Anda di halaman 1dari 8

Perkembangan Regulasi Sustainability Accounting Di Indonesia

Penerapan sustainability accounting memiliki banyak manfaat bagi organisasi. Konsep mengenai
sustainability accounting tidak hanya berfokus pada nilai-nilai finansial perusahaan, namun juga
berfokus pada strategi keberlanjutan dari perusahaan (sustainability strategy). Saat ini
manajemen perusahaan telah banyak menerapkan konsep sustainability pada aktivitas bisnis
perusahaan dan berkomitmen untuk melakukan pengungkapan mengenai dampak sosial dan
ekonomi dari aktivitas bisnis perusahaan. Dengan menerapkan konsep sustainability accounting,
maka manajemen perusahaan telah menghubungkan antara strategi bisnis perusahaan dengan
kerangka kerja keberlanjutan (sustainability framework) dan proses ini akan membuat
perusahaan tidak hanya berfokus pada dampak finansial saja, tetapi juga mempertimbangkan
dampak sosial dan dampak lingkungan dari setiap keputusan bisnis yang dilakukan oleh
manajemen perusahaan.

Menuju akuntabilitas peran akuntansi berkelanjutan dalam menyertai implementasi sistem


pelaporan terintegrasi di tahun 2020, menjadi penting dalam menilai pengembangan organisasi
untuk dapat memenuhi implementasi sistem akuntansi keberlanjutan. Sesuai perspektif teori, hal
ini dapat dijelaskan secara mendasar dengan adanya tanggungjawab organisasi pada stakeholders
dan lingkungan dengan aspek keagenan (Jensen dan Meckling 1976). Organisasi bekerja dalam
kondisi mengelola sumber daya ekonomi yang terbatas, namun memerlukan kondisi untuk dapat
melakukan praktek bisnis yang akuntabel. Sesuai teori kelembagaan, organisasi tidak saja fokus
pada aspek ekonomi, tetapi juga pada sisi lingkungan natural dan sosial (Carpenter dan Feroz
2001; Comyns 2017).

1. Mandatory VS voluntary kegiatan CSR di Indonesia


Peraturan yang terkait dengan CSR adalah Semua peraturan yang terkait dengan Perusahaan.
Seperti: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1997 Tentang Lingkungan
Hidup, Undang-Undang Republik Indonesia  Nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen,Undang-Undang Republik Indonesia  Nomor 13 tahun 2003 Tentang  Ketenaga
Kerjaan, Undang-Undang Republik Indonesia  nomor 5 tahun 1999 Tentang praktek
Larangan Monopoli Dan Persaingan Usaha tidak sehat dan lain-lain. Perundangan-undangan
tersebut bersifat mandatory dan harus dilaksanakan.
Sedangkan Peraturan lain, dan yang menjadi kajian dalam penulisan kali ini adalah CSR
yang dahulunya bersifat voluntary kini menjadi bersifat mandatory. peraturan itu adalah :
a. Undang – Undang Republik Indonesia No.19 tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik
Negara  [1]
b. Keputusan Menteri BUMN Nomor Kep -236 /MBU/2003[2]
c. SuratEdaran Menter BUMN No. SE.-433/MBU/2003[3]
d. Undang-Undang RepublikIndonesiaNomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
e. Undang-Undang  Nomor  Republik Indonesia  40 tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal 
mengatur hal yang berbeda dengan Keputusan Menteri BUMN Nomor Kep -236
/MBU/2003 Tentang Program kemitraan Badan Usaha Milik Negara Dengan Usaha Kecil
Dan Program Bina Lingkungan. Jika Keputusan Menteri BUMN Nomor Kep -236
/MBU/2003 hanya mengatur PKBL (sebagai bentuk community development atau kegiatan
karikatif) bagi BUMN saja. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007
Tentang Penanaman Modal mengatur CSR atau tanggung jawab sosial[4]  bagi Penanaman
modal dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing. Penanam modal dalam negeri berbentuk
badan hukum, tidak berbadan hukum atau usaha perseorangan sedangkan Penanaman modal
asing adalah bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di
dalam wilayah negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
Badan-Badan Usaha tersebut wajib melakukan CSR karena pasal 34 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal menyatakan:
“(1) Badan usaha atau usaha perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang tidak
memenuhi kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 dapat dikenai sanksi
administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha;
c. pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau
d. pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal
(2)  Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh instansi atau
lembaga yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Selain dikenai sanksi administratif, badan usaha atau usaha perseorangan dapat dikenai
sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Uraian pasal 34 tersebut, sangat jelas bahwa Badan Usaha yang diatur sesuai dengan
ketentuan pasal pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 Tentang
Penanaman Modal wajib melakukan CSR, jika badan usaha tersebut melanggar maka
dikenai sanksi administratif selain itu dapat juga dikenai sanksi lainnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangan-undangan.
Dari pemberian sanksi tersebut dapat dimaknai bahwa bagi Badan Usaha yang tidak
melaksanakan CSR (yang dahulu berbentuk voluntary) yaitu: melakukan tindakan etis,
walaupun hal itu belum diatur oleh regulasi dan  perilaku etis berupa pemberian dampak
positif pada masyarakat dengan cara melakukan Community Development ataupun kegiatan
karikatif (charity) akan dikenai sanksi administrasi. Dan bagi badan usaha yang tidak
melaksanakan CSR dalam pengertian kepatuhan pada hukum (mandatory) maka akan
dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Perseroan di bidang dan/atau berkaitan Sumber daya alam yang tidak melakukan CSR (yang
dahulu berbentuk voluntary) yaitu:  tindakan etis, walaupun hal itu belum diatur oleh
regulasi dan perilaku etis berupa pemberian dampak positif pada masyarakat dengan cara
melakukan Community Development ataupun kegiatan karikatif) akan dikenai sanksi.
Selama belum ada sanksi khusus yang mengatur maka perseroan yang tidak
melakukan CSR akan dikenai sanksi administratif sesuai pasal 34 ayat 1 dan 2 Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal karena
hanya ketentuan tersebut yang mengatur sanksi bagi badan usaha termasuk Perseroan
dibidang dan/atau berkaitan sumber daya alam jika tidak melaksanakan CSR (yang
dahulu voluntary atau sukarela). Lalu apabila Perseroan dibidang dan/atau berkaitan sumber
daya alam tidak melakukan CSR (mandatory) maka akan dikenai peraturan perundang-
undangan terkait.
Kini, Tanggung jawab Sosial Perusahaan/ Tanggung jawab sosial dan Lingkungan
(Corporate Social Responsibility) yang dulu terdiri dari sifat mandatory dan voluntary,
setelah di berlakukannya   Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007
Tentang Penanaman Modal dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas berubah menjadi hanya bersifat mandatory. Hal ini bukan sekedar tranpartasi,
maupun adopsi konsep CSR, tetapi merupakan bentuk Inovasi dari Pengaturan Corporate
Social Responsibility. 
2. Sejarah Peratuan pendukung pelaporan Sustainability Accounting di Indonesia
Praktik akuntansi dan pelaporan keuangan telah berkembang dengan pesat, tidak hanya di
Indonesia tetapi juga di negara-negara lain. Di Indonesia sendiri pada masa sebelum
kemerdekaan, pengelolan keuangan negara mengacu pada ketentuan Indische
Comptabiliteitswet (ICW) yang disusun oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Ketentuan
dalam ICW, termasuk ketentuan terkait pertanggungjawaban atas pengelolaan keuangan
pemerintah, terus digunakan hingga beberapa decade setelah deklarasi kemerdekaan negara
Indonesia. Perkembangan akuntansi dan pelaporan keuangan pemerintah di Indonesia
semakin pesat sejak pelaksanaan reformasi keuangan negara. Berikut ini sedikit rangkuman
mengenai timeline  Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Indonesia.
Tahun 1945
Pada tahun 1945, proses pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan Negara mengacu
sepenuhnya pada Indische Comptabiliteitswet (ICW) yang merupakan produk Pemerintah
Kolonial Belanda. Masa Ini berlangsung mulai dari tahun 1945 sampai dengan tahun 1967.
Tahun 1967
Pada tahun ini, untuk pertama kalinya, pemerintah menyusun laporan pertanggung jawaban
pengelolaan keuangan negara yang disahkan melalui undang-undang. Undang-undang yang
dimaksud adalah undang-undang tentang Perhitungan Anggaran Tahun 1967. Dengan
adanya undang-undang ini, pertanggungjawaban pemerintah atas pengelolaan keuangan
negara telah memenuhi ketentuan dalam regulasi keuangan negara saat itu, seperti telah
melalui pemeriksaan auditor ataupun telah dibahas bersama dewan legislatif untuk kemudian
disahkan sebagai undang-undang.
Tahun 1991
Pada tahun ini diterbitkan Keputusan menteri Keuangan nomor KMK-476/KMK.01/1991
tentang Sistem Akuntansi Pemerintah yang merupakan sistem akuntansi pertama yang
digunakan dalam proses penyusunan laporan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan
negara. Implementasi dari peraturan ini merupakan sebuah transisi sebelum pemberlakuan
sistem akuntansi pemerintah secara penuh.
Tahun 1998
Krisis ekonomi melanda Indonesia dan reformasi ekonomi digaungkan. Reformasi yang
terjadi menumbuhkan semangat perubahan di segala bidang, termasuk dalam bidang
Keuangan Negara.
Tahun 2003-2004
Pada tahun ini Reformasi Keuangan Negara dilaksanakan dengan penetapan Paket Undang-
Undang Bidang Keuangan Negara yang merombak seluruh tatanan pengelolaan keuangan
negara dari perencanaan hingga pertanggungjawaban. Reformasi ditandai dengan
diterbitkannya KMK Nomor 337/KMK.012/2003 tentang Sistem Akuntansi dan Laporan
Keuangan Pemerintah Pusat. KMK tersebut merupakan sistem akuntansi dan pelaporan
keuangan terakhir yang ditetapkan pada masa transisi sebelum berlakunya Standar
Akuntansi Pemerintahan (SAP) yang baku.
Tahun 2005
Pada tahun ini diterbitkan Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2005 tentang Standar
Akuntansi Pemerintah (SAP) sebagai tonggak reformasi akuntansi dan pelaporan keuangan
Pemerintah Indonesia. SAP tersebut menggunakan Basis Cash Toward Accrual (CTA).
Dengan adanya SAP yang compatible  dengan standar akuntansi internasional telah
memasukkan Indonesia ke dalam kelompok negara-negara dengan pola pertanggungjawaban
keuangan negara yang baik.
Tahun 2009
Pemerintah diwajibkan untuk menyajikan Informasi Pendapatan dan Belanja Akrual sebagai
persiapan menuju penerapan basis akrual secara penuh. Pada tahun 2009, Menteri Keuangan
mengajukan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang SAP berbasis Akrual yang
disusun oleh KSAP kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Tahun 2010
Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar
Akuntansi Pemerintah (Berbasis Akrual). Ruang lingkup dari PP Nomor 71 tahun 2010
meliputi SAP berbasis akrual dan SAP berbasis kas menuju akrual. SAP berbasis akrual
terdapat pada Lampiran I, berlaku sejak tanggal ditetapkan dan dapat segera diterapkan oleh
setiap entitas. Sementara itu, SAP berbasis kas menuju akrual terdapat pada Lampiran II dan
berlaku bagi entitas yang belum siap untuk menerapkan SAP berbasis akrual dengan batas
waktu sampai dengan Tahun Anggaran 2014.
Tahun 2017-2018
Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas LKPP 2016 merupakan Opini WTP yang
pertama kali diraih sejak penyusunan LKPP tahun 2004. Capaian ini diraih pada tahun kedua
penerapan akrual yang menunjukkan tingginya komitmen Pemerintah dalam mewujudkan
akuntabilitas akuntansi dan pelaporan keuangan. Capaian Opini WTP kembali diraih pada
Tahun 2018 untuk LKPP Tahun 2017.

3. Fasilitator dari CSR Award dan CSR Forum

 Fasilitator adalah seseorang yang membantu sekelompok orang memahami tujuan


bersama mereka dan membantu mereka membuat rencana guna mencapai tujuan tersebut
tanpa mengambil posisi tertentu dalam diskusi.
 CSR Award adalah penghargaan bidang CSR tingkat nasional yang diselenggarakan oleh
majalah Top Business bekerjasama dengan KNKG (Komite Nasional Kebijakan
Governance) serta sejumlah asosiasi CSR, Bisnis dan GCG, perusahaan konsultan CSR
dan bisnis terkemuka nasional lainnya.
 CFCD adalah Forum CSR tingkat Nasional yang diinisiasi dan dibentuk oleh perusahaan-
perusahaan sebagai jejaring dalam mengimplementasikan tanggung jawab sosial
perusahaan CSR, saat ini CFCD beranggotakan ratusan perusahaan dan lembaga mitra
lainnya.

CSR merujuk pada kewajiban perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar atau bisa
dikatakan lebih spesifik kepada para pelaku kepentingan perusahaan, yaitu mereka yang terkena
dampak atas kebijakan dan praktik perusahaan. Setiap perusahaan tidak terlepas dari pengaruh
lingkungan eksternal dalam pengelolaan perusahaan.

Forum Komunikasi dibentuk bertujuan sebagai wadah komunikasi antara seluruh stakeholder
dalam pelaksanaan CSR. Forum Komunikasi memiliki tugas sebagai berikut:
 Menyatukan komitmen antara pemerintah dan dunia usaha untuk mensinergikan
pelaksanaan CSR sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kualitas
lingkungan.
 Merumuskan hal-hal yang bersifat strategis dalam upaya sinergitas pelaksanaan
CSR;
 Melakukan pertemuan secara periodik minimal setiap 6 (enam) bulan sekali
 Memberikan penghargaan (CSR Award) kepada dunia usaha yang memiliki
komitmen dan berhasil dalam melaksanakan CSR.

Tim fasilitasi dibagi menjadi 2 (dua), yaitu tim fasilitasi tingkat provinsi dan tim fasilitasi tingkat
kabupaten/kota. Tim Fasilitasi diketuai oleh Wakil Gubernur dan Kepala Bappeda selaku
sekretaris. Tugas tim fasilitasi tingkat provinsi adalah sebagai berikut:

a. Menghimpun dan memverifikasi kebutuhan program pembangunan dan pelayanan publik


untuk dibiayai melalui program CSR baik yang berasal dari tim fasilitasi tingkat
kabupaten/kota maupun SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) di lingkungan
pemerintah provinsi
b. Mengakomodasi inisiatif perusahaan tentang usulan program CSR
c. Melakukan updating terhadap kebutuhan program pembangunan dan pelayanan publik
serta inisiatif dunia usaha sebagaimana poin a dan b di atas
d. Mengidentifikasi potensi CSR yang dilakukan oleh perusahaan
e. Melakukan publikasi, promosi, serta sosialisasi dalam rangka sinergitas pelaksanaan CSR
f. Melakukan monitoring dan evaluasi serta menyusun laporan hasil pelaksanaan CSR
g. Melakukan penilaian serta mengusulkan calon penerima CSR awar

Tugas dari tim fasilitasi tingkat kabupaten/kota tidak jauh berbeda dengan tim fasilitasi tingkat
provinsi, yaitu:

a. Menghimpun dan memverifikasi kebutuhan program pembangunan dan pelayanan publik


untuk dibiayai melalui program CSR baik yang berasal dari masyarakat langsung, SKPD
(Satuan Kerja Perangkat Daerah) di lingkungan pemerintah kabupaten/kota serta inisiatif
perusahaan dan menyampaikannya kepada tim fasilitasi tingkat provinsi
b. Melakukan updating terhadap kebutuhan tersebut
c. Melakukan fasilitasi, pendampingan dan pembinaan terhadap implementasi pelaksanaan
CSR yang dilakukan oleh perusahaan
d. Melakukan monitoring dan evaluasi serta menyusun laporan hasil pelaksanaan CSR.

Anda mungkin juga menyukai