MAKALAH PENGANTAR PERADILAN DI INDONESIA-dikonversi
MAKALAH PENGANTAR PERADILAN DI INDONESIA-dikonversi
Oleh
Kelompok: I
SUSIANTI
NIM: 742302019104
Segala puji syukur kita panjatkan kepada Allah swt sebab kerena limpahan
rahmat hidayahnya saya mampu untuk menyelesaikan Makalah saya dengan judul
kirimkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad saw sebagai “King of the
King, King of the World” yang telah menggulung tikar - tikar kejahiliaan dan
hidayah dari sang Pencipta yaitu Allah swt yang maha pemurah lagi maha
penyayang.
Selanjutnya dengan rendah hati saya memohon kritik dan saran dari
pembaca apabila terdapat hal yang ganjil, agar selanjutnya dapat saya revisi
kembali. Karena saya menyadari bahwa kesempurnaan hanya milik sang Pencipta
yaitu Allah swt kami ucapkan terimakasih yang sebanyak – banyaknya kepada
setiap pihak yang telah mendukung serta membatu saya selama proses
Penyusun,
Kelompok 1
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Penulisan 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Simpulan 16
B. Saran 17
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kata-kata peradilan sama artinya dengan istilah dalam Fiqh yang berbunyi
“qadha” dan “aqdliyah”. Pengertian Pengadilan secara khusus, yaitu suatu
lembaga tempat mengadili atau menyelesaikan sengketa hukum dalam rangka
kekuasaan kehakiman yang mempunyai kekuasaan absolut dan relatif sesuai
peraturan perundang-undangan. Dalam bahasa Arab disebut al-Mahkamah.
1
2
Lembaga peradilan sebagai tempat untuk mencari keadilan bagi setiap warga
negara merupakan badan yang berdiri sendiri (independen) dan otonom,salah satu
unsur penting dalam lembaga peradilan adalah Hakim.Hal ini dikarenakan
seorang hakim mempunyai peran yang besar dalam memberikan keadilan kepada
setiap orang yang berperkara di persidangan. Sehingga diharapkan seorang hakim
di dalam memeriksa, menyelesaikan, dan memutus suatu perkara juga harus bebas
dari pengaruh apa atau siapapun untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya
kepada setiap orang yang berperkara di pengadilan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Peradilan?
2. ApaSajakah Unsur-Unsur Peradilan?
3. Apa Sajakah Macam-Macam Peradilan di Indonesia?
4. Apa Sajakah Asas-Asas dalam Peradilan?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari peradilan.
2. Untuk mengetahui unsur-unsur peradilan.
3. Untuk mengetahui macam-macam peradilan di Indonesia.
4. Untuk mengetahui asas-asas dalam peradilan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Peradilan
Kata “peradilan” berasal dari akar kata “adil” dengan awalan “per” dan
imbuhan “an”. Kata peradilan sebagai terjemahan dari qadha yang berarti
“memutuskan”, “melaksanakan”, “menyelesaikan” dan ada pula yang menyatakan
bahwa umumnya kamus tidak membedakan antara peradilan dengan pengadilan.
1
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Cet. III; Jakarta: PrenadaMedia, 2017), h. 1-2.
3
4
Di samping itu, seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Abidin, ada pula ulama
yang berpendapat bahwa peradilan itu berarti menyelesaikan sesuatu sengketa
dengan hukum Allah. “putusan” sebagai produk pengadilan sangat erat kaitannya
dengan ijtihad dan fatwa. Dalam islam kedua hal tersebut dianjurkan untuk
berijtihad (seseorang yang memenuhi persyaratan), malah menurut Islam bila
seseorang berijtihad tapi hasilnya salah maka ia mendapat suatu pahala dan bila
hasil ijtihadnya benar maka ia mendapat dua pahala, yakni satu pahala ijtihad dan
satu lagi pahala kebenaran yang didapat.2
2
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Cet. III; Jakarta: PrenadaMedia, 2017), h.2-3.
5
baik tingkah laku, perkataan, maupun perbuatan dan orang yang memberi fatwa
disebut mufti.
Dari uraian tersebut dapat kita Tarik benang merahnya bahwa perbedaan
fatwa dengan qadha sebagai putusan hakim adalah: pertama, mufti bisa menolak
memberikan fatwa mengenai hal yang dimintakan fatwa kepadanya, sedangkan
peradilan (qadha) tidaklah demikian, tapi harus memutus, artinya tidak boleh
menolak para pihak yang mengajukan mohon keadilan, sekalipun dengan alasan
bahwa aturan tentang hal tersebut belum ada.Kedua, qadha itu dasarnya adalah
fakta yang dicari hakim, jadi hakim memutus berdasarkan fakta. Adapun fatwa
dasarnya ilmu (pengetahuan) yakni si mufti memberikan fatwa berdasarkan ilmu
yang dimiliki mufti. Ketiga, kalau putusan hakim harus dituruti atau mempunyai
daya paksa yakni negara bisa memaksakan putusan itu untuk dilaksanakan.
Sedangkan fatwa tidak harus orang mengikutinya dan negara pun tidak campur
tangan dalam pelaksanaannya. Keempat, fatwa itu tidak boleh dibatalkan,
sedangkan putusan bisa dibatalkan oleh tingkat yang lebih tinggi.3
Mujtahid-mujtahid masa lalu sangat ketat membatasi para hakim dalam hal
memberi fatwa karena dikhawatirkan putusan hakim terkontaminasi dengan
fatwa-fatwa yang tekah diberikan karenanya idealnya seseorang yang menjadi
hakim adalah karena panggilan nuraninya dan kegiatannya pun terbatas pada
rumah dan ruang kerjanya.
Itulah pula sebabnya Ahmad bin Hanbal dan As-Syafi’I memakruhkan hakim
mengeluarkam fatwa terhadap masalah-masalah yang bersangkut paut dengan
tugas hakim. Mereka membolehkan berfatwa dalam masalah ibadah dan lainnya.
Mereka berpendapat demikian karena boleh jadi waktu perkara itu diajukan ke
3
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Cet. III; Jakarta: PrenadaMedia, 2017), h. 3.
6
Dari uraian pasal ini dapat disimpulkan bahwa ternyata sejak awal
perkembangan peradilan Islam, tugas yudikatif dan eksekutif telah ada
pemisahannya atau dipisahkan.4
Dari kedua uraian di atas dapat dikatakan bahwa, pengadilan adalah lembaga
tempat subjek hukum mencari keadilan, sedangkan peradilan adalah sebuah
proses dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan atau suatu proses mencari
keadilan itu sendiri.5
4
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Cet. III; Jakarta: PrenadaMedia, 2017), h. 4.
5
JDIH-LIPI, Perbedaan Peradilan Dengan Pengadilan,
https://jdih.lipi.go.id/?page=pengetahuan_praktis&id=138#:~:text=Dari%20kedua%20uraian%20
diatas%20dapat,proses%20mencari%20keadilan%20itu%20sendiri.%E2%80%9D. Diakses pada 16
Maret 2021, pukul 12:36 WITA.
7
B. Unsur-Unsur Peradilan
Dalam literatur fikih Islam, untuk berjalannya peradilan dengan baik dan
normal maka diperlukan adanya enam unsur, yakni:
1. Hakim atau qadhi, yaitu orang yang diangkat oleh kepala negara
untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugat menggugat, oleh
karena penguasa sendiri tidak dapat menyelesaikan tugas peradilan.
2. Hukum, yaitu putusan hakim yang ditetapkan untuk menyelesaikan
suatu perkara. Hukum ini ada kalanya dengan jalan ilzam, yaitu seperti
hakim berkata saya menghukum engkau dengan membayar sejumlah
uang. Ada yang berpendapat bahwa putusan ilzam ini ialah
menetapkan sesuatu dengan dasar yang meyakinkan seperti berhaknya
seseorang anggota serikat untuk mengajukan hak syuf’ah, sedang
qadha istiqaq ialah menetapkan sesuatu dengan hukum yang diperoleh
dari ijtihad, seperti seorang tetangga mengajukan syuf’ah.
3. Mahkum bihi, di dalam qadha ilzam dan qadha istiqaq yang
diharuskan oleh qadha si tergugat harus memenuhinya. Dan di dalam
qadha tarki ialah menolak gugatan karena demikian, maka dapat
disimpulkan bahwa mahkum bihi itu adalah suatu hak.
4. Mahkum alaih (si terhukum), yakni orang yang dijatuhkan hukuman
atasnya. Mahkum alaih dalam hak-hak syara’ adalah yang diminta
untuk memenuhi suatu tuntutan yang dihadapkan kepadanya baik
tergugat maupun bukan, seorang maupun banyak.
5. Mahkum lahu, yaitu orang yang menggugat suatu hak. Baik hak itu
murni baginya atau terdapat dua hak tetapi haknya lebih kuat.
6. Perkataan atau perbuatan yang menunjuk kepada hukum
(putusan), dari pernyataan tersebut nyatalah bahwa memutuskan
perkarahanya dalam suatu kejadian yang diperkarakan oleh seseorang
terhadap lawannya, dengan mengemukakan gugatan-gugatan yang
dapat diterima oleh karena itu sesuatu yang bukan merupakan
8
peristiwa tapi masuk dalam bidang ibadah tidak masuk dalam bidang
peradilan.6
C. Macam-Macam Peradilan di Indonesia
Peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan peradilan
militer berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai tahap upaya hukum tertinggi
jika tak puas dengan putusan pengadilan di bawahnya. Sedangkan peradilan
konstitusi dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi yang berdiri terpisah dengan sifat
putusannya final.
1. Peradilan Umum
Peradilan umum menangani perkara pidana dan perdata secara
umum. Badan yang menjalankannya terdiri dari Pengadilan Negeri
sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi sebagai
pengadilan tingkat banding. Pengadilan Negeri berkedudukan di
Ibukota Kabupaten/Kota yang menjadi wilayah kewenangannya.
Sedangkan Pengadilan Tinggi berkedudukan di Ibukota Provinsi
6
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Cet. III; Jakarta: PrenadaMedia, 2017), h. 4.
9
8
Mathlaul Anwar, Macam-Macam Peradilan di Indonesia,
https://mathlaulanwar.or.id/2018/07/18/macam-macam-peradilan-di-indonesia/. Diakses pada
15 Maret 2021, pukul 22:44 WITA.
11
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Asas adalah dasar sesuatu
yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat. Prinsip menurut KBBI adalah
asas, kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak, dan sebagainya.
Jadi menurut penulis asas dan prinsip pada dasarnya sama, yaitu sebagai dasar
berpikir tentang suatu kebenaran. Undang-Undang Pokok Kehakiman
mengemukakan beberapa asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang
ditentukan dalam Bab II UU No. 48 Tahun 2009 antara lain, yaitu:10
10
Unpas, BAB II Tinjauan Pustaka Penerapan Prinsip Kemandirian Hakim dalam Penyelesaian
Sengketa Perdata di Pengadilan, h. 30.
http://repository.unpas.ac.id/38340/1/G.%20BAB%20II%SKRIPSI.pdf. Diakses pada 15 Maret
2021, pukul 23:03 WITA.
13
11
Unpas, BAB II Tinjauan Pustaka Penerapan Prinsip Kemandirian Hakim dalam Penyelesaian
Sengketa Perdata di Pengadilan, h. 30-32.
http://repository.unpas.ac.id/38340/1/G.%20BAB%20II%20SKRIPSI.pdf. Diakses pada 15 maret
2021, pukul 23:03 WITA.
14
12
Unpas. BAB II Tinjauan Pustaka Penerapan Prinsip Kemandirian Hakim dalam Penyelesaian
Sengketa Perdata di Pengadilan, h. 32-33.
http://repository.unpas.ac.id/38340/1/G.%20BAB%20II%20SKRIPSI.pdf. Diakses pada 15 Maret
2021, pukul 23:03 WITA.
15
13
Unpas. BAB II Tinjauan Pustaka Penerapan Prinsip Kemandirian Hakim dalam Penyelesaian
Sengketa Perdata di Pengadilan, h. 33-34.
http://repository.unpas.ac.id/38340/1/G.%20BAB%20II%20SKRIPSI.pdf). Diakses pada 15 Maret
2021, pukul 23:03 WITA.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Unsur-unsur peradilan ada 6 yaitu hakim atau qadhi, hukum, mahkum bihi,
mahkum alaih (si terhukum), mahkum lahu, perkataan atau perbuatan yang
menunjuk kepada hukum (putusan).
Asas-asas dalam peradilan yaitu asas kebebasan hakim, asas ius curia novit,
asas mengadili menurut hukum, asas ketuhanan yang maha esa, asas kesamaan,
asas res judicata pro veritate habetur, asas ipso loquitor, asas actori in cumbit
probation.
16
17
B. Saran
Makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan baik dari tata tulisan maupun
bahasanya, sangat berharap koreksi agar dapat lebih berkembang ke depannya.
DAFTAR PUSTAKA