Anda di halaman 1dari 4

Nama : Nurhana

Prodi : S1 Akuntansi
NIM : 1911000123
Mata Kuliah : Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Dosen : Silverius Constantino Johanes Maria, M.HUM

Pancasila sebagai Sistem Filsafat

1. Apa itu Filsafat?


Jawaban :
 Pengertian filsafat secara etimologi
Kata Filsafat dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah Falsafah, dalam bahasa Inggris dikenal
dengan istilah Philosophy adalah berasal dari bahasa Yunani atau Philosophia. Terdiri atas kata
Philein yang berarti cinta (love) dan Sophia yang berarti kebijaksanaan (wisdom), sehingga
secara etimologi istilah filsafat berarti cinta kebijaksanaan (love of wisdom). Kata filsafat
pertama kali digunakan oleh Pythagoras (582-496 SM).
 Pengertian filsafat berdasarkan watak dan fungsinya sebagaimana yang dikemukakan Titus,
Smith & Nolan sebagai berikut:
1) Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang
biasanya diterima secara tidak kritis. (arti informal).
2) Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang
sangat dijunjung tinggi (arti formal).
3) Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan (arti komprehensif).
4) Filsafat adalah analisa logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep (arti
analisis linguistik).
5) Filsafat adalah sekumpulan problematik yang langsung mendapat perhatian manusia dan
dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat (arti aktual-fundamental).
 Pengertian filsafat menurut Saya adalah serangkaian sistem yang mendasar dan fundamental
serta memiliki sifat koheren dan menyeluruh dalam menjelaskan atau menggambarkan suatu
tujuan, cita-cita dan prinsip/pedoman/kepercayaan yang dianut pada sistem tersebut.

2. Mengapa Pancasila sebagai sistem filsafat? Jelaskan secara filosofis!


Jawaban :
Alasan Pancasila sebagai sistem filsafat secara filosofis :
a. Dalam sidang BPUPKI, 1 Juni 1945, Soekarno memberi judul pidatonya dengan nama
Philosofische Grondslag daripada Indonesia Merdeka. Adapun pidatonya sebagai berikut:
“Paduka Tuan Ketua yang mulia, saya mengerti apa yang Ketua kehendaki! Paduka Tuan
Ketua minta dasar, minta Philosofische Grondslag, atau jika kita boleh memakai perkataan
yang muluk-muluk, Paduka Tuan Ketua yang mulia minta suatu Weltanschauung, di atas mana
kita mendirikan negara Indonesia itu”. (Soekarno, 1985: 7).
Adapun penjelasan para tokoh ilmuwan mengenai filosofis Pancasila sebagai sistem filsafat :
1) Noor Bakry
Pancasila sebagai sistem filsafat merupakan hasil perenungan yang mendalam dari para
tokoh kenegaraan Indonesia. Hasil perenungan itu semula dimaksudkan untuk merumuskan
dasar negara yang akan merdeka. Selain itu, hasil perenungan tersebut merupakan suatu
sistem filsafat karena telah memenuhi ciri-ciri berpikir kefilsafatan. Beberapa ciri berpikir
kefilsafatan meliputi: (1). sistem filsafat harus bersifat koheren, artinya berhubungan satu
sama lain secara runtut, tidak mengandung pernyataan yang saling bertentangan di
dalamnya. Pancasila sebagai sistem filsafat, bagian-bagiannya tidak saling bertentangan,
meskipun berbeda, bahkan saling melengkapi, dan tiap bagian mempunyai fungsi dan
kedudukan tersendiri; (2). sistem filsafat harus bersifat menyeluruh, artinya mencakup
segala hal dan gejala yang terdapat dalam kehidupan manusia. Pancasila sebagai filsafat
hidup bangsa merupakan suatu pola yang dapat mewadahi semua kehidupan dan dinamika
masyarakat di Indonesia; (3). sistem filsafat harus bersifat mendasar, artinya suatu bentuk
perenungan mendalam yang sampai ke inti mutlak permasalahan sehingga menemukan
aspek yang sangat fundamental. Pancasila sebagai sistem filsafat dirumuskan berdasarkan
inti mutlak tata kehidupan manusia menghadapi diri sendiri, sesama manusia, dan Tuhan
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara; (4). sistem filsafat bersifat spekulatif,
artinya buah pikir hasil perenungan sebagai praanggapan yang menjadi titik awal yang
menjadi pola dasar berdasarkan penalaran logis, serta pangkal tolak pemikiran tentang
sesuatu. Pancasila sebagai dasar negara pada permulaannya merupakan buah pikir dari
tokoh-tokoh kenegaraan sebagai suatu pola dasar yang kemudian dibuktikan kebenarannya
melalui suatu diskusi dan dialog panjang dalam sidang BPUPKI hingga pengesahan PPKI
(Bakry, 1994: 13--15).
2) Sastrapratedja
Fungsi utama Pancasila menjadi dasar negara dan dapat disebut dasar filsafat adalah dasar
filsafat hidup kenegaraan atau ideologi negara. Pancasila adalah dasar politik yang
mengatur dan mengarahkan segala kegiatan yang berkaitan dengan hidup kenegaraan,
seperti perundang undangan, pemerintahan, perekonomian nasional, hidup berbangsa,
hubungan warga negara dengan negara, dan hubungan antarsesama warga negara, serta
usaha-usaha untuk menciptakan kesejateraan bersama. Oleh karena itu, Pancasila harus
menjadi operasional dalam penentuan kebijakan-kebijakan dalam bidang-bidang tersebut di
atas dan dalam memecahkan persoalan persoalan yang dihadapi bangsa dan negara
(Sastrapratedja, 2001: 1).
3) Driyarkara
Istilah Philosphische Grondslag dan Weltanschauung merupakan dua istilah yang sarat
dengan nilai-nilai filosofis. Driyarkara membedakan antara filsafat dan Weltanschauung.
Filsafat lebih bersifat teoritis dan abstrak, yaitu cara berpikir dan memandang realita
dengan sedalam-dalamnya untuk memperoleh kebenaran. Weltanschauung lebih mengacu
pada pandangan hidup yang bersifat praktis. Driyarkara menegaskan bahwa
weltanschauung belum tentu didahului oleh filsafat karena pada masyarakat primitif
terdapat pandangan hidup (Weltanschauung) yang tidak didahului rumusan filsafat. Filsafat
berada dalam lingkup ilmu, sedangkan weltanshauung berada di dalam lingkungan hidup
manusia, bahkan banyak pula bagian dari filsafat (seperti: sejarah filsafat, teori-teori
tentang alam) yang tidak langsung terkait dengan sikap hidup (Driyarkara, tt: 27).

Pancasila sebagai dasar filsafat negara (Philosophische Grondslag) nilai-nilai filosofis yang
terkandung dalam sila-sila Pancasila mendasari seluruh peraturan hukum yang berlaku di
Indonesia. Artinya, nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan harus
mendasari seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Contoh: Undang-Undang No.
44 tahun 2008 tentang Pornografi. Pasal 3 ayat (a) berbunyi, ”Mewujudkan dan memelihara
tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-
nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan”.
Undang-undang tersebut memuat sila pertama dan sila kedua yang mendasari semangat
pelaksanaan untuk menolak segala bentuk pornografi yang tidak sesuai dengan nlai-nilai agama
dan martabat kemanusiaan

b. Pancasila sebagai Weltanschauung, artinya nilai-nilai Pancasila itu merupakan sesuatu yang
telah ada dan berkembang di dalam masyarakat Indonesia, yang kemudian disepakati sebagai
dasar filsafat negara (Philosophische Grondslag). Weltanschauung merupakan sebuah
pandangan
dunia (world-view). Hal ini menyitir pengertian filsafat oleh J. A. Leighton sebagaimana
dikutip The Liang Gie, ”A complete philosophy includes a worldview or a reasoned conception
of the whole cosmos, and a life-view or doctrine of the values, meanings, and purposes of
human life” (The Liang Gie, 1977: 8). Ajaran tentang nilai, makna, dan tujuan hidup manusia
yang terpatri dalam Weltanschauung itu menyebar dalam berbagai pemikiran dan kebudayaan
Bangsa Indonesia.

3. Bagaimana G Leibniz seorang filsuf melihat Pancasila? Jelaskan pemikiranya terkait dengan
prinsip Pancasila!
Jawaban :
Substansi adalah alat untuk menangkap dan mengungkapkan seluruh aspek kenyataan yang
bipolar. Maka dari itu, substansi dapat menjadi dasar refleksi Pancasila dan menentukan bagi
pemikiran ontologi Pancasila. Dalam pandangan G Leibnez bahwa Pancasila bersifat harmonia
praestabilita dengan kekuasaan tertinggi ada pada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini dijelaskan
pada pemikirannya yang terdapat pada substansi.

Menurut Leibniz, pada dasarnya terdapat dua doktrin pokok tentang substansi dalam
pandangannya. Pertama, masing-masing substansi atau monade tidak dapat diekstensikan. Kedua,
substansi-substansi itu tidak berinteraksi (Leibniz, 1956)

Dalam permikirannya, Leibniz bermaksud untuk membuktikan eksistensi wujud (Tuhan).


Bagaimana keberadaan Tuhan itu benar-benar “ada” didalam kehidupan manusia. Ia membuktikan
eksistensi Tuhan dengan konsepnya tentang monade-monade. Leibniz berusaha membuktikan
keberadaan Tuhan dengan empat Argumen. Pertama, ia mengatakan bahwa manusia memiliki ide
kesempurnaan, maka adanya Tuhan terbukti. Bukti ini disebut dengan ontologism. Kedua, ia
berpendapat adanya alam semesta dan tidak lengkapnya membuktikan adanya sesuatu yang
melebihi alam semesta ini, dan yang transenden ini disebut dengan Tuhan. Ketiga, ia
berpendapatbahwa kita selalu ingin mencapai kebenaran abadi, yaitu “Tuhan”. Keempat, Leibniz
mengatakan bahwa adanya keselarasan antara monade-monade membuktikan bahwa pada awal
mula ada yang mencocokan mereka satu sama lain, yang mencocokkan itu adalah Tuhan.

Ajaran Leibniz yakni tentang monade-monade ini, menjadi jalan keluar atas keparcayaan
Dualisme, dengan monade ini Leibniz memecahkan kesulitan mengenai hubungan antara jiwa dan
tubuh. Jiwa merupakan suatu monade dan tubuh terdiri dari banyak monade. Suatu monade tidak
dapat mempengaruhi monade lain, sebab masing-masing monade harus dianggap tertutup.
Leibniz juga mempunyai gagasan bahwa Tuhan mungkin tidak bebas untuk menyajikan contoh
kongkret dunia-dunia yang kontradiktoris secara logis, dan tidak ada dunia yang konsisten secara
logis, tempat mahluk-mahluk yang berkehendak bebas sekaligus tidak ada kejahatan. Menurut
Leibniz kehendak bebas adalah sebab dari kejahatan.

Prinsip pengembangan setiap monade harus terletak dalam dirinya sendiri (dalam esensinya
masing-masing). Alasan bagi setiap situasi monade dapat dicari dalam totalitasnya. Aktivitas setiap
monade bukan merupakan hasil interaksi, melainkan geraknya sudah diatur sedemikian rupa oleh
prinsip yang disebut harmonia praestabilita, suatu harmoni yang telah diatur Tuhan saat
penciptaan monade.

Refleksi atas Pancasila menunjukkan, bahwa Pancasila menerima adanya pluralitas substansi, yaitu
Tuhan (sila I), manusia (sila II), dan dunia infrahuman (sila III, IV, dan V). Masing-masing
substansi berada dalam satu jaringan relasi yang berstruktur hirarkhis (berjenjang).

Secara metafisik nilai-nilai Pancasila merupakan “prinsip-prinsip pertama”. Atas dasar pemahaman
itu Pancasila tidak dapat dikategorikan sebagai jenis filsafat monisme, pluralisme ataupun
dualisme. Oleh karena itu pandangan Leibnez mengenai Pancasila yang bersifat harmonia
praestabilita sangat sesuai karena Pancasila merupakan harmonisasi atau gabungan seluruh aspek
yang ada di semesta alam. Pancasila bukan monisme karena Pancasila tidak menerima satu prinsip
asal. Pancasila bukan pluralisme karena Pancasila tidak menerima prinsip asal banyak yang
sejajar. Pancasila bukan dualisme karenaa Pancasila tidak menerima dua prinsip yang sama.
Pancasila menghendaki adanya “subordinasi”, asal “Yang Satu” (Tuhan) tetap sui generis.

Dengan demikian maka sila-sila dalam Pancasila itu memberi corak pada pola fikir dan pola tindak
bangsa Indonesia dalam menghadapi segala permasalahan hidupnya.
Ø  Dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, pola pikir, sikap dan tidak bangsa Indonesia mengacu
pada prinsip yang terkandung di dalamnya. Orang bebas berfikir, bebas berusaha, namun sadar dan
yakin bahwa akhirnya yang menentukan segalanya adalah Tuhan Yang Maha Esa. Man proposes,
but God disposes, sehingga manusia rela dan ikhlas diatur. Dalam menentukan suatu pilihan
tindakan seorang memiliki kebebasan, namun kebebasan tersebut harus dipertanggungjawabkan,
dan memiliki akibat terhadap pilihan tindakannya. Dalam menentukan pilihan tindakan, seseorang
mengacu pada terwujudnya keselarasan atau harmoni dan kelestarian alam semesta.
Ø  Prinsip Kemanusiaan yang Adil dan Beradab memberikan acuan bahwa dalam olah fikir, olah
rasa, dan olah tindak, manusia selalu mendudukkan manusia lain sebagai mitra, sesuai dengan
harkat dan martabatnya. Hak dan kewajibannya dihormati secara beradab. Dengan demikian tidak
akan terjadi penindasan atau pemerasan. Segala aktivitas bersama berlangsung dalam
keseimbangan, kesetaraan dan kerelaan.
Ø  Dengan prinsip Persatuan Indonesia, pola fikir, sikap dan tindak bangsa Indonesia selalu
mengacu bahwa negara Indonesia merupakan negara kesatuan dari Sabang sampai Merauke. Kita
mengaku bahwa negara kesatuan ini memiliki berbagai keanekaragaman ditinjau dari segi agama,
adat, budaya, ras, dan sebagainya, yang harus didudukkan secara proporsional dalam negara
kesatuan. Dalam hal terjadi konflik kepentingan, maka kepentingan bangsa diletakkan di atas
kepentingan pribadi, golongan dan daerah.
Ø  Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, memberikan petunjuk dalam berfikir,bersikap dan bertingkahlaku
bahwa yang berdaulat dalam negara Republik Indonesia adalah seluruh rakyat, sehingga rakyat
harus didudukkan secara terhormat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Aspirasi rakyat dipergunakan sebagai pangkal tolak penyusunan kesepakatan bersama dengan jalan
musyawarah. Apabila dengan musyawarah tidak dapat tercapai kesepakatan, maka pemungutan
suara tidak dilarang. Setiap kesepakatan bersama mengikat semua pihak tanpa kecuali, dan wajib
untuk merealisasikan kesepakatan dimaksud. Dalam menentukan kesepakatan bersama dapat juga
ditempuh dengan jalan perwakilan.
Ø  Prinsip Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia memberikan acuan bagi olah fikir, olah
sikap dan olah tindak bahwa yang ingin diwujudkan dengan adanya negara Republik Indonesia
adalah kesejahteraan lahir dan batin bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali. Pemikiran yang
mengarah pada terwujudnya kesejahteraan sepihak tidak dibenarkan.

Prinsip-prinsip yang lima tersebut merupakan pendukung dan sekaligus realisasi konsep-konsep
yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, seperti konsep pluralistik, harmoni atau
keselarasan,gotong royong dan kekeluargaan, integralistik. kerakyatan dan kebangsaan.

Anda mungkin juga menyukai