1. Jelaskan tentang nilai-nilai ideal, instrumental, dan praksis dan dihubungkan dengan nilai-nilai
Pancasila sebagai ideologi!
Nilai Ideal
Nilai dasar (ideal) adalah nilai-nilai dasar yang mempunyai sifat tetap (tidak berubah),
nilai-nilai ini terdapat dalam Pembukaan UUD 1945. Nilai-nilai dasar Pancasila
(Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial).
Nilai Instrumental
Nilai instrumental adalah penjabaran lebih lanjut dari nilai dasar atau nilai ideal secara
lebih kreatif dan dinamis dalam bentuk UUD 1945 dan peraturan Perundang undangan
lainnya, dan dalam Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Negara menurut UU No.
10 Tahun 2004. Nilai instrumental ini dapat berubah atau diubah.
Nilai Praksis
Nilai Praksis adalah nilai yang sesungguhnya dilaksanakan dalam kehidupan nyata sehari-
hari baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai praksis juga
dapat berubah/diubah atau bisa juga dikatakkan nilai praksis merupakan penerapan dari
nilai instrumental dan nilai ideal pada kehidupan sehari hari.
Contoh penerapan nilai-nilai ideal, instrumental dan praktis pada nilai-nilai Pancasila tersebut
yaitu antara lain:
Sila ke 1: Ketuhanan Yang Maha Esa
Nilai Ideal: Ketuhanan
Nilai Instrumental: Pasal 28E & Pasal 29
Nilai Praksis:
1) Menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaannya masing-masing.
2) Percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
3) Tidak melakukan penistaan dari suatu agama seperti melakukan pembakaran
rumah rumah ibadah.
4) Membina kerukunan hidup antar umat beragama.
5) Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.
Sila ke 2: Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab
Nilai Ideal: Kemanusiaan
Nilai Instrumental: Pasal 14, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28G, Pasal 28I, & Pasal 28J
Nilai Praksis:
1) Mengakui persamaan derajat, hak, dan kewajiban asasi setiap manusia.
2) Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya.
3) Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
4) Tidak semena-mena terhadap orang lain.
5) Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
Sila ke 3 Persatuan Indonesia
Nilai Ideal: Persatuan
Nilai Instrumental: Pasal 25A, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 36A, & Pasal 36B
Nilai Praksis:
1) Mengembangkan sikap saling menghargai.
2) Membina hubungan baik dengan semua unsur bangsa.
3) Memajukan pergaulan demi peraturan bangsa.
4) Menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan Indonesia.
5) Mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi atau golongan.
Sila ke 4: Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam
Permusyawaratan Perwakilan
Nilai Ideal: Kerakyatan
Nilai Instrumental: Pasal 2, Pasal 3, Pasal 6 ayat 2, & Pasal 19
Nilai Praksis:
1) Menghindari aksi “Walk Out” dalam suatu musyawarah.
2) Menghargai hasil musyawarah.
3) Ikut serta dalam pemilihan umum, pilpres, dan pilkada.
4) Memberikan kepercayaan kepada wakil wakil rakyat yang telah terpilih dan yang
menjadi wakil rakyat juga harus mampu membawa aspirasi rakyat.
Sila ke 5 Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Nilai Ideal: Keadilan
Nilai Instrumental: Pasal 33 & Pasal 34
Nilai Praksis:
1) Suka melakukan perbuatan dalam rangka mewujudkan kemajuan dan keadilan
sosial.
2) Mengembangkan kekeluargaan dan kegotongroyongan.
3) Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
4) Menghormati hak-hak orang lain.
5) Tidak bersifat boros, dan suka bekerja keras
6) Tidak bergaya hidup mewah.
2. Jelaskan praktik politik yang terjadi di Indonesia dewasa ini yang mencerminkan pola pikir
Machiavelli!
Pemikiran-pemikiran politik Machiavelli memang telah banyak menjadi pedoman bagi
politisi-politisi di banyak negara, baik mereka yang mengakui telah menggunakannya sebagai
pedoman maupun mereka yang secara sembunyi-sembunyi. Dalam suasana politik di Indonesia
pun telah banyak politisi negeri terbesar di Asean ini yang menggunkannya sebagai hand book
politiknya. Hal ini sangat mudah ditemui dan dianalisis pada pasca jatuhnya orde baru hingga
sekarang. Pada saat pengklaiman supersemar sebagai surat penyerahan kekuasaan, Soeharto
sudah menerapkan praktek politik dalam hal ini perebtan kekuasaan tanpa pendekatan
normatif. Hal ini diperparah saat penahanan mantan Presiden Soekarno sebagai tahanan politik
yang memperlakukannya secara tidak adil terhadap mantan presiden dan pendiri bangsa.
Soeharto dalam artikel bagian FOKUS pada Majalah Forum Keadilan memaparkan bahwa
kematian Soekarno sengaja dipercepat. Ini sejalan dngan teori mempertahankan kekuasaan oleh
Machiavelli yaitu menghabisi semua yang ada hubungannya dengan penguasa lama. Dalam
kasus ini memang secara tidak langsung dihabisi semua keluarga bung Karno, namun
mempercepat kematian Soekarno merupakan hal yang paling sentral untuk menghindari
ancaman kekuasaan Soeharto sebagai presiden. Inipun seperti yang dikatakan oleh Machiavelli
dalam karyanya pemusnahan bertujuan untuk menghindari ancaman kekuasaan oleh penguasa
lama.
Praktek teori kekuasaan Machiavelli yang dituangkan dalam karyanya The Princedan The
Discourses juga nampak pada dinamika politik zaman reformasi saat ini. Dimana gagasan
Machiavelli “siapa yang mempunyai senjata akan mengalahkan siapa yang tidak mempunyai
senjata”. Dalam dinamika politik nasional saat ini, terlihat jelas siapa yang memiliki senjata
dalam hal ini modal dan media saya istilahkan 2M. Maka merakalah yang akan memenangkan
percaturan politik atas mereka yang tidak mempunyai 2M. Yang secara idelanya harusnya
siapa yang memiliki kompetensi politik yang tinggilah yang pantas menang, namun
kenyataannya mereka jika tidak memiliki senjata 2M maka dia tidak akan mendapat apa-apa.
Hal ini dapat dianalisis pada pemlihian umum baik legislatif maupun prsiden dan wakil
presiden setiap kali pesta demokrasi. Dewasa ini partai politik yang pemiliknya juga seorang
pemilik media dengan gencar dan pedenya menggunakan medianya dalam pencitraan partai
politiknya. Pembelaan melalui medianya tidak segan-segan diperlihatkan atas diri dan
partainya jika dirundung masalah meskipun tidak sesuai dengan kenyataan. Kasus ini nampak
jelas bahwa sifat-sifat normatif dan keagamaan telah disingkirkan.
Kelakuan politisi yang lain yang menjadikan karya politik Machievelli sebagai hand book
adalah digunakannya agama sebagai alat utnuk memperoleh kekuasaan. Sebagaiman gagasan
Machievelli bahwa kebajikan, agama, moralitas merupakan alat untuk mempeoleh kekuasaan.
Bukan kekuasaan untuk agama, kebajikan, ataupun moralitas karena inti dari kekuasaan adalah
kekuasaan itu sendiri. Model semacam ini dapat pula kita analisis pada saat menjelang pemilu.
Calon legislatif maupun calon presiden mendekatkan diri kepada tokoh-tokoh agama untuk
menggalang dukungan. Agama diposisikan dalam dirinya sebagai sentral penarik massa. Selain
itu, pendekatan kepada masyarakat melalui blusukan atau pembagian sembako merupan atas
nama kebajikan dan moralitas. Ini dlakukan dalam hal menggalangan suara. Pemandangan
seperti ini sudah kerapkali terjadi dalam masyarakat dan merupakan sesutau yang menjadi
warnah tersendiri dalam dinamika politik nasional dewasa ini.
Memang kita sebagai akademisi ataupun mahasiswa prihatin dalam menyaksikan realitas
yang terjadi. Empuknya kursi jabatan merupakan harga mati yang tidak ada tawaran lagi.
Penyingkiran pesaing-pesaing dalam perebutan kekuasaan mutlak perlunya sehingga
penyingkiraanya juga kadang dilakukan dengan cara yang tidak manusiawi seperti halnya teori
Machievelli pula. Situasi dan kondisi perebutan kekuasaan menjadi ajang pertarungan antara
binatang versus binatang. Namun dalam hal ini, tidak bisa diingkari bahwa realita di lapangan
masih ada sebagian politisi maupun praktek politik yang memang masih manusiawi dan
bahkan sangat mulia. Hal semacam inipun dalam perkembangannya hingga saat ini, manusia-
manusia mulia dalam ranah politik nasional maupun daerah mulai mengalami penurunan. Data
yang bisa saya tunjukan adalah bahwa beberapa orang MA justru yang melakukan pencabulan
atas keadilan dan menelanjangi hukum. Serta beberapa kasus korupsi gotong royong juga
diprektekkan di beberapa daerah salah satunya di Mamasa, Sulawesi barat beberapa tahun
belakangan.
3. Jelaskan fenomena kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini yang memperlihatkan benturan
kepentingan antara pengusaha (kaum kapitalis) dan pihak buruh (kaum proletar) dalam
perspektif Marx!
Latar belakang pemikirannya adalah adanya eksploitasi besar-besaran yang dilakukan oleh
para pengusaha atau pemilik modal (kaum kapitalis atau kaum borjuis) terhadap kaum buruh
(kaum proletar). Para buruh bekerja dengan jam kerja yang ditetapkan oleh para pengusaha
dengan seenak hati mereka. Bukan hanya itu, upah yang diberikan juga begitu rendah dan tidak
sebanding dengan pekerjaannya.’
Menurut Marx, sejarah masyarakat manusia adalah sejarah perjuangan kelas, yang mana
melahirkan kelompok borjuis dan kelompok proletar. Kelompok-kelompok yang menyadari
bahwa posisinya berada pada kaum proletar, kala itu mereka dengan sadar melakukan berbagai
macam upaya pemberontakan terhadap kaum borjuis. Konflik antarkelas inilah yang kemudian
melahirkan perubahan dalam masyarakat. Menurut Marx pula, suatu saat kaum proletar akan
memenangkan perjuangan kelas ini yang kemudian akan melahirkan masyarakat tanpa kelas.
Negara tentunya memiliki kepentingan, oleh karenanya hal ini dimanfaatkan oleh para
kaum borjuis. Kelompok borjuis yang tentunya dapat memiliki dan juga memegang kendali
atas alat-alat produksi tentu meminta legitimasi atau bukti kepemilikan yang sah. Bukti
kepemilikan ini bisa didapatkan melalui negara. Oleh karena itu, kelompok borjuis memiliki
kekuasaan untuk menentukan apa yang akan diproduksi dan didistribusi. Menurut Marx, dalam
konteks ini hukum dan pemerintah lebih banyak berpihak pada kaum borjuis dibanding
proletar.
Teori konflik ini kemudian memunculkan apa yang dinamakan sebagai perspektif konflik.
Perspektif ini melihat masyarakat sebagai sesuatu yang selalu berubah, terutama sebagai akibat
dari dinamika pemegang kekuasaan yang terus berusaha menjaga dan meningkatkan posisinya.
Singkatnya, pandangan ini berorientasi pada struktur sosial dan lembaga-lembaga sosial di
masyarakat. Perspektif ini memandang masyarakat yang terus-menerus berubah dan masing-
masing bagian dalam masyarakat berpotensi untuk menciptakan perubahan sosial. Dalam
konteks pemeliharaan tatanan sosial, perspektif ini lebih menekankan pada peranan kekuasaan.
Menurut Marx, dalam perjuangannya, proletar kehilangan kebebasannya. Merekapun
memprotes kaum borjuis dengan melakukan demonstrasi. Proletar telah menyadari bahwa
kaum borjuis telah mengeksploitasi mereka. Mereka pun mengadakan revolusi besar-besaran
sebagai reaksi terhadap kejahatan borjuis. Marx mengharapkan, bahwa pasca revolusi akan
tercipta perubahan dari kapitalisme menjadi sosialisme yang mendukung rakyat atau kaum
proletar.
Pemikiran Marx tersebut tak hanya menjelaskan konflik dalam masyarakat. Namun juga
mewariskan pembagian struktur sosial yang disepakati hingga era modern saat ini, yakni
borjuis dan proletar. Hanya saja dalam era modern, istilahnya dirubah menjadi pengusaha
(borjuis) dan buruh (proletar).
Pada hal ini, saya tidak setuju dengan teori Marx. Marx hanya ingin menghapus stratifikasi
sosial bidang ekonomi dalam masyarakat, yaitu tidak adanya golongan pengusaha dan
golongan buruh. Padahal antara keduanya itu terdapat simbiosis mutualisme, yaitu hubungan
saling membutuhkan. Pengusaha membutuhkan buruh untuk memproduksi barang, buruh pun
membutuhkan pengusaha untuk mendapatkan gaji dalam menghidupi keluarganya. Marx hanya
menginginkan tidak adanya golongan pengusaha dan buruh dalam masyarakat. Semua
masyarakat harus sama tanpa adanya kelas sosial, agar tidak terjadi konflik antar keduanya.
Marx hanya menginginkan masyarakat menjadi sosialisme-komunisme, bukan kapitatalisme-
liberalisme.
Pada saat ini, pengusaha sepatutnya memberikan upah kepada buruh sesuai standar serta
kualitas dan kuantitas pekerjaannya. Sebab buruh mempunyai tanggung jawab dalam rumah
tangganya, untuk kebutuhan sehari-hari, membiayai anak sekolah dan biaya tak terduga yang
lain. Begitu juga dengan buruh, jangan terlalu banyak menuntut dengan upah yang tinggi. Upah
kalian itu harus disesuaikan dengan kualitas dan kuantitas pekerjaannya. Sebab pengusaha
tidak ingin rugi dalam aktivitas produksinya. Jadilah pengusaha yang memahami kondisi
buruhnya, serta jadilah buruhyang memahami kondisi pengusaha.
Di Indonesia sendiri, hubungan antara pengusaha dan juga karyawan sudah cukup baik
dimana para pekerja atau karyawan bekerja untuk perusahaan sesuai dengan skill dan
kemampuannya dan perusahaan juga sudah cukup fair memberikan upah atau gaji berdasarkan
standar-standar yang telah ada seperti UMR (Upah Minimum Regional) yang dinilai dari
berbagai aspek seperti Kebutuhan Hidup Layak (KHL), Indeks Harga Konsumen (IHK),
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), dan lain sebagainya