Dalam UU No. 13 Tahun 2003, ketentuan yang mengatur mengenai efisiensi diatur
dalam Pasal 164 ayat (3), yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut, “Pengusaha
dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja karena perusahaan
tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan
karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi,
dengan ketentuan pekerja berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).”
Penekanan terhadap ketentuan ini ditunjukkan kepada kata kata “perusahaan tutup”.
Pasal 164 UU No. 13 Tahun 2003 sesungguhnya mengatur alasan bagi perusahaan
untuk melakukan PHK terhadap pekerja karena "perusahaan tutup". Dengan
demikian, kata efisiensi yang terdapat di dalam Pasal 164 ayat (3) UU No. 13 Tahun
2003 tidak dapat diartikan “mengefisienkan biaya tenaga kerja, caranya dengan
melakukan PHK terhadap pekerja”. Namun harus diartikan bahwa PHK dapat
dilakukan perusahaan apabila perusahaan tutup, dan tutupnya perusahaan adalah
sebagai bentuk efisiensi, atau dengan kata lain “pengusaha melakukan efisiensi,
caranya dengan menutup perusahaan”.
Jadi, efisiensi tidak bisa digunakan sebagai alasan untuk melakukan PHK, apabila
perusahaan masih berjalan (tidak tutup), selaiin itu alasan itu juga bertentangan
dengan ketentuan perundang undangan yang berlaku.
(Cici Rahmawati) :
Pengusaha tidak dapat mem-PHK pekerja secara sembarangan tanpa alasan yang
dibenarkan undang-undang. Jika pengusaha mem-PHK pekerja karena alasan-
alasan yang tidak dibenarkan undang-undang, maka PHK tersebut batal demi hukum
dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja yang bersangkutan (Pasal 153
ayat [2] UU Ketenagakerjaan).
Setiap PHK yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum (seperti: PT), atau
tidak berbadan hukum (seperti: CV), atau milik perseorangan baik swasta, negara
atau organisasi sosial, wajib menerapkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan. Apabila PHK tidak dapat dihindari, pengusaha hanya boleh
memutuskan hubungan kerja dengan pekerja setelah mendapatkan putusan dari
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang telah berkekuatan hukum tetap, setelah
dilakukan perundingan (bipartit) dengan pekerja yang bersangkutan atau serikat
pekerjanya.
Selain kebolehan melakukan PHK, pengusaha juga dilarang untuk mem-PHK pekerja
dengan alasan sedang sakit, bela negara, beribadah, pernikahan,
hamil/melahirkan/menyusui, pertalian darah, berserikat pekerja, mengadukan tindak
pidana, agama/aliran politik/suku/warna kulit/golongan/jenis kelamin/kondisi
fisik/status perkawinan, dan cacat.
Besaran uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan penggantian hak
ditetapkan masing-masing besarannya sesuai dengan masa kerja dan alasan PHK,
yaitu karena pekerja diputuskan melakukan tindak pidana oleh pengadilan,
melakukan indisipliener, mengundurkan diri atau dianggap mengundurkan diri,
perusahaan berubah status, perusahaan efisiensi atau tutup tetap dan pailit, pekerja
meninggal dunia atau pensiun, serta sakit berkepanjangan.
Dengan demikian, apabila pekerja berkeberatan dengan alasan PHK perusahaan,
pekerja atau perusahaan dapat melakukan perundingan bipartit untuk menyepakati
besaran uang pesangon atau permintaan tetap dipekerjakan kembali, serta apabila
tidak tercapai kesepakatan maka pekerja atau pengusaha dapat mengajukan
permohonan mediasi Dinas Tenaga Kerja setempat, atau konsiliasi/arbitrase. Jika
juga tidak mencapai kesepakatan, pengusaha atau pekerja dapat mengajukan
gugatan ke PHI.