Pada masa pemerintahan periode pertama, Presiden Joko Widodo mencanangkan gerakan
revolusi mental untuk mengubah pola pikir (mindset) manusia Indonesia agar menjadi
individu yang berintegritas, bekerja keras, dan memiliki semangat gotong-royong yang
akan membentuk sebuah identitas, karakter, dan orisinalitas bangsa. Pada masa
pemerintahan periode kedua ini, gerakan revolusi mental berelaborasi menjadi revolusi dan
reformasi hukum, khususnya terhadap produk legislasi yang saat ini berlaku. Dalam
revolusi dan reformasi hukum, Presiden menginginkan adanya penataan dan
penyederhaanaan dalam peraturan perundang-undangan melalui omnibus law.
Kata omnibus sendiri bukan istilah yang dipergunakan secara khusus dalam dunia hukum.
Namun secara harfiah kata omnibus tersebut berasal dari Bahasa Latin yang
artinya semua atau banyak. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), omnibus merupakan kata benda di bidang sastra atau penulisan yang berarti
sebuah kompilasi antara beberapa karya (film, buku, dan sebagainya), biasanya ditulis atau
dibuat oleh orang yang sama, melibatkan karakter yang sama atau memiliki tema yang
sama, yang sebelumnya pernah diluncurkan secara terpisah.
Pada dasarnya omnibus law bukanlah istilah baru di Indonesia. Namun dulu lebih dikenal
dengan istilah umbrella act (UU Payung), yaitu suatu peraturan perundang-undangan yang
berisi pokok-pokok ketentuan dan landasan yang akan menjadi payung hukum atau acuan
atas suatu ketentuan peraturan perundang-undangan lain (UU Sektoral) yang memiliki
materi muatan/substansi terkait. Beberapa peraturan perundang-undangan yang
menjadi umbrella act antara lain UU Pokok Kepegawaian (sekarang menjadi UU ASN),
UU Pokok Agraria, UU Sistem Pendidikan Nasional, UU Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup/UUPPLH, UU Perlindungan Konsumen, UU Pemerintahan Daerah, dan
UU Ketenagakerjaan. Hanya saja seiring dengan berjalannya waktu, umbrella
act cenderung tidak dipergunakan kembali oleh pembentuk UU, terutama DPR, dalam
menyusun suatu RUU karena sifat pengaturannya yang terlalu luas/umum sehingga
memerlukan banyak delegasi ke dalam peraturan teknis. Pendelegasian ini semakin
dihindari karena banyak peraturan teknis (setingkat Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden, atau bahkan Peraturan Menteri) yang tidak dibuat atau justru bertentangan dengan
UU-nya. Peraturan teknis inilah yang akan menjadi sumber permasalahan kenapa kemudian
peraturan perundang-undangan setingkat undang-undang memuat substansi/materi muatan
yang sifatnya teknis (sektoral) yang seharusnya diatur dalam peraturan perundang-
undangan di bawahnya, sedangkan materi muatan untuk setiap tingkatan peraturan
perundang-undangan telah secara tegas batasannya diatur dalam Pasal 10 sampai dengan
Pasal 14 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Kembali ke omnibus law, masyarakat khawatir telah terjadi “latah” atau sesat pikir
terhadap omnibus law, yang apabila tidak segera dipahami, akan menimbulkan distorsi
hukum dalam konteks perundang-undangan. Omnibus law seolah-olah menjadi suatu target
legislasi. Padahal tidak semua peraturan perundang-undangan harus dan bisa di- omnibus
law karena sangat bergantung pada substansinya serta sasaran, jangkauan dan arah
pengaturannya. Selama hukum negara kita masih menganut asas lex specialist derogat lex
generalis, selama itu pula UU sektor masih dapat diberlakukan. Sebagai contoh UU sektor
yang masih dapat berlaku antara lain UU Guru dan Dosen, UU Tindak Pidana Korupsi, dan
UU Perbankan.
Sependek pengetahuan penulis, revolusi dan reformasi hukum Presiden Joko Widodo dalam
melaksanakan omnibus law terutama hanya terhadap peraturan perundang-undangan yang
terkait EODB (ease of doing business). Artinya omnibus law hanya dilakukan terhadap
peraturan perundang-undangan yang dinilai menghambat investasi atau kemudahan
berusaha, terutama aturan yang menyangkut mekanisme birokrasi dan kemudahan
pemberian perizinan. Faktanya selama ini masih banyak peraturan perundang-undangan
terkait bidang ekonomi dan investasi dalam setiap tingkatannya dinilai tidak sinkron dan
disharmoni satu sama lain sehingga menghambat pertumbuhan investasi dan kemudahan
berusaha. Ending-nya, bila kondisi ini dibiarkan secara terus-menerus maka pertumbuhan
ekonomi Indonesia cenderung stagnan dan Indonesia akan selalu terjebak sebagai negara
berpenghasilan menengah (middle income trap).