Anda di halaman 1dari 4

Cerpen budaya

“Ayo kejar!” Teriak seorang bocah dengan berlari menuju kerumunan


orang.
“Tunggu kita dong, kan tadi kita yang ngajakin kamu kesini!” Balas
segerombolan anak yang tergopoh-gopoh mengejar bocah itu.
“Kalian lelet kayak siput sih! Hahahaha.....” Sahut bocah itu dengan
santainya duduk direrumputan.
“Kita kan capek ngejar kamu. Kalau jalan pelan-pelan emang nggak
bisa ya?” Tanya seorang anak berambut ikal, hitam nan lebat dengan
mata bulat dan pipi bakpao yang diketahui bernama Diki.
“Hahahaha makanya punya badan nggak usah gede-gede!” celetuk
Dava, anak berkulit sawo matang, rambut lurus hitam, dan kurus
“hah..hah..hah.. besok lagi kita nggak ajak kamu kesini aja lah kalau
kamu ninggalin kita!” Ancam Devan, anak dengan mata sipit, kulit
putih, rambut hitam lurus, dan tinggi.
“hehehehehehe kan aku maunya cepat sampai, jadi.... ya aku lari
duluan biar nyampe dulu.” Jawab bocah itu.
“Ya udah lah kalau gitu mending kita nonton aja! Nanti keburu habis
lagi.” Ajak seorang anak berkulit putih, pendek, hidung pesek, dan
berambut keriting bernama Dodo.
“Yaudah makanya ayo buruan kak!” menarik tangan teman-temannya
untuk memecah dikerumunan.
Dengan susah payah mereka membelah kerumunan untuk menonton
wayang kulit yang dari kemarin sudah menjadi buah bibir seluruh
penjuru desa.
Seorang bocah 5 tahun dengan berani menerjang kerumunan hanya
untuk menonton kesenian wayang golek yang hanya bisa dilihatnya
jika ada orang kaya yang menyewa, dan hari ini adalah hari
pertamanya melihat seperti apa pertunjukan wayang golek yang
sering ia tonton di tv saat kakeknya ikut menonton. Bukan karena ia
suka menonton namun karena kakeknyalah ia menonton. Pasalnya
kakeknya adalah seorang kakek yang tidak mau mengalah dengan
cucunya yang masih berumur 5 tahun ini. Jadi mau tidak mau bocah
yang bernama Tegar ini ikut menontonnya.

“Kak, ayo kita duduk disini! Aku bisa melihat wayang dengan jelas.”
Menarik tangan salah satu temannya untuk duduk dengan
melemparkan senyum manisnya.
“iya, ini mau duduk.” Sahut Diki dengan diikuti teman-temannya
duduk disamping Tegar.

Setelah alunan musik terdengar sayu menandakan berakhirnya cerita


wayang golek tersebut Tegar dan teman-temannya pulang untuk
mandi karena matahari hampir menghilang.
“Gar, kamu berani nggak pulang sendiri? Rumah kamu paling deket
dari sini jadi kamu pulang sendiri ya!” ucap Devan sambil berdiri
mengusap pantat karena kotor duduk direrumputan.
“Iya aku berani kok kak. Jangan khawatir aku langsung pulang
soalnya aku juga udah laper hehehe...” sahut Tegar dengan
cengengesan.
“Yaudah kalau gitu kita pulang dulu ya. Besok kita main lagi!” Ucap
Dava berlalu pergi.
“Oke kakak, sampai ketemu besok! Besok aku dijemput lagi ya!”
sahut Tegar melambaikan tangan.
“Iya... Besok kita jemput. Sana pulang, nnti dicariin ibumu lho!”
Teriak Dodo yang sudah menjauh.
“Iya kak!” balas Tegar tak kalah berteriak.
Tegar setengah berlari untuk pulang karena langit semakin gelap. Tak
mau membuat khawatir kedua orang tuanya dan ingin cepat-cepat
makan untuk mengisi perutnya yang dari tadi sudah bergemuruh.
Saat sampai diujung pekarangan, Tegar melihat ibunya yang duduk
didepan rumah bersama ayahnya. Terlihat raut cemas menanti anak
semata wayangnya pulang.
“Baru pulang sayang? Kamu berani pulang sendiri?” tanya ibu datang
menghampiri si bocah kecil itu.
“Ya berani dong Bu. Aku kan sudah besar. Tadi aku nonton wayang
golek sama teman-teman jadinya pulangnya kesorean. Hehehehe...”
jawab Tegar panjang lebar dengan cengengesan.
“Yaudah ayo masuk, mandi dulu baru makan ya nak!” ucap ayah
menggandeng tangan bocah itu.
“Ayah tadi aku nonton wayang golek lho, tadi ada musiknya juga.
Aku suka pas liat wayangnya itu berantem. Seru banget pokoknya!”
cerocos Tegar yang masih terbawa alur cerita wayang.
“Iya iya sekarang mandi dulu ya!” ujar ibu menuntun tegar masuk ke
kamar mandi.

Setelah mandi dan makan Tegar menghampiri ayah dan kakeknya


untuk menonton tv.
“Jadi Tegar sudah suka sama wayang sekarang?” tanya kakek sambil
mengelus-elus kepala Tegar.
“Emmmmm iya kali ya hahahhaha... Aku sih lebih suka lihat
langsung dari pada lihat di tv kek.” Sahut Tegar yang masih
menonton film kartun kesukaannya.
“ wayang itu kesenian warisan dari leluhur kita sayang, kita harus
melestarikannya agar tidak punah dimakan waktu. Kesenian itu sudah
ada sejak jaman kerajaan dulu dan Sampai sekarang masih
dilestarikan agar anak cucu penerus bangsa bisa terus mengenalnya.”
Jelas ayah lembut mengusap pundak anaknya.
“Iya tegar tau kok. Sekarang Tegar juga sudah suka sama wayang jadi
Tegar mau melestarikan budaya bangsa Indonesia!” seru Tegar berdiri
ala pemain sepak bola sedang menyanyikan lagu Indonesia raya.
“hahaha iya sayang, kita sebagai warga negara Indonesia yang punya
banyak kesenian, budaya dan adat harus bisa menghormati dan
melestarikannya bukan hanya sekedar tahu saja.” Tambah ibu dengan
senyum mengembang.
“ohhh gitu ya Bu, yaudah Tegar mau jadi dalang aja ya Bu biar Tegar
bisa melestarikan budaya Indonesia.” Ucap Tegar dengan mata
berbinar.
“iya sayang apapun yang kamu cita-citakan ibu akan mendukungnya.
Tegar harus jadi anak yang rajin dan bisa melestarikan budaya bangsa
ya!” ujar ibu mengelus kepala Tegar.
“siap laksanakan!” jawab Tegar seraya hormat bendera.
Gelagak tawapun terdengar keras karena mentertawakan tingkah anak
5 tahun yang pandai ini.

Anda mungkin juga menyukai