Anda di halaman 1dari 13

Sinopsis: Dinda adalah seorang wanita muda yang ceria dan memiliki banyak teman.

Sejak
lulus kuliah, ia bertekat untuk menambah pengalaman. Sebab itulah Ia selalu menyukai hal-
hal baru, seperti pekerjaan yang Ia lakoni sekarang misalnya, yaitu bekerja sebagai Barista di
sebuah Coffe Shop milik temannya, Arif. Dinda dikenal sebagai anak yang mudah bergaul
dan terbuka kepada siapa saja. Bahkan kepada orang yang baru Ia temui. Pada suatu waktu,
dari sikapnya yang seperti itu, tak heran, membawanya bertemu dengan seorang Arlan, laki-
laki yang jatuh hati padanya dan hanya dalam waktu beberapa hari langsung memberanikan
diri mengajaknya berpacaran.

Namun, semenjak menjalani hubungan dengan Arlan, Wina, sahabat kerjanya, melihat
perubahan drastis yang terjadi pada diri Dinda. Dinda yang dulunya ceria, kini jadi pendiam.
Yang dulunya terbuka dan mau menceritakan apa saja, kini menutup diri dan tidak pernah
lagi membicarakan apa-apa. Dan yang paling kelihatan, yang dulunya tiap pulang kerja mau
diajak kemana-kemana, kini jadi lebih suka pulang lebih awal dan mengurung diri di
kamarnya. Ternyata, sikap Dinda berubah karena sikap Arlan yang suka melarang-larang
Dinda; tidak boleh berteman dengan laki-laki, tidak boleh keluar malam, dan sampai pernah,
karena Dinda tidak menghiraukan perintah Arlan, Ia menampar Dinda sambil membentak
dengan mengatakan bahwa yang Ia lakukan ini demi kebaikan Dinda dan atas nama cinta
yang tulus.

Hingga, dari hubungan toxic yang bertahan cukup lama itu, Bobi, Barista yang sejak lama
diam-diam menaruh perasaan kepada Dinda, adalah orang yang berhasil membuat Dinda
keluar dari hubungannya dan bertekat untuk menjaga matanya yang indah agar tidak
menangis lagi. Namun, semenjak kematian Arlan, hari-hari Dinda dilingkupi kecemasan dan
ketakutan Karena tidak sanggup menahan sakit yang lama dan perasaan bersalah yang
panjang, Ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya di sudut kamarnya. Di sana lah Bobi
melihatnya tergeletak dengan secarik kertas yang Ia tulis sebelum mengakhiri hidup. Dan
pada saat itu jugalah saat-saat Bobi memeluk dan mencium Dinda untuk pertama dan
terakhir kalinya.

****
Dinda adalah seorang wanita muda yang ceria dan memiliki banyak teman. Sejak lulus
kuliah, ia bertekat untuk menambah pengalaman. Sebab itulah Ia selalu menyukai hal-hal
baru, seperti pekerjaan yang Ia lakoni sekarang misalnya, yaitu bekerja sebagai Barista di
sebuah Coffe Shop milik temannya, Mas Arif.

Arif adalah kakak kelasnya sewaktu di SMA. Dulu pernah berusaha mendekati Dinda tetapi
gagal karena merasa dirinya yang konyol dan tidak tampan tidak mungkin akan disukai oleh
Dinda yang memiliki selera lelaki tinggi dan berbadan proporsional, berwajah agak kearab-
araban, rambut yang rapi, dan nada bicara yang lembut. Tentu, semua itu tidak ada pada
diri Mas Arif.

Yang membuat Dinda bisa bertemu lagi dengan Mas Arif setelah lulus Sekolah adalah Wina,
sahabat Dinda sejak di bangku SMA. Wina-lah yang mengajak Dinda agar bekerja di Coffe
Shop Mas Arif. Dan di sana, Dinda juga bertemu dengan Bobi, salah satu Barista yang
bekerja bersama Wina sejak Coffe Shop Mas Arif berdiri.

Bobi memiliki sikap yang sulit ditebak. Kadang-kadang cerewet, kadang-kadang pendiam.
Dari sikap dia yang aneh itu, orang-orang sulit mengenalnya. Tetapi ada satu hal yang tidak
bisa ditutupi oleh Bobi dari gerak-geriknya. Dan gerak-geriknya itu selalu dibaca dan jadi
bahan becandaan oleh Mas Arif dan Wina, yaitu: Bobi tidak berani menatap mata Dinda.
Menurut Mas Arif, lelaki yang tidak berani menatap mata Wanita, artinya Ia diam-diam
menyukai Wanita tersebut. Saking sukanya, Ia selalu salah tingkah di depan orang itu.

Sejak kehadiran Dinda di Coffe Shop tersebut, susana semakin ramai, hari ke hari orang-
orang merasa akrab dengan tempat itu. Dari anak sekolahan, anak kuliahan, bahkan sampai
bapak-bapak kantoran. Karena siapa lagi kalau bukan karena sikap Barista baru (Dinda) yang
ramah dan cantik apalagi mudah diajak becanda.

Dinda dikenal sebagai anak yang mudah bergaul dan terbuka kepada siapa saja. Bahkan
kepada orang yang baru Ia temui. Pada suatu waktu, dari sikapnya yang seperti itu, tak
heran, membawanya bertemu dengan seorang Arlan, laki-laki yang jatuh hati padanya dan
hanya dalam waktu beberapa hari langsung memberanikan diri mengajaknya berpacaran
dan Dinda pun menerimanya.
Arlan adalah pelanggan tetap. Seringkali datang dan memesan kopi sambil mengajak Dinda
bicara. Ia seorang pekerja kantoran. Kantor tempat Ia bekerja tidak jauh dari Coffe Shop
tersebut. Orangnya asik, baik, punya banyak bahan obrolan; tentang tetangga yang suka
menyalakan musik Rock keras-keras, kucing yang suka berak sembarangan, dan Bos yang
tidak pernah datang ke kantor kecuali untuk marah-marah. Dan obrolan-obrolan yang
membuat mereka jadi suka tertawa-tersenyum bersama. Mungkin itu alasan Dinda mau
menerima Arlan menjadi pacaranya. Sikapnya yang ramah dan humoris.

***

Awalnya, hubungan mereka berjalan seperti biasa. Bedanya, semenjak pacaran dengan
Arlan, Dinda jadi susah diajak kemana-mana. Biasanya Dinda tidak pernah absen dan selalu
menjadi orang pertama yang mengangkat tangan ketika diajak jalan-jalan dan merayakan
sesuatu saat weekend atau sepulang kerja oleh teman-temannya. Namun, semenjak
beberapa minggu menjalani hubungan dengan Arlan, Wina melihat perubahan drastis yang
terjadi pada diri Dinda. Dinda yang dulunya ceria, kini jadi pendiam. Yang dulunya terbuka
dan mau menceritakan apa saja, kini menutup diri dan tidak pernah lagi membicarakan apa-
apa. Dan yang paling kelihatan, yang dulunya tiap pulang kerja mau diajak kemana-kemana,
kini jadi lebih suka pulang lebih awal dan mengurung diri di kamarnya.

***

Pernah, suatu hari, Dinda tiba di Coffe Shop. Tidak seperti biasanya, Ia berjalan dengan
wajah yang datar dan tidak bersemangat dan dengan buru-buru, tanpa menyapa orang di
sekelilingnya, ia mengambil Apron-nya (pakaian barista) dan langsung bersiap-siap untuk
bekerja. Wina yang berdiri di sebelahnya berusaha menegurnya dengan nada yang ceria,
tetapi Dinda tidak menghiraukannya. Dinda hanya membalas sapaan Wina dengan senyum
datar dan terus berjalan ke belakang untuk mengganti pakaian. Sedangkan Wina mematung
sebentar dengan perasaan heran dan melanjutkan pekerjaannya sembari melihat Dinda
berjalan ke arah belakang. Pagi itu tidak terlalu ramai. Salah satu pengunjung datang dan
memesan kopi kepada Dinda, dan Dinda berusaha melayani meski dengan wajah terpaksa
dan sedikit murung. Lagi-lagi Wina melihat Dinda dengan ekspresi heran.
Dalam beberapa hari ke depan, Wina juga melihat hal yang sama pada perilaku Dinda.
Datang, bekerja, lalu pulang. Begitu seterusnya. Wina pernah iseng bertanya pada saat
mereka sedang menunggu pesanan, apa yang tengah terjadi pada Dinda, apa karena
hubungan cintanya dengan Arlan atau karena masalah dengan orang rumah. Dinda tetap
tidak mau bicara. Dengan senyum terpaksa, Ia selalu mengatakan semuanya baik-baik saja.
Bahkan Ia mengatakan hubungannya dengan Arlan sangat baik. Ia menceritakan kalau Arlan
adalah sosok lelaki yang setia, perhatian, dan sangat mencintainya dan dalam waktu dekat
berniat mau menikahinya.

Meski begitu, Wina tetap curiga. Malamnya, selepas pulang bekerja, Wina berencana
mengajak Dinda bicara empat mata. Memaksa Dinda mengungkapkan apa yang sebenarnya
terjadi. Tetapi Dinda menolak dan bilang kalau nanti malam Arlan akan menjemputnya dan
langsung mengantarnya pulang.

***

Ketika Coffe Shop sudah ditutup, Dinda bergegas dan seperti biasa, berdiri di depan sembari
menunggu Arlan tiba. Melihat Dinda lama menunggu, Wina dan Arif menawarkan untuk ikut
saja dengan mereka, tetapi Dinda menolak dan berterima kasih. Tidak lama setelah itu,
Arlan datang.

Dengan wajah cemberut, Dinda segera masuk ke mobil. Arlan menyapa dan tersenyum dan
meminta maaf sudah membuatnya menunggu lama. Dinda masih belum mengeluarkan
sepatah kata pun dan wajahnya mengarah ke arah luar jendela, menunjukkan kalau Ia masih
kesal karena lama menunggu.

Dalam perjalanan, Arlan berusaha memaksa Dinda bicara. Karena tidak menggubris, Arlan
membentaknya. Dinda semakin tidak mau membuka mulut. Arlan semakin marah dan
mengancam kalau belum bicara juga maka Ia akan menurunkan Dinda di pinggir jalan.
Semakin diancam justru membuat Dinda semakin tertantang dan kesal. Dinda menangis.
Melihatnya menangis, Arlan tidak bersikap iba. Alih-alih iba, Arlan justru melayangkan
tangan kirinya ke arah pipi Dinda. Menamparnya keras dengan penuh emosi sambil
mengeluarkan kata-kata kasar.
Setalah kejadian itu, mereka tidak saling bicara. Sama-sama diam dan Dinda masih
menangis. Malam semakin gelap. Orang-orang mulai mematikan lampu rumah. Dan jalanan
sepi ditinggal tidur. Menyisakan mereka berdua yang hendak menuju ke arah rumah Dinda.
Sesampainya di depan rumah, Dinda membuka pintu mobil, menutupnya keras-keras dan
tidak mengucapkan apa-apa.

Dinda buru-buru memasuki kamar, melempar tas ke atas kasur dan segera melepas
pakaiannya dan langsung menuju kamar mandi. Ia menyalakan shower dan menangis di
bawahnya. Ia menangis dan tersedu dan sesekali berteriak. Mengingatkannya kembali pada
perilaku-perilaku jahat Arlan kepadanya. Ada wajah penyesalan yang tak tersirat tetapi juga
ketakutan yang tak berani diungkapkan.

***

Paginya, ketika Dinda ingin berangkat bekerja, ketika keluar rumah Ia melihat mobil Arlan
terparkir di depan rumahnya. Wajahnya menampakkan kejengahan dan merasa tidak peduli
lagi. Ia mengeluarkan Handphone dan ingin memesan ojek online saja. Tiba-tiba, secara
mengejutkan, dari belakang, Arlan datang membawa seikat bunga mawar yang sudah Ia
siapkan sebagai wujud permintaan maafnya atas kejadian semalam.

Melihat sikap Arlan yang memohon-mohon, Dinda tidak tega lalu mau memaafkan dan
mereka berpelukan. Ketika di mobil, Dinda menampakkan keceriannya dengan mencium
bunga pemberian Arlan. Arlan menoleh ke arah Dinda sembari tersenyum dan mengelus-
elus kepala Dinda. Tetapi kebahagiaan itu tidak berlangsung lama dan berakhir setelah
Dinda mendapat Telpon dari sahabatnya, Jessica.

Arlan penasaran, Ia bertanya kepada Dinda tentang siapa yang menelpon dan apa
kepentingannya. Dengan jujur, Dinda menjawab bahwa yang menelpon adalah Jessica dan
Jessica mengajaknya dan Wina untuk keluar nanti malam setelah pulang kerja untuk
merayakan ulang tahun teman mereka, Zaky.

Karena tahu yang akan dihadiri adalah ulang tahun cowok, Arlan langung mengatakan:
nggak boleh! Alasan yang Ia keluarkan pun macam-macam. Katanya, cewek yang keluar
malam itu cewek yang nggak baik. Dan Ia juga bilang kalau keluar malam itu bisa merusak
kesehatan, karena Dinda sudah pasti lelah seharian bekerja. Dinda masih membujuk agar
diberi izin, tetapi Arlan teguh pendirian. Bahkan Arlan sampai membentak lagi dan
mengatakan kalau Dinda harus nurut karena yang dilakukan Arlan adalah demi kebaikan
Dinda. Karena Ia sangat menyayangi Dinda. Dengan melarang itulah, kata Arlan, bentuk
wujud cintanya kepada Dinda.

Mendengar alasan itu, sambil menangis, Dinda meminta Arlan untuk menurunkannya di
pinggir jalan. Arlan tidak mau. Tetapi Dinda memaksa. Dinda mengancam akan membuka
paksa dan melompat kalau mobil tidak diberhentikan. Arlan tetap tidak mau. Bahkan Ia
mempercepat laju mobil. Mau tidak mau, Dinda harus menuruti meski air matanya masih
terus-terusan berderai.

Sampailah di depan Coffe Shop tempatnya bekerja. Ketika keluar dari mobil, lagi-lagi Dinda
tidak mengucapkan apa-apa. Ia langsung berlari sambil membawa bunga pemberian Arlan
dan membuangnya ke dalam tong sampah. Lalu Ia menelpon Wina. Wina yang sedang santai
bersama Bobi di meja Bartender, tiba-tiba mendapat telpon dari Dinda yang menangis dan
meminta untuk ditemani.

Wina dan Bobi keluar dan mencari-cari Dinda. Di pinggir jalan di depan Coffe Shop, Dinda
sedang terduduk dan menangis. Wina datang dan segera memeluknya dan mengusap-usap
punggungnya. Dan Bobi mengajak mereka masuk ke dalam. Ketika Dinda mulai tenang,
sambil memegang tangannya, Wina meminta Dinda untuk menceritakan semuanya.
Sebagaimana Ia sedang bercerita di depan Ibunya sendiri.

***

Di depan Wina dan Bobi, Dinda bercerita tentang sikapnya yang mulai berubah sejak
mengenal Arlan lebih dalam: tentang Arlan yang suka melarang-larang Dinda; tidak boleh
berteman dengan laki-laki, tidak boleh keluar malam kecuali dengan Arlan, harus
memberinya kabar setiap saat, kalau tidak, Dinda akan dibentak-bentak. Dan yang sering
terjadi, kalau Dinda tidak menghiraukan perintah Arlan, Ia menampar Dinda sambil
membentak dengan mengatakan bahwa yang Ia lakukan ini demi kebaikan Dinda dan atas
dasar cinta yang tulus.
Dinda tahu Arlan sangat mencintainya. Tetapi menurut Dinda, cinta yang baik adalah cinta
yang membebaskan. Tidak mengekang. Tidak mengatur-atur dan apalagi berbuat kasar dan
sampai merubah seseorang hanya demi agar orang itu sesuai keinginannya sendiri. Egois.

***

Setelah menceritakan semuanya, Wina menyuruh Bobi untuk mengantar Dinda pulang ke
rumah agar Dinda tidak merasa kesepian. Di perjalanan pulang, Bobi berusaha mencairkan
suasana walau Ia sadar jokes yang Ia tuturkan “nggak lucu” sama sekali. Meski sepanjang
jalan Ia tidak berani menatap ke arah Dinda, Ia tetap berusaha mencari topik obrolan. Dan
untungnya, upaya Bobi tidak sia-sia. Dinda pun sesekali tersenyum mendengar celotehan
Bobi. Akhrinya Dinda pun ikut melempar jokes dan mereka saling tertawa sambil mendengar
lagu-lagu kesukaan Dinda dan menyanyikannya bersama.

***

Sebelum tidur, Bobi kepikiran untuk mencari tahu kabar Dinda. Dalam kepalanya terbayang-
bayang: apakah dia masih bersedih atau sudah tertidur, apakah dia sedang menonton film
atau sedang memikirkan percakapan-percakapan di arah jalan pulang tadi, apakah Ia sedang
menyanyikan lagu-lagu kesukaannya. Pikiran Bobi kemana-mana.

Dengan tangan yang agak ragu-ragu, Bobi memberanikan diri untuk memastikan kabar
Dinda melalui chat Whatsapp. Bobi bertanya apakah Dinda sudah tidur atau belum.
Ternyata Dinda belum bisa tidur. Dia membalas chat Bobi dengan cepat yang membuat
mulut Bobi sumringah seperti jemuran basah. Sebelum chat itu tidak dibalas lagi dalam
beberapa jam karena Dinda yang sudah ketiduran, mereka membicarakan banyak hal. Hal-
hal yang membuat Dinda tidak bersedih lagi. Bahkan, Bobi mengajak Dinda untuk pergi
keluar jalan-jalan bersamanya dan Dinda pun meng-iyakannya.

***

Keesokan harinya, ketika sedang dandan sembari menunggu Bobi tiba, terdengar suara
ketukan pintu. Dinda berdiri lalu keluar kamar, membuka pintu dan mengira Bobi adalah
orang yang berada di depan pintu rumahnya. Tetapi, saat membuka pintu, Dinda kaget
melihat laki-laki yang berdiri di depannya. Yang di depan pintu justru adalah Arlan, orang
yang sangat Ia benci. Dinda lalu membanting pintu dan menguncinya dan berteriak dari
dalam, menyuruh Arlan untuk segera pergi dari rumahnya.

Arlan tidak putus asa. Ia masih berdiri di depan dan berharap akan dibukakan pintu oleh
Dinda. Arlan memaksa. Memaksa sambil memukul-mukul pintu rumah Dinda. Dinda
menangis dan bertekad tidak akan membukanya sebelum Arlan pergi. Lagi-lagi, karena tidak
sabar dan ngotot harus dibukakan pintu oleh Dinda, Arlan membentak dan mengumpat
kasar supaya Dinda mau mendengarkannya. Ternyata Dinda tetap tidak mau membukanya.
Dan Arlan pun pergi dengan wajah yang merah-kesal.

Dari dalam rumah, melalui tirai jendela, Dinda mengintip, memastikan Arlan sudah benar-
benar pergi. Kemudian Dinda berjalan ke kamar, terduduk di depan cermin, menangis dan
melamun.

Tidak berselang lama, terdengar suara ketukan pintu dari luar, Dinda gelisah dan ketakutan.
Mengira kalau itu adalah Arlan yang tidak putus asa. Lama mengetuk pintu, Bobi berinisiatif
untuk memanggil nama Dinda supaya Dinda mengetahui kalau itu adalah Bobi.

Ketika tahu suara itu adalah suara Bobi, Dinda langsung buru-buru berdiri dan menangis
lagi. Dinda membuka pintu dan segera memeluk Bobi. Bobi heran. Dan mengajak Dinda
untuk masuk ke dalam rumah dan menceritakan apa yang sedang terjadi.

Di tengah-tengah pembicaraan, tiba-tiba Arlan kembali ke rumah Dinda dan membawa


seikat bunga untuk memohon maaf kembali. Dinda kaget melihat Arlan yang berdiri di
depan pintu. Melihat wajah Arlan, Dinda berlari dan berusaha berlindung di belakang
punggung Bobi. Dinda ketakutan, terdiam dan tidak mau menatap ke arah Arlan. Bobi
merasa kebingungan dengan situasi itu.

Di balik punggung Bobi, Dinda berteriak dan menyuruh Arlan pergi. Karena Arlan tidak
kunjung pergi dan memaksa agar dimaafkan, sambil menangis Dinda meminta putus. Arlan
berjalan mendekat kepada Dinda. Dan Dinda menyuruhnya jangan mendekat. Arlan tetap
mencoba mendekat, mengulurkan tangan untuk memegang tangan Dinda, tetapi Dinda
menjauh dan meletakkan kedua tangannya di balik badannya, tanda bahwa Ia tak mau.
Melihat Dinda yang tidak mau mendekat, Arlan kesal dan mengumpat kasar dan menuduh
Bobi adalah orang yang membuat Dinda jadi tidak mau mendekat lagi kepadanya.

Secara spontan, Arlan melepaskan pukulan ke arah Bobi, tetapi Bobi tidak menghindar. Bobi
membiarkan Arlan memukulnya dan ingin memperlihatkan kepada Dinda bahwa laki-laki
yang di depannya itu adalah seorang lelaki yang kasar dan tidak memiliki hati nurani. Ketika
Bobi terjatuh dan terlentang di lantai, Arlan mendaratkan pukulan kedua. Dengan segera
Dinda menghalaunya hingga pukulan itu mengenai wajah Dinda.

Bobi berdiri dan marah. Kemudian membalas memukul wajah Arlan berkali-kali sampai
Arlan terjungkal di teras. Lalu Bobi segera menyeretnya keluar dan memaksanya pergi
sambil menunjuk-nunjuk Arlan.

Akhirnya Arlan pergi dengan tergopoh-gopoh, menyalakan mobil dan buru-buru


meninggalkan mereka. Melihat Bobi yang kelelahan, Dinda memeriksa keadaan Bobi, dan
Bobi juga mengkhawatirkan keadaan Dinda. Lalu kemudian mereka berpelukan dan saling
mengusap punggung satu sama lain.

***

Setelah kejadian itu, Bobi berencana mengajak Dinda untuk jalan-jalan ke taman.
Meyegarkan kembali pikiran dan perasaannya yang gundah. Tetapi Dinda masih gelisah.
Bobi menyadarinya. Sewaktu duduk di bangku taman, wajah Dinda tampak pucat. Ia seperti
memikirkan sesuatu. Bobi berusaha membuat Dinda merasa nyaman, tetapi tidak
membuahkan hasil. Akhirnya Bobi menanyakan apa yang sedang dipikirkan Dinda. Dan
Dinda bercerita.

Dinda menyadari hubungannya sudah tidak sehat. Tetapi Ia takut untuk keluar dari
hubungan itu dengan alasan karena Ia teringat perkataan Arlan yang pernah
mengancamnya: kalau misalnya suatu saat Dinda berupaya memutuskannya, maka Arlan
berniat bunuh diri.
Cerita ini Ia sampaikan kepada Bobi dalam keadaan ketakutan. Dari setelah kejadian itu, Ia
sama sekali belum mendapat kabar apa-apa dari Arlan. Di dalam kepalanya selalu teringat
oleh perkataan Arlan di masa lalu itu. Kini Ia sangat ketakutan. Ia memikirkan keadaan Arlan
setelah Ia mengatakan ingin memutuskan hubungan dengan Arlan ketika kejadian kemarin.
Dinda sangat terpukul.

***

Bobi masih berusaha menenangkan Dinda. Mengajak Dinda pergi ke tempat-tempat


hiburan. Bersenang-senang. Dinda terhibur, tetapi kebahagiaan itu tidak berlangsung lama.
Dalam pikiran Dinda masih terbayang-bayang Arlan yang belum memberi kabar. Ketika
pulang pun, Dinda tidak bisa langsung tidur. Masih dilingkupi perasaan khawatir.

***

Kekhawatiran Dinda terjawab. Pagi-pagi sekali, Dinda dibangunkan oleh Wina. Ekspresi Wina
panik. Tergesa-gesa Ia menarik Dinda agar segera bangun sambil mengatakan kalau Arlan
sedang terkapar di rumah sakit. Cepat-cepat Dinda bangkit dari kasurnya dan mengganti
pakaian dan segera berangkat ke rumah sakit.

Setibanya di rumah sakit, Dinda menemukan Arlan yang sudah tidak bernyawa. Arlan
meninggal karena mengalami geger otak setelah mengalami tabrakan saat arah jalan pulang
kemarin, dari rumah Dinda.

Dinda menangis histeris. Menyesali perbuatannya. Kini Arlan, orang yang pernah Ia cintai
dan sekaligus juga Ia benci itu sudah tidak lagi bisa mengekang, membentak, dan
memukulnya lagi. Namun, sebenci apapun Dinda kepada perilaku Arlan, Dinda masih tidak
percaya akan berujung seperti ini. Ia mengalami gejolak di batinnya. Ia berpikir kemana-
mana. Tentang kekecewaannya karena mau menerima dan masuk di dalam kehidupan Arlan
dan membuat Arlan jadi mencintai begitu dalam sampai Arlan rela menyerahkan
kehidupannya untuk Dinda.

***

Sesampainya di rumah, Bobi ingin berada di samping Dinda untuk memberi ketenangan
kepada Dinda, begitupun Wina, mengkhawatirkan keadaan Dinda yang tidak berhenti
menangis. Tetapi Dinda bilang kepada mereka kalau Ia ingin sendirian. Dan Dinda pun
mengurung diri di kamar. Sesekali melamun, sesekali menangis. Kadang melihat ke arah luar
jendela, kadang duduk di sudut kamar.

***

Bobi dan Wina pergi meski mereka cemas dengan keadaan Dinda. Di tengah perjalanan
pulang, Bobi terbayang-bayang tentang Dinda. Wina melihat ke arah Bobi. Dari raut
wajahnya yang mengkerut dan sesekali memegang jidat, membuat Wina yakin kalau Bobi
sangat menyayangi Dinda. Wina pun bertanya tentang perasaan Bobi ke Dinda. Karena tidak
bisa berbohong, Bobi pun menceritakannya secara jujur.

Bobi mengakui, semenjak kehadiran Dinda di Coffe Shop Mas Arif, Bobi mulai menyukai
Dinda. Dengan sikap Dinda yang ceria dan selalu memberi perhatian, membuatnya jatuh
hati. Tapi perasaan itu masih dalam tahap mengagumi Dinda sebagai orang yang baik.
Namun, perasaan yang lebih dalam dan intens itu tumbuh ketika kejadian pagi kemarin, saat
Dinda menangis setelah turun dari mobil Arlan.

Bobi juga bercerita tentang kejadian sewaktu Ia mengantar Dinda pulang. Dan juga bercerita
tentang peristiwa-peristiwa yang dalam beberapa hari ini Ia alami bersama Dinda. Dari mulai
ngechat Dinda sebelum tidur, Ia mendatangi rumah Dinda dan membela Dinda di depan
Arlan, sampai Ia mengajak jalan-jalan Dinda ke taman untuk menenangkan perasaan Dinda.

Wina bertanya lagi, kenapa Bobi tidak berterus terang tentang perasaannya kepada Dinda.
Dengan wajah murung, Bobi menjawab kalau niat untuk berterus terang itu ada, tetapi Ia
belum sanggup mengatakannya, apalagi melihat keadaan Dinda yang semakin hari semakin
mencemaskan seperti ini.

***

Selama perjalanan pulang, Bobi sama sekali tidak membuka handphone-nya. Ia baru
membukanya ketika sudah sampai di rumah. Saat Ia melihat ke arah layar, Ia melihat pesan
dari Mas Arif. Dalam pesan itu, Mas Arif mengatakan kalau Ia dikirimi pesan oleh Dinda. Bobi
penasaran apa isi pesan itu. Kata Mas Arif, Ia juga kaget membacanya, pesan itu berisi
tentang pengunduran diri Dinda dari Coffe Shop. Dan yang membuat Mas Arif lebih kaget
adalah satu kalimat yang bertuliskan: “aku mau pergi, ke suatu tempat yang belum pernah
aku tahu seperti apa.”

Bobi tercengang dan langsung menelpon Wina. Ketika menelpon Wina, Wina juga
mengatakan hal yang sama tentang pesan Dinda. Bobi masih heran, kenapa hanya Mas Arif
dan Wina yang mendapat pesan itu. Sebelum menutup telpon, dengan ekspresi takut, Bobi
menyuruh Wina langsung menuju ke rumah Dinda.

Belum sempat tertidur, dalam keadaan masih rebahan, Bobi segera berdiri dan buru-buru
mencari kunci mobilnya dan melesat cepat menuju rumah Dinda. Sesampainya di rumah
Dinda, pintu terkunci. Selang beberapa lama, Wina pun tiba. Mereka memanggil-manggil
beberapa kali, tapi Dinda belum juga menjawab. Karena semakin cemas, Bobi memutuskan
untuk mendobrak pintu.

Ketika pintu terbuka, mereka berlari mencari kamar Dinda. Dan ketika membuka pintu
kamar Dinda, Winda berteriak dan menangis histeris. Kemudian Bobi pun masuk dan
tercengang. Ia berlari dan langsung menghampiri Dinda yang tergeletak di lantai. Mereka
memanggil-manggil Dinda. Dinda tidak merespon apa-apa. Ketika sedang membangungkan
Dinda, Bobi melihat secarik kertas yang seperti baru saja ditulis. Benar, kertas itu adalah
surat dari Dinda untuk Bobi. Dan Bobi membacanya. Setelah membaca, Bobi mematung dan
terdiam. Air matanya mengalir perlahan. Wajahnya memerah. Dengan tangan yang
gemetar, pelan-pelan Ia mencium kening Dinda, memeluknya, dan menutup kedua mata
Dinda. Itulah awal dan akhir Bobi mencium dan memeluk orang yang Ia cintai dalam diam.

***

Kesimpulan: Cinta seringkali datang dalam wujudnya yang bahagia. Saat jatuh cinta, semua
orang merasa bahwa semua akan baik-baik saja. Ternyata, cinta itu bukan sore yang senja
ataupun malam yang tenang, tempat orang-orang meneduhkan matanya dari lelah yang
panjang. Cinta juga bisa sebentuk siang yang panas dan pagi yang hujan. Seperti cuaca, yang
tidak bisa kita tebak pasti kapan datangnya. Yang harus kita tahu hanyalah, bahwa keadaan
bisa berubah dan tak ada yang benar-benar pasti.
Kita boleh mencintai siapa saja. Tetapi satu hal yang harus kita tahu: bahwa kita tak akan
bisa memilikinya. Dia adalah milik dirinya sendiri. Kita adalah milik diri kita sendiri. Meski
kita sudah mengikat janji, bahkan di atas kartu pernikahan sekali pun, cinta tetap saja
perasaan yang tak bertempat kecuali di dalam hati dan pikiran kita masing-masing.

Cinta itu adalah kebaikan. Kita harus berbuat baik kepada siapapun, tetapi kita tidak boleh
memaksa orang lain untuk berbuat baik kepada kita. Sebab puncak dari mencintai adalah:
keikhlasan. Itulah wujud cinta yang tulus. Cinta yang agung.

Anda mungkin juga menyukai