PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
PENERAPAN HUKUM ACARA PENGADILAN ANAK
SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA
Program Studi
Ilmu Hukum
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim…
Segala puji dan syukur hanya milik Allah SWT, Dzat Yang Maha Kuasa,
Pencipta Ilmu dan Pengetahuan, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Shalawat serta salam senantiasa terlantun kepada junjungan kita Nabi Besar
istiqmah di jalan-Nya, atas limpahan rezeki berupa ilmu pengetahuan dan izin-Nya,
diberikan terutama oleh Komisi Penasihat dalam upaya menyempurnakan tesis ini,
namun tesis ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangan. Hal
Penghargaan dan ucapan terima kasih yang paling tulus dan dalam teruntuk
orang tua tercinta yang telah menjadi pembimbing dan anutan manusiawiku dalam
mengarungi dan menjalani hidup, walau ikhlas sampai saat ini dan sampai kapanpun
saya tidak mampu memberi sesuatu yang setimpal dengan apa yang telah mereka
berikan.
Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis kepada Bapak Prof. Dr.
Muhadar, S.H., M.Si. dan Ibu Dr. Wiwie Heryani, S.H., M.H., sebagai Ketua dan
Anggota Komisi Penasihat, atas luang waktunya yang sangat berharga dalam
yang sedalam-dalamnya kepada kedua orang tua penulis Ibunda Andi Sahriawan
AM, S.H., M.H., dan Ayahanda Andi S Yusuf T, S.H., atas segala pengorbanan,
kasih sayang serta jerih payahnya selama membesarkan dan mendidikku, serta doa
penulis.
1. Bapak Prof. Dr. Marthen Arie, SH., MH. sebagai Ketua Program Studi S2 Ilmu
penulis.
Andi Puspitasari terima kasih atas segala bantuannya, materil maupun inmateril
kepada penulis.
5. Teman-teman Unhy, Anthy, Kak Diana, Kak Darma, Kak Ria, Kak Asdar, Kak
Izoel, Kak Agus n Pak Syam terima kasih atas persahabatan dan bantuan kalian.
6. Staf akademik yang telah membantu kelancaran akademik penulis selama studi
7. Kantor Polres Bone, Kejaksaan Negeri Bone, Pengadilan Negeri Bone dan
dengan segala kerendahan hati penulis sangat mengharapkan kritikan dan masukan
yang sifatnya membangun guna perbaikan dan penyempurnaan usulan tesis ini.
diberikan dengan segala limpahan Rahmat dan HidayahNya. Akhir kata, semoga
Penulis
DAFTAR ISI
halaman
HALAMAN SAMPUL i
HALAMAN PERSETUJUAN ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI vi
ABSTRAK viii
ABSTRACT ix
BAB I PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah 15
C. Tujuan Penelitian 15
D. Manfaat Penelitian 16
E. Perlindungan Anak 38
G. Kerangka Pikir 59
H. Definisi Operasional 63
A. Jenis Penelitian 64
B. Lokasi Penelitian 64
Tindak Pidana 67
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 147
B. Saran 148
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
Anak sebagai salah satu sumber daya manusia dan merupakan generasi
anak terpaksa dihadapkan ke muka pengadilan. Mental anak yang masih dalam
tahap pencarian jati diri, kadang mudah terpengaruh dengan situasi dan kondisi
buruk, dapat terpengaruh pada tindakan yang dapat melanggar hukum. Hal itu
tentu saja dapat merugikan dirinya sendiri dan masyarakat. Tidak sedikit tindakan
sama dengan masyarakat lain yang harus dilindungi dan dihormati. Setiap
yang cukup terhadap hak-hak anak, yang antara lain berupa hak-hak sipil,
ekonomi, sosial dan budaya. Namun sepertinya kedudukan dan hak-hak anak
jika dilihat dari perspektif yuridis belum mendapatkan perhatian serius baik oleh
jauh dari apa yang sebenarnya harus diberikan kepada mereka. Kondisi inipun
dipersulit oleh lemahnya penerapan hukum mengenai hak-hak anak yang
Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang mendapat
perlakuan terhadap hak asasi anak dengan orang dewasa, diatur dalam
Deklarasi Hak-Hak Anak : “…the child, by reasons of his physical and mental
protection, before as well as after birth…” Deklarasi Wina tahun 1993 yang
Harkrisnowo, 2002:4).
Konvensi Hak Anak (KHA) dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990.
Peraturan perundangan lain yang telah dibuat oleh pemerintah Indonesia antara
pidana itu seperti pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Anak
ditempatkan dalam posisi sebagai seorang pelaku kejahatan yang patut untuk
Indonesia.
anak merupakan individu yang belum dapat menyadari secara penuh atas
merupakan individu yang belum matang dalam berpikir. Tanpa disadari hal
tersebut tentu saja dapat menimbulkan dampak psikologis yang hebat bagi anak
yang pada akhirnya mempengaruhi perkembangan mental dan jiwa dari si anak
tersebut. Oleh sebab itu dengan memperlakukan anak itu sama dengan orang
dewasa maka dikhawatirkan si anak akan dengan cepat meniru perlakuan dari
Delinquency. Ada dua hal yang menjadi topik pembicaraan utama yaitu segi
pelanggaran hukumnya dan sifat tindakan anak apakah sudah menyimpang dari
norma yang berlaku dan melanggar hukum atau tidak. Juvenile Delinquency
adalah suatu tindakan atau perbuatan pelanggaran norma, baik norma hukum
maupun norma sosial yang dilakukan oleh anak-anak usia muda (Wagiati
Soetodjo, 2006:11).
bentuk kejahatan yang dilakukan anak dalam title-titel khusus dari bagian KUHP
yang dilakukan anak dan pemuda yang jumlahnya dari tahun ke tahun semakin
peradilan pidana anak tidak boleh diperlakukan sama seperti orang dewasa. Di
Pemerintah pada tanggal 30 Juli 2012 dan berlaku 2 (dua) tahun dari tanggal
permasalahan tindak pidana yang dilakukan oleh mereka yang masih termasuk
nasional untuk perlindungan hukum bagi anak melalui tatanan peradilan anak.
Selain itu UU Pengadilan Anak, yang ditujukan sebagai perangkat hukum yang
kepentingan yang terbaik bagi anak (the best interest of the child). Ketentuan
yang ada dalam UU Pengadilan Anak telah sebagian mengacu pada rambu-
hanya sebagai measure of the last resort, hal mana berkenaan dengan hak anak
untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya (Maulana Hassan Wadong, 2000:81).
dijatuhkan pidana atau tindakan. Adapun pidana yang dapat dijatuhkan kepada
Ada pembedaan ancaman pidana bagi anak yang ditentukan oleh Kitab
sedangkan penjatuhan pidana mati dan pidana penjara seumur hidup tidak
diberlakukan terhadap anak-anak. Sanksi yang dijatuhkan terhadap anak dalam
telah berusia 12 sampai anak yang belum mencapai umur 18 tahun baru dapat
dijatuhi pidana.
sanksi. Sanksi tersebut dibentuk dari suatu sistem atau lembaga yang
Tujuan dari reaksi terhadap kejahatan dan kenakalan adalah untuk pencegahan
Dellyana, 1988:57).
bersifat edukatif, yaitu suatu sistem pemidanaan yang tidak hanya menekankan
dari segi pemidanaannya saja namun lebih kepada bagaimana caranya agar
seorang anak itu bisa dirubah perilakunya menjadi lebih baik dan tidak akan
penjara.
Hal ini dilihat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak pada Pasal 17 ayat (1), yaitu setiap anak yang dirampas
Seorang pelaku kejahatan yang dilakukan oleh anak akan lebih mudah
dilakukan oleh orang dewasa. Hal ini disebabkan karena taraf perkembangan
anak itu berlainan dengan sifat-sifatnya dan ciri-cirinya, pada usia bayi, remaja
dewasa dan usia lanjut akan berlainan psikis maupun jasmaninya. Sistem
selama ini jarang dilakukan oleh aparat penegak hukum di Indonesia khususnya
oleh hakim. Salah satu contoh sanksi pidana yang bersifat edukatif adalah
pemberian sanksi pidana yang tidak hanya dikembalikan kepada orang tua/wali
atau lingkungannya saja namun sanksi pidana tersebut sifatnya juga mendidik
beragama Islam, atau diberikan kepada gereja bagi yang beragama nasrani, dan
lembaga keagamaan lainnya yang sesuai dengan agama yang dipeluk atau
dianutnya.
saja. Padahal dalam menangani masalah anak ini tidak hanya dilihat dari
penanggulangan individu si anak saja melainkan dilihat dari banyak faktor, salah
namun juga memberikan teladan dan pendidikan yang baik kepada si anak.
Hal ini dimaksudkan agar mental spiritual si anak itu lebih terdidik
sehingga perilaku yang menyimpang dari si anak inipun menjadi lebih baik.
yang lebih bagi perbaikan mental spiritual anak karena mereka diasingkan
bersama-sama dengan para pelaku tindak pidana lain hal ini mengakibatkan
proses pemulihan perilaku si anak untuk menjadi lebih baik sering kali terhambat
Tentunya hal ini akan berbeda jika menempatkan si anak pada suatu
lingkungan dimana dia tidak merasa diperlakukan sebagai seorang pelaku tindak
belum dewasa yang masih belum tahu apa-apa sehingga masih perlu diberikan
baik dan mana yang disebut dengan tindakan buruk. Tentu saja perlakuan yang
diberikan kepada mereka yang terlibat tindak pidana, selama dalam proses
kriminal dewasa.
sekali dilakukan, bahkan tidak jarang anak-anak tersebut ditangani oleh penegak
orang dewasa.
perlindungan anak yang efektif dan tidak ada lagi anak-anak yang dipenjarakan.
dirugikan secara fisik maupun mental. Dalam hal ini UU Pengadilan Anak dan
45, Pasal 46, dan Pasal 47 KUHP, yang selama ini digunakan dalam menangani
berlaku lagi.
diambil apabila anak yang berumur di bawah 8 tahun melakukan tindak pidana
tertentu, yaitu pertama diserahkan kepada orang tua, wali atau orang tua
asuhnya, jika anak tersebut masih dapat dibina. Kedua, diserahkan kepada
Departemen Sosial jika anak tersebut tidak dapat dibina oleh orang tua, wali atau
Perlindungan Anak dalam proses peradilan dimana anak menjadi korban. Kasus
hidupnya lebih lanjut dalam bernegara dan bermasyarakat. Situasi seperti ini
anaknya. Oleh karena itu, perlindungan anak perlu mendapat perhatian khusus di
termasuk Kabupaten yang mempunyai luas dan jumlah penduduk yang tinggi
B. Rumusan Masalah
sangatlah luas, maka di sini penulis membatasi masalah tersebut khususnya bagi
anak sebagai pelaku tindak pidana, dengan motif dan berbagai saran yang
sebagai berikut :
Bone ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui dan
menganalisis :
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
2. Kegunaan Praktis
pengadilan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana, dan dengan adanya
masyarakat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
pria dan wanita. Hubungan antara pria dan wanita ini jika terikat dalam suatu
ikatan perkawinan lazimnya disebut sebagai suami istri. Anak yang dilahirkan
dari suatu ikatan perkawinan yang sah statusnya disebut sebagai anak sah.
Namun ada juga anak yang dilahirkan di luar dari suatu ikatan perkawinan, anak
yang dilahirkan bukan dari suatu ikatan perkawinan yang sah statusnya biasanya
disebut sebagai anak tidak sah atau lebih konkritnya biasa disebut sebagai anak
haram jaddah.
juga sebagai anak yang berada di bawah pengawasan wali (minderjarige under
voordij). Pengertian anak itu sendiri jika kita tinjau lebih lanjut dari segi usia
untuk keperluan apa, hal ini juga akan mempengaruhi batasan yang digunakan
Perbedaan pengertian anak tersebut dapat kita lihat pada tiap aturan
perundang-undangan yang ada pada saat ini. Misalnya pengertian anak menurut
seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin
(Abdussalam, 2007:5)
Pengertian anak pada Pasal 1 Convention On The Rights of The Child,
sebelumnya”. Yang dimaksud dengan anak adalah mereka yang belum dewasa
dan yang menjadi dewasa karena peraturan tertentu mental, fisik masih belum
bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah termasuk anak yang masih
seseorang yang berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih di
dalam kandungan”.
adalah : “orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan)
tahun tetapi belum pernah kawin”. Namun hal berbeda ditunjukkan dalam
lapangan Hukum Tata Negara, hak memilih dalam Pemilu misalnya seseorang
dilakukannya kalau ia sudah mencapai usia 17 (tujuh belas) tahun. Melihat dari
hal-hal tersebut dapat diperoleh suatu kesimpulan bahwa penetapan batas umur
yaitu :
hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Peraturan ini misalnya hukum adat atau aturan kesopanan dan kepantasan
Tahun 1997.
Namun terlalu ekstrim apabila tindak pidana yang dilakukan oleh anak
kejiwaan yang labil, proses kemantapan psikis menghasilkan sikap kritis, agresif
ketertiban umum. Hal ini belum dapat dikatakan sebagai kejahatan, melainkan
kenakalan yang ditimbulkan akibat dari kondisi psikologis yang tidak seimbang
dan si pelaku belum sadar dan mengerti atas tindakan yang telah dilakukannya.
1. Faktor lingkungan
2. Faktor ekonomi/sosial
3. Faktor psikologis.
manifestasi dari kepuberan remaja tanpa ada maksud merugikan orang lain
dalam KUHP dimana pelaku harus menyadari akibat dari perbuatannya itu serta
yang (dalam bahasa Inggris) dalam bahasa Indonesia berarti anak-anak; anak
muda, sedangkan Deliquency artinya terabaikan/mengabaikan yang kemudian
bahwa : “Delikuensi diartikan sebagai tingkah laku yang menyalahi secara ringan
hidup atau suatu perbuatan yang anti sosial yang didalamnya terkandung unsur-
sebagai berikut :
adalah :
perbuatan tindakan anti sosial yang melanggar hukum pidana, kesusilaan dan
ketertiban umum bila dilakukan oleh seseorang yang berusia di atas 21 tahun
bahwa :
Dalam hal pemidanaan anak ada batasan usia minimal dan maksimal
anak tersebut dapat dijatuhi sanksi pidana. Batas usia anak adalah
hukum, sehingga anak tersebut beralih status menjadi usia dewasa atau menjadi
Dalam menetapkan batasan umur anak, para ahli ilmu jiwa dan beberapa
tahun dalam tiga septenia (3 periode kali 7 tahun). Pembagian tersebut adalah
seseorang yang usianya telah lebih dari 16 (enam belas) tahun, sesuai dengan
sanksi pidana sesuai dengan ketentuan pidana yang berlaku bagi orang dewasa.
Sedangkan jika kita tinjau pada batasan anak dalam KUHP sebagai korban
kejahatan seperti yang tercantum dalam BAB XIV Pasal 287, 290, 292, 294 dan
bahwa : “Belum dewasa adalah mereka yang belum dewasa mencapai umur
genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin”. Dapat ditarik kesimpulan
makna dari bunyi pasal tersebut adalah bahwa seseorang yang genap berusia 21
(dua puluh satu) tahun dan telah pernah menikah, dianggap telah dewasa atau
cakap berbuat hukum, maka semua akibat dari perbuatan hukum yang dilakukan
hukum adat di Indonesia akan berbeda. Usia bukanlah menjadi suatu ukuran
seorang anak tersebut sudah dianggap dewasa atau belum. Dalam hukum adat
Indonesia batasan umur untuk disebut anak bersifat pluralistis. Dalam artian
kriteria untuk menyebut bahwa seseorang tidak lagi disebut anak dan telah
dewasa beraneka ragam istilahnya, misalnya : telah “kuat gawe”, “akil baliq”,
dari hukum adatnya akan berbeda-beda, namun secara umum ada beberapa hal
Hal yang sama pun terjadi di negara lain. Jika kita bandingkan dengan
negara lain batasan usia anak tidaklah sama, misalnya di Inggris dan Belanda
batasan usia minimal adalah 12 tahun, di Denmark dan Kamboja umur minimal
15 tahun, Taiwan usia minimal 14 tahun, Philipina, Malaysia dan Singapura batas
Singapura.
Di Indonesia sendiri sejak dibentuk UU Pengadilan Anak, memberikan
batasan yang tegas tentang batas usia pemidanaan anak di Indonesia. Dalam
(1) Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah
sekurang-kurangnya 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun
dan belum pernah kawin.
(2) Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan dapat diajukan ke sidang
pengadilan, setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur
tersebut tetapi belum mencapai umur 21 tahun, tetap diajukan ke
sidang anak.
Jika pelaku kejahatan dilakukan oleh anak di bawah dari batas usia
(1) Dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan
atau diduga melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tersebut
dapat dilakukan pemeriksaan oleh penyidik.
(2) Apabila menurut hasil pemeriksaan, penyidik berpendapat bahwa anak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masih dapat dibina oleh orang
tua, wali atau orang tua asuhnya, penyidik menyerahkan kembali anak
tersebut kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya.
(3) Apabila menurut hasil pemeriksaan, penyidik berpendapat bahwa anak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dibina lagi oleh
orang tua, wali atau orang tua asuhnya, penyidik menyerahkan anak
tersebut kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan
dari pembimbing kemasyarakatan.
Jadi ada 2 (dua) alternatif yang dapat diambil yaitu, pertama jika anak
tersebut masih dapat dibina maka diserahkan kepada orang tua, wali atau orang
tua asuhnya, yang kedua adalah diserahkan kepada Departemen Sosial jika
anak tersebut sudah tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali atau orang tua
asuhnya.
mengingat pada tiap tingkatan usia anak berbeda pula tingkat kematangan anak
dalam berpikir sehingga akan berbeda cara memperlakukan anak tersebut, yang
terpenting seseorang tergolong dalam usia anak dalam batas bawah usia
seorang anak, yaitu 0 (nol) tahun batas penuntutan 8 (delapan) tahun sampai
yang menjadi sebab-sebab terjadinya tanggung jawab anak dalam hal-hal berikut
Pidana Anak (UU SPPA), batas usia yang dapat dipertanggungjawabkan adalah
12 (dua belas) sampai dengan 18 (delapan belas) tahun. Anak yang belum
berusia 12 (dua belas) tahun dan melakukan tindak pidana dapat dikembalikan
Berdasarkan batasan umur di atas, maka ini berarti anak yang melakukan
tindak pidana di bawah umur 12 tahun tidak dapat dituntut dan diajukan ke
depan persidangan. Pada Pasal 20 UU SPPA dan dalam hal tindak pidana
dilakukan oleh anak sebelum genap berumur 18 (delapan belas) tahun dan
batas umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi belum mencapai umur 21 (dua
Batasan dari segi usia akan sangat berpengaruh pada kepentingan hukum
yang dilakukan anak, keadaan kondisi fisik, mental dan sosial anak menjadi
perhatian (Maidin Gultom, 2008:33). Adanya batasan usia dimaksudkan agar ada
perlindungan dan pembinaan bagi anak, karena anak merupakan sumber daya
dengan hak, yaitu kekuasaan yang diberikan oleh hukum kepada seseorang
(atau badan hukum) karena perhubungan hukum dengan orang lain (badan
hukum lain)”.
Hak-hak anak merupakan salah satu hal terpenting yang tidak boleh kita
lupakan, karena hal itu sebagai suatu bentuk sisi pendekatan untuk melindungi
anak-anak dari masalah hukum. Hak anak itu mempunyai kedudukan yang sama
dilengkapi dengan kekuatan (macht) yang diberikan oleh sistem hukum / tertib
Manusia (HAM) Pasal 52 ayat (1) disebutkan bahwa : “Setiap anak berhak atas
Sedangkan pada Pasal 52 ayat (2) menyatakan : “Hak anak adalah hak
asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh
bidang hukum.
Kesehatan, pada Pasal 1, Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (2), untuk
bidang kesehatan.
pendidikan.
Dalam hukum internasional pun ada tiga instrumen yang penting dalam
hukum (Children in conflict with the law) yaitu (Maidin Gultom, 2008:51) :
1. The UN Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency (The
Riyadh Guidelines);
2. The UN Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile
Justice (The Beijing Rules);
3. The UN Rules for the Protection of Juvenile Deprived of Their Liberty.
interaksi yang saling terkait dan mempengaruhi dengan yang lainnya. Aspek
mental, fisik, sosial, dan ekonomi merupakan faktor yang harus ikut diperhatikan
halnya dengan pelaksanaan hak dan kewajiban bagi anak yang melakukan
dan mental, keadaan sosial serta usia dimana pada tiap tingkatan usia anak
sama yaitu :
1. Sebelum persidangan :
a. Hak diperlakukan sebagai yang belum terbukti salah;
b. Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan tindakan
yang merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial dari
siapa saja (ancaman, penganiayaan, cara dan tempat penahanan
misalnya).
c. Hak untuk mendapatkan pendamping, penasehat dalam rangka
mempersiapkan diri berpartisipasi dalam persidangan yang akan
datang dengan prodeo;
d. Hak untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar
pemeriksaan terhadap dirinya (transport, penyuluhan dari yang
berwajib).
2. Selama Persidangan :
a. Hak mendapatkan penjelasan mengenai tata cara persidangan dan
kasusnya;
b. Hak mendapatkan pendamping, penasehat selama persidangan;
c. Hak untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar
persidangan mengenai dirinya (transport, perawatan kesehatan);
d. Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan
yang merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial
(berbagai macam ancaman, penganiayaan, cara dan tempat
penahanan misalnya).
e. Hak untuk menyatakan pendapat.
f. Hak untuk memohon ganti kerugian atas perlakuan yang
menimbulkan penderitaan, karena ditangkap, ditahan, dituntut
ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang
atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau badan hukum
yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam KUHAP (Pasal 1
ayat 22).
g. Hak untuk mendapatkan perlakuan pembinaan/ penghukuman yang
positif, yang masih mengembangkan dirinya sebagai manusia
seutuhnya.
h. Hak akan persidangan tertutup demi kepentingannya.
3. Setelah persidangan :
a. Hak untuk mendapatkan pembinaan atau penghukuman yang
manusiawi sesuai dengan Pancasila, UUD 1945 dan ide mengenai
pemasyarakatan.
b. Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan
yang merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial dari
siapa saja (berbagai macam ancaman, penganiayaan,
pembunuhan misalnya).
c. Hak untuk tetap dapat berhubungan dengan orang tuanya,
keluarganya.
Perlindungan anak merupakan usaha dan kegiatan seluruh lapisan
masyarakat. Hal ini juga merupakan suatu perwujudan adanya keadilan dalam
1989:19).
terpidana/narapidana.
E. Perlindungan Anak
luasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani,
jasmani, dan sosial. Perlindungan anak merupakan usaha dan kegiatan seluruh
betul pentingnya anak bagi nusa dan bangsa di kemudian hari. Jika mereka telah
matang pertumbuhan fisik maupun mental dan sosialnya, maka tiba saatnya
yang mencerminkan suatu usaha yang efektif dan efisien. Usaha perlindungan
anak tidak boleh mengakibatkan matinya inisiatif, kreativitas, dan hal-hal lain
Pusat tanggal 30 Mei 1977, terdapat dua perumusan tentang perlindungan anak
1. Segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang
maupun lembaga pemerintah dan swasta yang bertujuan
mengusahakan pengamanan, penguasaan, pemenuhan kesejahteraan
fisik, mental, dan sosial anak dan remaja yang sesuai dengan
kepentingan dan hak asasinya.
2. Segala daya upaya bersama yang dilakukan secara sadar oleh
perorangan, keluarga, masyarakat, badan-badan pemerintah dan
swasta untuk pengamanan, pengadaan, dan pemenuhan
kesejahteraan rohaniah dan jasmaniah anak berusia 0 – 21 tahun,
tidak dan belum pernah nikah, sesuai dengan hak asasi dan
kepentingannya agar dapat mengembangkan dirinya seoptimal
mungkin.
agar dapat menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak secara
Pada kondisi itu, menurut Anthon F.S (2004:82) bahwa peradilan pidana
memiliki kekuasaan yang luar biasa besar, mulai dari Kepolisian, Kejaksaan,
kejahatan. Tujuan sistem ini dapat tercapai jika sub-sub system dalam sistem
umum, Pengadilan dalam fungsi dan jabatan sebagai hakim, sub sistem yang
dilaksanakan oleh Satuan Reserse yang telah diberi tugas khusus untuk
Meskipun penyidik berasal dari Polri, akan tetapi tidak semua penyidik
Polri dapat melakukan penyidikan terhadap anak. Dalam Pasal 7 ayat (5)
tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa serta mempunyai minat,
Tahun 2012 Nomor 153. Menurut Pasal 108 UU SPPA bahwa : “Undang-
1. Penangkapan
pidana. Hal tersebut tertuang dalam KUHAP Pasal 16 ayat (2) yang
penangkapan”
tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik
(satu) hari.
1) Penahanan
44 ayat (2) dan (3) dijelaskan bahwa, masa penahanan anak adalah
untuk paling lama 10 hari. Jadi jumlah waktu penahanan pada tingkat
Pasal 32 ayat (2) yang dilakukan oleh penyidik paling lama 7 (tujuh)
belas) hari.
2) Pemeriksaan
tersebut.
pengadilan negeri.
baru dalam undang-undang ini dan tidak dikenal dalam UU Nomor 3 Tahun
perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Hal ini dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses
negara kita dengan masuknya keadilan restoratif yang akan digunakan dalam
Selain itu dalam pendekatan keadilan restoratif ini, juga mendorong peran
serta masyarakat agar terlibat dalam penyelesaian perkara anak. Tidak lagi
kedewasaan pada para pihak untuk waktu ke depannya yang lebih baik.
Sejalan dengan masuknya keadilan restoratif yang diperlukan bagi
yang mempunyai tujuan untuk menjauhkan anak dari proses peradilan pidana
pidana ke proses di luar peradilan pidana yang dijelaskan dalam Pasal 1 ayat
umum adalah Pasal 143 KUHAP, bahwa surat dakwaan harus memenuhi
syarat formil dan syarat materil. Syarat formil dimaksud yakni nama lengkap,
tempat lahir, umur, tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, agama dan
uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang
dilakukan.
Beberapa hal yang merupakan ciri khas persidangan anak nakal sebagai
berikut :
1) Pemeriksaan sidang anak dilakukan dengan hakim tunggal (Pasal 11 ayat (1)
Undang-Undang Pengadilan Anak). Hal ini bertujuan agar sidang perkara anak
bawah dan pembuktiannya mudah atau tidak sulit. Biasanya perkara yang
sebagainya.
Namun apabila tindak pidananya dianggap berat (di atas lima tahun) serta
penuntut umum dan penasehat hukum tidak memakai toga. Begitupula oleh
persidangan dan menyatakan sidang tertutup untuk umum. Hal ini sejalan
dengan Pasal 153 ayat (3) KUHAP, bahwa untuk keperluan pemeriksaan,
hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum,
terdakwa selain didampingi oleh penasehat hukum, juga didampingi oleh orang
tua wali, orang tua asuh dan pembimbing kemasyarakatan. Namun tugas masing-
pemberi bantuan hukum adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum baik
bukan berarti tidak mempunyai hak bicara sama sekali di persidangan. Mereka
oleh Lapas, yaitu anak didik pemasyarakatan dan narapidana. Namun lebih
Pada prinsipnya setiap tempat atau kota terdapat Lapas anak, akan
latihan sesuai dengan bakat dan kemampuannya serta hak lain berdasarkan
a. Anak pidana
b. Anak negara
c. Anak sipil
Dalam UU SPPA, tidak lagi dipakai istilah anak nakal, anak pidana,
anak negara dan anak sipil. Walaupun status berbeda akan tetapi
G. Kerangka Pikir
depan. Oleh sebab itu anak patut diberikan pembinaan dan perlindungan secara
karena itu anak yang melakukan tindak pidana diperlukan pengadilan anak yang
sesuai dengan standar nilai dan perlakuan sejumlah instrumen nasional maupun
perubahan yang signifikan bagi nasib dari anak-anak yang berkonflik dengan
hukum, dan apa yang diharapkan pada kenyataan sering tidak dapat terlaksana
dengan baik karena putusan hakim lebih bersifat punitive sehingga merugikan si
diversi dan konsep restorative justice. Konsep restorative justice ini perlu menjadi
melibatkan semua pihak dalam rangka untuk perbaikan moral anak agar anak
tidak lagi mengulangi perbuatannya namun anak tidak merasa menjadi seperti
fungsi sosial serta perbaikan bagi anak itu lebih baik, namun diharapkan
1. Polres Watampone
1. Faktor substansi hukum
2. Kejaksaan Negeri Watampone
2. Faktor kualitas aparat penegak hukum
3. Pengadilan Negeri Watampone
3. Faktor sarana dan prasarana
4. Lembaga Pemasyarakatan Watampone
4. Faktor budaya hukum/kultur masyarakat
5.
pidana adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar
setiap anak yang terlibat perkara pidana dapat melaksanakan hak dan
undang yang mengatur masalah anak baik dia sebagai korban maupun
pelaku yang masih perlu mendapat perhatian yang lebih serius dalam rangka
pidana anak yang terwujud dalam criminal justice system (sistem peradilan
pidana) yang saling terkait satu sama lain dalam hal ini kepolisian, kejaksaan,
pidana.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
B. Lokasi Penelitian
Populasi penelitian ini adalah polisi yang menangani kasus anak, Jaksa
yang pernah menangani kasus anak, hakim yang pernah menangani kasus anak,
dan petugas lembaga pemasyarakatan.
Penentuan sampel dilakukan dengan cara non probabilitas. Pengambilan
sampel purposif ditetapkan sebanyak 3 orang yaitu Kanit PPA pada Polres
Watampone, 1 orang jaksa pada Kejaksaan Negeri Watampone, 1 orang hakim
pada Pengadilan Negeri Watampone, 2 orang petugas Lembaga
Pemasyarakatan Kabupaten Bone.
Jenis data yang digunakan meliputi data primer dan data sekunder. Data
primer adalah data empirik yang diperoleh secara langsung dari lapangan
penelitian yang bersumber dari responden atau informan sebagai sumber data.
Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan,
bahan-bahan dokumentasi dari instansi terkait, surat kabar atau bahan tertulis
lainnya yang berhubungan dengan materi penelitian ini termasuk peraturan
perundang-undangan yang terkait.
Data primer dan data sekunder baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif
yang diperlukan, dikumpulkan dengan teknik sebagai berikut :
1. Wawancara yaitu pengumpulan data yang dilakukan secara bebas dan/atau
terpampang dalam bentuk tanya jawab dari responden dan informan sebagai
pelengkap (kuesioner) dengan menggunakan pedoman wawancara yang
merupakan instruksi.
1 2010 96 orang
2 2011 74 orang
3 2012 87 orang
Jumlah 257 orang
Sumber Data : Polres Bone, 2013
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa jumlah anak pelaku tindak pidana
tahun dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2012 adalah sebagai berikut tahun
2010 sebanyak 96 kasus kemudian turun pada tahun 2011 menjadi 74 kasus
pada tahun 2012 menjadi 87 orang.
Selanjutnya data di bawah ini menggambarkan jumlah pelaku pidana anak
berdasarkan jenis pidana yang dilakukan :
Tabel 2. Jumlah Pelaku Pidana Anak Berdasarkan Jenis Pidana Tahun 2010 –
2012
1 Pembunuhan 1 1 1 3
2 Pencurian 78 54 54 186
3 Penganiayaan 4 4 7 15
4 Pemerasan 3 3 5 11
5 Narkoba 4 4 7 15
6 Senjata Tajam 4 4 4 12
7 Perkosaan 1 1 4 6
8 Pencabulan 1 3 5 9
Sumber Data : Polres Bone, 2013
kuantitas anak yang bermasalah dengan hukum yang harus menjalani proses
peradilan pidana. Di usianya yang masih sangat muda, mereka harus mengalami
proses hukum atas perkara pidana yang demikian panjang dan melelahkan,
mulai dari tahap penyidikan oleh polisi, penuntutan oleh jaksa, persidangan oleh
hakim dan pelaksanaan putusan hakim. Sejak tahap penyidikan, aparat hukum
Situasi dalam tahanan memberikan beban mental berlipat bagi si anak, ditambah
lagi tekanan psikologis yang harus dihadapi mereka yang duduk dalam
menanggulangi kejahatan tampaknya tidak menjadi persoalan, hal ini terlihat dari
praktek perundang-undangan selama ini yang menunjukkan bahwa penggunaan
hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan atau politik hukum yang dianut
di Indonesia. Penggunaan hukum pidana dianggap sebagai hal yang wajar dan
Maret 2013) bahwa : “Sanksi pidana adalah suatu alat atau sarana terbaik yang
paksa dalam hukum pidana ditujukan kepada dua hal, yaitu tentang norma
hukum apa yang dilanggar (hukum pidana materiel) dan bagaimana cara
pidana itu akan menjadi semacam "bumerang" bagi tujuan pemidanaan itu
sendiri.
Terkait dengan apa yang akan dikaji dalam tesis ini penulis juga
menekankan pada sarana penal yang telah diberlakukan di Kabupaten Bone saat
ini yaitu pada penerapan sanksi yang menjadi salah satu faktor yang
yang dapat digunakan sebagai landasan dalam penerapan sanksi pidana yakni :
Menurut teori ini dasar dari pemberian hukuman harus dicari dari
kejahatan itu sendiri. Dimana karena kejahatan itu telah memberi dan
maksud atau tujuan dari hukuman itu. Dimana dalam teori ini tujuan hukuman
kejahatan itu.
imbalan dan teori maksud dan tujuan. Dimana apabila digabungkan maka
oleh seorang anak yang melakukan perbuatan itu tidak hanya berupa pidana,
akan tetapi juga tindakan yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari
track system, namun dilihat dari latar belakang kemunculan dapat disimpulkan
bahwa ide dasar sistem tersebut adalah kesetaraan antara sanksi pidana dan
sanksi tindakan.
Hukum pidana merupakan bagian dari politik kriminal, yaitu usaha yang
dengan menggunakan pidana, masih ada cara lain untuk melindungi masyarakat
dari kejahatan.
istilah sistem peradilan pidana atau criminal justice system tidak terpisah dari
artinya bahwa kata sistem menunjukkan adanya suatu kesan dari objek yang
komplek lainnya dan berjalan dari awal sampai akhir, oleh karena itu dalam
mewujudkan tujuan sistem tersebut ada empat instansi yang terkait yaitu
bahwa keempat sub sistem ini bekerja sama berhubungan walaupun masing-
berdasarkan hasil penyidikan yang disampaikan oleh penyidik. Hakim atas dasar
Dalam hal penjatuhan sanksi pidana pada anak yang berhadapan dengan
penjatuhan sanksi pidana. Hal ini mengandung maksud bahwa dalam hal
dengan orang dewasa namun pengenaan sanksi pidananya tidak sama dengan
orang dewasa.
proses yang tidak disebutkan secara tegas tetapi mempunyai peran yang sangat
undangan maka dalam hal ini norma hukum ditetapkan oleh badan hukum yang
berwenang. Sistem peradilan pidana anak (juvenile justice system) adalah segala
unsur sistem peradilan pidana yang terkait di dalam penanganan anak yang
bermasalah dengan hukum. Menurut Kanit PPA Polres Bone AIPTU Alimuddin
Keempat institusi pilar sistem peradilan pidana anak telah diatur dalam
dilengkapi dengan hukum pidana material yang diatur dalam KUHP dan hukum
sebenarnya yang dimaksud dengan proses penanganan anak itu sendiri. Proses
peradilan adalah suatu proses yuridis, dimana harus ada kesempatan orang
orang dewasa, anak sebagai pelaku tindak pidana juga akan mengalami proses
hukum yang identik dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana, arti
kata identik di sini mengandung arti ”hampir sama”, yang berbeda hanya lama
Menghadapi dan menangani proses peradilan anak nakal, maka hal yang
pertama yang tidak boleh dilupakan adalah melihat kedudukannya sebagai anak
dengan semua sifat dan ciri-cirinya yang khusus, dengan demikian orientasi
anak dan kepentingan anak tersebut. Penanganan anak dalam proses hukumnya
yang khusus bagi anak dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap
dengan penegakan hukum itu sendiri, dimana dalam sistem peradilan pidana
anak (juvenile justice system). Menurut Barda Nawawi Arief (2006:10) bahwa :
Keempat institusi pilar sistem peradilan pidana anak telah diatur dalam
dilengkapi dengan hukum pidana material yang diatur dalam KUHP dan hukum
Pasal 5 ayat (1), maka advokat telah mempunyai legitimasi sebagai aparat
penegak hukum dan dapat dimasukkan sebagai salah satu komponen sistem
peradilan pidana.
Hasil penelitian ini tidak terlepas dari adanya peraturan yang memuat
hukum materiil dan formil terkait dengan perkara yang pelakunya anak yaitu tidak
dimana dalam aturan norma ini dalam kenyataan yang terjadi di Kabupaten Bone
belumlah dapat memenuhi tujuan dari Undang-undang itu sendiri dimana dalam
mengenai pengadilan anak saat ini tidak efektif sebagaimana yang digariskan
undang-undang itu tidak memberikan ruang dan jalan keluar untuk melakukan
diskresi dan diversi kepada hakim setelah melihat penilaian BAPAS. Padahal
diskresi dan diversi merupakan klep pengaman bagi anak-anak pelaku delinkuen
tertentu, untuk terhindar dari proses konvensional sistem peradilan pidana anak
tentang Pengadilan Anak, dimana sesuai dengan asas “lex spesialis derogat lex
namun sepanjang tidak diatur oleh undang-undang ini maka KUHAP tetap
diberlakukan.
suatu “proses”, dimana hal ini dimulai dari proses penangkapan, penggeledahan,
ada dalam proses dimana pelaksanaan dan hak dan kewajiban mereka itu
Selama proses peradilan tersebut, maka hak-hak anak wajib dilindungi oleh
hukum yang berlaku dan oleh sebab itu harus dilakukan secara konsekuen oleh
atau tindak pidana serta menentukan tersangka pelaku kejahatan atau tindak
dan diadili di pengadilan serta diberi sanksi pidana yang sesuai dengan
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk
mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
sedangkan ”bukti”, dalam ketentuan tersebut di atas adalah meliputi alat bukti
KUHAP.
suasana kekeluargaan sebagaimana diatur dalam Pasal 42 Ayat (1), (2) dan
memakai seragam atau dinas dan melakukan pendekatan secara efektif, aktif,
dan simpatik.
mengenai kewenangan yang diatur menurut Pasal 5 ayat (2) dan (3) Undang-
Bertolak dari bunyi pasal tersebut terlihat jelas adanya suatu keadaan
yang bersifat kabur, dimana dalam hal ini apakah yang menjadi dasar
legalitas atas tindakan lain yang berupa pengembalian anak yang bermasalah
dengan hukum kepada orang tua atau wali ataupun tindakan pengembalian
hukum.
adanya diskresi yang dimiliki oleh pihak penyidik, sehingga dalam hal ini
kemampuan subjektifnya.
Berpijak dari hal tersebut maka akan sangat terkait pula dengan TR
Prinsip diversi yang terdapat dalam konvensi hak-hak anak anak, yaitu
suatu pengalihan bentuk penyelesaian dari penyelesaian yang bersifat
proses pidana formal ke alternatif penyelesaian dalam bentuk lain yang
di nilai terbaik menurut kepentingan anak.
1. Penangkapan
upaya paksa dan tindakan paksa dari proses penyidikan. Kontak awal
antara anak dan polisi harus dihindarkan dalam suasana kekerasan fisik
dan psikis sehingga dalam proses penyidikan terdapat hak-hak anak yang
tenteram.
terhadap orang dewasa yaitu dilakukan hanya berlaku paling lama 20 (dua
puluh) hari dan apabila belum selesai, atas permintaan penyidik dapat
(sepuluh) hari. Dalam waktu 30 (tiga puluh hari), Polri sebagai penyidik
Maret 2013) :
peradilan pidana anak meliputi (hasil wawancara dengan Bintang AL. SH.,
2013) :
secara jelas dalam Undang-Undang Pengadilan Anak, oleh karena itu tata
a) Tempat meja dan kursi hakim terletak lebih tinggi dari tempat
penuntut umum, terdakwa, penasihat hukum dan pengunjung;
b) Tempat panitera terletak di belakang sisi kanan tempat hakim
ketua sidang;
c) Tempat penuntut umum terletak di sisi kanan depan hakim;
d) Tempat terdakwa dan penasihat hukum terletak di sisi kiri depan
dari tempat hakim dan tempat terdakwa di sebelah kanan
tempat penasihat hukum;
e) Tempat kursi pemeriksaan terdakwa dan saksi terletak di depan
tempat hakim;
f) Tempat saksi atau ahli yang telah didengar terletak di belakang
kursi pemeriksaan;
g) Tempat pengunjung terletak di belakang tempat saksi yang
telah didengar;
h) Bendera nasional ditempatkan di sebelah kanan meja hakim
dan panji pengayoman ditempatkan di sebelah kiri meja hakim
sedangkan lambang negara ditempatkan pada dinding bagian
atas di belakang meja hakim;
i) Tempat rohaniawan terletak di sebelah kiri tempat panitera;
j) Tempat sebagaimana dimaksud huruf a sampai huruf i di atas
diberi tanda pengenal;
k) Tempat petugas keamanan di bagian dalam pintu masuk utama
ruang sidang dan di tempat lain yang dianggap perlu.
Menurut Bintang AL. SH., MH. hakim anak pada Pengadilan Negeri
pidana yang sensitif terhadap anak, aturan ini merupakan aturan standar
dengan hukum dalam hal ini perlu untuk sangat diperhatikan terkait
Rules dalam Rule 12.1 menekankan adanya suatu pendidikan khusus dan
sehingga dalam hal ini unit polisi khusus yang terdidik dan terlatih
Pemasyarakatan, yaitu :
1) Tahap awal;
2) Tahap lanjutan;
3) Tahap akhir.
menentukan :
bersangkutan (hasil wawancara dengan Supeno Djoko Bc. IP., S.H., M.H.
Djoko Bc. IP., S.H., M.H. (Kepala Lapas tanggal 26 Maret 2013) bahwa :
wawancara dengan Supeno Djoko Bc. IP., S.H., M.H. Kepala Lapas
Kehakiman atau pejabat yang ditunjuk atas permintaan orang tua, wali
(hasil wawancara dengan Supeno Djoko Bc. IP., S.H., M.H. Kepala Lapas
kemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi dan taat terhadap hukum
1. Pembinaan mental;
2. Pembinaan sosial;
3. Pembinaan keterampilan.
2013) :
di Kabupaten Bone maka dalam hal ini kita dapat mengkajinya yaitu di dalam
pada hakekatnya telah diadopsi dalam aturan hukum positif kita, namun adopsi
tersebut belum sepenuhnya dilakukan di Kabupaten Bone sehingga dalam hal
dalam pelaksanaannya antara lain yaitu (hasil wawancara dengan Kanit PPA
normatif yang dilakukan oleh penulis dalam tesis ini terkait dengan adanya
kekaburan norma tersebut adalah menemukan solusi yang tepat guna untuk
Salah satu solusi yang dapat dilakukan terhadap kekaburan norma adalah
dengan melakukan suatu penafsiran (interpretasi) terhadap hukum
tersebut dalam hal ini :
1. Interpretasi bahasa.
2. Historis undang-undang.
3. Sistematis.
4. Kemasyarakatan.
Kekaburan norma dari legalitas dari penyidik untuk menentukan tindakan
anak kepada Departemen Sosial terhadap anak yang bermasalah dengan hukum
Anak dapat dipergunakan interpretasi bahasa yaitu dalam konteks tata bahasa
hukum yang memiliki suatu kewenangan atau diskresi dalam penanganan proses
menggunakan tindakan lain dalam proses penanganan anak. Bertolak dari hal
Beijing Rules sehingga dalam hal ini legalitas dalam melakukan tindakan lain
mulai tanggal 03 Januari 1998, maka tata cara persidangan maupun penjatuhan
anak”.
Secara harfiah, peradilan anak terdiri dari dua kata yaitu kata peradilan
dan anak. Menurut kamus Bahasa Indonesia, peradilan berarti segala sesuatu
peristiwa atau kejadian atau hal-hal yang terjadi mengenai perkara di pengadilan.
Secara sempit, peradilan adalah hal-hal yang menyangkut hukum acara yang
kejadian atau hal-hal yang terjadi dengan suatu perkara termasuk proses
dkk, 1993:14)
dilanggar, oleh karena itu biasa dikatakan bahwa hakim atau pengadilan adalah
berlaku meliputi hukum yang tertulis dan hukum yang tidak tertulis. Bertolak dari
pejabat-pejabat khusus peradilan anak, dengan kata lain, fungsi tersebut tidak
Bertolak dari hal tersebut maka tujuan peradilan anak, bukanlah semata-
perlindungan bagi masa depan anak adalah sasaran yang hendak dicapai oleh
peradilan anak.
putusan itu tidak dapat dilaksanakan atau bahkan menimbulkan perkara atau
masalah baru, dimana mengingat bahwa anak harus mendapat perlindungan dan
oleh karena itu perlu mendapat perhatian dan perlakuan khusus pula, maka
dalam peradilan anak ini janganlah hanya dititikberatkan kepada terbukti tidaknya
kemungkinan akibat putusan itu bagi si anak demi masa depan si anak.
fokus utama dalam sistem hukum yang menangani pelanggaran anak khususnya
dalam sistem hukum yang mengikuti model peradilan pidana harus lebih
hal ini merupakan alat untuk mengekang sanksi yang lebih menghukum dalam
arti hanya membalas semata-mata. Bertolak dari aturan tersebut apabila dasar
pemikiran dan tujuan peradilan anak difokuskan pada kesejahteraan anak maka
Anak, proses peradilan anak juga haruslah dapat menjamin pertumbuhan dan
perkembangan anak secara wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial
penanganan anak yang bermasalah dengan hukum. Hal ini berarti bahwa
dan perlakuan khusus dalam penanganan anak yang bermasalah dengan hukum
tersebut.
Dunia hukum dalam beberapa tahun ini telah mengalami reformasi cara
solusi yang lebih tepat dalam penanganan anak dengan memberikan perhatian
Hal ini dikarenakan peningkatan kesadaran bahwa anak bukanlah miniatur orang
dewasa. Masa anak-anak adalah periode yang rentan dalam kondisi kejiwaan
belum stabil atau belum terbentuk secara utuh, dengan kata lain keadaan
oleh anak tidak sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan oleh anak itu sendiri,
karena anak sebagai pelaku bukanlah sebagai pelaku murni akan tetapi juga
sebagai korban. Anak tidak seharusnya dihadapkan pada sistem peradilan jika
ada yang lebih baik demi kepentingan terbaik bagi anak untuk menangani
untuk menangani anak berhadapan dengan hukum tercermin dari konvensi yang
hukum atau melakukan tindakan kriminal sangat dipengaruhi beberapa faktor lain
di luar diri anak. Untuk melakukan perlindungan terhadap anak dari pengaruh
proses formal sistem peradilan pidana, maka timbul pemikiran manusia atau para
dijatuhkan tergantung dari pendirian dan penilaian hakim. Oleh karena itu dalam
melakukan suatu tindak pidana. Hal ini dapat digambarkan pada tabel sebagai
berikut :
bahwa dari 257 anak yang terlibat perkara pidana, terdapat 29 orang (11%)
berusia 15 tahun, 71 orang (28%) yang berusia 16 tahun, 80 orang (31%) yang
berusia 17 tahun dan 77 orang (30%) yang berusia 18 tahun. Dengan demikian
maka pada kurun waktu 2010 – 2012 tindak pidana yang dilakukan oleh anak di
Kabupaten Bone lebih banyak dilakukan oleh mereka yang berusia 17 tahun.
Menurut penulis, penyebab angka kejahatan yang tinggi pada anak-anak yang
berumur 17 tahun adalah karena pada usia tersebut seorang anak mulai
mengalami masa transisi dari remaja menuju dewasa, masa dimana seorang
anak membutuhkan bimbingan dari orang tua. Jika anak kurang mendapat
perhatian dan bimbingan, maka besar kemungkinan anak tersebut akan mencari
perhatian di tempat lain, yang bisa saja memberikan dampak negatif bagi anak
itu sendiri.
2 Sekolah Menengah
10 4
Pertama (SMP)
Tabel di atas menunjukkan bahwa dari 257 anak yang terlibat dalam
mulai mendapatkan hal yang baru yang diakibatkan oleh pergaulan dengan
dan tingkat pendidikan, faktor latar belakang ekonomi keluarga juga turut
2 Petani 40 16
3 Wiraswasta 35 14
4 Karyawan 35 14
5 Supir 69 27
6 Buruh 58 23
Jumlah 257 100
Sumber Data : Pengadilan Negeri Bone, 2013
Tabel di atas menunjukkan bahwa dari 257 orang anak yang terlibat
perkara pidana, 10 orang (4%) yang orang tuanya merupakan pegawai negeri
sipil, 40 orang (16%) orang tuanya berprofesi sebagai petani, 35 orang (14%)
pencaharian orang tuanya adalah sopir dan 58 orang (23%) yang orang
keluarga anak yang terlibat perkara pidana berada pada tingkat ekonomi yang
karena seberat apapun tindak pidana yang dilakukan oleh seorang anak,
Hal ini sesuai dengan pendapat Dra. A. Ratnawati, M.Si (Ketua KPAI
yang terdapat dalam Pasal 23 UU Pengadilan Anak. Hal ini dapat dilihat pada
2 Tindakan
Diserahkan 110 43
kepada orang
tua/wali
Diserahkan - -
kepada negara
untuk mengikuti
pendidikan,
pembinaan dan
latihan kerja
Jumlah 257 100
Sumber Data : Pengadilan Negeri Bone, 2013
Tabel di atas menunjukkan bahwa dari 257 orang anak yang terlibat
perkara pidana, 147 orang (57%) yang dikenakan sanksi penjara dan 110
orang (43%) anak pelaku tindak pidana yang dijatuhi sanksi tindakan. Bentuk
sanksi tindakan yang dijatuhkan oleh hakim Pengadilan Negeri Bone adalah
pada anak yang berhadapan dengan hukum tentu saja tidak memperhatikan
saling terkait yang membantu hakim untuk menganalisis secara obyektif dan
hubungan dengan pelaku tindak pidana anak di samping sangat relevan, juga
pidana anak, sehingga putusannya akan menjadi lebih adil dan tepat.
berguna untuk mengkaji aspek psikologis anak pada saat anak melakukan
tindak pidana dan bagaimana sikap serta perilaku anak yang melakukan
Selain itu, menurut Bintang, AL., SH., MH. Bintang, AL (hakim pada
2013) bahwa :
Penjatuhan sanksi pidana penjara pada anak nakal, itu karena kasus
atau perbuatannya yang dianggap perlu adanya sanksi pidana karena
meresahkan masyarakat, orang tua/wali atau orang tua asuhnya tidak
sanggup lagi untuk mendidik anak tersebut, kemudian dalam memutus
perkara, hakim mengalami kesulitan mengeluarkan putusan yang tidak
bersifat penal ini dikarenakan adanya ketidaksamaan persepsi aparat
penegak hukum dalam menerapkan sanksi.
generasi penerus bangsa. Pada dasarnya peradilan pidana anak juga untuk
melakukan koreksi dan rehabilitasi sehingga cepat atau lambat anak dapat
harapan dan potensi masa depannya. Selain itu hakim tidak serta merta harus
memenjarakan anak.
terhadap anak yang terlibat perkara pidana, maka kehadiran orang tua/wali
atau orang tua asuh pada saat persidangan sangatlah penting. Hal ini
tentang keadaan si anak dari orang tuanya agar dapat dijadikan sebagai
tersebut merupakan anak jalanan atau terlantar, maka hakim dalam penilaian
terhadap anak sifatnya subjektif yang berarti hakim dalam melihat kasus-
menjatuhkan putusan.
hukum adalah tindak pidana yang dilakukan oleh anak cukup meresahkan
masyarakat.
penerapan hukum acara pengadilan anak yang dilakukan oleh penegak hukum
yaitu :
1. Substansi Hukum
hukum.
Permasalahan proses pengadilan terhadap anak terutama bersumber
sendiri. Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 yang telah mencabut pasal 45,
46 dan 47 KUHP yang mengatur straf modus dan straf sort tentang sistem
berjalan lebih dari satu dasawarsa dalam prakteknya tidak dapat memenuhi
formal yang menutup upaya diskresi maupun diversi dalam mencari solusi
inilah yang merupakan roh agar tujuan akhir Undang-Undang Nomor .3 tahun
tidak menjatuhkan pidana penjara atau kurungan. Untuk itu perlu adanya
pengaturan tentang upaya diversi secara jelas baik pada tingkat kepolisian,
hanya jangka waktu penahanan terhadap anak lebih singkat dari orang
disangkakan pada anak yang belum tentu bersalah akan memungkinkan anak
kebenaran.
bagian anak berhadapan dengan hukum maka akan tercipta cara pandang
dari anak bahwa dia adalah anak berhadapan dengan hukum dan tidak
mungkin lagi orang lain mau mengerti bahwa dia sebenarnya adalah anak
dalam suatu peradilan anak, kondisi ini akan berpengaruh pada hakim (anak)
pidana. Hal ini tidak menutup kemungkinan adanya suatu pencitraan yang
ini tentulah memberikan suatu dampak yang tidak baik dalam kehidupan anak
hukum akan memberikan suatu stigmatisasi buruk terhadap anak. Hal ini
menyebut anak nakal dapat membawa akibat gangguan psikologi anak baik
selama proses persidangan maupun setelah menjalani putusan. Hal lain dari
hal yang semakin membuat putusan hakim menjadi lebih dilematik dalam hal
menjatuhkan pidana sesuai tujuan terbaik, dimana tidak ada pilihan hakim
anak nakal terasa lebih berat karena pasal-pasal ini merupakan pedoman
pemidanaan dalam KUHP yang terkait dengan ketentuan Pasal 10 s/d Pasal
Perbedaan terpidana anak dan orang dewasa yaitu hak-hak anak yang
seorang anak berbeda dengan tingkat kecakapan orang dewasa, mental anak
penegak hukum dalam upaya penerapan hukum acara dimana anak sebagai
pelaku tindak pidana. Masyarakat sering mengeluh atas kinerja para penegak
hukum yang tidak baik dalam menangani perkara yang sedang diproses.
profesional, efektif, efisien dan modern yang dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Profesional
b. Efektif
dipilih secara tepat dalam waktu yang singkat dan energi (daya dan dana
c. Efisien
diinginkan.
d. Modern
Berpikir maju, strategis dan atau mencapai hasil dengan bantuan
anak di Polres Bone dapat dijelaskan bahwa dengan melihat kemampuan dan
tindak pidana anak bila dikaitkan dengan pendidikan yang beraneka ragam
mereka peroleh serta dengan sarana, prasarana dan dana yang minimal,
sampai saat ini belum pernah ada pendidikan kejuruan di bidang anak
Pengadilan Anak.
penyidik anak dalam melakukan penyidikan anak secara baik dan benar
masyarakat.
anak belum berusia 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana maka
penyidik anak berpendapat bahwa anak tersebut masih dapat dibina oleh
orang tuanya maka penyidik anak akan menyerahkan anak tersebut kepada
orang tuanya. Begitu juga misalnya jika hasil dari pemeriksaan bahwa anak
tersebut tidak dapat dibina lagi maka penyidik anak akan menyerahkan
kemasyarakatan.
dalam penyidikan tindak pidana anak. Pemberian motivasi kerja kepada para
memacu dan memberikan semangat semata tetapi dari sisi lain juga harus
yang setiap hari dapat berubah dan terpengaruh oleh situasi dan kondisi yang
penyidik anak. Bilamana situasi ekonomi di rumah dalam keadaan tenang dan
masih dapat diatasi maka tindakan penyidik anak biasanya masih dapat
melawan hukum.
pidana anak dan memegang peranan yang sangat strategis karena memiliki
tugas dan kewenangan sejak awal proses peradilan sampai pada penjatuhan
sanksi pidana dalam peradilan anak. Lingkup pekerjaan yang diemban oleh
institusi kejaksaan adalah mulai dari proses awal peradilan pidana anak
hingga proses akhir peradilan yaitu penjatuhan sanksi atas tindak pidana
yang dilakukan oleh anak. Oleh karena tugas dan kewenangan jaksa yang
Anak dan UU Perlindungan Anak dapat dilakukan oleh jaksa, walaupun jaksa
dan kewenangan instansi lain yaitu hakim di pengadilan. Mengingat tugas dan
kewenangan jaksa yang meliputi setiap proses dalam peradilan anak, maka
dapat dilakukan oleh jaksa, walaupun jaksa memiliki tugas untuk melindungi
hak-hak individu yang menderita kerugian atas tindak pidana yang dilakukan
oleh anak tetapi jaksa juga dalam kapasitas sebagai aparat penegak hukum
yang diberi tugas dan wewenang oleh negara untuk menegakkan hukum
dilakukan oleh orang dewasa dan mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan
Pengadilan Anak.
menangani perkara pidana anak, peranan jaksa dalam hal perlindungan anak
yang diajukan oleh jaksa penuntut umum dalam menuntut anak di Pengadilan
Negeri Bone cenderung menuntut anak dengan pidana penjara. Sikap dan
sidang anak yang tidak berbeda dengan pemeriksaan perkara orang dewasa
di tengah yang menjadi pusat perhatian. Pemeriksaan anak yang ada mau
dengan para saksi. Anak dikonfrontir langsung dengan para saksi, padahal
saksi kebanyakan yang lebih dominan terdiri dari orang dewasa. Hal ini
yang harus dilakukan dan tidak dapat dikesampingkan meskipun hal tersebut
sebagai upaya melakukan tindakan terbaik untuk anak nakal. Hal ini
melakukan suatu kesalahan namun akan tidak dapat dimaafkan jika hakim
2013) bahwa :
kendala. Hal ini dikarenakan jika hakim anak tidak memahami kondisi anak
anak maka hakim akan terjebak penerapan yang sama sistem peradilan
Lebih lanjut dikatakan oleh Bintang AL. SH., MH. (hakim anak pada
mungkin terjadi hambatan dalam pelaksanaan tugasnya. Dalam hal ini ada
dua hal yang perlu mendapatkan perhatian yakni keperluan atau kebutuhan
berjalan dengan baik. Demikian pula dengan jumlah dan kondisi serta fasilitas
yang ada.
Kondisi sarana dan fasilitas yang diberikan oleh dinas pada saat ini
sangat terbatas atau kurang memadai kalaupun ada kondisinya sudah tidak
layak. Hal inilah yang turut membuat proses hukum terhadap anak akan
semakin lama dan dikhawatirkan akan dapat membuat mental anak sendiri
menjadi turun.
Hal ini diakui oleh Kanit PPA Polres Bone AIPTU Alimuddin
anggaran. Hal ini tidak menutup kemungkinan terhadap proses acara pidana
anak karena tanpa adanya dana maka akan sulit ditentukan apakah proses
tersebut akan selesai dengan cepat dan tuntas. Selain itu, tanpa adanya dana
dan anggaran akan membuka peluang bagi para penegak hukum melakukan
seharusnya ditegakkan.
sebuah slogan tertulis belaka tetapi merupakan suatu kebulatan tekad bangsa
akan tetapi juga kesadaran hukum para aparat/penguasa. Hal ini ditandai
khusus dalam proses penyidikan anak. Kanit PPA Polres Bone AIPTU
masyarakat dan pada aparat penegak hukum itu sendiri diharapkan tindak
orang tua, wali atau orang tua asuh peduli terhadap perkembangan mental,
fisik dan sosial si anak sehingga anak tidak melakukan perbuatan tercela.
manusia sadar dan taat hukum. Secara hukum tingkat pendidikan dan
dalam suatu masyarakat yang sedang membangun. Bila kita melihat kepada
tindak pidana yang dilakukan oleh anak secara brutal, sadis dalam tawuran
maupun perbuatan yang dilarang untuk anak yang telah dilakukan anak yang
acara pidana terhadap anak yang berhadapan dengan hukum harus juga
lanjut anak yang berhadapan dengan hukum akan dipandang sebagai bagian
sebagai jembatan/mediator dalam suatu hukum acara pidana anak. Hal ini
persepsi yang sama dalam memandang anak sebagai suatu pelaku sekaligus
persepsi yang sama bahwa anak yang berhadapan dengan hukum tidak
selamanya anak nakal namun dapat pula anak tersebut merupakan korban
dari lingkungan yang perlu untuk dilindungi demi kepentingan bangsa dan
negara.
Bone, maka dalam orientasi tersebut yaitu apabila suatu tatanan hukum
khususnya mengenai pengadilan anak apabila dikaji dalam konsep fakta yang
ada serta dianggap kurang atau tidak memiliki tujuan baik secara universal
sehingga tidak akan menimbulkan kerugian fisik ataupun mental bagi pelaku
peradilan pidana anak tidak boleh diperlakukan sama seperti orang dewasa.
anak dan hukum anak, pada dasarnya sama dengan masalah penegakan
Menurut Bintang AL. SH., MH. (hakim anak pada Pengadilan Negeri
setiap penyidikan baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif.
pembantu. Hal ini dilakukan dalam rangka melakukan suatu amanat yang
manusia dan lain sebagainya. Namun tindakan ini juga harus tetap
perkara dan kewenangan penyidik untuk menahan tersangka anak yang telah
diatur dalam Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
paling lama 20 hari. Jangka waktu penahanan tersebut sama dengan yang
kepada penuntut umum untuk paling lama 10 hari. Jumlah hari perpanjangan
itu lebih sedikit dibanding Pasal 24 ayat (2) KUHAP yang menetapkan selama
40 hari.
pengawasan setiap proses penyidikan tindak pidana berada pada Kepala Unit
penyelesaian penyidikan untuk kasus berat paling lama 14 (empat belas) hari
Penuntut Umum.
taktik dan teknis penyidikan maupun dukungan sarana dan prasarana seperti
dan saksi tahap penyidikan bahwa pemeriksaan tersangka atau saksi hanya
penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) poin g dan Pasal 8 ayat
terhadap anak di Kabupaten Bone di masa yang akan datang, maka perlu
memandang anak tidak hanya sebagai pelaku akan tetapi juga sebagai
korban.
antara pelaku, korban dan masyarakat. Sehingga hal ini akan menekankan
merupakan suatu hal yang penting sehingga hakim dan jaksa memiliki
pelaku tindak pidana. Dalam rangka penjatuhan sanksi pidana, hakim dan
5. Kultur budaya hukum masyarakat Bugis Bone yang kental dengan budaya
dalam penerapan hukum acara pidana anak. Hal ini diupayakan agar terbina
PENUTUP
A. Kesimpulan
sebagai berikut :
tindak pidana di Kabupaten Bone belum dapat terlaksana dengan baik. Hal ini
Kabupaten Bone belum memahami apa yang menjadi tujuan dan dasar
kesejahteraan anak. Sasaran utama dalam tujuan ini merupakan fokus utama
Bertolak dari aturan tersebut apabila dasar pemikiran dan tujuan peradilan
secara wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial sehingga dari
B. Saran
perlindungan hukum terhadap anak, oleh karena itu dalam rangka menunjang
mengembangkan karir.
2. Diharapkan kepada semua pihak dalam sistem peradilan pidana anak untuk
Achmad Ali. 1998. Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum. Yasrif Watampone,
Jakarta.
Agung Wahyono & Ny. Siti Rahayu. 1993. Tinjauan tentang Peradilan Anak di
Indonesia. Jakarta, Sinar Grafika.
A. Syamsudin Meliala dan E.Sumaryono. 1985. Kejahatan Anak Suatu Tinjauan dari
Psikologis dan Hukum. Yogyakarta, Liberty.
Barda Nawawi Arief. 2006. Kapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem Peradilan
Pidana Terpadu. Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Irma Setyowati Soemitro. 1990. Aspek Hukum Perlindungan Anak. Jakarta, Bumi
Aksara.
Kartini Kartono. 1992. Pathologi Sosial, Kenakalan Remaja. Jakarta, Rajawali Pers.
Maidin Gultom. 2008. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak Di Indonesia. Bandung, PT Refika Aditama.
Moh. Joni dan Zulchaini Z. Tanamas. 1999. Aspek Hukum Perlindungan Anak.
Bandung, PT Citra Aditya Bakti.
O.C. Kaligis. 2006. Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan
Terpidana. Bandung, PT. Alumni.
Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk. 2003. Analisa Situasi
Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia,
UNICEF, Indonesia.
Shanty Dellyana. 1988. Wanita dan Anak di Mata Hukum. Yogyakarta, Liberty.
Soedirdjo. 1985. Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana. Jakarta, Akademika
Presindo.
Subur Tjahjono. 2011. Identifikasi Hukum Progresif Di Indonesia. Serial Online Juli
30, 2011, availaible from : URL:
http://www.scribd.com/doc/21741046/Identifikasi-Hukum-Progresif Di Indonesia
Sudarto. 1981. Pengertian dan Ruang Lingkup Peradilan Anak. Bandung, Bina
Cipta.
Syahmin, AK. 1999. Aspek Hukum Perlindungan Anak. Jakarta, Sinar Grafika.
Sumber lain :
www.kpai.go.id
www.antara.co.id/arc/2011/17