NAMA ANGGOTA :
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS RIAU
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan pada kita semua
sehingga penyusun dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dimana makalah ini membahas
tentang Pengawasan & Penegakan Hukum Ketenagakerjaan.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran dari banyak pihak sangat kami harapkan untuk menyempurnakan makalah
ini.
Akhirnya, ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu dalam pembuatan makalah ini, kami harapkan makalah ini dapat bermanfaat dan
mampu menambah wawasan bagi semua semua orang.
Kelompok 5
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................2
DAFTAR ISI ...................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................4
1.1 LATAR BELAKANG...........................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................6
2.1 PENGAWASAN HUKUM KETENAGAKERJAAN......................................6
A. Pengertian Pengawasan Hukum Ketenagakerjaan.....................................6
B. Fungsi Utama Pengawas Ketenagakerjaan ...............................................7
C. Tujuan Dari Pengawasan Ketenagakerjaan...............................................8
D. Wewenang Dari Pengawas Ketenagakerjaan............................................9
E. Cara Layanan Pengawasan Ketenagakerjaan
Dalam Memastikan Penegakan Hukum Ketenagakerjaan.......................10
F. Pengawasan Ketenagakerjaan Membantu Memperbaiki
Peraturan Ketenagakerjaan......................................................................11
G. Isu-isu yang Diamati Oleh Layanan Pengawasan Ketenagakerjaan........11
H. Prinsip-prinsip yang Memandu Pengawasan Ketenagakerjaan...............13
2.2 PENEGAKAN HUKUM KETENAGAKERJAAN.......................................15
A. Arti Penting Penegakan Hukum Ketenagakerjaan...................................15
B. Aspek Hukum Perdata.............................................................................17
I. Penyelesaian Di Luar Pengadilan................................................18
II. Penyelesaian Melalui Pengadilan................................................21
C. Aspek Hukum Administrasi.....................................................................21
I. Lingkup Aspek Hukum Administrasi..........................................21
II. Bentuk Sanksi Administrasi Bidang Ketenagakerjaan................22
D. Aspek Hukum Pidana...............................................................................23
BAB III PENUTUP.......................................................................................................25
Kesimpulan......................................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................26
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Hukum Ketenagakerjaan adalah hukum yang mengatur Tentang Ketenagakerjaan.
Hukum ketenagakerjaan awalnya dikenal dengan istilah perburuhan. Setelah kemerdekaan
Indonesia ketenagakerjaan Indoneia diatur dengan ketentuan Undang-Undang No. 14 tahun 1969
Tentang Pokok-Pokok Ketentuan Tenaga Kerja. Pada tahun 1997 Undang-Undang ini diganti
dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 Tentang Ketenagakerjaan. Keberadaan Undang-
Undang No. 25 tahun 1997 Tentang Ketenagakerjaan ini menimbulkan berbagai protes dari
masyarakat. Hal ini dikaitkan dengan masalah menara jamsostek yang dibangun berdasarkan
dugaan kolusi penyimpangan dana jamsostek. Keberadaan Undang-Undang No.25 tahun 1997
ini mengalami penangguhan dan kemudian diganti dengan Undang-Undang No.13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (lembaran negara Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Tahun 2003 Nomor 4279 yang selanjutnya disingkat dengan UU No. 13 tahun 2003).
Di Indonesia dalam literatur hukum perburuhan yang ada, riwayat hubungan perburuhan
diawali dengan suatu masa yang suram yakni zaman perbudakan, rodi dan poenale sanksi (sanksi
poenale). Pada awal kemerdekaan keadaan hukum kerja tidaklah begitu berarti atau kurang
diperhatikan meskipun dalam Undang-Udang Dasar 1945 secara jelas diatur masalah
ketenagakerjaan, khususnya dalam pasal 27 ayat (2): “tiap-tiap warga Negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Namun hal ini terjadi karena
perhatian pemerintah lebih condong untuk mempertahankan kemerdekaan yang ingin direbut
kembali oleh belanda. Dengan demikian tidak ada sama sekali peraturan perundangan yang
dikeluarkan pada awal kemerdekaan tersebut. Baru kemudian setelah Indonesia mempertahankan
kedaulatannya pada tahun 1948 pemerintah mulai memerhatikan masalah ketenagakerjaan
dengan mengeluarkan berbagai peraturan. Kemudian dalam era tahun 2000 sebagian besar dari
peraturanundang-undang tersebut dicabut dan diganti yang kemudian lahirlah peraturan-
peratuaran sebagai berikut:
a.Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang serikat pekerja/serikat buruh.
b.Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
c.Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
4
Perubahan dalam struktur pasar kerja dan dalam hubungan kerja telah membawa
perubahan seketika dalam reorganisasi pengawasan ketenagakerjaan. Khususnya, pengawasan
ketenagakerjaan harus merespons dengan cara yang lebih efi sien untuk memastikan kepatuhan
melalui langkah-langkah pencegahan, saran dan deteksi atas pelanggaran undang-undang
ketenagakerjaan. Banyak dari perubahan ini – termasuk subkontrak, outsourcing dan
meningkatnya pekerjaan yang ilegal atau tidak dinyatakan sebagai pekerjaan – terhubung dengan
munculnya model model usaha baru dan mode produksi, globalisasi dan meningkatnya migrasi
pekerja, serta kemajuan teknologi.
Secara umum, reformasi pengawasan ketenagakerjaan tidak menjadi kebijakan utama
oleh pemerintah nasional untuk menangani krisis. Namun, peranan pengawasan ketenagakerjaan
sudah pasti meningkat selama periode ini, dan hal ini mungkin karena upaya-upaya akselerasi di
beberapa pemerintah untuk membangun kapasitas dan efektifitas pengawasan.
Pengawasan ketenagakerjaan adalah fungsi publik dari administrasi ketenagakerjaan yang
memastikan penerapan perundang-undangan ketenagakerjaan di tempat kerja. Peran utamanya
adalah untuk meyakinkan mitra sosial atas kebutuhan untuk mematuhi undang-undang di tempat
kerja dan kepentingan bersama mereka terkait dengan hal ini, melalui langkah-langkah
pencegahan dan edukasi, dan jika diperlukan penegakan hukum. Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menentukan bahwa pengawasan ketenagakerjaan adalah
kegiatan mengawasi dan menegakkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan dibidang
ketenagakerjaan. Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas
ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan
peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Pegawai pengawas ketenagakerjaan tersebut
ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan
oleh unit kerja tersendiri pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya dibidang
ketenagakerjaan pada pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan tersebut pada pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan kepada
Menteri.
5
BAB II
PEMBAHASAN
1
Giuseppe Casale, 2014, Pengawasan Ketenagakerjaan Apa dan Bagaimana: Panduan untuk pekerja, (Organisasi
Perburuhan Internasional, Direktur Program Administrasi dan Pengawasan Ketenagakerjaan), h. 9.
2
Ibid.
6
B. Fungsi Utama Pengawas Ketenagakerjaan
Kewajiban-kewajiban yang ditetapkan dalam Konvensi ini mengikat dan pada saat yang
sama memperbolehkan adanya fleksibilitas sehubungan dengan lingkupnya. Dalam hal ini,
perbedaan-perbedaan dapat dilihat dari satu negara ke negara lain dalam hal sifat peraturan yang
dicakup, dan kekuasaan yang diberikan kepada pengawas. Kekuasaan pengawas mungkin
berhubungan dengan seluruh peraturan yang terkait dengan kondisi kerja dan lingkungan kerja
atau mungkin terbatas pada masalah-masalah tertentu, misalnya keselamatan dan kesehatan atau
pengupahan. Tugas layanan pengawasan nasional dapat sangat terbatas atau sangat luas,
tergantung pada negara, dan tetap memenuhi definisi internasional tentang tujuan pengawasan,
sepanjang fungsi utama pengawasan ketenagakerjaan yang didefinisikan diatas dilaksanakan
secara memadai.
3
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (LN Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
TLN Republik Indonesia Nomor 4279), Pasal 1 angka 32.
4
Giuseppe Casale, op.cit., h. 12-13.
7
Pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan untuk menjamin pelaksanaan peraturan
ketenagakerjaan (Pasal 176 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003). Maka sasaran pengawasan
ketenagakerjaan ialah mempersempit kemungkinan adanya pelanggaran Undang-Undang
Ketenagakerjaan sehingga proses hubungan industrial mampu berjalan dengan sebagaimana
harusnya. Pengawasan ketenagakerjaan juga memiliki tujuan sosial yakni peningkatan
kesejahteraan dan jaminan sosial tenaga kerja, mendorong pertumbuhan dunia usaha, serta
membenahi kesejahteraan masyarakat. Ruang lingkup pengawasan ketenagakerjaan menurut
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1948 meliputi:
5
Abdul Khakim, Dasar-dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2014), h. 37.
6
Ibid., Pasal 176
7
Ibid., Pasal 177.
8
Ibid., Pasal 178 ayat (1)
8
b. pengusaha dan pekerja mendapatkan informasi dan panduan mengenai bagaimana
mematuhi persyaratan-persyaratan hukum;
c. perusahaan mengadopsi tindakan-tindakan untuk memastikan praktik dan
lingkungan di tempat kerja tidak menempatkan pekerja mereka dalam risiko-
risiko yang terkait dengan keamanan dan kesehatan;
d. informasi umpan balik dan pembelajaran dari praktik-praktik yang digunakan
sebagai cara untuk mengembangkan peraturan dalam memperbaiki lingkup
perlindungan hukum, dengan mempertimbangkan risiko-risiko baru yang terkait
dengan masalah sosial, fisik dan psikologis.
Pegawai pengawas yang ditunjuk harus bersifat independen dan harus memiliki
kemampuan baik dalam melaksanakan tugasnya serta tidak mudah terpengaruh oleh pihak lain
untuk menentukan keputusan. Adapun wewenang pegawai pengawas ketenagakerjaan tertuang
dalam Pasal 182 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 sebagai berikut:
9
E. Cara Layanan Pengawasan Ketenagakerjaan Dalam Memastikan Penegakan Hukum
Ketenagakerjaan
Layanan pengawasan memastikan penerapan yang efektif dari ketentuan hukum melalui
dua fungsi utama yaitu:
Meskipun misi utama dari pengawasan ketenagakerjaan adalah untuk memastikan bahwa
pengusaha patuh pada hukum dengan mengelola dan mencegah risiko secara efektif, sanksi
tetaplah bagian penting dari penegakan hukum. Ada berbagai macam skema sanksi yang
tersedia, termasuk peringatan verbal atau tertulis, sanksi administratif, yang secara administratif
mengenakan denda uang, beban aturan yang meningkat dan juga melakukan penuntutan hukum
sebagai cara yang terakhir. Penggunaan yang tepat dari kekuasaan penegakan hukum penting
baik untuk menjamin kepatuhan pada hukum ketika tindakan lainnya gagal, dan untuk
memastikan bahwa mereka yang memiliki kewajiban menurut hukum bertanggung jawab bila
tidak mematuhinya.
10
F. Pengawasan Ketenagakerjaan Membantu Memperbaiki Peraturan Ketenagakerjaan
Pengawas ketenagakerjaan adalah agen yang aktif untuk kemajuan sosial. Dalam
melaksanakan kunjungan dan pertukaran informasi dengan mitra sosial dan aktor lainnya,
pengawas mendapatkan pengetahuan yang luas mengenai situasi material pekerja, kondisi kerja
merejam situasi sosial dan ekonomi dalam berbagai cabang kegiatan dan seluruh permasalahan
teknis. Terima kasih kepada pengetahuan dan pengalaman langsung mereka di tempat kerja,
pengawas ketenagakerjaan sangat ideal ditempatkan untuk mengidentifi kasikan kesenjangan
(peraturan yang telah kuno atau kekosongan perlindungan) dalam peraturan ketenagakerjaan
(peraturan perundang-undangan) dan untuk mengusulkan tindakan perbaikan.
11
perlindungan tingkat penghasilan termasuk memeriksa catatan upah/ gaji, pembayaran
lembur;
memeriksa catatan waktu kerja dan lembur, hari libur dan waktu istirahat termasuk cuti
sakit dan melahirkan;
mempromosikan hak-hak tenaga kerja yang mendasar (contohnya menghapuskan
pekerja paksa) dan tindakan anti diskriminasi (contohnya sehubungan dengan isu jender
dan korban HIV/AIDS);
penyelidikan kecelakaan dan kompensasi kecelakaan kerja;
masalah-masalah ketenagakerjaan (dari hubungan kerja ilegal, izin kerja sampai
promosi penciptaan lapangan kerja, termasuk program pelatihan ketrampilan). Penting
untuk digarisbawahi bahwa semua pekerja harus berhak atas perlindungan yang sama
sepanjang mereka terlibat dalam kerja, tanpa menghiraukan status hubungan kerja
mereka yang tidak biasa (iregular);
kontribusi jaminan sosial;
hubungan kerja pekerja perempuan, anak-anak, dan kaum muda dan pekerja lainnya
dengan kebutuhan khusus (contohnya tantangan fisik); dan
dialog sosial dan isu-isu hubungan industrial dan memonitor perjanjian bersama.
12
merancang, memonitor dan mengevaluasi kebijakan pengawasan ketenagakerjaan juga mungkin
dipisahkan dari bidang operasional dan pengawasan.
13
Kesetaraan: perlindungan yang setara bagi semua pekerja sebanding dengan situasi
dijamin oleh undang-undang.
Kerjasama: staf pengawasan bekerjasama dengan organisasi dan badan-badan lain untuk
menjamin pelaksanaan hukum ketenagakerjaan di perusahaan. Dalam hal ini termasuk
organisasi publik dan privat seperti ahliahli teknis dan medis, insinyur, lembaga riset,
organisasi pendidikan dan pelatihan, polisi dan otoritas pemadam kebakaran, serta
sistem peradilan, organisasi asuransi dan lain-lain.
Kolaborasi: Staf pengawasan harus berkolaborasi dengan pengusaha dan pekerja dan
organisasi mereka di tingkat nasional, sektoral dan perusahaan.
14
2.2 PENEGAKAN HUKUM KETENAGAKERJAAN
A. Arti Penting Penegakan Hukum Ketenagakerjaan
Sistem hukum (legal system) sangat penting dalam penegakan hukum, sehingga perlu
dilakukan upaya pembinaan dengan berkelanjutan dan sistematis. Sebuah pandangan baru dalam
hukum disusun dengan biaya dan tenaga yang sangat besar, namun sia-sia karena tidak dapat
ditegakkan. Hukum akhirnya hanyalah menjadi barang mati yang tidak dapat berbuat apa-apa
bagi masyarakat.
Berdasarkan teori hukum dinyatakan bahwa berlakunya hukum sebagai kaidah apabila:
1. Hukum berlaku secara yuridis, dimana hukum terletak pada kaidah yang lebih tinggi
derajatnya;
2. Hukum berlaku secara sosiologis, dimana hukum dapat berjalan efektif dan diterima oleh
masyarakat; dan
3. Hukum berlaku secara filosofis, dimana hukum itu sesuai dengan cita-cita kebenaran
sebagai nilai positif yang tertinggi dalam masyarakat.
Jika dicermati, substansi penegakan hukum sangat bergantung pada faktor manusianya.
Apabila produk hukum sudah baik dan memenuhi kaidah-kaidah di atas dengan sarana
prasarananya menunjang, namun mental aparat penegak hukum yang masih rapuh dengan
kesadaran masyarakat sangat rendah, tentu akan berakibat hukum tidak dapat berlaku efektif,
faktor penyebabnya, antara lain, adanya aparat penegak hukum yang menjual hukum kepada
masyarakat yang berasal dari golongan atas yang senang menjual beli hukum. Di sinilah indikasi
yang menjadikan hukum tidak dapat ditegakkan karena semuanya diatur berdasarkan materi.
Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban kita semua untuk aktif berperan dalam melaksanakan
dan memperbaiki hukum agar benar-benar ditegakkan menjadi supremasi hukum sebagaimana
halnya hukum ketenagakerjaan.
Dalam praktik penegakan hukum ketenagakerjaan ada tiga pihak yang memiliki peranan
penting, yaitu masyarakat pengusaha, pekerja/ buruh dan serikat pekerja/serikat buruh, serta
pemerintah.
15
Pengusaha hendaknya benar-benar menaati semua ketentuan hukum ketenagakerjaan
yang ada. Akan lebih baik jika pengusaha tidak harus membatasi diri dari aturan hukum
normatif, namun melakukan dan berkontribusidengan hal-hal yang memiliki nilai positif dengan
kualitas berada di atas ketentuan normatif. Walaupun terdapat celah hukum atau kekosongan,
justru pengusaha juga harus mengambil peran aktif mengisi atau melengkapinya, jangan
sebaliknya karena adanya kekosongan dan celah hukum yang disalahtafsirkan dan dimanfaatkan
bahkan dilanggar jiwa keadilan hukumnya.
Demikian juga bagi pekerja/buruh, mereka juga harus menaati ketentuan hukum
ketenagakerjaan yang berlaku. Apabila pekerja/ buruh dapat bekerja serta memperjuangkan
nasibnya dan menaati ketentuan hukum, dapat dijamin mereka akan berada di posisi yang aman.
Terlebih lagi serikat pekerja/serikat buruh harus benar-benar berfungsi dalam pembinaan pekerja
dengan baik, bukan menjadi provokator. Kemudian, bila terjadi pengusaha menyimpang dari
hukum, maka pekerja/buruh diharapkan dapat melakukan kontrol, melalui serikat pekerja/serikat
buruh-mengingatkan dan memberikan saran perbaikan kepada pengusaha.
Pihak yang terakhir adalah pemerintah, dalam hal ini pejabat dinas/ instansi yang
bertanggung jawab pada bidang ketenagakerjaan. Apakah itu pejabat fungsional atau struktural,
mereka harus memiliki bekal cukup dengan mental yang tangguh dalam menegakkan hukum
ketenagakerjaan. Bekal yang cukup dalam pemahaman terhadap substansi hukum
ketenagakerjaan dengan segala aspeknya secara menyeluruh, sedangkan mental yang tangguh
merupakan komitmen dan integritas moral yang tinggi dalam menegakkan hukum
Ketenagakerjaan. Ketika pengusaha salah, ya, katakan salah, begitu juga kepada pekerja/buruh.
Jangan karena power pengusaha besar, lantas pejabat takut melakukan tindakan hukum kepada
pengusaha. Jangan juga karena didemo pekerja/buruh, pejabat lalu minder dan salah dalam
membuat keputusan. Dengan seiring pelaksanaan otonomi daerah penegakan hukum
ketenagakerjaan harus ditingkatkan, dan jangan sampai terjadi pemihakan sehingga hukum
disupremasi dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini pegawai/pengawas menjadi satu-
satunya tumpuan karena pejabat tersebut merupakan ujung tombak paling depan untuk
menegakkan hukum ketenagakerjaan. Persoalan yang sekarang, bagaimana kualitas dan kuantitas
pegawai pengawas yang dimiliki oleh masing-masing daerah.
16
Berdasarkan pengamatan penulis bahwa kualitas dan kuantitas pegawai pengawas pada
suatu daerah masih menjadi permasalahan, terutama untuk daerah yang padat industri. Demikian
pula dampak euforia otonomi daerah, kualitas pengawasan semakin menurun. Penyebabnya,
antara lain, terdapat beberapa daerah melakukan penempatan petugas pada instansi bidang
ketenagakerjaan yang tidak menganut pola the right man on the right place, termasuk
penempatan pegawai pengawas. Tampak penempatan petugas tersebut cenderung berorientasi
pada kepentingan politis (political oriented) semata, bukan profesionalisme. Banyak pegawai
yang ditempatkan itu tidak mengerti dan tidak memahami substansi ketenagakerjaan. Akibatnya,
jika menghadapi permasalahan di lapangan, mereka harus belajar dulu. Sementara permasalahan
ketenagakerjaan terus bertambah, baik kuantitas maupun kualitasnya.ini salah satu permasalahan
otonomi bidang ketenagakerjaan yang serius sehingga perlu mendapatkan perhatian dan
penanganan secara arif.
Dengan demikian, jelas peran ketiga pihak (pengusaha, pekerja/ buruh terserikat
pekerja/serikat buruh, dan pemerintah) sangat menentukan berhasil tidaknya penegakan hukum
ketenagakerjaan. Dalam pembahasan penegakan hukum ketenagakerjaan tentu akan terkait
kepada kedudukan hukum ketenagakerjaan sendiri dalam sistem hukum nasional. Dimana ada
keterkaitan dengan aspek hukum Perdata, aspek hukum administrasi ( hukum tata usaha negara),
dan aspek hukum pidana. Sedangkan sistem hukum menurut Friedman (1975, 1998) dalam
terdiri atas tiga unsur, yaitu struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance),
dan budaya hukum (legal culture). Ketiga unsur ini tentu saling mempengaruhi satu sama lainnya
dalam penegakan hukum.
Sebagaimana diketahui bahwa hubungan kerja antara pekerja/ buruh dengan pengusaha
merupakan wilayah hukum perdata karena hubungan dalam kerja menyangkut hubungan hukum
antara orang yang satu dengan orang lain di dalam masyarakat dengan menitikberatkan pada
kepentingan perorangan (pribadi). Dengan adanya hubungan hukum yang berdasarkan pada
kepentingan perseorangan tersebut tidak menutup kemungkinan timbul selisih kepentingan yang
merugikan satu pihak dengan pihak lainnya, yakni antara pihak pengusaha dan pihak
pekerja/buruh, dan sebaliknya.
17
Untuk itu pada sistem ketenagakerjaan kita diberikan peluang penegakan hukum secara
perdata dalam upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan dan
melalui pengadilan. Hal ini sesuai pada ketentuan Pasal 136 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa:
a. Bipartit
18
Menurut penulis penyelesaian perselisihan yang terbaik adalah perundingan bipartit
karena tidak harus melibatkan pihak lain, waktu singkat, dan biaya ringan. Yang paling prinsip
bahwa dalam upaya penyelesaian bipartit tidak ada istilah menang atau kalah, tetapi jalan tengah
atau win-win solution. Oleh sebab itu, para pihak seharusya berupaya maksimal untuk mencapai
kesepakatan sebagai titik temu dalam menyelesaikan perselisihan yang dihadapi melalui bipartit.
Kendati masih dalam wilayah hukum perdata, upaya dalam penyelesaian perselisihan
hubungan industrial melalui bipartit merupakan kewajiban para pihak Pasal 3 ayat 1 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, bukan hak
para pihak. Masalahnya, ketika kewajiban itu mungkin saja dilanggar oleh salah satu atau para
pihak, tidak ada sanksi hukum, baik sanksi administrasi (tata usaha negara) maupun sanksi
pidana.
b. Konsiliasi
Lingkup penyelesaian melalui konsultasi terbagi kepada tiga jenis perselisihan hubungan
Industrial, yaitu perselisihan kepentingan, parselisihan pemutusan hubungan kerja, dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Jangka waktu upaya penyelesaian melalui konsiliasi paling lama tiga puluh hari kerja
sejak menerima permintaan penyelesaian perselisihan. Penyelesaian perselisihan melalui
konsiliasi dilakukan oleh konsiliator yang terdaftar pada kantor instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan kabupaten/ kota setempat.
Konsiliator yang terdaftar tersebut diberi legitimasi oleh menteri atau pejabat yang
berwenang di bidang ketenagakerjaan. Wilayah kerja konsiliator meliputi tempat pekerja/buruh
bekerja. Konsiliator ditunjuk dan disepakati oleh para pihak dari daftar nama konsiliator yang
dipasang dan diumumkan pada kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat.
c. Arbitrase
19
Arbitrase merupakaan upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui
arbitrase juga merupakan salah satu alternatif, artinya upaya ini sama dengan konsiliasi yang
bersifat pilihan sukarela (voluntary), bukan wajib (mandatory). Penyelesaian melalui arbitrase
dilakukan oleh arbiter atas dasar kesepakatan para pihak yang berselisih. Arbiter dipilih dan
ditunjuk oleh para pihak dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh menteri. Wilayah kerja arbiter
meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
Lingkup penyelesaian melalui arbitrase mencakup hanya dua jenis perselisihan hubungan
industrial, yaitu perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
dalam satu perusahaan. Jangka waktu upaya penyelesaian melalui arbitrase paling lama tiga
puluh hari kerja sejak penandatanganan surat perjanjian penunjukan arbiter.
Penyelesaian melalui arbitrase diawali dengan upaya mendamaikan para pihak yang
berselisih. Apabila tercapai perdamaian dalam upaya arbitrase, arbiter atau majelis arbiter wajib
membuat akta perdamaian yang ditandatangani para pihak yang berselisih dan oleh arbiter atau
majelis arbiter, serta didaftar di pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri di
wilayah arbiter mengadakan perdamaian, untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
d. Mediasi
20
wilayah kabupaten/kota di mana mediator bertugas di instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat.
21
Dalam aspek hukum administrasi peran pemerintah dalam praktik hukum
ketenagakerjaan, antara lain:
Sehubungan hal di atas, khususnya yang berkaitan dengan prosedur perizinan usaha dan
jasa pelayanan ketenagakerjaan biasanya dicantumkan sanksi terhadap segala risiko yang timbul
sebagai akibat kelalaian atau kesengajaan pengusaha, mulai sanksi teguran, paksaan administrasi,
denda, uang paksa, penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi, sampai pada
pencabutan izin. Sanksi administrasi di samping diterapkan kepada pengusaha, juga dapat
diterapkan kepada:
a. Tenaga kerja (periksa Pasal 30 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan
Sosial Tenaga Kerja).
b. Serikat pekerja/serikat buruh (periksa Pasal 42 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000
tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh).
c. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja (periksa Pasal 30 Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja) Mediator, Konsiliator, dan
Arbiter (periksa Pasal 116 dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial). Panitera Muda Pengadilan Hubungan
Industrial (periksa Pasal 116 ayat 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial).
a. Teguran
b. Peringatan tertulis
c. Pembatasan kegiatan usaha
d. Pembekuan kegiatan usaha
22
e. Pembatalan persetujuan
f. Pembatalan pendaftaran
g. Penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi
h. Pencabutan izin
Istilah tindak pidana atau dalam bahasa Belanda disebut dengan strafbaar feit atau delict.
Pengertian tindak pidana adalah suatu perbuatan atau tindakan yang terlarang dan diancam
dengan hukuman oleh undang-undang (pidana). Sedangkan adalah perbuatan yang oleh aturan
hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan
tersebut.
Dalam hukum pidana terdapat asas nullum delictum nulla poena sine pre via lege
poenali, yaitu suatu perbuatan (pidana) hanya dapat dihukum jika sebelum perbuatan tersebut
dilakukan telah ada undang-undang/peraturan hukum lainnya yang melarang dilakukannya
perbuatan tersebut/ sejenisnya dan mengancam pula dengan pidana atau hukuman terhadap
pelaku-pelakunya. Sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat 1 KUHP disebutkan bahwa tiada suatu
perbuatan yang boleh dihukum, melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam undang-undang
yang terdahulu dan perbuatan itu.
Jadi, sanksi pidana tidak dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana, apabila belum
ada undang-undangnya. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
telah diatur ketentuan pidana sebagaimana dimaksud Pasal 183-Pasal 189, disamping itu juga
terdapat di beberapa undang undang bidang ketenagakerjaan lainnya, seperti Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan sosial Tenaga Kerja, Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2000 tentang Serikat pekerja/Serikat Buruh, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004
tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja lndonesia di Luar Negeri.
23
3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana.
4. Unsur melawan hukum yang objektif.
5. Unsur melawan hukum yang subjektif.
Namun secara umum, unsur tindak pidana terdiri atas dua unsur pokok, yaitu unsur
pokok subjektif dan objektif.
Semua unsur-unsur delik tersebut merupakan satu kesatuan dalam satu tindak pidana,
satu unsur saja tidak ada atau tidak didukung bukti akan menyebabkan tersangka/terdakwa tidak
dapat dihukum.9
9
Arifuddin Muda Harahap, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, (Malang, Literasi Nusantara,
2020) Hlm 192-193.
24
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Ketentuan hukum termasuk keputusan arbitrase dan perjanjian bersama di mana kekuatan
hukum diberikan dan bisa ditegakkan oleh pengawas ketenagakerjaan;untuk menyediakan
informasi dan saran teknis kepada pengusaha dan pekerja mengenai cara yang paling efektif
untuk mematuhi ketentuan-ketentuan hukum;untuk memberitahukan otoritas yang kompeten
mengenai pelanggaran atau penyalahgunaan yang khususnya tidak dilindungi oleh ketentuan
yang ada.Tujuan utama pengawasan ketenagakerjaan adalah termasuk kebutuhan untuk
memastikan bahwa,peraturan perundang-undangan yang berlaku dipatuhi di tempat kerja dengan
tujuan mencapai pekerjaan dan kondisi kerja yang layak;pengusaha dan pekerja mendapatkan
informasi dan panduan mengenai bagaimana mematuhi persyaratan-persyaratan
hukum;perusahaan mengadopsi tindakan-tindakan untuk memastikan praktik dan lingkungan di
tempat kerja tidak menempatkan pekerja mereka dalam risiko-risiko yang terkait dengan
keamanan dan kesehatan;informasi umpan balik dan pembelajaran dari praktik-praktik yang
digunakan sebagai cara untuk mengembangkan peraturan dalam memperbaiki lingkup
perlindungan hukum, dengan mempertimbangkan risiko-risiko baru yang terkait dengan masalah
sosial, fisik dan psikologis. Adapun wewenang pegawai pengawas ketenagakerjaan tertuang
25
dalam Pasal 182 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Layanan pengawasan
memastikan penerapan yang efektif dari ketentuan hukum melalui dua fungsi utama
yaitu;1)menjamin penegakan hukum; dan 2)menyediakan informasi dan saran kepada pengusaha
dan pekerja. Tugas-tugas pengawasan, informasi dan pemberian saran ini sangat terkait satu
sama lain dan seringkali dijalankan bersama-sama.
Pengawas ketenagakerjaan adalah agen yang aktif untuk kemajuan sosial. Dalam
melaksanakan kunjungan dan pertukaran informasi dengan mitra sosial dan aktor lainnya,
pengawas mendapatkan pengetahuan yang luas mengenai situasi material pekerja, kondisi kerja
merejam situasi sosial dan ekonomi dalam berbagai cabang kegiatan dan seluruh permasalahan
teknis.
26
DAFTAR PUSTAKA
27