Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut data badan pusat statistic ( BPS ) laju


pertumbuhan penduduk Indonesia berada pada angka 1,5 % setiap
tahunnya. Angka tersebut masih terbilang cukup tinggi apalagi
jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2012 diperkirakan
mencapai 237.000.000. akibat yang dapat ditimbulkan dari
keadaan tersbut utamanya bagi lingkungan adalah semakin
sempitnya ruang terbuka hijau seperti hutan karena telah dibuka
menjadi pemukiman penduduk. Dinamika yang terjadi saat ini
adalah terjadinya benturan kepentingan social dengan kepentingan
ekologi.

Berdasarkan fakta tersebut kebutuhan manusia akan ruang


untuk hidup dan beraktivitas sudah merupakan suatu kebutuhan
primer yang sudah tidak dapat dikompromikan lagi, karena jika
harus dikompromikan, apakah kita bisa melarang manusia untuk
tidak berkembang biak, yang sudah merupakan salah satu hak
azasinya sejak manusia itu lahir?. Tentunya tidak. Selain
argumentasi bersifat umum tersebut, ada beberapa argumentasi
spesifik yang menjadi latar belakang agar system yang memadukan
sector kehutanan dengan sector lain yang memegang hajat hidup
orang banyak mulai penting untuk segera dilaksanakan, antara lain,
kebutuhan manusia akan sandang, pangan dan papan yang semakin
meningkat sementara luasan lahan untuk memenuhinya semakin
terbatas, sebagian lahan bahkan tidak sesuai untuk pertanian murni,
seringnya sector kehutanan (hutan) dikorbankan, keterbatasan
ketersediaan lahan, perlu dicari solusi yang bersifat produktif
sekaligus konservatif untuk kasus ini.

Page | 1
System agroforestry dapat mengakomodir kepentingan
pemenuhan sandang, pangan dan papan manusia sekaligus tidak
mengorbankan sector kehutanan yang masih tetap tumbuh dan
berkembang secara lestari.

Dengan demikian pada akhirnya kepentingan social


masyarakat atas aksesibilitas terhadap hutan dan pendayagunaan
sumber daya hutan akan tetap terakomodir disamping itu
keberadan hutan dan fungsi hutan sebagai kepentingan ekologi
akan tetap terjamin keberadaannya yang keduanya berada dalam
suatu harmonisasi pengelolaan dan pengembangan lahan yang
kondusif dalam bentuk agroforestry.

1.2 Tujuan Penulisan

Berdasarkan penjabaran dibagian latar belakang adapun


tujuan dalam penulisan makalah ilmiah ini adalah untuk
memahami keterkaitan aspek social dalam pengelolaan dan
pengembangan suatu bentang lahan dalam bentuk system
agroforestry.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan penjabaran di bagian sebelumnya adapun


rumusan masalah yang dapat dibahas dalam makalah ilmiah ini
adalah :

1. Apakah lingkup konsep agroforestry ?


2. Bagaimana peran aspek social dalam pengembangan
agroforestry ?
3. Bagaimana peran kelembagaan dalam pengembangan
agroforestry ?
4. Bagaimana arah kebijakkan dalam pengembangan
agroforestry ?

Page | 2
5. Bagaimana kondisi praktik agroforestry di Indonesia
saat ini dari sudut pandang pihak yang terkait
langsung ?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Agroforestry

Agroforestry secara praktis, telah dilakukan oleh petani


dalam pengelolaan lahan sejak zaman dahulu di hampir seluruh
dunia. Perjalanan agroforestry untuk menjadi suatu pola
penggunaan lahan yang diterima oleh segala pihak memerlukan
waktu yang cukup panjang. Pada awal perkembangannya masih
banyak yang menanyakan tentang apa itu agroforestry? 
Oleh karena itu muncul berbagai batasan atau definisi tentang
agroforestry menurut kajian latar belakang ilmu yang dicermati.
Beberapa definisi yang diberikan oleh banyak ahli diantaranya;
menurut Bene et al. (1977), agroforestry adalah suatu sistem
pengelolaan lahan yang berkelanjutan untuk meningkatkan
produksi total dari kombinasi tanaman pertanian, tanaman pohon,
dan tanaman kehutanan dan atau ternak secara simultan dan
sequensial dan menerapkan teknik pengelolaan yang sesuai dengan
budaya masyarakat setempat. Menurut Nair (1984), agroforestry
adalah suatu penggunaan lahan yang melibatkan secara sengaja“
retention”, pengenalan atau campuran pohon atau tanaman tahunan
berkayu lain di lahan produksi pertanian atau ternak untuk
mendapatkan keuntungan dan resultante interaksi ekologi dan
ekonomi. Menurut Combe dan Budowski (1979), agroforestry
adalah suatu kelompok teknik pengelolaan lahan yang menerapkan
kombinasi pohon hutan dengan tanaman pertanian, atau ternak,
atau keduanya. Kombinasi itu mungkin secara simultan atau
staggered di dimensi waktu dan ruang. Tujuannya adalah untuk

Page | 3
mengoptimalisasi per unit areal produksi yang mengacu terhadap
prinsip dari hasil yang berkelanjutan. Menurut Wiersum (1990)
agroforestry adalah suatu bentuk penggunaan lahan yang
mengkombinasikan produksi pertanian dan atau produk peternakan
dan tanaman pohon dan atau tanaman hutan secara simultan dan
sequensial, yang ditujukan pada produksi yang multiguna, optimal
dan berkelanjutan di bawah pengaruh positif dari peningkatan
kondisi edhapik dan mikro klimat yang diciptakan dengan meniru
kondisi hutan, dan dengan teknik pengelolaan yang sesuai dengan
sikap budaya masyarakat lokal.
Pengertian agroforestry yang muncul beraneka ragam
sehingga Lundgren (1989) mengatakan bahwa definisi agroforestry
harus mengandung dua sifat umum untuk semua bentuk
agroforestry dan membedakan bentuk-bentuk tersebut dengan
bentuk penggunaan lahan lain. Kedua sifat utama tersebut adalah:

1. Tanaman berkayu ditanam dengan sengaja pada lahan yang


sama dengan tanaman pertanian dan atau peternakan, baik
dalam bentuk campuran spasial atau sequensial
2. Harus terjadi interaksi baik negatif maupun positif antara
komponen sistem yang berkayu dan nir-berkayu, baik
secara ekologis maupun ekonomis.

Berdasarkan pemikiran tersebut dilakukan diskusi yang mendalam


pada lembaga internasional ICRAF dan dihasilkan suatu definisi
agroforestry, yaitu: Agroforestry adalah suatu nama kolektif untuk
teknologi dan sistem penggunaan lahan dimana tanaman berkayu
(pohon, semak, palem, bambu dan lainnya) ditanam dengan
sengaja pada unit pengelolaan lahan yang sama dimana tanaman
pertanian dan peternakan berada, didalam bentuk susunan spasial
atau sequence temporal. Di dalam sistem agroforestry terjadi

Page | 4
interaksi ekologis dan ekonomis diantara penyusunannya.
(Lundgren and Raintree,1982).

2.2 Kehutanan Sosial

Kelola Usaha adalah rangkaian kegiatan yang mendukung


tumbuh dan berkembangnya usaha di areal kerja social forestry
melalui kemitraan dengan perimbangan tanggungjawab dan
benefit; tidak hanya berupa usaha budidaya tetapi termasuk
industri dan pemasaran. Kelola usaha social forestry dimaksudkan
untuk memberikan manfaat meningkatkan kesejahteraan bagi
masyarakat sekitar hutan. Dalam rangka pengembangan kelola
usaha social forestry diperlukan kelompok tani social forestry di
sekitar hutan. Kelola usaha social forestry meliputi tiga sub sistem
dasar : keluarga petani (unit pengambil keputusan), usaha tanaman
dan ternak (unit produksi pendapatan pokok), dan usaha
sampingan. 
Corak usaha rumah tangga petani tergantung empat faktor
lingkungan : fisik dan prasarana, sosial budaya, ekonomi/bisnis,
lingkungan kebijaksanaan dan kelembagaan. Unsur dalam sistem
kelola usaha social forestry : 

1. Kegiatan social forestry berbasis lahan. Dalam kawasan


hutan (pemungutan hasil hutan, pemanfaatan tanah hutan)
Luar kawasan hutan (komoditi pertanian monokultur dan
pola hutan rakyat) Kegiatan social forestry berbasis non
lahan : usaha dagang, jasa. Pengolahan hasil, untuk
memperbaiki mutu dan meningkatkan nilai jual.
2. Pemasaran hasil (marketing) : memelihara kontinyuitas
produksi dan menghindari oversupply.

Page | 5
3. Pembentukan Unit Usaha Kemitraan (UUK) : koperasi
(KUD) atau non koperasi.
4. Permodalan : bantuan APBD (tahap awal) dan iuran. 
Penyelenggaraan social forestry perlu memperhatikan
azas : Azas kelestarian hutan, Serbaguna hutan dan tidak
merugikan fungsi hutan, Prinsip perlindungan lingkungan.

Strategi keberhasilan usaha (Murphy and Peck, 1980) :


Mau bekerja keras, Bekerja sama dengan orang lain, Penampilan
yang baik, yakin, pandai membuat keputusan, mau menambah
ilmu pengetahuan, ambisi untuk maju, serta pandai berkomunikasi.
Kini upaya pemerintah untuk meningkatkan peran serta
masyarakat dalam perbaikan SDA dan peningkatan efisiensi
pembangunan dilaksanakan antara lain melalui pemeliharaan dan
pengembangan hutan rakyat dengan memperhatikan : Struktur dan
komposisi jenis tanaman (hutan rakyat murni, HR campuran,
agroforestry) Mendukung aspek ekologis (pengendalian erosi,
meningkatkan produktivitas, kesuburan lahan, mengatur tata air,
dan lain-lain)  Hutan rakyat dapat memberikan manfaat sosial
ekonomi terhadap masyarakat mencakup pendapatan, lapangan
kerja dan lain-lain.

Page | 6
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Konsep Agroforestry
Pada dasarnya system agroforestry praktis dalam bentuk
agroforestry yang sederhanan telah dilakukan oleh banyak petani
di dunia ini sejak lama. Namun, seiring berjalannya waktu dan
perubahan pada system pertanian modern membuat usaha tani pada
era ke depannya ini cenderung kepada system pertanian
monokultur karena lebih mudah dalam menghitung produktivitas
lahanya dan dapat memberikan hasil yang sangat memuaskan
dalam waktu singkat. Perjalanan agroforestry untuk menjadi suatu
pola penggunaan lahan yang diterima oleh segala pihak
memerlukan waktu yang cukup panjang bahkan hingga kini.
Agroforestry adalah system dan teknologi penggunaan lahan yang
meningkatkan produksi lahan secara keseluruhan, dengan
mengkombinasikan produksi jenis tanaman berkayu dengan
tanaman pertanian dan atau ternak maupun tambak dengan cara
pengaturan ruang atau waktu dan menggunakan praktek
pengelolaan yang sesuai dengan praktek usaha tani setempat.
Menurut Nair (1984), agroforestry adalah suatu
penggunaan lahan yang melibatkan secara sengaja“ retention”,
pengenalan atau campuran pohon atau tanaman tahunan berkayu
lain di lahan produksi pertanian atau ternak untuk mendapatkan
keuntungan dan resultante interaksi ekologi dan ekonomi. Menurut
Combe dan Budowski (1979), agroforestry adalah suatu kelompok
teknik pengelolaan lahan yang menerapkan kombinasi pohon hutan

Page | 7
dengan tanaman pertanian, atau ternak, atau keduanya. Kombinasi
itu mungkin secara simultan atau staggered di dimensi waktu dan
ruang. Tujuannya adalah untuk mengoptimalisasi per unit areal
produksi yang mengacu terhadap prinsip dari hasil yang
berkelanjutan. 

Pengertian agroforestry yang muncul beraneka ragam


sehingga Lundgren (1989) mengatakan bahwa definisi agroforestry
harus mengandung dua sifat umum untuk semua bentuk
agroforestry dan membedakan bentuk-bentuk tersebut dengan
bentuk penggunaan lahan lain. Kedua sifat utama tersebut adalah:

1. Tanaman berkayu ditanam dengan sengaja pada lahan yang


sama dengan tanaman pertanian dan atau peternakan, baik
dalam bentuk campuran spasial atau sequensial
2. Harus terjadi interaksi baik negatif maupun positif antara
komponen sistem yang berkayu dan nir-berkayu, baik
secara ekologis maupun ekonomis.

Keberlanjutan di dalam sistem agroforestry dapat dicapai


dengan mengelola dan mempertahankan kemampuan sumberdaya
alam yang tersedia untuk berproduksi secara optimal untuk jangka
waktu yang tidak terbatas, yaitu dengan menggunakan kombinsi
tanaman pohon, pertanian dan ternak. Kesesuaian pengelolaan dan
manfaat terhadap masyarakat lokal merupakan sifat yang harus
dimiliki dan melekat pada sistem agroforestry agar supaya dalam
pelaksanaan dapat berjalan dengan lancar. Menurut Hadipurnomo,
(1981) agar sasaran agroforestry dapat dicapai maka pola
agroforestry harus memenuhi beberapa persyaratan, diantaranya:

a. Dapat memenuhi kebutuhan penduduk setempat


b. Dapat memanfaatkan tenaga kerja yang tersedia secara
intensif

Page | 8
c. Pola usaha tani agroforestry lebih menguntungkan dari
pada pola usaha tani tunggal, ditinjau dari segi produksi
dan konservasi lahan
d. Keuntungan yang diperoleh harus dapat dinikmati oleh
penduduk setempat
e. Mudah dilaksanakan berdasarkan kondisi faktor produksi
yang ada

Ada beberapa cara klasifikasi agroforestry diantaranya :


berdasarkan kombinasi komponen pohon, tanaman, padang
rumput/makanan ternak dan komponen lain yang ditemukan dalam
agroforestry (King, 1978; Koppelman dkk., 1996 ) :

a. Agrosilviculture : Campuran tanaman dan pohon, dimana


penggunaan lahan secara sadar untuk memproduksi hasil-hasil
pertanian dan kehutanan.

b. Silvopastoral : Padang rumput/makanan ternak dan pohon,


pengelolaan lahan hutan untuk memproduksi hasil kayu dan
sekaligus memelihara ternak.

c. Agrosilvopastoral : tanaman, padang rumput/makanan ternak


dan pohon, pengelolaan lahan hutan untuk memproduksi hasil
pertanian dan kehutanan secara bersamaan dan sekaligus
memelihara hewan ternak.

d. Sistem lain , yang meliputi :

 Silvofishery : pohon dan ikan


 Apiculture : pohon dan lebah
 Sericulture : pohon dan ulat sutera

3.2 Peran Aspek Sosial Dalam Pengembangan Agroforestry

Page | 9
Agroforestri, sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan baru
di bidang pertanian dan kehutanan, berupaya mengenali dan
mengembangkan keberadaan sistem agroforestri yang telah
dipraktekkan petani sejak dulu kala. Secara sederhana, agroforestri
berarti menanam pepohonan di lahan pertanian, dan harus diingat
bahwa petani atau masyarakat adalah elemen pokoknya (subyek).
Dengan demikian kajian agroforestri tidak hanya terfokus pada
masalah teknik dan biofisik saja tetapi juga masalah sosial,
ekonomi dan budaya yang selalu berubah dari waktu ke waktu,
sehingga agroforestri merupakan cabang ilmu yang dinamis.

Sebelum membahas mengenai apa peran aspek – aspek


social dalam pengembangan agroforestry. Aspek menurut kamus
besar bahasa Indonesia kata aspek mengandung arti jenis ata
bagian dalam konteks suatu bentuk hubungan sementara kata
social mengandung arti berhubungan dengan masyarakat.

Berdasarkan argumentasi tersebut yang merupakan bagian


dari aspek – aspek social dalam agroforestry terkhusus dalam
kegiatan pengembangan agroforestry adalah pihak – pihak yang
secara langsung maupun tidak langsung (artinya bukan sebagai
yang berada di lapangan) berperan dalam pengelolaan dan
pengembangan agroforestry.

Berikut ini dijelaskan secara lebih spesifik pihak yang


berhubungan dengan pengelolaan dan pengembangan
agroforestry :

1. Sosial, secara umum dengan terbukanya suatu hutan akan


memberikan aksesibilitas ( jalan masuk ) bagi masyarakat
utamanya masyarakat sekitar dalam memanfaatkan,
mengelola dan bahkan mengembangkan suatu sumber daya

Page | 10
hutan untuk kepentingannya secara individu maupun
kelompok. Seperti salah satu contohnya melakukan praktik
agroforestry di hutan alam.
2. Pejabat pemerintahan, yaitu pihak – pihak yang mempunyai
peran birokrasi dan administrasi dalam menetapkan,
mengizinkan dan menutup suatu hutan yang dalam kasus
ini terkait dengan pengelolaan agroforestry agar praktik
yang dijalankan sesuai dengan regulasi yang ditetapkan.
Aspek ini terdiri dari kementerian kehutanan RI (pusat),
dinas kehutanan daerah tingkat satu (provinsi) dinas
kehutanan daerah tingkat dua (kabupaten/kota).
3. Petani yaitu merupakan pihak yang terlibat secara langsung
dalam pemanfaatan, pengelolaan dan pengembangan suatu
system agroforestry yang dimana mereka juga
berkepentingan terhadap hasil dari system agroforestry
tersebut.
4. Kelembagaan merupakan pihak – pihak yang berfungsi
mengatur tata kelola system agroforestry secara luas seperti
pengaturan system penanaman agar tidak seragam,
pemasaran dan penjualan hasil panen dan berbagai regulasi
lainnya yang berfungsi mensejahterakan anggota yang
membawahinya. Seperti koperasi.
5. Pihak professional merupakan pihak yang berasal dari luar
dan biasanya meletakkan posisi sebagai Pembina yang
membantu petani dalam mengelola dan mengembangkan
suatu system agroforestry sesuai dengan ilmu pengetahuan
yang ilmiah. Seperti akademisi, lembaga swadaya
masyarakat (LSM).

3.3 Peran Kelembagaan Dalam Pengembangan Agroforestry

Page | 11
Berbicara tentang kelembagaan, atau institusi, umumnya
pandangan orang lebih diarahkan kepada organisasi, wadah atau
pranata. Organisasi hanyalah wadahnya saja, sedangkan pengertian
lembaga mencakup juga aturan main, etika, kode etik, sikap dan
tingkah laku seseorang atau suatu organisasi atau suatu sistem.

Menurut beberapa ahli pengertian lembaga adalah aturan di


dalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang
menfasilitasi koordinasi antar anggotanya untuk membantu mereka
dengan harapan di mana setiap orang dapat bekerjasama atau
berhubungan satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan
bersama yang diinginkan (Ruttan dan Hayami, 1984).

Lembaga adalah sekumpulan batasan atau faktor


pengendali yang mengatur hubungan perilaku antar anggota atau
antar kelompok. Dengan definisi ini kebanyakan organisasi
umumnya adalah institusi karena organisasi umumnya mempunyai
aturan yang mengatur hubungan antar anggota maupuna dengan
orang lain di luar organisasi itu (Nabli dan Nugent, 1989).

Kelembagaan umumnya banyak dibahas dalam sosiologi,


antropologi , hukum dan politik, organisasi dan manajemen,
psikologi maupun ilmu lingkungan yang kemudian berkembang ke
dalam ilmu ekonomi karena hal tersebut, kini mulai banyak
ekonom berkesimpulan bahwa kegagalan pembangunan ekonomi
umumnya karena kegagalan kelembagaan.

Pendekatan ilmu biologi, ekologi atau lingkungan melihat


lembaga atau institusi dari sudut analisis system lingkungan
(ecosystem) atau sistem produksi dengan menekankan struktur dan
fungsi system produksi atau system lingkungan kemudian dapat
dianalisis keluaran serta kinerja dari system tersebut dalam
beberapa karakteristik atau kinerja (system performance atau

Page | 12
system properties) seperti produktivitas, stabilitas, sustainabilitas,
penyebaran dan kemerataanya.

Dari berbagai definisi yang ada, dapat kita rangkum


berbagai unsur penting dari kelembagaan, di antaranya adalah:

 Institusi merupakan landasan untuk membangun tingkah


laku sosial masyarakat
 Norma tingkah laku yangmengakar dalam masyarakat dan
diterima secara luas untuk melayani tujuan bersama yang
mengandung nilai tertentu dan menghasilkan interaksi
antar manusia yang terstruktur
 Peraturan dan penegakan aturan/hukum
 Aturan dalam masyarakat yang memfasilitasi koordinasi
dan kerjasama dengan dukungan tingkah laku, hak dan
kewajiban anggota
 Kode etik
 Kontrak
 Pasar
 Hak milik (property rights atau tenureship)
 Organisasi
 Insentif untuk menghasilkan tingkah laku yang diinginkan

Dari berbagai elemen di atas dapat kita lihat bahwa definisi


institusi atau kelembagaan didominasi oleh unsur-unsur aturan,
tingkah laku atau kode etik, norma, hukum dan faktor pengikat
lainnya antar anggota masyarakat yang membuat orang saling
mendukung dan bisa berproduksi atau menghasilkan sesuatu
karena ada keamanan, jaminan akan penguasaan atas sumber daya
alam yang didukung oleh peraturan dan penegakan hukum serta
insentif untuk mentaati aturan atau menjalankan institusi.

Page | 13
Perpaduan antara berbagai pendekatan ini bisa
menghasilkan analisis kelembagaan (institutional analysis) yang
memadai. Apa implikasi dari pembangunan atau penguatan
kelembagaan bagi pengembangan agroforestry ? Kelembagaan
(institusi) bisa berkembang baik jika ada infrastruktur
kelembagaan (institutional infrastructure), ada penataan
kelembagaan (institutional arrangements) dan mekanisme
kelembagaan (institutional mechanism).

Berbeda dengan pengembangan kelembagaan dalam bisnis,


perdagangan dan industri, pengembangan kelembagaan dalam
agroforestri cukup sulit mengingat kompleksnya komponen-
komponen dalam pengembangannya. Ada aspek ekologi,
teknologi, sistem produksi pertanian, pengelolaan hutan, sosial,
ekonomi dan politik. Terlepas dari kompleksitas permasalahan
yang ada, kelembagaan dan kebijakan yang berkaitan dengan
agroforestri tidak terlepas dari sejarah terbentuknya kelembagaan
yang relevan dengan komponen penyusun agroforestri, utamanya
kelembagaan pertanian dan kehutanan.
Aspek penting lain dari pewarisan kelembagaan
konvensional disipliner atau multidisipliner yang berasal dari
negara maju adalah semua kebijakan dan upaya penelitian dan
pengembangan ditujukan pada memaksimalkan keluaran produk
per satuan luasan lahan. Tujuan dari lembaga-lembaga ini adalah
memaksimalkan komponen secara individual, seperti misalnya
tanaman pangan, tanaman komersial, ternak dan pohon.

3.4 Arah Kebijakkan Dalam Pengembangan Agroforestry

Salah satu persoalan mendasar dari upaya pengembangan


agroforestri adalah sangat terbatasnya dukungan kebijakan
(policy) dan kemauan politik pemerintah dalam bidang ini. Tidak

Page | 14
ada sektor yang merasa bertanggung jawab dan berkewajiban
mengembangkan kebijakan agroforestri karena bidang ini lintas
disiplin dalam analisisnya dan sektoral dalam implementasinya.

Kebijakan adalah salah satu unsur vital dalam organisasi


atau lembaga apapun, apakah itu lembaga pemerintah, swasta,
lembaga pendidikan, LSM, donor, atau lembaga internasional,
bahkan dalam keluarga atau institusi informal sekalipun. Kebijakan
merupakan landasan untuk tindakan-tindakan nyata di lapangan.
Kebijakan ada pada setiap lembaga atau organisasi yang dapat
diturunkan dalam bentuk strategi, rencana, peraturan, kesepakatan,
konsensus dan kode etik, program dan proyek. Keberhasilan
kebijakan sangat ditentukan oleh proses pembuatannya dan
pelaksanaannya.

Ada berbagai pengertian tentang kebijakan. Di bawah ini,


diringkaskan beberapa pengertian kebijakan. Kebijakkan adalah
jalan atau cara bagi lembaga yang berperan sebagai pemegang
kewenangan publik (dalam hal ini pemerintah) untuk mengatasi
suatu permasalahan atau sekelompok permasalahan yang saling
berhubungan (Pal, 1992). Kebijakkaan adalah cara atau jalan yang
dipilih pemerintah untuk mendukung suatu aspek dari ekonomi
termasuk sasaran yang pemerintah cari untuk mencapainya dan
pemilihan metoda untuk mencapai tujuan dan sasaran itu (Elis,
1994).

Dari berbagai definisi kebijakan baik yang sederhana


maupun yang kompleks di atas kita bisa menghimpun unsur-unsur
utama dalam kebijakan. Kebijakan adalah kendaraan pemerintah
untuk berbuat yang baik bagi rakyatnya. Karena itu kebijakan
adalah untuk kepentingan umum (publik). Kebijakan dapat
dinyatakan dalam berbagai 1) instrumen legal (hukum) seperti
peraturan perundangan atau 2) instrumen ekonomi seperti

Page | 15
kebijakan fiskal, pajak, subsidi, harga, kebijakan keuangan,
moneter dan finansial; atau 3) petunjuk dan arahan atau instruksi
dan perintah; 4) pernyataan politik semata (political statement);
dan 5) kebijakan dapat dituangkan dalam garis-garis besar arah
pembangunan, strategi, rencana, program dan kemudian dapat
diterjemahkan ke dalam proyek dan rencana anggaran tertentu.

Dari berbagai definisi di atas, beberapa elemen penting dari


kebijakan yaitu:

Masalah yang akan diatasi dengan kebijakan


Cara untuk mengatasi masalah tersebut
Tujuan yang akan dicapai
Kepentingan yang diinginkan
Aktor yang akan melakukannya
Instrumen atau perangkat untuk melaksanakan kebijakan
Aturan untuk menggunakan instrumen tersebut

Kebijakan adalah intervensi pemerintah (dan publik) untuk


mencari cara pemecahan masalah dalam pembangunan dan
mendukung proses pembangunan yang lebih baik.
Masalah dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok
utama: 1) masalah yang dapat diatasi dan harus diatasi dan 2)
masalah yang tidak bisa diatasi namun harus disesuaikan. Dengan
melihat dua kategori ini dapat kita identifikasi dan definisikan
masalah secara lebih tepat. Seringkali orang membuat suatu daftar
masalah tetapi ternyata sebagian besar tidak bisa atau bahkan tidak
mungkin diatasi.

Masalah yang dapat diatasi misalnya tanah tidak subur.


Mengatasinya tentu ada macam-macam pilihan. Masalah yang
tidak bisa diatasi namun harus disesuaikan adalah curah hujan.

Page | 16
Kita tidak bisa mengatasi jumlah atau intensitas dan waktu
turunnya hujan di sini kita harus menyesuaikan. Namun kalau
kekurangan air mungkin bisa diatasi secara teknis dengan
pemberian air irigasi dan kalau kelebihan air bisa dengan drainase.

Kebijakan pemerintah untuk pengembangan agroforestri


dapat kita nyatakan sebagai cara dan tindakan pemerintah untuk
mengatasi masalah kerusakan hutan dan produktivitas pertanian
serta ekosistemnya, serta permasalahan lingkungan yang
mempengaruhi produktivitas dan keberlanjutan sistem produksi
pertanian dan atau kehutanan. Pertanian di sini mencakup dimensi
yang luas termasuk perikanan, peternakan dan perkebunan serta
hortikultura dan tanaman pangan. Lingkungan dalam hal ini
termasuk lingkungan darat dan perairan. Jika kita berbicara
produktivitas tidak hanya dalam arti fisik (hasil per satuan luas
atau per satuan waktu) tetapi juga menyangkut kelembagaan pasar,
aspek sosial dan kesejahteraan masyarakat petani.

Saat ini menteri kehutanan menyampaikan lima prioritas


pembangunan kehutanan yang merupkan suatu produk kebijakkan.
Lalu ada pernyataan politik pemerintah bahwa perhutanan sosial
akan menjadi landasan atau jiwa dari seluruh model pengelolaan
hutan. Kenyataan juga menunjukkan bahwa perancanaan
kehutanan nasional (National Forest Plan atau NFP ) belum juga
selesai dibuat dan harus terus menerus diperbaiki. Akibatnya
instrumen yang dibuat juga harus berubah atau ditambah.

Sebagaimana disebutkan di atas kelembagaan dan


kebijakan adalah dua sisi dari satu mata uang. Ada kesamaan yang
perlu diperhatikan dalam memahami kelembagaan dan kebijakan,
yaitu:

 Memperhatikan atau menyangkut prilaku, norma, etika


dan nilai perorangan dan organisasi

Page | 17
 Dapat dituangkan dalam peraturan dan memerlukan
peraturan untuk implementasinya

 Memerlukan instrumen atau perangkat tertentu untuk


melaksanakannya
 Memerlukan wadah berupa pranata atau organisasi untuk
menjalankannya.
 Menjadi landasan yang fundamental untuk pembangunan.
 Implementasi memerlukan tindakan kolektif yang
memerlukan solidaritas dan kohesi antara anggota.
Pengembangan kebijakan dan kelembagaan perlu
dilakukan secara terpadu. Pengembangan kebijakan yang baik
tanpa didukung oleh pengembangan kelembagaan yang memadai
akan menghambat pengembangan dan keberlanjutan agroforestri.
Jika pemerintah tidak mendukung dengan kebijakan dan
kelembagaan yang memadai idealnya pengembangan wanatani
diserahkan saja kepada masyarakat sendiri. Namun persoalan akan
menjadi sulit karena komponen pemilikan tanah, alokasi kawasan
hutan yang mungkin diberikan kepada masyarakat atau perusahaan
dalam bentuk konsesi tidak bisa diakomodasi.

Agroforestri mempunyai fungsi sosial, ekologi dan


ekonomi. Dari fungsi-fungsi ini ada tiga kelompok kebijakan yang
perlu diperkuat untuk mendukung keseluruhan strategi, program
dan proyek pengembangan agroforestri. Kelompok kebijakan
tersebut tersebut adalah 1) Kebijakan di bidang pembangunan
ekonomi yang berbasis pada sumber daya pertanian dan
kehutanan, 2) Pengembangan kebijakan untuk pengembangan
institusi itu sendiri dan 3) Pengembangan kebijakan untuk
konservasi dan pelestarian hutan, rehabilitasi dan konservasi tanah-
tanah pertanian. Ketiga kelompok kebijakan ini menjadi payung

Page | 18
dari seluruh kebijakan, strategi dan program pengembangan
watanani (agroforestri).

Idealnya kebijakan agroforestri dikeluarkan secara


bersama oleh Departemen Pertanian, Kehutanan dan Perikanan dan
Kelautan. Kebijakan makro untuk pengembangan agroforestri
harus diwadahi oleh kebijakan lintas sektoral yang
pengembangannya nanti secara teknis dapat diterjemahkan oleh
masingmasing departemen sesuai dengan wilayah kerja, teknologi
dan sistem produksi yang akan dikembangkan dengan dukungan
agroforestri.

Pengembangan kebijakan agroforestri seharusnya


memperhatikan aspek-aspek kelembagaan, aspek ekonomi dan
pemasaran serta aspek konservasi dan pelestarian hutan dan
lingkungannya tanpa mengabaikan kondisi sosial dan budaya
setempat.

Sejauh ini kebijakan pemerintah yang cukup menarik


dalam mendukung pengembangan agroforestri yang adalah
penetapan kawasan wilayah di dalam wilayah hutan negara sebagai
Kawasan dengan Tujuan Istimewa (KDTI) di Krui, Lampung.
Masyarakat di daerah ini telah mengusahakan kebun damar secara
turun temurun di kawasan hutan adat yang juga merupakan hutan
negara. Model agroforestri di sini adalah agroforestri tradisional,
asli dan lokal tidak dikembangkan oleh pihak luar. Karena
masyarakat merasa keberatan kawasan ini ditetapkan pemerintah
sebagai kawasan hutan negara maka dengan SK Menteri
Kehutanan No. 47/Kpts-II/1998 ditetapkanlah areal seluas 29.000
ha sebagai KDTI. Walaupun tanah masih milik negara, ada
pengakuan pemerintah akan model pengelolaan yang dibangun
masyarakat sendiri yang memadukan upaya peningkatan
pendapatan dengan pengelolaan sumber daya hutan yang lestari.

Page | 19
Kebijakan ini sangat mendukung dan memberikan insentif
yang menarik bagi masyarakat untuk tetap mempertahankan
kawasan tersebut dengan memberikan hasil ganda: ekonomi dan
ekologis. Di sektor kehutanan, pemerintah juga pernah
mengeluarkan kebijakan untuk pengembangan tanaman pohon
serbaguna (Multi Purpose Tree Species=MPTS) dalam
pengelolaan hutan kemasyarakatan. Di sektor kehutanan
khususnya di Jawa pemerintah melalui Perum Perhutani telah
mengembangkan kebijakan pola tanam jati dengan tanaman
pangan dalam sistem tumpang sari.

3.5 Kondisi Pengelolaan Dan Pengembangan Agroforestry Dari


Su-

dut Pandang Berbagai Pihak

3.5.1 Sudut Pandang Pertanian dan Petani

Agroforest merupakan salah satu model pertanian


berkelanjutan yang tepat-guna, sesuai dengan keadaan petani.
Agroforest mempunyai fungsi ekonomi penting bagi masyarakat
setempat. Peran utama agroforest bukanlah produksi bahan
pangan, melainkan sebagai sumber penghasil pemasukan uang dan
modal. Misalnya: kebun damar, kebun karet dan kebun kayu manis
menjadi andalan pemasukan modal di Sumatra. Bahkan, agroforest
seringkali menjadi satusatunya sumber uang tunai bagi keluarga
petani. Agroforest mampu menyumbang 50 % hingga 80 %
pemasukan dari pertanian di pedesaan melalui produksi
langsungnya maupun tidak langsung yang berhubungan dengan
pengumpulan, pemrosesan dan pemasaran hasilnya. Singkat kata
system agroforestry dianggap sebagai kebun dapur yang dapat
memenuhi kebutuhan pangan dan modal bagi petani yang
memiliki kelenturan waktu panen jika dikelola dengan benar
waktu penanamannya.

Page | 20
3.5.2 Peladang

Bagi para peladang sudut pandang yang menganggap


keuntungan dari penerapan system agroforestry adalah keuntungan
berupa pembuatan dan pengelolaan agroforest hanya
membutuhkan nilai investasi dan alokasi tenaga kerja yang kecil.
Hal ini sangat penting terutama untuk daerah-daerah yang
ketersediaan tenaga kerja dan uang tunai jauh lebih terbatas dari
pada ketersediaan lahan, seperti yang umum terjadi di
wilayahwilayah perladangan berpindah di daerah beriklim tropika
basah. Kemudian tidak memerlukan teknologi canggih dalam
penerapannya, agroforest ini dapat dikelola tanpa teknologi yang
canggih tetapi bertumpu sepenuhnya pada pengetahuan tradisional
peladang mengenai lingkungan hutan mereka. Hasilnya, terdapat
perbedaan yang sangat nyata antara sistem agroforest yang lebih
menetap dengan sistem peladangan berpindah yang biasanya
melibatkan pemberaan dan membuka lahan pertanian baru di
tempat lain.

3.5.3 Kehutanan

Bagi sector kehutanan terdapat empat sudut pandang yang


sangat penting bagi sector ini dalam kepentingannya
mengembangkan system agroforestry. Yaitu sebagai beriku :

 Mekanisme sederhana untuk mengelola keanekaragaman.


 Pengembangan hasil hutan bukan kayu.
 Model alternative produksi kayu.
 Struktur agroforestry dan pelestarian sumber daya hutan :
konservasi in – situ dan eks – situ.

Page | 21
BAB IV

STUDY KASUS

Kasus 1. Contoh Kasus: Sejarah perkembangan kelembagaan


tataguna lahan

Struktur dasar kelembagaan yang berkaitan dengan tataguna lahan


di semua negara dunia sekarang ini sebetulnya berasal dari Eropa
dan Amerika Utara. Modernisasi pertanian dan kehutanan yang
terjadi di akhir abab 19 dan awal 20, mau tidak mau mengarah
kepada munculnya lembaga pemerintah maupun swasta untuk
mendukung para petani maupun perusahaan perkebunan. Pada saat
itu luas lahan masih berlimpah, karena itu peruntukan lahan
pertanian dan hutan terdapat pada kawasan yang terpisah.
Pemisahan ini akhirnya juga berlanjut pada pemisahan
kelembagaan pendukungnya, pertanian dan kehutanan. Kedua
tataguna lahan tersebut mempunyai tujuan berbeda, memerlukan
profesional dengan ketrampilan yang berbeda, dan seringkali juga
dikelola oleh pemilik yang berbeda (petani, negara atau perusahaan
swasta), sehingga perlu dikelola oleh lembaga yang berbeda pula.
Sangat masuk akal jika kelembagaan pertanian dan kehutanan
berkembang secara mandiri. Anehnya di negara berkembang,
model kelembagaan hasil warisan kolonial masih tetap
dipertahankan di era pasca-kemerdekaan.

Sebagai akibat pemisahan kelembagaan, terjadi perkembangan


sebagai berikut:
 perbedaan dan pemisahan peraturan (produk hukum) dan
kebijakan yang mengatur penggunaan lahan pertanian
maupun hutan;
 terpisahnya lembaga pelatihan, pendidikan dan penelitian,
penyuluhan;

Page | 22

pertanian dan kehutanan umumnya di bawah kementerian
(Di Indonesia disebut Departemen) yang berbeda ataupun
jika dalam satu kementerian, di bawah departemen
(Direktorat Jenderal di Indonesia) yang berbeda.
( Sumber : Djogo, 2003 )

Kasus 2. Contoh kasus hutan kemasyarakatan di Sesaot


Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Dengan didampingi oleh sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat


(LSM) yang bekerjasama dengan Dinas Kehutanan Propinsi
NTB, masyarakat mengembangkan model hutan kemasyarakatan
(HKM) sebagai pelaksanaan SK Menteri Kehutanan No.
677/1998. Pengembangan HKM bukan hanya untuk pengelolan
hutan semata, tetapi mendorong pembentukan dan pengembangan
institusi penunjang berupa sebuah kelompok tani yang dinamakan
Kelompok Mitra Pengaman Hutan (KMPH). Kelompok ini terdiri
dari anggota masyarakat dan didukung penuh oleh pemerintah
dan anggota masyarakat. Tugas kelompok ini selain
mengamankan hutan juga memfasilitasi anggota HKM dalam
pertemuan, pertukaran informasi, pengalaman dan teknologi.
Sebelum reformasi berlangsung, kelompok ini cukup efektif
dalam mengamankan hutan termasuk menangkap oknum aparat
militer yang terlibat dalam pencurian kayu. Anggota masyarakat
dari daerah lain tidak bisa masuk merambah atau mencuri kayu di
kawasan hutan lindung yang dijadikan model HKM.

Ternyata setelah reformasi, masyarakat dari daerah lain masuk


merambah dan pencurian kayu menjadi tidak terkendali. Pihak
luar menganggap bahwa KMPH adalah lembaga informal dan
tidak syah serta tidak berlaku bagi orang diluar anggotanya atau
masyarakat desa yang menjadi anggota KMPH. Keterbatasan
lahan di daerah lain menyebabkan masyarakat dari daerah lain
masuk dan menganggap bahwa reformasi adalah masa
kemerdekaan kedua. Mereka menganggap lahan atau kawasan

Page | 23
hutan adalah milik rakyat Indonesia yang boleh dinikmati
sebebasnya.

Program HKM ini mengggunakan pendekatan kelembagaan


(KMPH) dan teknologi agroforestri dengan perpaduan antara
tanaman keras dan tanaman serba guna (Multipurpose trees and
Shrubs Species) dengan tanaman pangan.
( Sumber : Djogo, 2003 )

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

1. Agroforestry adalah system dan teknologi penggunaan


lahan yang meningkatkan produksi lahan secara
keseluruhan, dengan mengkombinasikan produksi jenis
tanaman berkayu dengan tanaman pertanian dan atau
ternak maupun tambak dengan cara pengaturan ruang atau
waktu dan menggunakan praktek pengelolaan yang sesuai
dengan praktek usaha tani setempat.
2. Secara umum peran social dalam pengembangan
agroforestry adalah memberikan aksessibilitas terhadap
masyarakat luas untuk ikut merasakan manfaat dalam
mendayagunakan hutan dan sumber daya hutan. Adapun
peran aspek social dalam pengembangan system
agroforestry diwakilkan oleh aspek kebijakkan dan
kelembagaan yang secara umum berperan mengatur
agroforestry secara umum agar sesuai dengan perencanaan
dan tujuan mendasar yang ingin dicapai system
agroforestry.

Page | 24
5.2 Saran

1. Ikut menanamkan rasa memiliki hutan kepada masyarakat


agar senantiasa mau ikut melestarikan hutan dan isinya.
2. Agroforestry melibatkan system pertanian yang kompleks
sehingga perlu dilakukan pembinaan dan penyuluhan
terhadap petani terkait dengan system pembudidayaan dan
perawatan tanaman kehutanan.
3. Perlunya memberikan pemahaman terhadap petani terkait
dengan pengaturan ruang dan waktu dalam penanaman.
Daftar Pustaka
Djogo Tony, dkk. 2003. Kelembagaan dan Kebijakkan dal-
am Pengembangan Agroforestry. ICRAF. Bogor
Khairiah Kurniatun, dkk. 2010. Sistem Agroforestry Di In-
donesia. Bahan Ajar.
Mantra Oki. 2011. Makalah Agroforestry. http//:makalah-
agroforestry-okimantra.blogspot.com (25-11-2013)

Page | 25
Catatan

Page | 26

Anda mungkin juga menyukai