Anda di halaman 1dari 3

Tugas 2 Polemik Omnibuslaw Cipta Kerja – Dari Sudut Pandang Reformasi di Indonesia (ini

tema tugas ke 2, lebih kurang 10 halaman, rujukan Artikel Internasional minimal 5)

Pada masa pemerintahan periode pertama, Presiden Joko Widodo mencanangkan gerakan
revolusi mental untuk mengubah pola pikir (mindset) manusia Indonesia agar menjadi
individu yang berintegritas, bekerja keras, dan memiliki semangat gotong-royong yang
akan membentuk sebuah identitas, karakter, dan orisinalitas bangsa. Pada masa
pemerintahan periode kedua ini, gerakan revolusi mental berelaborasi menjadi revolusi dan
reformasi hukum, khususnya terhadap produk legislasi yang saat ini berlaku. Dalam
revolusi dan reformasi hukum, Presiden menginginkan adanya penataan dan
penyederhaanaan dalam peraturan perundang-undangan melalui omnibus law. 

Kata omnibus sendiri bukan istilah yang dipergunakan secara khusus dalam dunia hukum.
Namun secara harfiah kata omnibus tersebut berasal dari Bahasa Latin yang
artinya semua atau banyak. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), omnibus merupakan kata benda di bidang sastra atau penulisan yang berarti
sebuah kompilasi antara beberapa karya (film, buku, dan sebagainya), biasanya ditulis atau
dibuat oleh orang yang sama, melibatkan karakter yang sama atau memiliki tema yang
sama, yang sebelumnya pernah diluncurkan secara terpisah. 

Dikutip dari beberapa sumber, dalam dunia kesastraan atau penulisan, omnibus adalah


sebuah kumpulan karya dari satu orang penulis yang sebelumnya pernah diterbitkan secara
terpisah. Karya yang diterbitkan dalam bentuk omnibus bisa berupa fiksi maupun nonfiksi.
Tujuannya adalah untuk memperkenalkan kembali karya tersebut kepada generasi yang
baru sehingga mengangkat kembali penjualan karya tersebut jika hendak diterbitkan secara
terpisah.

Dalam konteks hukum dan perundang-undangan, lazimnya istilah omnibus sering kali


disandingkan dengan law. Istilah law sendiri berasal dari Bahasa Inggris yang
artinya hukum. Namun Black’s Law Dictionary justru
menyandingkan omnibus dengan bill sehingga memiliki arti a single bill cointaing various
distinct matters, usu. drafted in this way to force the executive either to accept all the
unrelated minor provisions or to veto the major provision (Black’s Law Dictionary, Eight
Edition).

Dalam konteks perundang-undangan, omnibus law  dapat berarti penyederhanaan,


penyatuan (unifikasi), atau kodifikasi beberapa peraturan perundang-undangan yang berada
pada tingkatan yang sama atau berbeda namun tetap memiliki substansi/materi muatan yang
terkait, dengan cara merevisi beberapa ketentuan atau mencabut secara keseluruhan
peraturan perundang-undangan yang dimaksud. Dari pengertian tersebut dapat ditarik syarat
atau ciri omnibus law, yakni pertama, pembentukannya didasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang sudah ada/masih berlaku; kedua, peraturan perundang-undangan
tersebut memiliki substansi/materi muatan terkait; dan ketiga peraturan perundang-
undangan tersebut tidak sinkron dan disharmoni (hyper regulated). 

Dengan menarik benang merah dari dunia kesastraan/penulisan, pembentukan  omnibus


law memiliki latar belakang yang hampir sama yakni menata kembali peraturan perundang-
undangan yang memiliki materi muatan/substansi yang sama dan yang diberlakukan secara
terpisah oleh pembentuk undang-undang (DPR selaku legislatif dan Pemerintah selaku
eksekutif) dalam satu kesatuan yang utuh (unifikasi). Hanya saja dalam omnibus law tidak
secara langsung mengambil "nilai" atau "manfaat" ekonomi karena tujuannya agar tercipta
sinkronisasi dan harmonisasi antarperaturan perundang-undangan (tidak tumpang tindih
antara peraturan perundang-undangan yang satu dan lainnya). Namun sebaliknya karena
sifatnya yang luas dan umum, dalam penyusunannya, omnibus law juga harus dilakukan
secara cermat dan sangat berhati-hati, sebab jika tidak dilakukan secara akurat,
dikhawatirkan ada materi muatan yang tidak diatur atau belum cukup diatur sehingga
menyebabkan terjadinya kekosongan hukum (rechtsvacuum).

Pada dasarnya omnibus law bukanlah istilah baru di Indonesia. Namun dulu lebih dikenal
dengan istilah umbrella act (UU Payung), yaitu suatu peraturan perundang-undangan yang
berisi pokok-pokok ketentuan dan landasan yang akan menjadi payung hukum atau acuan
atas suatu ketentuan peraturan perundang-undangan lain (UU Sektoral) yang memiliki
materi muatan/substansi terkait. Beberapa peraturan perundang-undangan yang
menjadi umbrella act antara lain UU Pokok Kepegawaian (sekarang menjadi UU ASN),
UU Pokok Agraria, UU Sistem Pendidikan Nasional, UU Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup/UUPPLH, UU Perlindungan Konsumen, UU Pemerintahan Daerah, dan
UU Ketenagakerjaan. Hanya saja seiring dengan berjalannya waktu, umbrella
act cenderung tidak dipergunakan kembali oleh pembentuk UU, terutama DPR, dalam
menyusun suatu RUU karena sifat pengaturannya yang terlalu luas/umum sehingga
memerlukan banyak delegasi ke dalam peraturan teknis. Pendelegasian ini semakin
dihindari karena banyak peraturan teknis (setingkat Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden, atau bahkan Peraturan Menteri) yang tidak dibuat atau justru bertentangan dengan
UU-nya. Peraturan teknis inilah yang akan menjadi sumber permasalahan kenapa kemudian
peraturan perundang-undangan setingkat undang-undang memuat substansi/materi muatan
yang sifatnya teknis (sektoral) yang seharusnya diatur dalam peraturan perundang-
undangan di bawahnya, sedangkan materi muatan untuk setiap tingkatan peraturan
perundang-undangan telah secara tegas batasannya diatur dalam Pasal 10 sampai dengan
Pasal 14 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Kembali ke omnibus law, masyarakat khawatir telah terjadi “latah” atau sesat pikir
terhadap omnibus law, yang apabila tidak segera dipahami, akan menimbulkan distorsi
hukum dalam konteks perundang-undangan. Omnibus law seolah-olah menjadi suatu target
legislasi. Padahal tidak semua peraturan perundang-undangan harus dan bisa di- omnibus
law karena sangat bergantung pada substansinya serta sasaran, jangkauan dan arah
pengaturannya. Selama hukum negara kita masih menganut asas lex specialist derogat lex
generalis, selama itu pula UU sektor masih dapat diberlakukan. Sebagai contoh UU sektor
yang masih dapat berlaku antara lain UU Guru dan Dosen, UU Tindak Pidana Korupsi, dan
UU Perbankan.

Sependek pengetahuan penulis, revolusi dan reformasi hukum Presiden Joko Widodo dalam
melaksanakan omnibus law  terutama hanya terhadap peraturan perundang-undangan yang
terkait EODB (ease of doing business). Artinya omnibus law hanya dilakukan terhadap
peraturan perundang-undangan yang dinilai menghambat investasi atau kemudahan
berusaha, terutama aturan yang menyangkut mekanisme birokrasi dan kemudahan
pemberian perizinan. Faktanya selama ini masih banyak peraturan perundang-undangan
terkait bidang ekonomi dan investasi dalam setiap tingkatannya dinilai tidak sinkron dan
disharmoni satu sama lain sehingga menghambat pertumbuhan investasi dan kemudahan
berusaha. Ending-nya, bila kondisi ini dibiarkan secara terus-menerus maka pertumbuhan
ekonomi Indonesia cenderung stagnan dan Indonesia akan selalu terjebak sebagai negara
berpenghasilan menengah (middle income trap). 

Sejalan dengan kebijakan omnibus law, sebagai langkah konkrit, Presiden telah


mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan
Berusaha. Kebijakan omnibus law dan Peraturan Presiden ini dikeluarkan tidak lain
merupakan way out untuk pertumbuhan ekonomi, meningkatkan persaingan dan mendorong
laju investasi, serta menaikkan peringkat EODB Indonesia.

Omnibus law sebenarnya bukan satu-satunya langkah untuk menyederhanakan hukum.


Seperti yang diuraikan sebelumnya, kalau tujuan omnibus law adalah sinkronisasi dan
harmonisasi peraturan perundang-undangan maka secara kelembagaan telah ada lembaga
yang bertugas melaksanakan pemantapan/pembulatan konsep, harmonisasi dan sinkronisasi
peraturan perundang-undangan, yakni Badan Legislasi DPR dan Direktorat Harmonisasi
Kementerian Hukum dan HAM, bahkan Kementerian Dalam Negeri dalam kondisi tertentu
memiliki wewenang untuk melakukan executive review terhadap peraturan daerah yang
dinilai berpotensi tumpang tindih atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
lain baik secara horizontal maupun vertikal. Namun langkah tersebut ternyata dinilai belum
efektif. 

Perlu diapresiasi langkah Presiden yang membentuk Pusat Legislasi Nasional


(Puslegnas)/Badan Regulasi Nasional. Lembaga ini yang bertugas dan bertanggung jawab
langsung kepada Presiden mengenai penataan regulasi. Hopefully, lembaga ini nantinya
memiliki kewenangan yang cukup powerful untuk mensinkronisasi dan mengharmonisasi
serta melakukan kajian/review peraturan perundang-undangan dalam setiap tingkatan dan
hasil kajiannya dijadikan sebagai dasar untuk mencabut atau merevisi ketentuan dari
peraturan perundang-undangan yang berpotensi saling tumpang-tindih (overlapping).

Anda mungkin juga menyukai