Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

TERMINOLOGI LABORATIUM

“Pemeriksaan Beta 2-Microglobulin”

Dosen Pengampu : Dewi Mardiawati, S.ST., M. Biomed

Nama : Resti Angela

Nim : 1102001108

PRODI REKAM MEDIS

STIKES DHARMA LANDBOUW

2021
KATA PENGANTAR

ii
KATA PENGANTAR
Isi sendiri ya

i
DAFTAR ISI

INI TINGGAL BUAT COVER YA.................................................................................................................i


KATA PENGANTAR..................................................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................................ii
PENDAHULUAN.....................................................................................................................................1
A. Latar Belakang...........................................................................................................................1
B. Tujuan........................................................................................................................................1
C. Rumusan Masalah.........................................................................................................................1
BAB II.....................................................................................................................................................2
PEMBAHASAN.......................................................................................................................................2
A. Pengertian Dasar Berlakunya Hukum Adat................................................................................2
B. Eksitensi Hukum Adat Dalam Sistem Hukum Nasional..............................................................3
C. Hukum Adat Dalam Konstitusi...................................................................................................4
D. Kedudukan Hukum Adat Dalam Perkembangan Yurisprudensi.................................................5
E. Karakteristik Dan Nilai-Nilai Hukum Pidana Adat.......................................................................6
F. Mekanisme Pelembagaan Hukum Pidana Adat serta Eksistensi Hukum Pidana Adat Dalam
Pembentukan Hukum Pidana............................................................................................................7
BAB III....................................................................................................................................................9
KESIMPULAN DAN SARAN.....................................................................................................................9
A. Kesimpulan................................................................................................................................9
B. Saran..........................................................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................10

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum Pidana Adat (Adat Recht) sebagai hukum yang hidup (living law),
adalah realitas yang tidak dapat dihilangkan. Hukum Pidana Adat menyangkut
cita sosial dan keadilan masyarakat, ia menjadi darah dan daging dalam kehidupan
masyarakat indonesia. Oleh karena itu meskipun KUHP tetap mendominasi
berlakunya hukum pidana di Indonesia, tuntutan masyarakat terhadap berlakunya
hukum yang sesuai dengan sistem nilai, cita sosial dan keadilan masyarakat
senantiasa tetap ada sebagai realitas, agar kesemuanya itu dapat menjaga harmoni
dan solidaritas dalam masyarakat.
Keberadaan Hukum Pidana Adat pada masyarakat merupakan pencerminan
kehidupan masyarakat tersebut dan pada masing-masing daerah yang memiliki
Hukum Pidana Adat yang berbeda sesuai dengan adat istiadat yang ada di daerah
tersebut dengan ciri khas tidak tertulis ataupun terkodifikasikan.

B. Tujuan
Berdasarkan dengan pokok permasalahan sebagaimana tersebut di atas, maka
dapat dikemukakan bahwa tujuan penelitian penulisan hukum adat yang meliputi
ranah pidana dan ranah perdata dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui tentang hukum adat
2. Mengetahui tentang hukum adat meliputi ranah pidana
3. Mengetahui tentang hukum adat meliputi ranah perdata

C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kedudukan hukum adat dalam sistem hukum nasional saat ini?
2. Bagaimana penguatan pelestarian nilainilai adat istiadat dalam yurisprude?
3. Bagaimanakah karakteristik dan nilainilai hukum pidana adat ?
4. Bagaimanakah mekanisme pelembagaan hukum pidana adat serta eksistensi
hukum pidana adat dalam pembentukan hukum pidana nasional ?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Dasar Berlakunya Hukum Adat


Hukum Adat adalah hukum yang berlaku dan berkembang dalam lingkungan
masyarakat di suatu daerah. Ada beberapa pengertian mengenai Hukum Adat.
Menurut Hardjito Notopuro Hukum Adat adalah hukum tak tertulis, hukum kebiasaan
dengan ciri khas yang merupakan pedoman kehidupan rakyat dalam
menyelenggarakan tata keadilan dan kesejahteraan masyarakat dan bersifat
kekeluargaan. Soepomo, Hukum Adat adalah sinonim dari hukum tidak tertulis
didalam peraturan legislatif, hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan
negara (parleman, dewan Provinsi, dan sebagainya), hukum yang hidup sebagai
peraturan kebiasaan yang dipertahankan dalam pergaulan hidup, baik di kota mauun
di desa-desa.
Hukum Adat pada umumnya belum atau tidak tertulis yaitu kompleks norma-
norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang
meliputi peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari, senantiasa
ditaati dan dihormati karena mempunyai akibat hukum atau sanksi. Dari empat
definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa Hukum Adat merupakan sebuah aturan
yang tidak tertulis dan tidak dikodifikasikan, namun tetap ditaati dalam masyarakat
karena mempunyai suatu sanksi tertentu bila tidak ditaati. Dari pengertian Hukum
Adat yang diungkapkan diatas, bentuk Hukum Adat sebagian besar adalah tidak
tertulis. Padahal, dalam sebuah negara hukum, berlaku sebuah asas yaitu asas
legalitas. Asas legalitas menyatakan bahwa tidak ada hukum selain yang dituliskan di
dalam hukum. Hal ini untuk menjamin kepastian hukum. Namun di suatu sisi bila
hakim tidak dapat menemukan hukumnya dalam hukum tertulis, seorang hakim harus
dapat menemukan hukumnya dalam aturan yang hidup dalam masyarakat. Diakui atau
tidak, namun Hukum Adat juga mempunyai peran dalam Sistem Hukum Nasional di
Indonesia.
Dalam Undang-Undang Dasar (UUD tahun 1945, yang diberlakukan kembali
menurut Dekrit Presiden tertanggal 5 Juli 1959) tiada satu pasalpun yang memuat
dasar (perundang-undangan) berlakunya hukum adat itu. Menurut Pasal 11 Aturan
Peralihan UUD maka "Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung
berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini".
Sebelum berlakunya kembali UUD ini, maka berlaku Undang-Undang Dasar
Sementara tahun 1950. Dalam Undang-Undang Dasar sementara itu Pasal 104 ayat 1
mengatakan bahwa "Segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannya dan
dalam perkara hukuman menyebut aturan-aturan undangundang dam aturan-aturan
hukum adat yang dijadikan dasar hukuman itu.

2
B. Eksitensi Hukum Adat Dalam Sistem Hukum Nasional
Hukum adat tumbuh dari cita-cita dan alam pikiran masyarakat Indonesia.
Maka hukum adat dapat dilacak secara kronologis sejak Indonesia terdiri dari
kerajaankerajaan, yang tersebar di seluruh nusantara. Realitas sosial budaya
dikonstruksi oleh pujangga yang satu dikonstruksi oleh pujaga yang lain, serta
dikonstruksi kembali pujangga berikutnya. Masa Sriwijaya, Mataran Muno, Masa
Majapahit beberapa inskripsi (prasasti) menggambarkan perkembangan hukum yang
berlaku (hukum asli), yang telah mengatur beberapa bidang, antara lain:
1. Aturan aturan keagamaan,
2. Mengatur keagamaan dan kekaryaan, dimuat dalam prasasti Raj Dewasimha tahun
760.
3. Hukum Pertanahan dan Pertanian.
4. Hukum mengatur tentang peradilan perdata.
5. Perintah Raja untuk menyusus aturan adat.
6. Pada masa Airlangga, adanya penetapan lambang meterai kerajaan berupa kepala
burung Garuda, pembangunan perdikan dengan hak-hak istimewanya, penetapan
pajak penghasilan yang harus dipungut pemerintah pusat;
7. Masa Majapahit, tampak dalam penataan pemerintahan dan ketatanegaraan
kerajaan Majapahit, adanya pembagian lembaga dan badan pemerintahan.

Beberapa contoh tersebut di atas menunjukkan bahwa tatanan hukum asli yang
telah berlaku di berbagai daerah, yang sekarang dikenal dengan nama Indonesia
menunjukkan hukum bersumberkan pada masyarakat asli, baik berupa keputusan
penguasa maupun hukum yang berlaku dalam lingkungan masyarakat setempat.
Hukum adat oleh ahli barat, dipahami berdasarkan dua asumsi yang salah,
pertama, hukum adat dapat dipahami melalui bahan-bahan tertulis, dipelajari dari
catatan catatan asli atau didasarkan pada hukum-hukum agama. Kedua, bahwa hukum
adat disistimatisasi secara paralel dengan hukum-hukum barat. Akibat pemahaman
dengan paradigma barat tersebut, maka hukum adat dipahami secara salah dengan
segala akibat-akibat yang menyertai, yang akan secara nyata dalam perkembangan
selanjutnya di masa kemerdekaan. Hukum perundang-undangan sesuai dengan TAP
MPR Tahun 2001, maka tata urutan perundang-undangan:
1. Undang-undang Dasar 1945;
2. Ketetapan MPR;
3. Undang-undang/ Perpu;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Daerah;
Hal ini tidak memberikan tenpat secara formil hukum adat sebagai sumber
hukum perundang-undangan, kecuali hukum adat dalam wujud sebagai hukum
adat yang secara formal diakui dalam perundangundangan.

3
C. Hukum Adat Dalam Konstitusi
Konstitusi kita sebelum amandemen tidak secara tegas menunjukkan kepada
kita pengakuan dan pemakaian istilah hukum adat. Namun bila ditelaah, maka dapat
disimpulkan ada sesungguhnya rumusan-rumusan yang ada di dalamnya mengandung
nilai luhur dan jiwa hukum adat. Pembukaan UUD 1945, yang memuat pandangan
hidup Pancasila, hal ini mencerminkan kepribadian bangsa, yang hidup dalam nilai-
nilai, pola pikir dan hukum adat. Pasal 29 ayat (1) Negara berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa, Pasal 33 ayat (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan azas kekeluargaan.
Pada tataran praktis bersumberkan pada UUD 1945 negara mengintroduser
hak yang disebut Hak Menguasai Negara (HMN), hal ini diangkat dari Hak Ulayat,
Hak Pertuanan, yang secara tradisional diakui dalam hukum adat. Dalam konsitusi
RIS pasal 146 ayat 1 disebutkan bahwa segala keputusan kehakiman harus berisi
alasan-alasannya dan dalam perkara harus menyebut aturanatiuran undang-undang
dan aturan-aturan hukum adat yang dijadikan dasar hukum itu Selanjutnya dalam
UUD Sementara, pasal 146 ayat 1 dimuat kembali. Dengan demikian hakim harus
menggali dan mengikuti perasaaan hukumd an keadilan rakyat yangs enantiasa
berkembang. Dalam pasal 102 dan dengan memperhatikan ketentuan pasal 25 UUDS
1950 ada perintah bagi penguasa untuk membuat kodifikasi hukum. Maka hal ini
termasuk di dalamnya hukum adat. Perintah kodifikasi ini pada hematnya juga
berlaku pula terhadap hukum adat, dan perintah kodifikasi ini merupakan pertama
kalinya disebtkan di dalam Peraturan PerundangUndangan Republik Indonesia yang
mengatur ketentuan terhadapa kodifikasi hukum adat, walaupun dalam kenyatannya
belum dapat dilaksanakan.
Dengan dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka UUD 1945 dimbali berlaku, ada 4
pokok pikiran dalam pembukaan UUD 1945, yaitu persatuan melipouti segenap
bangsa Indonesia, hal ini mencakup juga dalam bidang hukum, yang disebut hukum
nasional. Pokok pikiran kedua adalah negara hendak emwujdukan keadilan sosial. Hal
ini berbeda dengan keadilan hukum. Maka azas-azas fungsi sosial manusia dan hak
milik dalam mewujudkan hal itu menjadi penting untuk diwujdukan dan disesusikan
dengan dengan tuntutan dan perekembangan amsyarakat, dengan tetap bersumberkan
nilai primernya. Pokok Pikiran ketiga adalah : negara mewujdukan kedaulatan rakyat,
berdasar atas kerakyatamn danm permusyawaratan dan perwakilan. Pokok pikiran ini
sangat fondamental dan penting, adanya persatuan perasahaan antara rakyat dan
pemimpinnya, artinya pemimpin harus menantiasa memahami nilai-nilai dan
perasahaan hukum, perasaaan politik dan menjadikannya sebagai spirit dalam
menyelenggarakan kepentingan umum melalui kepngambilan kebijakan publik.Dalam
hubungan itu maka ini mutlak diperlukan karakter manusia pemimpoin publik yanhg
memilikiw atak berani, bijaksana, adil, menjunjung kebenaran, berperasaan halus dan
berperikemanusiaan.

4
D. Kedudukan Hukum Adat Dalam Perkembangan Yurisprudensi
Para pencari keadilan (justiciabellen) tentu sangant mendambakanm
perkaraperkara yang diajukan ke pengadilan dapat diputus oleh hakim-hakim yang
profesional dan memiliki integritas moral yang tinggi, sehingga dapat melahirkan
putusanputusan yang tidak saja mengandung aspek kepastian hukum tetapi juga
memberikan menjamin adanya keadilan bagi setiap orang. Karena keadilan itulah
yang menjadi tujuan utama yang hendak dicapai dari proses penyelesaian sengketa di
pengadilan.
Yurisprudensi, berasal dari kata bahasa Latin: iuris prudential,secara tehnis
artinya peradilan tetap atau hukum. Yurisprudensi adalah putusan hakim (judge made
law) yang diikuti hakim lain dalam perkara serupa (azas similia similibus), kemudian
putusan hakim itu menjadi tetap sehingga menjadi sumber hukum yang disebut
yurisprudensi. Yurisprudensi dalam praktek berfungsi untuk mengubah, memperjelas,
menghapus, menciptakan atau mengukuhkan hukum yang telah hidup dalam
masyarakat. Selanjutnya menurut Fockema Andrea, Yurisprudensi peradilan (dalam
penegrtian umum, pengertian abastrak); khususnya ajaran hukum yang dibentuk dan
dipertahankan oleh pengadilan (sebagai kebalikan dari ajaran atau doctrine dari
pengarangpengarang terkemuka), selanjutnya pengmpulan yang sistematis dari
putusan Mahkamah Agung dan Putusan Pengadilan Tinggi (yang tercatat) yang
diikuti oleh hakim-hakim dalam memberikan putusannya dalam soal yang serupa.
tusannya dalam soal yang serupa.11 Dalam hukum adat, yurisprudensi hukum,
selain merupakan keputusan pengadilan yang telah menjadi tetap dalam bidang
hukum adat, juga merupakan sarana pembinaan hukum adat, sesuai cita-cita hukum,
sekaligus dari yurisprudensi dari masa ke masa dapat dilacak perkembangan –
perkembangan hukum adat, baik yang masih bersifat local maupun yang telah berlaku
secara nasional. Perkembanganperkembangan hukum adat melalui yurisprudensi akan
memberikan pengetahuan tentang pergeseran dan tumbuhnya hukum adat,
melemahnya hukum adat local dan menguatnya hukum adat yang kemudian menjadi
bersifat dan mengikat secara nasional.
Politik hukum nasional akan menjadi sangat berperan dan memberi arahan
bagi perkembangan hukum nasional ditengahtengah menguatnya tuntutan globalisasi
hukum, terutama besarnya kemungkinan terdapat ruang kosong ketika terjadi
transplansi sistem hukum, atau pada saat suatu negara bangsa melakukan integrasi
dengan sistem hukum global. Sebab bagaimana pun juga tidak ada satu sistem hukum
pun yang sempurna dan masingmasing memiliki kelemahan dan kelebihan. Dalam
hubungan ini Satjipto Raharjo mengemukakan, bahwa sejak semula hukum tidak
pernah dapat memuaskan keinginan manusia sebagai suatu alat yang mematoki antara
perbuatan yang “benar” dan yang “salah” secara sempurna.

5
E. Karakteristik Dan Nilai-Nilai Hukum Pidana Adat
Dalam alam pikiran tradisional Indonesia yang bersifat kosmis, yang penting
adalah adanya pengutamaan terhadap terciptanya suatu keseimbangan antara dunia
lahir dan dunia gaib, antara golongan manusia seluruhnya dan orang seorang, antara
persekutuan dan teman masyarakatnya. Segala perbuatan yang mengganggu
perimbangan tersebut merupakan pelanggaran hukum dan petugas hukum wajib
mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna memulihkan kembali perimbangan
hukum realitas bahwa hukum pidana adat merupakan sarana penyeimbang atas
kegoncangan dalam masyarakat akibat pelanggaran delik, berfungsi untuk menjaga
harmoni, penyelesaian konflik, menjaga solidaritas masyarakat, sebagai refleksi cita
moral, agama dan susila masyarakat dan sifatnya yang tidak "prae existence".
Masyarakat tradisional mempercayai bahwa manusia adalah bagian dari makro
kosmos (alam semesta), tidak terpisah dengan Tuhan Yang Maha Esa sebagai
pencipta-Nya, dan bersatu dengan lingkungan alam dan lingkungannya.
Keberadaannya dalam posisi saling berhubungan dan saling mempengaruhi dan
berada dalam keadaan harmoni atau seimbang, oleh karena itu pelanggaran terhadap
keseimbangan tersebut senantiasa harus dikembalikan dalam posisi keseimbangan.
Menurut pandangan Ter Haar, terjadi pelanggaran delik apabila terdapat gangguan
segi satu (eenzijdig) terhadap keseimbangan dan setiap penubrukan segi satu pada
barang-barang kehidupan materil orang seorang, atau daripada orang-orang banyak
yang merupakan satu kesatuan (segerombolan), tindakan demikian menimbulkan
reaksi yang sifat dan besar kecilnya ditentukan oleh hukum adat ialah reaksi adat
(adat reaksi) karena reaksi mana keseimbangan dapat dan harus dipulihkan kembali
(kebanyakan dengan cara pembayaran pelanggaran berupa barang-barang atau uang).
Hukum pidana adat mempunyai ciri atau karakteristik sebagai berikut:
a. Menyeluruh dan menyatukan.
b. Ketentuan yang terbuka.
c. Membeda-bedakan permasalahan. Apabila terjadi peristiwa pelanggaran,
maka yang dilihat bukan semata-mata perbuatan dan akibatnya tetapi
dilihat apa yang menjadi latar belakang dan siapa pelakunya.
d. Peradilan dengan permintaan.
e. Tindakan reaksi atau koreksi.

penyelesaian terhadap pelanggaran tindak pidana Adat bukan bertumpu


pada pandangan retributive (pembalasan); akan tetapi sebagai sarana
penyelesaian konflik, menjaga kondisi harmoni di antara anggota masyarakat,
dan mempertahankan solidaritas.

6
F. Mekanisme Pelembagaan Hukum Pidana Adat serta Eksistensi Hukum
Pidana Adat Dalam Pembentukan Hukum Pidana
Meskipun KUHP dan undang-undang pidana di luar KUHP telah
mendominasi dan secara formal merupakan hukum positif yang berlaku dalam
menyelesaikan segala perkara pidana, tidak dapat dipungkiri bahwa hukum pidana
adat sebagai hukum yang tidak tertulis juga mendapat tempat dalam arti dipraktekkan
dan dipakai penyelesaian dalam menangani pelanggaran tindak pidana adat, meskipun
tidak berkembang. Dalam kaitan ini dapat kita lihat bahwa kebutuhan akan cita moral,
susila dan nilai-nilai keadilan dari masyarakat yang bersumber dari sistem nilainya
sendiri merupakan kebutuhan yang tidak terelakkan lagi. pelembagaan hukum pidana
adat, dalam kehidupan hukum di Indonesia Dari kajian komprehensif dapat di
inventarisir adanya 3 (tiga) pintu untuk mengangkat, mengembangkan, dan menggali
nilai-nilai hukum pidana adat sebagai instrumen. Ketiga jalur tersebut adalah melalui
jalur peradilan, jalur legislasi, dan jalur akademik.
Sebagaimana kasus yang terjadi dibali terhadapap tindak pidana pelanggaran
(seorang laki-laki bersetubuh dengan wanita atas suka-sama suka dengan janji akan
dikawin, setelah wanita hamil sipria ingkar janji).dalam mengadili kasus tersebut
maka pengadilan menggunakan kitab Adhi Agama 359 Peswara Bali Lombok tahun
1927 jo pasal 5 ayat 3 sub b, undang-undang no.1 drt/1951. I Gusti Ketut Kalaer
memberikan rumusan Lokika Sanggraha sebagai suatu perbuatan yang dilakuakan oeh
deorang pria menghendaki layanan pemuas nafsu birahi oleh karena tidak mengawini
perempuan yang berangkutan perbuatan yang bertentanggan dengan lokika, bahwa
setiap kehamilan hendaknya diupacarai untuk sucinya nilai kehamilan tersebut serta
pastinya status anak yang lahir dari kehamilan tersebut menurut hukum. Pelembagaan
hukum pidana adat melalui jalur peradilan, menggunakan "pintu" masuk melalui
Undang-undang No. 1 Drt/ 1951 tentang Tindakan Sementara Untuk
Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilanpengadilan
Sipil, khususnya ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b. Dari ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub
b dapat disimpulkan tiga hal tentang fungsi dan kedudukan hukum pidana adat yaitu:
1. Tindak pidana adat yang tidak ada bandingnya/padanannya dalam KUHP yang
sifatnya tidak berat atau dianggap tindak pidana adat yang ringan ancaman pidananya
adalah pidana penjara paling lama tiga bulan dan/atau denda lima ratus rupiah (setara
dengan kejahatan ringan), minimumnya terdapat dalam Pasal 12 KUHP yaitu 1 hari
untuk penjara dan denda minimum 25 sen sesuai dengan Pasal 30 KUHP.
2. Tindak pidana yang ada bandingnya dalam KUHP, maka ancaman pidananya sama
dengan ancaman pidana yang ada dalam KUHP. Misalnya: Seperti Tindak Pidana
Drati Kerama di Bali yang sebanding dengan zinah menurut Pasal 284 KUHP.
3. Sanksi adat menurut UU Darurat No. 1 Tahun 1951 di atas, dapat dijadikan pidana
pokok atau pidana utama oleh hakim dalam memeriksa dan mengadili perbuatan yang
menurut hukum yang hidup dianggap sebagai tindak pidana yang tidak ada
bandingnya dalam KUHP, sedangkan yang ada bandingnya harus dikenai sanksi
sesuai dengan KUHP.

7
Model pelembagaan hukum pidana adat dalam praktek peradilan seperti ini,
ketentuan hukum pidana adat digunakan secara langsung sebagai instrumen hukum
untuk mengadili suatu kasus tindak pidana adat. Disamping itu ada beberapa
ketentuan dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman, yang dapat dijadikan dasar
untuk melembagakan (mengatualisasikan) hukum pidana adat, dalam praktek
peradilan yaitu terdapat dalam: Pasal 14 ayat (1), Pasal 23 ayat (1), Pasal 27 ayat (1).
Pelembagaan hukum pidana adat yang kedua melalui jalur legislasi atau
perundang-undangan. Proses ini nampak dalam pemikiran Konsep KUHP Nasional
tahun 2004 diatur dalam Pasal 1 ayat (3) dan (4). Pelembagaan hukum pidana adat
dalam kasanah kehidupan hukum pidana nasional juga muncul dari kegiatan-kegiatan
yang bersifat ilmiah dan akademis (keilmuan), mulai dari kegiatan seminar,
simposium dan lokakarya nasional tentang hukum pidana. Berkaitan dengan
pemberlakuan sistem nilai asing yang tidak ada kesesuaian dengan nilai-nilai
masyarakat setempat, memiliki potensi efek krominogen. Dalam laporan Kongres ke
VI disebutkan bahwa "the importation of foreign cultural patterns which did not
harmonize with the indigenous culture had a criminogenic effect".
Dalam hal penentuan suatu tindak pidana dalam Pasal 11 ayat (2) Konsep
KUHP dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan
diancam pidana oleh peraturan perundangundangan, harus juga bersifat melawan
hukum atau bertentangan dimaksud dengan perbuatan yang dilarang selalu adalah
perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Selain itu masih disyaratkan
bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan hukum.

8
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Hukum adat adalah aturan tidak tertulis yang hidup di dalam masyarakat adat
suatu daerah dan akan tetap hidup selama masyarakatnya masih memenuhi hukum
adat yang telah diwariskan kepada mereka dari para nenek moyang sebelum mereka.
Oleh karena itu, keberadaan hukum adat dan kedudukannya dalam tata hukum
nasional tidak dapat dipungkiri walaupun hukum adat tidak tertulis dan berdasarkan
asas legalitas adalah hukum yang tidak sah. Hukum adat akan selalu ada dan hidup di
dalam masyarakat.
Agar terciptanya masyarakat adat yang menghormati KUHP dan juga hukum
adat mereka sendiri sehingga tidak terjadi kesimpangsiuran antara peraturan pidana
adat dan hukuk pidana. Hukum adat adalah aturan tidak tertulis yang hidup dalam
masyarakat indonesia dan akan tetap hidup dalam selama masyarakat masih
memenuhi hukum adat yang telah diwariskan kepada mereka. Oleh karena itu
keberadaan hukum adat dan kedudukannya dalam tata hukum nasional tidak dapat
pungkiri walaupum hukum adat tidak tertulis dan berdasarkan asas legalitas adalah
hukum yang tidak sah, Hukum adat akan selalu ada dan hidup didalam masyarkat.

B. Saran
Hendaknya terhadap pengadilan adat dan hukum adat yang hidup dalam
masyarakat indonesia mesti di pertahankan eksistensinya dan dijaga kewibawaanya
sehingga penerapannya didalam kehidupan masyarakat indonesia dapat berjalan
langgeng dan tidak terkikis seiring dengan perubahan zaman. Dan semoga dengan
penulisan makalah ini pembaca dapat memahami apa yang penulis sampaikan

9
DAFTAR PUSTAKA

Hadikusuma, Hilman., Hukum Pidana Adat, (Bandung, Alumni Bandung, 1984).

Ahmad Kamil H dan Fausan, M . ,KaidahKaidah Hukum Yurisprudensi, Prenada Media,


Jakarta, 2004.

Dewi C. Wulansari. , Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar , Rineka Aditama, Bandung,
2010.

Dian Rositawati, Kedaulatan Negara dalam Pembentukan Hukum di Era Globalisasi,


http://www.leip.or.id/opini/80- kedaulatan-negara-dalam pembentukan-hukum-di-
eraglobalisasi.html.

Dominikus Rato., Hukum Adat (Suatu Pengantar Singkat Memahami Hukum Adat di
Indonesia) , Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2011.

Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaa), Penerbit Alfabeta,
Bandung, 2009.

10

Anda mungkin juga menyukai