Anda di halaman 1dari 35

Definisi

Gastroentritis adalah suatu keadaan dimana terdapat inflamasi pada bagian mukosa dan
saluran gastrointestinal yang di tandai dengan diare dan muntah.

Etiologi

Gastroenteritis akut bisa disebabkan oleh berbagai faktor, menurut dari World
Gastroenterology Organisation, ada beberapa agen yang bisa menyebabkan terjadinya
gastroenteritis akut yaitu agen infeksi dan non-infeksi. Lebih dari 90 % diare akut disebabkan
karena infeksi, sedangkan sekitar 10 % karena sebab lain yaitu :

Faktor infeksi
Virus
Di negara berkembang dan industrial penyebab tersering dari gastroenteritis akut adalah virus,
beberapa virus penyebabnya antara lain :
1. Rotavirus
Merupakan salah satu terbanyak penyebab dari kasus rawat inap di rumah sakit dan
mengakibatkan 500.000 kematian di dunia tiap tahunnya, biasanya diare akibat rotavirus
derat keparahannya diatas rerata diare pada umumnya dan menyebabkan dehidrasi. Pada
anak-anak sering tidak terdapat gejala dan umur 3 – 5 tahun adalah umur tersering dari
infeksi virus ini.
2. Human Caliciviruses (HuCVs)
Termasuk famili Calciviridae, dua bentuk umumnya yaitu Norwalk-like viruses (NLVs)
dan Sapporo-like viruses (SLVs) yang sekarang disebut Norovirus dan sapovirus. Norovirus
merupakan penyebab utama terbanyak diare pada pasien dewasa dan menyebabkan 21 juta
kasus per tahun. Norovirius merupakan penyebab tersering gastroenteritis pada orang dewasa
dan sering menimbulkan wabah dan menginfeksi semua umur. Sapoviruses umumnya
menginfeksi anak – anak dan merupakan infeksi virus tersering kedua selain Rotavirus.
3. Adenovirus
Umumnya menyerang anak-anak dan menyebabkan penyakit pada sistem respiratori.
adenovirus merupakan family dari Adenoviridae dan merupakan virus DNA tanpa kapsul,
diameter 70 nm, dan bentuk icosahedral simetris. Ada 4 genus yaitu Mastadenovirus,
Aviadenovirus, Atadenovirus, dan Siadenovirus.
Bakteri
Infeksi bakteri juga menjadi penyebab dari kasus gastroenteritis akut bakteri yang sering
menjadi penyebabnya adalah Diarrheagenic Escherichia coli, Shigella species, Vibrio cholera,
Salmonella. Beberapa bakteri yang dapat menyebabkan gastroenteritis akut adalah:

1. Diarrheagenic Escherichia Coli


Penyebarannya berbeda – beda di setiap negara dan paling sering terdapat di negara yang
masih berkembang. Umumnya bakteri jenis ini tidak menimbulkan bahaya jenis dari
bakterinya adalah :
 Enterotoxigenic E. coli (ETEC)
 Enteropathogenic E. coli (EPEC)
 Enteroinvasive E. coli (EIEC)
 Enterohemorrhagic E. coli (EHEC)
2. Campylobacter
Bakteri jenis ini umumnya banyak pada orang yang sering berhubungan dengan
perternakan selain itu bisa menginfeksi akibat masakan yang tidak matang dan dapat
menimbulkan gejala diare yang sangat cair dan menimbulkan disentri.
3. Shigella sp.
Gejala dari infeksi bakteri Shigella dapat berupa hipoglikemia dan tingkat kematiannya
sangatlah tinggi. Beberapa tipenya adalah:
 S. sonnei
 S. flexneri
 S. dysenteriae
4. Vibrio cholera
Memiliki lebih dari 2000 serotipe dan semuanya bisa menjadi pathogen pada manusia.
Hanya serogrup cholera O1 dan O139 yang dapat menyebabkan wabah besar dan epidemic.
Gejalanya yang paling sering adalah muntah tidak dengan panas dan feses yang
konsistensinya sangat berair. Bila pasien tidak terhidrasi dengan baik bisa menyebabkan syok
hipovolemik dalam 12-18 jam dari timbulnya gejala awal.
5. Salmonella
Salmonella menyebabkan diare melalui beberapa mekanisme. Beberapa toksin telah
diidentifikasi dan prostaglandin yang menstimulasi sekresi aktif cairan dan elektrolit
mungkin dihasilkan. Pada onset akut gejalanya dapat berupa mual, muntah dan diare berair
dan terkadang disentri pada beberapa kasus.
Parasitic agents
Cryptosporidium parvum, Giardia L, Entamoeba histolytica, dan Cyclospora
cayetanensis infeksi beberapa jenis protozoa tersebut sangatlah jarang terjadi namun sering
dihubungkan dengan traveler dan gejalanya sering tak tampak. Dalam beberapa kasus juga
dinyatakan infeksi dari cacing seperti Stongiloide stecoralis, Angiostrongylus C., Schisotoma
Mansoni, S. Japonicum juga bisa menyebabkan gastroenteritis akut.
Non Infeksi
1. Malabsorpsi/Maldigesti
 Karbohidrat : Monosakrida (glukosa), disakarida (sakarosa)
 Lemak : Rantai panjang trigliserida
 Asam amino
 Protein
 Vitamin dan mineral
2. Imunodefisiensi
Kondisi seseorang dengan imunodefisiensi yaitu hipogamaglobulinemia,
panhipogamaglobulinemia (Bruton), penyakit granulomatose kronik, defisiensi IgA dan
imunodefisiensi IgA heavycombination.
3. Terapi Obat
Orang yang mengonsumsi obat- obatan antibiotic, antasida dan masih kemoterapi juga
bisa menyebabkan gastroenteritis akut.
4. Lain-lain
Tindakan gastrektomi, terapi radiasi dosis tinggi, sindrom Zollinger-Ellison, neuropati
diabetes sampai kondisi psikis juga dapat menimbulkan gastroenteritis akut.
Faktor Predisposisi
1. Jenis Kelamin
Jenis kelamin termasuk dalam predisposing factor yang memungkinkan seseorang untuk
mengubah perilaku. Perbedaan jenis kelamin mungkin saja bisa membawa pengaruh terhadap
individu dalam melakukan aktivitas, sehingga perlu dinilai dan diukur (Notoadmojo, 2007).
Data dari Kementrian Kesehatan RI Tahun 2011 menunjukkan bahwa prevalensi diare pada
laki-laki adalah 8,9% dan pada perempuan sebesar 9,1%. Berdasarkan hasil kuesioner
didapatkan responden perempuan yaitu sebanyak 185 warga (88%) dan sebanyak 50 warga
perempuan (24%) terkena diare dalam 3 bulan terakhir
Perhitungan statistik pada penelitian ini menggunakan SPSS. Hasil penelitian pada 211
responden warga RW VI tentang hubungan jenis kelamin dengan terjadinya diare diperoleh
nilai expected count memenuhi syarat untuk uji chi-square, sehingga didapatkan hasil p-value
= 0,689 dengan α=0,05 (p > α). Hal ini dapat dikatakan bahwa jenis kelamin tidak
berhubungan dengan penyakit diare dalam 3 bulan terakhir. Hal ini sesuai dengan penelitian
yang telah dilakukan oleh Mia Kartika pada tahun 2016 yang membuktikan bahwa hasil uji
statistik menunjukkan p-value sebesar 0,381, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Ho
diterima, artinya jenis kelamin tidak memiliki hubungan dengan kejadian diare.1
2. Usia
Pada studi epidemologi menyatakan bahwa usia merupakan salah satu karakteristik
manusia. Pengertian usia yang dimaksud adalah jumlah usia responden mulai dari lahir
hingga dilaksanakannya penelitian ini. Pada penelitian ini usia responden dikategorikan
menjadi empat kelompok yaitu 12–17 tahun, 18–40 tahun, 41–65 tahun, dan > 66 tahun.
Tabel 2 menunjukkan bahwa mayoritas penduduk warga RW VI, Kelurahan Rangkah,
Kecamatan Tambaksari yang terkena diare adalah responden dengan kategori usia 18- 40
tahun sebanyak 20 responden (10%).
Perhitungan statistik pada penelitian ini menggunakan SPSS. Hasil penelitian pada 211
responden warga RW VI tentang hubungan usia dengan terjadinya diare diperoleh nilai
expected count memenuhi syarat untuk uji chi-square, sehingga didapatkan hasil p-value =
0,099. Hal ini menunjukkan bahwa usia tidak memiliki hubungan dengan diare dalam 3
bulan terakhir.
3. Pendidikan
Pendidikan secara bahasa berasal dari kata “pedagogi” yakni “paid” yang berarti anak
dan “agagos” yang berarti membimbing. Pendidikan memiliki pengertian sebagai ilmu dalam
membimbing anak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan responden
dibagi menjadi 3 kelompok yaitu pendidikan rendah, menengah dan tinggi. Kelompok
pendidikan rendah yaitu apabila responden berpendidikan terakhir Sekolah Dasar (SD) atau
tidak bersekolah sedangkan untuk kelompok pendidikan menengah yaitu apabila responden
berpendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan kelompok pendidikan tinggi apabila
responden berpendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) maupun Sarjana (D3/S1).
Teori yang telah ada menunjukkan bahwa semakin tinggi jenjang sekolah seseorang
maka sesorang tersebut akan memberi tanggapan yang lebih masuk akal terhadap setiap
informasi yang ada dan akan terpikir sampai sejauh mana kelebihan yang mungkin akan
didapatkan dari ide tersebut.
4. Pengetahuan
Menurut KBBI, pengetahuan dapat diartikan sebagai segala macam hal yang diketahui,
kepintaran. Tabel 2 menunjukkan mayoritas responden memiliki pengetahuan yang baik dan
terkena diare dalam 3 bulan terakhir. Sebanyak 27 responden didapatkan hasil p-value 0,081
(p > α), sehingga tidak ada hubungan antara pengetahuan dan kejadian diare dalam 3 bulan
terakhir. Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian sebelumnya yang telah dibuat oleh Afl ia,
2015 yang menunjukkan tingkat pengetahuan responden memiliki hubungan dengan penyakit
diare pada anak bawah lima tahun yang mendapatkan hasil signifi kansi 0,025 dengan α=0,05
(p < α).
5. Sikap
Notoatmodjo pada tahun 2012 menyatakan bahwa sikap merupakan respons yang masih
tersembunyi dari seorang manusia terhadap stimulus. Sikap dapat diukur secara langsung
maupun tidak langsung. Pengukuran sikap merupakan pendapat yang diungkapkan oleh
responden terhadap suatu objek.
Membersihkan Lingkungan Sekitar
Kondisi lingkungan yang buruk adalah salah satu faktor meningkatnya penyakit diare
karena mencakup pembuangan tinja, serta ketersediaan sarana dan prasarana air bersih. Hal
ini dapat menyebabkan masalah kesehatan lingkungan yang besar karena dapat menyebabkan
mewabahnya penyakit diare dan mempengaruhi kondisi kesehatan masyarakat (Fiesta, dkk.
2012).
Tabel 2 menunjukkan bahwa mayoritas responden RW VI, Kelurahan Rangkah,
Kecamatan Tambaksari yang terkena diare adalah warga dengan sikap membersihkan
lingkungan yang baik sebanyak 33 responden (16%). Perhitungan statistik pada penelitian ini
menggunakan SPSS. Hasil penelitian pada 211 responden warga RW VI tentang hubungan
antara membersihkan lingkungan responden dengan kejadian diare diperoleh nilai expected
count memenuhi syarat untuk uji chi-square, sehingga didapatkan hasil p = 0,001. Hal ini
dapat diartikan bahwa ada hubungan antara membersihkan lingkungan responden dengan
kejadian diare dalam 3 bulan terakhir. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang telah
dilakukan oleh Tambuwun, dkk pada Tahun 2015 yang menunjukkan bahwa diperoleh nilai
signifi kan p = 0,001. Hal ini menunjukkan bahwa sanitasi lingkungan memiliki hubungan
dengan penyakit diare pada anak sekolah.
Membuat dan Mengonsumsi Oralit Ketika Diare
Menurut KBBI oralit adalah obat berupa bubuk garam untuk dicairkan sebagai pengganti
mineral dan cairan yang keluar akibat penyakit muntah ataupun berak. Larutan oralit
mempunyai komposisi campuran garam, gula serta natrium bikarbonat. Kejadian kematian
anak dengan diare dikarenakan komplikasi dehidrasi yang ditimbulkan dan penanganan yang
kurang tepat. WHO dan UNICEF telah mengeluarkan formula baru dengan osmolaritas lebih
rendah yaitu 245 mOsm/L yang memberikan efek lebih aman terhadap semua jenis diare non
kolera dengan dehidrasi.
Kebanyakan responden adalah mayoritas warga dengan sikap mengonsumsi oralit yang
kurang baik yaitu sebanyak 55 responden (26%). Perhitungan statistik pada penelitian ini
menggunakan SPSS. Hasil penelitian pada 211 responden warga RW VI tentang hubungan
membersihkan lingkungan dengan terjadinya diare diperoleh nilai expected count memenuhi
syarat untuk uji chi-square sehingga didapatkan hasil p-value = 0,001. Hal ini menunjukkan
bahwa terdapat hubungan antar mengonsumsi oralit responden dengan kejadian diare dalam
3 bulan terakhir.
Hasil ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Puji dan Yuniar (2017)
yang berjudul “Pengaruh Oralit 200 terhadap Lama Perawatan Bayi Dengan Kejadian Diare
Akut Dehidrasi Ringan – Sedang”. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa ada pengaruh
Pemberian oralit 200 juga memberikan pengaruh terhadap konsistensi feces dan penurunan
frekuensi buang air besar pada bayi dengan diare akut dehidrasi ringan-sedang. Nilai p-value
yang diperoleh adalah 0,004. Nilai ini menunjukkan bahwa ada korelasi antar perlakuan
oralit 200 terhadap konsistensi feces.
6. Perilaku Mencuci Tangan Menggunakan Sabun
Kebiasaan membersihkan tangan menggunakan sabun sebaiknya dibiasakan sejak dini.
Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor lingkungan, yaitu keluarga. Keluarga juga dapat
menumbuhkan sikap perilaku cuci tangan. Data Riset Kesehatan Dasar RI menjelaskan
bahwa 100.000 anak meninggal dunia karena diare tiap tahunnya.
Perilaku Mencuci Tangan Menggunakan Sabun Sebelum Makan dengan Kejadian Diare
Salah satu cara untuk menurunkan penyakit diare adalah dengan cara mencuci tangan
menggunakan sabun. Mencuci tangan dengan sabun dapat menghilangkan kuman penyebab
diare. Kuman diare tersebut biasanya menyebar melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi serta kontak langsung dengan orang yang terinfeksi.
Hasil penelitian terhadap responden didapatkan bahwa kesadaran perilaku untuk
melakukan cuci tangan pakai sabun sebelum makan masih tergolong rendah. Hal ini
dibuktikan dengan sebanyak 77% responden tidak mencuci tangannya dengan sabun sebelum
makan. Perilaku masyarakat yang tidak melakukan cuci tangan pakai sabun dapat memicu
timbulnya diare. Cuci tangan pakai sabun dengan benar dapat menurunkan angka kejadian
diare hingga 45%, karena apabila cuci tangan pakai sabun dengan benar dapat membunuh
kuman di tangan sehingga ketika makan kuman tersebut tidak masuk ke dalam tubuh
bersama makanan yang dimakan.
Tabel 2 menunjukkan bahwa terdapat 38 warga (18%) yang terkena diare. Hal tersebut
karena masyarakat tidak memiliki kebiasaan mencuci tangan dengan sabun sebelum makan.
Penelitian ini berhubungan dengan penelitian yang menyatakan bahwa kuman penyebab
diare menyebar melalui makanan dan minuman yang tercemar.
Perhitungan statistik pada penelitian ini menggunakan SPSS. Hasil penelitian pada 211
responden warga RW VI tentang hubungan antara perilaku mencuci tangan menggunakan
sabun sebelum mengonsumsi makanan dengan terjadinya diare diperoleh nilai expected
count memenuhi syarat untuk uji chi-square. Nilai yang diperoleh p= 0,028. Hal ini
menunjukkan bahwa perilaku membersihkan tangan dengan sabun memiliki hubungan
dengan penyakit diare dalam 3 bulan terakhir.
Semakin baik perilaku CTPS maka akan semakin rendah tingkat kejadian diare begitu
pula sebaliknya. Hasil di atas sesuai dengan penelitian Arry, dkk pada tahun 2013 yang
memperoleh hasil p-value 0,008. Hasil ini menunjukkan bahwa membersihkan tangan
menggunakan sabun memiliki hubungan dengan penyakit diare anak sekolah di Kabupaten
Blora.
Hubungan Perilaku Cuci Tangan dengan Sabun Setelah Buang Air Besar dengan Kejadian
Diare
Penyakit diare dapat berupa infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri dan lain
sebagainya. Penyakit ini juga termasuk dalam water borne diseases. Water Borne Disease
adalah cara penyebaran penyakit dimana mikrooganisme patogen ditularkan atau pindah
secara langsung ketika air yang telah terkontaminasi tersebut dikonsumsi. Kuman tersebut
tidak akan masuk ke tubuh jika mencuci tangan pakai sabun dengan benar.
Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 211 responden didapatkan hasil yang cukup
baik, yaitu sebanyak 196 responden (92%) telah melakukan membersihkan tangan dengan
sabun setelah buang air besar, namun masih ada juga warga yang tidak mencuci tangan
dengan sabun sesudah buang air besar.
Perilaku membersihkan tangan menggunakan sabun sesudah buang air besar termasuk
dalam 5 waktu yang dianjurkan untuk melakukan cuci tangan selain setelah memegang
hewan peliharaan, sebelum menyiapkan makanan, setelah membersihkan anak bayi, dan
sebelum makan. Perilaku masyarakat yang membersihkan tangan dengan sabun setelah
buang air besar dapat menurunkan kasus kematian akibat diare. Mencuci tangan dengan
sabun adalah perlindungan penting karena mencegah kuman patogen dari lingkungan dan
makanan (WHO, 2014).
Tabel 2 menunjukkan bahwa terdapat 58 warga (28%) yang terkena penyakit diare
dikarenakan tidak memiliki perilaku CTPS setelah buang air besar karena tidak terbiasa
untuk mencuci tangan menggunakan sabun. Penelitian ini berhubungan dengan penelitian
yang menyatakan kuman penyebab diare dapat masuk ke dalam tubuh melalui makanan dan
minuman yang tercemar.
Hal tersebut bertolak belakang dengan hasil penelitian pada 211 responden warga RW
VI, tentang hubungan antara perilaku cuci tangan pakai sabun setelah buang air besar dengan
terjadinya diare, maka dilakukan tabulasi silang pada program SPSS, nilai expected count
tidak memenuhi syarat untuk uji chi-square sehingga menggunakan uji fi sher exact dan
didapatkan hasil p- value = 0,562 ini berarti bahwa perilaku cuci tangan pakai sabun setelah
buang air besar tidak memiliki hubungan dengan penyakit diare dalam 3 bulan terakhir.
Namun hal tersebut dapat dikarenakan bermacam macam faktor, misalnya tidak makan
walaupun setelah buang air besar sebagai faktor confounding dalam variabel tersebut.
Hal ini tidak sejalan dengan penelitian oleh Rafri (2016) tentang perilaku mencuci tangan
dan kejadian diare pada anak usia pra sekolah di PAUD Desa Kalikotes Klaten yang
mendapat hasil pengujian nilai sebesar 16,476 dengan nilai probabilitas < 0,05 yakni 0,001
maka Ho ditolak, yang artinya perilaku mencuci tangan memiliki hubungan dengan penyakit
diare.

Faktor Catatan
Malnutrisi  Sekitar 10% anak-anak di negara
berkembang sangat parah kurang
berat
 Defisiensi makronutrien atau
mikronutrien pada anak-anak
berhubungan dengan diare yang
lebih parah dan berkepanjangan,
dan hipokalemia dan dubur
prolaps cenderung berkembang
dalam hubungan dengan disentri
Status gizi yang buruk
menyebabkan risiko kematian
yang lebih tinggi
 Menekan fungsi kekebalan tubuh
dan dikaitkan dengan peningkatan
prevalensi diare persisten dan
Kekurangan seng
frekuensi diare yang lebih tinggi
 Seringkali menghasilkan
malabsorpsi dan penurunan berat
badan yang signifikan, lebih lanjut
Diare persisten
mempromosikan siklus
 Sekunder akibat infeksi HIV atau
kondisi kronis lainnya, mungkin
resolusi gejala yang
berkepanjangan, atau sering
Imunosupresi
kambuh episode diare

Klasifikasi
Diare dapat diklasifikasikan berdasarkan:
Lama waktu diare: akut atau kronik
1. Diare akut
Diare akut adalah diare yang terjadi sewaktu-waktu, berlangsung kurang dari 14 hari,
dengan pengeluaran tinja lunak atau cair yang dapat atau tanpa disertai lendir dan darah.
2. Diare kronik
Diare kronik adalah diare yang berlangsung terusmenerus selama lebih dari 2 minggu
atau lebih dari 14 hari, yang secara umum diikuti kehilangan berat badan secara signifikan
dan masalah nutrisi.
3. Diare persisten
Diare persisten adalah diare akut dengan atau tanpa disertai darah dan berlanjut sampai
14 hari atau lebih. Jika terdapat dehidrasi sedang atau berat, diare persisten diklasifikasikan
sebagai “berat”. Jadi diare persisten adalah bagian dari diare kronik yang disebabkan oleh
berbagai penyebab.
Mekanisme patofisiologik: osmotik, sekretorik, motilitas, dan inflamasi. Patogenesis diare
karena infeksi bakteri/parasit terdiri atas:
 Diare karena bakteri non-invasif (enterotoksigenik)
Diare jenis ini biasanya disebut juga sebagai diare tipe sekretorik dengan konsistensi
berair dengan volume yang banyak. Bakteri yang memproduksi enterotoksin ini tidak
merusak mukosa seperti V. cholerae Eltor, Eterotoxicgenic E. coli (ETEC) dan C.
Perfringens. V.cholerae Eltor mengeluarkan toksin yang terkait pada mukosa usus halus 15-
30 menit sesudah diproduksi vibrio. Enterotoksin ini menyebabkan kegiatan berlebihan
nikotinamid adenin di nukleotid pada dinding sel usus, sehingga meningkatkan kadar
adenosin siklik monofosfat (siklik AMP) dalam sel yang menyebabkan sekresi aktif anion
klorida ke dalam lumen usus yang diikuti oleh air, ion bikarbonat, kation, natrium dan kalium
 Diare karena bakteri/parasite invasive (enterovasif)
Diare yang diakibatkan bakteri enterovasif disebut sebagai diare Inflammatory. Bakteri
yang merusak (invasif) antara lain Enteroinvasive E. coli (EIEC), Salmonella, Shigella,
Yersinia, C. perfringens tipe C. diare disebabkan oleh kerusakan dinding usus berupa
nekrosis dan ulserasi. Sifat diarenya sekretorik eksudatif. Cairan diare dapat tercampur lendir
dan darah. Kuman salmonella yang sering menyebabkan diare yaitu S. paratyphi B,
Styphimurium, S enterriditis, S choleraesuis. Penyebab parasite yang sering yaitu E.
histolitika dan G. lamblia.
Diare inflammatory ditandai dengan kerusakan dan kematian enterosit, dengan
peradangan minimal sampai berat, disertai gangguan absorbsi dan sekresi. Setelah kolonisasi
awal, kemudian terjadi perlekatan bakteri ke sel epitel dan selanjutnya terjadi invasi bakteri
kedalam sel epitel. Tahap berikutnya terjadi pelepasan sitokin antara lain interleukin 1 (IL-l),
TNF-α, dan kemokin seperti interleukin 8 (IL-8) dari epitel dan subepitel miofibroblas. IL8
adalah molekul kemostatik yang akan mengaktifkan sistim fagositosis setempat dan
merangsang sel-sel fagositosis lainnya ke lamina propia. Apabila substansi kemotaktik (IL-8)
dilepas oleh sel epitel, atau oleh mikroorganisme lumen usus (kemotaktik peptida) dalam
konsentrasi yang cukup kedalam lumen usus, maka neutrofil akan bergerak menembus epitel
dan membentuk abses kripta, dan melepaskan berbagai mediator seperti prostaglandin,
leukotrin, platelet actifating factor, dan hidrogen peroksida dari sel fagosit akan merangsang
sekresi usus oleh enterosit, dan aktifitas saraf usus.
Terdapat 3 mekanisme diare inflamatori, kebanyakan disertai kerusakan brush border dan
beberapa kematian sel enterosit disertai ulserasi. Invasi mikroorganisme atau parasit ke
lumen usus secara langsung akan merusak atau membunuh sel-sel enterosit. Infeksi cacing
akan mengakibatkan enteritis inflamatori yang ringan yang disertai pelepasan antibodi IgE
dan IgG untuk melawan cacing. Selama terjadinya infeksi atau reinfeksi, maka akibat reaksi
silang reseptor antibodi IgE atau IgG di sel mast, terjadi pelepasan mediator inflamasi yang
hebat seperti histamin, adenosin, prostaglandin, dan lekotrin.
Mekanisme imunologi akibat pelepasan produk dari sel lekosit polimorfonuklear,
makrophage epithelial, limfosit-T akan mengakibatkan kerusakan dan kematian sel-sel
enterosit. Pada keadaan-keadaan di atas sel epitel, makrofag, dan subepitel miofibroblas akan
melepas kandungan (matriks) metaloprotein dan akan menyerang membrane basalis dan
kandungan molekul interstitial, dengan akibat akan terjadi pengelupasan sel-sel epitel dan
selanjutnya terjadi remodeling matriks (isi sel epitel) yang mengakibatkan vili-vili menjadi
atropi, hiperplasi kripta-kripta di usus halus dan regenerasi hiperplasia yang tidak teratur di
usus besar (kolon).
Pada akhirnya terjadi kerusakan atau sel-sel imatur yang rudimenter dimana vili-vili yang
tak berkembang pada usus halus dan kolon. Sel sel imatur ini akan mengalami gangguan
dalam fungsi absorbsi dan hanya mengandung sedikit (defisiensi) disakaridase, hidrolase
peptida, berkurangnya tidak terdapat mekanisme nacoupled sugar atau mekanisme transport
asam amino, dan berkurangnya atau tak terjadi sama sekali transport absorbsi NaCl.
Sebaliknya sel-sel kripta dan sel-sel baru vili yang imatur atau sel-sel permukaan
mempertahankan kemampuannya untuk mensekresi Cl. Pada saat yang sama dengan
dilepaskannya mediator inflamasi dari sel-sel inflamatori di lamina propia akan merangsang
sekresi kripta hiperplasi dan vili-vili atau sel-sel permukaan yang imatur. Kerusakan immune
mediated vascular mungkin menyebabkan kebocoran protein dari kapiler. Apabila terjadi
ulserasi yang berat, maka eksudasi dari kapiler dan limfatik dapat berperan terhadap
terjadinya diare.
1. Diare osmotik
Diare osmotik terjadi bila ada bahan yang tidak dapat diserap meningkatkan osmolaritas
dalam lumen yang menarik air dari plasma sehingga terjadi diare. Contohnya adalah
malabsorbsi karbohidrat akibat defisiensi laktase atau akibat garam magnesium.
Penyebab diare osmotik
 Kekurangan enzim laktase dan enzim pankreas
 Kelebihan makanan dari bahan sintetik atau gula yang tidak dapat diserap
 Diet enteral (tube-feeding) dengan formula berkekuatan penuh
 Obat-obatan atau zat kimia yang hiperosmotik
 Sindrom dumping akibat reseksi lambung
Patofisiologi
Malabsorbsi makanan

Makanan tidak dapat diserap

Osmotik di rongga usus ↑

Air dan elektrolit keluar ke rongga usus

Isi rongga berlebih

Merangsang usus untuk mengeluarkan isi pada rongga

Diare bervolume besar.

2. Diare sekretorik
Diare sekretorik bila terjadi gangguan transport elektrolit baik absorbsi yang berkurang
ataupun sekresi yang meningkat. Hal ini dapat terjadi akibat toksin yang dikeluarkan bakteri
misalnya toksin kolera atau pengaruh garam empedu, asam lemak rantai pendek, atau
laksantif non osmotik. Beberapa hormon intestinal seperti gastrin vasoactive intestinal
polypeptide (VIP) juga dapat menyebabkan diare sekretorik.
Penyebab diare sekretorik
 Infeksi virus (Rotavirus)
 Enterotoksin bakteri (Escherichia coli dan Vibrio cholera)
 Eksotoksin bakteri (Clostridium difficile)
 Pertumbuhan bakteri dalam usus
 Reseksi ileum (gangguan absorpsi garam empedu)
 Efek dari obat laksatif dioctyl sodium sulfosuksinat.
Patofisiologi
Mengkonsumsi makanan terkontaminasi

Sebagian hancur oleh HCL, sebagian lolos dan berkembang di duodenum

Bakteri memproduksi enzim yang mencairkan lapisan lendir yang menutupi
mukosa usus

Bakteri mengeluarkan toksin (enterotoksin)

Merangsang seskresi pada kripta vili usus yang menghambat absorpsi

Volume cairan lumen usus ↑

Dinding usus menggembung, kontraksi dinding usus

Hipermotilitas untuk mengeluarkan cairan ke usus besar

Diare
3. Diare motilitas
Kelompok lain adalah akibat gangguan motilitas yang mengakibatkan waktu tansit usus
menjadi lebih cepat. Hal ini terjadi pada keadaan tirotoksikosis, sindroma usus iritabel atau
diabetes melitus.
Penyebabnya
 Diabetes melitus
 Hipertiroid
 Pasca vagotomi
 Penyalahgunaan pencahar.
4. Diare inflamasi
Diare eksudatif, inflamasi akan mengakibatkan kerusakan mukosa baik usus halus
maupun usus besar. Inflamasi dan eksudasi dapat terjadi akibat infeksi bakteri atau bersifat
non infeksi seperti gluten sensitive enteropathy, inflamatory bowel disease (IBD) atau akibat
radiasi.
Berat ringan diare: kecil atau besar
 Tanpa dehidrasi : biasanya anak merasa normal, tidak rewel, masih bisa bermain seperti
biasa. Umumnya karena diarenya tidak berat anak masih mau makan dan minum seperti
biasa
 Dehidrasi ringan atau sedang : menyebabkan anak rewl atau gelisah, mata sedikit cekung,
turgor kulit masih kembali cepat bila dicubit
 Dehidrasi berat : anak apatis (kesadaran berkabut), mata cekung, pada cubitan turgor
krmbali lambat, apas cepat, anak terlihat lemas
Penyebab infeksi atau tidak: infeksi atau non infeksi
Diare infektif adalah diare yang disebabkan oleh infeksi. Agen infeksi dalam hal ini bisa
diakibatkan oleh bakteri, virus, parasit, jamur, maupun infeksi oleh organ lain seperti radang
tonsil, bronchitis, dan radang tenggorokan. Diare non-infektif adalah diare yang tidak
ditemukan agen infeksi sebagai penyebabnya. Dalam hal ini diare tersebut kemungkinan
disebabkan oleh faktor malabsorbsi, faktor makanan, maupun faktor psikologis.
 Virus : Rotavirus (40-60%), adhenovirus
 Bakteri : Escherichia coli (20-30%), Shigella sp. (1-2%), Vibrio cholerae, dan lain lain
 Parasit : Entamoeba histolitica (<1%), Giardia lamblia, Crylosoridium (4-11%)
 Keracunan makanan
 Malabsorbsi : karbohidrat, lemak, dan protein
 Alergi : makanan, susu sapi
 Imunodefisiensi : AIDS
Penyebab organik atau tidak: organik atau fungsional. Berdasarkan penyakit organik dan
fungsional, diare dapat diklasifikasikan menjadi
 Diare organik, adalah diare yang ditemukan penyebab anatomik, bakteriologik, hormonal
ataupun toksikologi
 Diare fungsional, adalah diare yang tidak dapat ditemukan penyebab organik
Menurut World Gastroenterology Organisation Global Guidlines 2005, klasifikasi etiologi
diare akut dibagi atas 4 penyebab, yaitu :
1. Bakteri
2. Virus
3. Parasit
4. Non-infeksi
Gambar 2.1 Klasifikasi Etiologi menurut World Gastroenterology Organisation Global
Guidlines 2005.

Pendekatan Klinis
Pendekatan klinis dari gastroenteritis akut biasanya bervariasi. dari salah satu hasil
penelitian yang dilakukan pada orang dewasa, mual (93%), muntah (81%) atau diare (89%), dan
nyeri abdomen (76%) umumnya merupakan gejala yang paling sering dilaporkan oleh
kebanyakan pasien. Selain itu terdapat tanda-tanda dehidrasi sedang sampai berat, seperti
membran mukosa yang kering, penurunan turgor kulit, atau perubahan status mental, terdapat
pada <10% pada hasil pemeriksaan. Gejala pernapasan yang mencakup radangan tenggorokan,
batuk dan rinorea.
Sedangkan gatroenteritis akut karena infeksi bakteri yang mengandung atau
memproduksi toksin akan menyebabkan diare sekretorik (watery diarhhea) dengan gejala-gejala
mual, muntah, dengan atau tanpa demam yang umumnya ringan, disertai atau tanpa nyeri/kejang
perut, dengan feses lembek atau cair. Umumnya gejala diare sekretorik timbul dalam beberapa
jam setelah makan atau minurnan yang terkontaminasi.
Diare sekretorik (watery diarhea) yang berlangsung beberapa waktu tanpa
penanggulangan medis yang adekuat dapat menyebabkan kematian karena kekurangan cairan
yang mengakibatkan renjatan hipovolemik atau karena gangguan biokimiawi berupa asidosis
metabolik yang lanjut. Karena kehilangan cairan seseorang akan merasa haus, berat badan
berkurang, mata menjadi cekung, lidah kering, tulang pipi menonjol, turgor kulit menumn serta
suara menjadi serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan deplesi air yang isotonik.
Sedangkan kehilangan bikarbonas dan asam karbonas berkurang yang mengakibatkan
penurunan pH darah. Penurunan ini akan merangsang pusat pernapasan sehingga frekuensi nafas
lebih cepat dan lebih dalam (pernafasan Kussmaul). Reaksi ini adalah usaha badan untuk
mengeluarkan asam karbonas agar pH darah dapat kembali normal. Gangguan kardiovaskular
pada tahap hipovolemik yang berat dapat berupa renjatan dengan tanda-tanda denyut nadi yang
cepat, tekanan darah menurun sampai tidak terukur. Pasien mulai gelisah muka pucat ujung-
ujung ektremitas dingin dan kadang sianosis karena kehilangan kalium pada diare akut juga
dapat timbul aritmia jantung.

- Penegakan diagnosis (anamnesis, pemeriksaan fisik, Pemeriksaan penunjang (prioritas)


a) Anamnesis
Riwayat pemberian makan anak sangat penting dalam melakukan tatalaksana
anak dengan diare. Tanyakan juga hal-hal berikut:
1) Diare:
- frekuensi buang air besar (BAB)
- lamanya diare terjadi (berapa hari)
- apakah ada darah dalam tinja
- apakah ada muntah
2) Laporan setempat mengenai Kejadian Luar Biasa (KLB) kolera
3) Pengobatan antibiotik yang baru diminum anak atau pengobatan lainnya
4) Gejala invaginasi (tangisan keras dan kepucatan pada bayi).4
5) Perhatikan waktu awitan gejala
6) Perhatikan frekuensi diare dalam satu hari
7) Perhatikan volume BAB
8) Mual
9) Muntah
10) Rasa tidak nyaman di perut
11) Nyeri abdomen
12) Demam
13) Tinja yang banyak berisi air, malabosrtif, atau berdarah
b) Pemeriksaan fisik
1) Tanda-tanda dehidrasi ringan atau dehidrasi berat:
- rewel atau gelisah
- letargis/kesadaran berkurang
- mata cekung
- cubitan kulit perut kembalinya lambat atau sangat lambat
- haus/minum dengan lahap, atau malas minum atau tidak bisa minum.
2) Darah dalam tinja
3) Tanda invaginasi (massa intra-abdominal, tinja hanya lendir dan darah)
4) Tanda-tanda gizi buruk
5) Perut kembung.4

Tidak perlu dilakukan kultur tinja rutin pada anak dengan diare.4

Tabel 2.1 Bentuk klinis diare.4


Klasifikasikan tanda-tanda tersebut sesuai dengan tabel derajat dehidrasi di bawah.6

Klasifikasi ini dipergunakan untuk tatalaksana:

- Diare tanpa dehidrasi: Rencana Terapi


- Diare dengan dehidrasi ringan/ sedang: Rencana Terapi B
- Diare dengan dehidrasi berat: Rencana Terapi C.6
c) Diagnosis banding
1) Giardiasis
2) Escherciasis
3) Shigellosis
4) Amebiasis
5) Kolera
6) Clostridium difficle infection
7) Irritable bowel syndrome ((IBS)
8) Inflammatory bowel disease (IBD)
9) Hepatitis A
10) Dispepsia makanan
11) Intoksikasi makananan.4
 Pemeriksaan Derajat Dehidrasi
Gambar 3.1 Pemeriksaan Derajat Dehidrasi [3] [4]

 Metode Pierce [3]


 Dehidrasi ringan= 5% x Berat badan (kg)
 Dehidrasi sedang= 8% x Berat badan (kg)
 Dehidrasi berat= 10% x Berat badan (kg)

 Metode Daldiyono berdasarkan skor klinis [1]


Skor
Kebutuhan Cairan= x 10 % x KgBB x 1 Liter
15

Gambar 3.2 Penilaian


skor dehidrasi dengan metode Daldiyono [1]
d) Pemeriksaan penunjang
Pada pasien yang mengalami dehidrasi atau toksisitas berat atau diare
berlangsung lebih dari beberapa hari diperlukan dilakukannya beberapa pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan tersebut antara lain adalah pemeriksaan darah tepi lengkap
(hemoglobin, hematokrit, leukosit, hitung jenis leukosit) kadar elektrolit serum, ureum
dan kreatinin, pemeriksaan tinja dn pemeriksaan Enzim-linked Immunosorbent Assay
(ELISA) mendeteksi giardiasis dan test serologic amebiassis, dan foto x-ray abdomen.
Pasien yang telah mendapatkan pengobatan antibiotik dalam 3 bulan sebelumnya atau
yang mengalami diare di rumah sakit sebaiknya diperiksa tinja untuk pengukuran toksin
clostridium difficile. Rektoskopi atau sigmoidoskopi perlu dipertimbangkan pada pasien-
pasien yang toksik, pasien dengan diare berdarah, atau pasien dengan diare akut
persisten. Sedangkan pada pasien AIDS yang mengalami diare, kolonoskopi
dipertimbangkan karena kemungkinan penyebab infeksi atau limfoma didaerah kolon
kanan.5
Pemeriksaan laboratorium
- Pemeriksaan tinja
a) Makroskopis dan mikroskopis
b) pH dan kada gula dalam dalam tinja dengan kertas lakmus dan tablet cilinitest,
bila diduga terdapat intoleransi gula.
- Pemeriksaan gangguan keseimbangan asam basa dalam darah, dengan menentukan
pH dan cadangan alkali atau lebih tepat lagi dengan pemeriksaan analisa gas darah
menurut ASRUP (bila memungkinkan)
- Pemeriksaan kadar ureum dan keratinin untuk mengetahui faal ginjal
- Pemeriksaan elektrolit terutama kadar natriu, kalium dan fosfor dalam serum
(terutama pada penderita diare disertai dengan kelang)
- Pemeriksaan intubasi duodenum untuk mengetahui jenis jasad renik atau parasit
secara kualitatif dan kuantitatif terutama dilakukan pada penderita diae kronik.5
- ELISA

Gambar 3.3 Algoritma untuk evaluasi pasien diare akut. [1]


1. Penatalaksanaan (farmakologi, non farmakologi, awal, lanjutan, sesuai dengan derajat
dehidrasinya, mekanisme kerja obat)

Gambar 4.1 Algoritma untuk evaluasi pasien dengan diare akut.2

- Terapi non farmakologi


Peningkatan hygiene dan sanitasi karena peningkatan higiene dan sanitasi dapat
menurunkan insiden diare, jangan makan sembarangan terlebih makanan mentah,
mengonsumsi air yang bersih dan sudah direbus terlebih dahulu, mencuci tangan setelah
BAB dan atau setelah bekerja. Memberikan ASI ekslusif selama 6 bulan dan diteruskan
sampai 2 tahun. Memberikan makanan pendamping ASI sesuai umur, untuk mencegah
dehidrasi bila perlu diberikan infus cairan untuk dehidrasi. Buang air besar dijamban,
Membuang tinja bayi dengan Dengan benar Memberikan imunisasi campak (Kasaluhe et
al, 2015).7
a) Hindari makanan dan minuman yang tidak bersih
b) Cuci tangan pakai sabun dan air bersih sebelum makan dan sesudah buang air besar
c) Rebus air minum terlebih dahulu
d) Gunakan air bersih untuk memasak
e) Buang air besar di jamban.7

- Terapi farmakologi
a) Perbaiki cairan pasien
Pemberian cairan kristaloid Intravena untuk rehidrasi
b) Tatalaksana sesuai kausatif
Infeksi atau non-infeksi
Tabel 4.1 terapi pengobatan antimikroba oral (dosis dewasa).2
c) Mual dan Muntah
Ondansentron 3 x 4 mg IV
d) Nyeri Perut
Ketorolac 2 x 30 mg IV.8
Tabel 3.1 Pengobatan gastroenteritis dihubungkan dengan klasifikasi beserta tanda
dan gejala.4
Tabel 4.2 Derajat dehidrasi berdasarkan skor WHO.4

Skor:
<2 tanda dikolom B dan C : tanpa dehidrasi
>2 tanda dikolom B : dehidrasi ringan-sedang
≥2 tanda dikolom C : dehidrasi berat.4
Rencana terapi untuk masing masing penderita diare.5
- Mekanisme farmakologi
a) Antisecretory dan Antimotility
Obat anti diare yang temasuk golongan Antisecretory dan Antimotility
adalah opioid dan derivatnya, alpha 2 agonis misalnya clonidine dan
somatostatin,. Salah satu opioid adalah loperamide. Loperamide merupakan
turunan phenylpiperidine dengan struktur kimia yang mirip dengan agonis
reseptor opiat seperti diphenoxylate. Loperamide sebagai anti diare bekerja
dengan beberapa mekanisme yang berbeda, yaitu mengurangi peristaltik dan
sekresi cairan (Baker 2007) serta meningkatkan tonus sfingter (Hanauer, 2008),
sehingga waktu transit gastrointestnal lebih lama sehingga meningkatkan
penyerapan (Baldiet al., 2009). Loperamide merupakan obat agonis opiat sinetik
yang dapat mengaktivasi μ receptors pada pleksus myenterik usus besar. Aktivasi
terhadap reseptor tersebut akan menhambat pelepasan astetilkolin sehingga terjadi
relaksasi otot saluran cerna. Di samping itu, penghambatan terhadap asetilkolin
juga menimbulkan efek anti sekretori sehingga mengurangi sekresi air dan dapat
mencegah kekurangan cairan dan elektrolit (faure, 2013).9
b) Adsorben
Beberapa cotoh obat yang termasuk kelompok adsorbent adalah: bismuth
subsalicylate (pepto-Bismol), kaolin-pectin, activated charcoal, attapulgite
(kaopectate). Walaupun pemberian adsorben pada diare misalnya penderita HIV
todak memberikan hasil yang lebih baik dari plasebo, namun pemberian adsorben
masih direkomendasikan Nwachukwuand Okebe 2008). Mekans=isme kerja
secara umum dari adsorben adalah melapisi permukaan mukosa dinding saluran
pencernaan sehingga toksin dan mikroorganisme tak bisa masuk menembus dan
merusak mukosa. Selain itu, asorben juga mengikat bakteri penyebab atau racun,
yang kemudian dieliminasi melalui tinja.9
Bismuth subsalicylate
Selain untuk diare, obat ini juga dapat dipakai untuk mengatasi mual,
gangguan lambung. Farmakodinamik Bismuth subsalicylate menunjukan efek
terapi melalui efek anti-inflamasi oleh asam salisilat, juga antibiotik ringan oleh
bismuth. Mekanisme diae belum jelas, diduga melalui peningkatan absorbsi air
dan elektrolit (antisekreton) dan juga sebagai penghambat sintesis prostaglandin
sehingga terjadi efek inflamasi dan penurunan motilitas usus (Goldman, 2013)
sebagai mekanisme tambahan, Bismuth subsalicylate dapat mengikat toksin yang
diproduksi oleh bakteri misalnya oleh Escherichia coli. Obat ini juga sebagai anti
mikroba (Alharbief al., 2012).9
Kaolin dan Pectin
Merupakan Bulk-Forming and Hydroscopic Agents. Mekanisme kerja dari
obat ini adalah dengan merubah viskositas feses sehingga nampak lebih kental.
Selain itu obat ini juga dapat mengikat toksin berikatan dengan garam empedu.9
Bile Acids Sequestrants: Cholestyramine dan Cholestipol
Mekanisme kerja adalah mengikat garam empedu dalam usus sehingga
terjadi peningkatan masa feses dan membuat feses lebih kental.9
Interaksi Obat dengan Obat Adsorbent
Adsorbent menurunkan penyerapan banyak obat lain, misalnya digoksin,
kindamisin dan agen hipoglikemik. Absorben menyebabkan peningkatan
pendarahan saat dibeerikan dengan antikoagulan.9

2. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada balita yang mengalami diare adalah
kekurangan cairan karena banyaknya cairan yang keluar melalui feses. Kekurangan
cairan atau dehidrasi dapat terlihat dari cekung atau tidaknya mata, adanya air mata,
keringnya mulut dan lidah, adanya rasa haus dan turgor kulit yang kembali cepat atau
lambat dan persentase penurunan berat badan. Pada penelitan ini sebanyak 78 ibu yang
mengetahui bahaya yang timbul akibat diare adalah kekurangan cairan dan 75 ibu yang
mengetahui kekurangan cairan disebabkan oleh banyaknya cairan yang keluar selama
anak diare. Hal ini memperlihatkan sebagan besar ibu sudah mengetahui komplikasi dari
diare pada anak. Sebanyak 71 ibu mengetahui bahwa kekurangan cairan salah satunya
dapat diketahui melalui penurunan berat badan dan jumlah mencret dalam satu hari.
Diare dapat menyebabkan kematian sehingga apabila anak mengalami buang air besar
cair lebih sering, muntah berulang-ulang, mengalami rasa haus yang nyata, makan atau
minum sedikit, demam, tinjanya berdarah dan tidak membaik dalam 3 hari.10
Kehilangan cairan dan kelainan elektrolit merupakan komplikasi utama, terutama
pada lanjut usia dan anak-anak. Pada diare akut karena kolera, kehilangan cairan terjadi
secara mendadak sehingga cepat terjadi syok hipovolemik. Kehilangan elektrolit melalui
feses dapat mengarah terjadinya hipokalemia dan asidosis metabolic.10
Pada kasus-kasus yang terlambat mendapat pertolongan medis, syok hipovolemik
sudah tidak dapat diatasi lagi, dapat timbul nekrosis tubular akut ginjal dan selanjutnya
terjadi gagal multi organ. Komplikasi ini dapat juga terjadi bila penanganan pemberian
cairan tidak adekuat, sehingga rehidrasi optimal tidak tercapai.10
Haemolityc Uremic Syndrome (HUS) adalah komplikasi terutama oleh EHEC.
Pasien HUS menderita gagal ginjal, anemia hemolisis, dan trombositopeni 12-14 hari
setelah diare. Risiko HUS meningkat setelah infeksi EHEC dengan penggunaan obat anti-
diare, tetapi hubungannya dengan penggunaan antibiotik masih kontroversial.10
Sindrom Guillain – Barre, suatu polineuropati demielinisasi akut, merupakan
komplikasi potensial lain, khususnya setelah infeksi C. jejuni; 20-40% pasien Guillain –
Barre menderita infeksi C. jejuni beberapa minggu sebelumnya. Pasien menderita
kelemahan motorik dan mungkin memerlukan ventilasi mekanis. Mekanisme penyebab
sindrom Guillain – Barre belum diketahui.2 Artritis pascainfeksi dapat terjadi beberapa
minggu setelah penyakit diare karena Campylobacter, Shigella, Salmonella, atau Yersinia
spp.10

3. Prognosis
Quo ad vitam: bonam, quo ad funtionam: bonam, karena pada pasien tidak
ditemukan tanda dehidrasi, dan quo ad sanationam: bonam karena pasien dapat sembuh
dengan pengobatan dan edukasi yang tepat, dapat sembuh total dari penyakitnya dan
orangtua sudah mengetahui faktor lain yang menjadi predisposisi diare akut yang harus
dihindari.11
Daftar Pustaka

1. Prawati DD, Haqi ND. Faktor yang mempengaruhi kejadian diare, vol 07, no 01. Surabaya:
FK UNAIR; 2019. Hlm 34-45
2. Setiati S, Alwi I, Sudoyo WA, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi VI. Jakarta :
Interna Publishing ; 2014. Hlm: 410-5
3. Sampul KPM, Ismanto YA, Pondang L. Hubungan diare dengan kejadian malnutrisi, vol
03, no 01. Universitas sam ratulangi; 2015. Hlm: 1-7
4. Pedoman bagi RS rujukan tingkat pertama di kab/kota. Buku saku pelayanan kesehatan
anak di rumah sakit, cetakan 1. Jakarta: WHO Indonesia dan Depkes RI; 2009. Hlm 131-55
5. Sari KN, Lukito A, Astria A. Hubungan pengetahuan ibu tentang diare dengan kejadian 1-
4 tahun. Medan: FK UNISU; 2017. Hlm 1-11
6. Aditama YT. Buku saku petugas kesehatan lintas diare lima langkah tuntaskan diare, edisi
11. Jakarta: Depkes RI; 2011. Hlm 1-13
7. Santi I, Herman H, Aninditia DD. Studi penggunaan obat diare pada anak pasien rawat
inap , vol 09, no 01. Makasar: FF UNIMUS; 2017. Hlm 122-130
8. Junita MH. Acute diarrhea with mild to moderate dehydration e.c Viral Infection, vol 01,
no 01. Lampung: FK UNILA; 2014. Hlm 47-53
9. Ardhanda, Taringan T, Rhefki. Kongres nasional VI perhimpunan gatrohepatologi dan
nutrisi anak Indonesia. Bali; 2014. Hlm 12-7
10. Dwiriyanti ND, Savira M, Suyanto. Gambaran pengetahuan ibu terhadap diare akut balita,
vol 02, no 01. Riau; 2015. Hlm 3-15
11. Fadli YM, Pratignyo BR, Ferdiansyah, dkk. Faktor-faktor yang mempengaruhi diare akut
pada balita, vol 06, no 01. Lampung: FK UNIL; 2016. Hlm 97-100.

Anda mungkin juga menyukai