Anda di halaman 1dari 17

Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Sistem

Muskoloskeletal

Oleh : Vina Erviana


Nim : 18045

Akademi Keperawatan Yappi Sragen


2021
LAPORAN PENDAHULUAN
FRAKTUR METKARPAL

1. DEFINISI
Fraktur atau patah tulang adalah keadaan dimana hubungan atau kesatuan jaringan
tulang terputus. Tulang mempunyai daya lentur (elastisitas) dengan kekuatan yang
memadai, apabila trauma melebihi dari daya lentur tersebut maka terjadi fraktur (patah
tulang). Definisi lain fraktur sebagaimana dikemukakan oleh para ahli adalah sebagai
berikut:
 Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2000).
 Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya
(Smeltzer & Bare, 2001).
 Fraktur tulang adalah patah pada tulang (Corwin, 2009).
2. ETIOLOGI
Menurut Smeltzer dan Bare (2001), fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang
lebih besar dari yang dapat diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan
langsung, gaya remuk, gerakan puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem.
Meskipun tulang patah, jaringan sekitarnya juga akan berpengaruh mengakibatkan edema
jaringan lunak, perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi, rupture tendon, kerusakan
saraf, dan kerusakan pembuluh darah.
Menurut Corwin (2009), penyebab fraktur tulang paling sering adalah trauma,
terutama pada anak-anak dan dewasa muda. Beberapa fraktur dapat terjadi setelah trauma
minimal atau tekanan ringan apabila tulang lemah (fraktur patologis) fraktur patologis
sering terjadi pada lansia yang mengalami osteoporosis, atau indivisu yang mengalmai
tumor tulang, infeksi, atau penyakit lain. Fraktur stress atau fraktur keletihan dapat terjadi
pada tulang normal akibat stress tingkat rendah yang berkepanjangan atau berulang,
biasanya menyertai peningkatan yang cepat tingkat latihan atlet atau permulaan aktivitas
fisik yang baru (Corwin, 2009).
Patah tulang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan
sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang yang akan
menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. Penyebab
terjadinya fraktur adalah trauma, stres kronis dan berulang maupun pelunakan tulang yang
abnormal.
3. MEKANISME FRAKTUR
1) Trauma (benturan)
Ada dua trauma/ benturan yang dapat mengakibatkan fraktur, yaitu:
a. Benturan langsung
b. Benturan tidak langsung
c. Gaya Puntir
2) Tekanan/stres yang terus menerus dan berlangsung lama
Tekanan kronis berulang dalam jangka waktu lama akan mengakibatkan fraktur (patah
tulang) yang kebanyakan pada tulang tibia, fibula (tulang-tulang pada betis) atau
metatarsal pada olahragawan, militer maupun penari. Contoh: Seorang yang senang
baris berbaris dan menghentak-hentakkan kakinya, maka mungkin terjadi patah tulang
di daerah tertentu.
3) Adanya keadaan yang tidak normal pada tulang dan usia
Kelemahan tulang yang abnormal karena adanya proses patologis seperti tumor maka
dengan energi kekerasan yang minimal akan mengakibatkan fraktur yang pada orang
normal belum dapat menimbulkan fraktur.
4. JENIS-JENIS FRAKTUR
Untuk lebih sistematisnya, fraktur dapat dibagi sebagai berikut:
1) Lokasi
Fraktur dapat terjadi di berbagai tempat pada tulang seperti pada diafisis, metafisis,
epifisis, atau intraartikuler. Jika fraktur didapatkan bersamaan dengan dislokasi sendi,
maka dinamakan fraktur dislokasi.
2) Luas
Terbagi menjadi fraktur lengkap dan tidak lengkap.
a. Fraktur komplet: fraktur yang mengenai tulang secara keseluruhan dan biasanya
mengalami pergeseran.
b. Fraktur inkomplet: fraktur yang mengenai tulang secara parsial atau sebagian dari
garis tengah tulang, seperti:
o Hair line fraktur (garis fraktur hampir tidak tampak sehingga tidak ada
perubahan bentuk tulang/patah retak rambut)
o Buckle fraktur / torus fraktur (bila terjadi satu lipatan, satu korteks dengan
komprea tulang spongiosa dibawahnya)
o Greenstick fraktur (mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya
yang terjadi pada tulang panjang anak) (Smeltzer & Bare, 2001; Corwin,
2009).
Fraktur tidak lengkap contohnya adalah retak.
c. Konfigurasi
Dilihat dari garis frakturnya, dapat dibagi menjadi transversal (mendatar), oblik
(miring), atau spiral (berpilin). Jika terdapat lebih dari satu garis fraktur, maka
dinamakan kominutif.
d. Hubungan antar bagian yang fraktur.
Antar bagian yang fraktur dapat masih berhubungan (undisplaced) atau terpisah
jauh (displaced).
e. Hubungan antara fraktur dengan jaringan sekitar.
Fraktur dapat dibagi menjadi fraktur terbuka (jika terdapat hubungan antara tulang
dengan dunia luar) atau fraktur tertutup (jika tidak terdapat hubungan antara fraktur
dengan dunia luar.
Fraktur terbuka digradasi menjadi:
 Grade I: luka bersih kurang dari 1 cm panjangnya.
 Grade II: luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif.
 Grade III: sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan jaringan lunak
ekstensif (Smeltzer & Bare, 2001)
f. Komplikasi
Fraktur dapat terjadi dengan disertai komplikasi, seperti gangguan saraf, otot,sendi,
dll atau tanpa komplikasi.
g. Berdasarkan Pergeseran
Terjadi pergeseran fragmen-fragmen fraktur yang juga disebut lokasi fragmen,
terbagi menjadi pergeseran searah sumbu dan overlapping, pergeseran membentuk
sudut, dan pergeseran di mana kedua fragmen saling menjauhi. Fraktur tidak
bergeser: garis patah komplit tetapi kedua fragmen tidak bergeser, periosteumnya
masih utuh (Mansjoer, 2000; Smeltzer & Bare, 2001).
Bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma
 Garis patah melintang (transversal) : Trauma angulasi atau langsung

 Garis patah oblique: Trauma angulasi, garis patah miring


 Garis patah spiral : Trauma notasi,garis patah melingkari tulang
 Fraktur kompresi : Trauma aksial fleksi pada tulang spongiosa
 Fraktur avulse : Trauma tarikan, fraktur patella

Fraktur jari-jari tangan terbagi atas 3 :


a) Baseball finger (mallet finger) : fraktur ujung jari yang dalam keadaan tiba-tiba fleksi
pada sendi interfalang karena trauma.
b) Boxer fracture (street fighter’s fracture) : fraktur kolum metacarpal V terjadi karena
tidak tahan terhadap trauma langsung ketika tangan mengepal.
c) Fraktur bennet : fraktur dislokasi basis metacarpal I (arief mansjoer . 2000)

5. PATHWAY
6. GEJALA
Nyeri biasanya merupakan gejala yang sangat nyata. Nyeri bisa sangat hebat dan
biasanya makin lama makin memburuk, apalagi jika tulang yang terkena digerakkan.
Menyentuh daerah di sekitar patah tulang juga bisa menimbulkan nyeri. Alat gerak tidak
dapat berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga penderita tidak dapat menggerakkan
lengannya, berdiri diatas satu tungkai atau menggenggam dengan tangannya. Darah bisa
merembes dari tulang yang patah (kadang dalam jumlah yang cukup banyak) dan masuk
kedalam jaringan di sekitarnya atau keluar dari luka akibat cedera.
Adanya fraktur dapat ditandai dengan adanya:
a. Pembengkakan. Kecuali frakturnya terjadi jauh didalam seperti pada tulang leher atau
tulang paha.
b. Perubahan bentuk, dapat terjadi angulasi (terbentuk sudut), rotasi (terputar), atau
pemendekan.
c. Terdapat rasa nyeri yang sangat pada daerah fraktur.
Menurut Smeltzer dan Bare (2001), manifestasi klinis fraktur antara lain:
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi.
b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak
secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid seperti normalnya.
Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas
(terlihat maupun teraba) ekstremitas yang bias diketahui dengan membandingkan
dengan ekstremitas normal.
c. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya kerena kontraksi
otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur.
d. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan
krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang lainnya.
e. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur.
7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto rontgen biasanya bisa menunjukkan adanya patah tulang. Hal yang perlu
diingat dalam pemeriksaan roentgen adalah hasilnya harus meliputi dua sendi, dua sisi, dan
dua tulang (kanan dan kiri). Kadang perlu dilakukan CT scan atau MRI untuk bisa melihat
dengan lebih jelas daerah yang mengalami kerusakan. Jika tulang mulai membaik, foto
rontgen juga digunakan untuk memantau penyembuhan.
8. PENATALAKSANAAN
Tujuan dari pengobatan adalah untuk menempatkan ujung-ujung dari patah tulang
supaya satu sama lain saling berdekatan dan untuk menjaga agar mereka tetap menempel
sebagaimana mestinya. Proses penyembuhan memerlukan waktu minimal 4 minggu, tetapi
pada usia lanjut biasanya memerlukan waktu yang lebih lama.
Setelah sembuh, tulang biasanya kuat dan kembali berfungsi.
Pada beberapa patah tulang, dilakukan pembidaian untuk membatasi pergerakan.
Dengan pengobatan ini biasanya patah tulang selangka (terutama pada anak-anak), tulang
bahu, tulang iga, jari kaki dan jari tangan, akan sembuh sempurna.
Patah tulang lainnya harus benar-benar tidak boleh digerakkan (imobilisasi).
Imobilisasi bisa dilakukan melalui:
1) Pembidaian: benda keras yang ditempatkan di daerah sekeliling tulang.
2) Pemasangan gips: merupakan bahan kuat yang dibungkuskan di sekitar tulang yang
patah.
3) Penarikan (traksi): menggunakan beban untuk menahan sebuah anggota gerak pada
tempatnya. Sekarang sudah jarang digunakan, tetapi dulu pernah menjadi pengobatan
utama untuk patah tulang pinggul.
4) Fiksasi internal: dilakukan pembedahan untuk menempatkan piringan atau batang
logam pada pecahan-pecahan tulang. Merupakan pengobatan terbaik untuk patah
tulang pinggul dan patah tulang disertai komplikasi. Imobilisasi lengan atau tungkai
menyebabkan otot menjadi lemah dan menciut. Karena itu sebagian besar penderita
perlu menjalani terapi fisik. Terapi dimulai pada saat imobilisasi dilakukan dan
dilanjutkan sampai pembidaian, gips atau traksi telah dilepaskan. Pada patah tulang
tertentu (terutama patah tulang pinggul), untuk mencapai penyembuhan total,
penderita perlu menjalani terapi fisik selama 6-8 minggu atau kadang lebih lama lagi.

Empat tujuan utama dari penanganan fraktur adalah:


1) Untuk menghilangkan rasa nyeri
Nyeri yang timbul pada fraktur bukan karena frakturnya sendiri, namun karena terluka
jaringan disekitar tulang yang patah tersebut. Untuk mengurangi nyeri tersebut, dapat
diberikan obat penghilang rasa nyeri dan juga dengan tehnik imobilisasi (tidak
menggerakkan daerah yang fraktur). Tehnik imobilisasi dapat dicapai dengan cara
pemasangan bidai atau gips.
2) Untuk menghasilkan dan mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur.
Bidai dan gips tidak dapat mempertahankan posisi dalam waktu yang lama. Untuk itu
diperlukan lagi tehnik yang lebih mantap seperti pemasangan traksi kontinyu, fiksasi
eksternal, atau fiksasi internal tergantung dari jenis frakturnya sendiri.
3) Agar terjadi penyatuan tulang kembali.
Biasanya tulang yang patah akan mulai menyatu dalam waktu 4 minggu dan akan
menyatu dengan sempurna dalam waktu 6 bulan. Namun terkadang terdapat gangguan
dalam penyatuan tulang, sehingga dibutuhkan graft tulang.
4) Untuk mengembalikan fungsi seperti semula.
Imobilisasi yang lama dapat mengakibatkan mengecilnya otot dan kakunya sendi.
Maka dari itu diperlukan upaya mobilisasi secepat mungkin.

Menurut Smeltzer dan Bare (2001), prinsip-prinsip tindakan terhadap fraktur:


1. Recognisi/pengenalan
Pengenalan mengenai diagnosis pada tempat kejadian kecelakaan dan kemudian di RS
Riwayat kecelakaan, parah tidaknya, jenis kekuatan yang berperan, menentukan
kemungkinan tulang yang patah dan pemeriksaan yang spesifik untuk frakture.
2. Reduksi (Setting Tulang)
Berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis.
Dapat dibedakan menjadi :
a. Reduksi tertutup
Dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya
saling berhubungan) dengan manipulasi traksi manual (ex: gibs).
b. Traksi
Digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi beratnya traksii
disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.
c. Reduksi terbuka
Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fikasi interna dalam
bentuk pin, kawat, sekrup, plat paku atau batangan logam digunakan sampai
penyembuhan tulang terjadi.
3. Imobilisasi Fraktur
Sebuah direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi (dipertahankan dalam posisi dan
kesejajaran dapat dilakukan dengan metode fiksasi eksterna dan interna.
a. Metode fixasu eksterna : pembalutan, gibs, bidai, traksi, kontinu (dengan
plester felt pada kulit), pin fiksator eksterna.
b. Metode fikasi interna : inplant logam
4. Restorasi (Pemulihan Fungsi) dan Rehabilitasi
Segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan otot.
Dapat dilakukan dengan:
a. Latihan isometrik dan setting otot: untuk meminimalkan atropi
disease dan meningkatkan peredaran darah.
b. Fiksasi interna memungkinkan mobilisasi lebih awal
c. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari untuk memperbaiki
kemandirian fungsi dan harga diri.
d. Periode ini dimudahkan dengan bantuan fisioterapi.

9. PENYEMBUHAN
Secara rinci proses penyembuhan fraktur dapat dibagi dalam beberapa tahap
sebagai berikut:
1) Fase hematoma
Tiap fraktur biasanya disertai putusnya pembuluh darah sehingga terdapat penimbunan
darah di sekitar fraktur. Pembuluh darah robek dan membentuk hematoma disekitar
daerah fraktur. Hematoma ini disertai dengan pembengkakan jaringan lunak. Sel-sel
darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat
tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast.Pada ujung tulang yang patah terjadi iskemia
sampai beberapa milimeter dari garis patahan yang mengakibatkan matinya osteosit
pada daerah fraktur tersebut. Stadium ini berlangsung 24 – 48 jam.
2) Fase proliferative
Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel-sel periosteal dan endoosteal
menjadi fibro kartilago yang berasal dari periosteum,`endosteum,dan bone marrow
yang telah mengalami trauma. Kemudian, hematoma akan terdesak oleh proliferasi ini
dan diabsorbsi oleh tubuh. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke
dalam lapisan yang lebih dalam dan di sanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi
proses osteogenesis. Bersamaan dengan aktivitas sel-sel sub periosteal maka terjadi
aktifitas sel-sel dari kanalis medularis dari lapisan endosteum dan dari bone marrow
masing-masing fragmen. Proses dari periosteum dan kanalis medularis dari masing-
masing fragmen bertemu dalam satu preses yang sama, proses terus berlangsung
kedalam dan keluar dari tulang tersebut sehingga menjembatani permukaan fraktur
satu sama lain. Pada saat ini mungkin tampak di beberapa tempat pulau-pulau
kartilago, yang mungkin banyak sekali,walaupun adanya kartilago ini tidak mutlak
dalam penyembuhan tulang. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang
menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Pada fase ini sudah terjadi
pengendapan kalsium. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai
selesai, tergantung frakturnya.
3) Fase pembentukan callus
Pada fase ini terbentuk fibrous callus dan disini tulang menjadi osteoporotik akibat
resorbsi kalsium untuk penyembuhan. Sel–sel yang berkembang memiliki potensi
yang kondrogenik dan osteogenik mulai membentuk tulang dan juga kartilago.
Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast yang mulai
berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Sel-sel osteoblas
mengeluarkan matriks intra selluler yang terdiri dari kolagen dan polisakarida, yang
segera bersatu dengan garam-garam kalsium, membentuk tulang immature atau young
callus. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk
kallus atau bebat pada permukaan endosteal dan periosteal makapada akhir stadium
akan terdapat dua macam callus yaitu didalam disebut internal callus dan diluar
disebut external callus. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang ) menjadi lebih
padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur
menyatu.
4) Fase konsolidasi
Pada fase ini callus yang terbentuk mengalami maturisasi lebih lanjut oleh aktivitas
osteoblas, callus menjadi tulang yang lebih dewasa (mature) dengan pembentukan
lamela-lamela. Pada setadium ini sebenarnya proses penyembuhan sudah lengkap.
Pada fase ini terjadi pergantian fibrous callus menjadi primary callus. Fase ini terjadi
sesudah empat minggu, namun pada umur-umur lebih mudah lebih cepat. Secara
berangsur-angsur primary bone callus diresorbsi dan diganti dengan second bone
callus yang sudah mirip dengan jaringan tulang yang normal. Ini adalah proses yang
lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban
yang normal.
5) Fase remodeling
Pada fase ini secondary bone callus sudah ditimbuni dengan kalsium yang banyak dan
tulang sudah terbentuk dengan baik, serta terjadi pembentukan kembali dari medula
tulang. Apabila union sudah lengkap, tulang baru yang terbentuk pada umumnya
berlebihan, mengelilingi daerah fraktur di luar maupun di dalam kanal, sehingga dapat
membentuk kanal medularis. Dengan mengikuti stress/tekanan dan tarik mekanis,
misalnya gerakan, kontraksi otot dan sebagainya, maka callus yang sudah mature
secara pelan-pelan terhisap kembali dengan kecepatan yang konstan sehingga
terbentuk tulang yang sesuai dengan aslinya.

Penyembuhan fraktur berkisar antara 3 minggu sampai 4 bulan. Perkiraan


penyembuhan fraktur pada orang dewasa berdasarkan lokalisasi fraktur adalah sebagai
berikut:
a. Falang/metacarpal/metatarsal/kosta: 3-6 minggu
b. Distal radius: 6 minggu
c. Diafisis ulna dan radius: 12 minggu
d. Humerus: 10-12 minggu
e. Klavikula: 6 minggu
f. Panggul: 10-12 minggu
g. Femur: 12-16 minggu
h. Kondilus femur atau tibia: 8-10 minggu
i. Tibia/fibula: 12-16 minggu
j. Vertebra: 12 minggu

10. Diagnosa
a. Nyeri akut bd spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak,
pemasangan traksi, stress/ansietas.
b. Gangguan integritas kulit bd fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup)
c. Gangguan mobilitas fisik bd kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif
(imobilisasi)
d. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan bd kurang
terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang
akurat/lengkapnya informasi yang ada
e. Risiko infeksi bd ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, trauma jaringan
lunak, prosedur invasif/traksi tulang)
f. Risti ketidakefektifan perfusi jaringan perifer bd penurunan aliran darah (cedera
vaskuler, edema, pembentukan trombus)
11. INTERVENSI
No Diagnosa Keperawatan Tujuan/ kriteria Intervensi
1. Nyeri akut bd spasme otot, Tujuan:  Kaji keadaan nyeri yang
gerakan fragmen tulang, Nyeri berkurang, meliputi : lokasi, intensitas,
edema, cedera jaringan dan dapat diatasi. lamanya, skala nyeri 1 - 10.
lunak, pemasangan traksi,  Batasi pergerakan pada
stress/ansietas. Kriteria : daerah fraktur, klien harus
 Klien tidak bed rest.
mengeluh nyeri.  Tinggikan dan sokong
 Pembengkakan ekstremitas yang mengalami
hilang atau fraktur.
berkurang.  Observasi perubahan tanda
 Otot relaksasi. vital.
 Berikan alternatif perubahan
posisi secara periodik.
 Ajarkan pasien tehnik
relaksasi nafas dalam dan
tehnik distraksi untuk
mengurangi rasa sakit pada
skala nyeri  5.
 Berikan penjelasan terhadap
klien setiap prosedur yang
akan dilakukan.
 Kerja sama dengan Tim
Medis : Pemberian obat
analgetika.
2. Gangguan integritas kulit Tujuan :  Pertahankan tempat tidur
bd fraktur terbuka, Menjaga integritas yang nyaman dan aman
pemasangan traksi (pen, kulit tetap baik (kering, bersih, alat tenun
kawat, sekrup) kencang, bantalan bawah
Kriteria hasil: siku, tumit).
 Tidak ada tanda  Masase kulit terutama daerah
kerusakan penonjolan tulang dan area
integritas kulit distal bebat/gips.
klien  Lindungi kulit dan gips pada
 Klien daerah perianal
mengatakan  Observasi keadaan kulit,
ketidaknyamana penekanan gips/bebat
n akibat terhadap kulit, insersi
kerusakan pen/traksi, proses
integritas kulit penyembuhan luka.
berkurang
 Penyembuhan
luka terjadi
dengan baik
3. Gangguan mobilitas fisik Tujuan :  Jelaskan aktifitas-aktifitas
bd kerusakan rangka Aktifitas sehari-hari apa yang dapat dikerjakan
neuromuskuler, nyeri, tetap terpenuhi. sendiri oleh klien dan apa
terapi restriktif yang perlu dibantu oleh
(imobilisasi) Kriteria : perawat.
 Klien dapat  Bantu untuk pemenuhan ke-
Data penunjang : melakukan butuhan sehari-hari yang
 Klien terpasang gips / aktifitas sehari- tidak dapat dilakukan klien.
traksi. hari, sesuai  Ajarkan dan anjurkan untuk
dengan la-tihan aktif pada kaki yang
pembatasan cedera dan yang normal, je-
gerak oleh gips laskan bahwa latihan dapat
seperti makan, mencegah terjadinya kom-
minum, b.a.b, plikasi, meningkatkan ke-
b.a.k dan mandi. sembuhan.
 Ajarkan tehnik relaksasi.
4. Kurang pengetahuan Tujuan :  Berikan penjelasan tentang
tentang kondisi, Pengetahuan klien latihan yang harus dilakukan.
prognosis dan kebutuhan tentang mobilisasi  Demonstrasikan cara latihan
pengobatan bd kurang dan perawatan di mobilisasi aktif.
terpajan atau salah Rumah meningkat.  Anjurkan klien untuk me-
interpretasi terhadap lakukan mobilisasi aktif
informasi, keterbatasan Kriteria hasil: dengan menggerakkan
kognitif, kurang  Klien persendian pada bagian
akurat/lengkapnya menyatakan bawah dari daerah yang
informasi yang ada. telah memahami fraktur.
tentang mo-  Diskusikan dengan klien ten-
Data penunjang : bilisasi dan cara tang gejala & tanda abnormal
 Klien menyatakan pera-watan yang timbul selama
belum memahami dirumah. perawatan dan dianjurkan
tentang aktifitas yang  Klien dapat klien melapor kepada
boleh/tidak boleh mengulangi perawat, gejala yang
dilakukan. kembali secara diobservasi : rasa sakit,
 Klien kurang seder-hana perasaan dingin, adanya bau
kooperatif dalam tentang hal-hal tidak enak dari daerah luka
program mobilisasi. yang telah dan perubahan sensasi.
dijelaskan.  Diskusikan tentang
 Klien dapat pentingnya klien kontrol
mendemon- secara teratur ke Poliklinik
strasikan sesuai perjanjian.
kembali latihan  Jelaskan rehabilitasi yang
mobilisasi yang boleh dilakaukan di rumah
telah diajarkan. sesuai kemampuan klien.
 Klien kooperatif
dalam program
mobilisasi.
5. Risiko infeksi bd Tujuan:  Observasi adanya tanda-
ketidakadekuatan Tidak menunjukkan tanda infeksi pada lokasi luka
pertahanan primer tanda infeksi pada (kemerahan, pus, bengkak
(kerusakan kulit, trauma luka dan rasa sakit)
jaringan lunak, prosedur  Observasi adanya
invasif/traksi tulang) Kriteria : peningkatan HR, anemia,
 Penyembuhan delirium dan penurunan
Data penunjang : luka baik kesadaran berlanjut.
 Adanya luka pada  Tidak ada tanda  Observasi penampilan kulit ;
daerah fraktur. infeksi
(inflamasi, pus, pucat, kemerahan, adanya
pembengkakan). vesikel yang berisi cairan
 Bagian yang berwarna merah dan adanya
fraktur/luka gejala-gejala awal gas
dapat berfungsi gangren.
seperti semula.  Monitor output urine.
 Observasi keadaan luka,
ganti balutan secara teratur
dengan tehnik septik aseptik
dan buang bekas ganti
balutan dalam plastik yang
diikat.
 Lakukan perawatan pen steril
dan perawatan luka sesuai
protokol
 Kerja sama dengan Tim
kesehatan :
 Pemberian cairan
parentral.
 Observasi tindakan
invasif
 Pemberian antibiotika.
6. Risti ketidakefektifan Tujuan :  Observasi ada/tidak kualitas
perfusi jaringan perifer Perfusi perifer dapat nadi perifer dan bandingkan
bd penurunan aliran darah dipertahankan. dengan pulses normal.
(cedera vaskuler, edema,  Kaji adanya gangguan pe-
pembentukan trombus) Kriteria : rubahan motorik/sensorik.
 HR. 60 - 100 x  Pertahankan posisi daerah
per menit. yang fraktur lebih tinggi
 Kulit hangat kecuali bila ada kontra
sensori normal. indikasi untuk meningkatkan
 Sistolik 100 - aliran vena dan
140 mmHg. menghilangkan udema.
 RR. 16 - 24 x per  Observasi adanya tanda
menit. iskemia daerah tungkai
 Urine out put 30 seperti, pe-nurunan suhu,
- 50 cc per jam. dingin dan pe-ningkatan rasa
 Pengisian kapiler sakit.
>2 detik.  Dorong klien untuk secara
rutin melakukan latihan
menggerakkan jari/sendi
distal cedera.
 Observasi tanda vital, catat
dan laporkan bila ada gejala
sia-nosis, dingin pada kulit
dan gejala perubahan status
mental.
 Kerja sama dengan Tim
kesehatan :
a. Pemeriksaan laboratorium ;
Hb, Ht
b. Pemberian cairan parentral,
tranfusi darah bila perlu.
c. Pemberian obat.
d. Persiapan operasi bila perlu.
Daftar Pustaka
Price, Sylvia A. dan Wilson, Lorraine M. W. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit, vol. 2, ed 6. Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner and
Suddart, vol 2, Ed 8. Jakarta: EGC
Carpenito (2000), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis. Edisi 6. Jakarta:
EGC.
Corwin, E. J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi Revisi 3. Jakarta: EGC.
Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta:EGC
Mansjoer, A., Triyanti, K., Savitri, R., Wardhani, W. I., Setiowulan, W., Tiara, A. D.,
Hamsah, A., Patmini, E., Armilasari, E.,Yunihastuti, E., Madona, F., Wahyudi, I.,
Kartini, Harimurti, K., Nurbaiti, Suprohaita, Usyinara, & Azwani, W. 2000. Kapita
Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius FK UI. pp:372-374.
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta: EGC.
http://ilmubedah.info/lesi-pleksus-brachialis-penyakit-20110206.html
http://ilmubedah.info/fraktur-clavicula-20110818.html

Anda mungkin juga menyukai