Anda di halaman 1dari 21

PENGANTAR PERADILAN DI INDONESIA

Makalah ini Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata


Kuliah Peradilan Agama di Indonesia Program Studi Hukum Keluarga Islam
Fakultas Syariah dan Hukum Islam IAIN Bone
(19-HKI4) Semester IV

Oleh
Kelompok: I

MEGA KURNIA SYAM


NIM: 742302019099

SUSIANTI
NIM: 742302019104

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM ISLAM


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) BONE TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kita panjatkan kepada Allah swt sebab kerena limpahan

rahmat hidayahnya saya mampu untuk menyelesaikan Makalah saya dengan judul

“Pengantar Peradilan di Indonesia” ini.Shalawat serta salam tidak lupa kita

kirimkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad saw sebagai “King of the

King, King of the World” yang telah menggulung tikar - tikar kejahiliaan dan

mampu membentangkan tikar – tikar kebenaran. Berdasarkan pentujung dan

hidayah dari sang Pencipta yaitu Allah swt yang maha pemurah lagi maha

penyayang.

Selanjutnya dengan rendah hati saya memohon kritik dan saran dari

pembaca apabila terdapat hal yang ganjil, agar selanjutnya dapat saya revisi

kembali. Karena saya menyadari bahwa kesempurnaan hanya milik sang Pencipta

yaitu Allah swt kami ucapkan terimakasih yang sebanyak – banyaknya kepada

setiap pihak yang telah mendukung serta membatu saya selama proses

menyeleseikan makalah saya hingga rampungnya makalah ini.

Demikianlah yang dapat saya haturkan, saya berharap supaya makalah


yang telah saya buat ini mampu memberikan manfaat kepada setiap pembacanya.

Dan bernilai ibadah disisi Allah swt.

Watampone, 16 Maret 2021

Penyusun,

Kelompok 1

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Penulisan 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Bagaimana Pengertian Peradilan? 3


B. Apa Sajakah Unsur-Unsur Peradilan? 7
C. Apa Sajakah Macam-Macam Peradilan di Indonesia? 8
D. Apa Sajakah Asas-Asas dalam Peradilan? 12

BAB III PENUTUP

A. Simpulan 16
B. Saran 17

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peradilan merupakan lembaga yudikatif yang bergerak dalam bidang hukum.


Salah satu tugas dari lembaga ini adalah menegakkan hukum secara adil dan
benar. Pengertian peradilan dalam beberapa bahasa seperti rechtpraak dalam
bahasa Belanda dan judiciary dalam bahasa Inggris adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan tugas negara dalam menegakkan hukum dan keadilan.

Kata-kata peradilan sama artinya dengan istilah dalam Fiqh yang berbunyi
“qadha” dan “aqdliyah”. Pengertian Pengadilan secara khusus, yaitu suatu
lembaga tempat mengadili atau menyelesaikan sengketa hukum dalam rangka
kekuasaan kehakiman yang mempunyai kekuasaan absolut dan relatif sesuai
peraturan perundang-undangan. Dalam bahasa Arab disebut al-Mahkamah.

Permaslahan dalam masyarakat ada dikarenakan interaksi antar manusia satu


dengan manusia yang lain seringlah menimbulkan adanya konflik.Dalam
penyelesaian konflik dapat dilakukan dengan berbagai macam cara dengan damai
atau mengajukan gugatan ke Pengadilan. Mengenai isi maksud gugatan ini
berkaitan dengan kompetensi lembaga peradilan, dimana semua Pengadilan baik
PengadilanAgama, Pengadilan Negeri, dan Pengadilan Tata Usaha Negara
memiliki kompetensinya masing-masing.

1
2

Lembaga peradilan sebagai tempat untuk mencari keadilan bagi setiap warga
negara merupakan badan yang berdiri sendiri (independen) dan otonom,salah satu
unsur penting dalam lembaga peradilan adalah Hakim.Hal ini dikarenakan
seorang hakim mempunyai peran yang besar dalam memberikan keadilan kepada
setiap orang yang berperkara di persidangan. Sehingga diharapkan seorang hakim
di dalam memeriksa, menyelesaikan, dan memutus suatu perkara juga harus bebas
dari pengaruh apa atau siapapun untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya
kepada setiap orang yang berperkara di pengadilan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Peradilan?
2. ApaSajakah Unsur-Unsur Peradilan?
3. Apa Sajakah Macam-Macam Peradilan di Indonesia?
4. Apa Sajakah Asas-Asas dalam Peradilan?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari peradilan.
2. Untuk mengetahui unsur-unsur peradilan.
3. Untuk mengetahui macam-macam peradilan di Indonesia.
4. Untuk mengetahui asas-asas dalam peradilan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Peradilan

Kata “peradilan” berasal dari akar kata “adil” dengan awalan “per” dan
imbuhan “an”. Kata peradilan sebagai terjemahan dari qadha yang berarti
“memutuskan”, “melaksanakan”, “menyelesaikan” dan ada pula yang menyatakan
bahwa umumnya kamus tidak membedakan antara peradilan dengan pengadilan.

Dalam literature-literatur fikih islam, “peradilan” disebut qadha artinya


“menyelesaikan” seperti Firman Allah:

َ ‫فَلَ َّما قَضٰ ى زَ ْيدٌ ِّم ْن َها َو‬


‫ط ًرا‬
Manakala Zaid telah menyelesaikan keperluannya dari Zainab.
(QS. Al-Ahzaab [33]: 37)
Ada juga yang berarti “menunaikan” seperti Firman Allah:
َ ْ ‫ص ٰلوة ُ فَا ْنت َش ُر ْوا فى‬
‫اْل ْرض‬ َّ ‫فَاذَا قُضيَت ال‬
Apabila shalat telah ditunaikan mkaa bertebaranlah ke pelosok
bumi. (QS. al-Jumu’ah [62]: 10)1

Di samping arti “menyelesaikan” dan “menunaikan” seperti di atas. Arti


qadha yang dimaksud ada pula yang berarti “memutuskan hukum” atau
“menetapkan sesuatu ketetapan”. Dalam dunia peradilan menurut para pakar,
makna yang terakhir inilah yang dianggap lebih signifikan dimana makna hukum
di sini pada asalnya berarti “menghalangi” atau “mencegah” karenanya qadhi
dinamakan hakim karena seorang hakim berfungsi untuk menghalangi orang yang
zalim dari penganiayaan. Oleh karena itu, apabila seseorang mengatakan “hakim
telah menghukumkan begini” artinya hakim telah meletakkan sesuatu haka tau
mengembalikan sesuatu kepada pemiliknya yang berhak.

1
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Cet. III; Jakarta: PrenadaMedia, 2017), h. 1-2.

3
4

Kata “peradilan” menurut istilah ahli fikih adalah:

1. Lembaga hukum (tempat dimana seseorang mengajukan mohon


keadilan).
2. Perkataan yang harus dituruti yang diucapkan oleh seorang yang
mempunyai wilayah umum atau menerangkan hukum agama atas dasar
harus mengikutinya.

Dari pengertian tersebut membawa kita pada kesimpulan bahwa tugas


peradilan berarti menampakkan hukum agama, tidak tepat bila dikatakan
menetapkan sesuatu hukum karena hukum itu sebenarnya telah ada dalam hal
yang dihadapi hakim. Bahkan dalam hal ini kalua hendak dibedakan dengan
hukum umum, dimana hukum islam itu syariat telah ada sebelum manusia ada,
sedangkan hukum umum baru ada setelah manusia ada. Adapun hakim dalam hal
ini hanya menerapkan hukum yang sudah ada itu dalam kehidupan, bukan
menetapkan sesuatu yang belum ada.

Di samping itu, seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Abidin, ada pula ulama
yang berpendapat bahwa peradilan itu berarti menyelesaikan sesuatu sengketa
dengan hukum Allah. “putusan” sebagai produk pengadilan sangat erat kaitannya
dengan ijtihad dan fatwa. Dalam islam kedua hal tersebut dianjurkan untuk
berijtihad (seseorang yang memenuhi persyaratan), malah menurut Islam bila
seseorang berijtihad tapi hasilnya salah maka ia mendapat suatu pahala dan bila
hasil ijtihadnya benar maka ia mendapat dua pahala, yakni satu pahala ijtihad dan
satu lagi pahala kebenaran yang didapat.2

Untuk itu perlu dijelaskan perbedaan “qadha” sebagai putusan peradilan


dengan “ifta” sebagai suatu fatwa. Fatwa adalah jawaban terhadap satu pertanyaan
yang diajukan pada seseorang ahli di bidangnya (mufti) yang tidak begitu jelas
hukumnya. Menurut kenyataan memberi fatwa pada hakikatnya adalah
menyampaikan hukum Allah pada manusia karenanya mufti harus memahami
tentang masalah yang disampaikan itu, dan ia harus orang yang terkenal benar,

2
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Cet. III; Jakarta: PrenadaMedia, 2017), h.2-3.
5

baik tingkah laku, perkataan, maupun perbuatan dan orang yang memberi fatwa
disebut mufti.

Fatwa sebagai hasil ijtihad dimana seorang mujtahid mengistinbatkan hukum


baik untuk dirinya maupun untuk orang lain mengenai hal-hal yang telah terjadi
dan terkadang megenai hal yang belum terjadi, sedangkan fatwa hanya mengenai
hal-hal yang telah terjadi saja.

Dari uraian tersebut dapat kita Tarik benang merahnya bahwa perbedaan
fatwa dengan qadha sebagai putusan hakim adalah: pertama, mufti bisa menolak
memberikan fatwa mengenai hal yang dimintakan fatwa kepadanya, sedangkan
peradilan (qadha) tidaklah demikian, tapi harus memutus, artinya tidak boleh
menolak para pihak yang mengajukan mohon keadilan, sekalipun dengan alasan
bahwa aturan tentang hal tersebut belum ada.Kedua, qadha itu dasarnya adalah
fakta yang dicari hakim, jadi hakim memutus berdasarkan fakta. Adapun fatwa
dasarnya ilmu (pengetahuan) yakni si mufti memberikan fatwa berdasarkan ilmu
yang dimiliki mufti. Ketiga, kalau putusan hakim harus dituruti atau mempunyai
daya paksa yakni negara bisa memaksakan putusan itu untuk dilaksanakan.
Sedangkan fatwa tidak harus orang mengikutinya dan negara pun tidak campur
tangan dalam pelaksanaannya. Keempat, fatwa itu tidak boleh dibatalkan,
sedangkan putusan bisa dibatalkan oleh tingkat yang lebih tinggi.3

Mujtahid-mujtahid masa lalu sangat ketat membatasi para hakim dalam hal
memberi fatwa karena dikhawatirkan putusan hakim terkontaminasi dengan
fatwa-fatwa yang tekah diberikan karenanya idealnya seseorang yang menjadi
hakim adalah karena panggilan nuraninya dan kegiatannya pun terbatas pada
rumah dan ruang kerjanya.

Itulah pula sebabnya Ahmad bin Hanbal dan As-Syafi’I memakruhkan hakim
mengeluarkam fatwa terhadap masalah-masalah yang bersangkut paut dengan
tugas hakim. Mereka membolehkan berfatwa dalam masalah ibadah dan lainnya.
Mereka berpendapat demikian karena boleh jadi waktu perkara itu diajukan ke

3
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Cet. III; Jakarta: PrenadaMedia, 2017), h. 3.
6

pengadilan, pendapat hakim sudah berbeda dengan pendapat yang sudah


difatwakan, itulah sebabnya hakim Syuraikh ketika seseorang meminta fatwa
kepadanya terhadap masalah yang mungkin diajukan ke pengadilan ia berkata
“saya akan memutus perkaramu sedang saya tidak akan memberi fatwa
kepadamu.

Dari uraian pasal ini dapat disimpulkan bahwa ternyata sejak awal
perkembangan peradilan Islam, tugas yudikatif dan eksekutif telah ada
pemisahannya atau dipisahkan.4

Adapun perbedaan antara peradilan dan pengadilan adalah pengadilan


merupakan badan atau instansi yang melaksanakan sistem peradilan berupa
memeriksa , mengadili, dan memutus perkara. Bentuk dari sistem peradilan yang
dilaksanakan di pengadilan adalah sebuah forum public yang resmi dan dilakukan
berdasarkan hukum acara yang berlaku di Indonesia.

Sedangkan peradilan adalah segala sesuatu atau sebuah proses yang


dijalankan di pengadilan yang berhubungan dengan tugas memeriksa, memutus
dan mengadili perkara dengan menerapkan hukum dan menemukan hukum “in
concreto” (hakim menerapkan peraturan hukum kepada hal-hal yang nyata yang
dihadapkan kepadanya untuk diadili dan diputus) untuk mempertahakan dan
menjamin ditaatinya hukum materill, dengan menggunakan caraprosedural yang
ditetapkan oleh hukum formal.

Dari kedua uraian di atas dapat dikatakan bahwa, pengadilan adalah lembaga
tempat subjek hukum mencari keadilan, sedangkan peradilan adalah sebuah
proses dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan atau suatu proses mencari
keadilan itu sendiri.5

4
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Cet. III; Jakarta: PrenadaMedia, 2017), h. 4.
5
JDIH-LIPI, Perbedaan Peradilan Dengan Pengadilan,
https://jdih.lipi.go.id/?page=pengetahuan_praktis&id=138#:~:text=Dari%20kedua%20uraian%20
diatas%20dapat,proses%20mencari%20keadilan%20itu%20sendiri.%E2%80%9D. Diakses pada 16
Maret 2021, pukul 12:36 WITA.
7

B. Unsur-Unsur Peradilan

Dalam literatur fikih Islam, untuk berjalannya peradilan dengan baik dan
normal maka diperlukan adanya enam unsur, yakni:

1. Hakim atau qadhi, yaitu orang yang diangkat oleh kepala negara
untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugat menggugat, oleh
karena penguasa sendiri tidak dapat menyelesaikan tugas peradilan.
2. Hukum, yaitu putusan hakim yang ditetapkan untuk menyelesaikan
suatu perkara. Hukum ini ada kalanya dengan jalan ilzam, yaitu seperti
hakim berkata saya menghukum engkau dengan membayar sejumlah
uang. Ada yang berpendapat bahwa putusan ilzam ini ialah
menetapkan sesuatu dengan dasar yang meyakinkan seperti berhaknya
seseorang anggota serikat untuk mengajukan hak syuf’ah, sedang
qadha istiqaq ialah menetapkan sesuatu dengan hukum yang diperoleh
dari ijtihad, seperti seorang tetangga mengajukan syuf’ah.
3. Mahkum bihi, di dalam qadha ilzam dan qadha istiqaq yang
diharuskan oleh qadha si tergugat harus memenuhinya. Dan di dalam
qadha tarki ialah menolak gugatan karena demikian, maka dapat
disimpulkan bahwa mahkum bihi itu adalah suatu hak.
4. Mahkum alaih (si terhukum), yakni orang yang dijatuhkan hukuman
atasnya. Mahkum alaih dalam hak-hak syara’ adalah yang diminta
untuk memenuhi suatu tuntutan yang dihadapkan kepadanya baik
tergugat maupun bukan, seorang maupun banyak.
5. Mahkum lahu, yaitu orang yang menggugat suatu hak. Baik hak itu
murni baginya atau terdapat dua hak tetapi haknya lebih kuat.
6. Perkataan atau perbuatan yang menunjuk kepada hukum
(putusan), dari pernyataan tersebut nyatalah bahwa memutuskan
perkarahanya dalam suatu kejadian yang diperkarakan oleh seseorang
terhadap lawannya, dengan mengemukakan gugatan-gugatan yang
dapat diterima oleh karena itu sesuatu yang bukan merupakan
8

peristiwa tapi masuk dalam bidang ibadah tidak masuk dalam bidang
peradilan.6
C. Macam-Macam Peradilan di Indonesia

Pengadilan adalah badan/lembaga yang menjalankan peradilan dalam sebuah


negara. Lembaga ini adalah pelaku kekuasaan kehakiman dalam sebuah negara
yang berdaulat untuk menegakkan hukum dan keadilan. Konstitusi Indonesia
membagi kekuasaan kehakiman ini dalam lima bidang peradilan yaitu peradilan
umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, peradilan militer, dan
peradilan konstitusi.

Peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan peradilan
militer berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai tahap upaya hukum tertinggi
jika tak puas dengan putusan pengadilan di bawahnya. Sedangkan peradilan
konstitusi dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi yang berdiri terpisah dengan sifat
putusannya final.

Pasal 27 ayat 1 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman


mengatur bahwa pada setiap lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung
masih bisa dibentuk pengadilan khusus untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara tertentu.

Tiap pengadilan memiliki nama dan kewenangan tersendiri yang penting


dipahami oleh masyarakat pencari keadilan. Berikut beberapa jenis peradilan di
Indonesia :

1. Peradilan Umum
Peradilan umum menangani perkara pidana dan perdata secara
umum. Badan yang menjalankannya terdiri dari Pengadilan Negeri
sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi sebagai
pengadilan tingkat banding. Pengadilan Negeri berkedudukan di
Ibukota Kabupaten/Kota yang menjadi wilayah kewenangannya.
Sedangkan Pengadilan Tinggi berkedudukan di Ibukota Provinsi

6
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Cet. III; Jakarta: PrenadaMedia, 2017), h. 4.
9

dengan kewenangan meliputi wilayah Provinsi tersebut.Peradilan ini


diatur dengan UU No.2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum jo. UU
No.8 Tahun 2004 jo. UU No.49 Tahun 2009 jo. Putusan MK Nomor
37/PUU-X/2012.Sampai sekarang tercatat ada enam pengadilan khusus
yang ada di lingkungan peradilan umum: Pengadilan Anak (bidang
hukum pidana), Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (bidang hukum
pidana), Pengadilan Perikanan (bidang hukum pidana), Pengadilan
HAM (bidang hukum pidana), Pengadilan Niaga (bidang hukum
perdata), Pengadilan Hubungan Industrial (bidang hukum perdata).7
2. Peradilan Agama
Peradilan agama hanya menangani perkara perdata tertentu bagi
masyarakat beragama Islam. Badan yang menjalankannya terdiri dari
Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan
Tinggi Agama sebagai pengadilan tingkat banding. Pengadilan Agama
berkedudukan di Ibukota Kabupaten/Kota yang menjadi wilayah
kewenangannya. Sedangkan Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan
di Ibukota Provinsi dengan kewenangan meliputi wilayah Provinsi
tersebut. Peradilan ini diatur dengan UU No.7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama jo. UU No.3 Tahun 2006 jo. UU No.50 Tahun 2009
jo. Putusan MK Nomor 37/PUU-X/2012.
Khusus di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dibentuk
pengadilan agama dengan nama Mahkamah Syar’iyah dan pengadilan
tinggi agama dengan nama Mahkamah Syar’iyah
Aceh.Kewenangannya pun lebih banyak berdasarkan mandat otonomi
khusus. Ada tambahan kewenangan berkaitan ibadah dan syiar Islam
khusus masyarakat Aceh.Mahkamah Syar’iyah berkedudukan di
Ibukota Kabupaten/Kota yang menjadi wilayah kewenangannya dan
Mahkamah Syar’iyah Aceh di Ibukota Provinsi dengan kewenangan
meliputi wilayah Provinsi Nanggroe Aceh
7
Mathlaul Anwar, Macam-Macam Peradilan di Indonesia,
https://mathlaulanwar.or.id/2018/07/18/macam-macam-peradilan-di-indonesia/. Diakses pada
15 Maret 2021, pukul 22:44 WITA.
10

Prof. Jimly Asshiddiqie dalam kata pengantar buku “Putih Hitam


Pengadlilan Khusus” terbitan Komisi Yudisial berpendapat bahwa
Mahkamah Syar’iyah termasuk dalam pengadilan khusus di bawah
lingkungan peradilan agama.
3. Peradilan Tata Usaha Negara
Peradilan tata usaha negara hanya menangani perkara gugatan
terhadap pejabat administrasi negara akibat penetapan tertulis yang
dibuatnya merugikan seseorang atau badan hukum perdata. Badan
yang menjalankannya terdiri dari Pengadilan Tata Usaha Negara
sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara sebagai pengadilan tingkat banding. Pengadilan Tata Usaha
Negara berkedudukan di Ibukota Kabupaten/Kota yang menjadi
wilayah kewenangannya. Sedangkan Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara berkedudukan di Ibukota Provinsi dengan kewenangan
meliputi wilayah Provinsi tersebut.Peradilan ini diatur dengan UU
No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo. UU No.9
Tahun 2004 jo. UU No.51 Tahun 2009 jo. Putusan MK Nomor
37/PUU-X/2012. Ada satu pengadilan khusus di bawah lingkungan
peradilan tata usaha negara yaitu Pengadilan Pajak.8
4. Peradilan Militer
Peradilan militer hanya menangani perkara pidana dan sengketa
tata usaha angkatan bersenjata bagi kalangan militer. Badan yang
menjalankannya terdiri dari Pengadilan Militer, Pengadilan Militer
Tinggi, dan Pengadilan Militer Utama. Peradilan Militer diatur dengan
UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.Pengadilan Militer
adalah pengadilan tingkat pertama bagi perkara pidana yang
terdakwanya berpangkat Kapten atau di bawahnya. Pengadilan Militer
Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding untuk putusan Pengadilan

8
Mathlaul Anwar, Macam-Macam Peradilan di Indonesia,
https://mathlaulanwar.or.id/2018/07/18/macam-macam-peradilan-di-indonesia/. Diakses pada
15 Maret 2021, pukul 22:44 WITA.
11

Militer, sekaligus pengadilan tingkat pertama untuk perkara pidana


dengan terdakwa berpangkat Mayor atau di atasnya.
Pengadilan Militer Tinggi juga pengadilan tingkat pertama bagi
sengketa tata usaha angkatan bersenjata. Sedangkan Pengadilan Militer
Utama ialah pengadilan tingkat banding atas putusan Pengadilan
Militer Tinggi.Ada pula Pengadilan Militer Pertempuran yang
dijalankan hanya dalam daerah pertempuran. Pengadilan ini memutus
pada tingkat pertama dan terakhir perkara pidana yang dilakukan oleh
kalangan militer atau yang dipersamakan.Hanya kedudukan
Pengadilan Militer Utama yang langsung ditetapkan oleh undang-
undang berada di Ibukota Negara Republik Indonesia dan
kewenangannya meliputi seluruh wilayah Indonesia. Kadudukan
pengadilan selebihnya ditetapkan oleh Keputusan Panglima TNI.9
5. Peradilan Konstitusi
Peradilan konstitusi menangani pengujian kesesuaian isi undang-
undang dengan konstitusi Indonesia yaitu UUD 1945. Inilah perkara
utama yang digelar di Mahkamah Konstitusi. Ada juga kewenangan
lain bagi Mahkamah Konstitusi yang diatur langsung dalam UUD
1945.Selain langsung diatur dalam UUD 1945, peradilan konstitusi
diatur dengan UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi jo.
UU No.8 Tahun 2011 jo. UU No.4 Tahun 2014.Apakah tidak ada lagi
lembaga yang berwenang mengadili sengketa ataupun perkara
pelanggaran hukum?Mengenai hal ini Prof. Jimly Asshiddiqie dalam
kata pengantar buku “Putih Hitam Pengadlilan Khusus” terbitan
Komisi Yudisial menyebut lembaga-lembaga yang bersifat ‘mengadili’
tetapi tidak disebut sebagai pengadilan itu sebagai bentuk quasi
pengadilan atau semi pengadilan.
Jimly mengatakan lembaga-lembaga ini, selain bersifat mengadili,
seringkali juga memiliki fungsi-fungsi yang bersifat campuran dengan
9
Mathlaul Anwar, Macam-Macam Peradilan di Indonesia,
https://mathlaulanwar.or.id/2018/07/18/macam-macam-peradilan-di-indonesia/. Diakses pada
15 Maret 2021, pukul 22:44 WITA.
12

fungsi regulasi dan/ataupun fungsi administrasi. Beberapa di antaranya


berbentuk komisi-komisi negara, ada juga yang menggunakan istilah
badan ataupun dewan.Misalnya Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Informasi Pusat
(KIP), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Ombudsman
Republik Indonesia (ORI), Mahkamah Pelayaran dan lain-lain.
D. Asas-Asas dalam Peradilan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Asas adalah dasar sesuatu
yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat. Prinsip menurut KBBI adalah
asas, kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak, dan sebagainya.
Jadi menurut penulis asas dan prinsip pada dasarnya sama, yaitu sebagai dasar
berpikir tentang suatu kebenaran. Undang-Undang Pokok Kehakiman
mengemukakan beberapa asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang
ditentukan dalam Bab II UU No. 48 Tahun 2009 antara lain, yaitu:10

1. Peradilan dilakukan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN


KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
2. Peradilan menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila.
3. Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.
4. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi
wajib menjaga kemandirian peradilan.
5. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan
orang.
6. Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

10
Unpas, BAB II Tinjauan Pustaka Penerapan Prinsip Kemandirian Hakim dalam Penyelesaian
Sengketa Perdata di Pengadilan, h. 30.
http://repository.unpas.ac.id/38340/1/G.%20BAB%20II%SKRIPSI.pdf. Diakses pada 15 Maret
2021, pukul 23:03 WITA.
13

7. Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tak tercela,


jujur, adil, profesional dan pengalaman di bidang hukum.
8. Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya dan tidak menutup usaha penyelesaian perkara secara
perdamaian.

Selain disebutkan dalam UU Kekuasaan Kehakiman, dalam berbagai


referensi juga dikenal asas-asas umum dalam Peradilan di Indonesia, yaitu:

a. Asas Kebebasan Hakim


Hakim bebas dalam menilai jawaban yang diajukan oleh para pihak
dan Hakim bebas untuk menilai alat-alat bukti dan pembuktian yang
diajukan oleh para pihak. Dengan kebebasan untuk menilai setiap
jawaban dari pihak-pihak ini, hakim dengan keyakinannya yang bebas,
dapat memperoleh ikhtisar peristiwa konkret yang disengketakan oleh
para pihak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 155 ayat (1) HIR/165
ayat (1) Rbg, hakim bebas menilai kebenaran gugatan atau kebenaran
jawaban atas gugatan.11
b. Asas Ius Curia Novit
Asas umum Ius Curia Novit dalam pembuktian berhubungan dengan
peristiwa bukan hukumnya. Asas ini menentukan bahwa hakim
dianggap tahu semua hukum. Asas ini dapat disimpulkan dari
ketentuan Pasal 5 ayat (1) dengan Pasal 19 Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman.

11
Unpas, BAB II Tinjauan Pustaka Penerapan Prinsip Kemandirian Hakim dalam Penyelesaian
Sengketa Perdata di Pengadilan, h. 30-32.
http://repository.unpas.ac.id/38340/1/G.%20BAB%20II%20SKRIPSI.pdf. Diakses pada 15 maret
2021, pukul 23:03 WITA.
14

c. Asas Mengadili Menurut Hukum


Penerapan asas ius curia novit berkaitan dengan penerapan asas
mengadili menurut hukum yang ditentukan dalam Pasal 4 ayat (1)
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, yaitu pengadilan mengadili
menurut hukum. Menurut asas mengadili menurut hukum ini, hakim
dalam mengadili suatu perkara harus sesuai dengan hukum yang
berlaku dalam arti hakim mengadili tetap berada dalam sistem hukum.
d. Asas Ketuhanan Yang Maha Esa
Asas ini terkandung dalam bunyi Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi, peradilan dilakukan “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian,
pada setiap putusan hakim diberi “kepala atau judul” yang berbunyi
“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini
juga yang memberi kekuatan mengikat pada putusan hakim, terutama
mengikat kepada pihak-pihak sehingga putusan tersebut dapat berlaku
sebagai alat bukti bagi pihak yang memerlukannya untuk mengajukan
banding sampai dengan kasasi.
e. Asas Kesamaan
Pada Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman,
ditentukan bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak
membedakan orang. Berdasarkan asas ini, maka semua manusia
dipandang sama sehingga harus diperlakukan sama dikenal dengan
asas equality before the law.12
f. Asas Res Judicata Pro Veritate Habetur
Asas ini berarti bahwa apa yang diputuskan oleh hakim harus dianggap
benar. Ini berarti putusan hakim yang dijatuhkan hakim setelah melalui
pembuktian merupakan suatu peristiwa yang benarbenar terjadi
menurut hukum.

12
Unpas. BAB II Tinjauan Pustaka Penerapan Prinsip Kemandirian Hakim dalam Penyelesaian
Sengketa Perdata di Pengadilan, h. 32-33.
http://repository.unpas.ac.id/38340/1/G.%20BAB%20II%20SKRIPSI.pdf. Diakses pada 15 Maret
2021, pukul 23:03 WITA.
15

g. Asas Ipso Loquitor


Asas ini menentukan bahwa sesuatu yang diketahui tidak perlu
dibuktikan, karena tanpa dibuktikan, orang dianggap sudah
mengetahuinya. Dalam peristiwa notoire feit, yaitu pengetahuan umum
yang harus diterima karena sering terjadi. Contoh: seseorang yang
ditembak kepalanya dalam jarak yang sangat dekat, pasti mati (tanpa
perlu dibuktikan).
h. Asas Actori in Cumbit Probatio
Asas actori in cumbit probatio terkandung dalam Pasal 163 HIR/Pasal
283 Rbg dan Pasal 1865 KUH Perdata, yang menentukan bahwa
barang siapa yang mendalilkan sesuatu hal, haruslah membuktikan hal
tersebut, dan sebaliknya barangsiapa yang membantah suatu dalil,
maka wajib membuktikan bantahan tersebut. Berdasarkan asas tersebut
maka yang harus dibuktikan adalah fakta atau peristiwa.13

13
Unpas. BAB II Tinjauan Pustaka Penerapan Prinsip Kemandirian Hakim dalam Penyelesaian
Sengketa Perdata di Pengadilan, h. 33-34.
http://repository.unpas.ac.id/38340/1/G.%20BAB%20II%20SKRIPSI.pdf). Diakses pada 15 Maret
2021, pukul 23:03 WITA.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Adapun perbedaan antara peradilan dan pengadilan adalah pengadilan


merupakan badan atau instansi yang melaksanakan sistem peradilan berupa
memeriksa , mengadili, dan memutus perkara. Bentuk dari sistem peradilan yang
dilaksanakan di pengadilan adalah sebuah forum public yang resmi dan dilakukan
berdasarkan hukum acara yang berlaku di Indonesia.

Sedangkan peradilan adalah segala sesuatu atau sebuah proses yang


dijalankan di pengadilan yang berhubungan dengan tugas memeriksa, memutus
dan mengadili perkara dengan menerapkan hukum dan menemukan hukum “in
concreto” (hakim menerapkan peraturan hukum kepada hal-hal yang nyata yang
dihadapkan kepadanya untuk diadili dan diputus) untuk mempertahakan dan
menjamin ditaatinya hukum materill, dengan menggunakan cara prosedural yang
ditetapkan oleh hukum formal.

Unsur-unsur peradilan ada 6 yaitu hakim atau qadhi, hukum, mahkum bihi,
mahkum alaih (si terhukum), mahkum lahu, perkataan atau perbuatan yang
menunjuk kepada hukum (putusan).

Macam-macam peradilan di Indonesia yaitu peradilan umum, peradilan


agama, peradilan tata usaha negara, peradilan militer, peradilan konstitusi.

Asas-asas dalam peradilan yaitu asas kebebasan hakim, asas ius curia novit,
asas mengadili menurut hukum, asas ketuhanan yang maha esa, asas kesamaan,
asas res judicata pro veritate habetur, asas ipso loquitor, asas actori in cumbit
probation.

16
17

B. Saran

Makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan baik dari tata tulisan maupun
bahasanya, sangat berharap koreksi agar dapat lebih berkembang ke depannya.
DAFTAR PUSTAKA

Djalil, Basiq A. 2017. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: PrenadaMedia.


Anwar, mathlaul. 2018. Macam-Macam Peradilan di Indonesia.
https://mathlaulanwar.or.id/2018/07/18/macam-macam-peradilan-di-
indonesia/. Diakses pada 15 Maret 2021, pukul 22:44 WITA.
Unpas. BAB II Tinjauan Pustaka Penerapan Prinsip Kemandirian Hakim dalam
Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan.
http://repository.unpas.ac.id/38340/1/G.%20BAB%20II%20SKRIPSI.pdf.
Diakses pada 15 Maret 2021, pukul 23:03 WITA.
JDIH-LIPI. 2015. Perbedaan Peradilan dengan Pengadilan.
https://jdih.lipi.go.id/?page=pengetahuan_praktis&id=138#:~:text=Dari%2
0kedua%20uraian%20diatas%20dapat,proses%20mencari%20keadilan%2
0itu%20sendiri.%E2%80%9D. Diakses pada 16 Maret 2021, pukul 12:36
WITA.

Anda mungkin juga menyukai