Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

HUKUM KEPAILITAN
Dosen : Dr. Tito Sofyan

ANALISIS KASUS KEPAILITAN PT. CIPTA TELEVISI


PENDIDIKAN INDONESIA

Disusun Oleh:
Davied Marhot Purba
(B2B020005)

PASCA SARJANA
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perusahaan didirikan pasti dengan tujuan untuk menjalankan perusahaan atau
menjalankan bisnis dengan tujuan untuk mendapat keuntungan dari kegiatan bisnis tersebut.
Untuk melakukan kegiatan bisnis atau menjalankan perusahaan tersebut diperlukan modal.
Modal tersebut dapat berasal dari pemilik atau pemegang saham perusahaan yang bersangkutan
dalam bentuk penyertaan atau ekuitas (equity) dan pinjaman (loans) dari pihak ketiga. Dalam
praktik atau dunia bisnis, berutang bukanlah sesuatu hal yang salah dan tabu, bahkan sangat
lazim. Perusahaan yang didirikan oleh negara sendiri, seperti Perusahaan Perseroan (Persero)
yang modalnya dapat sebagian atau seluruhnya berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan
juga melakukan hal yang sama. Selama perusahaan yang bersangkutan masih dapat membayar
utang tersebut, tidak ada yang salah dengan utang tersebut (solvabel). Dapat dikatakan bahwa
semua perusahaan besar memiliki utang yang besar. Masyarakat umum berpandangan, makin
besar perusahaan yang bersangkutan akan makin besar pula utang perusahaan yang
bersangkutan. Namun permasalahannya akan menjadi lain apabila perusahaan yang berutang
tersebut tidak mampu lagi membayar utangutangnya. Di sini terjadi suatu keadaan tidak mampu
membayar utang.
Dalam kondisi suatu perusahaan yang sudah tidak mampu lagi membayar
hutanghutangnya, maka dapat diajukan suatu upaya hukum berupa pengajuan pailit oleh
kreditornya maupun perusahaan yang berutang sebagai debitor apabila syarat-syarat dari
kepailitan itu terpenuhi dan dilakukan dengan mekanisme yang sesuai dengan undang-undang.
Kepailitan atau pailit merupakan kata yang berasal dari bahasa Perancis “failite” yang berarti
kemacetan pembayaran, dan bahasa Belanda menggunakan istilah “failliet”. Secara tata bahasa,
kepailitan diartikan sebagai suatu proses yang berhubungan dengan pailit. Menurut Imran
Nating, kepailitan diartikan sebagai suatu proses di mana seorang debitor yang mempunyai
kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini
pengadilan niaga, dikarenakan debitor tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta debitor
dapat dibagikan kepada para kreditor sesuai dengan peraturan pemerintah. Menurut Ensiklopedi
Ekonomi Keuangan dan Perdagangan sebagaimana dikutip oleh Munir Fuady, disebutkan bahwa
yang dimaksud dengan pailit atau bangkrut, antara lain adalah seseorang yang oleh pengadilan
dinyatakan bangkrut dan yang aktivanya atau warisannya telah diperuntukan untuk membayar
hutang-hutangnya1 . Pengertian kepailitan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang pasal 1 ayat (1) adalah: “sita
umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh
kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”
Syarat-syarat untuk mengajukan pailit terhadap suatu perusahaan telah diatur dalam pasal
2 UU No. 37 Tahun 2004. Dari syarat pailit yang diatur dalam pasal tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa syarat yuridis agar dapat dinyatakan pailit adalah:
1. Adanya hutang
2. Mininal satu dari hutang sudah jatuh tempo
3. Minimal satu dari hutang dapat ditagih
4. Adanya debitor
5. Adanya kreditor lebih dari satu
6. Pernyataan pailit dilakukan oleh pengadilan khusus yang disebut dengan “pengadilan niaga”
7. Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh pihak yang berwenang
8. Dan syarat-syarat yuridis lainnya yang disebutkan dalam Undang-Undang Kepailitan.

Apabila syarat-syarat terpenuhi, hakim “menyatakan pailit” bukan “dapat dinyatakan


pailit” Sehingga dalam hal ini kepada hakim tidak dapat diberikan ruang untuk memberikan
“judgement” yang luas. Dalam pengajuan pailit terhadap debitor oleh kreditor maka harus
memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 2 UU Nomor 37 Tahun 2004. Seperti pada perkara
kepailitan atas PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia, Pengadilan Niaga mengabulkan
permohonan pailit Crown Capital terhadap PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia karena
dianggap telah memenuhi syarat pembuktian sederhana sebagaimana ditentukan Pasal 8 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 37 Tahun tentang Kepailitan dan PKPU. Namun, argumen majelis
hakim pengadilan niaga ini akhirnya dianulir melalui putusan kasasi Nomor 834 K/Pdt. Sus/2009
tanggal 15 Desember 2009 dengan menyatakan bahwa eksistensi adanya utang a quo ternyata
masih dalam konflik sebab masih diperdebatkan dan dipermasalahkan. Oleh karena itu
persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) jo. Pasal 2
ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU tidak dapat
dipenuhi sehingga permohonan pernyataan pailit dari Pemohon Pailit harus ditolak.
B. Permusan Masalah
Dari uraian singkat yang telah dikemukakan diatas, penulis dapat merumuskan beberapa
permasalahan yang akan dibahas dalam Makalah ini adalah Menganalisis Pertimbangan Hakim
dalam Putusan Kasus Kepalitan Pt. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI)

BAB II
TINJAUAN HUKUM KEPAILITAN
A. Pengertian Umum Kepailitan
Secara tata bahasa, kepailitan berarti segala hal yang berhubungan dengan “pailit”. Jika
kita baca seluruh ketentuan yang dalam UndangUndang Kepailitan, kita tidak akan menemui
satu rumusan atau ketentuan dalam Undang-Undang Kepailitan yang menjelaskan pengertian
maupun definisi dari kepailitan atau pailit.12 Kepailitan adalah suatu sitaan dan eksekusi atau
seluruh kekayaan si debitor (orang-orang yang berutang) untuk kepentingan semua
kreditorkreditornya (orang-orang berpiutang). Pengertian kepailitan di Indonesia mengacu pada
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, yang dalam Pasal 2 menyebutkan: (1) Debitor yang mempunyai dua atau
lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat
ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun
atas permohonan satu atau lebih kreditornya. (2) Permohonan dapat juga diajukan oleh kejaksaan
untuk kepentingan umum. Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa yang dimaksud
dengan kreditor dalam ayat ini adalah baik kreditor konkuren, kreditor separatis, maupun
kreditor preferen. Khusus mengenai kreditor separatis dan kreditor preferen, mereka dapat
mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang
mereka miliki terhadap harta debitor dan haknya untuk didahulukan.13 Dasar hukum Hukum
Kepailitan Indonesia tidak hanya yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004,
tetapi juga segala sesuatu yang berkaitan dengan kepailitan yang diatur dan tersebar di berbagai
peraturan perundang-undangan. Asas hukum Hukum Kepailitan Indonesia secara umum diatur
dalam Pasal 1131 KUH Perdata dan asas khusus dimuat dalam Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.14 Dalam
hubungan dengan peraturan perundang-undangan kepailitan, peraturan dimaksud juga berfungsi
untuk melindungi kepentingan pihakpihak terkait dalam hal ini Kreditor dan Debitor, atau juga
masyarakat. Mengenai hal ini, penjelasan umum Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
menyebutkan beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan
kewajiban pembayaran utang. Faktor-faktor dimaksud yaitu:
1. Untuk menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa
kreditor yang menagih piutangnya dari debitor
2. Untuk menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya
dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para
kreditor lainnya
3. Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang
kreditor atau debitor sendiri. Misalnya, debitor berusaha untuk memberi keuntungan kepada
seorang atau beberapa orang kreditor tertentu sehingga kreditor lainnya dirugikan, atau adanya
perbuatan curang dari debitor untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk
melepaskan tanggung jawabnya terhadap para keditor.
Kepailitan ini tidak hanya menimpa pada orang perorangan namun juga pada suatu
perusahaan. Suatu perusahaan yang dinyatakan pailit pada saat ini akan membawa dampak dan
pengaruh buruk, bukan hanya pada perusahaan itu saja namun juga dapat berakibat global. Oleh
sebab itu, lembaga kepailitan merupakan salah satu kebutuhan pokok di dalam aktivitas bisnis
karena adanya status pailit merupakan salah satu sebab pelaku bisnis keluar dari pasar. Apabila
pelaku bisnis sudah tidak mampu lagi untuk bermain di arena pasar, maka dapat keluar dari
pasar. Di dalam hal seperti inilah kemudian lembaga kepailitan itu berperan.
Hukum Kepailitan Indonesia sebagai sub sistem dari Hukum Perdata Nasional harus
merupakan suatu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata ( hukum perdata materiil) dan
hukum acara perdata (hukum perdata formil). Hukum kepailitan Indonesia sebagaimana dimuat
dalam UU Nomor 37 Tahun 2004 dan peraturan perundang-undangan lainnya, selain memuat
hukum materiil juga memuat hukum formil. Namun mengenai hukum acaranya, tidak diatur
secara rinci. Dengan demikian, berdasarkan asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis
berlakulah Hukum Acara Perdata Perdata sebagaimana diatur dalam : 1. Reglemen Indonesia
yang diperbarui (het herziene indonesisch reglement) S.Tahun 1941-4 disingkat RID/HIR 2.
Reglemen Hukum Acara untuk daerah luar jawa dan madura (Regeling Van Het Rechtswezen In
De Gewesten Biuten Java en Madura) S. Tahun 1927-227 disingkat RBg 3. Reglemen Acara
Perdata(Reglement op de Rechtsverordening) S.Tahun 1847-52 jo S. Tahun 1847-52 jo S.Tahun
1849-63 disingkat Rv Hukum Kepailitan Indonesia tidak membedakan kepailtan orang
perseorangan dengan kepailitan badan hukum. Hukum Kepailitan Indonesia sebagaimna
dieleborasi dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, mengatur keduanya, baik kepailitan
orang perseorangan maupun kepailitan badan hukum. Apabila dalam Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tidak cukup diatur mengenai kepailitan orang perseorangan meupun kepailitan
badan hukum, maka digunakanlah peraturan perundang-undangan yang lain sebagai dasar
hukum.17 Secara keseluruhan, kepailitan dapat diartikan sebagai sita umum atas harta kekayaan
debitor baik yang pada waktu pernyataan pailit maupun yang diperoleh selama kepailitan
berlangsung untuk kepentingan semua kreditor yang pada waktu kreditor dinyatakan pailit
mempunyai hutang, yang dilakukan dengan pengawasan pihak yang berwajib. Yang dimaksud
pengawasan pihak berwajib tersebut adalah, proses pemberesan dan pengurusan harta pailit yang
dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas. Apabila seorang debitor (yang
utang) dalam kesulitan keuangan, tentu saja para kreditor akan berusaha untuk menempuh jalan
untuk menyelamatkan piutangnya dengan jalan mengajukan gugatan perdata kepada debitor
kepengadilan dengan disertai sita jaminan atas harta si debitor atau menempuh jalan yaitu
kreditor mengajukan permohonan ke pengadilan agar si debitor dinyatakan pailit.18 Jika kreditor
menempuh jalan yang pertama yaitu melalui gugatan perdata, maka hanya kepentingan
kreditor/si penggugat saja yang dicukupi dengan harta si debitor yang disita dan kemudian
dieksekusi pemenuhan piutang dari kreditor, kreditor lain yang tidak melakukan gugatan tidak
dilindungi kepentingannya. Adalah lain halnya apabila kreditor-kreditor memohon agar
pengadilan menyatakan debitor pailit, maka dengan persyaratan pailit tersebut, maka jatuhlah
sita umum atas semua harta kekayaan debitor dan sejak itu pula semua sita yang telah dilakukan
sebelumnya bila ada menjadi gugur.
B. Syarat-Syarat Permohonan Pernyataan Pailit
Syarat-syarat permohonan pailit sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Syarat Adanya Dua Kreditor atau Lebih (concurcus creditorium)
Syarat bahwa debitor harus mempunyai minimal dua kreditor, sangat terkait dengan
filosofis lahirnya hukum kepailitan. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa
hukum kepailitan merupakan realisasi dari Pasal 11132 KUH Perdata. Dengan adanya pranata
hukum kepailitan, diharapkan pelunasan utang-utang debitor kepada kreditor-kreditor dapat
dilakukan secara seimbang dan adil. Setiap kreditor (konkuren) mempunyai hak yang sama
untuk mendapatkan pelunasan dari harta kekayaan debitor. Jika debitor hanya mempunyai satu
kreditor, maka seluruh harta kekayaan debitor otomatis menjadi jaminan atas pelunasan utang
debitor tersebut dan tidak diperlukan pembagian secara pro rata dan pari passu. Dengan
demikian, jelas bahwa debitor tidak dapat dituntut pailit, jika debitor tersebut hanya mempunyai
satu kreditor. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, mencantumkan pengertian dari debitor dalam Pasal 1 angka 3
yaitu: Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang
pelunasanyya dapat ditagih di muka pengadilan. Bagian penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, memberikan definisi kreditor yang dapat mengajukan permohonan pailit adalah: Yang
dimaksud dengan “kreditor” dalam ayat ini adalah baik kreditor konkuren, kreditor separatis
maupun kreditor preferen. Khusus mengenai kreditor separatis dan kreditor preferen, mereka
dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan
yang mereka miliki terhadap harta debitor dan haknya untuk didahulukan. Secara umum, ada 3
(tiga) macam kreditor yang dikenal dalam KUH Perdata, yaitu sebagai berikut:
a. Kreditor Konkuren Kreditor konkuren ini diatur dalam Pasal 1132 KUH Perdata. Kreditor
konkuren adalah para kreditor dengan hak pari passu dan pro rata, artinya para kreditor secara
bersama-sama memperoleh pelunasan (tanpa ada yang didahulukan) yang dihitung berdasarkan
pada besarnya piutang masing-masing dibandingkan terhadap piutang mereka secara
keseluruhan, terhadap seluruh harta kekayaan debitor tersebut. Dengan demikina, para kreditor
konkuren mempunyai kedudukan yang sama atas pelunasan utang dari harta debitor tanpa ada
yang didahulukan.
b. Kreditor Preferen (yang diistimewakan) Yaitu kreditor yang oleh undang-undang, semata-
mata sifat piutangnya, mendapatkan pelunasan terlebih dahulu. Kreditor preferen merupakan
kreditor yang mempunyai hak istimewa, yaitu suatu hak yang oleh undang-undang diberikan
kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tingi daripada orang berpiutang lainnya,
semata-mata berdasarkan sifat piutangnya (Pasal 1134 KUH Perdata)
c. Kreditor Separatis Yaitu kreditor pemegang hak jaminan kebendaan in rem, yang dalam KUH
Perdata disebut dengan nama gadai dan hipotek. Pada saat ini, sistem hukum jaminan Indonesia
mengenal 4 (empat) macam jaminan, antara lain:
1) Hipotek Hipotek diatur dalam Pasal 1162 s.d Pasal 1232 Bab XXI KUH Perdata, yang pada
saat ini hanya diberlakukan untuk kapal laut yang berukuran minimal 20m3 dan sudah terdaftar
di Syahbandar serta pesawat terbang.
2) Gadai Gadai diatur dalam Pasal 1150 s.d Pasal 1160 Bab XX KUH Perdata yang diberlakukan
terhadap benda-benda bergerak. Dalam sistem jaminan gadai, seorang pemberi gadai (debitor)
wajib melepaskan penguasaan atas benda yang akan dijaminkan tersebut kepada penerima gadai
(kreditor)
3) Hak Tanggungan Hak tanggungan diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Thaun 1996
tentang Hak Tanggungan atas Tanag beseat Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, yang
merupakan jaminan atas hak- hak atas tnah tertentu berikut kebendaan yang melekaat di atas
tanah
4) Fidusia Hak fidusia diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia, yang objek jaminannya berupa bendabenda yang tidak dapat dijaminkan dengan gadai,
hipotek, dan hak tanggungan.

BAB III
PEMBAHASAN
Berdasarkan bunyi Pasal 2 ayat 1, yang menyatakan bahwa “debitor yang mempunyai
dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu
dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri
maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di
atas, maka syarat-syarat yuridis agar suatu perusahaan dapat dinyatakan pailit adalah sebagai
a) Adanya utang
b) Minimal satu utang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih
c) Adanya Kreditur lebih dari satu
d) Pernyataan pailit dilakukan oleh pengadilan khusus yang disebut dengan “Pengadilan Niaga”
e) Syarat-syarat yuridis lainnya yang disebutkan dalam Undang Undang Kepailitan.
Bunyi Pasal 2 ayat (1) tersebut bersifat kumulatif, yang artinya syarat-syarat debitor untuk dapat
dinyatakan pailit harus memenuhi semua unsur di atas. Apabila syarat-syarat terpenuhi, hakim
”harus menyatakan pailit”, bukan “dapat menyatakan pailit”, sehingga dalam hal ini kepada
hakim tidak diberikan ruang untuk memberikan “judgement” yang luas seperti pada perkara
lainnya.
Penulis akan menganalisa kepailitan TPI terutama mengenai terpenuhi atau tidaknya persyaratan
yang tercantum dalam pasal 2 ayat (1) UUK 2004 sekaligus pasal 8 ayat (4) mengenai asas
pembuktian sederhana. Adapun uraian dari unsur-unsur pasal 2 ayat (1) adalah sebagai berikut:
a) Minimal ada 2 kreditur atau lebih.
Dalam pasal 1 butir 2 UUK 2004, kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena
perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih dimuka pengadilan. Dalam kasus kepailitan
TPI, permohonan pailit diajukan oleh Crown Capital Global Limited yang diwakili oleh kuasa
hukumnya Ibrahim Senen. Untuk terpenuhinya unsur-unsur pasal 2 (1) UU No.37/2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), pemohon juga menyertakan
kreditur lainnya yakni Asian Venture Finance Limited.
Dengan demikian uraian tersebut diatas jelas terlihat bahwa syarat adanya minimal dua
kreditur atau lebih telah terpenuhi. Namun setelah proses perkara berjalan penulis menemukan
data mengenai adanya kekeliruan yang dilakukan oleh majelis hakim Pengadilan Niaga yaitu
ketentuan yang mengharuskan jumlah kreditur yang mengajukan pailit haruslah lebih dari dua.
Tapi, ada kejanggalan, hanya ada satu kreditur, PT Crown Capital Global Limited (CCGL).
Sementara, kreditur lain yang disebutkan yakni Asian Venture Finance Limited, dinilai
perusahaan ‘buatan’ atau fiktif, yang tidak bisa dimasukan dalam kategori kreditur. Asian
Venture Limited (AVL) yang jelas-jelas tidak lagi memiliki tagihan kepada TPI, tetapi tetap saja
diterima oleh majelis hakim di Pengadilan Niaga yang dipimpin oleh Maryana sebagai salah satu
kreditor. Intinya, perusahaan yang mengajukan pailit itu cuma ada satu.
Berdasarkan UUK 2004 Pasal 1 angka 6, Utang adalah kewajiban yang dinyatakan) atau
dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing,
baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul
karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak
dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan
Debitor. Utang merupakan kewajiban yang harus dilakukan atau dibayarkan oleh pihak lain,
dimana kewajiban dapat lahir dari Undang-undang dan perjanjian (pasal 1233 KUHPerdata). Jadi
pada dasarnya utang berarti dapat timbul dari undang-undnag maupun perjanjian.
Kemudian jika dikaitkan dengan kasus kepailitan TPI, Crown Capital Global Limited
(CCGL) yang berdiri di British Virgin Island yang mengaku memiliki subordinated bond (surat
utang) senilai 53 juta dollar AS dan Asian Venture Finance Limited (AVFL) yang berdiri di
British Virgin Island yang mengaku memiliki piutang ke TPI sebesar 10.350.000 dollar AS.
Kewajiban Subordinated Bonds sebesar USD 53 juta tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih
di luar bunga, denda, dan biaya lainnya. PT Crown menjadi kreditur TPI karena telah membeli
surat utang tersebut dari pemegang sebelumnya, yakni PT Fillago Limited pada tahun 2004.
Karena sudah mengantongi hak tagih itu, seharusnya TPI membayar utangnya, sejak jatuh tempo
berakhir. Surat utang yang diterbitkan pada tahun 1996 dengan masa berlaku 10 tahun sehingga
sudah jatuh tempo pada 24 Desember 2006, namun tidak kunjung dibayarkan. Dan juga utang
kepada kreditur lain yaitu Asian Venture Finance Limited dengan tagihan US$10,325 juta, di
luar bunga, denda, dan biaya lainnya.
Setelah hasil penyelidikan TPI menemukan bahwa CCGL memperoleh sub bond tersebut
dari Filago pada Tahun 2004, yang berdiri di British Virgin Island namun menggunakan alamat
di Wijaya Graha Puri Blok A No. 3-4 Jalan Wijaya 2 Jakarta Selatan. Filago Ltd. Memperoleh
sub bond tersebut dari Benmall Ltd. yang didirikan di British Virgin Island yang ternyata sudah
dilikuidasi tahun 1998. TPI menemukan bahwa AVFL telah menjual tagihannya ke PT.
Khatulistiwa Prima Citra dengan harga 1 dollar AS pada tahun 2003. Dengan demikian, seluruh
klaim tagihan CCCGL dan AVFL kepada TPI adalah tidak sah.
Utang terhadap PT Crown Diketahui bahwa dokumen-dokumen Sub Bond yang sudah
dilunasi oleh TPI diperjualbelikan dari Filago Ltd kepada CCGL pada 27 Desember 2004. Ini
menandakan bahwa dokumen asli Sub Bonds yang diambil oleh pemilik lama diperjualbelikan.
Transaksi jual beli Sub Bonds antara Filago Ltd dengan CCGL hanya menggunakan promissory
note sehingga tidak ada proses pembayaran. Belakangan diketahui bahwa Filago adalah
perusahaan yang beralamat di Wijaya Graha Puri Blok A No 3-4, Jalan Wijaya 2 Jakarta Selatan,
yang juga merupakan kantor dari salah satu pemilik lama. Semua transaksi pengalihan Sub Bond
tidak pernah diketahui dan dilaporkan ke TPI. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa
transaksi tersebut adalah ilegal. Berdasarkan RUPS TPI tanggal 21 Juli 2006, PT Media
Nusantara Citra (MNC) menjadi pemegang saham TPI sebesar 75 persen. Dalam laporan
keuangan TPI tidak pernah tercatat utang dalam bentuk Sub Bonds senilai USD53 juta.
Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh, CCGL tidak mempunyai legal standing yang
jelas karena CCGL sebagai penggugat pailit tidak jelas pemiliknya dan hanya memiliki modal
sebesar USD. 50.000 sehingga sangat tidak mungkin perusahaan yang tidak jelas bidang
usahanya mampu mempunyai piutang sebesar USD. 53.000.000. Domisili perusahaan tersebut
adalah di British Virgin Island, tapi menumpang alamat di Camelot Trust Pte. Ltd., di 14 Ann
Siang Rd Unit 02-01 Singapore dan semua pengurus perusahaan tersebut adalah nominee.
Selanjutnya dasar penerimaan kasus ini oleh Pengadilan Negeri terletak pada didasarkan pada
asumsi majelis hakim bahwa TPI tidak bisa memenuhi kewajiban membayar utang obligasi
jangka panjang (sub ordinated bond) senilai USD53 juta kepada Crown Capital Global Limited
(CCGL). Padahal, kata Marx, pengacara PT TPI, bukti-bukti yang diajukan penggugat untuk
mempailitkan TPI tidak berdasar dan penuh rekayasa. Sementara di lain pihak, CCGL menduga
ada rekayasa laporan keuangan PT TPI mengenai hak tagih USD 53 juta, di mana uang sebesar
itu adalah milik Santoro Corporation yang terafiliasi dengan PT Media Nusantara Citra (MNC).
Dalam penyelesaian suatu kasus kepailitan, dianut suatu asas pembuktian sederhana.
Menurut penulis, hal tersebut sejalan dengan tujuan dari hukum kepailitan yaitu untuk
kepentinagn dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka
dan efektif. Dengan dianutnya asas pembuktian sederhana seyogyanya salah satu tujuan dari
hukum kepailitan yaitu ”cepat” dapat tercapai. Kecepatan dalam menyelesaikan suatu kasus
kepailitan sangat penting, mengingat adanya pembatasan waktu pengucapan putusan Pengadilan
maksimal 60 hari sejak tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan.
Asas pembuktian sederhana terpenuhi apabila dalam suatu permohonan pernyataan pailit
terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa prasyarat pernyataan pailit
dalam pasal 2 ayat (1) UUK 2004 dapat terpenuhi. Jadi dapat disimpulkan, untuk memutus suatu
permohonan pernyataan pailit tidak hanya harus memenuhi prasyarat pernyataan pailit dalam
pasal 2 ayat (1) UUK 2004, akan tetapi harus pula terpenuhi asas pembuktian sederhana dalam
pasal 8 ayat (4) UUK 2004.
Sebagaimana telah diuraikan pada penjelasan sebelumnya, permohonan pailit TPI berdasarkan
keputusan pengadilan Negeri yang diajukan oleh Pemohon secara sederhana teleh terpenuhi
dalam pasal 2 ayat (1). Termohon mempunyai kreditur lebih dari satu yaitu Crown Capital
Global Limited dan Asian Venture Finance Limited.
Termohon tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih
kepada Crown Capital Global Limited (CCGL) yang berdiri di British Virgin Island yang
mengaku memiliki subordinated bond (surat utang) senilai 53 juta dollar AS dan Asian Venture
Finance Limited (AVFL) yang berdiri di British Virgin Island yang mengaku memiliki piutang
ke TPI sebesar 10.350.000 dollar AS.
Menurut Pengadilan Niaga, tuduhan kepailitan dikabulkan dengan alasan didasarkan pada
asumsi majelis hakim bahwa TPI tidak bisa memenuhi kewajiban membayar utang obligasi
jangka panjang (sub ordinated bond) senilai USD53 juta kepada Crown Capital Global Limited
(CCGL). Sementara dalam kenyataannya yang terjadi adalah :
Pada 1996, TPI yang masih dipegang Presiden Direktur Siti Hardiyanti Rukmana alias Mbak
Tutut mengeluarkan sub ordinated bond (Sub Bond) sebesar USD53 juta. Utang dalam bentuk
sub ordinated bond tersebut.
Di buat sebagai rekayasa untuk mengelabuhi publik atas pinjaman dari BIA. Marx
menjelaskan, rekayasa terjadi karena ditemukan fakta bahwa uang dari Peregrine Fixed Income
Ltd masuk ke rekening TPI pada 26 Desember 1996. Namun, selang sehari tepatnya 27
Desember 1996, uang tersebut langsung ditransfer kembali ke rekening Peregrine Fixed Income
Ltd. Setelah utang-utang itu dilunasi oleh manajemen baru TPI, dokumen- dokumen asli Sub
Bond masih disimpan pemilik lama yang kemudian diduga diambil secara tidak sah oleh Shadik
Wahono (yang saat ini menjabat sebagai Direktur Utama PT Cipta Marga Nusaphala Persada)
Terjadi transaksi Sub Bond antara Filago Ltd dengan CCGL dengan menggunakan
promissory note (surat perjanjian utang) sehingga tidak ada proses pembayaran. Semua transaksi
pengalihan Sub Bond berada di luar kendali TPI setelah Sub Bond berpindah tangan, sehingga
apabila CCGL menagih hutang dari Sub Bond, jelas-jelas illegal.
Melihat laporan CCGL, pihak Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
mengabulkan permohonan tuntutan dari CCGL untuk memailitkan TPI pada 14 Oktober 2009.
Pihak kuasa hukum PT TPI mencoba memberi klarifikasi yang sejujurnya disertai dengan bukt-
bukti otentik melalui segala macam transaksi yang tercatat di buku ATM Bank BNI 46 yang
menjadi ATM basis bagi perusahaan TPI. Dikatakan Marx Andriyan, bahwa pada tahun 1993
telah ditandatangani Perjanjian yang piutang antara TPI dengan Brunei Investment Agency
(BIA) sebesar USD50 juta. Atas instruki pemilik lama, dana dari BIA tidak ditransfer ke
rekening TPI tapi ke rekening pribadi pemilik lama, utaang piutang antara TPI dengan Brunei
Investment Agency (BIA) sebesar USD50 juta. Atas instruki pemilik lama, dana dari BIA tidak
ditransfer ke rekening TPI tapi ke rekening pribadi pemilik lama.
Dalam laporan keuangan TPI juga tidak pernah tercatat utang TPI dalam bentuk Sub
Bond senilai USD53 juta. Berdasarkan hasil audit laporan keuangan TPI yang dilakukan kantor
akuntan publik dipastikan bahwa di dalam neraca TPI 2007 dan 2008 juga tidak tercatat adanya
kreditur maupun tagihan dari CCGL. Seharusnya utang-hutang obligasi jangka panjang tercatat
di dalam pembukuan. Bahkan,kata Marx, pada 2007, MNC sebagai pemilik saham 75 persen di
TPI mencatatkan diri sebagai perusahaan terbuka (PT MNC Tbk).
Merasa tidak bersalah, PT TPI kemudian meminta peninjauan ulang atas masalah ini. Sesuai
prosedur, TPI membawa masalah ini ke tingkat Mahkamah Agung (MA). Setelah melakukan
tahap verifikasi (Pencocokan piutang), ditemukan banyak kekeliruan yang dilakukan oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yaitu Maryana selaku ketua majelis hakim dengan dua
anggotanya, Sugeng Riyono dan Syarifuddin. Beberapa kekeliruan yang dilakukan oleh majelis
hakim terdahulu :
1. Ketentuan yang mengharuskan jumlah kreditur yang mengajukan pailit haruslah lebih dari
dua. Tapi, dalam masalah ini, hanya ada satu kreditur, PT Crown Capital Global Limited
(CCGL). Sementara, kreditur lain yang disebutkan yakni Asian Venture Finance Limited, dinilai
perusahaan ‘buatan’ atau fiktif, yang tidak bisa dimasukan dalam kategori kreditur. Intinya,
perusahaan yang mengajukan pailit itu cuma ada satu,
2. Menjelaskan jika transaksi yang dilakukan atas obligasi jangka panjang (sub ordinated bond)
senilai USD53 juta tersebut bukanlah transaksi yang sederhana. Sedangkan dalam peraturan
tentang kepailitan jelas diungkapkan bahwa transaksi yang dapat diajukan pailit adalah transaksi
yang sederhana.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, maka TPI menganggap bahwa putusan PN Niaga
Jakpus sangat tidak berdasar dan merasa sangat dirugikan oleh perusahaan kecil yang domisili
hukum dan alamatnya tidak jelas. Hal ini sangat menganggu kelangsungan hidup perusahaan
(going concern) dan menimbulkan keresahan di kalangan karyawan serta pihak ketiga yang
mempunyai hubungan kerja dengan TPI dan pada akhirnya dapat menganggu pelayanan TPI
kepada masyarakat melalui siarannya.
TPI akhirnya melakukan kasasi untuk permohonan peninjauan kembali kasus tersebut
kepada Mahkamah Agung. Dari kasus tersebut, diperlihatkan bagaimana proses peradilan
Indonesia berjalan. Setelah proses verifikasi oleh Mahkamah Agung, kesalahan-kesalahan yang
belum teridentifikasi oleh Pengadilan Niaga mulai Nampak. Sedikit demi sedikit bukti
pembayaran tagihan utang oleh TPI dimunculkan dalam setiap persidangan kasasi. Dalam
laporan keuangan tersebut dikatakan, bahwa surat utang (obligasi) milik TPI sebesar US$53 juta
yang jatuh tempo pada tanggal 24 Desember 2006 telah berhasil dibayar. Lagipula, ada masalah
lain yang lebih kompleks tentang keberadaan surat-surat utang itu. Dengan meninjau kekeliruan-
kekeliruan tersebut, akhirnya Mahkamah Agung memutus kasus tersebut dan menyatakan bahwa
TPI tidak pailit. Karena dalam hukum nasional, kedudukan Mahkamah Agung adalah kedudukan
tertinggi, maka keputusan ini tidak dapat diganggu gugat dan PT TPI resmi tidak pailit.
Dapat disimpulkan terdapat kekeliruan hakim pengadilan Niaga dalam memutus kasus pailit TPI
adalah menjelaskan jika transaksi yang dilakukan atas obligasi jangka panjang (sub ordinated
bond) senilai USD53 juta tersebut bukanlah transaksi yang sederhana. Sedangkan dalam
peraturan tentang kepailitan jelas diungkapkan bahwa transaksi yang dapat diajukan pailit adalah
transaksi yang sederhana. Namun dapat di anulir oleh Mahkamah Agung dalam upaya Hukum
kasasi, dimana Majelis hakim Memutus TPI tidak jadi dipailitkan karena pembuktiannya tidak
sedehana terapi sangat rumit dan kompleks.
Pernyataan pailit seorang debitur oleh Hakim Pengadilan Niaga dengan suatu putusan
(vonis), tidak dengan suatu ketetapan (beschikking). TPI diputus pailit oleh Majelis hakim
Pengadilan Niaga jakarta Pusat tanggal 14 Oktober 2009 yang dipimpin oleh Maryana selaku
ketua majelis hakim dengan dua anggotanya, Sugeng Riyono dan Syarifuddin.
Dengan dipailitnya Termohon pada tingkat pengadilan niaga, maka sesuai dengan pasal 15 ayat 1
UUK 2004, harus diangkat Kurator dan seorang hakim Pengawas. Dalam perkara pailit TPI
diangkat Kurator Safitri Hariani, William Edward Daniel, dan asistennya melalui permohonan ke
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat cq. hakim pengawas Nani Indrawati. Berdasarkan Pasal 16 UU
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU
KPKPU) Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta
pailit sejak tanggal putusan pailit meskipun putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan
kembali.
Kemudian TPI mengajukan permohonan Kasasi kepada MA. Dalam putusan No. 834
K/Pdt.Sus/2009, majelis kasasi menyatakan pembuktian kasus pailit TPI tidak sederhana lantaran
eksistensi adanya utang masih dalam konflik. Bahkan tentang sejauhmana keberadaan utang
masih diperkarakan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara No.
376/Pdt.G/2009/PN.JKT.PST. Proses pidana terhadap penguasaan asli surat obligasi juga masih
berjalan. Atas dasar itu, majelis kasasi menyatakan perkara pailit TPI sifatnya kompleks dan
tidak sederhana. Pembuktian perkara ini cukup rumit dan sulit sehingga memerlukan ketelitian
dan pembuktian yang tidak sederhana pula.
Berdasarkan permohonan tersebut, tim kurator meminta pengadilan untuk menetapkan
biaya kepailitan perusahaan itu yang menurut perhitungan mencapai Rp537,479 juta, serta
imbalan jasa kurator dan asistennya yang totalnya mencapai Rp3,743 miliar. Permohonan
penetapan ini diajukan karena kepailitan TPI telah berakhir setelah pernyataan pailit atas TPI
ditolak di tingkat kasasi. Kurator telah menerima putusan Mahkamah Agung No.834/Pdt.Sus/
2009 jo NO.S2/PAHJT/ 2009/ PN.NIAGA.JKT.PST tanggal 15 Desember 2009.
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN

Bahwa kesimpulan mengenai proses hukum hasil penyelesaian kasus kepailitan PT Cipta
Televisi Pendidikan Indonesia adalah TPI tidak jadi dipailitkan karena laporan dugaan oleh
CCGL tidak terbukti benar, bukti-bukti belum jelas, dan karena pembukuan laporan tahunan
yang tersedia sangat jauh dari kata sederhana, sementara peraturan tentang kepailitan jelas
mengungkapkan bahwa transaksi yang dapat diajukan pailit adalah transaksi yang sederhana.
Apalagi dikatakan juga dari hasil pengkajian ulang, bahwa hanya ada 1 kreditor yang merasa
punya masalah utang piutang dengan TPI, sementara dalam persyaratan dikatakan bahwa harus
ada lebih dari 1 kreditor yang merasa dirugikan yang boleh mengajukan kasus ini ke pengadilan.

SARAN

Hendaknya Pengadilan Niaga sungguh-sungguh memperhitungkan putusan hakimnya


disesuaikan dengan bukti-bukti yang telah diidentifikasi, verifikasi, dan bagaimana kreditor atau
debitornya. Jangan sembarangan mengambil keputusan, karena akan berdampak pada
pelanggaran kode etik.

Anda mungkin juga menyukai