Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

SHIFT WORK PADA PEKERJA INDUSTRI TENAGA LISTRIK

CAESAR NURHADIONO RAHARJO

2006490895

PROGRAM STUDI MAGISTER KEDOKTERAN KERJA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA

JAKARTA

2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kerja shift/shift work merupakan salah satu sistem kerja dimana pekerjaan
seseorang atau sekelompok orang akan diganti oleh sekelompok lainya secara
bergiliran sehingga proses tersebut dapat berlangsung terus menerus 1. Kerja shift juga
memiliki banyak variasi, tergantung dari kebutuhan di sebuah perusahaan. Pada
umumnya kerja shift dibagi menjadi 3 shift, pagi – siang – malam dengan pembagian
8 jam kerja ada satu shiftnya, namun ditempat lain juga terdapat 2 shift dengan
pembagian 12 jam kerja pada satu shiftnya, atau 2 shift hanya pagi dan siang,
pembagian shift sesuai dengan kebutuhan masing-masing perusahaan. Kemudian
berdasarkan sifatnya kerja shift terbagi menjadi permanen atau rotasi dimana
permanen dapat diartikan bila pekerja bekerja pada shift malam maka pada hari
berikutnya akan terus malam, berbeda halnya dengan rotasi, bila pekerja hari ini
mendapat shift malam maka dikemudian hari akan berganti shift sesuai rotasinya2.
Sistem kerja shift ini sudah banyak dilakukan diseluruh dunia terutama pada
pekerjaan industry. Menurut survey kesehatan kerja, di US tercatat pada tahun 2010
sebanyak 29% pekerja bekerja secara shift standar, sementara di Eropa ada 1 dari 10
pekerja bekerja secara shift yang bersifat rotasi 3. Survei kesehatan kerja Korea
melaporkan data berbagai jenis kerja shift, yaitu dua-shift (38.6%), tiga-shift
(23.9%), shift dengan rotasi 24 jam (14.0%), dan shift tetap (5,5%)4.

Pada masa sekarang ini, kehidupan manusia erat kaitanya dengan tenaga listrik.
Tentunya kebutuhan listrik di era modern ini harus dapat dipenuhi selama 24 jam.
Sehingga pekerja di industri tenaga listrik juga harus dapat menjaga produksi listrik
dapat terus ada. Hal itu menyebabkan para pekerja di industri tenaga listrik ini harus
menyesuaikan jam kerjanya dengan mengatur shift antara pekerja 3. Metode tersebut
disusun agar produksi listrik selalu terjaga dan dapat dinikmati oleh banyak orang.
Disisi lain kita harus ingat, bahwa yang bekerja tersebut adalah manusia, sehingga
pekerjaan shift sangat mempengaruhi kesehatan. Penelitian dikorea menyatakan
bahwa pekerja shift pada industry tenaga listrik 2.65 kali lebih rentan terjadi
kecelakaan yang berhubungan dengan pekerjaan (work related injury)5 dan juga 2.35
kali lebih sering terjadi insomnia pada pekerjanya3.

1.2. Permasalahan

Masalah yang diangkat pada makalah ini yaitu mengenai kerja shift dan indicator
kesehatan pada pekerja di industry tenaga listrik
BAB II

TINJAUAN LITERATUR

2.1. Definisi dan regulasi kerja shift

Istilah kerja shift secara umum dapat diartikan menjadi system pekerjaan yang
dilakukan secara bergiliran sesuai ketentuan waktu kerja. Menurut sifatnya, kerja
shift dibagi menjadi shift tetap dan shift rotasi. Keduanya mengatur pekerja untuk
bekerja sesuai jam kerja yang sudah ditetukan, shift dapat dibagi menjadi dua atau
tiga shift tergantung dari kebutuhan. Shift tetap dapat diartikan tidak ada pergeseran
shift antara pekerja, contohnya bila seorang pekerja bekerja pada shift pagi, maka
tidak akan merasakan shift siang atau malam. Berbeda halnya dengan shift rotasi,
pada shift ini seorang pekerja akan melakukan rotasi shift dari shift pagi akan berubah
menjadi shift siang atau shift malam1. International Labour Organization (ILO)
menyatakan bahwa waktu normal maksimal untuk bekerja adalah 48 jam per minggu
dan delapan jam per hari. Regulasi tersebut wajib dipatuhi oleh seluruh Negara untuk
menetapkan waktu kerja6 .

2.2. Konsekuensi kerja shift

Seperti dinyatakan sebelumnya bahwa kerja shift memiliki konsekuensi tersendiri


bagi kesehatan. Hal itu disebabkan akibat penyesuaian tubuh terhadap kondisi
lingkungan. Beberapa penelitian menyatakan bahwa masalah yang sering ditimbulkan
akibat kerja shift adalah bentuk penyesuaian irama sirkadian tubuh, siklus tidur, dan
faktor psikososial terhadap kondisi kerja shift. Sebagai contoh, bila pekerja biasa
beristirahat pada malam hari selama 8 jam kemudian pekerja tersebut harus bekerja
pada shift malam, secara otomatis tubuh akan bereaksi agar tetap dapat beraktivitas
diwaktu normal tubuhnya beristirahat. Dari analogi diatas dapat disimpulkan bahwa
tubuh melakukan proses toleransi terhadap kondisi kerja shift untuk mempertahankan
homeostasis tubuh. Bila tubuh tidak mampu bertahan dengan kondisi tersebut maka
dapat timbul gangguan kesehatan baik secara fisik maupun secara psikis1.
Gangguan kesehatan yang timbul dapat dilihat melalui gejala klinis pada seorang
pekerja. Namun tingkat keparahan gejalanya akan berbeda pada masing-masing
orang. Hal itu disebabkan kemampuan toleransi tubuh setiap orang berbeda, sehingga
dapat diklasifikasikan bila pekerja yang memiliki toleransi baik tidak akan timbul
masalah medis dan toleransi yang buruk akan timbul masalah medis2,4. Gejala klinis
yang timbul akibat intoleransi kerja shift, selanjutnya dinyatakan sebagai intoleransi
klinis, digolongkan menjadi 5 yaitu (i) perubahan siklus tidur; (ii) kelelahan yang
menetap; (iii) perubahan perilaku; (iv) gejala pencernaan; (v) penggunaan obat untuk
membantu tidur. Gejala (i), (ii), dan (v) sering timbul pada orang yang memiliki
kemampuan toleransi yang buruk. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa
intoleransi klinis dapat timbul akibat adanya konsekuensi kerja shift terhadap factor
penyesuaian yaitu irama sirkadian, siklus tidur, dan psikososial2.

2.2.1. Konsekuensi pada irama sirkadian

Pada umumnya setiap manusia beraktivitas pada siang hari kemudian beristirahat
pada malam hari. Hal itulah yang membentuk jam biologis tubuh sehingga
menciptakan sebuah irama tubuh yang disebut sebagai irama sirkadian. Pada pekerja
non-shift irama sirkadian tidak terlibat karena mengikuti irama normal tubuh, terjaga
di siang hari dan tidur di malam hari. Sebaliknya pada pekerja shift terjadi proses
berkebalikan dari kondisi normal, perubahan siklus terang – gelap pada lingkungan
menyebabkan irama sirkadian tubuh harus beradaptasi untuk mempertahankan
homeostatis tubuh. Bekerja pada shift malam artinya seseorang harus tetap terjaga
ketika ada dorongan yang tinggi untuk tidur. Hal ini berlawanan dengan irama alami
tubuh sehingga menyebabkan gangguan tidur, waktu tidur terasa lebih singkat, dan
rasa kantuk yang berlebihan saat bangun. Ketika kemampuan seseorang tidak mampu
menahan perubahan ini maka akan timbul gangguan kesehatan1,3.

Konsekuensi kerja shift terhadap irama sirkadian dapat dilihat dari adanya
perubahan pada fungsi metabolisme hormone. Pada literatur dinyatakan bahwa
keseimbangan hormon leptin dan ghrelin, hormone pengatur rasa lapar dan kenyang,
terganggu akibat adanya kerja shift. Pada pekerja shift, waktu makan harus diubah
sesuai dengan jadwal tidur/bangun sehingga mengganggu koordinasi antara leptin dan
ghrelin yang berefek mengganggu sistem biologis tubuh dan berperan pada
perubahan metabolisme dan berat badan. Selain itu pada penelitian hewan coba
dinyatakan bahwa pergeseran waktu makan dan tidur dapat mengganggu metabolisme
glukosa, dengan mekanisme yang belum dapat dijelaskan. Pada kondisi akut dapat
menginduksi resistensi insulin bila kondisi tersebut berlangsung berkepanjangan
dapat meningkatkan risiko diabetes tipe II. Hal itu diperkuat karena pada pekerja
yang menjalani shift malam sering didapat perubahan gaya hidup (misalnya merokok,
konsumsi alkohol, kurang olahraga, hingga kebiasaan makan yang meningkat).
Informasi dari beberapa studi menyatakan bahwa bekerja di malam hari diperkirakan
meningkatkan risiko pengembangan sindrom metabolik (SMet) lebih dari 50% akibat
adanya kebiasaan yang berubah tersebut.2,4

Irama sirkadian tubuh dikontrol di suprachiasmatic nuclei (SCN) hipotalamus


sedangkan sistem saraf perifer dan sel tubuh masing-masing memiliki irama
tersendiri, kondisi ini biasa disebut sebagai peripheral osciliator. Proses sinkronisasi
peripheral Osciliator dengan waktu biologis yang sudah direkam di SCN dapat
terganggu akibat adanya perubahan jadwal tidur/bangun akibat kerja shift.Pada
penelitian lain menyatakan gangguan pada irama sirkadian meningkatkan
progresivitas kanker, disregulasi siklus sel, akumulasi kerusakan DNA, dan
menurunya supresi tumor karena terjadinya gangguan sinkronisasi yang berpengaruh
pada siklus sel normal, perbaikan fungsi DNA, proses kematian sel dll. Faktor lain
yang berhubungan dengan kejadian kanker adalah hormon melatonin yang disekresi
pada malam hari. Hal itu dikarenakan melatonin bersifat melindungi radikal bebas
menyebabkan kerusakan DNA, bila sekresinya terganggu maka pelindung dari
radikal bebas ini juga akan berkurang sehingga lebih mudah terjadi kerusakan
DNA1,4.

Selain dapat menyebabkan gangguan metabolisme dan memicu kanker,


desinkronisasi irama sirkadian ini dapat mengganggu sistem kardiovaskuler tubuh
karena adanya ketidakseimmbangan yang terjadi di hipotalamus - pituitary - adrenal
(HPA) axis yang berkontribusi pada produksi neurotransmiter dan hormon seperti
epinefrin dan norepinephrine. Bila ketidakseimbangan ini berlangsung terus menerus
akan menyebabkan interaksi saraf simpatis dan parasimpatis akan menjadi tidak
seimbang yang kita sebut ketidakseimbangan simpatovagal. Akibatnya akan
menimbulkan perubahan denyut jantung, peningkatan tekanan darah dan
aterosklerosis yang memicu terjadinya penyakit cardiovaskular (CVD)4.

2.2.2. Konsekuensi pada siklus tidur

Siklus tidur erat kaitanya dengan irama sirkadian, tubuh memiliki jam fisiologis
untuk beristirahat yang dipicu oleh irama sirkadian sehingga menciptakan siklus tidur
di malam hari dan beraktivitas di siang hari. Namun pada keadaan kerja shift,
terutama shift malam, siklus tidur akan berubah sehingga tubuh akan kesulitan
membedakan waktu fisiologisnya untuk beristirahat atau beraktivitas yang akan
menyebabkan gangguan tidur. Rasa kantuk dan kelelahan akibat gangguan tidur
merupakan faktor risiko utama kecelakaan kerja. Pada sebuah penelitian di Belanda
dinyatakan rerata durasi tidur pekerja shift lebih pendek (<7 jam per hari) dan lebih
lama (≥ 9 jam per hari) dibandingkan dengan pekerja non-shift. Hal itu dinilai sebagai
factor pemicu rasa kantuk dan kelelahan2,3.

Studi lain menyatakan bahwa kurang tidur satu malam saja dapat mengganggu
kinerja, terutama pada kemampuan untuk bereaksi terhadap suatu hal. Bekerja pada
shift malam dapat menyebabkan kekurangan tidur kronis parsials yang bila
berkelanjutan dapat menyebabkan kekurangan tidur total yang bahkan dapat
menyebabkan kematian. Jumlah waktu dan kualitas tidur yang buruk dapat
menyebabkan perasaan kantuk. Perasaan kantuk dapat diartikan sebagai dorongan
untuk tidur. Sehingga meskipun pekerja shift malam bisa tidur di siang harinya,
karena sudah pulang kerja, namun baik kualitas maupun kuantitas tidurnya tidak bisa
menggantikan pada orang yang tidur di malam hari2,5.
Beberapa penelitian menyatakan bahwa kebanyakan pekerja shift merasakan
kantuk selama kerja di shift malam, sedangkan pada siang harinya tidak merasakan
kantuk berat.Hal itu dapat menurunkan lama waktu tidur dan kualitas tidur sehingga
timbul gangguan tidur.Gangguan tidur dan rasa kantuk berlebihan disebabkan adanya
pergeseran irama sirkadian yang mengatur proses terjaga (wakefulness). Pada shift
jenis rotasi, kualitas dan kuantitas tidurnya lebih buruk dibandingkan dengan
permanen shift, hal itu menyebabkan penggunaan alkohol, hipnotis, dan obat tidur
merupakan solusi yang biasanya digunakan untuk mengatasi masalah tersebut1,2,5.

2.2.3. Konsekuensi pada psikososial

Selain berpengaruh terhadap siklus tidur dan mekanisme neuroendokrin akibat


desinkronisasi irama sirkadian ternyata kerja shift juga memiliki konsekuensi
tersendiri terhadap psikososial seorang pekerja yang akan berpengaruh terhadap
kesehatan mental pekerja. Hal itu dikarenakan bekerja secara shift mengganggu
interaksi sosial dan kehidupan keluarga karena proses tersebut selalu berubah dan
tidak sesuai dengan kondisi pada umumnya. Masalah psikososial ini bila
dibandingkan antara pekerja laki-laki dan pekerja perempuan maka dapat dilihat
bahwa pekerja perempuan yang menjalani kerja shift secara signifikan berpeluang
lebih besar menderita depresi bahkan sampai timbul keinginan untuk bunuh diri1,4.

Selain dapat menimbulkan depresi akibat kerja shift, ternyata pada beberapa
penelitian juga dilaporkan bahwa kerja shift dapat menimbulkan ketidaksesuaian
mood. Hal tersebut disebabkan kurangnya paoaran sinar matahari, merasa terisolasi
dari aktivitas sosial dan kehidupan keluarga sehingga dapat mengganggu mood
seseorang. Perubahan perilaku seseorang seperti merokok lebih banyak,
menggunakan obat-obatan untuk tidur, dan obat untuk penyakit pencernaan juga
sering terjadi pada pekerja shift1,3,4

.
2.3. Indikator kesehatan pada industry tenaga listrik

Tidak ada indicator kesehatan secara khusus yang menyatakan pekerja pada
industry tenaga listrik tidak direkomendasikan untuk bekerja secara shift. Penilaian
indicator kesehatan biasanya mengacu kepada proses patofisiologi utama kerja shift
mengganggu kesehatan secara fisik dan juga mental. Pertama kali untuk menentukan
indicator kesehatan pekerja shift, kita harus tau terlebih dahulu bentuk shiftnya
apakah permanen atau rotasi. Hal itu disebabkan karena bekerja dengan shift rotasi
cenderung lebih beresiko menyebabkan gangguan kesehatan. Selain itu harus
diketahui juga sudah berapa lama bekerja secara shift karena semakin lama pekerja
bekerja secara shift akan semakin besar potensinya mengalami gangguan kesehatan.
Usia pekerja juga harus diperhatikan, sebab gangguan hormonal akibat terganggunya
irama sirkadian lebih sering terjadi pada usia diatas 40 tahun3,5.

Pada pekerja di industry tenaga listrik tidak memiliki batasan tertentu, hanya saja
diperlukan penilaian kesehatan mental bagi pekerja shiftnya. Pada studi yang
dilakukan di Korea bahwa terdapat gangguan kesehatan berupa insomnia, depresi,
dan keinginan bunuh diri yang cukup banyak pada pekerja di industri tenaga listrik.
Untuk kesehatan fisik perlu dilakukan pengukuran rutin Body Mass Index (BMI),
lingkar perut, tekanan darah, kadar gula darah, dan kebiasaan konsumsi rokok dan
alcohol. Pada beberapa penelitian dinyatakan kerja shift sangat berhubungan dengan
perubahan tekanan darah yang diakibatkan adanya gangguan dari neurotransmitter
yang mempengaruhi system kardiovaskular tubuh. Selain itu peningkatan kadar gula
darah sering dihubungkan dengan proses sintesis insulin dan kebiasaan makan
diwaktu malam hari dengan dalih untuk memenuhi kebutuhan energy tubuh3–5.
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan
1. Kerja shift sangat mempengaruhi kesehatan tubuh pekerja baik kesehatan
secara fisik maupun kesehatan secara mental
2. Gangguan kesehatan dapat timbul akibat paparan yang lama dan terus
menerus, diawali dengan gangguan irama sirkadian tubuh, gangguan siklus
tidur, serta gangguan akibat factor psikososial
3. Indicator kesehatan tidak disebutkan secara khusus, hanya saja perlu perhatian
lebih kepada factor-faktor pencetus gangguan kesehatan seperti adanya
gangguan tidur, timbul peningkatan berat badan, perubahan kebiasaan yang
ekstrim
3.2. Saran
1. Perlu dilakukan pemantauan kesehatan rutin untuk mengetahui efek kronis
dari kerja shift pada setiap pekerja
2. Beban kerja dan waktu istirahat harus disesuaikan untuk dapat menjaga
kesehatan pekerja akibat kerja shift
DAFTAR PUSTAKA

1. Pati AK, Chandrawanshi A, Reinberg A. Shift work: Consequences and


management. Curr Sci. 2001;81(1):32-52.

2. Hulsegge G, Loef B, van Kerkhof LW, Roenneberg T, van der Beek AJ,
Proper KI. Shift work, sleep disturbances and social jetlag in healthcare
workers. J Sleep Res. 2019;28(4). doi:10.1111/jsr.12802

3. Kang MY, Kwon HJ, Choi KH, Kang CW, Kim H. The relationship between
shift work and mental health among electronics workers in South Korea: A
cross-sectional study. PLoS One. 2017;12(11):1-10.
doi:10.1371/journal.pone.0188019

4. Bae M-J, Song Y-M, Shin J-Y, Choi B-Y, Keum J-H, Lee E-A. The
Association Between Shift Work and Health Behavior: Findings from the
Korean National Health and Nutrition Examination Survey. Korean J Fam
Med. 2017;38(2):86. doi:10.4082/kjfm.2017.38.2.86

5. Ryu J, Jung-Choi K, Choi KH, Kwon HJ, Kang C, Kim H. Associations of


shift work and its duration with work-related injury among electronics factory
workers in South Korea. Int J Environ Res Public Health. 2017;14(11).
doi:10.3390/ijerph14111429

6. International Labour Office. Guide to Developing Balanced Working Time


Arrangements.; 2019. https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---
ed_protect/---protrav/---travail/documents/publication/wcms_706159.pdf

Anda mungkin juga menyukai