Conconi Tes
Conconi Tes
KAJIAN PUSTAKA
maksimal (VO2 max) memberikan tiga hasil, yaitu yang pertama terdapat suplai
oksigen yang penuh pada saat istirahat dan laktat darah pada saat istirahat bukan 0
seiring dengan peningkatan kadar laktat dalam darah pada incremental exercise;
yang ketiga adalah kadar laktat darah akan meningkat cepat pada saat latihan
dengan intensitas maksimal. Salah satu kriteria bahwa seseorang telah mencapai
konsumsi oksigen yang maksimal adalah kadar laktat darah yang telah mencapai
lebih dari 8 mmol/L. Kontraksi berkelanjutan dari suatu kelompok otot akan
menekan dinding kapiler dan mengganggu aliran darah sehingga akan mencegah
akses oksigen ke dalam darah, maka otot kemudian beralih menggunakan oksigen
yang disimpan dalam mioglobin (MgbO2), tetapi suplai oksigen ini akan habis
dalam waktu cepat, rasa sakit yang menyertai peningkatan konsentrasi laktat
dimana produksi laktat di dalam otot melebihi laju oksidasi laktat, sehingga laktat
akan muncul dalam sistem sirkulasi darah. Kadar laktat di dalam darah dapat
seimbang ataupun tidak, tergantung pada intensitas latihan. Hal ini berarti bahwa
otot-otot mulai memproduksi asam laktat melebihi dari kapasitas tubuh dapat
11
12
kemampuan untuk tampil dengan intensitas yang optimal selama jangka waktu
persentase dari VO2 max (50 % - 60 % untuk populasi umum, 75 % ke atas untuk
asam laktat, oleh karena itu, ambang anaerobik adalah prediktor kinerja yang lebih
baik dibanding VO2 max pada seorang atlet elit. Ambang anaerobik sering
otot yang bekerja dan merupakan produk akhir dari anaerobik atau glikolisis.
Beberapa laktat berdifusi ke dalam darah, dan selama latihan, serat otot jantung
dan slow twitch fibers pada otot yang bekerja mengambil sebagian besar laktat
Krebs (sistem aerobik). Sebagian besar laktat akan dihapus dari darah oleh hati
latihan. Ambang anaerobik merupakan akumulasi laktat dalam darah yang cepat,
namun hal ini bukan merupakan indikasi bahwa ada pergeseran mendadak
Asam laktat diproduksi di dalam otot kemudian berdifusi ke dalam darah dan di
dalam plasma terpisah menjadi laktat dan H+. Laktat darah biasanya memuncak
ATP digunakan untuk membuat kontraksi otot sehingga dapat melakukan suatu
aktivitas. ATP terdiri dari protein (adenosine) dan tiga fosfat yang melekat
padanya, ketika ikatan kimia tersebut terpecah maka energi akan dilepaskan. ATP
akan diubah menjadi adenosine difosfat (ADP), dengan memecah ikatan fosfat
dan energi akan dilepaskan, kemudian dapat terjadi suatu kontraksi otot (Brown
ATP tidak disimpan dalam jumlah besar di otot rangka dan oleh karena itu
harus terus dibuat dari ADP agar otot-otot tersebut dapat melanjutkan kontraksi.
Ada tiga sistem energi yang digunakan tubuh untuk membuat ATP. ATP
dibutuhkan segera pada saat awal latihan, namun, jika akan melakukan aktivitas
14
fisik dengan intensitas rendah namun dalam durasi yang lama maka tidak
diperlukan produksi ATP yang cepat dengan menggunakan sistem energi yang
sistem energi asam laktat, dan yang terakhir adalah sistem energi aerob. Berikut
a. Sistem Fosfokreatin
Sistem energi yang memasok sebagian besar ATP pada awal latihan
adalah sistem fosfokreatin (sistem fosfat kreatin). Sistem ini dapat memasok ATP
menghasilkan ATP dalam ketika oksigen tidak ada, dan karena itu adalah sistem
energi ini adalah sistem energi anaerobik. Fosfokreatin terdiri dari molekul fosfat
dan kreatine, ketika ikatan antara fosfat dan kreatine tersebut rusak, energi yang
dilepaskan akan digunakan kemudian untuk membuat ikatan antara ADP dan
cepat dan intensitas yang tinggi, seperti berlari atau melompat. Cadangan tersebut
hanya berlangsung selama sekitar sepuluh detik (Brown dan Rea, 2013).
fosfokreatin telah habis. Sistem ini juga dikenal sebagai glikolisis anaerobik, yang
secara harfiah berarti pemecahan glukosa dalam kondisi tidak ada oksigen.
Glukosa akan dipecah diubah menjadi zat yang disebut piruvat, ketika tidak ada
oksigen, piruvat diubah menjadi asam laktat (Gambar 2.3.). Sistem asam laktat
menghasilkan ATP sangat cepat, tapi tidak secepat sistem fosfokreatin. Sistem
energi asam laktat adalah salah satu yang memproduksi sebagian besar ATP
selama latihan intensitas tinggi yang berlangsung antara 30 detik hingga tiga
dengan dua sistem energi sebelumnya dibahas. Sistem energi ini bertanggung
16
jawab untuk memproduksi sebagian besar energi untuk tubuh pada saat istirahat
atau melakukan latihan intensitas rendah seperti jogging. Sistem energi ini
yang terjadi ketika oksigen tersedia untuk memecah glukosa. Seperti dalam sistem
energi anaerobik, glukosa dipecah menjadi piruvat. Karena oksigen hadir, piruvat
tidak berubah menjadi asam laktat, tapi terus dipecah melalui serangkaian reaksi
kimia selanjutnya, yaitu siklus Krebs dan rantai transpor elektron (Brown dan
Rea, 2013).
konsentrasi laktat darah secara pesat dan sistematis (Sharkey, 2003). Ambang
dalam otot mulai melebihi laju oksidasi laktat, sehingga laktat muncul dalam
sistem sirkulasi darah, dapat seimbang atau tidak tergantung dari intensitas latihan
tertinggi yang dapat dipertahankan untuk jangka waktu yang lebih lama tanpa
kenaikan laktat darah secara terus menerus seperti pada Gambar 2.4. Intensitas
MLSS ini telah terbukti sangat terkait dengan performa atlet pada olahraga
endurance (Faude et al., 2009). Konsentrasi laktat darah tertinggi dengan beban
akumulasi laktat darah secara terus menerus. MLSS adalah metode standar untuk
17
antara domain latihan berat dan sangat berat (de Souza et al., 2011).
c. Ambang laktat terbentuk pada saat latihan menjadi semakin intensif, maka lebih
banyak energi yang dihasilkan secara anaerobik, asam laktat mulai berakumulasi
dan kedalaman nafas. Ketidaknyamanan yang disebabkan oleh asam laktat dan
nafas yang berat merupakan tanda bahwa telah melebihi ambang anaerobik
(Sharkey, 2003). Ambang laktat juga merupakan titik saat mulai terjadi kelelahan
pada saat berolahraga, kondisi latihan dimana penumpukan laktat di dalam aliran
anaerobik menghasilkan energi untuk latihan dengan intensitas yang tinggi dan
berlangsung dalam jangka waktu pendek, produksi laktat mencapai batas dimana
laktat tersebut tidak bisa lagi diserap sehingga terjadi terakumulasi laktat di dalam
darah. Hal ini dikenal sebagai ambang laktat dan biasanya mencapai antara 50
sampai 80% dari VO2 max atlet. Ambang laktat ini ditandai dengan sedikit
penurunan pH (dari 7,4 menjadi sekitar 7,2) yang diduga dan menyebabkan
18
kelelahan dan mengurangi kekuatan kontraksi otot. Pada titik ini atlet dipaksa
untuk mundur atau memperlambat aktivitas. Memiliki ambang laktat yang lebih
intensitas yang tinggi dalam waktu yang lebih lama sebelum terjadi kelelahan.
Karena itu, banyak yang menganggap bahwa menentukan ambang laktat adalah
cara yang bagus untuk memprediksi kinerja atletik pada high intensity endurance
sports. Ambang laktat juga digunakan oleh banyak pelatih untuk menentukan
(Millán, 2014). Titik defleksi laktat (LaT) adalah output daya di mana
pada kurva laktat pada jarak maksimal dari garis yang menghubungkan awal dan
akhir output daya. Ketiga titik tersebut digunakan untuk menentukan titik transisi
Gambar 2.5. Tiga Metode Untuk Menentukan Titik Transisi Laktat (Dumke
et al., 2006).
19
secara maksimal dan atlet merasa tidak dapat menarik udara lebih banyak untuk
dengan prinsip Frequency, Intensity, Time, Type (F.I.T.T.) untuk desain program
latihan peningkatan LT. Terdapat dua jenis latihan LT khusus tertulis di dalam
literatur meliputi steady state training (Tabel 2.1.) dan high intensity interval
training (Tabel 2.2.). Rekomendasi F.I.T.T. untuk setiap bentuk pelatihan disertai
Status pelatihan disesuaikan dengan usia, berat badan dan waktu pelatihan
individu dengan melihat semua aspek F.I.T.T pada individu yang terlatih dan
tidak terlatih, tetapi pendekatan ambang laktat adalah sama. Awalnya, cara terbaik
volume pelatihan (yaitu, jarak, waktu dan / atau frekuensi). Manfaat utama dari
mitokondria. Baik steady state training maupun high intensity interval training,
Latihan yang tepat dapat menaikan kadar ambang laktat maupun ambang
anaerobik, pada orang yang tidak terlatih mempunyai kadar ambang laktat
maupun ambang anaerobik 65% dari detak jantung maksimal, sedangkan pada
atlet yang mengikuti latihan secara kontinu dapat mencapai 90% dari detak
Pada suatu program pelatihan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan,
yaitu sistematis, repetitif, durasi, progresif dan individual. Sistematis adalah suatu
metode pelatihan yang teratur dan terencana secara detil. Repetitif atau repetisi
adalah suatu gerakan berulang yang sama dilakukan lebih dari satu kali, untuk
waktu untuk istirahat) yang dilakukan dalam satu sesi atau sekali pelatihan atau
lamanya dalam suatu keadaan. Lama suatu pelatihan yang diperlukan agar tubuh
beban latihan secara bertahap. Individual dalah pemberian metode dan dosis
pelatihan disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan latihan tersebut pada masing-
saat ini sedang populer. Metode pelatihan yang melibatkan serangkaian latihan
secara berulang dengan intensitas tinggi, pada periode aktif dilakukan dalam
waktu yang berkisar dari 5 detik sampai 8 menit dan kemudian diikuti oleh
periode pemulihan berbagai durasi waktu. Pelatihan pada pelari jarak jauh
22
bahwa jenis latihan ini tidak hanya memberikan manfaat kinerja untuk atlet dan
alternatif yang cocok untuk pelatihan daya tahan atau latihan aerobik secara terus
meningkatkan volume latihan, apakah itu dengan cara berlari lebih lama,
bersepeda, atau memperpanjang waktu pada mesin aerobik (Kravitz, 2014). Suatu
fisiologis, sering dalam waktu yang lebih cepat bila dibandingkan volume tinggi
HIIT merupakan metode pelatihan yang ampuh dan hemat waktu untuk
penelitian Cohort untuk mengetahui efek jangka panjang dari HIIT dalam
diabetes tipe 2 (Gibala et al., 2012). Periode latihan intens dapat berkisar dari 5
berlangsung sama dengan periode kerja dan biasanya dilakukan dengan intensitas
mengurangi lemak perut dan berat badan, mempertahankan massa otot (ACSM,
2014).
kebugaran dan kondisi khusus, seperti kelebihan berat badan dan diabetes. Latihan
HIIT dapat dilakukan pada semua cabang olahraga. Latihan HIIT dapat
memberikan manfaat kebugaran yang sama seperti latihan daya tahan terus
menerus, tetapi dalam periode waktu yang lebih singkat. Hal ini karena latihan
HIIT cenderung membakar kalori lebih banyak dari latihan tradisional, terutama
menggunakan lebih banyak energi sekitar 6-15 % lebih banyak kalori. Latihan
sangat keras. Intensitas fase pemulihan aktif harus 40-50 % dari denyut jantung
maksimal. Fase pemulihan aktif akan menjadi aktivitas fisik yang merasa sangat
berikutnya. Rasio antara fase kerja dan fase pemulihan sangat penting. Banyak
yang berbeda. Misalnya, rasio 1 : 1 terdiri dari 3 menit fase kerja (intensitas
tinggi) diikuti oleh 3 menit fase pemulihan (intensitas rendah). Kombinasi latihan
HIIT pada sehat pria dan wanita dewasa muda maupun tua dapat
dapat menginduksi perubahan lebih cepat dalam VO2 max. Peningkatan VO2 max
akibat pelatihan HIIT disebabkan oleh peningkatan stroke volume (volume darah
yang dipompa oleh jantung setiap denyut), yang disebabkan oleh peningkatan
kemampuan kontraktil otot-otot jantung dalam waktu singkat. HIIT juga telah
olahraga yang tinggi lebih bermanfaat dalam mengurangi satu atau lebih faktor
risiko untuk penyakit jantung koroner. Dengan demikian, untuk menangkal efek
dari penyakit kardiovaskular, yang menurut WHO pada tahun 2013 adalah
mempunyai efektivitas yang sama dalam meningkatkan VO2 max seperti pada
pelatihan intensitas tinggi juga menghasilkan manfaat daya tahan yang tidak
tercapai selama pelatihan rendah dan intensitas sedang. Pelatihan intensitas tinggi
pada manusia dan hewan dibagi menjadi dua kategori yang berbeda dilihat dari
tipe seratnya, yaitu slow twitch dan fast twitch. Slow twitch muscle fibers juga
sering serat otot tipe I atau serat merah, sedangkan fast twitch muscle fibers
disebut sebagai serat otot tipe II atau serat putih. Slow twitch muscle fibers secara
genetik sangat cocok untuk metabolisme aerobik sehingga sangat berperan untuk
Sebaliknya, fast twitch muscle fibers sangat cocok untuk metabolisme anaerobik
tapi kurang untuk metabolisme aerobik. Fast twitch muscle fibers dapat
berkontraksi dengan cepat dan kuat, namun dapat cepat mengalami kelelahan
(Maglischo, 2012).
Fast twitch muscle fibers mempunyai ukuran yang lebih besar dari slow
twitch muscle fibers lebih cepat saat berkontraksi dan mampu menghasilkan
tenaga lebih banyak dengan kontraksi tersebut. Otot ini juga memiliki persediaan
myosin ATPase yang lebih besar, yaitu enzim yang mengkatalisis pelepasan
energi yang cepat dari ATP dan mengandung lebih banyak kreatin fosfat, zat yang
menggantikan ATP lebih cepat daripada kimia lainnya dalam tubuh. Selain itu,
juga mengandung enzim anaerobik jumlah yang lebih besar, seperti PFK dan
bentuk otot laktat dehidrogenase (M-LDH) yang memungkinkan otot ini untuk
otot menjadi asam laktat). Di sisi negatif, serat ini memiliki mioglobin dan
dengan volume yang tinggi, secara efektif dapat meningkatkan ambang anaerobik.
Pada pelari jarak jauh yang secara genetik memiliki dominan slow-twitch skeletal
muscle fibres. Steady state training dapat melatih slow-twitch skeletal muscle
fibres. Peningkatan kapasitas aerobik slow twitch muscle fibers oleh latihan
intensitas yang moderat lebih besar jika dibandingkan dengan latihan intensitas
Menurut Wells dan Pate dalam jurnal Midley et al. menyatakan bahwa
meningkatkan ambang anaerobik pada atlet. Menurut Henritze et al. dalam jurnal
Midgley et al. melaporkan bahwa latihan dengan intensitas sedikit diatas ambang
anaerobik (59% VO2 max) dapat meningkatkan konsumsi oksigen (VO2) pada
ambang anaerobik sebesar 48% pada wanita yang tidak terlatih. Respon latihan
otot skeletal yang dapat mengurangi produksi laktat dan meningkatkan daur ulang
pembentukan energi (Brown dan Rea, 2013). Berikut ini adalah beberapa respon
peregangan pada otot jantung. Peregangan pada otot jantung akan mengakibatkan
kontraksi jantung menjadi lebih kuat dan dapat memompa lebih banyak volume
darah pada setiap kontraksinya, efek ini berdasarkan Hukum Starling. Rata-rata
cardiac output normal adalah sekitar 5 liter per menit, pada saat darah bersirkulasi
di dalam tubuh, beberapa organ penting menerima sejumlah darah lebih banyak
jika dibandingkan organ lain, namun selama latihan, otot yang bekerja
organ-organ yang tidak membutuhkan aliran darah yang banyak dan terjadi
tekanan sistole, namun hanya sedikit perubahan pada tekanan diastolik. Beberapa
saat setelah latihan, terjadi penurunan yang cukup signifikan pada tekanan sistolik
karena pompa darah oleh otot ke jantung berkurang, hal ini akan mengakibatkan
pengumpulan darah pada otot dan aliran darah ke otak juga berkurang sehingga
atlet dapat merasa pusing, kesadaran berkurang dan lemah (Brown dan Rea,
2013).
Tidal Volume (TV) dan Respiratory Rate (RR) mencapai puncaknya pada
beberapa menit pertama setelah latihan, apabila latihan terus berlanjut dengan
intensitas yang tetap, makan TV dan RR akan konstan hingga latihan tersebut
berakhir. Hanya 1,5 % oksigen yang diangkut di dalam plasma darah dan sebagian
28
tentang pelepasan oksigen dari ikatan dengan hemoglobin ketika berada pada
afinitas yang tinggi terhadap oksigen, hemoglobin akan mudah mengikat oksigen
ketika ada sedikit peningkatan pada tekanan parsial oksigen, maka dari itu saturasi
oksigen tinggi pada paru-paru, namun penurunan kecil dalam tekanan parsial
hemoglobin. Pada otot-otot saat latihan yang tekanan parsial oksigennya rendah,
jaringan otot tersebut seperti pada Gambar 2.6. (Brown dan Rea, 2013).
oksigen pada paru-paru. Hal ini dikenal dengan efek Bohr, diambil dari nama
seorang ahli fisiologi Christian Bohr dari Danish, yang menemukan efek tersebut.
Gambar 2.6. Pergeseran Kurva Disosiasi Oksigen (Brown dan Rea, 2013)
karbon dioksida dan konsentrasi ion hidrogen pada paru-paru memiliki kadar yang
rendah, yang akan menggeser kurva disosiasi ke kiri sehingga terjadi peningkatan
pengambilan oksigen. Terjadi peningkatan suhu pada otot yang bekerja pada saat
latihan, hal tersebut akan menggeser kurva disosiasi ke kanan dan oksigen akan
mudah dilepaskan, sebaliknya penurunan suhu akan menggeser kurva ke kiri dan
Temperatur suhu pada jaringan otot pada saat olahraga akan meningkat
karena lebih banyak darah dipompa melalui otot dan adanya kelebihan panas yang
dihasilkan. Semakin hangat jaringan otot, maka akan semakin lentur otot tersebut.
Hal ini berarti bahwa jaringan otot mampu meregang menjadi lebih panjang tanpa
adanya robekan. Kecepatan impuls saraf yang dikirim dan yang diterima akan
peningkatan suhu pada pemanasan jaringan otot (Brown dan Rea, 2013).
ATP lebih lambat dibandingkan dengan dua sistem energi yang lain. Produksi
seperti yang terjadi ketika oksigen tersedia untuk memecah glukosa, Piruvat tidak
berubah menjadi asam laktat karena adanya oksigen, melainkan terus dipecah
melalui serangkaian reaksi kimia. Reaksi kimia yang pertama adalah Siklus
Krebs, yaitu piruvat dari glikolisis aerobik bergabung dengan Koenzim A (CoA)
untuk membentuk asetil CoA kemudian menghasilkan ATP, hidrogen dan karbon
dioksida. Reaksi kimia yang kedua adalah rantai transport electron, yaitu atom
hidrogen yang dihasilkan dari Siklus Krebs masuk ke dalam rantai ini, dan
akhirnya bergabung dengan oksigen untuk membentuk ATP dan air. Baik Siklus
Krebs dan maupun rantai transpor elektron berlangsung di organel yang disebut
membran dalam dan luar. Membran dalam tersusun dalam banyak lipatan ke arah
dalam. Lipatan ini disebut krista dan berfungsi memberikan area permukaan yang
besar untuk berlangsungnya produksi energi seperti pada Gambar 2.7. (Brown dan
Rea, 2013).
31
yang konstan. Suhu manusia normal adalah 37°C. Suhu pada kulit tubuh dapat
bervariasi, jika suhu inti meningkat atau menurun 1°C atau lebih, hal ini akan
sangat penting dalam memastikan bahwa kita mampu untuk kehilangan kelebihan
panas ini sehingga suhu inti kami tidak meningkat. Kelebihan panas hilang
melalui keringat dan dilatasi pembuluh darah perifer, sehingga aliran darah berada
dekat dengan permukaan kulit. Keringat akan menguap dan mendingin suhu ke
bawah permukaan kulit. Cardiac output sebesar 15 dan 25 persen dari output
jantung diarahkan untuk kulit ketika kita berolahraga dengan intensitas tinggi
karena dapat memprediksi kinerja aktual daya tahan dalam olahraga seperti lari
jarak jauh dan lari cepat. Conconi et al. menemukan suatu metode yang
32
sederhana, murah dan tidak invasif untuk menentukan ambang anaerobik pada
menunjukkan hubungan yang linear antara denyut jantung dan kecepatan lari,
namun ditemukan sebuah plateau atau pendataran denyut jantung pada kecepatan
lari yang tinggi yang disebut sebagai Heart Rate Deflection Point (HRDP)
(Mackenzie, 2015).
kecepatan awal mereka dan meningkatkan kecepatan setiap 200 meter sehingga
mereka dapat menyelesaikan total jarak antara 2,5 km dan 4 km. Pada setiap 200
meter dicatat denyut jantung dan kecepatannya pada grafik. Akan ditemukan
grafik meningkat secara bertahap dan kemudian merata sebelum akhirnya naik
lagi. Pendataran dalam grafik ini menunjukkan ambang anaerobik atlet. Ambang
aerobik adalah ambang anaerobik dikurangi 20 kali per menit. Analisis hasil tes
dengan pelatihan yang tepat antara masing-masing tes, analisis akan menunjukkan
perbaikan dalam ambang anaerobik dan ambang aerobik atlet. Reliabilitas tes
Conconi mengacu pada sejauh mana konsistensi dan kestabilan pengukuran yang
dilakukan pada tes ini. Reliabilitas tes Conconi tergantung pada seberapa ketat tes
ini dilakukan dan tingkat motivasi individu untuk melakukan tes, kondisi fisik,
keadaan lingkungan, pakaian, dll. Uji validitas mengacu pada sejauh mana tes
benar-benar mengukur apa klaim untuk mengukur dan sejauh mana penarikan
kesimpulan, dan keputusan yang dibuat atas dasar nilai tes yang tepat dan
jantung dan kecepatan lari terjadi pada kecepatan yang sama seperti pada ambang
anaerobik. Mereka melaporkan bahwa metode ini juga berlaku untuk olahraga
jantung dan kecepatan lari terjadi pada kecepatan yang sama seperti pada ambang
anaerobik. Mereka melaporkan bahwa metode ini juga berlaku untuk olahraga
fisiologi melaporkan bahwa ada hubungan linear denyut jantung dan kecepatan
lari selama tes incremental ini, hanya ditemukan plateau pada persentase subjek
untuk meningkatkan kinerja pada saat latihan intensitas tinggi dalam olahraga
ketahanan, dan secara luas digunakan sebagai salah satu indikator kebugaran
aerobik pada atlet. Beberapa metode alternatif telah diusulkan untuk identifikasi
LT, termasuk heart rate deflection point (HRDP) dan ratings of perceived
exertion scales (RPE). HRDP dapat diidentifikasi dengan cara mengukur denyut
jantung (HR) dan intensitas latihan. Menurut Kara et al. metode Dmax dapat
digunakan untuk mengidentifikasi HRDP, yaitu pada titik jarak maksimum antara
poin pertama dan terakhir dari plot ini. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa
kelamin, usia, dan tingkat pelatihan. Pada penelitian oleh Conde et al diperoleh
nilai HRDP pada sembilan subjek laki-laki aktif yang secara fisik mempunyai
karakteristik berat (77,3 ± 8,9 kg), tinggi (177,5 ± 3,2 cm), umur (22,2 ± 2,7 thn),
34
dan lemak tubuh (11,3 ± 5,5 %) menjalani tes treadmill progresif mulai 6 km/ jam
dan dengan kenaikan secara bertahap 1 km/jam setiap 2 menit (Conde et al.,
mengukur tingkat intensitas aktivitas fisik. Perceived Exertion atau tenaga yang
dirasakan adalah seberapa keras seseorang merasa tubuhnya bekerja. Hal ini
berkeringat, dan kelelahan otot. RPE merupakan ukuran subjektif, namun dapat
memberikan perkiraan yang cukup baik dari kondisi denyut jantung yang
sebenarnya selama aktivitas fisik. Para praktisi telah sepakat bahwa RPE antara 12
sampai 14 pada skala Borg menunjukkan bahwa aktivitas fisik dengan intensitas
tingkat moderat. Skala Borg 9 jika kelelahan otot dan pernapasan yang dialami
oleh sangat ringan, sedangkan jika tenaga yang dirasakan sangat sulit adalah skala
dengan detak jantung yang sebenarnya selama aktivitas fisik, sehingga RPE
seseorang dapat memberikan perkiraan yang cukup baik dari kondisi denyut
jantung yang sebenarnya selama aktivitas. Sebagai contoh, jika RPE seseorang
denyut per menit. Perlu diperhatikan bahwa perhitungan ini hanya perkiraan
35
denyut jantung, dan denyut jantung yang sebenarnya dapat bervariasi sedikit
tergantung pada usia dan kondisi fisik. Skala RPE Borg juga merupakan metode
yang baik untuk menilai intensitas seseorang yang memakai obat-obatan yang
psikologis ini dikaitkan dengan banyak peristiwa fisiologis yang terjadi selama
otot yang berhubungan dengan RPE yang lebih intens. Tingkatan skala RPE
dengan skala 15 kategori yang dikembangkan oleh psikolog Swedia Gunnar Borg
atas evaluasi kinerja dan menentukan keputusan berikutnya, tetapi dalam analisis
tes atau pengukuran tersebut perlu diingat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
hasil. Beberapa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil tes atau pengukuran
(reabilitas tes), yaitu suhu; tingkat kebisingan; kelembaban; lama tidur para atlet
sebelum dilakukan tes; emosi atlet; obat-obatan; waktu pelaksanaan tes; konsumsi
dikerahkan oleh atlet; pemanasan; personalitas, dan keahlian atlet; pakaian, dan
Tujuan dari dilakukannya tes lari 2,4 kilometer (km) atau tes lari 1 ½ mil
adalah untuk memantau perkembangan kapasitas aerobik atlet (VO2 max). Para
pelatih dapat menggunakan hasil tes untuk memprediksi potensi seorang atlet
pada pertandingan lari 1500 meter (m) , 5 km dan 10 km dan dapat mengevaluasi
hasil yang ditempuh oleh atletnya. Sumber daya yang diperlukan untuk
melakukan tes ini adalah lintasan 400 m, stop watch, dan asisten. Tata cara untuk
menit; atlet diminta lari sejauh 2,4 km (6 kali lintasan 400 m) secepat mungkin;
seorang asisten memberikan aba-aba atau perintah mulai, dan mulai menyalakan
stopwatch; asisten terus menginformasikan kepada atlet waktu di akhir lap, dan
jumlah lap yang tersisa untuk menyelesaikan tes; asisten mencatat waktu yang
ditempuh saat lari 2,4 km. Analisis hasil tes ini adalah dengan cara
Tes ini ditujukan pada atlet yang aktif. Reabilitas tes ini tergantung
seberapa ketat tes ini dilakukan dan motivasi atlet dalam menjalani tes ini.
Validitas tes ini mengacu pada sejauh mana pengukuran pada tes ini benar-benar
dasar nilai tes yang tepat dan bermakna. Tes ini memberikan panduan untuk
potensi kinerja masa depan atlet dan sarana untuk memantau efek dari pelatihan
fisik atlet. Keuntungan menggunakan tes ini adalah alat yang diperlukan relatif
sederhana, mudah dilakukan, beberapa atlet dapat melakukan tes ini dalam waktu
yang bersamaan. Kerugian tes ini adalah dibutuhkan lintasan khusus 400 m
(Mackenzie, 2016a).