Prodi : S1 Akuntansi
NIM : 1911000123
Mata Kuliah : Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Dosen : Silverius Constantino Johanes Maria, M.HUM
Pancasila sebagai dasar filsafat negara (Philosophische Grondslag) nilai-nilai filosofis yang
terkandung dalam sila-sila Pancasila mendasari seluruh peraturan hukum yang berlaku di
Indonesia. Artinya, nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan harus
mendasari seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Contoh: Undang-Undang No.
44 tahun 2008 tentang Pornografi. Pasal 3 ayat (a) berbunyi, ”Mewujudkan dan memelihara
tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-
nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan”.
Undang-undang tersebut memuat sila pertama dan sila kedua yang mendasari semangat
pelaksanaan untuk menolak segala bentuk pornografi yang tidak sesuai dengan nlai-nilai agama
dan martabat kemanusiaan
b. Pancasila sebagai Weltanschauung, artinya nilai-nilai Pancasila itu merupakan sesuatu yang
telah ada dan berkembang di dalam masyarakat Indonesia, yang kemudian disepakati sebagai
dasar filsafat negara (Philosophische Grondslag). Weltanschauung merupakan sebuah
pandangan
dunia (world-view). Hal ini menyitir pengertian filsafat oleh J. A. Leighton sebagaimana
dikutip The Liang Gie, ”A complete philosophy includes a worldview or a reasoned conception
of the whole cosmos, and a life-view or doctrine of the values, meanings, and purposes of
human life” (The Liang Gie, 1977: 8). Ajaran tentang nilai, makna, dan tujuan hidup manusia
yang terpatri dalam Weltanschauung itu menyebar dalam berbagai pemikiran dan kebudayaan
Bangsa Indonesia.
3. Bagaimana G Leibniz seorang filsuf melihat Pancasila? Jelaskan pemikiranya terkait dengan
prinsip Pancasila!
Jawaban :
Substansi adalah alat untuk menangkap dan mengungkapkan seluruh aspek kenyataan yang
bipolar. Maka dari itu, substansi dapat menjadi dasar refleksi Pancasila dan menentukan bagi
pemikiran ontologi Pancasila. Dalam pandangan G Leibnez bahwa Pancasila bersifat harmonia
praestabilita dengan kekuasaan tertinggi ada pada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini dijelaskan
pada pemikirannya yang terdapat pada substansi.
Menurut Leibniz, pada dasarnya terdapat dua doktrin pokok tentang substansi dalam
pandangannya. Pertama, masing-masing substansi atau monade tidak dapat diekstensikan. Kedua,
substansi-substansi itu tidak berinteraksi (Leibniz, 1956)
Ajaran Leibniz yakni tentang monade-monade ini, menjadi jalan keluar atas keparcayaan
Dualisme, dengan monade ini Leibniz memecahkan kesulitan mengenai hubungan antara jiwa dan
tubuh. Jiwa merupakan suatu monade dan tubuh terdiri dari banyak monade. Suatu monade tidak
dapat mempengaruhi monade lain, sebab masing-masing monade harus dianggap tertutup.
Leibniz juga mempunyai gagasan bahwa Tuhan mungkin tidak bebas untuk menyajikan contoh
kongkret dunia-dunia yang kontradiktoris secara logis, dan tidak ada dunia yang konsisten secara
logis, tempat mahluk-mahluk yang berkehendak bebas sekaligus tidak ada kejahatan. Menurut
Leibniz kehendak bebas adalah sebab dari kejahatan.
Prinsip pengembangan setiap monade harus terletak dalam dirinya sendiri (dalam esensinya
masing-masing). Alasan bagi setiap situasi monade dapat dicari dalam totalitasnya. Aktivitas setiap
monade bukan merupakan hasil interaksi, melainkan geraknya sudah diatur sedemikian rupa oleh
prinsip yang disebut harmonia praestabilita, suatu harmoni yang telah diatur Tuhan saat
penciptaan monade.
Refleksi atas Pancasila menunjukkan, bahwa Pancasila menerima adanya pluralitas substansi, yaitu
Tuhan (sila I), manusia (sila II), dan dunia infrahuman (sila III, IV, dan V). Masing-masing
substansi berada dalam satu jaringan relasi yang berstruktur hirarkhis (berjenjang).
Secara metafisik nilai-nilai Pancasila merupakan “prinsip-prinsip pertama”. Atas dasar pemahaman
itu Pancasila tidak dapat dikategorikan sebagai jenis filsafat monisme, pluralisme ataupun
dualisme. Oleh karena itu pandangan Leibnez mengenai Pancasila yang bersifat harmonia
praestabilita sangat sesuai karena Pancasila merupakan harmonisasi atau gabungan seluruh aspek
yang ada di semesta alam. Pancasila bukan monisme karena Pancasila tidak menerima satu prinsip
asal. Pancasila bukan pluralisme karena Pancasila tidak menerima prinsip asal banyak yang
sejajar. Pancasila bukan dualisme karenaa Pancasila tidak menerima dua prinsip yang sama.
Pancasila menghendaki adanya “subordinasi”, asal “Yang Satu” (Tuhan) tetap sui generis.
Dengan demikian maka sila-sila dalam Pancasila itu memberi corak pada pola fikir dan pola tindak
bangsa Indonesia dalam menghadapi segala permasalahan hidupnya.
Ø Dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, pola pikir, sikap dan tidak bangsa Indonesia mengacu
pada prinsip yang terkandung di dalamnya. Orang bebas berfikir, bebas berusaha, namun sadar dan
yakin bahwa akhirnya yang menentukan segalanya adalah Tuhan Yang Maha Esa. Man proposes,
but God disposes, sehingga manusia rela dan ikhlas diatur. Dalam menentukan suatu pilihan
tindakan seorang memiliki kebebasan, namun kebebasan tersebut harus dipertanggungjawabkan,
dan memiliki akibat terhadap pilihan tindakannya. Dalam menentukan pilihan tindakan, seseorang
mengacu pada terwujudnya keselarasan atau harmoni dan kelestarian alam semesta.
Ø Prinsip Kemanusiaan yang Adil dan Beradab memberikan acuan bahwa dalam olah fikir, olah
rasa, dan olah tindak, manusia selalu mendudukkan manusia lain sebagai mitra, sesuai dengan
harkat dan martabatnya. Hak dan kewajibannya dihormati secara beradab. Dengan demikian tidak
akan terjadi penindasan atau pemerasan. Segala aktivitas bersama berlangsung dalam
keseimbangan, kesetaraan dan kerelaan.
Ø Dengan prinsip Persatuan Indonesia, pola fikir, sikap dan tindak bangsa Indonesia selalu
mengacu bahwa negara Indonesia merupakan negara kesatuan dari Sabang sampai Merauke. Kita
mengaku bahwa negara kesatuan ini memiliki berbagai keanekaragaman ditinjau dari segi agama,
adat, budaya, ras, dan sebagainya, yang harus didudukkan secara proporsional dalam negara
kesatuan. Dalam hal terjadi konflik kepentingan, maka kepentingan bangsa diletakkan di atas
kepentingan pribadi, golongan dan daerah.
Ø Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, memberikan petunjuk dalam berfikir,bersikap dan bertingkahlaku
bahwa yang berdaulat dalam negara Republik Indonesia adalah seluruh rakyat, sehingga rakyat
harus didudukkan secara terhormat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Aspirasi rakyat dipergunakan sebagai pangkal tolak penyusunan kesepakatan bersama dengan jalan
musyawarah. Apabila dengan musyawarah tidak dapat tercapai kesepakatan, maka pemungutan
suara tidak dilarang. Setiap kesepakatan bersama mengikat semua pihak tanpa kecuali, dan wajib
untuk merealisasikan kesepakatan dimaksud. Dalam menentukan kesepakatan bersama dapat juga
ditempuh dengan jalan perwakilan.
Ø Prinsip Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia memberikan acuan bagi olah fikir, olah
sikap dan olah tindak bahwa yang ingin diwujudkan dengan adanya negara Republik Indonesia
adalah kesejahteraan lahir dan batin bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali. Pemikiran yang
mengarah pada terwujudnya kesejahteraan sepihak tidak dibenarkan.
Prinsip-prinsip yang lima tersebut merupakan pendukung dan sekaligus realisasi konsep-konsep
yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, seperti konsep pluralistik, harmoni atau
keselarasan,gotong royong dan kekeluargaan, integralistik. kerakyatan dan kebangsaan.