Anda di halaman 1dari 27

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Ambang Anaerobik

Metabolisme anaerob menunjukkan metabolisme dalam kondisi tanpa

oksigen. Pemeriksaan cepat dengan menggunakan data tes konsumsi oksigen

maksimal (VO2 max) memberikan tiga hasil, yaitu yang pertama terdapat suplai

oksigen yang penuh pada saat istirahat dan laktat darah pada saat istirahat bukan 0

melainkan 0.5-0.7 mmol/L; yang kedua terjadi peningkatan konsumsi oksigen

seiring dengan peningkatan kadar laktat dalam darah pada incremental exercise;

yang ketiga adalah kadar laktat darah akan meningkat cepat pada saat latihan

dengan intensitas maksimal. Salah satu kriteria bahwa seseorang telah mencapai

konsumsi oksigen yang maksimal adalah kadar laktat darah yang telah mencapai

lebih dari 8 mmol/L. Kontraksi berkelanjutan dari suatu kelompok otot akan

menekan dinding kapiler dan mengganggu aliran darah sehingga akan mencegah

akses oksigen ke dalam darah, maka otot kemudian beralih menggunakan oksigen

yang disimpan dalam mioglobin (MgbO2), tetapi suplai oksigen ini akan habis

dalam waktu cepat, rasa sakit yang menyertai peningkatan konsentrasi laktat

tinggi akan bertambah, dan diikuti dengan ketidakmampuan untuk

mempertahankan kontraksi (Hale, 2003).

Ambang anaerobik adalah tingkat konsumsi oksigen selama latihan

dimana produksi laktat di dalam otot melebihi laju oksidasi laktat, sehingga laktat

akan muncul dalam sistem sirkulasi darah. Kadar laktat di dalam darah dapat

seimbang ataupun tidak, tergantung pada intensitas latihan. Hal ini berarti bahwa

otot-otot mulai memproduksi asam laktat melebihi dari kapasitas tubuh dapat

11
12

menghilangkannya. Penumpukan laktat di dalam darah akan menghambat

kemampuan untuk tampil dengan intensitas yang optimal selama jangka waktu

tertentu (Roy et al., 2014). Ambang anaerobik sering dinyatakan sebagai

persentase dari VO2 max (50 % - 60 % untuk populasi umum, 75 % ke atas untuk

atlet). Semakin tinggi ambang anaerobik, seorang atlet dapat mempertahankan

kemampuannya pada saat latihan dengan intensitas tinggi tanpa menghasilkan

asam laktat, oleh karena itu, ambang anaerobik adalah prediktor kinerja yang lebih

baik dibanding VO2 max pada seorang atlet elit. Ambang anaerobik sering

dinyatakan sebagai denyut jantung pada ventilator breakpoint. Denyut jantung

pada ambang anaerobik kemudian dapat digunakan dalam merancang program

pelatihan dan interval untuk atlet (Pennington, 2015).

Konsentrasi laktat darah seringkali digunakan pada pengukuran fisiologis

untuk mendeteksi perubahan metabolik selama latihan. Laktat diproduksi oleh

otot yang bekerja dan merupakan produk akhir dari anaerobik atau glikolisis.

Beberapa laktat berdifusi ke dalam darah, dan selama latihan, serat otot jantung

dan slow twitch fibers pada otot yang bekerja mengambil sebagian besar laktat

dan mengubahnya kembali menjadi piruvat, yang kemudian memasuki siklus

Krebs (sistem aerobik). Sebagian besar laktat akan dihapus dari darah oleh hati

pada saat pemulihan. Konsentrasi laktat darah dapat mencerminkan intensitas

latihan. Ambang anaerobik merupakan akumulasi laktat dalam darah yang cepat,

namun hal ini bukan merupakan indikasi bahwa ada pergeseran mendadak

produksi Adenosin Tri Phosphat (ATP) dari aerobik menjadi metabolisme

anaerobik (Gambar 2.1.).


13

Gambar 2.1. Grafik Ambang Anaerobik (Faude, 2009)

Asam laktat diproduksi di dalam otot kemudian berdifusi ke dalam darah dan di

dalam plasma terpisah menjadi laktat dan H+. Laktat darah biasanya memuncak

sekitar 5 menit setelah latihan dengan intensitas tinggi (Pennington, 2015).

2.2. Respon Sistem Energi Terhadap Latihan

Fungsi sistem energi adalah untuk menghasilkan adenosin trifosfat (ATP).

ATP digunakan untuk membuat kontraksi otot sehingga dapat melakukan suatu

aktivitas. ATP terdiri dari protein (adenosine) dan tiga fosfat yang melekat

padanya, ketika ikatan kimia tersebut terpecah maka energi akan dilepaskan. ATP

akan diubah menjadi adenosine difosfat (ADP), dengan memecah ikatan fosfat

dan energi akan dilepaskan, kemudian dapat terjadi suatu kontraksi otot (Brown

dan Rea, 2013).

ATP tidak disimpan dalam jumlah besar di otot rangka dan oleh karena itu

harus terus dibuat dari ADP agar otot-otot tersebut dapat melanjutkan kontraksi.

Ada tiga sistem energi yang digunakan tubuh untuk membuat ATP. ATP

dibutuhkan segera pada saat awal latihan, namun, jika akan melakukan aktivitas
14

fisik dengan intensitas rendah namun dalam durasi yang lama maka tidak

diperlukan produksi ATP yang cepat dengan menggunakan sistem energi yang

berbeda (Brown dan Rea, 2013).

Terdapat 3 sistem pembentukan energi, yaitu sistem energi fosfokreatin,

sistem energi asam laktat, dan yang terakhir adalah sistem energi aerob. Berikut

ini adalah penjelasan dari ketiga sistem energi tersebut :

a. Sistem Fosfokreatin

Sistem energi yang memasok sebagian besar ATP pada awal latihan

adalah sistem fosfokreatin (sistem fosfat kreatin). Sistem ini dapat memasok ATP

lebih cepat disbanding dua sistem energi lainnya. Sistem fosfokreatin

menghasilkan ATP dalam ketika oksigen tidak ada, dan karena itu adalah sistem

energi ini adalah sistem energi anaerobik. Fosfokreatin terdiri dari molekul fosfat

dan kreatine, ketika ikatan antara fosfat dan kreatine tersebut rusak, energi yang

dilepaskan akan digunakan kemudian untuk membuat ikatan antara ADP dan

fosfat (Gambar 2.2.). Cadangan fosfokreatin digunakan untuk kontraksi yang

cepat dan intensitas yang tinggi, seperti berlari atau melompat. Cadangan tersebut

hanya berlangsung selama sekitar sepuluh detik (Brown dan Rea, 2013).

Gambar 2.2. Sistem Energi Fosfokreatin (Brown dan Rea, 2013).


15

b. Sistem Energi Asam Laktat

Sistem asam laktat digunakan setelah cadangan energi pada sistem

fosfokreatin telah habis. Sistem ini juga dikenal sebagai glikolisis anaerobik, yang

secara harfiah berarti pemecahan glukosa dalam kondisi tidak ada oksigen.

Glukosa akan dipecah diubah menjadi zat yang disebut piruvat, ketika tidak ada

oksigen, piruvat diubah menjadi asam laktat (Gambar 2.3.). Sistem asam laktat

menghasilkan ATP sangat cepat, tapi tidak secepat sistem fosfokreatin. Sistem

energi asam laktat adalah salah satu yang memproduksi sebagian besar ATP

selama latihan intensitas tinggi yang berlangsung antara 30 detik hingga tiga

menit (Faude, 2009).

Gambar 2.3. Sistem Energi (Faude, 2009).

c. Sistem Energi Aerob

Sistem energi aerobik memberikan ATP lebih lambat dibandingkan

dengan dua sistem energi sebelumnya dibahas. Sistem energi ini bertanggung
16

jawab untuk memproduksi sebagian besar energi untuk tubuh pada saat istirahat

atau melakukan latihan intensitas rendah seperti jogging. Sistem energi ini

menggunakan serangkaian reaksi, yang pertama adalah glikolisis aerobik, seperti

yang terjadi ketika oksigen tersedia untuk memecah glukosa. Seperti dalam sistem

energi anaerobik, glukosa dipecah menjadi piruvat. Karena oksigen hadir, piruvat

tidak berubah menjadi asam laktat, tapi terus dipecah melalui serangkaian reaksi

kimia selanjutnya, yaitu siklus Krebs dan rantai transpor elektron (Brown dan

Rea, 2013).

2.3. Konsep dan Metode Penilaian Ambang Anaerobik

Terdapat beberapa konsep yang telah dikembangkan untuk menentukan

intensitas latihan yang terkait dengan ambang anaerobik, yaitu :

a. Ambang anaerobik adalah tingkat konsumsi oksigen dimana terjadi peningkatan

konsentrasi laktat darah secara pesat dan sistematis (Sharkey, 2003). Ambang

anaerobic merupakan titik fisiologis selama latihan di mana produksi laktat di

dalam otot mulai melebihi laju oksidasi laktat, sehingga laktat muncul dalam

sistem sirkulasi darah, dapat seimbang atau tidak tergantung dari intensitas latihan

(Roy et al., 2014).

b. Maximal Lactate Steady State (MLSS) adalah intensitas latihan konstan

tertinggi yang dapat dipertahankan untuk jangka waktu yang lebih lama tanpa

kenaikan laktat darah secara terus menerus seperti pada Gambar 2.4. Intensitas

MLSS ini telah terbukti sangat terkait dengan performa atlet pada olahraga

endurance (Faude et al., 2009). Konsentrasi laktat darah tertinggi dengan beban

kerja submaksimal yang dapat dipertahankan dari waktu ke waktu tanpa

akumulasi laktat darah secara terus menerus. MLSS adalah metode standar untuk
17

menentukan kapasitas aerobik. MLSS merupakan ambang transisi fisiologis

antara domain latihan berat dan sangat berat (de Souza et al., 2011).

Gambar 2.4. Respon Laktat Darah Terhadap Beberapa Beban Latihan


Konstan Dengan Berbagai Intensitas (Faude et al., 2009).

c. Ambang laktat terbentuk pada saat latihan menjadi semakin intensif, maka lebih

banyak energi yang dihasilkan secara anaerobik, asam laktat mulai berakumulasi

dalam darah, dan produksi karbondioksida meningkat seiring dengan kecepatan

dan kedalaman nafas. Ketidaknyamanan yang disebabkan oleh asam laktat dan

nafas yang berat merupakan tanda bahwa telah melebihi ambang anaerobik

(Sharkey, 2003). Ambang laktat juga merupakan titik saat mulai terjadi kelelahan

pada saat berolahraga, kondisi latihan dimana penumpukan laktat di dalam aliran

darah lebih cepat dibandingkan tubuh dapat menghapusnya. Metabolisme

anaerobik menghasilkan energi untuk latihan dengan intensitas yang tinggi dan

berlangsung dalam jangka waktu pendek, produksi laktat mencapai batas dimana

laktat tersebut tidak bisa lagi diserap sehingga terjadi terakumulasi laktat di dalam

darah. Hal ini dikenal sebagai ambang laktat dan biasanya mencapai antara 50

sampai 80% dari VO2 max atlet. Ambang laktat ini ditandai dengan sedikit

penurunan pH (dari 7,4 menjadi sekitar 7,2) yang diduga dan menyebabkan
18

kelelahan dan mengurangi kekuatan kontraksi otot. Pada titik ini atlet dipaksa

untuk mundur atau memperlambat aktivitas. Memiliki ambang laktat yang lebih

tinggi memungkinkan seorang atlet dapat terus melanjutkan aktivitasnya dengan

intensitas yang tinggi dalam waktu yang lebih lama sebelum terjadi kelelahan.

Karena itu, banyak yang menganggap bahwa menentukan ambang laktat adalah

cara yang bagus untuk memprediksi kinerja atletik pada high intensity endurance

sports. Ambang laktat juga digunakan oleh banyak pelatih untuk menentukan

rencana pelatihan (Quinn, 2016).

d. Onset of Blood Lactate Accumulation (OBLA) didefinisikan sebagai intensitas

latihan di mana konsentrasi laktat darah mencapai 4 mM selama tes latihan

(Millán, 2014). Titik defleksi laktat (LaT) adalah output daya di mana

peningkatan nonlinier sebesar 1mmol/L, dan Dmax didefinisikan sebagai titik

pada kurva laktat pada jarak maksimal dari garis yang menghubungkan awal dan

akhir output daya. Ketiga titik tersebut digunakan untuk menentukan titik transisi

laktat (Gambar 2.5.) (Dumke et al., 2006).

Gambar 2.5. Tiga Metode Untuk Menentukan Titik Transisi Laktat (Dumke
et al., 2006).
19

e. Ventilatory threshold : adalah intensitas latihan di saat pernapasan bekerja

secara maksimal dan atlet merasa tidak dapat menarik udara lebih banyak untuk

memenuhi volume yang diinginkan oleh tubuh atlet (Fitzgerald, 2013).

2.4. Latihan Ambang Anaerobik

Berdasarkan ACSM 2006, pendekatan program latihan secara umum

dengan prinsip Frequency, Intensity, Time, Type (F.I.T.T.) untuk desain program

latihan kebugaran kardiorespirasi juga dapat dapat diterapkan untuk program

latihan peningkatan LT. Terdapat dua jenis latihan LT khusus tertulis di dalam

literatur meliputi steady state training (Tabel 2.1.) dan high intensity interval

training (Tabel 2.2.). Rekomendasi F.I.T.T. untuk setiap bentuk pelatihan disertai

dengan beberapa modifikasi (Dalleck dan Kravitz, 2009).

Tabel 2.1. Program Steady State Training (American Council On Exercise


Journal, 2009)

Program Latihan Steady-State Training


Komponen Program Modifikasi Program
Mode Latihan 1. Hasil adatasi ambang laktat
spesifik terhadap mode atau jenis
latihan.
2. Sesi latihan sebaiknya dirancang
agar sesuai dengan tujuan klien.

Intensitas Latihan 1. Latihan sebaiknya dilakukan


dengan kecepatan atau beban
latihan yang berhubungan dengan
ambang laktat.
2. %VO2 max pada ambang laktat
dapat bervariasi tergantung status.
3. Nilai RPE 14-15 (pada skala 6-20)
berhubungan LT darah.

Durasi Latihan 20-30 menit tiap steady state dan


disesuaikan dengan tujuan klien.

Frekuensi Latihan Satu sesi latihan steady state.


20

Status pelatihan disesuaikan dengan usia, berat badan dan waktu pelatihan

yang sesuai dengan masing-masing individu, modifikasi peresepan latihan pada

individu dengan melihat semua aspek F.I.T.T pada individu yang terlatih dan

tidak terlatih, tetapi pendekatan ambang laktat adalah sama. Awalnya, cara terbaik

untuk meningkatkan tingkat ambang laktat adalah dengan hanya meningkatkan

volume pelatihan (yaitu, jarak, waktu dan / atau frekuensi). Manfaat utama dari

peningkatan volume pelatihan akan meningkatkan kapasitas untuk respirasi

mitokondria. Baik steady state training maupun high intensity interval training,

keduanya dapat meningkatkan LT (Dalleck dan Kravitz, 2009).

Tabel 2.2. Program High Intensity Interval Training (American Council On


Exercise Journal, 2009)

Program Latihan High-Intesity Interval Training


Komponen Program Modifikasi Program
Mode Latihan Dapat menggunakan berbagai macam
modalitas (misalnya treadmill, sepeda
static, dll.)

Intensitas Latihan 1. Latihan sebaiknya dilakukan dengan


kecepatan atau beban latihan yang
berhubungan dengan VO2 max.
2. 90-100% Heart Rate Reserve (HRR)
atau Oxygen Uptake Reserve atau 95-
100% Heart Rate Maximal.
3. Nilai RPE 17-20 (pada skala 6-20).

Durasi Latihan 1. 6-10 x repetisi dengan 2-3 menit


durasi latihan diselingi 2-3 menit
pemulihan.
2. Repetisi interval dapat dimulai dengan
2x per sesi (latihan 3 menit dan
pemulihan 3 menit, kemudian
diulang) dan ditambah satu repetisi
interval latihan atau pemulihan tiap
minggu.

Frekuensi Latihan Satu sesi HIIT.


21

Latihan yang tepat dapat menaikan kadar ambang laktat maupun ambang

anaerobik, pada orang yang tidak terlatih mempunyai kadar ambang laktat

maupun ambang anaerobik 65% dari detak jantung maksimal, sedangkan pada

atlet yang mengikuti latihan secara kontinu dapat mencapai 90% dari detak

jantung maksimal (Rohaya, 2015).

Pada suatu program pelatihan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan,

yaitu sistematis, repetitif, durasi, progresif dan individual. Sistematis adalah suatu

metode pelatihan yang teratur dan terencana secara detil. Repetitif atau repetisi

adalah suatu gerakan berulang yang sama dilakukan lebih dari satu kali, untuk

pelatihan daya tahan maupun kecepatan pada umumnya menggunakan repetisi

sebanyak 5 hingga 10 kali. Durasi adalah lamanya aktivitas pelatihan (termasuk

waktu untuk istirahat) yang dilakukan dalam satu sesi atau sekali pelatihan atau

lamanya dalam suatu keadaan. Lama suatu pelatihan yang diperlukan agar tubuh

beradaptasi dengan pelatihan tersebut adalah 6-8 minggu sehingga dapat

memperoleh hasil yang konstan. Progresif adalah peningkatan atau penambahan

beban latihan secara bertahap. Individual dalah pemberian metode dan dosis

pelatihan disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan latihan tersebut pada masing-

masing individu (Nala, 2015).

2.5. High Intensity Interval Training (HIIT)

High Intensity Interval Training (HIIT) dalam industri olahraga kebugaran

saat ini sedang populer. Metode pelatihan yang melibatkan serangkaian latihan

secara berulang dengan intensitas tinggi, pada periode aktif dilakukan dalam

waktu yang berkisar dari 5 detik sampai 8 menit dan kemudian diikuti oleh

periode pemulihan berbagai durasi waktu. Pelatihan pada pelari jarak jauh
22

biasanya melibatkan interval training dalam program latihannya. Seiring dengan

meningkatnya pengetahuan mengenai HIIT, ilmuwan olahraga menunjukkan

bahwa jenis latihan ini tidak hanya memberikan manfaat kinerja untuk atlet dan

meningkatkan kesehatan atlet rekreasional, tetapi juga dapat menjadi pengganti

alternatif yang cocok untuk pelatihan daya tahan atau latihan aerobik secara terus

menerus. Untuk meningkatkan kebugaran kardiovaskular dilakukan dengan cara

meningkatkan volume latihan, apakah itu dengan cara berlari lebih lama,

bersepeda, atau memperpanjang waktu pada mesin aerobik (Kravitz, 2014). Suatu

penelitian telah mengungkapkan bahwa HIIT meningkatkan berbagai parameter

fisiologis, sering dalam waktu yang lebih cepat bila dibandingkan volume tinggi

latihan terus menerus (Daussin et al., 2008).

HIIT merupakan metode pelatihan yang ampuh dan hemat waktu untuk

menginduksi baik adaptasi pusat (kardiovaskular) maupun adaptasi perifer (otot

rangka) adaptasi yang terkait dengan peningkatan kesehatan. Mayoritas penelitian

tentang HIIT menggunakan periode intervensi yang relatif singkat (berlangsung

sampai beberapa minggu). Masih diperlukan penelitian lebih lanjut berupa

penelitian Cohort untuk mengetahui efek jangka panjang dari HIIT dalam

mengatasi kondisi penyakit seperti kardiovaskular, resistensi insulin, obesitas dan

diabetes tipe 2 (Gibala et al., 2012). Periode latihan intens dapat berkisar dari 5

detik hingga 8 menit, dan dilakukan pada intensitas 80 % sampai 95 % dari

perkiraan denyut jantung maksimal seseorang. Periode pemulihan dapat

berlangsung sama dengan periode kerja dan biasanya dilakukan dengan intensitas

40 % sampai 50 % dari perkiraan denyut jantung maksimal seseorang. Pelatihan

HIIT dapat meningkatkan kebugaran aerobik dan anaerobik, memperbaiki tekanan


23

darah, meningkatkan kesehatan jantung, meningkatkan sensitivitas insulin

(membantu otot-otot yang berolahraga lebih mudah menggunakan glukosa

sebagai bahan bakar untuk membuat energi), memperbaiki profil kolesterol,

mengurangi lemak perut dan berat badan, mempertahankan massa otot (ACSM,

2014).

Pelatihan HIIT mudah dimodifikasi untuk orang-orang dari semua tingkat

kebugaran dan kondisi khusus, seperti kelebihan berat badan dan diabetes. Latihan

HIIT dapat dilakukan pada semua cabang olahraga. Latihan HIIT dapat

memberikan manfaat kebugaran yang sama seperti latihan daya tahan terus

menerus, tetapi dalam periode waktu yang lebih singkat. Hal ini karena latihan

HIIT cenderung membakar kalori lebih banyak dari latihan tradisional, terutama

pada periode pasca latihan atau Excess Postexercise Oxygen Consumption

(EPOC) sekitar 2 jam setelah latihan dimana tubuh memulihkan diri,

menggunakan lebih banyak energi sekitar 6-15 % lebih banyak kalori. Latihan

HIIT fase kerja memiliki intensitas tinggi harus berk s r ≥ 80 % d r d yut

jantung maksimal, dengan indikator subjektif seperti berolahraga keras atau

sangat keras. Intensitas fase pemulihan aktif harus 40-50 % dari denyut jantung

maksimal. Fase pemulihan aktif akan menjadi aktivitas fisik yang merasa sangat

nyaman, untuk membantu memulihkan dan mempersiapkan untuk interval

berikutnya. Rasio antara fase kerja dan fase pemulihan sangat penting. Banyak

penelitian menggunakan rasio tertentu untuk meningkatkan sistem energi tubuh

yang berbeda. Misalnya, rasio 1 : 1 terdiri dari 3 menit fase kerja (intensitas

tinggi) diikuti oleh 3 menit fase pemulihan (intensitas rendah). Kombinasi latihan

dapat diulang 3 sampai 5 kali (ACSM, 2014).


24

2.5.1. Fisiologi HIIT Dalam Meningkatkan Ambang Anaerobik

2.5.1.1. HIIT Meningkatkan Kebugaran Kardiovaskular

HIIT pada sehat pria dan wanita dewasa muda maupun tua dapat

meningkatkan kebugaran kardiorespirasi (VO2 max) dari 4% menjadi 46% pada

periode pelatihan yang berlangsung dari 2 sampai 15 minggu. Pelatihan HIIT

dapat menginduksi perubahan lebih cepat dalam VO2 max. Peningkatan VO2 max

akibat pelatihan HIIT disebabkan oleh peningkatan stroke volume (volume darah

yang dipompa oleh jantung setiap denyut), yang disebabkan oleh peningkatan

kemampuan kontraktil otot-otot jantung dalam waktu singkat. HIIT juga telah

terbukti meningkatkan biogenesis mitokondria, yaitu ukuran dan jumlah

mitokondria. Semua studi epidemiologi dan klinis menunjukkan bahwa intensitas

olahraga yang tinggi lebih bermanfaat dalam mengurangi satu atau lebih faktor

risiko untuk penyakit jantung koroner. Dengan demikian, untuk menangkal efek

dari penyakit kardiovaskular, yang menurut WHO pada tahun 2013 adalah

penyebab nomor satu kematian di seluruh dunia, HIIT harus dipertimbangkan

intervensi pelatihan yang paling bermanfaat (Kravitz, 2014).

2.5.1.2. HIIT Meningkatkan dan Melatih Fast Twitch Muscle Fibers

Pelatihan serangkaian sprint pendek pada kecepatan yang sangat cepat

mempunyai efektivitas yang sama dalam meningkatkan VO2 max seperti pada

pelatihan ketahanan tradisional pada kecepatan sedang. Pelatihan dengan

intensitas tinggi dapat meningkatkan kapasitas anaerobik sampai dengan 28 %.

pelatihan intensitas tinggi juga menghasilkan manfaat daya tahan yang tidak

tercapai selama pelatihan rendah dan intensitas sedang. Pelatihan intensitas tinggi

juga meningkatkan kapasitas buffer dan kecepatan penghapusan laktat. Otot-otot


25

pada manusia dan hewan dibagi menjadi dua kategori yang berbeda dilihat dari

tipe seratnya, yaitu slow twitch dan fast twitch. Slow twitch muscle fibers juga

sering serat otot tipe I atau serat merah, sedangkan fast twitch muscle fibers

disebut sebagai serat otot tipe II atau serat putih. Slow twitch muscle fibers secara

genetik sangat cocok untuk metabolisme aerobik sehingga sangat berperan untuk

daya tahan, namun memiliki kapasitas terbatas untuk metabolisme anaerobik.

Sebaliknya, fast twitch muscle fibers sangat cocok untuk metabolisme anaerobik

tapi kurang untuk metabolisme aerobik. Fast twitch muscle fibers dapat

berkontraksi dengan cepat dan kuat, namun dapat cepat mengalami kelelahan

(Maglischo, 2012).

Fast twitch muscle fibers mempunyai ukuran yang lebih besar dari slow

twitch muscle fibers lebih cepat saat berkontraksi dan mampu menghasilkan

tenaga lebih banyak dengan kontraksi tersebut. Otot ini juga memiliki persediaan

myosin ATPase yang lebih besar, yaitu enzim yang mengkatalisis pelepasan

energi yang cepat dari ATP dan mengandung lebih banyak kreatin fosfat, zat yang

menggantikan ATP lebih cepat daripada kimia lainnya dalam tubuh. Selain itu,

juga mengandung enzim anaerobik jumlah yang lebih besar, seperti PFK dan

bentuk otot laktat dehidrogenase (M-LDH) yang memungkinkan otot ini untuk

memberikan energi lebih cepat melalui glikolisis anaerobik (pemecahan glikogen

otot menjadi asam laktat). Di sisi negatif, serat ini memiliki mioglobin dan

mitokondria lebih sedikit mitokondria sehingga mengurangi kapasitasnya untuk

metabolisme aerobik (Maglischo, 2012).

2.6. Steady State Training (SST)

Steady state training adalah latihan pada tingkat sub-lactate threshold


26

dengan volume yang tinggi, secara efektif dapat meningkatkan ambang anaerobik.

Pada pelari jarak jauh yang secara genetik memiliki dominan slow-twitch skeletal

muscle fibres. Steady state training dapat melatih slow-twitch skeletal muscle

fibres. Peningkatan kapasitas aerobik slow twitch muscle fibers oleh latihan

intensitas yang moderat lebih besar jika dibandingkan dengan latihan intensitas

tinggi. Latihan dengan intensitas yang moderat dapat meningkatkan densitas

mitokondria pada slow twitch muscle fibers (Maglischo, 2012).

Menurut Wells dan Pate dalam jurnal Midley et al. menyatakan bahwa

latihan dengan intensitas mendekati ambang anaerobik secara efektif dapat

meningkatkan ambang anaerobik pada atlet. Menurut Henritze et al. dalam jurnal

Midgley et al. melaporkan bahwa latihan dengan intensitas sedikit diatas ambang

anaerobik (59% VO2 max) dapat meningkatkan konsumsi oksigen (VO2) pada

ambang anaerobik sebesar 48% pada wanita yang tidak terlatih. Respon latihan

yang berkaitan dengan peningkatan ambang anaerobik karena adanya adaptasi

otot skeletal yang dapat mengurangi produksi laktat dan meningkatkan daur ulang

laktat saat lari dengan kecepatan tinggi (Midgley et al., 2007).

2.6.1. Respon Steady State Training Pada Tubuh

Steady state training memberikan bermacam-macam respon pada tubuh, yaitu

pada sistem kardiovaskular, sistem respirasi, sistem neuromuskular dan sistem

pembentukan energi (Brown dan Rea, 2013). Berikut ini adalah beberapa respon

tubuh terhadap steady state training :

a. Respon Steady State Pada Sistem Kardiovaskular

Terjadi peningkatan denyut jantung pada beberapa menit pertama,

kemudian konstan. Peningkatan volume darah tersebut akan menyebabkan


27

peregangan pada otot jantung. Peregangan pada otot jantung akan mengakibatkan

kontraksi jantung menjadi lebih kuat dan dapat memompa lebih banyak volume

darah pada setiap kontraksinya, efek ini berdasarkan Hukum Starling. Rata-rata

cardiac output normal adalah sekitar 5 liter per menit, pada saat darah bersirkulasi

di dalam tubuh, beberapa organ penting menerima sejumlah darah lebih banyak

jika dibandingkan organ lain, namun selama latihan, otot yang bekerja

membutuhkan darah dalam proporsi besar untuk memenuhi kebutuhan energi.

Tubuh mampu mengatur aliran darah dengan melakukan vasokonstriksi pada

organ-organ yang tidak membutuhkan aliran darah yang banyak dan terjadi

vasodilatasi pada otot yang bekerja (Brown dan Rea, 2013).

Terjadinya dilatasi pembuluh darah pada otot yang bekerja dapat

menurunkan tekanan darah, namun hal tersebut diimbangi dengan peningkatan

tekanan darah akibat peningkatan cardiac output. Latihan akan meningkatkan

tekanan sistole, namun hanya sedikit perubahan pada tekanan diastolik. Beberapa

saat setelah latihan, terjadi penurunan yang cukup signifikan pada tekanan sistolik

karena pompa darah oleh otot ke jantung berkurang, hal ini akan mengakibatkan

pengumpulan darah pada otot dan aliran darah ke otak juga berkurang sehingga

atlet dapat merasa pusing, kesadaran berkurang dan lemah (Brown dan Rea,

2013).

b. Respon Steady State Pada Sistem Respirasi

Tidal Volume (TV) dan Respiratory Rate (RR) mencapai puncaknya pada

beberapa menit pertama setelah latihan, apabila latihan terus berlanjut dengan

intensitas yang tetap, makan TV dan RR akan konstan hingga latihan tersebut

berakhir. Hanya 1,5 % oksigen yang diangkut di dalam plasma darah dan sebagian
28

besar oksigen diangkut oleh hemoglobin. Oksigen akan bereaksi dengan

hemoglobin menjadi oxyhemoglobin, reaksi tersebut bersifat sementara, oksigen

dapat dilepaskan dari hemoglobin. Ikatan oksigen terhadap hemoglobin

tergantung pada tekanan oksigen parsial. Oksigen akan berikatan dengan

hemoglobin terutama pada kondisi kaya oksigen, misalnya di paru-paru, Oksigen

akan dilepaskan dari hemoglobin di tempat-tempat yang miskin akan oksigen

misalnya pada otot yang dilatih (Brown dan Rea, 2013).

Kurva disosiasi oksigen berbentuk S (Gambar 2.6) yang menggambarkan

tentang pelepasan oksigen dari ikatan dengan hemoglobin ketika berada pada

berbagai macam jaringan dengan konsentrasi oksigen yang berbeda. Kurva

tersebut dimulai dengan kenaikan yang tajam karena hemoglobin mempunyai

afinitas yang tinggi terhadap oksigen, hemoglobin akan mudah mengikat oksigen

ketika ada sedikit peningkatan pada tekanan parsial oksigen, maka dari itu saturasi

oksigen tinggi pada paru-paru, namun penurunan kecil dalam tekanan parsial

oksigen akan menghasilkan penurunan yang besar dalam persentase saturasi

hemoglobin. Pada otot-otot saat latihan yang tekanan parsial oksigennya rendah,

hemoglobin akan dengan mudah melepaskan oksigen untuk digunakan dalam

jaringan otot tersebut seperti pada Gambar 2.6. (Brown dan Rea, 2013).

Perubahan tingkat karbondioksida di darah dan konsentrasi ion H+ (pH)

menyebabkan pergeseran kurva disosiasi oksigen. Pergeseran tersebut dapat

meningkatkan pelepasan oksigen pada jaringan dan meningkatkan pengambilan

oksigen pada paru-paru. Hal ini dikenal dengan efek Bohr, diambil dari nama

seorang ahli fisiologi Christian Bohr dari Danish, yang menemukan efek tersebut.

Darah akan menjadi asam akibat adanya peningkatan produksi karbondioksida


29

(Brown dan Rea, 2013).

Gambar 2.6. Pergeseran Kurva Disosiasi Oksigen (Brown dan Rea, 2013)

Peningkatan karbon dioksida dan penurunan pH akan menggeser kurva

disosiasi ke kanan dan kemudian melepaskan oksigen ke jaringan. Tekanan parsial

karbon dioksida dan konsentrasi ion hidrogen pada paru-paru memiliki kadar yang

rendah, yang akan menggeser kurva disosiasi ke kiri sehingga terjadi peningkatan

pengambilan oksigen. Terjadi peningkatan suhu pada otot yang bekerja pada saat

latihan, hal tersebut akan menggeser kurva disosiasi ke kanan dan oksigen akan

mudah dilepaskan, sebaliknya penurunan suhu akan menggeser kurva ke kiri dan

meningkatkan pengambilan oksigen (Brown dan Rea, 2013).

c. Respon Steady State Pada Sistem Neuromuskular

Temperatur suhu pada jaringan otot pada saat olahraga akan meningkat

karena lebih banyak darah dipompa melalui otot dan adanya kelebihan panas yang

dihasilkan. Semakin hangat jaringan otot, maka akan semakin lentur otot tersebut.

Hal ini berarti bahwa jaringan otot mampu meregang menjadi lebih panjang tanpa

adanya robekan. Kecepatan impuls saraf yang dikirim dan yang diterima akan

meningkat sehingga kecepatan tansmisi saraf akan meningkat karena adanya


30

peningkatan suhu pada pemanasan jaringan otot (Brown dan Rea, 2013).

d. Respon Steady State Pada Sistem Energi

Latihan steady state menggunakan sistem energi aerobik menghasilkan

ATP lebih lambat dibandingkan dengan dua sistem energi yang lain. Produksi

energi menggunakan serangkaian reaksi, yang pertama adalah glikolisis aerobik,

seperti yang terjadi ketika oksigen tersedia untuk memecah glukosa, Piruvat tidak

berubah menjadi asam laktat karena adanya oksigen, melainkan terus dipecah

melalui serangkaian reaksi kimia. Reaksi kimia yang pertama adalah Siklus

Krebs, yaitu piruvat dari glikolisis aerobik bergabung dengan Koenzim A (CoA)

untuk membentuk asetil CoA kemudian menghasilkan ATP, hidrogen dan karbon

dioksida. Reaksi kimia yang kedua adalah rantai transport electron, yaitu atom

hidrogen yang dihasilkan dari Siklus Krebs masuk ke dalam rantai ini, dan

akhirnya bergabung dengan oksigen untuk membentuk ATP dan air. Baik Siklus

Krebs dan maupun rantai transpor elektron berlangsung di organel yang disebut

mitokondria (Brown dan Rea, 2013).

Mayoritas ATP diproduksi di mitokondria sehingga mitokondria sangat

penting untuk produksi energi. Mitokondria berbentuk batang dan memiliki

membran dalam dan luar. Membran dalam tersusun dalam banyak lipatan ke arah

dalam. Lipatan ini disebut krista dan berfungsi memberikan area permukaan yang

besar untuk berlangsungnya produksi energi seperti pada Gambar 2.7. (Brown dan

Rea, 2013).
31

Gambar 2.7. Mitokondria (Brown dan Rea, 2013).

e. Respon Steady State Pada Sistem Pengaturan Suhu Tubuh

Termoregulasi adalah mekanisme untuk mempertahankan suhu inti tubuh

yang konstan. Suhu manusia normal adalah 37°C. Suhu pada kulit tubuh dapat

bervariasi, jika suhu inti meningkat atau menurun 1°C atau lebih, hal ini akan

mempengaruhi kinerja fisik dan mental seorang atlet. Sistem kardiovaskular

sangat penting dalam memastikan bahwa kita mampu untuk kehilangan kelebihan

panas ini sehingga suhu inti kami tidak meningkat. Kelebihan panas hilang

melalui keringat dan dilatasi pembuluh darah perifer, sehingga aliran darah berada

dekat dengan permukaan kulit. Keringat akan menguap dan mendingin suhu ke

bawah permukaan kulit. Cardiac output sebesar 15 dan 25 persen dari output

jantung diarahkan untuk kulit ketika kita berolahraga dengan intensitas tinggi

dalam kondisi panas (Brown dan Rea, 2013).

2.7. Metode Pengukuran

2.7.1. Tes Conconi

Ambang anaerobik merupakan variabel penting dalam bidang fisiologi,

karena dapat memprediksi kinerja aktual daya tahan dalam olahraga seperti lari

jarak jauh dan lari cepat. Conconi et al. menemukan suatu metode yang
32

sederhana, murah dan tidak invasif untuk menentukan ambang anaerobik pada

pelari dengan menggunakan tes incremental. Hasil penelitian mereka

menunjukkan hubungan yang linear antara denyut jantung dan kecepatan lari,

namun ditemukan sebuah plateau atau pendataran denyut jantung pada kecepatan

lari yang tinggi yang disebut sebagai Heart Rate Deflection Point (HRDP)

(Mackenzie, 2015).

Tes Conconi adalah metode sederhana untuk mengukur kemampuan

maksimum individu, baik anaerobik maupun ambang aerobik. Atlet menentukan

kecepatan awal mereka dan meningkatkan kecepatan setiap 200 meter sehingga

mereka dapat menyelesaikan total jarak antara 2,5 km dan 4 km. Pada setiap 200

meter dicatat denyut jantung dan kecepatannya pada grafik. Akan ditemukan

grafik meningkat secara bertahap dan kemudian merata sebelum akhirnya naik

lagi. Pendataran dalam grafik ini menunjukkan ambang anaerobik atlet. Ambang

aerobik adalah ambang anaerobik dikurangi 20 kali per menit. Analisis hasil tes

adalah dengan membandingkannya dengan hasil tes sebelumnya. Diharapkan

dengan pelatihan yang tepat antara masing-masing tes, analisis akan menunjukkan

perbaikan dalam ambang anaerobik dan ambang aerobik atlet. Reliabilitas tes

Conconi mengacu pada sejauh mana konsistensi dan kestabilan pengukuran yang

dilakukan pada tes ini. Reliabilitas tes Conconi tergantung pada seberapa ketat tes

ini dilakukan dan tingkat motivasi individu untuk melakukan tes, kondisi fisik,

keadaan lingkungan, pakaian, dll. Uji validitas mengacu pada sejauh mana tes

benar-benar mengukur apa klaim untuk mengukur dan sejauh mana penarikan

kesimpulan, dan keputusan yang dibuat atas dasar nilai tes yang tepat dan

bermakna. Conconi melaporkan bahwa titik defleksi hubungan antara denyut


33

jantung dan kecepatan lari terjadi pada kecepatan yang sama seperti pada ambang

anaerobik. Mereka melaporkan bahwa metode ini juga berlaku untuk olahraga

ketahanan lainnya, termasuk bersepeda, Jalan Cepat, dayung, skating, dan

berenang. Conconi melaporkan bahwa titik defleksi hubungan antara denyut

jantung dan kecepatan lari terjadi pada kecepatan yang sama seperti pada ambang

anaerobik. Mereka melaporkan bahwa metode ini juga berlaku untuk olahraga

ketahanan lainnya, termasuk bersepeda, jalan cepat, dayung, skating, dan

berenang. Namun metode Conconi masih kontroversial karena banyak ahli

fisiologi melaporkan bahwa ada hubungan linear denyut jantung dan kecepatan

lari selama tes incremental ini, hanya ditemukan plateau pada persentase subjek

tertentu (Mackenzie, 2005).

Ambang anaerobik maupun ambang laktat merupakan metode penting

untuk meningkatkan kinerja pada saat latihan intensitas tinggi dalam olahraga

ketahanan, dan secara luas digunakan sebagai salah satu indikator kebugaran

aerobik pada atlet. Beberapa metode alternatif telah diusulkan untuk identifikasi

LT, termasuk heart rate deflection point (HRDP) dan ratings of perceived

exertion scales (RPE). HRDP dapat diidentifikasi dengan cara mengukur denyut

jantung (HR) dan intensitas latihan. Menurut Kara et al. metode Dmax dapat

digunakan untuk mengidentifikasi HRDP, yaitu pada titik jarak maksimum antara

poin pertama dan terakhir dari plot ini. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa

HRDP dapat digunakan untuk memperkirakan LT, tanpa memandang jenis

kelamin, usia, dan tingkat pelatihan. Pada penelitian oleh Conde et al diperoleh

nilai HRDP pada sembilan subjek laki-laki aktif yang secara fisik mempunyai

karakteristik berat (77,3 ± 8,9 kg), tinggi (177,5 ± 3,2 cm), umur (22,2 ± 2,7 thn),
34

dan lemak tubuh (11,3 ± 5,5 %) menjalani tes treadmill progresif mulai 6 km/ jam

dan dengan kenaikan secara bertahap 1 km/jam setiap 2 menit (Conde et al.,

2014). Tes Conconi dapat digunakan untuk mengevaluasi kemampuan anaerobik

pada atlet muda (Stojanovic et al., 2007)

2.7.2. Rating of Perceived Exertion (RPE)

Skala Borg Rating of Perceived Exertion (RPE) adalah cara untuk

mengukur tingkat intensitas aktivitas fisik. Perceived Exertion atau tenaga yang

dirasakan adalah seberapa keras seseorang merasa tubuhnya bekerja. Hal ini

berdasarkan pada pengalaman respon tubuh seseorang selama aktivitas fisik,

termasuk peningkatan denyut jantung, peningkatan respirasi atau pernapasan,

berkeringat, dan kelelahan otot. RPE merupakan ukuran subjektif, namun dapat

memberikan perkiraan yang cukup baik dari kondisi denyut jantung yang

sebenarnya selama aktivitas fisik. Para praktisi telah sepakat bahwa RPE antara 12

sampai 14 pada skala Borg menunjukkan bahwa aktivitas fisik dengan intensitas

tingkat moderat. Skala Borg 9 jika kelelahan otot dan pernapasan yang dialami

oleh sangat ringan, sedangkan jika tenaga yang dirasakan sangat sulit adalah skala

Borg 19 maka subjek akan perlu memperlambat aktivitasnya untuk mencapai

intensitas sedang (CDC, 2015).

Terdapat korelasi yang tinggi ada antara RPE seseorang dikalikan 10

dengan detak jantung yang sebenarnya selama aktivitas fisik, sehingga RPE

seseorang dapat memberikan perkiraan yang cukup baik dari kondisi denyut

jantung yang sebenarnya selama aktivitas. Sebagai contoh, jika RPE seseorang

adalah 12 , maka 12 x 10 = 120 ; sehingga denyut jantung harus sekitar 120

denyut per menit. Perlu diperhatikan bahwa perhitungan ini hanya perkiraan
35

denyut jantung, dan denyut jantung yang sebenarnya dapat bervariasi sedikit

tergantung pada usia dan kondisi fisik. Skala RPE Borg juga merupakan metode

yang baik untuk menilai intensitas seseorang yang memakai obat-obatan yang

mempengaruhi denyut jantung atau nadi (CDC, 2015).

RPE mencerminkan interaksi antara pikiran dan tubuh. Parameter

psikologis ini dikaitkan dengan banyak peristiwa fisiologis yang terjadi selama

latihan fisik. Peristiwa fisiologis tersebut dapat dibagi menjadi

pernapasan/metabolik (seperti ventilasi dan pengambilan oksigen) dan perifer

(seperti metabolisme sel dan pemanfaatan substrat energi). Penelitian sebelumnya

telah menunjukkan bahwa peningkatan ventilasi, peningkatan pengambilan

oksigen, peningkatan metabolisme asidosis atau penurunan cadangan karbohidrat

otot yang berhubungan dengan RPE yang lebih intens. Tingkatan skala RPE

dengan skala 15 kategori yang dikembangkan oleh psikolog Swedia Gunnar Borg

dapat dilihat pada Tabel 2.3. (Thompson et al., 2009).

Tabel 2.3. Skala Rating of Perceived Exertion (ACSM, 2009)

6 Tidak ada tenaga yang dikeluarkan


7 Sangat ringan sekali
8
9 Sangat ringan
10
11 Ringan
12
13 Agak berat
14
15 Berat
16
19 Sangat berat
20 Tenaga maksimal
36

2.7.3. Tes Lari 2,4 km

Suatu tes dan pengukuran adalah sarana untuk mengumpulkan informasi

atas evaluasi kinerja dan menentukan keputusan berikutnya, tetapi dalam analisis

tes atau pengukuran tersebut perlu diingat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi

hasil. Beberapa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil tes atau pengukuran

(reabilitas tes), yaitu suhu; tingkat kebisingan; kelembaban; lama tidur para atlet

sebelum dilakukan tes; emosi atlet; obat-obatan; waktu pelaksanaan tes; konsumsi

kafein; makan terakhir; kondisi lingkungan; pengetahuan atau pengalaman atlet

mengenai tes tersebut; akurasi pengukuran; usaha atau kemampuan yang

dikerahkan oleh atlet; pemanasan; personalitas, dan keahlian atlet; pakaian, dan

sepatu yang digunakan; dsb (Mackenzie, 2016a).

Tujuan dari dilakukannya tes lari 2,4 kilometer (km) atau tes lari 1 ½ mil

adalah untuk memantau perkembangan kapasitas aerobik atlet (VO2 max). Para

pelatih dapat menggunakan hasil tes untuk memprediksi potensi seorang atlet

pada pertandingan lari 1500 meter (m) , 5 km dan 10 km dan dapat mengevaluasi

hasil yang ditempuh oleh atletnya. Sumber daya yang diperlukan untuk

melakukan tes ini adalah lintasan 400 m, stop watch, dan asisten. Tata cara untuk

melakukan tes ini pertama-tama atlet harus melakukan pemanasan selama 10

menit; atlet diminta lari sejauh 2,4 km (6 kali lintasan 400 m) secepat mungkin;

seorang asisten memberikan aba-aba atau perintah mulai, dan mulai menyalakan

stopwatch; asisten terus menginformasikan kepada atlet waktu di akhir lap, dan

jumlah lap yang tersisa untuk menyelesaikan tes; asisten mencatat waktu yang

ditempuh saat lari 2,4 km. Analisis hasil tes ini adalah dengan cara

membandingkannya dengan hasil atlet sebelumnya. Diharapkan, dengan pelatihan


37

yang tepat antara masing-masing tes, analisisnya akan menunjukkan peningkatan

kapasitas aerobik (VO2 max) atlet (Mackenzie, 2016a).

Tes ini ditujukan pada atlet yang aktif. Reabilitas tes ini tergantung

seberapa ketat tes ini dilakukan dan motivasi atlet dalam menjalani tes ini.

Validitas tes ini mengacu pada sejauh mana pengukuran pada tes ini benar-benar

dilakukan; standar nilai yang digunakan dalam pengukuran; sejauh mana

penarikan kesimpulan; membuat kesimpulan; dan keputusan yang dibuat atas

dasar nilai tes yang tepat dan bermakna. Tes ini memberikan panduan untuk

potensi kinerja masa depan atlet dan sarana untuk memantau efek dari pelatihan

fisik atlet. Keuntungan menggunakan tes ini adalah alat yang diperlukan relatif

sederhana, mudah dilakukan, beberapa atlet dapat melakukan tes ini dalam waktu

yang bersamaan. Kerugian tes ini adalah dibutuhkan lintasan khusus 400 m

(Mackenzie, 2016a).

Anda mungkin juga menyukai