrianto

Artikel ini menggambarkan bahwa Batik Motif


Sidomukti yang menjadi syarat sebuah upacara
pernikahan merupakan salah satu ujian bagi orang
tua pengantin. Jangan mengartikan bahwa
“kelangkaan” batik Sidomukti dalam cerita ini dalam
arti sebenarnya. Cobalah memahami ungkapan
dalam artikel ini dengan bijak.
Ketika saya mau menikahkan anak pertama, saya merasakan
bagaimana sulitnya mencari Batik Sidomukti. Dalam keluarga Jawa,
batik tersebut ternyata merupakan salah satu “syarat wajib” yang
harus ada dalam sasrahan ketika melakukan upacara lamaran.

35
Batik yang sehari-hari rasanya mudah di dapatkan di setiap penjual
batik, tiba-tiba serasa “menghilang” dari pasaran. Setelah kejadian
itu lewat, barulah saya menyadari, bahwa mencari batik Sidomukti
untuk sebuah upacara pernikahan merupakan salah satu ujian yang
akan di hadapi oleh orang tua calon pengantin. Di saat mencari batik
Sidomukti itulah, tiba-tiba kami menjadi begitu pemilih/ selektif/
menjadi rewel. Hal ini karena batik yang akan kami pilih akan
merupakan representasi dari kehormatan/ kecermatan/ selera/
kemampuan dari keluarga. Jadi bukan asal mendapat Sidomukti. Jadi
perlu yang kainnya bagus, batikannya rapi, semaksimal mungkin
bisa diperoleh batik asli, bukan batik printing. Minimal batik cap
yang baguslah, sukur-sukur batik tulis yang harganya terjangkau.
Setiap toko penjual batik, ketika diminta menunjukkan Sidomukti,
maka jawaban yang muncul adalah tidak ada, stok kosong, atau
paling untung disodorkan batik Sidomukti printing yang (maaf)
kualitas nya tidak sebagaimana yang kami inginkan. Ternyata ini
adalah sebuah ujian bagi orang tua agar tidak sembarangan memilih
barang. Di toko eksklusif penjual batik yang biasanya berkualitas
baik pun kami di janjikan beberapa minggu lagi sampai stok
tersedia.. Untunglah, saat kami mencari batik Sidomukti itu masih 6
bulan dari hari H acara lamaran. Rasanya ketegangan karena belum
mendapatkan baik Sidomukti itu meronai hari-hari persiapan
lamaran. Sampai kurang dari 3 bulan akhirnya kami mendapatkan
sepotong Sidomukti batik yang batikannya lumayan rapi. Ternyata
batik sidomukti yang diserahkan saat lamaran itu akan dikenakan
oleh mempelai wanita saat akad nikah. Dan hanya sekali itu saja, lalu
kain batik sakral itu akan disimpan oleh mempelai wanita sebagai
kenangan yang sangat berharga.

Catatan : Pada saat tulisan ini di upload di Facebook beberapa teman salah
menafsirkan, bahwa saya “kesulitan” mencari batik Sidomukti dalam arti
sebenarnya, sehingga banyak yang menunjukkan toko/ tempat penjual
Sidomukti. Padahal yang saya maksud “kesulitan” itu merupakan
tantangan/ cobaan kesabaran dalam mendapatkannya. Bisa jadi
barangnya ada, tetapi dalam pandangan kain batik Sidomukti tersebut

36
kurang sempurna, kurang bagus, karena akan menjadi representasi
orang tua calon penganten terhadap calon besan, dsb
Pola batik diyakini memiliki muatan spiritual atau makna. Hal ini
masih berlaku bagi banyak kalangan orang Jawa hingga saat ini.
Untuk menjalani maksud, hajat guna melangkah dalam peristiwa
kehidupan dengan niatan yang baik, seperti meminang anak orang,
menikahkan, mengadakan resepsi, upacara-upacara sehubungan
dengan kelahiran jabang bayi himgga saatnya oirang meninggal,
semua dilakukan dengan tradisi yang sadar ataupun tidak terbawa
dari generasi ke generasi.
Tidak ada satu keluargapun yang akan menjalani setiap niatan itu
tanpa disertai “kebiasaan yang dianggap baik” oleh tradisi nenek
moyang maupun ajaran agama. Bagi sebagian besar orang Jawa,
kain batik merupakan perlambang dari setiap niatan baik itu.
Jika sebuah keluarga memiliki sepasang pengantin yang akan
dinikahkan disebuah gedung mewah, mungkin akan mengenakan
batik dengan motif yang sama dengan pasangan pengantin lain
yang menyelenggarakan resepsi pernikahan secara sederhana di
sebuah gang kecil.
Perbedaannya terletak pada kualitas kain dan cara pembuatan
batiknya yang di batik pembatik terampil menggunakan canting
dan malam, dibeli disebuah toko dengan harga yang relatif lebih
mahal. Sementara yang lain motif yang sama tetapi dibuat dengan
teknik sablon di atas kain sintetis yang harganya sesuai
jangkauan keluarga mereka. Tetapi kedua mempelai yang
mungkin bisa dikata berbeda strata tadi sama-sama ingin
menjalankan niat baiknya dengan melestarikan budaya yang di
turunkan oleh para pendahulunya.
Mereka melangkah dengan ketenangan batin yang sama karena
disertai dengan harapan dan doa agar selamat yang di gambarkan
dalam perlambang yang tertuang dalam pola-pola batik yang

37
sama. (Tidak semua orang lho bisa memaknai simbolisme dalam
kehidupan seperti ini. Hanya orang-orang tertentu saja).

Empat motif serial Sido itu melambangkan ke empat jari tangan


kita. Begitulah kita bekerja dalam kehidupan dunia ini mencari
dunia tahta-cinta (wanita)-harta, namun jangan lupa berdoa.
Ternyata simbol semua ini ada di jari-jemari kita yang dibuatkan
motif batik untuk mengingatkan: Sidomukti (telunjuk), Sodoasih
(jari tengah), Sidomulyo (jari manis), dan Sidoluhur (kelingking).
Sedangkan ibu jari bertugas mendukung masing-masing fungsi
keempat jari lainnya.

Jari telunjuk: Sidomukti, melambangkan keberhasilan kehidupan


kita, yang kelak akan banyak ditentukan oleh keberhasilan dalam
memimpin saat kita dipercaya memegang tampuk pimpinan
kekuasaan atau jabatan. Tahta kata orang jaman sekarang, atau
mukti kata para pinisepuh dulu.

38
Jari tengah: Sodoasih, berhasil membangun keluarga dan
masyarakat melalui cinta dan kasih sayang kepada sesama. Jari
tengah merupakan simbol cinta, atau sering dipelesetkan
“wanita”.

Jari manis Sidomulyo, keberhasilan membangun materi. Jari


manis, adalah simbol harta.

39
Jari kelingking Sidoluhur, berhasil mengembangkan, menyem-
purnakan diri menjadi manusia paripurna, menjadi manusia
berbudi luhur dengan senantiasa berdoa, mengingat dan
bersyukur kepadaNya.

Diantara ke empat motif Sido, Sidomukti yang paling populer dan


paling digemari. Bentuk dasarnya berupa segi empat belah
ketupat akibat pertemuan garis diagonal dengan berbagai macam
isen-isen seperti sawat, lar, pohon hayat maupun burung atau
kupu-kupu. Motif ini filosofinya yang lebih dalam, bukan hanya
harapan-harapan agar mukti, mulyo, dan sebagainya tetapi juga
mengungkapkan keseimbangan atau harmoni.
Filosofi keseimbangan ini lagi-lagi merupakan ekspresi konsep
mandala berdasarkan kosmologi Jawa. Dimana digambarkan ke-
seimbangan ke empat arah yang di harmonikan dengan pusat
sebagaimana diuraikan pada pembahasan tentang Kawung.

40
Dengan mencapai keseimbangan tersebut maka akan memberi
makna diperolehnya kemakmuran, kesuburan, ke”muktian”,
kemuliaan.
Motif Sidomukti biasanya dipakai oleh pengantin pria dan wanita
pada acara perkawinan. Sepasang batik Sidomukti yang digunakan
penganten biasa disebut sebagai Sawitan (sepasang).
Motif Sidomukti dikenakan pengantin, baik di saat Akad Nikah
maupun pada upacara Panggih maupun resepsi. Walaupun saat
Panggih dan Resepsi bisa juga digunakan motif tertentu lainnya.
Salah satu cirinya memiliki bidang-bidang motif berbentuk belah
ketupat yang mewadahi motif-motif utama seperti sawat, lar, kupu-
kupu, pohon hayat maupun burung atau bentuk lainnya. Biasanya
paling banyak ada empat motif utama dalam kotak belah ketupat
tersebut. Namun terdapat dua versi, ada versi yang memuat unsur

41
ornamen Meru sedang versi lain memuat Lar. Ada sementara
pendapat Sidomukti Meru untuk wanita sedang Lar untuk pria.
Berikut ini ornamen yang ada pada batik Sidomukti beserta
filosofinya:

Kupu-kupu
Ornamen utama yang terdapat pada
batik Sidomukti adalah gambar kupu-
kupu, dimana gambar ini mempunyai
makna pembebasan, pencerahan dan
sebuah kesempurnaan. Sebelum menjadi
seekor kupu-kupu yang cantik, dulunya
adalah seekor ulat yang bertapa di dalam kepompong. Perubahan
dari ulat menjadi kupu-kupu yang indah merupakan sebuah
gambaran bahwa manusia seharusnya dapat menahan diri (laku
prihatin) demi mendapatkan hasil yang lebih baik.

Singgasana
Gambar berupa bangunan yang meng-
gambarkan singgasana raja. Gambar ini
simbolis dari sebuah harapan seorang
manusia agar naik derajatnya untuk
menempati posisi yang tinggi, mulia serta
dihormati oleh banyak orang.

Meru/ Gunungan
Meru maksudnya Semeru atau
Mahameru merupakan gunungan
mempunyai arti keteguhan dengan
harapan si pemakai batik sidomukti
dapat mengendalikan hawa nafsu yang
ada di dalam dirinya. Masyarakat Jawa

42
meyakini bahwa seorang yang dapat menahan hawa nafsu dunianya,
maka orang tersebut akan memperoleh kemakmuran.

Lar (Sayap garuda)


Lar atau ornamen yang menggambarkan
sayap garuda hanya satu sisi. Dalam
agama Hindu, garuda merupakan
kendaraan dari dewa Wisnu. Dewa
Wisnu merupakan Dewa Matahari
sehingga dilambangkan sebagai sumber
kehidupan utama dan kejantanan.

Bunga
Bunga dalam motif batik Sidomukti
mempunyai arti yang cukup dalam.
Selain sebagai simbol kecantikan dan
keindahan, bunga yang terdapat pada
motif batik Sidomukti merupakan
simbol dari sumber kehidupan. Bunga-
bunga akan menghasilkan buah dan
biji-bijian yang akan berkembang biak
dan menjadi makanan bagi makhluk
lainnya.
Itulah empat ornamen utama yang terdapat pada motif batik
Sidomukti beserta makna serta filosofinya. Selain ornamen utama di
atas, batik sidomukti juga terdapat ornamen lain berupa isen-isen
berupa Sawut (garis-garis lembut yang berjajar sebagai pengisi
daun), Cecekan (titik-titik yang memenuhi ruang kosong), Ukel
(hiasan daun dengan bentuknya mirip rambut keriting), dan
ornament Cecak Pitu (titik-titik yang berjumlah 7 buah).

43
Gambar No 23 : Sidomukti Latar Pethak, berarti motif Sidomukti ber latar
belakang warna putig tanpa isen-isen ukel.

Semakin kecil dan rumit ukel maupun isen-isen, maka semakin


dibutuhkan ketekunan yang tinggi oleh pembatiknya dan semakin
tinggi mutu seninya. Namun demikian ada beberapa versi Sidomukti
tanpa menggunakan isen-isen melainkan polos dengan latar
belakang berwana hitam, putih maupun coklat muda.

Gambar No 24: Sidomukti Latar pethak versi yang lain.

44
Gambar No 25 : Sidomukti dengan warna sogan, warna yang aslinya dibuat
menggunakan pewarna alam

Sebagaimana ciri batik klasik yang beredar di masyarakat, maka


masing-masing pembatik membuat variasi motifnya sendiri,
sehingga masing-masing daerah seringkali meng klaim memiliki
Sidomukti dengan ciri khas masing-masing. Saking innovatifnya
bahkan ada Sidomukti yang tidak terwadahi dengan bentuk belah
ketupat, tetapi memiliki ornamen-ornamen utama yang disebut
diatas.
Secara keseluruhan Sidomukti memiliki filosofi bukan hanya
harapan-harapan agar mukti, mulyo, dan sebagainya tetapi juga
berisi tentang konsep keseimbangan atau harmoni yang merupakan
harapan lebih tinggi dari makna ‘kamukten’ (kemuktian). Dengan
keseimbangan maka apa yang menjadi ‘kamukten’ akan berlangsung
abadi dan seimbang, bukan sekedar kamukten semu yang bersifat
sementara.
Filosofi keseimbangan ini lagi-lagi merupakan ekspresi konsep
mandala berdasarkan kosmologi Jawa. Prinsip ini menyeimbangkan
secara vertikal antara dunia atas (dunia roh atau akherat) dengan
dunia bawah (dunia fana), sedang secara horizontal adalah

45
bertemunya unsur laki-laki dan perempuan, positif dan negatif.
Lebih jauh lagi pemahaman micro cosmos dengan macro cosmos
yang akhir-akhir ini sedang gencar-gencarnya dilakukan penduduk
bumi, yaitu menyeimbangkan pola kehidupan kita dengan pola
lingkungan luas yang meliputi bumi dan langit kita.
Dengan mencapai keseimbangan tersebut maka akan memberi
makna diperolehnya kemakmuran, kesuburan, ke”muktian”,
kemuliaan.

Motif Sidoluhur diciptakan Ki Ageng Henis, kakek Panembahan


Senopati pendiri kerajaan Mataram Islam, serta cucu dari Ki Ageng
Selo. Konon motif Sidoluhur dibuat khusus oleh Ki Ageng Henis
untuk anak keturunannya. Harapannya agar si pemakai dapat
berhati serta berpikir luhur sehingga dapat berguna bagi masyarakat
banyak. Menurut Winarso Kalinggo, motif itu kemudian
dimanifestasikan ke selembar kain (dicanting) oleh Nyi Ageng Henis.
Nyi Ageng sendiri adalah seorang yang mempunyai kesaktian.
Mitosnya, Nyi Ageng selalu megeng (menahan) nafas dalam
mencanting sampai habisnya lilin dalam canting tersebut. Hal itu
dimaksudkan agar konsentrasi terjaga dan seluruh doa dan harapan
dapat tercurah secara penuh ke kain batik tersebut.
Isen-isen pada motif Sidoluhur berupa titik-titik, gabungan titik dan
garis, serta garis-garis berfungsi mengisi ornamen dan motif atau
mengisi bidang antara motif dan ornamen. Pada Sidoluhur
komponennya terdiri dari:
• Sawut yakni garis-garis lembut yang berjajar rapat sebagai
pengisi dedaunan, ekor burung dan sebagainya.
• Cecekan yakni titik-titik kecil rapat maupun renggang yang
memenuhi bidang ornamen.

46
• Cecek pitu yakni titik-titik yang mengumpul berjumlah tujuh
buah biasanya berbentuk melingkar
Warna pada kain Sidoluhur adalah warna soga atau coklat. Pada
awalnya warna soga sebagai pengganti warna oranye yakni
perpaduan antara merah dan kuning.
Selain motif Sido yang memiliki pakem dalam batik klasik,
bermunculan beberapa motif pengembangan dengan awalan Sido.
Contoh Sodoasih Sungut, Sodoasih Kemala Sungging, Sidopeni,
Sidodrajat, Sidomukti Payung dsb. sebagai pengembangan motif
batik dengan berbagai variasi.
***

47
BATIK DIPANDANG DARI SUDUT
EKONOMI RAKYAT

(Adi Kusrianto)

Ada seorang embak, teman saya pengusaha batik, pembatik,


sekaligus pendidik di bidang batik. Dalam suatu obrolan dia sempat
mencurahkan kekesalannya terhadap bisnis batik yang dianggap
sebagai salah satu ekonomi rakyat di beberapa daerah yang tidak
pernah memberikan peluang ekonomi yang bagus bagi pelaku-
pelakunya.2
Suatu ketika dia mendapat order dua lembar batik dari UNESCO
yang akan dikenakan oleh pejabat kelas dunia dalam kaitannya
dengan batik Indonesia. Agar diperoleh karya batik yang berkualitas
bagus untuk dikenakan tokoh kaliber dunia, iapun berniat
menggarap sendiri batik tersebut
Karena si embak tersebut seorang trah batik Lasem, maka iapun
pulang ke Lasem di mana nenek beliau hingga usia renta masih tetap

2
Silahkan baca artikel tentang Oey Siu Tjoen, pembatik legendaris yang
karyanya digemari kolektor mancanegara, tetapi sumber penghidupannya
justru ditopang daru usaha mracang, di halaman lain buku ini.

48
menggeluti pekerjaan batik. Di rumah tuanya itulah darah batiknya
menggelegak dan menuangkan cipta dan karsanya dalam dua lembar
mori. Mulai menggambar motif lalu mulai mencantingnya
keseluruhan permukaan mori tersebut, baik dari motif utama hingga
isen-isennya.
Semula, nenek yang melihat keseruan si embak yang dengan tekun
menangani karya batiknya tidak seberapa serius memperhatikan.
Namun ketika mori telah di beber di atas gawangan dan mulai
mencanting pola-pola yang tergambar di atas mori, sang nenek pun
mulai menegur.
“Ora koyo ngono kuwi carane nduk.” (Bukan begitu caranya nduk).
Si embak terdiam mendengar teguran nenek.Di kampung si embak,
di Lasem, seorang pembatik tidak boleh mengerjakan sendiri semua
pekerjaan membatik. Di kampung ini sejak zaman dahulu kala telah
dilakukan pembagian pekerjaan dalam membatik. Ada orang yang
tugasnya (lebih tepat kebisaannya) menggambar pola, ada yang
mencanting motif utama (namanya membuat klowongan), ada yang
menggambar isen-isen, ada yang mbabar (mewarnai kain batik
dengan cara mencelup ke cairan pewarna) ada yang nglorod. Jadi
ada lima pekerjaan yang dilakukan oleh orang-orang atau kelompok
orang yang berbeda. Seseorang akan menjadi spesialis dalam suatu
pekerjaan tertentu dan “ora ilok” (pamali) jika mengerjakan peker-
jaan yang menjadi spesialisasi orang lain.

Berikut tahapan dalam membuat batik tulis di Lasem, di mana


masing-masing proses dilakukan oleh orang/ tenaga kerja yang
berbeda sesuai kemahiran masing-masing :

49
1. Mengetel, menghilangkan kanji dari mori dengan cara
membasahi mori tersebut dengan larutan minyak kacang, soda
abu, tipol dan air secukupnya. Setelah itu mori diuleni lagi dan
dijemur kembali, lalu diuleni dan dijemur kembali. Proses ini
diulang sampai tiga minggu lamanya lalu dicuci sampai bersih.
Proses ini dilakukan agar nantinya zat warna yang digunakan
dalam proses membatik bisa meresap kedalam serat kain dengan
sempurna.
2. Mola, proses memberi pola sesuai dengan motif. Pola batik
biasanya sudah dibuat sebelumnya pada kain, bisa dengan cara
menjiplak dari pola batik yang sudah ada. Tetapi, tidak jarang
pembatik profesional yang sudah mahir langsung menggoreskan
pola yang ada diingatan mereka langsung ke kain dengan
menggunakan canting.
3. Nglengkreng, setelah kain batik diberi pola motif utama, tahap
selanjutnya ialah memberikan detail pada motif-motif tersebut.
Proses pemberian detail pada motif ini sudah tidak sesulit seperti
tahap membuat pola yang dilakukan sebelumnya, namun
biasanya proses ini dilakukan oleh pembatik yang sama.
Pemberian detail pasa kain batik tentunya disesuaikan dengan
motif yang dibuat pada saat pembuatan pola.
Proses mola dan nglengkreng ini membutuhkan waktu yang
cukup lama serta paling membutuhkan ketelitian yang tinggi dari
para pembatik. Proses Nglengkreng di Ningrat Batik
4. Isen-isen, mengisi bagian-bagian kain yang masih kosong
dengan ornamen-ornamen. Proses ini tidak bisa sembarang
dilakukan dengan memberikan ornamen, tetapi juga harus
memperhatikan motif dari kain batik itu sendiri. Proses ini bagi
kalangan yang paham akan motif batik memiliki makna yang
berbeda-beda dan menunjukkan kekhasan dari setiap
daerah. Isen-isen pada batik Lasem berupa sawut yang berbeda
dengan sawutan pada batik Yogyakarta maupun

50
Solo. Sawut pada batik Lasem lebih seperti garis melengkung
yang berkepala diujungnya. Proses Isen – Isen di Ningrat Batik
5. Nerusi, membatik dengan mengikuti motif pembatikan pertama
pada bekas tembusan di sebaliknya. Nerusi tidak berbeda dengan
mola dan batikan pertama berfungsi sebagai pola. Tujuan
utama nerusi untuk mempertebal tembusan batikan pertama
serta untuk memperjelas sisi lainnya. Proses Nerusi di Batik
Ningrat
6. Nembok, adalah menutup gambar dengan Ini merupakan tahap
awal dalam proses pewarnaan batik. Sebuah batikan tentu tidak
seluruhnya diberi warna, atau akan diberi warna yang
bermacam-macam pada waktu proses penyelesaian menjadi kain.
Bagian-bagian yang tidak akan diberi warna, atau akan diberi
warna sesudah bagian yang lain, harus ditutup terlebih dahulu
dengan malam. Cara menutupnya sama dengan cara membatik
bagian lain dengan mempergunakan canting tembokan. Canting
yang digunakan untuk proses nembok yaitu bercukuk besar.
Proses Nembok di Ningrat Batik
7. Ngelir, yaitu memberi warna pada batik. Batik Lasem dikenal
dengan warna merahnya yang khas, seperti warna merah darah
ayam, yang tidak bisa ditiru oleh pengrajin batik kota lain. Konon,
warna itu tercipta karena unsur mineral dalam air yang dipakai
untuk mbabar(salah satu proses pewarnaan). Dengan warna
merah tersebut muncullah batik bangbiru, batik bangjo, serta
batik tiga negeri. Batik tiga negeri adalah batik yang diwarnai di
tiga tempat: merah di Lasem, sogan di Solo dan biru di
Pekalongan. Proses pewarnaan batik sendiri dilakukan dalam
sebuah bak khusus pewarnaan. Proses Ngeliri di Ningrat Batik
8. Lorot, proses menghilangkan lapisan lilin yang terdapat pada
kain dengan cara merebus dalam air panas. Tujuannya untuk
memperjelas motif yang telah digambar sebelumnya. Proses
Ngloroti di Ningrat Batik

51
9. Proses terakhir adalah menjemur kain yang
sudah dilorot hingga kering. Kemudian barulah batik yang
sudah kering tersebut dilapisi dengan wax serta dipress. Batik
siap dipasarkan.
(Sumber: https://infobatik.id/proses-membuat-batik-tulis-lasem)

Gambar No 26 : Memotong kain dan menggambar pola.

52
Gambar No 27 : beberapa
foto kegiatan membatik yang
semuanya dilakukan oleh
tenaga yang berbeda.

Dalam ilmu ekonomi memang ada pembagian kerja secara spesial-


isasi, seperti yang dilakukan orang Jepang, orang Jerman. Jika
seorang ahli mekanik suatu jenis mesin, maka sepanjang hidupnya ia
hanya akan mempelajari dan mengerjakan pekerjaan itu hingga ia
benar-benar menjadi tenaga terampil dengan skill tinggi (otomatis
logikanya dengan nilai penghargaan tinggi terhadap skill tersebut).
Tetapi bagaimana dengan spesialisasi pekerjaan di bidang batik
tersebut?
Konon seorang yang memiliki keahlian membuat isen-isen sejenis
galaran yang memerlukan kecermatan tingkat prima, ia memperoleh
honor sebesar Rp. 20 ribu setiap lembar kain batik (2,15 m) yang
digarapnya.
“Itu sudah bagus” Celetuk teman lainnya yang kebetulan adalah
seorang ketua asosiasi pengusaha di bidang batik dan fashion. “Di
Madura ongkos membatik selembar kain (bukan hanya isen-isen
saja) hanya Rp. 10 ribu. Itu full piece, 2 meteran”.
Seorang juragan yang datang ke kampung pembatik membawa
seonggok kain mori dan bahan batik lainnya untuk dikerjakan dalam
waktu 2 minggu. Kain itu kemudian dikerjakan pembatik sekeluarga
yang terdiri dari nenek, emak dan anaknya dengan honor Rp. 10 ribu

53
per pis. Dan dengan order dari sang juragan itulah kebutuhan hidup
keluarga pembatik bisa tercukupi sesuai standar kehidupan di
desanya.
Astaga.!!!............
Sayapun rupanya turut terlibat dalam rantai produksi dalam
perekonomian pembatik itu, dan justru ikut menikmati murahnya
jasa mereka.
Saya termenung ketika menghitung harga batik mentah yang di
pasar 17Agustus Kabupaten Pamekasan. Yang paling murah bisa
saya beli dengan harga Rp. 40 ribu. Memang batikannya tidak terlalu
ramai (maksudnya motifnya itu lho). Tetapi, kalau harga selembar
mori yang 2 meter itu Rp. 28 ribu, ditambah harga malam, ditambah
ongkos penjual yang menjualkan batik tersebut ke Pasar 17 Agustus
(pasti ada ongkos jualnya kan), lalu pembatiknya tersisa dapat
berapa? Sepertinya kurang dari Rp. 10 ribu. Itupun belum tentu
uangnya bisa diterima langsung hari itu.
Apakah ini bagian dari ekonomi kreatif yang di galakkan pemerintah
kita?

Gambar No 28 : Batik mentah yang di beli dari Pamekasan.

54
Kita flash back ke situasi dua abad yang lalu. Benar, sebelum
melakukan analisa dan pemikiran lebih lanjut, terlebih dahulu saya
mengajak Anda untuk membaca tulisan yang saya muat pada buku
saya “Batik, Motif, Kegunaan dan Filosofinya”, bab 3, halaman 59 –
63. Pada sub bab “Batik Rakyat Masuk Keraton”, saya menulis
sebagai berikut.
Fenomena batik rakyat masuk Keraton ini terjadi sejak abad ke 18,
sebagaimana studi yang dilakukan oleh Sudarmono melalui
tulisannya “Dinamika Kultur Batik Jawa” dan dikutip oleh
Dharsono (Budaya Nusantara).
Kedudukan para pembatik dilingkungan Keraton sebagai abdi dalem
kriya sangat ditentukan oleh keahlian mereka dalam karya seninya.
Pekerjaan membatik merupakan pekerjaan yang sangat mulia untuk
menjunjung tinggi derajat, pangkat putra-putri Keraton. Bahkan
dalam waktu-waktu tertentu raja memandang penting dalam
memilih dan menentukan kategori remaja putri yang anggun
menurut Keraton.
Barangkali tradisi ini adalah awal dari kebiasaan memilih Putri
Indonesia di jaman kita. (BRA.Mooryati Soedibyo salah satu
pencetus ide kontes pemilihan Putri Indonesia adalah cucu Sri
Susuhunan Paku Buwono X dari Keraton Surakarta).
Masuknya pembatik rakyat menjadi pembatik Keraton membuat
mereka meningkat kedudukannya, dari kawulo (rakyat jelata)
kemudian diangkat derajatnya menjadi seorang abdi dalem di
lingkungan Keraton sebagai “Abdi Dalem Kriya” (Kelompok tugas
perajin) dengan pangkat “Hamong Kriya”.
Gelar kebangsawanan yang diberikan kepada para pembatik rakyat
itu di anugerahkan Raja kepada rakyat yang dianggapnya telah
berjasa terhadap raja. Mereka mendapatkan perumahan,
perlengkapan rumah tangga dan gaji. Bahkan mereka diijinkan
mengajak kerabatnya masuk ke lingkungan Keraton untuk

55
membantu dalam mengerjakan kriya (salah satunya dibidang
membatik).
Salah satu fenomena yang menjadi obyek penelitian Rajiman dalam
“Sejarah Surakarta”,sebagaimana di kutip oleh Dharsono adalah
masuknya keluarga Wicitran kedalam Keraton.
Pada tahun 1910 di kampung Reksoniten (Soninten), kelurahan
Kusumodiningratan, Surakarta ada sebuah perusahaan batik
“Babaran genes Wicitran” yang dirintis oleh Ny. Resowicitro di.
Perusahaan UKM (istilah saat ini) hanya memiliki 5 – 10 orang
tenaga kerja yang semuanya terdiri dari kerabat sendiri.
Keberhasilannya dalam membuat produk batik halus membuat
pihak Keraton memberikan lisensi tunggal dalam memproduksi
batik-batik pesanan Keraton.
Keberhasilannya ini membuat Ny. Reksowicitro mendapatkan gelar
kebangsawanan Raden Ayu dan ia memindahkan perusahaannya ke
dalam lingkungan Keraton. Hal ini merupakan awal perolehan
derajat kebangsawanan abdi dalem kriya dalam bidang perbatikan.
Perkenalan karya batiknya dengan orang-orang Keraton semakin
memperkuat legitimasi kehadirannya dalam kelompok bangsawan.
Ketika perusahaan kecil ini hanya melayani pesanan Keraton, maka
terpaksa mereka membuat rancangan batik secara teliti dan
terperinci untuk menunjukkan tingkatan pemakai batik di
lingkungan Keraton. Otomatis mereka menciutkan usaha untuk
suatu fokus melayani pesanan Keraton saja, sebagai konsekwensi
menjadi abdidalem kriya yang memperoleh berbagai fasilitas
sebagai bangsawan. Sementara mereka meninggalkan bisnis mereka
dalam memproduksi batik babaran genes yang semula merupakan
salah satu kekuatan bisnis “Babaran genes wicitran”.
Dari hasil wawancara yang dikutip oleh Sudarmono, sekitar tahun
1920 “Babaran genes Wicitran” hancur tanpa ada warisan
profesional maupun sikap entreprenourship yang ditinggalkan
kepada keluarga maupun anak cucu. Satu-satunya yang ditinggalkan
hanyalah kenangan indah berupa gelar kebangsawanan yang

56
diperoleh melalui semangat kerja pengabdian. Menurut ibu Harjo
Wicitro, adik R.Ay. Reksowicitro, sesudah kematian kakaknya, ia
sempat mewarisi usaha itu selama tujuh tahun.
Selama itu ia hanya berusaha mempertahankan usaha kakanya
untuk melayani pesanan batik para bangsawan. Selebihnya
pelayanan kepada masyarakat terbatas pada usaha mbabar
(melakukan pewarnaan). Akibat perubahan ini maka konsumen
batik tulis halus jatuh ke tangan pengusaha Laweyan dan tiga
pengusaha keturunan Tionghoa, antara lain batik cap “Sawo”, cap
“Sidomaju” dan cap “Pancar”.

Menurut laporan de Kat Angelino yang melakukan pengamatan


perbatikan di Surakarta, pada tahun 1930, saat itu ada 236
perusahaan batik pribumi, 88 keturunan Arab, 60 keturunan
Tionghoa, dan 3 pembatik keturunan Eropa. Data tersebut
memberikan gambaran betapa saat itu batik rakyat mengalami
kemajuan karena mereka berorientasi pada perekonomian
masyarakat sebagaimana motif bisnis batik yang dilakukan keluarga
Wicitran sebelum masuk Keraton.
Dari sini agaknya bisa disimpulkan, bahwa kecenderungan
keanggunan bisnis batik klasik sebagaimana yang berkembang di

57
Keraton tidak dapat memberikan jaminan pada tingkat kemajuan
bisnis batik bagi pelakunya (pembatiknya). Kemuliaan sebagai
seorang abdi dalem dan gelar kebangsawanan yang menjadi
konsekwensi pilihan bagi seorang abdi kriya pada zaman kita ini
rupanya tidak cukup untuk melanjutkan kehidupan. Apa yang
dialami oleh batik “Genes Wicitran” sebenarnya hanya merupakan
salah satu diantara contoh bagaimana batik Keraton mencoba tetap
eksis diantara perkembangan kehidupan dalam Keraton serta
kehidupan diluar Keraton.
Batik Keraton dalam keberadaannya merupakan salah satu bentuk
pertahanan budaya Keraton serta sebagai pengakuan legitimasi
kelompok birokrat Keraton. Menurut KRT Harjonagoro yang berasal
dari keluarga pengusaha batik luar Keraton, batik yang dikelola oleh
para abdi dalem di Keraton memberikan peluang yang baik bagi
batik-batik luar istana. Batik-batik rakyat itu secara otomatis
membentuk segment-segment sesuai daya beli masyarakat. Batik
Bekonang dikenal konsumen sebagai batik kwalitas kasar,
sedangkan keluaran Matesih dan Laweyan untuk tingkat menengah
sedangkan keluaran Kedung Gudel di daerah Sukoharjo untuk batik
berkwalitas halus. Lain halnya dengan batik dari Tembayat dikenal
sebagai batik kelengan, yaitu batik yang dicelup satu kali untuk satu
warna saja.
***

58
OEY SOE TJOEN,
SI LEGENDA DARI PEKALONGAN

Cerita mengenai Legenda Oey Soe Tjoen ini pertama kali saya
dengar ketika mampir di kantor Pak Yo (Yohannes Somawihardja),
saat itu masih Direktur Akademik Universitas Ciputra. Beliau
bercerita betapa pembatik yang karyanya berhaga ratusan juta ini
bukanlah seorang yang kaya raya karena karya batiknya dikolesi di
beberapa museum luar negeri. Bahkan kehidupannya masih
ditopang dengan usaha toko pracangan.
Menyambung topik tulisan pada bab sebelum,nya, saya ingin
memuat kisah bagaimana keturunan Leganda Batik Pekalongan ini
mencoba mempertahankan nama besar sang kakek, agar workshop
batiknya tetap bisa berproduksi.
Tulisan ini bukan buatan saya, tetapi saya mengutip dari postingan
ndangcerung (mantan kontributor Intisari) pada August 27, 2016.

59
Salah satu jenis batik yang punya banyak penggemar adalah batik
pesisiran; Cirebon, Indramayu, Pekalongan, Lasem, Madura, dsb.
Dengan motifnya yang cenderung lebih berani dan beranekaragam,
batik-batik pesisiran banyak dikejar oleh para kolektor. Ya,
meskipun mereka harus merogoh kocek yang cukup dalam.

Ironi di tengah puja-puji


Sayang seribu sayang, tak semua pelaku batik menikmati masa indah
ini, momen ketika batik berjaya di pasaran. Di beberapa daerah,
banyak industri batik yang mati suri. Tak sedikit juga yang akhirnya
kolaps dan hanya meninggalkan nama belaka. Salah satu contohnya,
Batik Art Oey Soe Tjoen, batik legendaris dari Kedungwuni,
Pekalongan. Meski tak sampai gulung tikar, usaha yang didirikan
oleh Oey Soe Tjoen pada 1925 ini hampir undur diri.
Pada masa jayanya, 1935, Batik Oey pernah mempekerjakan sekitar
150 pekerja dengan hasil 30 kain batik per bulan. Tapi itu cerita
dulu. Kini usaha yang diteruskan Widianti Widjaja, cucu sang
pendiri, hanya memproduksi 20 kain batik per tahun. Dengan
kisaran harga setara dengan satu motor baru per kainnya.

60
Gambar No 29 : Lokasi usaha Batik Art Oey Soe Tjoen di Kedung Wuni
Pekalongan.

Masalah utama masih berkutat seputar sumber daya manusia yang


jauh dari kriteria yang ditetapkan batik Oey. Terkesan arogan
memang, tapi untuk mempertahankan kualitas serta mutu secara
terus menerus, Widianti memasang target tinggi untuk para calon
pembatiknya. Jika dihitung-hitung, saat ini hanya ada 12 sampai 15
pekerja, itu pun tidak semua bisa aktif setiap hari.
Untuk selembar kain batik yang dibuat, Widianti meminta tenggat
waktu 3 sampai 3,5 tahun. Bukan karena banyaknya permintaan,
tapi karena Sang Pemilik tidak bisa memaksa para pekerjanya
bekerja seharian di pembatikan. Para pekerja diberi kebebasan
untuk mengerjakannya sesuka hati. Untuk upah juga tidak ada
patokan khusus, karena mereka akan digaji tiap satu pekerjaan yang
kelar mereka garap.
“Ada yang petani, ada yang ibu rumah tangga, mereka mbatiknya ya
pas ada waktu luang saja. Setelah mengantar anak sekolah
misalnya,” ujar Widianti tentang para pekerjanya.

61
Dengan hasil produksi itu, Batik Oey tidak lagi bisa menjadi mata
pencaharian utama keturunan Oey. Untuk tetap mempertahankan
dapur keluarga tetap mengepul, Widianti membuka toko serbaguna
yang letaknya persis di samping rumah. Di beberapa kesempatan,
toko yang dia rintis dengan suaminya itu justru berperan sebagai
penopang utama batik.

Mati suri setahun


Widianti menerima amanat batik Oey dari ayahnya, Muljadi Widjaja,
dalam keadaan compang-camping. Dari 150 tenaga kerja yang ada di
zaman kakeknya, kini tersisa 60 orang saja. Kondisi mulai
memburuk pada periode awal tahun 2000. Banyaknya produksi
batik di Pekalongan, termasuk di antaranya batik printing, menjadi
masalah baru bagi Muljadi.
Ketika 2002 Muljadi meninggal dunia, warisan keluarga ini
diserahkan sepenuhnya kepada Widiati yang ketika itu baru dua
tahun lulus kuliah. Bebannya tidak ringan, sebab harus melestarikan
mata pencaharian keluarga selama dua generasi sebelumnya.
Meneruskan sebuah warisan budaya tidaklah semudah
membalikkan telapak tangan. Di lain pihak Widianti juga harus
meredam isu yang tersebar di Jakarta, bahwa batik Oey sudah tutup
seiring dengan meninggalnya Muljadi.
Di tengah upaya menghalau masalah tersebut, musibah lain lagi-lagi
memalugodam produksi batik Oey yakni Bom Bali 2002. Secara tidak
langsung, peristiwa telah membunuh ruang edar batik Oey. Maklum,
hampir sebagian besar pelanggan berasal dari luar negeri. Seluruh
pesanan yang telah diproduksi, batal. Akhirnya batik-batik itu
menumpuk di gudang, di belakang rumah Widianti.
Tak berhenti sampai di situ, karut-marut yang dihadirkan tragedi
Bali semakin diperparah dengan kelangkaan minyak tanah yang
terjadi tahun itu. Akhirnya, setelah melalui pergulatan yang panjang,

62
Widianti memutuskan untuk mengistirahatkan batik Oey untuk
sementara waktu.
“Sekitar 30 pembatik yang ada sejak zaman Papa saya pulangkan.
Saya hanya memakai 12-15 orang saja untuk menjaga kebutuhan
produksi batik Oey. Tapi secara umum, selama kurang lebih setahun,
saya tidak menerima tawaran batik dari luar,” kenang Widianti
tentang masa-masa sulit itu.

Hingga hari itu datang…


Suatu siang pada 2004, datanglah seorang pencinta batik dari
Jepang. Tidak ada angin tidak hujan, tiba-tiba ia memesan motif batik
hokokai yang didapatnya dari salah satu museum di Jepang.
Syaratnya hanya satu, tak peduli bagus atau tidak, harus menyerupai
motif yang dia inginkan.
Widianti yang waktu memang sedang senggang, menyanggupi
permintaan si orang Jepang yang baik hati. Seperti sebelum-
sebelumnya, Widianti meminta tenggat pembuatan kurang lebih tiga
tahun. Orang Jepang tersebut menyanggupi.
Belum sampai setahun, si Jepang sudah datang lagi. Padahal batik
yang dia pesan sama sekali belum beres. Tapi bukan itu tujuan si
Jepang, kali ini lebih gila, dia membawa empat motif yang berbeda
satu dengan yang lain. Karena merasa terlalu berat, maka Widianti
hanya menyanggupi dua dari empat motif itu. Lagi-lagi pecinta batik
dari Jepang itu menyanggupi.

63
Gambar No 30 : Peralatan “memasak” malam untuk pembuatan batik di
workshop batik Oey Sioe Tjun

Di tengah usahanya menyanggupi pesanan dari Jepang, datanglah


tamu lain dari Singapura. Karena tertarik dengan gambar karya
Widianti, sang tamu ikut-ikutan memesan apa yang dipesan oleh si
orang Jepang. Entah karena apa, setelah itu tiba-tiba banyak pecinta
batik yang memesan batik Oey. Akhirnya, pada tahun itu juga,
Widianti memberanikan diri untuk kembali membuka permintaan
pembuatan batik.

Sempat ingin berhenti


Mengembalikan kejayaan batik Oey Soe Tjoen merupakan salah satu
harapan Widianti suatu saat nanti. Baginya, membesarkan batik
sama halnya dengan membesarkan nama keluarga Oey. Tapi tentu
saja itu tidak mudah. Persaingan industri batik, serta minimnya
pembatik berkualitas menjadi halangan tersendiri bagi Widianti.

64
Belum lagi, waktunya banyak dicurahkan untuk kelangsungan
tokonya. Ia baru bisa mengerjakan batik pesanan orang setelah
urusan di toko rampung. Itu pun tidak setiap hari, hanya Jumat
malam dan Sabtu malam.
“Saya tak mungkin meninggalkan toko. Suami saya ndak bisa
sendirian. Di sela-sela menjaga toko, tiap hari saya juga harus
mengantarkan anak berangkat sekolah. Jika ada yang tanya, milih
mana batik atau keluarga? Maka saya akan menjawab yang kedua,”
ujarnya tegas.

Widianti tak mungkin menghentikan tradisi batik yang sudah turun


temurun. Banyak pertimbangan yang menggelayut di pundaknya jika
usaha ini sampai berhenti. Salah satu pertimbangannya adalah
amanat keluarga besarnya.
Yang tak kalah penting, urusannya dengan para pelanggan. Dia tak
mungkin begitu saja memutus hubungan baik yang telah dirajut
dengan para relasi. Mereka tak sekadar pembeli, tapi juga teman
diskusi.

65
Dwita Herman salah satunya. Perempuan 50 tahun ini mengaku
beberapa kali dicurhati Widianti terkait niatnya untuk berhenti dari
batik. “Sayang saja kalau benar-benar berhenti,” katanya. Dwita
sendiri beberapa kali berdiskusi dengan Widianti untuk menentukan
motif batik terbaru. Salah satunya adalah cerita Isra’ Mi’raj dengan
warna Tionghoa yang saat ini salah satu koleksi pribadi Dwita.
Beberapa pelanggannya juga menyarankan agar Widianti membuat
produk batik sampingan, yang lebih komersial, sebagai penopang
agar batik Oey tetap hidup. Alih-alih diiyakan, Dwita mengaku
Widianti agak “keras kepala” perihal masalah ini. Menjaga kekhasan
batik Oey Soe Tjoen tetaplah yang utama bagi Widianti. Apa pun
caranya.
***
Catatan:
*Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi khusus “50
Tahun Intisari”.
**Tulisan ini hasil dari tugas luar kota pertama saya (ndangcerung
) ketika bekerja di Intisari

66
TALKSHOW BATIK DI
SMARTFM SURABAYA
Posted by adikusrianto on 13 Januari 2012 in Uncategorized

Kita sering mendengar istilah Batik Klasik dan Batik Modern.


Sebetulnya apakah yang disebut Batik Klasik, maksudnya
batik-batik yang mana yang bisa disebut batik klasik itu. Lalu
batik modern ini yang cirinya bagaimana ?

Adi Kusrianto

Batik Klasik (menurut Pak Hamzuri, dari direktorat permuseuman),


adalah batik yang klasik dalam cara pembuatannya maupun klasik
dalam hal motif batiknya. Nah, kalau uraian ini masih terlalu abstrak,
kita bisa mengacu pada uraian Ibu Sri Sudewi Sjamsi dari Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Kerajinan dan Batik. Batik klasik itu
secara garis besar terdiri dari Batik dengan Ragam Hias Geometris
dan Non Geometris.
Batik Klasik Geometris diantaranya:
1. Kelopok Ceplok.
2. Kelompok Kawung.
3. Kelompok Parang atau Lereng.
4. Kelompok Nitik.

Batik Klasik Non Geometris diantaranya:


1. Kelompok Lung-lungan

67
2. Kelompok Semen
3. Kelompok Pagersari
4. Kelompok Wayang
Masing-masing motif itu memiliki ciri dan kandungan ornamen
tertentu yang khas, yang terdiri dari motif utama (dengan nama-
nama tertentu), motif seling serta motif isen-isen yang semuanya
memiliki bentuk dan nama tertentu.
Ciri lain dari batik motif klasik, rata-rata mengandung falsafah
tertentu pada ragam hiasnya maupun pada keseluruhan motif.
Motif klasik juga biasanya memiliki kegunaan tertentu, dipakai pada
even-even tertentu sehingga memiliki tatanan dan etika di dalam
memakai. Batik klasik muncul dari daerah sekitar keraton atau
dalam bahasa Belanda disebut Vorstenlanden. Batik klasik memiliki
sifat introvert, dari orang dalam kalangan untuk orang dalam
kalangan.
Sedangkan Batik Modern, adalah batik yang muncul di wilayah
pesisiran. Awalnya dari Pekalongan, Cirebon kemudian menyebar ke
Juwana, Lasem, Tuban, Semarang, Tegal, juga ke Tanjung Bumi
Bangkalan. Disebut batik modern, karena batik-batik ini menerima
pengaruh dari berbagai bangsa pendatang, baik dari Tiongkok, Arab,
India maupun Eropa. Ragam hiasnya tidak melulu berasal dari unsur
ornamen lokal, tetapi ornamen dari berbagai bangsa pendatang.
Yang paling dominan hingga saat ini adalah ornamen dari Tiongkok,
India dan Eropa.
Kalau Batik Klasik sifatnya Introvert, maka Batik Modern sifatnya
Extrovert, terbuka dengan pengaruh dari luar. Oleh karenanya dalam
perkembangan batik, kita mengenal batik Belanda yang
dikembangkan pengusaha-pengusaha batik keturunan Belanda,
batik Encim3, yang dikembangkan oleh pembatik-pembatik
keturunan Tionghoa, batik Jawa Hokokai, batik yang berkembang

3
Batik keturunan ini bermula dari wanita-wanita Jawa yang menikah
dengan laki-laki pendatang. Dalam rangka menyesuaikan diri dengan
budaya suami maka ia mengasimilasi budaya lokal dengan budaya suami.

68
dan mendapat pengaruh selera budaya orang Jepang yang
menguasai Indonesia pada periode tahun 1942 hingga 1945. Setelah
periode itu kita mengenal Batik Indonesia Baru yang dipelopori Go
Tik Swan Panembahan Harjonagoro, Ibu Sud dan Iwan Tirta.
Dengan uraian tadi apakah berarti batik klasik sudah tidak bisa
berkembang lagi ?
• Bisa, justru generasi kita ini yang seharusnya lebih hebat
mengembangkan batik klasik agar menjadi Neo Klasik.
• Bagaimana bedanya batik
Klasik dengan Neo Klasik ?
Arti Batik Klasik tadi sudah saya
singgung batasannya, yaitu
memiliki kelompok motif dan
Ragam Hias tertentu. Untuk
mencipta jenis klasik yang baru
dalam hal teknisnya kita bisa
menyempurnakan dengan
teknik membatik yang lebih
modern dan efektif, dengan
bahan-bahan yang sesuai
perkembangan jaman baik
bahan kainnya maupun bahan pewarnanya. Dari segi motif
ornamen-ornamen klasik dapat dikombinasikan dengan
beberapa ornamen baru, dan terlebih warnanya. Jika batik
klasik dominan pada warna coklat soga, hitam, biru tua dan
putih, maka batik Neo Klasik bisa menggunakan warna apa
saja.
Batik-batik karya Go Tik Swan sangat mempesona karena membuat
batik motif klasik dengan batikan yang sangat rapi,
menyempurnakan karya-karya pendahulunya dan membuat
komposisi warna yang fantastis, sehingga karya-karya neo klasik
dari Go Tik Swan yang mendapatkan gelar Kanjeng Raden
Tumenggung kemudian meningkat menjadi Lanjeng Raden

69
Penembahan Harjonagoro ini dikenal sebagai batik 3 dimensi,
karena komposisi warnanya membentuk ruang kedalaman pada
batik-batik karyanya.
Ciri lain dari batik modern, adalah berubahnya sifat penciptaannya.
Jika batik tradisional semuanya dikerjakan secara komunal. Ada
yang membuat pola, ada yang mencanting malam, mencelup
semuanya dilakukan orang berbeda. Dalam hal ini perlu dilakukan
ikatan budaya yang kuat dalam suatu komunitas. Oleh karenanya
sulit untuk menyatakan suatu karya batik sebagai karya individu
tertentu.

Pada tahun 1880, Cristina Van Zuylen telah


mengubah tradisi batik sebagai anonim
alias tanpa diketahui identitas
pembuatnya dan bersifat massal (public
domain), menjadi karya ekslusif, di mana
satu desain untuk satu pembeli.
Perkembangan batik sebagai karya individual dengan ditandai
adanya klaim atas desain yang semakin ekspilist dengan
membubuhkan nama diri dari perajin atau seniman pada kain batik.
Identitas nama pembuatnya. Cristina van Zuylen, dituliskan di sudut
bagian dalam berbentuk tanda tangan yang berbunyi “T. Van Zuylen”
(kependekan dari Tina van Zuylen). Saudaranya Eliza van Zuylen
berbunyi “E van Zuylen” atau “Mevr E van Zuylen – Pekalongan”
"Batikkerij" (batik workshop).

70
Gambar No 31 : Tanda tangan Eliza van Zuylen (E Van Zuylen).

Sejak periode itu batik pesisiran yang dibuat oleh pengusaha


keturunan Indo-Eropa dan keturunan Tionghoa muncul kebiasaan
mencantumkan “signature” pada karyanya.

***

71
BATIK BECAK,
DERITA BATIK DI ZAMAN
PENDUDUKAN JEPANG

Adi Kusrianto

Pada sekitar tahun 1929 hingga 1930an, dunia dilanda krisi ekonomi
besar-besaran yang efeknya terasa hingga tahun-tahun berikutnya.
Sebuah peristiwa menurunnya tingkat ekonomi secara dramatis di
seluruh dunia. Ini mungkin krisis ekonomi yang melanda dunia
secara luas yang pertama. Saat itu kakek nenek kita menyebutnya
dengan istilah “malaise”.
Negeri kita saat itu masih di bawah penjajahan tentara Jepang, yang
menindas kehidupan bangsa Indonesia sebagai pendukung logistik
mereka saat Perang Dunia II. Dalam dunia perbatikanpun kondisi
buruk yang terjadi dalam perekonomian dunia ini pun menimbulkan
goresan sejarah tersendiri. Ada suatu periode yang terjadi sekitar
dua tahun, apa yang disebut munculnya “Batik Becak”. Tidak banyak
yang mengungkap dalam bentuk tulisan apalagi dokumentasi dalam
bentuk foto. Pada buku “Seni Kerajinan Batik Indonesia” tulisan S.K.
Sewan Susanto, S.Teks halaman 14, termuat sekelumit catatan
sejarah tentang Batik Becak.
Sewan Susanto menulis (saya gubah dalam bahasa kekinian):

72
Yang disebut Batik Becak ialah suatu jenis batik yang dibuat dengan
keadaan dan corak khusus dikarenakan oleh suatu keadaan ekonomi
dan sejarah perjuangan Bangsa Indonesia pada suatu periode waktu.
Oleh karena Batik Becak ini merupakan bagian kecil/percikan
sejarah batik Indonesia, maka hal ini disertakan pada uraian sebagai
kelengkapan sejarah batik Indonesia. Walaupun dokumentasi dalam
bentuk foto tidak didapati karena tidak ada kolektor batik yang
menyimpan batik yang dibuat dalam keadaan penuh ketidak
sempurnaan saat itu. Sungguh berbeda dengan keadaan ironi yang
melahirkan batik Jawa Hokokai yang justru fenomenal karena dibuat
dengan sangat indah dan kaya warna.
Batik Becak dibuat pada tahun-tahun 1943-1944 disaat negeri kita
dikuasai dan ditindas oleh tentara Jepang. Pada saat itu keadaannya
serba kekurangan, muncullah suatu jenis kain batik yang mutunya
jauh di bawah mutu kain batik pada keadaan normal. Batik Becak ini
dibuat dari kain mori kasar yang disebut “keci” yang dibuat dengan
ukuran lebar 90 cm dan panjang “dua kacu” (istilah saja, dua kali
lebar sapu tangan) yaitu sekitar 182 cm.

Gambar No 32 : Batik becak berukuran dua kacu (dua ukuran saputangan)

Mori kasar setelah dicap dengan menggunakan satu macam lilin


batik murahan (kemungkinan hanya menggunakan parafin),
kemudian dicelup dan di lorod. Jadi batik ini hanya satu warna saja,

73
ada yang berwarna biru dan ada yang merah. Mengingat Batik Becak
ini lebarnya kurang memadai jika dipakai oleh wanita yang ukuran
tubuhnya agak tinggi, maka terpaksa di sambung dengan kain lain di
bagian atas yang akan tertutup stagen. Bagi pria yang saat itu juga
berbatik, menjahit kain tersebut sekalipun bukan bermotif sarung.
Umumnya Batik Becak menggunakan motif Lereng dan satu warna.
Dari keadaannya Batik Becak tergolong batik kontemporer yang
terlahir karena keadaan saat itu. Setelah periode itu, Batik Becak
tidak lagi dibuat dan akhirnya hanya menjadi kenangan buruk yang
terpotret dalam sejarah batik sebagai refleksi kehidupan bangsa kita
yang saat itu belum bernama Indonesia.

***

74
LUKISAN BATIK
DAN BATIK LUKIS

Adi Kusrianto

Tanggal 1 April 2017 yang lalu saya mendapat


pertanyaan dari seorang pembaca buku Batik saya, dia
adalah Meylina, mahasiswi Pascasarjana Fakultas
Psikologi UGM yang saat ini duduk di semester II dan
sedang mempersiapkan penelitian. Rencana penelitian
ini terkait seni Batik, khususnya batik lukis atau lukisan
batik. Meylina menulis, bahwa : “Kami (tim peneliti yang
juga melibatkan dosen kami) akan mencoba
menghubungkan antara Batik dengan kreativitas para
pelukis batik khususnya di Yogya”.
Ketika saya menyiapkan jawaban atas pertanyaan tersebut, saya
harus menulis dan melihat-lihat referensi, mengingat jawaban saya
akan dijadikan sebagai referensi sebuah penelitian ilmiah.
“Dear Mbak Meylina, Mengingat Anda hendak membuat tulisan
ilmiah, yang besar kemungkinan tulisan Anda nanti akan di rujuk,

75
dijadikan referensi oleh orang lain, maka sebaiknya marilah
dibuat batasan yang lebih jelas dan terinci.”
Bahwa Batik Indonesia, itu mencakup tiga pengertian, yaitu :
• definisi yang menyertakan teknis pembuatan,
• motifnya,
• kegunaannya, (dan filosofi yang terkandung di
dalamnya.).
Walaupun yang saya tulis di atas, dalam tanda kurung pada batik
modern sudah ditinggalkan.

Batik adalah teknik menghias kain dengan


perintang warna.
Jika hanya itu saja, maka banyak bangsa lain di dunia telah
melakukan hal itu sejak jaman kuno, dan namanya bukan batik.
Itulah sebabnya banyak orang Indonesia maupun luar Indonesia
yang ber argumen bahwa batik bukan budaya asli Indonesia.
Betul. Tetapi yang disebut batik definisinya belum selesai. Ini
menyangkut teknik pembuatannya yang sangat khas berupa canting.

Batik adalah teknik menghias kain dengan


perintang warna, yang cara menggores-
kan motif/ coraknya dengan mengguna-
kan canting.

Awalnya pada era batik klasik, kain batik itu hiasan/ motifnya
dengan menggunakan motif-motif tertentu. Menurut Sri Soedewi
Syamsi, dalam bukunya Pola ragam hias Batik Yogya dan Solo, batik

76
itu dibuat menggunakan motif-motif tertentu. Masing2 memiliki
nama dan fungsi.
Defnisinya menjadi berlanjut seperti ini:

Batik adalah teknik menghias kain dengan


perintang warna, yang cara menggoreskan
coraknya dengan menggunakan canting, dan
memiliki motif-motif tertentu.

Ketika UNESCO melakukan penelitian apakah masih ada kelompok/


komunitas/ suku yang secara tradisi memakai/ menggunakan kain
batik untuk menjalankan ritual tradisi tertentu. Ternyata mereka
menemukan bahwa suku Jawa memang hingga saat ini masih
menggunakan batik dengan motif tertentu untuk menjalankan ritual
tradisi tertentu.4
Sehingga lengkapnya cara kita mendefinisikan batik secara lengkap
adalah:

Batik adalah teknik menghias kain dengan


perintang warna, yang cara menggoreskan
coraknya dengan menggunakan canting, yang
memiliki motif-motif tertentu, dan digunakan
sebagai busana secara tradisi untuk ritual-
ritual atau kegunaan tertentu.

4
Prosedur seperti ini juga dilakukan ketika aksara Bali dan Aksara Jawa
(hanacaraka) akan di codingkan menjadi kode ASCII. Aksara Bali di terima
dulu karena pengguna aksara Bali lebih banyak, bahkan dijadikan tulisan
pada kitab Wedha yang menjadi kitab suci orang Hindu Bali, dijadikan
bacaan ritual sehari-hari seperti tulisan Arab pada orang Islam. Sedangkan
aksara Jawa dilihat dari prosentase masyarakat Jawa penggunanya bahkan
yang memahami lebih sedikit sehingga awalnya ditolak untuk di Codingkan.

77
Silahkan baca buku saya, bab “Batik Pada Kehidupan Orang Jawa”
Jadi:
Batik Indonesia, jika didefinisikan harus mencakup hal-hal
yang disebut diatas. Dan berdasarkan batasan tadilah maka
lembaga dunia yang terdiri dari berbagai bangsa (termasuk
diantaranya bangsa Malaysia) menerima bahwa
“Batik adalah Budaya Tak-benda Warisan Manusia
(Representative List of the Intangible Cultural Heritage of
Humanity) dari bangsa Indonesia”.
Di dalam perkembangannya, secara intern, bangsa Indonesia
mengembangkan seni batik ke berbagai aspek yang menyangkut
teknik pembuatan, motif yang digunakan, maupun fungsi/ kegunaan
batik tersebut. Akhirnya untuk memperluas pengertian Batik secara
luas muncul pengertian batik masa kini yang diharapkan tidak
mengaburkan pengertian inti dari batik itu sendiri.

Gambar No 33 : Ini adalah MOTIF BATIK yang dilukis di body bus.

78
Gambar No 34 : Gerbong Kereta Api yang dihiasi gambar MOTIF BATIK

Ingat, MOTIF BATIK hanya sebagian dari elemen Batik.


Salah satu aspek pengembangan seni rupa yang berbasis pada
(teknik) batik, adalah munculnya Batik Lukis.
Batik lukis adalah salah satu bentuk lukisan yang cara
pembuatannya menggunakan teknik membatik. Diantaranya adalah
menggunakan teknik perintang warna berupa malam (wax).
Sedangkan caranya tidak hanya terbatas menggunakan canting saja,
tetapi juga dengan sarana/ alat yang lain, seperti berbagai bentuk
kuwas bahkan pisau palet (palette knife).
Batik lukis tidak terbatas pada penggunaan motif-motif khas
tertentu (motif klasik) saja, tetapi menggunakan berbagai corak
sebagaiaman bentuk lukisan dekoratif, hingga ke bentuk-bentuk
yang lebih abstrak.

79
Gambar No 35 : Amri Yahya dengan lukisan yang dibuat dengan teknik
perintang warna berupa wax (malam).

Istilah batik lukis, awalnya dipopulerkan ketika pelukis Amri Yahya


membuat beberapa karya lukisnya menggunakan teknik batik, yaitu
menggunakan teknik perintang warna berupa malam.
Apa yang dilakukan oleh Amri Yahya ternyata memicu kreatifitas
seniman yang awalnya berbasis seni lukis (painting) maupun yang
berbasis seni batik. Dengan demikian jika diamati seolah-olah ada
dua arah, yaitu:
• Lukisan batik (pelukis yang melukis dengan teknik batik)
dan
• Batik Lukis (pembatik yang membuat pola-pola diluar
tradisi dan menyerupai bentuk pola lukisan).

80
Lukisan batik adalah perupa yang membuat lukisan menggunakn
tektik membatik. Sedangkan batik lukis, adalah pembatik yang
membuat batiknya keluar dari motif-motif tradisional batik dan
cenderung berupa diwujudkan sebagai sebuah karya lukisan.
Batik lukis, jika diamati sebenarnya telah muncul ketika para
pembatik di era batik pesisiran menerima orderan dari para
juragan batik keturunan Belanda untuk membuat batik dengan pola-
pola berbentuk natural (bukan motif berbentuk simbolis dengan
cara melakukan stilasi bentuk natural) yang belakangan dikenal
dengan istilah motif buketan.

Gambar No 36 : Motif Buketan pada Batik Pesisiran di era Batik Belanda

Kain batik yang penggambaran motif bunga digambarkan secara


natural berupa seikat bunga (bouquet yang diucapkan buket).

81
Motif inipun berkembang menjadi
penggambaran thema-thema tertentu, hingga
belakangan bahkan secara inovatif batik
berisi panel-panel (bidang-bidang) yang
menggambarkan cerita.

Gambar No 37 : Batik Lukis sepanjang 22 meter berisi panel-panel yang


menggambarkan ilustrasi kisah dari “Melawat Ke Barat” (Journey To The
West) yang di Indonesia sering disebut dongeng kera sakti Sun Go Kong.
Lukisan ini didesain oleh Bayu Aria bersama tim nya di studio Hot Wax,
Yogya.

82
Apa yang dilakukan oleh seniman batik Bayu Aria ini barangkali
diilhami oleh nenek moyang bangsa Indonesia ketika membuat relief
pada candi. Setelah berhasil membuat batik sepanjang 22 meter itu,
Bayu Aria memperoleh pesanan batik yang lebih panjang dan isinya
menggambar kisah yang tertulis dalam Bible.

Ketika munculnya pewarna sintetis (cat Direct), memungkinkan


para pembatik mewarnai
kain batik tanpa
melakukan pencelupan
(merendam dalam larutan
pewarna), melainkan
dengan mewarnai bidang
pada kain batik
menggunakan sistem
coletan (dari asal kata
mencoletkan pewarna
pada kain). Teknik ini
menjadi sangat dekat
dengan teknik melukis,
karena zat pewarna dapat
berinteraksi dan diserap
langsung oleh kain katun
(maupun bahan yang
berasal dari serat selulosa
dan serat protein lainnya5).

5
Serat selulosa adalah serat yang berasal dari tumbuhan seperti kapas, serat
protein berasal dari hewan seperti sutra.

83
Gambar No 38 : Bukankah teknik membatik ini menjadikan teknik
pewarnaan batik menjadi sangat mirip dengan teknik melukis juga?

Termasuk diantaranya membuat teknik gradasi dari warna tua ke


warna muda, atau warna merah ke kuning, dsb.
Selain Bayu Aria yang sukses menjual banyak sekali selendang batik
dengan motif bunga secara natural dengan sistem colet, sehingga
batiknya tergolong lukisan batik.
Perhatikan teknik gradasi warna yang dibuat dengan sistim colet
menggunakan kuwas lukis.

Gambar No 39 : Batik lukis yang berangkat dari era batik jaman Jepang
yang populer disebut Batik Java Hokokai yang berciri “pagi sore”6. Gambar

6
Selembar kain batik seolah-olah terdiri dari dua panel dengan beda warna,
sehingga dapat di pakai bagaikan dua lembar kain batik yang ketika di pakai
pagi dan sore nampak berbeda.

84
corak burung kuntul (bangau) sehingga diplesetkan menjadi Hokontul. Atau
Hokokai versi Bantul? (terserahlah).

Selain Bayu Aria, di Ponorogo ada Si Gun, di Surabaya ada Prima


Amri, pembatik yang membuat lukisan menggunakan canting dan
kuwas. Motif atau obyek yang dilukis benar-benar obyek yang umum
dipilih dalam suatu lukisan. Bedanya Si Gun banyak memanfaatkan
teknik colet sedang Prima Amri masih menggunakan teknik
pencelupan.

Gambar No 40 : Mewarnai kain batik dengan teknik mencolet seolah


melukiskan kuwas pada kanvas.

85
Gambar No 41 : Batik lukis karya Prima Amri (Surabaya).

Gambar No 42 : Lukisan-lukisan batik oleh Si Gun, (Guntur Sasongko)


pembatik asal Ponorogo.

86
Gambar No 43 : Lukisan batik sutera berbentuk syal atau selendang, karya
Ciplies, Surabaya.

***

87
MENGENAL PATOLA, KAIN
KUNO GENERASI SEBELUM
BATIK KITA

Adi Kusrianto

Sebagaimana saya tulis pada buku Batik Jawa Timur, bahwa


“Sebelum mengenal Batik, raja-raja di Jawa menggunakan bahan
busana dari kain impor yang diperoleh dari pedagang luar negeri
(India dan China). Mereka tidak mensakralkan kain-kain impor tadi
karena kain-kain tersebut tidak dibuat berdasarkan kemauan
mereka. Dst..dst...
Salah satu kain yang saya maksudkan pada naskah tersebut adalah
PATOLA. Kain tenun ikat dari bahan sutera yang ditenun dengan
teknik dobel ikat. Apa yang dimaksud dengan teknik dobel ikat?
Teknik tenun ikat itu ada tiga macam, yaitu ikat LUSI, yaitu yang
diikat untuk memperoleh efek motif adalah benang lusinya, yaitu
benang yang memanjang kearah serat kain. Yang kedua yang diikat
adalah benang pakannya, yaitu benang tenun yang letaknya
melintang kearah lebar kain. Sedang yang ketiga adalah teknik
mendesain motif dari mengikat benang lusi dan pakannya, ini yang
disebut tenun ikat ganda.
Tenun PATOLA ini berasal dari kota Patan, yang berada di negara

88
bagian Gujarat, India. Tenun Patola ini telah ada pada abad ke 11
(bukan berarti dimulai abad 11, bisa jadi jauh sebelumnya sudah
ada).

Gambar No 44 : Orang Patan mengaku kalau Patola di daerah mereka


sudah ada sejak 2 millenium yang lalu.

Setidaknya Patola dikenal motif-motif tenunnya banyak diilhami dari


ornamen motif pada panel istana ratu Rani Ki Vav, atau Ran-Ki Vav
(Queen's step well) dibangun pada masa pemerintahan dinasti
Chaulukya. (memerintah 1022-1064).

89
Patola dan Istana Ran Ki Vav ini justru diakui sebagai budaya
warisan dunia dari Gujarat baru pada tahun 2014. Batik lebih dulu
memperoleh pengakuan tahun 2009.

90
Patola masuk ke Majapahit melalui pelabuhan Kambang Putih,
Tuban dan Pelabuhan di Sungai Berantas, dekat Mojokerto. Kain
Patola dikonsumsi para Raja dan Bangsawan Majapahit saat itu
sebagai pakaian tenun. Saat itu (dan seharusnya hingga kini) kain-
kain mahal itu saat di pakai sebagai busana tidak di potong/ di
gunting/ lalu dijahit. Tetapi kain itu dipakai hanya di bebatkan saja
dan diberi semacam sabuk pengikat, atau selendang dsb.

Selain PATOLA juga kain CHITZ, bentuk lain kain mewah dari India
yang berbahan Sutera. Sementara kain impor lain yang saat itu
dibawa pedagang asing adalah dari China. Ini akan kita bahas pada
tulisan lain, bagaimana motif-motif kain dari India dan China ini ber
migrasi ke motif Batik kita.
Bagi Anda yang telah memiliki buku saya
“Batik, Filosofi, Motif dan Kegunaannya”
silahkan membuka bab yang berjudul Batik
dan Pengaruh Budaya Bangsa Asing.

91
***

92
JEJAK PATOLA PADA BATIK
YOGYA DAN PEKALONGAN

Adi Kusrianto

Wajah batik Nusantara terbentuk bukan saja dari budaya internal


suku-suku yang hidup di kawasan negeri kita saja, tetapi juga akibat
berbagai keterlibatan bangsa lain. Diantaranya pengaruh budaya
bangsa Cina, bangsa India, Arab hingga kedatangan bangsa-bangsa
Eropa khususnya masa penjajahan Belanda dalam kurun waktu yang
panjang dan diakhiri pendudukan Jepang yang sekalipun dalam
waktu yang tidak terlalu panjang, namun sempat menorehkan
pengaruh yang cukup berbekas hingga kini. Sejarah teknologi
pertekstilan bangsa India lebih tua beberapa abad kebelakang
dibanding suku-suku bangsa yang tinggal di kepulauan Nusantara.
Di India dikenal busana khas wanita yang disebut sari (sarees).
Begitu dominannya kain sari ini sehingga keindahan bahan pakaian
ini sangat menentukan tampilan seorang.

93
Gambar No 45 : Perempuan
India dengan Sarees yang begitu
indah.

Pada abad ke 7 di kerajaan


Sriwijaya (Palembang) sangat
populer kain sari impor ber-
bahan sutera yang bernama
Patola.

Gambar No 46: Salah satu


contoh motif kain Patola
modern (The exclusif art of
Patola) dari Gujarat, India.
Memang sangat mirip dengan
Nitik Yogya.
Kain asal Gujarat yang diper-
dagangkan komunitas Hindu Salve
dan komunitas Muslim Vohra hingga ke Asia Tenggara meliputi
Malaka, Aceh, Riau, Palembang hingga Pantai Timur Pulau Jawa.

94
Gambar No 47 : Koleksi kain sutera
dan patung-patung pada kuil Maatan
sheri.

Kain sutera bahan sari ini diilhami dari karya tekstil yang datang
dari kuil-kuil di India selatan seperti Maatansheri di daerah Kerala,
dan Padbhapunam di Tamil Nadu bagian selatan yang bergunung
dan berhawa dingin. Pada jaman itu kain sari Patola sangat digemari
kaum aristokrat diseluruh wilayah Vohras, Jains dan kaum Hindu
Brahma yang selalu mengenakan kain sari Patola pada setiap
upacara-upacara tertentu seperti saat pernikahan dsb. Setelah
runtuhnya kekuasaan dinasti Solanki maka pembuatan dan
perdagangan kain sari Patola diambil alih oleh pedagang Gujarat.
Semenjak itu maka kain sari Patola seolah menjadi trademark bagi
wilayah Gujarat, India. Lebih-lebih pedagang Gujarat gemar berlayar
jauh dalam membawa barang dagangannya.
Kain Chintz India Selain kain sari Patola, tekstil India yang banyak
digunakan di Jawa adalah kain Chinz (di Jawa pada

95
perkembangannya disebut Cinde). Kain ini secara teknik merupakan
kain tenun sutera halus maupun katun yang dihiasi dengan teknik
blok printing, yaitu sejenis printing menggunakan cetakan dari kayu
sebagai stempel penghantar zat warna. Motif blok printing ini dibuat
begitu rapi dan indah, bahkan sebagian proses menghiasnya
menggunakan pewarna emas yang berasal dari cairan emas murni
yang di capkan pada kain sutera. (Pada teknik menghias kain batik
kita juga mengenal sebagai hiasan prada).

Gambar No 48 : Sari berhiaskan prada.

96
Motif kain patola memberi inspirasi para pembatik di daerah pesisir
maupun pedalaman, bahkan lingkungan Kraton. Di daerah
Pekalongan terciptalah kain batik yang disebut Jlamprang, bermotif
Ceplok dengan warna khas Pekalongan. Karena terinspirasi motif
tenunan, maka motif yang tercipta terdiri dari bujur sangkar dan
persegi panjang yang disusun sedemikian rupa sehingga
menggambarkan anyaman
yang terdapat pada tenunan
Patola. Karena kain batik
Jlamprang berkembang di
daerah pesisir, maka warnanya
pun bermacam-macam sesuai
selera konsumennya yang
kebanyakan berasal dari Eropa,
Cina, dan negara-negara lain.
Warna yang dominan
digunakan adalah merah, hijau,
biru dan kuning, meskipun
masih juga menggunakan
warna soga dan wedelan.
Selain terdiri dari bujur
sangkar dan persegi panjang,

Gambar No 49: Jlamprang batik khas Pekalongan

Jika Patola di Pekalongan berasimilasi dengan proses pembatikan


dan terjadi motif Jlamprang, maka di Yogya Patola didopsi menjadi
motif Nitik. Inilah kreatifitas pembatik kala itu. Motif tenun yang

97
terdiri warna benang lusi dan pakan, ketika di jadikan bentuk motif
batik, karis-garis itu diubahnya menjadi bentuk titik-titik. Nitik dari
Yogyakarta juga diperindah dengan hadirnya isen-isen batik lain
seperti, cecek (cecek pitu, cecek telu), bahkan ada yang diberi
ornamen batik dengan Klowong maupun Tembokan, sehingga
penampilannya baik bentuk dan warnanya lain dari motif Jlamprang
Pekalongan.

Gambar No 50 : Nitik Randu seling, Nitik Kembang Jeruk, Nitik Truntum

Nitik dari Yogyakarta menggunakan warna indigo, soga (coklat) dan


putih. Seperti motif batik yang berasal dari Kraton lainnya, motif
Nitik kreasi Kraton juga berkembang keluar tembok Kraton.
Lingkungan Kraton Yogyakarta yang terkenal dengan motif Nitik
yang indah adalah Ndalem Brongtodiningrat. Pada tahun 1940,
GBRAy Brongtodiningrat pernah membuat dokumen diatas mori
berupa batik kelengan (batik satu warna) dan lima puluh enam motif
Nitik. Sejak kira-kira tahun 1950 sampai saat ini, pembatikan yang
membuat batik Nitik adalah Desa Wonokromo dekat Kotagede.
Untuk membuat batikan yang berbentuk bujur sangkar dan persegi
panjang diperlukan canting tulis khusus dengan lubang canting yang
berbeda dengan canting biasa. Canting tulis Nitik di buat dengan
membelah lubang canting biasa ke dua arah yang saling tegak lurus.
Dalam pengerjaannya, setelah pencelupan pertama dalam warna
biru, proses mengerok hanya dikerjakan untuk bagian cecek saja,
atau bila ada bagian klowongnya.

98
Agar warna soga dapat masuk di bagian motif yang berupa bujur
sangkar dan persegi panjang yang sangat kecil tersebut, maka bagian
tersebut “diuyek” sehingga pada bagian tertentu lilinnya dapat lepas
dan warna soga dapat masuk ke dalamnya. Oleh karena itu untuk
membuat batik Nitik memerlukan lilin khusus yaitu lilin yang
kekuatan menempelnya ada di antara lilin klowong dan lilin tembok.
Langkah selanjutnya adalah “mbironi”, menyoga dan akhimya
“melorod”. Sampai saat ini terdapat kurang lebih 70 motif nitik.
Sebagian besar motif Nitik di beri nama dengan nama bunga, seperti
kembang kenthang, sekar kemuning, sekar randu, dan sebagainya.
Ada pula yang di beri nama lain, misalnya, nitik cakar, nitik
jonggrang, tanjung gunung dan sebagainya. Selain tampil sendiri,
motif Nitik sering di padu dengan motif Parang, ditampilkan dalam
bentuk ceplok, kothak atau sebagai pengisi bentuk keyong, dan juga
sebagal motif untuk sekar jagad, tambal, dan sebagainya.

Gambar No 51 : Salah satu motif Jlamprang.

99
Gambar no. 1 : 12 motif Nitik Yogyakarta diantara 70 motif Nitik.

Paduan motif ini terdiri dan satu macam maupun bermacam-macam


motif Nitik. Tampilan yang merupakan paduan motif Nitik dengan
motif lain membawa perubahan nama, misalnya parang seling nitik,
nitik tambal, nitik kasatrian dan sebagainya.

***

100
THE HEIRLOOM OF
INDONESIAN TEXTILE/
KAIN YANG DI KERAMATKAN SEBAGAI
PUSAKA DI NEGERI KITA

Adi Kusrianto

Pada tulisan Ruth Barnes yang berjudul “Five Centuries of Indonesian


Textiles” ada satu alinea yang saya petik. Disitu Ruth yang seorang
kurator museum dan tergila-gila mendalami tekstil Nusantara
menuliskan begini.:

“Pada pertengahan dasawarsa 1990an,


telah dilakukan penyelidikan terhadap
sampel-sampel kain Nusantara yang pada
masa lalu asalnya di beli dari pedagang

101
Gujarat, India. Analisa itu dilakukan
menggunakan radiocarbon (C-14)7.

Seluruh kain yang dijadikan sampel percobaan itu adalah kain


berbahan katun yang diasumsikan dan dipelihara dengan hati-hati
sebagai barang pusaka (heirloom)".
Diperoleh Fakta yang mengejutkan, bahwa ternyata dari usia kain
berdasarkan penyelidikan itu telah berusia enam ratusan tahun.
Kalau penyelidikan dilakukan tahun 1995, maka berarti kain itu
dibuat pada tahun 13958 (Masya Allah). Selain itu yang lebih
mengejutkan bahwa kebanyakan kain-kain itu adalah berupa kain
yang dihasilkan dengan teknik wooden stamp alias kain yang di
cetak menggunakan stempel kayu.
Kebetulan saya telah agak beberapa lama mempelajari dari sumber
lain, bahwa apa yang dilaporkan dari riset tersebut ternyata adalah
kain Chintz. Ketika masuk ke tanah Jawa, namanya diubah menjadi
berbahasa Jawa, “Cinde”. Ya, kain cinde. Itulah yang rupanya
dijadikan obyek Study Ruth Barnes.
Mengapa masih banyak kain Chintz yang masih ditemukan pada
dasawarsa 1990an? Pertama, kain itu terbuat dari serat kapas. Serat
kapas yang disebut sebagai rajanya serat tekstil memang memiliki
kekuatan yang paling baik (lebih kuat) dibanding serat tekstil alam
lainnya. Yang kedua, sebagaimana tim yang diikuti Ruth Barnes
ketika mengambil sampel kain lama itu, adalah kain-kain pusaka
atau bahasa Inggrisnya heirloom. Kain pusaka adalah kain yang

7
Radiocarbon C-14 adalah metode kimia untuk menentukan usia suatu
benda, ditemukan oleh Williard Libby pada akhir dasawarsa 1940an. Ia
memperoleh Hadiah Nobel pada tahun 1960 dibidang kimia, karena
penemuannya itu sangat bermanfaat bagi umat manusia.
8
Analisa itu sangat tepat dengan catatan sejarah dari penemu-penemu
sebelumnya yang menyatakan kedatangan bangsa Gujarat yang membawa
bagangan tekstil di era pra Majapahit (Saat itu masih kerajaan Kediri).

102
bukan dipakai sebagai busana sehari-hari atau sering dipakai
(mungkin hanya jarang, sekali-sekali, misalnya kain yang dipakai
saat pernikahan saja, habis itu disimpan sebagai memorabilia).
Bentuk pusaka yang lain yang disebutkan disini adalah kain-kain
yang disakralkan, oleh karenanya dia dipelihara dengan cara yang
sangat khusus. Inggat nggak, ada tradisi pusaka-pusaka kerajaan
Nusantara sekali setahun pada bulan Suro itu di “sucikan”,
“dimandikan”, yang dalam istilah lain kain itu di ratus, yaitu diasapi
dengan dupa ratus. Kalau zaman sekarang sih Pak Prima yang ahli
ngratus batik menyebutnya kain batik di Spa. Biar keren.

Gambar No 52 : Contoh batik yang baru dalam proses peratusan


dipamerkan di musium batik Yogya.

Kembali ke teknik menghias kain (mendisain kain) secara teknik


dapat saya sebutkan ada dua cara, yang pertama dengan cara
Struktural Design. Yaitu desain/hiasan kain itu dibuat saat menenun
kain. Caranya mewarnai benang berbeda-beda selang seling sebagai
contoh tenun lurik, atau membuat hiasan atau pola dengan cara
mengikat benang agar diperoleh efek perintang warna. Yaitu yang
dikenal dengan istilah tenun ikat.

103
Di Gujarat tenun ikat ganda yang
terkenal adalah PATOLA. Ada juga tenun
ikat lain diluar jenis Patola. Nanti, saya
akan bahas pada tulisan lain yaaa.
Nah teknik mendesain lainnya disebut Surface Design, yaitu kain
yang didesain setelah kain itu selesai di tenun. Salah satu contohnya
adalah kain Chint yang di stempel dengan pewarna tekstil. Contoh
lain diantaranya adalah Batik.
Itulah yang hingga sekarang masih merupakan polemik. Apakah
pakaian-pakaian yang dikenakan dewa-dewa/ raja-raja/ tokoh pada
relief candi-candi itu adalah kain batik? Contohnya pada patung
Prajdnaparamita, patung Durga dan tokoh lain di Candi Singosari itu
adalah motif Batik?. Awalnya saya mengira itu batik, tetapi setelah
belajar lebih lanjut saya berpikir saat itu pembatik belum ada yang
secanggih itu dalam menggoreskan canting, membentuk motif-motif
dengan bentuk dan repeat yang seperti itu. Besar kemungkinan para
dewa itu mengenakan kain katun yang distempel alias kain Chitz
yang memang tergolong kain sakral di zaman itu. Batik baru
berkembang dizaman atau era setelah itu.

***

104
USAHA MEMALSUKAN BATIK

(Adi Kusrianto)

Pada tahun 1683 perdagangan kain batik dari Jawa ke Jambi dan
Palembang meningkat pesat. Kain-kain itu sebagian besar
merupakan kain batik yang dipergunakan sebagai pakaian adad. VOC
yang telah merasa memonopoli perdagangan kain dari India
(khususnya pada periode itu kain dari Coromadel) merasa tersaingi
dengan maraknya penjualan kain batik asal Jawa. Keunggulan batik
Jawa karena motifnya yang sesuai dengan selera setempat juga
harganya yang lebih murah dibanding kain dari India. Sebagai
perbandingan saat itu selembar kain impor dari India berharga
antara 1 hingga 2 Real (saat itu yang dipakai alat tukar penduduk
setempat adalah uang Real, belum Gulden Belanda), sementara batik
Jawa harganya lebih murah, hanya seperempatnya. Ketika utusan
dari Belanda mendatangi Palembang, dia mencatat bahwa sebagian
besar penduduk laki-laki di Palembang, dari tingkat rakyat kecil
(tercatat dari “para penjaja terrendah”) hingga raja menggunakan

105
kain batik bikinan Jawa dan Madura. Dari laporan tersebut para
administrator VOC mencoba untuk menghentikan kecenderungan
ini. Mereka menugaskan penenun di pantai Coromandel India untuk
meniru kain batik Jawa untuk melemahkan produsen batik Jawa.
Namun mereka kecewa, karena ternyata harga kain tenun
Coromandel yang meniru Batik
Jawa berharga 5 kali lebih mahal
dari batik Jawa, dan kwalitasnya
lebih buruk.
Pada tahun 1896 tercatat peme-
rintah Hindia Belanda di Batavia
melarang impor lilin lebah ke
Jawa sebagai lanjutan usaha
melemahkan industri batik.
Tetapi ide ini juga gagal karena
sesuai yang dilaporkan oleh per-
sonil pemerintah Hindia Belanda
yang ditugaskan di wilayah
pesisir pulau Jawa, strategi ini
mustahil untuk dilaksanakan
Usaha pelemahan terhadap batik
Gambar No 53: Batik palsu dari
Pantai Coromandel India, pesanan
pemerintah Belanda yang beredar di
Jambi. Harganya lebih mahal tetapi
kwalitasnya tidak sebagus batik.
Diantaranya cap-capannya tidak
bolak-balik.

tulis ini dilakukan juga dengan


membuat batik printing dari
Eropa untuk memalsukan batik
tulis Indonesia terdiri dari jenis
kain panjang, sarung, selendang

106
dan kain tirai dilakukan hingga diawal abad ke 20.
Pada tahun 1896 tercatat pemerintah Hindia Belanda di Batavia
melarang impor lilin lebah ke Jawa sebagai lanjutan usaha
melemahkan industri batik. Tetapi ide ini juga gagal karena sesuai
yang dilaporkan oleh personil pemerintah Hindia Belanda yang
ditugaskan di wilayah pesisir pulau Jawa, strategi ini mustahil untuk
dilaksanakan.

Gambar No 54: Isu mengenai pemalsuan batik juga dimuat di koran-koran


Belanda, disertai data statistik penjualan kain panjang, sarung dan
selendang.

Usaha pelemahan terhadap batik tulis ini dilakukan juga dengan


membuat batik printing dari Eropa untuk memalsukan batik tulis
Indonesia terdiri dari jenis kain panjang, sarung, selendang dan kain
tirai dilakukan hingga diawal abad ke 20.

107
***

108
MENGENAL CHINTZ, KAIN
INDIA YANG “MENAKLUKKAN”
DUNIA BARAT

(Adi Kusrianto)

109
Pada tulisan saya tentang Patola yang diadopsi Batik Yogya menjadi
Nitik dan batik Pekalongan menjadi
Jlamprang, saya juga menyinggung
tentang keberadaan kain Chintz yang
telah dikonsumsi kalangan raja sejak
6 bad yang lalu. Ada satu buku
referensi tentang Chintz yang diburu
banyak kolektor buku, berjudul
“Chintz, Indian Textile for the West”
karya Rosemary Crill (2009). Saya
mengambil beberapa kutipan dari
buku tersebut serta sumber lainnya.
Chintz awalnya adalah kain berbahan
Calico: yaitu kain katun halus dan
tipis yang dicetak menggunakan
wooden block yaitu stempel dari kayu menggunakan pewarna
tekstil. Ciri khas dari motif Chintz ini adalah floral alias bunga-
bungaan.
Kriya tekstil dengan stempel kayu ini konon mulai di buat di
Caromandel India sejak abad ke 7 dan menjadi salah satu primadona
barang eksport diantaranya ke semenanjung Melayu hingga
Kerajaan Sriwijaya (Sekarang Palembang).
Teknik cetak balok kayu yang distempelkan pewarna kain
diproduksi di India dari tahun 1600 hingga 1800 dan populer untuk
sprei maupun bed cover, selimut dan gorden. Sekitar tahun 1600,
pedagang Portugis dan Belanda membawa contoh chintz India ke
Eropa dalam skala kecil, tetapi pedagang Inggris dan Prancis mulai
mengirim jumlah besar.
Pada 1680, lebih dari satu juta pis chintz diimpor ke Inggris per
tahun, dan jumlah yang sama dikirim ke Prancis dan Republik
Belanda. Impor awal ini mungkin sebagian besar digunakan untuk
tirai, perabotan kain, dan hiasan tempat tidur dan selimut.

110
Gambar No 55 : Pengecapan warna
pertama.

Gambar No 56 : Pengecapan
warna ke dua dan ketiga di
atas kain Calico (berbahab
katun)

111
Gambar No 57 : Chintz yang dihiasi dengan aksesori gemerlap yang disukai
wanita India.

Gambar No 58 : Kain Sa’dan atau Mbesa dari Toraja yang teknik


pembuatannya meniru teknik Chintz India. Kain ini tersimpan di Museum

112
National Gallery of Australia.

Ketika pertama kali Chintz digunakan sebagai bahan pakaian, mula-


mula kain ini diberikan kepada pelayan (pembantu rumah tangga)
untuk digunakan sebagai gaun.
Lama kelamaan Chintz semakin populer di Eropa hingga akhir abad
ke 17, pabrik-pabrik Prancis dan Inggris menjadi khawatir, karena
mereka tidak dapat membuat kain deperti chintz. Pada 1686,
Perancis mengumumkan larangan impor semua chintz. Pada 1720
Parlemen Inggris memberlakukan undang-undang yang melarang
"Penggunaan dan Peringatan dalam pemakaian dari chintz yang
diimpor, hanya boleh untuk perabot rumah tangga disekitar tempat
tidur kursi, bantal atau perabot lainnya.
Meskipun chintz dilarang, ada celah dalam undang-undang.
Pengadilan Versailles berada di luar hukum dan punggawa muda
modis terus mengenakan chintz. Pada 1734, perwira angkatan laut
Prancis, M. de Beaulieu, yang ditempatkan di Pondicherry, India,
mengirim surat-surat ke rumah bersama dengan sampel kain chintz
disertai dengan keterangan bahan dan proses pewaraannya.
Hingga kini surat tersebut masih tersimpan dan dapat dilihat di
Muséum national d'Histoire naturelle di Paris.

113
Gambar No 59 : Perajin Chintz di India.

Pada 1742, seorang warga Prancis lainnya, Pastor Coeurdoux juga


memberikan perincian tentang proses pembuatan chintz, sementara
ia berusaha mengubah orang-orang India menjadi Katolik. Pada
1759 larangan terhadap chintz dicabut. Pada saat ini pabrik Perancis
dan Inggris sudah dapat memproduksi chintz.
Orang Eropa pada awalnya memproduksi dengan cara reproduksi
desain India, dan kemudian menambahkan pola tambahan bikinan
mereka sendiri. Merek Chitz terkenal adalah toile de Jouy, yang
diproduksi di Jouy, Prancis, antara tahun 1700 dan 1843. Chintz
modern biasanya terdiri dari pola bunga keseluruhan cerah yang
dicetak pada latar belakang cahaya tetapi ada beberapa pola populer
pada latar belakang hitam juga.

***

114
LEBIH DALAM MENGENAL
KAIN MORI

Adi Kusrianto

Saya ingin berbagi pengetahuan tentang kain yang menjadi bahan


batik tulis, yaitu mori. Bagi teman-teman yang pernah membaca
buku saya “Keeksotikan Batik Jawa Timur”, disitu saya sudah pernah
membahas tentang berbagai jenis mori yang dikenal dalam dunia
pembatikan. Tapi saya ingin melengkapi dengan banyak informasi
lain setelah saya belajar dari buku tulisan Pak Sewan Susanto, S.Tex,
salah seorang pakar tekstil dan batik yang tulisannya “Seni Kerajinan
Batik Indonesia” menjadi acuan banyak ahli tekstil dan batik.
Kain putih yang menjadi bahan batik memiliki beberapa sebutan,
yang paling populer adalah “mori”, atau “muslin” dalam bahasa
Inggris disebut “cambric”. Ketiga istilah tersebut populer di dunia
pembatikan dipelbagai tingkatan. Kata “mori” patut di duga berasal
dari istilah “bombix mori” yaitu nama ulat sutera yang paling banyak
di budidayakan sebagai penghasil sutera. Ya, memang awalnya selain
dari serat katun, kain batik halus sejak jaman kerajaan Majapahit
juga terbuat dari sutera yang dijual para pedagang Gujarat yang
sering mampir ke pelabuhan Kambang Putih (Tuban) sekitar 1350-
1389, maupun pelabuhan Cangu, Mojokerto (menurut prasasti
Cangu, 1358).

115
Nama kain Muslin, berasal dari “mousseline” (bahasa Prancis), atau
lebih awal lagi asal kain ini di tenun dari kota “Mosul”, Iraq. Yaitu
kain dari benang katun yang ditenun secara polos (anyaman plat)
yang halus dan lembut.
Sedang nama ketiga yang populer dalam bahasa Inggris adalah
“Cambric”, yang diduga berasal dari nama penenun terkenal bangsa
Prancis “Batist Cambray”.
Akhirnya dari ketiga nama tersebut yang paling populer adalah mori
dalam bahasa Indonesia dan cambric dalam bahasa Inggris.
Berdasarkan kehalusannya, mori dibedakan atas tiga strata, yaitu
yang sangat halus disebut “Primisima” yang berasal dari kata
“primus prima” yang berarti utama dari kelas satu. Dibawah itu
adalah “Prima” yaitu golongan halus yang berarti kelas satu. Sedang
paling bawah adalah “mori biru”, disebut demikian karena merknya
biasa di cetak dengan warna biru yang bencolok. Namun pada
perkembangannya masih ada lagi strata paling bawah yang disebut
kain “blacu”, dipasaran saat itu juga disebut “mekao” dari kata
Macao, asal import dari kain katun mentah atau”greige”.
Dari ke tiga strata diatas, di kalangan pasar para pedagang dan
pembeli juga menyebutkan nama-nama merk atau cap yang bagi
mereka menjadi fanatik. Saya akan menguraikan nama-nama merk
mori yang terkenal di jaman awal pembatikan di Indonesia, yang
seringkali nama-nama merk tersebut masih terbawa hingga saat ini.
Coba Anda datang ke pasar-pasar batik seperti Beringharjo Yogya
maupun pasar Klewer Solo,maka nama-nama bersejarah ini masih
menjadi acuan kualitas kain. Saya akan melanjutkan topik Merk-
merk legendari kain Mori pada postingan saya berikutnya.

Terima kasih.

116
MORI PRIMISIMA, RIWAYATMU
DULU

Adi Kusrianto

Tulisan ini adalah kelanjutan dari postngan “Lebih Dalam Mengenal


Kain Mori Bahan Batik”.
Sebagai konsumen kain, kita biasanya tidak pernah memperhatikan
diskripsi kain yang kita beli. Kita lebih sering berpatokan pada merk
atau cap (brand) tertentu. Sekalipun brand tersebut kita hanya
sekedar mendengar rekomendasi dari orang lain.
Dalam hal mori sebagai kain katun bahan batik, saya akan kutipkan
nama-nama merk yang dikenal sejak jaman jadoel yang hingga kini
masih sering dijadikan acuan bagi pengusaha batik maupun
penggemar batik.
Strata Mori Primisima
Sebagai bahan paling halus, mori primisima biasa dipilih sebagai
bahan batik tulis. Jarang untuk batik cap, karena harganya lebih
mahal, sementara batik cap harga jual batiknya lebih murah
dibanding batik tulis. Mori primisima kebanyakan masih berupa kain
impor dari Holland dan Jepang. Kalau saya sebut impor dari Holland
itu bukan berarti pabrik pembuatnya di Belanda, bisa jadi dari kota-
kota atau negara Eropa lain. Bahkan juga bukan dari Eropa, bisa jadi
dari India yang telah menjual di pasar Inggris.
Saya sedikit bicara secara teknis ya, ini yang lebih deskriptif.

117
Mori Primisima terbuat dari benang katun nomor Ne1 54 hingga Ne1
70, sementara tetal lusi dan pakan (kepadatan tenunan antara
benang membujur dan melintang) sbb:
Tetal Lusi antara 105 hingga 125 benang setiap inci.
Tetal Pakan antara 100 – 120 benang per inchi.
Kain ini mengandung kanji ringan, hanya rata-rata 4% , jadi tidak
heran kalau kain ini terasa lebih soft/ lembut. Dari konstruksi
tersebut kain jenis Primisima ini apabila dipegang terasa lembut
tetapi padat. Dalam memproduksi kain katun Primisima ini
disertakan pula proses Bleaching dan Calandering pada saat
finishing.
Bagi ahli batik sepuh, ada cara-cara khusus yang hanya mereka yang
tahu (tapi sekarang saya bocorkan), ciri-ciri kain impor yang berlaku
sejak tahun 1800an hingga 1900an.
Kain impor dari India (masuk ke Inggris lalu di ekspor melalui
pelabuhan Holland) untuk menandai panjang kain setiap sekian yard
mereka akan menyisipkan benang pakan berwarna biru atau cokelat.
Ini akan terlihat pada pinggiran gulungan kain. Sementara kain
impor asal Inggris dan Belgia pada periode antara 1825 – 1930an,
pada kain yanng panjangnya 16,5 yard diberi tulisan “16” yang
dibuat dengan setik rantai (chain stich). Tidak diketahui pasti
kenapa “16” bukan “16,5”. Tanda ini ternyata diberikan oleh
pedagang di Batavia gunanya untuk membedakan dengan kain yang
“15” yard.
Perusahaan pertenunan di Eropa menetapkan grading dan quality
control yang cukup ketat pada produk hasil tenunan. Untuk
menandai kain mori sepanjang 16,5 yard tanpa ada cacat tenun,
maka kain itu digolongkan sebagai kualitas paling bagus dan disebut
Primisima.
Pada tahun 1824, NHM (Nederlandche Handel Maatchappiy) di
Belgia mendirikan sebuah pabrik pertenunan bernama Twente yang
memproduksi mori berkualitas baik untuk di ekspor ke Jawa sebagai
bahan batik. Dimana batik kualitas bagus tersebut kemudian di jual
ke Eropa. (Periode Batik Pesisiran/ Batik Belanda/ Batik Peranakan

118
– Baca buku saya “Batik, Filosofi, Motif dan Kegunaannya”).
Mori produksi Twente dikenal samapi sekarang dengan merk Cap
Cen. Disebut demikian konon awalnya sebagai tanda setiap sekian
yard, produsen menyelipkan (menjahit) mata uang satu sen. Tetapi
tradisi tersebut hanya tinggal sejarah saja, walaupun demikian
primisima kualitas bagus (yang bagus diantara yang bagus) masih
tetap diistilahkan mori cap sen.
Memasuki abad ke 20, sejak awal tahun 1900an peranan mori dari
Belgia digantikan mori dari Inggris, yang dikenal dengan sebutan
Cambric.
(sumber: The Cambridge History of Western Textile tulisan David
Jenkins – 2003).
Merk-merk legendaris mori primisima yang diimpor dari Holland
(Merk ini yang memberi pedagang Jawa) dengan nama yang mudah
dihapal orang Indonesia saat itu:
• Cap sen merah
• Cap jangkrik mas
• Cap sen mas
• Cap jangkrik I
• Cap jangkrik III
• Cap kurungan mas
• Cap lonceng merah
• Cap Van Heck
Merk-merk legendari mori primisima yang diimpor dari Jepang:
• Cap golden gate
• Cap naga sembilan
• Cap kupu
• Cap buah mas
• Cap kemangga
• Cap kupu terbang
Berlanjut ke postingan berikutnya : Mori Prima dan Mori Biru

***

119
120
MORI PRIMA DAN MORI BIRU

Adi Kusrianto
Lanjutan dari postingan Mori Primisima

Mori Prima adalah golongan mori halus yang kedua setelah strata
Primisima. Kain ini bisa dipilih untuk batik tulis halus maupun batik
cap kwalitas bagus. Awalnya strata dua ini juga masih di impor,
tetapi kemudian sejak tahun 1948, pemerintah RI mendirikan pabrik
mori Gabungan Koperasi Batik Indonesia di Medari, Batang. Pabrik
ini mampu memproduksi mori yang kwalitasnya mendekati kualitas
Mori Prima.
Pada perkembangannya di Indonesia telah beridiri pabrik-pabrik
tekstil modern sehingga semakin sedikit mori kualitas bagus yang
harus di impor.
Deskripsi teknis mori prima adalah:
• Lebar antara 40 hingga 42 inchi panjang per pis 17,5
yard.
• Benang tenun ukuran Ne1 36 hingga 40.

121
• Tetal lusi (jumlah benang yang membujur kearah
panjang kain) adalah antara 85 hingga 105 benang
setiap inchi.
• Tetal pakan (jumlah benang yang melintang kearah
lebar kain) antara 38 hingga 48 benang setiap inchi.
• Mengandung kanji ringan sekitar 10% sehingga terasa
lebih kaku dibanding dengan mori primisima.

Merk-merk Mori Prima legendaris yang diimpor dari Holland


adalah:

• Cap ikan tiga


• Cap ayam mas
• Cap Dewi Sri
• Cap arit mas
• Cap dadu
• Cap menjangan kroon
• Cap pikul padi
• Cap payung mas
• Cap Van Hek
Merk-merk Mori Prima legendaris yang diimpor dari Jepang adalah:
• Cap Bntang lima
• Cap radioglobe
• Cap naga sembilan
• Cap pintu gerbang
• Cap tiga buah
• Cap Harimau

Strata ke tiga setelah Primisima dan Prima adalah Mori Biru.


Golongan ini disebut sebagai golongan kwalitas sedang yang
digunakan sebagai bahan batik sedang dan kasar. Pada zaman Orde

122
Lama dimana pemerintah masih mengendalikan pengadaan
sandang, perdagangan mori biru ditetapkan harganya oleh
pemerintah dan tidak dijual bebas dipasaran. Oleh karenanya mori
biru di sebut sebagai bahan “batik sandang”. Batik sandang ini
ukurannya lebih pendek dari batik biasa. Mori biru impor eks
Holland lebarnya 40 inchi (Primisima dan Prima 42 inchi) dan
satuan ukuran per pis kain mulai 16 yard, 30 yard, 40 yard, 45 yard
dan 48 yard.
Sedangkan impor dari Jepang lebarnya 42 inchi dan panjangnya 48
inchi.
Mori biru terbuat dari benang lusi nomor Ne1 26 hingga 34 dengan
kerapatan tenunan (tetal tenun) 65 hingga 85 benang setiap inchi,
sedangkan benang pakan nomor Ne1 28 hingga 36 dan kerapatan 60
hingga 70 benang setiap inchi. Kesimpulannya mori biru kainnya
lebih terasa tebal karena benangnya kasar (ber nomor rendah)
tetapi anyamannya lebih jarang.
Dalam perdagangan, mori biru tersedia dalam banyak merk
legendaris yaitu:
Mori biru ex Holland:
• Cap ayam besar biru
• Cap blekok wungu
• Cap Van Heek Hijau
• Cap bintang wungu
• Cap kokok belok
• Cap tram
• Cap payung merah
• Cap payung biru
• Cap macan hijau
• Cap macan biru
• Cap menjangan perak
• Cap 2 menjangan biru
• Cap batik perak

123
• Cap menjangan lari
• Cap menjangan extra
• Cap bintang merah
Mori Biru eks Jepang:
• Cap berlian
• Cap corona camel
• Cap lampu
• Cap naga terbang
• Cap burung emas
• Cap ayam hutan
• Cap harimau
Pada tahun 1950an mulai masuk Mori Biru impor dari negara lain:
• Dari India – Cap 4248
• Dari China – Cap Gajah.

Mori Blaco
Selain ketiga strata diatas, belakangan muncul golongan mori yang
lebih rendah lagi, yaitu Blaco, atau kain grey (greige) alias kain yang
belum mengalami proses finishing/ belum diputihkan. Sebagian
orang mengistilahkan kain grey ini dengan sebutan “mekao”
(mungkin dimaksud impor dari Hong Kong/ Macau). Jelas di Macau
tidak ada pabrik tekstil kala itu, jadi yang dimaksud adalah kain yang
di impor melalui pelabuhan Hong Kong/ Macau.
Mori blaco banyak di produksi pabrik tenun Indonesia yang pada
awal kemerdekaan mulai bermunculan, diantaranya:
• Mori blaco Koperasi Batik Pekajangan
• Mori blaco Javatex (Texin) Tegal
• Mori blaco PT. Garut
• Mori blaco Cap Compos Kurungan.

124
Adapun benang yang digunakan menenun blaco adalah bernomor
Ne1 20 hingga 34 baik benang lusi maupun benang pakan.
Sedangkan tetal (kerapatan) benang lusi benang yang membujur
kearah serat kain adalah antara 64 hingga 68, benang pakan, yang
melintang kearah lebar kain tetalnya antara 48 hingga 64.
Kain blaco karena masih mentah, maka mengandung kanji lebih
tebal yaitu sekitar 20%, sehingga kain ini terasa tebal. Untuk
membatik, kain ini harus mengalami treatment persiapan lebih
panjang sebelum mulai di batik.
Sebagai catatan bagi pembaca yang masih awam, dalam istilah
penyebutan kualitas bahan tekstil selalu disebutkan nomor
benangnya, dimana semakin halus benangnya, nomor benang yang
dinyatakan dalam Ne1 semakin besar nomornya, sebaliknya nomor
benang semakin kecil, maka diameter benang semakin besar alias
kasar. Jadi benang Ne1 20 lebih tebal, sedangkan Ne1 60 tergolong
benang halus. Jika pada zaman modern dengan mesin-mesin pintal
yang lebih canggih dapat di produksi benang pintal dengan nomor
Ne1 100 hingga 120 yang kehalusannya mirip sutera.
Penyebutan tetal alias kerapan tenunan untuk menyatakan semakin
rapat atau semakin banyak jumlah benang dalam 1 inci lebar kain,
maka semakin rapat/ padat kain tersebut. Didalam konstruksi untuk
menyebutkan tetal tenun selalu disebut lebih dulu tetal lusi (benang
membujur) lebih dulu baru benang pakannya (benang melintang).
Umumnya tetal benang lusi lebih rapat dibanding benang pakan.
Contoh penyebutan deskripsi kualitas kain mori adalah:
100 Cotton, Ne1 45/s x Ne1 40/s, 88 x 64.
Maksudnya kain mori yang bahannya terdiri dari 100 serat katun,
dengan nomor benang lusi Ne1 45 single (bukan benang rangkap)
sedang benang pakannya Ne1 40 single. Kerapatan tenunnya 88
benang setiap inchi benang lusi dan 64 untuk benang pakan.

125
Dengan penyebutan deskripsi seperti ini pedagang dan fabrikan
tekstil seluruh dunia akan mengerti dan menyepakati arti yang
sama.
Semoga catatan ini bisa menambah wawasan kita yang masih awam
dalam hal teknologi tekstil.
***
Comment di FB dari Mas Hindarto Basuki:
Kalau tdk salah:
• mori biru pakai Ne1=30
• yg prima pakai Ne1 = 40 atau 45.
Mohon koreksinya.
Adi Kusrianto:
Terima kasih sharingnya Mas Hindarto Basuki. Data ini saya
kutip dari bukunya Sewan Susanto, yang mengutip hasil
Seminar Standarisasi Tekstil di ITT tgl 6-8 Nopember 1969.
Whoallahh awake dewe durung kuliah mas Bro.
Data itu diambil dari data kain impor ex Holland dan Jepang,
lalu fabrikan kita di Indonesia menyesuaikan.
Tepatnya Mori Biru Lusi Ne 32-28, Pakan Ne 36-30.
Pada saat industri tekstil kita sudah maju, standar itu bisa
jadi sudah direvisi, dimana sudah banyak pabrik benang
yang menghasilkan kualitas yang bagus.
Matur nuwun datanya. Mohon di koreksi data yang lain ya
masss broo...

***

126
DOKUMEN UNESCO YANG
MENETAPKAN BATIK
INDONESIA SEBAGAI WARISAN
DUNIA

(Adi Kusrianto)

Akhirnya saya memperoleh dokumen yang selama ini saya cari-cari.


Dokumen yang dikeluarkan UNESCO untuk pengakuan Batik
Indonesia.

ICH Domain
Indonesian Batik

Nama Domain ICH


Batik Indonesia

127
Situs Warisan Dunia adalah tempat yang didaftarkan oleh Organisasi
Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Budaya Perserikatan Bangsa-
Bangsa (UNESCO) sebagai memiliki makna budaya atau fisik khusus.
Tradisi dan representasi lisan, praktik sosial, ritual, acara perayaan,
keterampilan kerajinan tradisional, Daftar Perwakilan

Name of UNESCO List


Representative List

Nama yang tercantum pada Daftar UNESCO


Nama Perwakilan

Type of UNESCO List


Oral traditions and representations, Social practices, rituals,
festive events, Traditional craft skills, Representative List

Jenis Daftar pada UNESCO


Tradisi dan representasi lisan, praktik sosial, ritual, acara meriah,
keterampilan kerajinan tradisional, daftar perwakilan

Incribed year in UNESCO List


2009

Tahun dimasukkan dalam Daftar UNESCO


2009

Safeguarding Policy

128
Article 32 of the 1945 Constitution, which states that the State
shall advance Indonesia’s national culture amongst world
civilization, guaranteeing freedom of the community to maintain
and develop their cultural values; · Act No. 5 of the year 1992
concerning the Cultural Property; · Presidential Regulation of the
Republic Indonesia No. 78 of the year 2007 concerning Acceptance
of the Convention for the Safeguading of the Intangible Cultural
Heritage; · Memorandum of Understanding between the
Department of Culture and Tourism and the Department of Justice
and Human Rights No. PKS.46/KS.001/MKP/07 and No. M-
12.UM.06.07 concerning Safeguarding, Development and
Utilization of Intellectual Property of Traditional Cultural
expressions of the Indonesian Nationals; and Joint Ministers’
Declaration of the Ministry of Home Affairs and the Ministry of
Culture and Tourism No. 42 and No. 40 of the year 2009 concerning
Guidelines on the Safeguarding of Culture.

Kebijakan Pengamanan (Yang dilakukan oleh


Negara)
Pasal 32 UUD 1945, yang menyatakan bahwa Negara akan
memajukan budaya nasional Indonesia di antara peradaban dunia,
menjamin kebebasan masyarakat untuk mempertahankan dan
mengembangkan nilai-nilai budaya mereka; · Undang-Undang No. 5
tahun 1992 tentang Kekayaan Budaya; · Peraturan Presiden
Republik Indonesia No. 78 tahun 2007 tentang Penerimaan
Konvensi Perlindungan Warisan Budaya Takbenda; · Nota
Kesepahaman antara Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dan
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia No. PKS.46 / KS.001
/ MKP / 07 dan No. M-12.UM.06.07 tentang Perlindungan,
Pengembangan, dan Penggunaan Intelektual Properti ekspresi
Budaya Tradisional Warga Negara Indonesia; dan Deklarasi Bersama
Para Menteri Kementerian Dalam Negeri dan Departemen

129
Kebudayaan dan Pariwisata No. 42 dan No. 40 tahun 2009 tentang
Pedoman tentang Pengamanan Budaya.

The word batik originally comes from the Javanese ambatik -- a


cloth with dots or spots. See the maps of Indonesia, West Java,
Central Java, DIY Yogyakarta, and East Java annexed [available for
consultation at the UNESCO Secretariat]. Indonesian Batik in its
sophisticated form has been in Java and some other areas since at
least the early 19th Century. Since the mid-1980s, batik culture has
spread to many more provinces outside Java.

Kata batik awalnya berasal dari bahasa Jawa ambatik - kain dengan
titik-titik atau bintik-bintik. Lihat peta Indonesia, Jawa Barat, Jawa
Tengah, DIY Yogyakarta, dan Jawa Timur yang dilampirkan [tersedia
untuk konsultasi di Sekretariat UNESCO]. Batik Indonesia dalam
bentuknya yang canggih telah ada di Jawa dan beberapa daerah lain
sejak awal abad ke-19. Sejak pertengahan 1980-an, budaya batik
telah menyebar ke banyak provinsi di luar Jawa.

• Coordinating Ministry for People’s Welfare (Fokal Point)


• Deputy Minister for Coordination in the Fields of Culture,
Tourism, Youth and Sports, Assistant Deputy for Cultural
Affairs
• Ministry of Foreign Affairs
o Directorate General for Multilateral Affairs
o Directorate for Social and Cultural Afffairs and
International Organizations for Developing Countries

130
• Ministry of Culture and Tourism
o Directorate General for Cultural Values, Arts and Film
o Directorate of Traditions - Directorate of Arts
o Direktorate for Belief in the One Supreme God -
Technical Executive Units, Offices for Safeguarding of
History and Traditional Values - Directorate Jeneral
for History and Archeology
o Directorate for Historical Values - Resources
Development Board for Culture and Tourism - Centre
for Research and Development of Culture.

• Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Fokal


Point)
• Wakil Menteri Koordinasi di Bidang Budaya, Pariwisata, Pemuda
dan Olahraga, Asisten Deputi Urusan Budaya
• Kementerian Luar Negeri
o Direktorat Jenderal Urusan Multilateral - Direktorat Urusan
Sosial dan Budaya dan Organisasi Internasional untuk
Negara-negara Berkembang
• Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata
o Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film
o Direktorat Tradisi
o Direktorat Seni
o Direktorat Keyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa
o Unit Pelaksana Teknis, Kantor untuk Perlindungan Sejarah
dan Nilai Tradisional
o Direktorat Jeneral Sejarah dan Arkeologi
o Direktorat Nilai Sejarah

131
o Dewan Pengembangan Sumber Daya untuk Budaya dan
Pariwisata - Pusat Penelitian dan Pengembangan Budaya.

Inventory of cultural elements maintained by Department of


Culture and Tourism

Inventarisasi elemen budaya dikelola oleh Departemen Kebudayaan


dan Pariwisata

Department of Culture and Tourism

Departemen Kebudayaan dan Pariwisata

Traditional handcrafted textile rich in intangible cultural


values, passed down for generations in Java and elsewhere
since early 19th Century (Ref. Siksakanda, 1517AD), more
widely since mid-1980s, made by applying dots and lines of hot
wax to cloth using a copper pen-like instrument (canthing
tulis), or copper stamps (canthing cap), as a resist to hand-

132
dyeing later removed by boiling and/or scraping, repeating
the process for each colour. Batik patterns and motifs possess
deep symbolism related to social status, local community,
nature, history and cultural heritage. Expectant mothers wear
batik; babies are carried in batik slings and touch batik with
their feet when they first touch the ground; brides, marriage
couples and family members wear batik; even corpses are
covered with batik: all with appropriate patterns and motifs.
Traditional dress includes batik. Batiks are collected and
passed down as family heirlooms, each being a work of art
with its own story. Batik craftspersons would fast and pray
before making batik while meditating accompanied by
traditional songs. It takes several days to make a hand-
stamped batik, and at least 1 month to 1 year to complete a
hand-drawn batik.

Tekstil kerajinan tangan tradisional yang kaya akan nilai-nilai


budaya tak berwujud, diturunkan secara turun-temurun di Jawa dan
di tempat lain sejak awal abad ke-19 (Pustaka Siksakanda, 1517AD),
lebih luas sejak pertengahan 1980-an, dibuat dengan menerapkan
titik dan garis lilin panas ke kain menggunakan tembaga instrumen
seperti pena (canthing tulis), atau stempel tembaga (canthing cap),
sebagai penahan pewarnaan tangan yang kemudian dihilangkan
dengan merebus dan / atau mengikis, mengulangi proses untuk
setiap warna. Pola dan motif batik memiliki simbolisme mendalam
terkait status sosial, komunitas lokal, alam, sejarah, dan warisan
budaya. Ibu hamil memakai batik; bayi digendong dengan kain batik
dan menyentuh batik dengan kaki mereka saat pertama kali
menyentuh tanah; pengantin wanita, pasangan menikah dan anggota
keluarga memakai batik; bahkan jenazah ditutup dengan batik:
semuanya dengan pola dan motif yang sesuai. Pakaian tradisional

133
termasuk batik. Batik dikumpulkan dan diwariskan sebagai pusaka
keluarga, masing-masing menjadi karya seni dengan kisahnya
sendiri. Pengrajin batik akan berpuasa dan berdoa sebelum
membuat batik sambil bermeditasi diiringi lagu-lagu tradisional.
Dibutuhkan beberapa hari untuk membuat batik cap tangan, dan
setidaknya 1 bulan hingga 1 tahun untuk menyelesaikan batik tulis
tangan.

***

134
DAFTAR PUSTAKA
Anshori, Y., & Kusrianto, A. (2011). Keeksotisan Batik Jawa
Timur. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Barnes, R. (2010). Five Centuries of Indonesian Textiles.
Munic, Berlin, London, New York: Prestel Publication.
Crill, R. (2008). Chintz: Indian textiles for the West. Michigan:
V & A Pub.
Dhamija, J. (2002). Woven magic: the affinitity [sic] between
Indian and Indonesian textiles. Jakarta: Penerbit Dian
Rakyat.
Dharsono. (2007). Budaya Nusantara. Bandung: Rekayasa
Sain.
Hitchcock, M. (1991). Indonesian Textiles. Hongkong: Periplus.
Honggopuro, K. D. (2002). Bathik Sebagai Busana dalam
Tatanan dan Tuntunan. Surakarta: Yayasan Peduli
Keraton Surakarta.
Jasper, J., & Pirngadie, M. (2006). Indonesian Batik Design.
New York: Dover Publication.
Kerlogue, F. (2004). Batik, Design, Style & History. New York:
Thames and Hudson.
Kristianti, V. (2011). Batik Sidomukti Gaya Surakarta. Jakarta:
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Kusrianto, A. (2013). Batik, Filosofi, Motif & Kegunaannya.
Yogyakarta: Andi Publishing.
Kusrianto, A. (2017). Pengetahuan Bahan Tekstil. Surabaya:
Adi Kusrianto Literary Agent.
Majils, B. K. (2007). The Art of Indonesian Textiles. Yale: Yale
University Press,.
Maxwell, R. J. (2003). Sari to Sarong: Five Hundred Years of
Indian and Indonesian Textile Exchange. Melbourne:
National Gallery of Australia.
Ramelan, T. (2010). The 20th Century Batik Masterpieces.
Jakarta: KR Communications.

135
Roojen, P. V. (1994 ). Batik design. Pepin Press,.
Sastrodiwiryo, K. (2018). The Heritage of Indonesia
Pamekasan Membatik. Surabaya: JE PE Press Media
Utama.
Sumantri, V. B. (2005). Pola Ragam Hias Corak Batik Motif
Aneka Bentuk. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sumarsono, H., Ishwara, H., Supriyapto, L., & Moeis, X.
(2013). Benang Raja menyimpul Keelokan Batik Pesisir.
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Susanto, S. S. (1980). Seni Kerajinan Batik Indonesia.
Bandung: Balai Penelitian Batik dan Kerajinan,
Lembaga Penelitian dan Pendidikan Industri
Departemen Perindustrian R.I.
Tirta, I. (1996). Batik, a play of light and shades. Jakarta: Gaya
Favorite Press.
Warming, W., & Gaworski, M. (1981). The world of Indonesian
textiles. Kodansha International.

***

136
TENTANG PENULIS

Adi Kusrianto, penulis senior yang memiliki latar belakang


pendidikan dan pengalaman bekerja dibidang tekstil. Sejak kecil
keluarganya telah mengenalkan tradisi kehidupan dengan
menggunakan kain batik. Mempelajari dan melakukan riset
mengenai batik, khususnya Batik tulis di daerah Jawa Timur sejak
tahun 2010 ketika menulis buku Keeksotisan Batik Jawa Timur.
Selama total 28 tahun pengalaman kerjanya menjadi seorang
desainer bordir hingga menduduki jabatan sebagai Manager
Departemen Embroideri di PT. Lotus Indah, Surabaya serta beberapa
perusahaan embroidery maufactur lainnya.
Menjadi pengajar di Universitas Ciputra Surabaya antara tahun 2010
hingga 2017 untuk beberapa mata kuliah, termasuk Textile for
Fashion, Batik dan Kebaya di jurusan Fashion Design & Bussiness.
Mengajar Teksxtile di Sekolah Tinggi Desain LaSalle, Surabaya dari
2015 hingga kini. Tulisannya di bidang tekstil, batik, kain tradisional
Nusantara meliputi: Tekstil 1 (Dari Serat hingga Benang); Tekstil 2
(Dari Benang Hingga Kain); Pengetahuan Bahan Tekstil 1 (swatch
book); Pengetahuan Bahan Tekstil 2 (swatch book); Glossary Textile
& Fashion; Keeksotisan Batik Jawa Timur; Batik, Filosofi, Motif dan
Kegunaannya; Sarung Tenun Warisan Budaya Bangsa; Tenun
Tradisional Nusantara.
Menjadi anggota Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (IKATSI) dan
sebagai humas pada Asosiasi Profesi Batik dan Tenun Indonesia,
Jawa Timur. Aktif sebagai penulis dan pembicara dipelbagai media.

***

137

Anda mungkin juga menyukai