Anda di halaman 1dari 3

BPHTB DALAM SERTIFIKASI TANAH DAN BANGUNAN

Oleh: Abdul Rahman

Ketika Pemerintah Pusat melalui Badan Pertanahan Nasional berkeinginan untuk


mengurangi kasus sengketa pertanahan melalui program sertifikasi Proyek Operasi Nasional
Agraria (PRONA) terkendala beberapa kesulitan dilapangan. Salah satunya adalah masih
kurangnya pemahaman masyarakat akan program PRONA itu sendiri akibat kurang
maskimalnya sosialisasi dari pihak terkait, termasuk persyaratan-persyaratan yang harus
dipenuhi bagi masyarakat yang berkeinginan mengikuti program tersebut. Bahkan,
dilapangan penulis menemukan adanya oknum yang memanfaatkan program PRONA ini
untuk melakukan pungutan liar terhadap masyarakat yang akan melakukan sertifikasi tanah
dan bangunannya. Modusnya, oknum tersebut mendatangi masyarakat dan menawarkan
sertifikasi tanah dan bangunan dengan biaya-biaya bervariasi. Sementara biaya yang telah
dibayarkan dari masyarakat itu tidak disetorkan kepada kas negara maupun kas daerah.
Termasuk biaya yang sering disalahtafsirkan adalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB), padahal tidak semua pengalihan hak atas tanah dan bangunan dikenakan
BPHTB. Selain kasus tersebut, juga ditemukan adanya kasus yang menawarkan kepada
masyarakat untuk melakukan sertifikasi atas tanah dan bangunan tanpa memperhatikan
syarat-syarat yang harus dipenuhi, BPHTB misalnya. Ini hanya dua kasus dari bermacam
kasus yang terjadi di masyarakat dalam kaitan dengan BPHTB atas sertifikasi tanah.
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Dalam sejarah bangsa Indonesia, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
yang sering disingkat BPHTB bukan merupakan hal baru dalam kegiatan sertifikasi baik atas
tanah tanpa bangunan maupun atas tanah dengan bangunan. Hanya saja selama ini
pengelolaan BPHTB menjadi wewenang pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal Pajak,
sehingga tidak begitu populer dalam masyarakat khususnya bagi yang melakukan sertifikasi
tanah maupun bangunannya. BPHTB sudah ada sejak bangsa Indonesia masih di bawah
penjajahan Belanda dengan nama Bea Balik Nama (BBN) berdasarkan Staatsblad 1924
Nomor 291. Bea Balik Nama ini sempat dihilangkan dengan terbitnya Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agraria--UUPA, namun kemudian diberlakukan
lagi sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam UUPA. Regulasi yang mengatur khusus
BPHTB diterbitkan pemerintah melalui UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan, yang baru berlaku efektif pada tanggal 1 Juli 1998. Sejalan
dengan perkembangan dan sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupan
perekonomian bangsa Indonesia, dilakukan penyempurnaan atas undang-undang tersebut
dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan atas
Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997. Cakupan objek pajak menjadi salah satu hal pokok
yang diubah untuk mengantisipasi terjadinya perolehan hak atas tanah dan bangunan dalam
batasan definisi yang baru. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 kemudian tidak berlaku
lagi dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah--UU PDRD. Dengan diterbitkannya UU PDRD, pemerintah daerah
diberikan wewenang sepenuhnya untuk mengelola BPHTB atas transaksi diwilayahnya
masing-masing. Nah, disinilah polemik BPHTB atas sertifikasi tanah dan bangunan mulai
dirasakan khususnya di daerah otonom baru. Sebelum BPHTB dimutasikan sebagai pajak
daerah, pengelolaan sepenuhnya wewenang pemerintah pusat. Sementara pemerintah daerah
sebagai daerah penghasil hanya akan mendapatkan bagi hasil dari pemungutan BPHTB
tersebut. Tak dipungkiri hasil dari pemungutan BPHTB sangat tidak maksimal, pemerintah
pusat tak memiliki SDM yang cukup untuk melakukan monitoring atas pungutan BPHTB
yang ada di daerah. Sehingga transaksi pengalihan hak atas tanah dan bangunan yang ada di
daerah berjalan apa adanya. Terlebih tidak ada dukungan antar lembaga yang terkait, baik itu
Badan Pertanahan Nasional, Pejabat Pembuat Akta Tanah, maupun pemerintah daerah
setempat untuk melakukan pemungutan BPHTB sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Dengan demikian, masyarakat yang sudah terbiasa tidak dikenakan BPHTB atas transaksi
pengalihan hak atas tanah dan bangunan ketika wewenang pengelolaan diserahkan ke daerah
menjadi bertanya-tanya. Selama ini tidak pernah dipungut BPHTB dalam pengalihan hak atas
tanah dan bangunan, padahal sebenarnya bukan tidak dikenakan tetapi pelaksana dilapangan
yang mengabaikan peraturan yang ada. Dan yang paling ramai dibicarakan sekarang adalah
pungutan BPHTB atas sertifikasi melalui program PRONA bagi pendaftaran tanah pertama
kali, maupun program sertifikasi tanah bagi nelayan dan pelaku UKM. Belum maksimalnya
sosialisasi baik itu persyaratan PRONA maupun pengenaan BPHTB atas tanah yang
disertifikasi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak diatas Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak
Kena Pajak (NOPTKP). NPOPTKP ditetapkan paling rendah Rp60.000.000,00 (enam puluh
juta rupiah) untuk setiap wajib pajak (pasal 87 ayat (4) UU PDRD), demikian juga
NPOPTKP dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang
pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat termasuk suami/istri
ditetapkan oleh UU PDRD paling rendah sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Artinya, jika tanah yang akan disertifikasi Nilai Perolehannya tidak lebih dari
Rp60.000.000,00 maka BPHTB atas transaksi tersbut nihil. Berbeda jika nilai perolehan
diatas Rp60.000.000,00--nilai perolehan Rp80.000.000,00 misalnya maka Nilai Perolehan
Objek Pajak Kena Pajak adalah Rp80.000.000,00 dikurangkan Rp60.000.000,00 atau dengan
kata lain dasar pengenaan BPHTB sebesar Rp20.000.000,00. Besarnya BPHTB terutang
sebesar Rp1.000.000,00 diperoleh dari perkalian dasar pengenaan BPHTB dengan tarif
BPHTB yang telah ditentukan dala peraturan daerah masing-masing (asumsi tarif BPHTB di
daerah tempat transaksi sebesar 5%). BPHTB tidak hanya dikenakan pada saat jual beli tanah
dan/atau bangunan, tetapi juga terhadap setiap perolehan hak atas tanah dan bangunan berupa
tukar menukar, hibah, waris, pemasukan tanah dalam perseroan, dan lain-lain.
Program Sertifikasi Tanah dan/atau Bangunan
Jika merujuk pada publikasi Badan Pertanahan Nasional dalam laman resminya,
"kegiatan PRONA pada prinsipnya merupakan kegiatan pendaftaran tanah pertama kali.
PRONA dilaksanakan secara terpadu dan ditujukan bagi segenap lapisan masyarakat
terutama bagi golongan ekonomi lemah dan menyeselaikan secara tuntas terhadap sengketa-
sengketa tanah yang bersifat strategis. Tujuan PRONA adalah memberikan pelayanan
pendaftaran pertama kali dengan proses yang sederhana, mudah, cepat dan murah dalam
rangka percepatan pendaftaran tanah diseluruh indonesia dengan mengutamakan desa
miskin/tertinggal, daerah pertanian subur atau berkembang, daerah penyangga kota, pinggiran
kota atau daerah miskin kota, daerah pengembangan ekonomi rakyat. PRONA merupakan
salah satu wujud upaya pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat
golongan ekonomi lemah sampai dengan menengah. Biaya pengelolaan penyelenggaraan
PRONA, seluruhnya dibebankan kepada rupiah murni di dalam APBN pada alokasi DIPA
BPN RI. Sedangkan biaya-biaya yang berkaitan dengan alas hak/alat bukti
perolehan/penguasaan tanah, patok batas, materai dan BPHTB/PPh menjadi tanggung jawab
Peserta PRONA."
Ada beberapa kewajiban yang harus dipenuhi bagi peserta PRONA yang selama ini
masih diluar pengetahuan masyarakat. Kewajiban itu antara lain: 1)
Menyediakan/menyiapkan alas hak/alat bukti perolehan/penguasaan tanah yang akan
dijadikan dasar pendaftaran tanah sesuai ketentuan yang berlaku; 2) menunjukan letak dan
batas-batas tanah yang dimohonkan yang dapat dikuasakan; 3) menyerahkan bukti setor Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan BAngunan (BPHTB) dan bukti setor Pajak Penghasilan dari
Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan (PPh) bagi peserta yang terkena ketentuan
tersebut; dan 4) memasang patok batas tanah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dari
kewajiban tersebut, poin 4 merupakan kewajiban yang ternyata masih kurang dipahami
masyarakat. Jika transaksi dalam bentuk jual beli, maka biaya Pajak Penghasilan akan
dibebankan kepada penjual sedangkan BPHTB akan dibebankan kepada pembeli. Dalam
kaitannya dengan program sertifikasi PRONA sebagaimana dituliskan pada laman resmi
Badan Pertanahan Nasional, dituliskan sumber biaya PRONA murni berasal dari APBN yang
dialokasikan ke DIPA BPN RI. Anggran yang dimaksud meliputi biaya untuk penyuluhan,
pengumpulan data (alat bukti/alas hak), pengukuran bidang tanah, pemeriksaan tanah,
penerbitan SK Hak/pengesahan data fisik dan data yuridis, penerbitan sertifikat, dan supervisi
dan pelaporan. Jika memperhatikan anggaran ini, seharusnya tidak ada lagi pungutan atas
pengukuran tanah yang akan disertifikasi karena telah ditanggung dalam anggaran BPN.
Diluar anggaran yang telah ditentukan tersebut, terdapat biaya resmi yang harus dikeluarkan
oleh peserta program. Biaya tersebut meliputi biaya materai, biaya pembuatan dan
pemasangan patok tanda batas, BPHTB dan Pajak Penghasilan bagi yang terkena ketentuan
perpajakan. Tidak ada pembebasan BPHTB atas sertifikasi tanah dari program PRONA,
kecuali jika dipandang perlu Pemerintah Daerah setempat dapat mengeluarkan keputusan
pengurangan atau pembebasan BPHTB atas program PRONA atau pun program sertifikasi
lainnya dengan tetap berpedoman pada ketentuan yang berlaku.
Mengatasi Polemik BPHTB atas Sertifikasi Tanah
Dalam pelaksanaan dilapangan, sosialisasi akan kewajiban khususnya yang berkaitan
biaya masih belum maksimal. Sehingga tidak jarang kemudian dimanfaatkan oleh oknum
tertentu untuk melakukan pungutan liar. Jika memang pemerintah serius untuk menghapus
pungutan liar apapun namanya, sosialisasi biaya sertifikasi dapat dimulai dari tingkat desa
sampai tingkat kabupaten. Media yang digunakan dapat berupa brosur, pemasangan spanduk,
pengumuman di papan pengumuman kantor desa/kelurahan, kecamatan, maupun di kantor-
kantor dalam lingkup kabupaten yang berisi syarat-syarat maupun biaya-biaya yang harus
dikeluarkan jika memang ada biaya yang harus dikeluarkan dalam sertifikasi yang dimaksud.
Jika pemerintah berdalih, informasi sudah disampaikan melalui laman yang ditunjuk, ini
sungguh sangat ironis. Sebab, tidak semua masyarakat yang dapat mengakses internet untuk
melihat informasi yang dimaksud. Bagi pihak pemerintah daerah sebaiknya melakukan
sosialisasi maksimal pengenaan BPHTB atas pengalihan hak tanah dan/atau bangunan kepada
masyarakat secara menyeluruh. Sebagai aparatur yang diberikan kepercayaan untuk
menjalankan program pemerintah sebagikan berlaku bijak, bukan malah berlaku sebaliknya
menciptakan pungutan liar dengan berbagai alasan. Masyarakat sebaiknya tidak melakukan
transaksi pembayaran biaya apapun di luar kantor yang ditunjuk. Karena hal ini, akan
memicu terjadinya kesempatan pungutan liar semakin subur. Biasakan mengikuti dan
melengkapi persyaratan-persyaratan yang telah resmi ditetapkan. Jika pemerintah pusat yang
memegang wewenang sertifikasi dan pemerintah daerah yang diberikan wewenang
memungut BPHTB dan masyarakat sebagai peserta program sertifikasi bersinergi, maka
polemik BPHTB atas sertifikasi tanah mudah-mudahan dapat teratasi dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai