OLEH:
PENDAHULUAN
Saat populasi dunia berkembang, memperluas kegiatan usaha, dan dunia yang
tampaknya menyusut, jutaan orang di seluruh dunia lebih sadar akan sangat pentingnya
melestarikan lingkungan kita untuk diri kita dan keturunan kita. Masalah-masalah
seperti kualitas udara dan air, karsinogen tersembunyi, pemanasan global, dan konsumsi
berlebihan sumber energi tak terbarukan merupakan berita utama setiap hari. Para
pemimpin bisnis telah berbicara tentang keinginan pembangunan berkelanjutan, yang
berarti kegiatan usaha yang menghasilkan barang dan jasa yang diperlukan di masa kini
tanpa membatasi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Banyak perusahaan yang berjuang untuk ecoefficiency lebih besar, yang berarti
meningkatkan produksi barang dan jasa, sementara pada saat yang sama mengurangi
efek merusak pada lingkungan produksi yang sayangnya, tidak semua perusahaan sama
sama berusaha keras untuk mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan.
Untuk memaksa perusahaan memperhatikan isu-isu lingkungan, di Amerika
Serikat memiliki undang-undang lingkungan, seperti US Clean Air Act dan AS US.
Superfund Act, serta badan pengawas federal, inisiatif lingkungan juga, seperti Protokol
Kyoto, yang berusaha untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang dipercaya banyak
ilmuwan berkontribusi pada pemanasan global. Sedangkan di Indonesia, pemerintah
mengeluarkan Undang-undang Lingkungan Hidup yang mewajibkan industri-industri
untuk melakukan pengelolaan lingkungan sehubungan dengan aktivitas usahanya.
Suatu industri perlu mengukur dampak lingkungan dari aktivitas produksi baik
dampak lingkungan secara fisik dan juga dampak lingkungan secara finansial bagi
perusahaan. Pendekatan Environmental Management Accounting (EMA) tepat untuk
dipakai dalam masalah ini, karena melalui EMA didapatkan informasi mengenai aliran
material atau energi, dan dampak ke lingkungan berdasarkan biaya lingkungan yang
dikeluarkan.
Biaya lingkungan ini mengambil banyak bentuk, seperti menginstal scrubber pada
cerobong asap untuk mematuhi peraturan EPA, meningkatkan proses produksi untuk
mengurangi atau menghilangkan polutan tertentu, atau membersihkan sungai yang
terkontaminasi. Pada bagian berikutnya, kita secara sistematis akan mengeksplorasi
biaya ini dengan tujuan memiliki pemahaman yang lebih baik tentang
bagaimana mengelolanya.
biaya lingkungan sering didefinisikan secara sempit sebagai biaya yang terjadi
dalam upaya pemenuhan dengan atau kaitan dengan hukum atau peraturan
lingkungan. Hal ini
karena sistem akuntansi cenderung bertokus pada biaya bisnis yang
teridentifikasi secara jelas, bukan pada biaya dan manfaat pilihan altematif.
Akuntansi Lingkungan (Environment Accounting) adalah biaya-biaya
lingkungan
yang dimasukkannya ke dalam praktik akuntansi perusahaan atau lembaga
pemerintah. Sedangkan, menurut Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat
atau United States Environment Protection Agency (US EPA), akuntansi
lingkungan merupakan
fungsi yang menggambarkan biaya-biaya lingkungan yang harus dipematikan
oleh pemangku kepentingan perusahaan di dalam pengidentifikasian cara-cara
yang dapat mengurangi atau menghindari biaya-biaya pada waktu yang
bersamaan dengan usaha memperbaiki kualitas lingkungan. Oleh karena itu,
akuntansi lingkungan mempunyai pengertian yang sama dengan akuntansi biaya
lingkungan yaitu sebagai penggabungan informasi manfaat dan biaya lingkungan
kedalam praktik akuntansi perusahaan atau pemerintah dengan
mengidentifikasikan cara-cara yang dapat mengurangi atau
menghindari biaya perbaikan
Akuntansi Lingkungan secara spesifik mendefinisikan dan menggabungkan
semua biaya lingkungan ke dalam laporan keuangan perusahaan. Bila biaya-biaya
tersebut secara jelas teridentifikasi, perusahaan akan cenderung mengambil
keuntungan
dari peluang-peluang untuk mengurangi dampak lingkungan Manfaat-manfaat dari
mengadopsi akuntansi lingkungan dapat meliputi:
a) Perkiraan yang lebih baik dari biaya sebenamya pada perusahaan untuk
memproduksi produk atau jasa. Ini bermuara memperbaiki harga dan profitabilitas
b) Mengidentifikasi biaya-biaya sebenarnya dari produk, proses, sistem, atau fasilitas
2) Konsep Ekoefisensi
Konsep ini mengandung tiga hal penting. Pertama, perbaikan kinerja ekologi dan
ekonomi dapat dan sudah seharusnya saling melengkapi. Kedua, perbaikan kinerja
lingkungan seharusnya tidak lagi dipandang hanya sebagai amal dan derma, tetapi juga
sebagai persaingan (competitiveness). Ketiga, ekoefisiensi adalah suatu pelengkap dan
pendukung pengembangan yang berkesinambungan (sustainable development).
Pengembangan yang berkesinambungan didefmisikan sebagai pengembangan yang
memenuhi kebutuhan saat in tanpa mengurangi kemampuan generasi masa depan untuk
memenuhi kebutuhan mereka sendiri.
Ekoefisiensi mengimplikasikan peningkatan efisiensi yang berasal dari perbaikan
kinerja lingklIDgan. Ada sejumlah sumber dari insentif dan penyebab peningkatan
efisiensi.
a) Pelanggan menginginkan produk yang lebih bersih, yaitu produk yang diproduksi
tanpa merusak lingkungan serta penggunaan dan pembuangannya ramah
lingkungan.
b) Para pegawai lebih suka bekerja di perusahaan yang bertanggungjawab terhadap
lingkungan dan akan menghasilkan produktivitas yang lebih besar.
c) Perusahaan yang bertanggungjawab terhadap lingkungan cenderung memperoleh
keuntungan ekstemal, seperti biaya modal yang lebih rendah dan tingkat asuransi
yang lebih rendah.
d) Kinerja lingkungan yang lebih baik dapat menghasilkan keuntungan sosial yang
signifikan, seperti keuntungan bagi kesehatan manusia.
e) Fokus pada perbaikan kinerja lingkungan membangkitkan keinginan para manajer
untuk melakukan inovasi dan mencari peluang barn.
f) Pengurangan biaya lingkungan dapat mempertahankan atau menciptakan
keunggulan bersaing.
Pengurangan biaya dan insentif kompetitif merupakan hal yang penting. Biaya
lingkungan dapat merupakan persentase yang signifikan dari biaya operasional total.
Pengetahuan mengenai biaya lingkungan dan penyebab-penyebabnya dapat mengarah
pada desain ulang proses yang dapat mengurangi bahan baku yang digunakan. Jadi,
biaya lingkungan saat ini dan di masa depan dikurangi sehingga perusahaan menjadi
lebih kompetitif.
aktivitas lain di perusahaan telah memenuhi standar lingkungan yang berlaku atau
tidak. Contoh: Audit aktivitas lingkungan, pemeriksaan produk dan proses,
pengembangan ukuran kinerja lingkungan, pelaksanaan pengujian pencemaran,
verifikasi kinerja lingkungan dari pemasok, serta pengukuran tingkat pencemaran.
c) Biaya Kegagalan Internal Lingkungan (environmental internal failure costs ),
adalah biaya-biaya untuk aktivitas yang dilakukan karena diproduksinya limbah
dan sampah, tetapi tidak dibuang ke lingkungan luar. Contoh: Pengoperasian
peralatan untuk mengurangi atau menghilangkan polusi, pengolahan dan
pembuangan limbah beracun, pemeliharaan peralatan polusi, lisensi fasilitas untuk
memproduksi limbah,
serta daur ulang sisa bahan.
d) Biaya Kegagalan Ekstemal Lingkungan (environmental external failure), adalah
biaya-biaya untuk aktivitas yang dilakukan serta melepas limbah atau sampah ke
dalam lingkungan. Biaya ini terbagi menjadi dua yaitu Biaya kegagalan ekstemal
yang direalisasi (realized external failure costs) adalah biaya yang dialami dan
dibayar oleh perusahaan. Biaya kegagalan eksternal yang tidak direalisasikan
(unrealized external failure costs) atau biaya sosial disebabkan oleh perusahaan,
tetapi dialami dan dibayar oleh pihak-pihak di luar perusahaan. Contoh biaya
kegagalan eksernal yang direalisasi adalah: pembersihan danau yang tercemar,
pembersihan minyak yang tumpah, pembersihan tanah yang tercemar, penggunaan
bahan baku dan energi secara tidak efisien, penyelesaian klaim kecelakaan pribadi
dari praktik kerja yang tidak ramah lingkungan, dll. Contoh biaya sosial adalah:
mencakup perawatan medis karena udara yang terpolusi (kesejahteraan individu),
hilangnya kegunaan danau sebagai tempat rekreasi karena pencemaran (degradasi),
hilangnya lapangan pekerjaan karena pencemaran (kesejahteraan individual), dan
lingkungan. Oleh karena itu akan berimplikasi pada kepuasan pelanggan dan
investor, hubungan baik antara Pemerintah Daerah dan masyarakat sekitar, serta
memenuhi ketentuan regulasi . Usaha/kegiatan berpeluang untuk memenuhi
keuntungan usaha, mengurangi resiko dari berbagai pelanggaran hukum dan
meningkatkan hubungan baik secara menyeluruh dengan stakeholders laiinya.
e) EMA memberikan keunggulan usaha/kegiatan. EMA meningkatkan keseluruhan
berbagai metoda dan perangkat yang membantu usaha/kegiatan dalam
meningkatkan laba usaha dan pengambilan keputusan. Sangat mudah dalam
penerapannya baik pada usaha menengah keatas maupun usaha kecil. EMA
membantu salah satu pengambilan keputusan penting seperti investasi baru dalam
fungsi pengelolaan usaha seperti akuntasi biaya. Hal ini sangat memungkinkan
diaplikasikan pada semuajenis sector industri dan kegiatan.
Para pengambil keputusan di perusahaan dapat menggunakan informasi dan data
yang diperoleh dari EMA sehingga dapat mengambil keputusan dengan lebih baik,
dengan mempertimbangkan perhitungan fisik (dari material dan energi) dan juga kinerja
finansial. Jika perusahaan berupaya untuk meminimalkan biaya berbarengan dengan
meningkatkan kinerja lingkungan (misalnya mengurangi limbah), EMA dapat
memberikan informasi penting yang berkaitan dengan kedua hal tersebut.
Data dan informasi yang diperoleh dengan melakukan EMA di perusahaan dapat
memberikan keuntungan untuk kegiatan-kegiatan pro-lingkungan sebagai berikut:
a) Pencegahan Pencemaran
b) Design for Environment
c) Penilaian / Pembiayaan / Desain Daur Hidup Lingkungan
d) Manajemen Supply Chain
e) Pembelian dengan pertimbangan lingkungan
f) Sistem Manajemen Lingkungan (ISO 14001)
g) Evaluasi Kinerja Lingkungan & Benchmarking
h) Reporting (CSR Reporting maupun Environmental Performance Reporting)
penting:
a) Dampak biaya lingkungan terhadap pro:fitabilitas perus ahaan, dan
b) Jumlah relatif yang dihabiskan untuk setiap kategori.
Dengan mengelola lingkungan perusahaan secara efektif dan efisien, perusahaan
dapat membantu pembangunan secara berkesinambungan sehingga pelanggan dapat
mengkonsumsi produk yang ramah lingkungan. Di samping itu karyawan dapat bekerja
dalam situasi kondusif, biaya modal perusahaan rendah, biaya asuransi kesehatan
rendah, dan masyarakat dapat hidup sehat.
Biaya lingkungan dapat dikelompokkan ke dalam biaya gagal ekstemal dalam
dimensi biaya mutu yang besarnya dapat dihitung dari total biaya produksi. Makin
tinggi biaya lingkungan, makin tinggi beban biaya perusahaan dan menurunkan \aha,
atau mungkin dapat mengakibatkan kerugian. Perhitungan biaya \ingkungan disajikan
dalam tabel 1.4, 1.5, dan 1.6.
Tabel 1.4
Laporan Biaya
Lingkungan
Biaya Produksi Rp. 20.000, diproduksi 1.000 unit
Jenis Biava RP %
Biaya Pencegahan :
- Pelatihan 60
- Desain produk 180
- Pemilihan peralatan 40 1,4
280
Biaya Pemeriksaan :
- Pemeriksaan proses 240
- Pemeriksaan bahan 1zi 1,6
Biaya gaga\ internal :
- Biaya produk rusak atau cacat 400
- Biaya pemeliharaan peralatan 200 3
600
Biaya gaga\ ekstemal :
- Biaya lingkungan alam (polusi udara, air) 200
- Biaya lingkungan ekonomi (kerugian valas) 200
- Biaya lingkungan social (huru-hara, 200
pemogokan) 200
- Biaya Iingkungan politik (pungutan Iiar) 200
- Biaya lingkungan budaya (narkoba) 200
- Biaya kebersihan 200
- Biaya penataan lahan 400 9
- Biava klaim kerusakan 1.800
Total 3.000 15
Tabel 1.6
Perhitungan Laba-Rugi Berbasis Biaya Lingkungan
(Harga per unit Rp 25, biaya pemasaran dan administrasi I 0% dari penjualan)
l) Profit (Keuntungan)
Profit atau keuntungan menjadi tujuan utama dan terpenting dalam setiap
kegiatan usaha. Tidak heran bila fokus utama dari seluruh kegiatan dalam perusahaan
adalah mengejar profit dan mendongkrak harga saham setinggi-tingginya. karena inilah
bentuk tanggung jawab ekonomi yang paling esensial terhadap pemegang saham.
Aktivitas yang dapat ditempuh untuk mendongkrak profit antara lain dengan
meningkatkan produktivitas dan melakukan efiisensi biaya.Peningkatan produktivitas
bisa diperoleh dengan memperbaiki manajemen kerja mulai penyederhanaan proses,
mengurangi aktivitas yang tidak efisien, menghemat waktu proses dan pelayanan.
Sedangkan efisiensi biaya dapat tercapai jika perusahaan menggunakan material
sehemat mungkin dan memangkas biaya serendah mungkin (Yusufwibisono, 2007).
3) Planet (Lingkungan)
Planet atau Lingkungan adalah sesuatu yang terkait dengan seluruh bidang dalam
kehidupan manusia. Karena semua kegiatan yang dilakukan oleh manusia sebagai
makhluk hidup selalu berkaitan dengan lingkungan misalnya air yang diminum, udara
yang dihirup dan seluruh peralatan yang digunakan, semuanya berasal dari lingkungan.
Namun sebagaian besar dari manusia masih kurang peduli terhadap lingkungan sekitar.
Hal ini disebabkan karena tidak ada keuntungan langsung yang bisa diambil
didalamnya.
Karena keuntungan merupakan inti dari dunia bisnis dan itu merupakan hal yang
wajar. Maka, manusia sebagai pelaku industri hanya mementingkan bagaimana
menghasilkan uang sebanyak-banyaknya tanpa melakukan upaya apapun untuk
melestarikan lingkungan. Padahal dengan melestarikan lingkungan, manusia justru akan
memperoleh keuntungan yang lebih, terutama dari sisi kesehatan, kenyamanan, di
samping ketersediaan sumber daya yang lebih terjamin kelangsungannya (Yusuf
wibisono, 2007).
itu sendiri. Bila dihubungkan dengan konsep agensi, jadi prinsipal dan agen menjadi
satu pihak yang tidak terpisahkan. Sehingga manajemen cenderung untuk berbuat
semaunya sendiri. Oleh karena itu, luas pengungkapan triple bottom line pasti rendah.
Informasi pengungkapan yang disampaikan juga berbeda bila penerima informasi
bukan orang yang menyampaikan informasi tersebut.
7) Kepemilikan Institusional dan Pengungkapan Triple Bottom Line.
Persentase saham institusional menyebabkan tingkat monitor lebih efektif. Oleh
karena itu, semakin tinggi kepemilikan institusi, maka untuk program tanggungjawab
sosial dan lingkungan semakin luas. Monitor yang ketat yang dilakukan oleh prinsipal
dalam hal ini dilakukan untuk meminimalkan biaya agensi yang terjadi. Sehingga
pengungkapan triple bottom line menjadi lebih luas. Investor konstitusional memiliki
kekuatan dan pengalaman serta bertanggungjawab dalam menerapkan konsep good
corporate governance untuk mengkomodasi hak dan kepentingan seluruh pemegang
saham sehingga mereka menuntut perusahaan melakukan komunikasi secara transparan
oleh manajemen. Oleh karena itu, kepemilikan institusional dapat meningkatkan
kualitas dan kuantitas pengungkapan triple bottom line. Hal ini berarti kepemilikan
institusional dapat mendorong perusahaan untuk meningkatkan pengungkapan triple
bottom line.
8) Ukuran dewan komisaris dan Pengungkapan Triple Bottom Line.
Sandra (2011) menyatakan bahwa dari konsep teori legitimasi, adanya direktur
independen dalam komposisi dewan perusahaan dapat memperkuat pandangan publik
terhadap legitimasi perusahaan. Masyarakat menganggap dan menilai tinggi suatu
perusahaan jika memiliki independen direktur yang seimbang atau banyak dalam dewan
perusahaan, karena kondisi seperti ini menandakan lebih efektifnya pengawasan dalam
aktivitas managemen perusahaan.
Sementara itu dalam teori agensi menyatakan bahwa dewan komisaris bertugas
melakukan mekanisme untuk mengatasi masalah keagenan yang muncul dari tindakan
tindakan yang dilakukan oleh manajemen selaku agen. Karena mungkin fungsi
pengawasan dan pemonitoran dewan komisaris sangat efektif dilakukan.
9) Ukuran komite audit dan Pengungkapan Triple Bottom Line.
Dalam pelaksanaan good corporate governance banyak aspek yang dapat
dilakukan oleh manajemen sebagai pelaku utama dalam melakukan mekanisme
perusahaan. Salah satu aspek dari pelaksanaan good corporate governance adalah
pembentukan komite audit. Dasar pembentukan komite audit juga berdasarkan atas
keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-29/PM/2004 dalam peraturan Nomor IX.I.5
disebutkan bahwa komite audit yang dimiliki oleh perusahaan minimal terdiri dari tiga
orang di mana sekurang-kurangnya satu orang berasal dari anggota komisaris
independen dan dua orang lainnya berasal dari luar emiten atau perusahaan publik.
Setelah adanya komite audit dalam struktur organisasi perusahaan, pengawasan
manajemen menjadi lebih baik dan terperinci. Komite audit sebagai wakil dari dewan
komisaris yang langsung mengawasi operasi perusahaan, sehingga shareholder dalam
hal ini diwakili oleh dewan komisaris menjadi lebih mudah dalam mengontrol
manajemen. Sehingga biaya agensi yang ditimbulkan oleh adanya moral hazard lebih
dapat diminimalkan. Hal ini juga sejalan dengan penelitian Sembiring (2005) yang
menyatakan bahwa ukuran komite audit berpengaruh terhadap pengungkapan triple
bottom line.
Dunia usaha merupakan bagian dari komunitas masyarakat dan memiliki
tanggung jawab sosial yang sama dengan masyarakat. Istilah triple bottom line pertama
kali diperkenalkan oleh John Elkington (1998) dalam bukunya yang berjudul
Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business. Elkington
menganjurkan agar dunia usaha perlu mengukur sukses (atau kinerja) tak hanya dengan
kinerja keuangan (berapa besar deviden atau bottom line yang dihasilkan), namun juga
dengan pengaruh terhadap perekonomian secara luas, lingkungan dan masyarakat di
mana mereka beroperasi. Disebut triple sebab konsep ini memasukkan tiga ukuran
kinerja sekaligus: Economic, Environmental, Social (EES) atau istilah umumnya 3P:
"Profit Planet-People".
Pada tahapan selanjutnya, wujud nyata Triple Bottom Line ini diistilahkan menjadi
Co,porate Social Re5ponsibility (CSR: tanggung jawab sosial perusahaan). CSR
berhubungan erat dengan pemhan unan herkelaujutan (sustainable development),
di mana ada argumentasi bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan aktivitasnya harus
mendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan faktor keuangan, misalnya
keuntungan atau deyjden melainkan juga harus berdasarkan konsekuensi sosial dan
lingkungan untuk saat ini maupun untuk jangka panjang. Secara tegas dapat dikatakan
bahwa pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kma, dunia
usaha masyarakat dan sebagainya) yang berprinsip memenuhi kebutuhan sekarang
tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan.
CSR menjadi hal penting penting dalam menjamin kelangsungan hidup dunia
usaha saat ini. Adapun manfaat dan motivasi yang didapat perusahaan dengan
melakukan tanggung jawab sosial perusahaan menurut Ambadar (2008) meliputi: (1)
perusahaan terhindar dari reputasi negatif perusak lingkungan yang hanya mengejar
keuntungan jangka pendek tanpa memperdulikan akibat dari perilaku buruk perusahaan,
(2) kerangka kerja etis yang kokoh dapat membantu para manajer dan karyawan
menghadapi masalah seperti permintaan lapangan kerja di lingkungan dimana
perusahaan bekerja, (3) perusahaan mendapat rasa hormat dari kelompok inti
masyarakat yang membutuhkan keberadaan perusahaan
khususnya dalam hal penyediaan lapangan pekerjaan, (4)
perilaku etis perusahaan aman dari gangguan lingkungan
sekitar sehingga dapat beroperasi secara lancar.
Berdasarkan pendapat di atas, pelaksanaan CSR menjadi
suatu keharusan bagi perusahaan dalam mendukung aktivitas
dunia usahanya, bukan hanya sekedar pelaksanaan tanggung
jawab tetapi menjadi suatu kewajiban bagi dunia usaha.
Dalam megimplemetasikan CSR, oreantasi perusahaan bukan
hanya pada pencapaian laba maksimal tetapi juga menjadi
suatu organisasi pembelajaran, dimana setiap individu yang
terlibat di dalamnya memiliki kesadaran sosial dan rasa
memiliki tidak hanya pada lingkungan organisasi melainkan
juga pada lingkungan sosial dimana perusahaan berada.
Meskipun kegiatan tampak sederhana dan cakupan masalah
sempit tetapi memiliki dampak positif yang sangat besar bagi
masyarakat sekitar perusahaan. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa untuk meraih sustainability, perusahaan
perlu peduli terhadap lingkungan alam sekitar (natural
environment), hak-hak pegawai, perlindungan konsumen,
corporate governance, dan pengaruh perilaku bisnis terhadap
isu-isu sosial pada umumnya seperti kekurangan pangan,
kemiskinan, pendidikan, perawatan kesehatan, HAM, yang
semuanya dihubungkan dengan profit.
Berangkat dari perspektif CSR di atas ada pertanyaan
tantangan yang harus dijawab yaitu "bagaimana perusahaan
meraih profit semakin banyak dengan mengerjakan hal-hal
yang benar termasuk memberi perhatian besar terhadap
lingkungan (environmental) dan sosial kemasyarakatan
dengan lebih baik lagi?"
DAFTAR REFERENSI