(ESA162)
DISUSUN OLEH
ERWAN BAHARUDIN, S.SOS, M.SI
1
Sunarto, Kamanto, Pengantar Sosiologi, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, Jakarta, 2000, hlm. 184.
Teori para ahli yang menjelaskan masalah penyimpangan sosial yaitu antara
lain:2
1. Teori Differential Association
Teori Differential Association merupakan toeri yang dipelopori oleh Edwin H.
Sutherland.3 Menurut pandangan Sutherland penyimpangan bersumber pada
differential association atau pada pergaulan yang berbeda. Penyimpangan
dipelajari melalui proses alih budaya (cultural transmission), melalui proses
belajar ini seseorang mempelajari suatu deviant subculture atau suatu sub-
kebudayaan menyimpang.
2. Teori Labelling
Teori lain untuk menjelaskan penyimpangan adalah Teori Labelling yang
dipelopori oleh Edwin M. Lemert. Menurut Lemert seseorang menjadi
penyimpang karena proses lebeling atau pemberian julukan, cap, etikat,
merek yang diberikan oleh masyarakat kepadanya.
2
Ibid, hlm. 184-188.
3
E.H. Sutherland dan DR. Cressey, Principles of Criminologi, hlm.74.
3. Teori Merton
Menurut argumen Merton4, struktur sosial tidak hanya menghasilkan perilaku
konformis, tetapi menghasilkan perilaku pula yang menyimpang. Struktur
sosial menciptakan keadaan yang menghasilkan pelanggaran terhadap aturan
sosial, menekan orang tertentu keperilaku nonkonform.
4
Merton, Robert K, Social Theory and Social Structure, The Free Press, New York, 1964, hlm.131-194.
5
Durkheim, Imile, The Rules of Sociologycal Method, The Free Press, New York, 1965, hlm.47-75.
5. Teori Konflik
Penjelasan lain terhadap penyimpangan kita jumpai dikalangan penganut teori
Konflik Marx.6 Para penganut Marx mengatakan bahwa kejahatan terkait erat
dengan perkembangan kapitalisme. Menurut pandangan ini apa yang
merupakan perilaku menyimpang didefinisikan oleh kelompok berkuasa dalam
masyarakat untuk melindungi kepentingan mereka sendiri. Para penganut
teori Marx mengatakan bahwa hukum merupakan pencerminan kepentingan
kelas yang berkuasa, dan bahwa sistem peradilan pidana mencerminkan nilai
dan kepentingan mereka. Oleh sebab itu orang yang dianggap melakukan
tindak pidana dan yang terkena hukuman biasanya lebih banyak terdapat
dikalangan orang miskin.
6
Kornblum, William, Sociology in a Changing World, Holt, Rinehart and Winston, New York, 1988.
7
Zanden, J.W. Van Den, Sosiology, John Willey & Sons, New York, 1979.
b. Psikologis
Menjelaskan sebab terjadinya penyimpangan ada kaitannya dengan
kepribadian retak atau kepribadian yang memiliki kecenderungan untuk
melakukan penyimpangan. Dapat juga karena pengalaman traumatis yang
dialami seseorang.
Pada dasarnya manusia ingin hidup dalam kondisi yang tertib dan harmonis tanpa
kesemerawutan dan kekerasan. Keteraturan sosial adalah suatu kondisi di mana
hubungan-hubungan sosial berjalan secara tertib dan teratur menurut nilai dan
norma yang berlaku dalam masyarakat. Begitu pentingnya keteraturan dan
ketertiban dalam masyarakat sehingga beberapa daerah bahkan secara nasional
mencitpakan slogan atau motto yang intinya mengedepankan kehidupan yang tertib,
seperti Jakarta Teguh Beriman.
Perilaku warga menghasilkan sebuah pola perilaku tertentu yang diikuti hampir
sebagian anggota masyarakat. Pola ini kemdian menjadi order (adat istiadat) yang
ajeg dalam masyarakat. Keajegan dalam pola perilaku kemudian akhirnya tercipta
keteraturan sosial dalam kehidupan masyarakat.
Suatu perilaku disebut menyimpang apabila tidak sesuai dengan nilai-nilai dan
norma sosial yang berlaku dalam masyarakat
Penyimpangan ada yang dapat diterima masyarakat ada pula yang tidak.
Penyimpangan positif adalah penyimpangan yang dapat diterima masyarakat
contohnya adalah emansipasi wanita, sedangkan penyimpangan negatif adalah
penyimpangan yang tidak dapat diterima masyarakat contohnya adalah koruptor.
Tidak semua masalah menjadi masalah sosial dan secara sosiologis ada beberapa
ukuran untuk menetapkan gejala / perilaku tersebut merupakan masalah sosial.
Perilaku menyimpang biasa terjadi pada masyarakat yang memiliki nilai-nilai sub
kebudayaan yang menyimpang. Seseorang yang tinggal di lingkungan kumuh,
masalah etika kurang diperhatikan karena masyarakatnya lebih sibuk dengan usaha
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bagi kebanyakan mereka, cekcok antarwarga
dengan mengeluarkan kata-kata kasar atau tindakan buang sampah sembarangan
ataupun membunyikan radio dengan keras menjadi hal yang biasa.
Dengan demikian dapat dikatakan Perilaku menyimpang yang juga biasa dikenal
dengan nama penyimpangan sosial adalah perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-
nilai kesusilaan atau kepatutan, baik dalam sudut pandang kemanusiaan (agama)
secara individu maupun pembenarannya sebagai bagian daripada makhluk sosial.
D. Kunci Jawaban
1. Penyimpangan (deviance) adalah segala bentuk perilaku yang tidak berhasil
menyesuaikan diri dengan kehendak (norma) masyarakat atau kelompok
tertentu dalam masyarakat. Penyimpangan merupakan perilaku yang oleh
sejumlah besar orang dianggap sebagai hal yang tercela dan di luar batas
toleransi (James vander Zanden). Suatu perilaku disebut menyimpang apabila
tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma sosial yang berlaku dalam
masyarakat
2. Sebagai tolok ukur menyimpang atau tidaknya suatu perilaku ditentukan oleh
norma-norma atau nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Setiap tindakan
yang bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat akan
dianggap sebagai penyimpangan dan harus ditolak. Akibat tidak diterimanya
atau ditolak perilaku individu yang bertentangan dengan nilai dan norma
masyarakat, maka berdampaklah bagi si individu tersebut.
Contohnya:
Apabila seseorang menanggalkan semua pakaiannya sehingga berada dalam
keadaan telanjang dihadapan mahasiswa hukum yang sedang mengikuti
kuliah dalam mata kuliah hukum pidana, ia akan dianggap melakukan
penyimpangan. Namun bila perbuatan yang sama dilakukan oleh model di
studio lukis didepan mahasiswa seni rupa dalam rangka mata ajaran melukis
tubuh manusia, maka perbuatan ini tidak dianggap sebagai penyimpangan.
Dari contoh tersebut jelas bahwa tercela tidaknya suatu perbuatan tidak
melekat pada perbuatan itu sendiri melainkan tergantung pada definisi sosial.
Abstrak:
LGBT merupakan akronim dari “Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender”. Istilah
ini digunakan circa tahun 90 an untuk menggantikan frase “komunitas gay”. Setiap
komunitas yang disebut dan terkandung dalam akronim di atas tersebut, pada
praktiknya, telah berjuang untuk mengembangkan identitasnya masing-masing.
Data yang dilansir oleh portal gaya nusantara (Oetomo,2006) mengatakan bahwa
kaum ini di Indonesia sudah mencapai sekitar 20.juta. Bahkan Kinsey dalam
penelitiannya menemukan bahwa setiap individu memeliki kecndrungan seksual
menyukai sesame jenis ,satu dari tiga orang respondennya pernah memilki
pengalaman melakukan hubungan seksual paling tidak sekali dengan sesame jenis
(Oetomo,2006).
Kemudian WHO pada tahun 2005 menyatakan bahwa orientasi seksual seseorang
yang tidak “lazim”bukanlah penyakit social melainkan hanya preferensi seksual
individu. Dewasa ini kecendrungan kaum penganut LGBT untuk mengespresikan
dirinya semakin nampak dan makin berani. Fenomena dan isu seputar LGBT telah
menjadi perbincangan yang sangat hangat di banyak kalangan masyarakat dan
khalayak ramai, terutama di negara-negara berkembang yang mana masih
berpendapat bahwa orientasi seksual adalah sesuatu yang masih asing dalam
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum ( Suatu kajian Filosofis Dan Sosiologis) : dalam
Tulisan Hukum Sebagai Kenyataan dalam Masyarakat, PT. Toko Gunung
Agung Tbk., Jakarta.
Adi, Rianto. Sosiologi Hukum: Kajian Hukum Secara Sosiologis. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia anggota IKAPI. 2012
Ali, Prof. Dr. H. Zainuddin. Sosiologi Hukum. Sinar Grafika. Jakarta. 2005.
Alvin S. Johnson. Sosiologi Hukum cet. 2, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. , 2004,
Apeldoorn, Prof Mr. Dr. L.J. 1983. Pengantar Ilmu Hukum. P.T. Pradnya Paramita.
1983
Lili Rasjidi, Hukum Sebagai Suatu Sistem, , Remaja Rosdakarya, 84 Bandung, 1993
Raharjo, Prof. Dr. Satjipto, SH. Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode Dan Pilihan
Masalah. Genta Publishing. Yogyakarta , 2010.
Soekanto, Soerjono, Kamus Sosiologi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1992
Tim Penyusun Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka. 2005.