Anda di halaman 1dari 19

LEADERS ACADEMY INDONESIA

SELF CONCEPT
TIM PENYUSUN
Pemimpin.id
Deepspace, Jl. Melawai X No.9
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
DKI Jakarta

Modul ini merupakan hak intelektual milik


pemimpin.id

Dilarang memfotokopi/memperbanyak dan


menyebarkan konten modul tanpa seizin
pemimpin.id

1
BACA INI DULU
Kalau kamu pernah mencari kado untuk seseorang, pasti kamu tahu betul rasanya kesulitan
dalam memilih. Kamu ingin menemukan kado yang terbaik, tapi terikat dengan anggaran
yang kamu punya. Belum lagi, bagian paling sulit: kamu pun harus menebak jenis hadiah
apa yang akan disukai oleh orang ini. Anggaran yang terbatas masih bisa diakali, misalnya
dengan membeli barang yang kualitasnya diturunkan sedikit. Namun, jenis hadiahnya itu
penentu. Kalau jenisnya saja sudah salah, bisa dijamin orang yang kamu beri hadiah pasti
perlu memalsukan senyum ketika kamu persembahkan hadiahnya.

Masalahnya, masih ada lagi hal yang lebih menuntut dan pastinya memerlukan tanggung
jawab yang jauh lebih besar ketimbang memilih sesuatu untuk orang lain: memilih untuk
dirimu sendiri. Ada banyak hal yang perlu kamu pilih dalam hidup, ‘kan? Dulu kamu memilih
satu kampus dari sekian banyak yang ada di Indonesia, kemudian perlu lagi memilih
jurusannya. Setelah lulus dari sana, ada lagi pilihan pekerjaan yang kamu harus putuskan.
Habis itu biasanya kamu mulai ingin berumah tangga, jadi lagi-lagi harus memilih dari
banyak calon yang potensial sebagai pasangan hidup.

Masih bisa lebih melelahkan lagi kalau kamu juga mempertimbangkan baju apa yang perlu
dipakai hari ini, siang nanti makan apa, dan habis itu pulang lewat mana sebagai pilihan-
pilihan kecil yang juga harus dipikirkan. Hidupmu dipenuhi oleh pilihan dan kamu harus
menghadapinya satu per satu, tanpa henti. Kalau kamu akhirnya pusing karena kondisi ini,
apa yang sebaiknya perlu kamu lakukan?

Sama seperti memilih kado untuk orang lain, hal yang paling penting untuk dilakukan adalah
mengetahui jenis hadiah apa yang paling disukai. Nah, tapi pasti di sinilah masalahnya
muncul. Apa yang kamu suka? Apa yang baik untuk hidupmu? Ini memang pertanyaan yang
sulit, tapi tetap bisa dijawab. Caranya, pertama-tama kamu harus tahu siapa dirimu
sebenarnya. Tujuan akhir apa yang kamu tuju? Apa yang kamu hargai dalam hidup ini?
Identitas apa yang kamu yakini ada dalam dirimu?

Ini kurang lebih jadi mirip dengan memilih kado untuk orang lain. Supaya bisa menemukan
hadiah yang cocok, tentunya kamu perlu kenal baik dengan orang yang kamu hendak
hadiahi. Semakin kenal, semakin tinggi kemungkinan kamu mampu menebak hadiah yang
tepat. Sama saja, kamu pun perlu mengenal dirimu dengan sangat baik terlebih dulu
sebelum akhirnya dapat memilih jalan hidup yang tepat.

2
Mungkin Karena Kamu Makhluk Halus
Memilih jalan hidup yang tepat lantas adalah tugas yang amat berat. Eh, sebenarnya sih
memilihnya mudah-mudah saja, tapi mengenal diri-nya itu yang rumit. Proses mengenal diri
sendiri berlangsung seumur hidup dan sangat meletihkan. Salah satu faktor yang
menyebabkan proses ini begitu sulit adalah karena jati diri manusia sifatnya abstrak. Sudah
sewajarnya, kamu pasti lebih terbiasa mempelajari hal-hal konkret dibanding yang abstrak.
Objek konkret, seperti warna, bentuk, suara, tekstur, tentu sangat mudah untuk ditangkap
indra, diproses di otak, dan disikapi secara langsung. Misalnya, mudah bagimu untuk
bereaksi jika melihat kebakaran, sebab warnanya, suhunya, dan suaranya jelas terindra.
Kamu pasti segera kabur. Beda halnya dengan objek yang abstrak; relatif lebih sulit untuk
dideteksi karena tak tertangkap oleh indra-indramu. Hal-hal seperti konsep, keyakinan, teori,
atau ide mempunyai sifat yang abstrak. Jati diri pun begitu, sifatnya abstrak dan tak
langsung terasa lewat indra. Jati dirimu, secara teknis, seperti hantu.

Takkan pernah ada penggaris yang cukup jeli dan teropong yang cukup tajam untuk
menjawab pertanyaan berikut ini: siapakah dirimu sesungguhnya? Media sosial, film-film,
dan iklan-iklan mungkin mendefinisikan kualitas manusia berdasarkan fisiknya. Mereka
merekomendasikan untuk mendefinisikan diri melalui kecantikan dan ketampanan. Padahal,
dalam hakikat yang paling dalam, kamu adalah “makhluk halus.” Dirimu tak didefinisikan
oleh fisikmu, melainkan identitas dan jati diri yang abstrak di dalam dirimu. Ini tantangan
besar bagimu, tentunya, karena mengukur sesuatu yang abstrak seperti ini tak pernah
diajarkan di sekolah. Dampaknya, mengenal diri sendiri menjadi kemampuan yang langka,
sehingga berujung pada sejumlah kesengsaraan. Bukan hanya bagi diri sendiri, tapi juga
bagi orang lain.

3
Tidak Kenal Diri Sendiri? Hati-Hati
Banyak dampak negatif yang bisa timbul ketika orang yang tak mengenal dirinya sendiri
mencoba untuk bersosialisasi dengan orang lain. Wajar saja, sebab orang yang tak
mengetahui apa yang dia mau akan membuat orang-orang di sekitarnya kebingungan.
Ibaratnya seperti melayani anak kecil yang rewel, tetapi tak bisa menjelaskan apa yang dia
inginkan. Berikut beberapa kemungkinan yang bisa terjadi di beragam konteks pada orang
yang tidak mengenal dirinya sendiri:

Akademik
Sekadar keyakinan dalam diri bahwa, “Gue pasti bisa menyelesaikan kuliah. Gue memang
bukan orang yang jenius, tapi aku orang yang sabar, menghargai proses, dan pantang
menyerah,” bahkan akan sangat membantu proses akademikmu. Orang yang tak mengenal
dirinya sendiri tidak akan punya keyakinan ini dan akan mudah terpengaruh suara-suara
luar. Jika tugasnya direvisi, dia bisa berpikir, “Tuh kan revisi lagi… kayaknya emang gue ga
bakat di sini.” Mudah sekali berubah haluan karena pendapat orang lain adalah salah satu
dampak paling berbahaya dari tidak mengenal diri sendiri. Dalam proses kuliah di kampus,
mengenal diri lantas jadi sangat penting karena kamu akan menghadapi banyak sekali
revisi, kritik, dan saran. Maka, kamu butuh jangkar yang kuat dalam menghadapi itu semua.

Organisasi atau profesional


Kehidupan di dunia organisasi atau profesional memang berat, tapi bahkan bisa lebih berat
lagi jika kamu tak tahu siapa dirimu. Salah satu tantangan dalam karier organisasi atau
profesional adalah menakar kemampuan diri sendiri. Misalnya, kamu di BEM mendapatkan
jatah proker sebanyak 9 buah, sebab kepala divisimu melihat potensimu yang besar.
Menurutnya, kamu pasti bisa menyelesaikan itu semua selama kepengurusan berjalan. Jika
kamu tak tahu siapa dirimu, kamu pasti akan terjebak. Kamu, misalnya, tak sadar bahwa di
balik potensimu yang sangat besar, kamu orang yang mudah stres di bawah tekanan.
Sementara itu, sembilan buah proyek pasti menempatkanmu di bawah tekanan, apalagi
diiming-imingi, “Ayo, ini kan proses belajar, nanti kita bantu kok pasti.” Lalu, kamu terima.
Dampaknya? Kamu kewalahan, kelelahan, dan senantiasa dilanda kepanikan.

Hubungan interpersonal
Kamu selalu perlu mengerahkan identitasmu yang paling jelas ketika berhubungan secara
personal dengan orang lain. Kamu dan orang yang berhubungan denganmu harus
menetapkan aturan-aturan, apa yang kalian berdua sukai dan tidak sukai, dan sejenisnya.
Hubungan interpersonal pasti selalu membutuhkan pengertian satu sama lain tentang

4
bagaimana masing-masing pihak ingin diperlakukan. Oh ya, kalau kamu sangka ini
maksudnya hubungan romantis, bukan kok. Dalam semua hubungan, bukan hanya
hubungan romantis, semua aturan tak tertulis ini pasti juga penting disepakati. Maka, kalau
kamu saja tak tahu dirimu sendiri sukanya apa dan maunya apa, jangan harap kamu bisa
menjalin suatu hubungan yang baik dengan orang lain.

Self-Knowledge to the Rescue


Segala bahaya yang mengancam tadi bisa kamu hindari dengan punya self-knowledge alias
mengetahui dirimu sendiri. Kamu perlu mengetahui apa tujuanmu dalam hidup ini, apa yang
kamu junjung tinggi, dan identitas apa yang kamu yakini ada dalam dirimu. Nah, bagaimana
caramu bisa mengetahuinya?

Supaya bisa mengetahui panjang meja, kamu perlu mengukurnya dengan meteran. Dalam
rangka mengetahui proses perkembangbiakan mikroba, kamu perlu melihatnya di bawah
mikroskop. Dua contoh ini merupakan proses untuk mengetahui objek eksternal dari diri kita,
dan dua-duanya melibatkan pengamatan serta alat bantu. Begitu pula caramu bisa
mengetahui dirimu sendiri: kamu perlu mengamati dirimu menggunakan alat bantu tertentu.

“Eh, bentar-bentar.. Kalau yang diamati itu diri sendiri, kenapa gue perlu alat bantu? Ya
langsung aja ga sih?” Kamu mungkin berpikir demikian. Jawabannya, jangan. Mempunyai
self-knowledge itu merupakan kondisi yang langka pada manusia, kalau memang mudah
pasti semua orang sudah mempunyainya. Kamu tetap butuh alat bantu, sebab
mengumpulkan self-knowledge harus menempatkan dirimu sendiri sebagai objek. Pada
kondisi alami, kamu adalah subjek dalam hidupmu, ‘kan? Kamu adalah pelaku yang
mengerjakan sesuatu. Nah, dalam memperoleh self-knowledge, kamu harus bisa melihat
dirimu sendiri sebagai objek; sebagai benda yang hendak diukur dengan meteran atau
sebagai preparat yang tersaji di bawah mikroskop. Hanya saja, kamu tentu tidak memakai
alat bantu yang digunakan untuk mempelajari objek eksternal. Ada alat bantu lain yang lebih
cocok.

5
Mempelajari dirimu sendiri ibaratnya adalah seperti punya drone yang mengintai di atas
kepalamu dan mengamati setiap gerak-gerik yang kamu perbuat. Masalahnya, pasti kamu
tidak melakukan itu selama ini. Drone itu mahal dan kalau punya pun pasti bukan itu
peruntukannya. Lagipula, drone juga tak bisa menyelidiki pikiran dan perasaanmu yang
terdalam. Syukurlah, selama ini sudah ada yang melakukan itu untukmu; mengamatimu dari
luar dari waktu ke waktu dan bahkan, kalau kamu beruntung, ada pula yang mengenalmu
sangat dalam. Inilah alat bantu yang perlu kamu manfaatkan: orang-orang di sekitarmu.
Keluarga, teman, dan rekan kerja bisa jadi sumber berharga bagimu untuk melihat diri dari
helicopter view. Mereka adalah pihak yang selama ini melihatmu sebagai objek. Maka, untuk
mencapai self-knowledge yang solid, perspektif mereka perlu kamu pertimbangkan.

Dalam materi ini, self-knowledge akan dibagi ke dalam dua dimensi: self-awareness dan
self-concept. Keduanya menunjangmu dalam mengenal dirimu sendiri. Self-awareness

6
adalah kemampuan untuk mengamati dirimu sendiri, khususnya dalam aspek pikiran,
perasaan, dan tingkah lakumu. Sementara itu, self-concept adalah definisi yang kamu
sematkan pada dirimu sendiri. Definisi yang kamu punya biasanya berkisar pada purpose,
belief, dan value yang kamu jalani dalam hidupmu. Bisa dibilang, self-awareness jika
dipraktikkan akan menghasilkan self-concept. Akhirnya, kamu dapat memiliki self-knowledge
yang lebih baik jika telah meningkatkan kapasitas diri dalam dua dimensi tersebut.

Nah, mari kita bahas lebih dalam dua dimensi tadi pada bagian selanjutnya. Yuk!

7
SELF-CONCEPT: ME, MYSELF AND I
“Aku yang dulu bukanlah yang sekarang.”

Kamu mungkin merasa familier dengan kalimat di atas. Masih ingat? Itu adalah penggalan
lirik dari lagu yang dibawakan oleh pengamen cilik, Tegar. Singkat cerita, Tegar dulu
diremehkan ketika masih menjadi pengamen jalanan, tapi akhirnya berhasil sukses. Kalimat
di atas adalah semacam deklarasi bahwa ia telah berubah. Bukan lagi sekadar pengamen
jalanan, tapi penyanyi betulan. Namun, tentu ini bukan tempatnya membedah lirik lagu.
Coba perhatikan baik-baik kalimatnya, lalu tanyakan ini, “Gimana ya caranya si Tegar
mastiin bahwa dirinya yang dulu bukanlah yang sekarang?”

Apa yang jadi patokan untuk mengatakan seseorang sudah berubah dari titik X ke titik Y?
Kalau menurut lirik lagu yang tadi, patokannya adalah harta. “Cita-citaku menjadi orang
kaya, dulu ku susah sekarang alhamdulillah,” begitu lanjutannya; mengandung indikasi kuat
bahwa kendaraan dari titik X ke Y bagi Tegar adalah kekayaan. Benarkan kekayaan adalah
pendefinisi diri seseorang? Hmm, tidak juga. Jika ada seorang konglomerat hari ini, sebut
saja Manuel, yang besok bangkrut, apakah dia menjadi orang yang berbeda? Manuel
tetaplah Manuel, tidak berubah. Lalu apa yang mendefinisikan seseorang? Kalau tangan
Manuel dipotong, apakah dia tetap Manuel? Ya. Kalau wajahnya dioperasi plastik, masih
Manuel? Ya, walau sekarang mungkin terlihat mirip artis Korea, dia tetap Manuel.

Berdasarkan apa akhirnya seseorang bisa dibilang tidak seperti dirinya sendiri? Calon
terkuat barang kali jatuh kepada self-concept alias konsep yang seseorang sematkan
dalam dirinya sendiri. Self-concept memuat tujuan hidup, nilai yang dijunjung, dan keyakinan
atas identitas pribadi. Maka, jika Manuel mengalami amnesia hingga tak tahu arah jalan

8
pulang dan tak bisa mengenali istrinya sendiri, tapi masih punya tujuan hidup, nilai, dan
identitas yang sama, ia tetaplah Manuel. Kamu baru bisa merasa bahwa Manuel bukanlah
Manuel saat dia berubah di dalam self-concept-nya.

Maka dari itu, self-concept adalah unsur terkecil yang membentuk diri seseorang. Kamu pun
juga begitu. Secara fisik kamu adalah susunan atom, tapi secara mental kamu tak lebih dari
self-concept yang kamu miliki sekarang. Berdasarkan self-concept, kalau begitu, setiap
individu menjadi unik di antara individu-individu lainnya.

Apa Itu Self-Concept?

Definisinya sederhana: self-concept adalah kumpulan pengetahuan mengenai aspek-


aspek yang unik dalam diri seseorang, seperti kepribadian, keyakinan, karakteristik fisik,
keahlian, tujuan hidup, nilai, dan identitas. Pengetahuan ini bisa kamu dapatkan dari mana
saja, tetapi salah satu sumber utamanya adalah self-awareness. Jika kamu mempunyai
kemampuan yang baik dalam menerapkan self-awareness, kamu akan mendapatkan
banyak informasi tentang dirimu sendiri. Ini yang akhirnya bermuara menjadi self-concept.

Oleh karenanya, self-concept didapatkan melalui pengalaman. Jadi, self-concept ini tidak
dibawa sejak lahir, melainkan terbentuk sendiri berdasarkan peristiwa-peristiwa yang terjadi
dalam hidupmu. Sepanjang kamu hidup, pengalamanmu akan terus bertambah pula,
sehingga self-concept juga bisa berubah. Roberto dulu mungkin tak pede presentasi di
depan umum karena merasa tidak berprestasi, tapi setelah memenangi banyak turnamen
debat bahasa Inggris, ia kini jadi berani untuk berorasi di depan 1.000 orang. Self-concept
Roberto berarti berubah karena pengalaman baru.

Kemudian, self-concept tidak harus selaras dengan realitas. Self-concept sifatnya


subjektif, artinya ia akan mengikuti interpretasi pribadi setiap individu. Kamu mungkin punya
teman yang sangat hebat; akademiknya cemerlang, organisasinya keren, temannya
segudang, tapi cenderung rendah diri. Dia selalu merasa dirinya belum cukup baik. Pernah?
Kalau ada yang begitu, itu salah satu bukti bahwa self-concept tidak terbentuk secara
objektif, tapi sangat bergantung pada interpretasi yang subjektif.

Terakhir, informasi tentang dirimu sendiri bisa berasal dari beragam situasi. Ini karena besar
kemungkinan kamu adalah individu yang bervariasi di setiap konteks. Kamu di keluarga bisa
jadi merupakan orang yang berbeda dari kamu di organisasi. Kamu ketika dalam liburan
panjang juga mungkin berbeda dari kamu pada H-1 acara yang kamu ketuai. Ini
menyebabkan self-concept seseorang bersifat multidimensional. Artinya, ibarat komputer,

9
pengetahuanmu tentang dirimu sendiri disimpan dalam folder-folder yang berbeda, sebab
sepertinya dirimu mempunyai sisi yang berbeda-beda.

Tiga Aspek Utama Self-Concept

Meski sifatnya multidimensional, self-concept tetap memiliki tiga aspek dasar yang relatif
konsisten dalam diri individu. Mereka tetap bisa berubah-ubah seiring waktu, tapi
keadaannya cenderung stabil karena kamu perlu melewati peristiwa-peristiwa yang besar
dulu untuk mengalami perubahan di dalam tiga aspek ini. Mereka adalah belief, value, dan
purpose.

Belief
Belief adalah identitas yang dipercaya seseorang ada di dalam dirinya. Misalnya begini,
kamu pasti punya keyakinan tertentu tentang dirimu, seperti, “Gue orang yang galak,” “Gue
orang yang sanggup bekerja dalam tekanan,” atau “Gue cukup dermawan ke orang yang
butuh, tapi pelit kalau ke temen.” Ini merupakan pandanganmu terhadap dirimu sendiri dan
mereka menuntun tingkah laku yang kamu lakukan sehari-hari. Jika kamu punya belief
bahwa kamu adalah pencinta lingkungan, kamu akan merasa berat hati untuk membuang
plastik batagor di sembarang tempat meski sedang dalam keadaan darurat--plastiknya
bocor, misalnya.

Belief lantas menjadi topik yang cukup sering dibahas oleh psikologi karena perannya yang
besar dalam perkembangan mental manusia. Tak jarang, belief menjadi sumber masalah
mental atau bahkan gangguan jiwa, sebab keyakinan seseorang tentang dirinya bisa tak
selaras dengan realitas yang ada. Begitulah memang sifat self-concept, setiap orang bisa
membingkai dirinya dalam bentuk apapun yang dia kehendaki.

Namun, jika ada kesenjangan yang terlalu lebar antara belief dengan realitas, masalah jadi
muncul. Misalnya, Luis meyakini penuh bahwa ia seorang mahasiswa yang pandai. Akan
sangat berat baginya ketika dosennya suatu hari memberi nilai yang buruk atas tugasnya,
bahkan dengan dihiasi pulpen merah di mana-mana. Ada kesenjangan antara persepsi
belief Luis dengan kenyataan di lapangan. Akhirnya, Luis merasa bingung, kecewa, dan
sedih.

Seorang psikolog beraliran humanistik Carl Rogers menerangkan bahwa setiap orang
mempunyai dua versi diri dalam belief-nya: real self dan ideal self. Real self adalah kondisi
dirimu saat ini, sementara ideal self adalah kondisi diri ideal yang kamu dambakan. Dilema
Luis bisa dipandang dari kacamata Rogers ini. Real self Luis adalah seseorang yang masih
belum menguasai sebuah topik kuliah, sehingga tugasnya mendapat banyak revisi. Ideal

10
self-nya adalah seorang mahasiswa jenius tanpa cela yang menguasai berbagai materi
kuliah. Jika Rogers melihat Luis sekarang, dia akan bilang bahwa Luis sedang berada dalam
kondisi yang inkongruen, artinya tidak memiliki real self dan ideal self yang setara. Makanya,
wajar saja Luis merasa cemas.

Bagi Rogers, kondisi inkongruen itu buruk. Akan tetapi, kondisi inkongruen antara real self
dan ideal self seharusnya tak selalu buruk. Ada kesenjangan antara dirimu dan kondisi
idealmu di masa depan bisa menjadi motivasi bagimu untuk belajar dan berkembang.
Misalnya, anggaplah kamu ingin menjadi seseorang yang tegas, visioner, jago dalam
mengambil keputusan. Ini ideal self yang mungkin belum kamu capai sekarang, tapi justru
itu memberi makna hidup bagimu, ‘kan? Kamu mempunyai target yang perlu kamu kejar.
Belief adalah bagian dari self-concept dan self-concept bisa berubah.

Tapi, pelan-pelan. Sebelum bisa mengelola belief untuk mengecilkan kesenjangan antara
real self dan ideal self-mu, kamu perlu mengetahui dulu apa beliefs yang kamu miliki tentang
dirimu. Salah satu cara yang bisa kamu coba adalah menggunakan Twenty Statements

11
Test. Caranya gampang sekali, kamu tinggal melengkapi daftar berisi 20 nomor bertuliskan
“Aku adalah . . .” Isi dengan apapun yang kamu yakini, nanti hasilnya bisa memberikan
gambaran bagimu tentang belief yang kamu punya.

Value
Value, atau nilai, adalah konsep yang terinternalisasi di dalam dirimu, sehingga kamu
apresiasi dan prioritaskan. Biasanya, kamu menilai benar atau salah menggunakan value
yang kamu junjung. Dalam konteks sosial, kamu mengadopsi value sebagai alat
bersosialisasi dengan keluarga, kelompok, dan masyarakat. Value relatif lebih menetap
ketimbang belief, tetapi bisa juga berubah karena peristiwa tertentu yang terjadi dalam
hidupmu. Perlu diingat, tidak ada value yang buruk, semuanya baik. Akan tetapi, bisa saja
sebuah value dimanifestasikan ke dalam perilaku baik dan perilaku buruk. Misalnya, value
kerja keras dapat berujung pada tingkah laku bekerja secara maksimal atau bisa juga
menjadi tingkah laku menghalalkan segala cara.

Ketika kamu menganut sebuah value, cara pandangmu terhadap dunia akan menyesuaikan
bingkai value tersebut. Maka, value sebetulnya erat sekali kaitannya dengan sistem moral.
Manusia pasti punya sistem moral yang memandu hidupnya. Entah itu agama, ideologi
ekonomi, filsafat, dan lain sebagainya. Nah, sistem moral ini berperan sebagai “hakim” yang
kamu gunakan untuk menilai baik-buruknya suatu objek yang kamu temui di hidupmu. Salah
satu tokoh peneliti sistem moral adalah Jonathan Haidt dari New York University’s Stern
School of Business. Haidt mengembangkan sebuah teori yang dapat membantumu
memahami value secara lebih sistematis. Namanya Moral Foundations Theory, yang
berargumen bahwa sistem moral manusia ditopang oleh enam buah fondasi yang mewakili
values dalam hidup:
1. Care
Ini adalah value yang berkaitan dengan kepedulian, kasih sayang, dan empati
kepada orang lain. Konsep ini menitikberatkan pentingnya saling tolong menolong
dan menghilangkan kesulitan satu sama lain. Jika kamu mengadopsi value ini, besar
kemungkinan kamu akan banyak terjun dalam kegiatan-kegiatan kerelawanan. Kamu
juga sering mendukung gerakan-gerakan sosial untuk menolong kaum yang
membutuhkan dan memberi donasi bagi mereka.
2. Fairness
Ini adalah value yang berkaitan dengan proporsionalitas dan keadilan. Dalam diri
orang yang mengadopsi fairness, keadilan menjadi hal yang dijunjung tinggi. Value
ini menjadi basis dalam bekerja sama dalam tim, kooperasi, dan sebagainya.
Misalnya, dua anggota tim yang mengerjakan hal yang sama harus dibayar dengan

12
upah yang sama pula. Jika kamu sering memperjuangkan hal ini, artinya value ini
mengakar kuat di dalam dirimu. Hidup harus proporsional, maka orang yang bekerja
banyak pantas mendapat keuntungan yang banyak. Di sisi lain, yang bekerja sedikit
ya tidak boleh protes atas bagi hasil yang juga sedikit.
3. Loyalty
Ini adalah value yang berkaitan dengan kesetiaan, pengabdian, dan solidaritas.
Kamu bisa jadi mengadopsi value ini di dalam hidupmu jika kamu menyenangi hal-
hal yang berbau solidaritas kelompok. Mungkin kamu mengidentifikasi diri sebagai
seorang nasionalis, atau menaruh kebanggaan yang besar terhadap almamater,
atau simpatisan dari sebuah partai politik. Value ini mempromosikan kepentingan
kelompok di atas kepentingan individu.
4. Authority
Ini adalah value yang berkaitan dengan hierarki, kekuasaan, dan status. Konsepnya,
penghormatan harus diberikan kepada sosok yang ada di atas kita secara struktural.
Value ini terlihat jelas dalam organisasi, perusahaan, atau negara. Jangan
disalahartikan dengan loyalty, sebab loyalty lebih menjurus ke kesetiaan kepada
kelompok. Sementara itu, authority ialah kesetiaan kepada struktur dan sistem.
Kepatuhan, penghormatan, dan penyerahan diri kepada otoritas menjadi isu penting
dalam value ini.
5. Sanctity
Ini adalah value yang berkaitan dengan kesucian, kesakralan, dan spiritualitas. Value
ini mempunyai penekanan pada kebersihan, baik lahir dan batin. Agamawan
kemungkinan besar mengadopsi value ini. Melalui value ini, manusia dapat
mendeklarasikan tempat atau benda sebagai suci atau keramat. Kepercayaan
terhadap kesakralan simbolis suatu benda, semboyan, tempat, dan waktu
merupakan ciri utama yang menandakan adanya value ini dalam diri seseorang.
6. Liberty
Ini adalah value yang berkaitan dengan kesetaraan, kebebasan, dan inklusivitas.
Value ini menitikberatkan otonomi sebagai jantungnya. Jika kamu percaya dengan
sangat bahwa hak-hak individual merupakan isu yang perlu diperjuangkan, kamu
menganut value ini. Kesetaraan yang dimaksud di sini berbeda dari keadilan yang
ada di fairness. Liberty mempromosikan kesetaraan mutlak, sedangkan fairness
menjunjung proporsionalitas yang relatif. Gerakan kaum buruh, feminisme, dan
pembelaan kaum minoritas lainnya pasti mengerucut pada value ini.

Sekarang, bagaimana caranya kamu bisa mencari tahu apa value yang kamu anut?
Pertama, kabar gembiranya adalah Haidt bersama para koleganya telah membuat alat ukur

13
mereka sendiri. Jadi, kamu bisa coba mengisinya. Aktivitas lainnya, kamu bisa mencoba
Personal Values Card Sort yang tersedia di internet. Salah satu contohnya bisa diakses di
sini: bit.ly/pvcs_

Purpose
Purpose adalah target yang bermakna bagi dirimu dan kamu percayai dapat memberi
dampak yang signifikan pada dunia di luar dirimu sendiri. Secara alami, purpose adalah
puncak dari belief dan value yang kamu miliki. Belief merupakan keyakinanmu terhadap
dirimu sendiri, sedangkan value adalah gambaran ideal dari dunia yang kamu dambakan.
Nah, purpose berfungsi seperti jembatan yang akan mengaitkan belief dan value-mu
tersebut. Memiliki purpose akan menimbulkan perasaan berdaya dan meningkatkan fokus
hidupmu. Self-concept yang komplet pasti berisi purpose sebagai salah satu aspek
utamanya.

Dalam menemukan purpose yang tepat, pastikan purpose-mu memenuhi ciri-ciri berikut:
1. Dibangun di atas kekuatan, bakat, keahlian, value, dan minatmu. Maksudnya,
berarti purpose pasti berkaitan dengan dirimu, keresahanmu, atau pengaruh sosial
yang ada di sekitarmu.
2. Berbentuk tujuan bagi masa depan yang memengaruhi tindakanmu di masa
kini. Adanya purpose di depanmu berfungsi sebagai semacam jangkar yang
menjaga penjelajahanmu tidak terlalu melenceng dari yang seharusnya.
3. Mempunyai dampak bagi dirimu dan bagi dunia di sekitarmu. Sebuah purpose
harus dapat memenuhi motivasi intrinsikmu, sekaligus menjawab permasalahan
konkret di lapangan
4. Dikejar dengan kehendak penuh. Sebagaimana sebuah cita-cita, purpose harus
cukup ambisius, sehingga mampu memancingmu untuk mengejarnya dengan amat
serius.
Kamu hanya bisa memiliki satu buah purpose dalam satu waktu. Maka, jika Camilla
mempunyai purpose untuk membawa perdamaian dunia, ia sebaiknya tidak juga berniat
untuk menyelamatkan satwa langka. Kedengarannya mungkin lebih komprehensif dengan
dua buah purposes sekaligus, tapi yang akan terjadi justru tak seperti yang diharapkan.
Kenapa? Karena purpose bersifat mengarahkan tingkah laku Camilla saat ini, fokusnya
dalam mengampanyekan perdamaian dunia secara simultan akan mengurangi waktu dan
energinya dalam menjaga keutuhan fauna yang terancam punah.

Tidak ada resep khusus untuk menemukan purpose, sebab butuh perjalanan hidup dan
waktu yang panjang bagi seseorang untuk menemukan purpose dalam hidupnya. Namun,

14
penelitian menemukan ada jenis orang tertentu yang lebih mudah mendapatkan purpose
bagi hidupnya. Mereka adalah orang yang punya rasa penasaran dan keterbukaan yang
tinggi. Membuka diri terhadap banyak kemungkinan baru dapat memudahkanmu untuk
menemukan purpose. Bisa jadi, dengan aktif di beragam kegiatan sosial, kamu jadi tergerak
untuk memperbaiki keadaan sosial pada masyarakat yang kurang mampu. Akhirnya, itu
menjadi purpose yang kamu bawa selama hidup. Purpose ini tentu tak dapat kamu ketahui
jika kamu hanya mendekam di rumah tanpa mengembangkan rasa keingintahuanmu
terhadap dunia luar, ‘kan?

Masih mengenai cara menemukan purpose, peneliti memetakan tiga tipe cara orang-orang
biasanya mendapatkan purpose mereka:
1. Pencarian secara proaktif. Cara ini ditempuh dengan mengarungi banyak
percobaan. Trial and error dibutuhkan untuk akhirnya bisa merasa “klik” dengan
salah satu tujuan hidup tertentu. Untuk melakukannya, kamu butuh mengandalkan
keingintahuan, eksplorasi, dan introspeksi seoptimal mungkin.
2. Perkembangan secara reaktif. Cara ini memanfaatkan peristiwa besar dalam hidup
sebagai momentum untuk merencanakan sebuah purpose. Kejadian seperti
kematian, musibah, prestasi, pernikahan, dan sejenisnya bisa membuatmu
merangkai ulang tujuan hidupmu. Akhirnya, tak jarang orang-orang mendapatkan
tujuan hidupnya setelah mengalami sebuah “titik balik” dalam hidupnya.
3. Pembelajaran secara sosial. Purpose juga bisa ketahuan setelah kamu
menghabiskan banyak waktu bersama sekelompok orang tertentu. Misalnya, karena
kamu aktif secara sosial di komunitas keagamaan, bisa jadi itu memberikanmu
tujuan dalam hidup. Pembelajaran sosial juga bisa didapatkan dari figur idola yang
kamu teladani.
Nah, berhubung cara nomor dua mengandalkan peristiwa yang berada di luar kendalimu,
coba berfokus pada cara 1 dan 3 saja. Segera cari komunitas tertentu yang kamu pikir
cocok dengan minatmu, temui mentor-mentor yang berprestasi, dan besar harapan purpose-
mu akan semakin jelas. Kuncinya adalah mencari lingkungan yang suportif dan relevan.
Suportif maksudnya adalah lingkungan yang mempromosikan budaya belajar,
pengembangan diri, dan pemberian dampak bagi masyarakat. Relevan berarti berada di
ranah kehidupan yang kamu sukai, seperti seni, politik, sosial, akademik, atau olahraga.
Tentunya, kamu akan bisa jauh lebih mudah mendapatkan lingkungan yang cocok bagimu
jika belief dan value yang kamu miliki pun sudah jelas.

15
REFERENSI
Ackerman, C. E. (2020). What is self-concept theory? A psychologist explains.
https://positivepsychology.com/self-concept/
Boyes, A. (2013). The self-serving bias: Definitions, research, and antidotes. Psychology
Today. https://www.psychologytoday.com/us/blog/in-practice/201301/the-self-serving-
bias-definition-research-and-antidotes
Cherry, K. (2020). What is self-concept? The psychological exploration of “Who am I?”
Verywell Mind. https://www.verywellmind.com/what-is-self-concept-2795865#citation-1
Cherry, K. (2019). History and key concepts of behavioral psychology. Verywell Mind.
https://www.verywellmind.com/behavioral-psychology-4157183
Cherry, K. (2020). 20 common defense mechanisms used for anxiety. Verywell Mind.
https://www.verywellmind.com/defense-mechanisms-2795960
Cherry, K. (2020). How cognitive biases influence how you think and act. Verywell Mind.
https://www.verywellmind.com/what-is-a-cognitive-bias-2794963
Damon, W., Menon, J., & Bronk, K. C. (2003). The development of purpose during
adolescence. Applied Developmental Science, 7(3), 119-128.
http://www.csufresno.edu/kremen/about/centers-
projects/bonnercenter/documents/Development.pdf
Haidt, J. (2013). The righteous mind: Why good people are divided by politics and religion.
New York, NY: Pantheon Books.
Klein, J. G. (2005). Five pitfalls in decisions about diagnosis and prescribing. BMJ,
330(7494), 781-783. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC555888/
Kruger, J. & Dunning, D. (1999). Unskilled and unaware of it: how difficulties in recognizing
one's own incompetence lead to inflated self-assessments. Journal of personality and
social psychology, 77(6), 1121. DOI: 10.1037/0022-3514.77.6.1121
Kuhn, M. H. & McPartland, T. S. (1954). An empirical investigation of self-attitudes.
American Sociological Review, 19(1), 68-76. DOI: 10.2307/2088175
Manson, M. (n.d.). The three levels of self-awareness. https://markmanson.net/self-
awareness
Nickerson, R.S. (1998). Confirmation bias: A ubiquitous phenomenon in many guises.
https://pdfs.semanticscholar.org/70c9/3e5e38a8176590f69c0491fd63ab2a9e67c4.pdf

Oyserman, D. (2015). Psychology of values. In James D. Wright (ed.), International


Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences (2nd Ed). Oxford: Elsevier.

16
Poses, R. M., & Anthony, M. (1991). Availability, wishful thinking, and physicians' diagnostic
judgments for patients with suspected bacteremia. Medical Decision Making, 11(3),
159-168. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1881270/
Project Implicit. (n.d.). Implicit association test.
https://implicit.harvard.edu/implicit/education.html
Rainey, L. (2014). The search for purpose in life: An exploration of purpose, the search
process, and purpose anxiety. Master of Applied Positive Psychology (MAPP)
Capstone Projects, 60.
www.repository.upenn.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1061&context=mapp_capston
Simonsohn, U., Karlsson, N., Loewenstein, G., & Ariely, D. (2008). The tree of experience in
the forest of information: Overweighing experienced relative to observed information.
Games and Economic Behavior, 62(1), 263-286.
Steglich-Petersen, A. & Skipper, M. (2019). Explaining the illusion of asymmetric insight.
Review of Philosophy and Psychology, 10, 769–786. https://doi.org/10.1007/s13164-
019-00435-y
The cognitive self: The self-concept. (n.d.). BC Campus.
https://opentextbc.ca/socialpsychology/chapter/the-cognitive-self-the-self-concept/
The School of Life. (2016, May 16). Who am I? [Video File].
https://www.youtube.com/watch?v=oocunV4JX4w
Tversky, A., & Kahneman, D. (1973). Availability: A heuristic for judging frequency and
probability. Cognitive Psychology, 5, 207–232
Tversky, A., & Kahneman, D. (1974). Judgment under uncertainty: Heuristics and biases.
Science (New Series), 185, 1124-1131.
Westerwick, S.K, Mothes, C, Polavin N. (2020). Confirmation bias, ingroup bias, and
negativity bias in selective exposure to political information. https://cpb-us-
w2.wpmucdn.com/u.osu.edu/dist/4/13821/files/2015/05/Confirmation-Bias-Ingroup-
Bias-and-Negativity-Bias-in-Selective-Exposure-to-Political-Information-2i6hn5q.pdf

17
18

Anda mungkin juga menyukai