Anda di halaman 1dari 19

BAB V

PEMBAHASAN

BAB ini akan menguraikan pembahasan yang lebih lanjut

tentang “Pengaruh Relaksasi Otot Progresif Terhadap Stres Pasien

Diabetes Melitus Tipe 2” sesuai dengan hasil penelitian pada BAB IV,

yaitu sebagai berikut.

A. Stres Responden Sebelum Intervensi Relaksasi Otot Progresif

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada 20

responden yang terdiagnosis DM tipe 2, menunjukkan bahwa

sebagian besar responden mengalami stres sedang yaitu sebanyak

11 orang (55%), stres ringan sebanyak 7 orang (35%) dan stres

berat, sebanyak 2 orang (10%).

Banyak faktor-faktor yang mempengaruh hasil dari penelitian

ini. Menurut Stuart & Sunden (2007) meliputi, potensi stresor,

pendidikan, respon koping, ekonomi, keadaan fisik, pekerjaan,

dukungan sosial, usia dan jenis kelamin.

Faktor lain penyebab stres menurut Lazarus dan Folkman

(1987) dalam Manurung (2016) kondisi fisik lingkungan dan sosial;

perubahan gaya hidup (Isselbacher, 2000); kegagalan proses

adaptasi pasien terhadap stresor (Putri, 2011 dalam Widihardjo,

2013); faktor perubahan fisik dan permasalahan dalam hidup

(Nirmala dan Izzati, 2015); dukungan keluarga (Irhayani, 2012) dan

komunikasi (Weimann & Giles, 1988 dalam Patty, 2015)

65
66

Berdasarkan faktor usia, dalam penelitian ini stres tertinggi

terdapat pada umur >65 tahun (manula) sebanyak 5 orang dengan

rata-rata nilai stres 21,8 dan terendah pada rentang usia 56-65

tahun (lansia akhir) sebanyak 2 orang dengan rata-rata nilai stres

19,5. Menurut peneliti, perbedaan tingkat stres ini dapat

disebabkan karena semakin bertambahnya umur, maka akan lebih

rentan terhadap sumber masalah serta penurunan fungsi tubuh.

Pernyataan ini sesuai dengan Indriana (2010), bahwa individu yang

telah memasuki umur 60 tahun akan banyak masalah yang

dihadapi terutama masalah psikologis yang dapat memberikan

sumber tekanan. Menurut Gibson (1999) dalam Handayani (2013)

umur adalah salah satu faktor penting yang menjadi penyebab

stres. Hal ini disebabkan oleh faktor fisiologis yang telah mengalami

kemunduran dalam berbagai kemampuan seperti kemampuan

visual, berpikir, mengingat dan mendengar. Berdasarkan penelitian

Surasono (2009), menyatakan semakin bertambahnya usia

seseorang maka tingkat stres juga akan menjadi semakin

bertambah tinggi.

Selain itu, usia responden berkaitan pula dengan kejadian

penyakit penyakit Diabetes Melitus tipe 2. Menurut Sudoyo, et al.

(2009) menyatakan faktor usia yang risiko menderita DM tipe 2

adalah usia diatas 30 tahun, hal ini karena adanya perubahan

anatomis, fisiologis dan biokimia. Perubahan dimulai dari tingkat

sel, kemudian berlanjut pada tingkat jaringan dan akhirnya pada


67

tingkat organ yang dapat mempengaruhi homoestasis. WHO

menyebutkan bahwa setelah seseorang mencapai umur 30 tahun,

maka kadar glukosa darah naik 1-2 mg% tiap tahun saat puasa dan

akan naik 6-13% pada 2 jam setelah makan. Berdasarkan hal

tersebut bahwa umur merupakan faktor utama terjadinya kenaikkan

relevansi Diabetes serta gangguan toleransi glukosa. Dalam

penelitian ini, sebagian besar umur responden yang menderita

Diabetes Melitus tipe 2 terbanyak pada rentang 46-55 tahun yaitu

sebanyak 8 orang (40%) dalam kategori umur lansia awal dan

terendah pada umur 40 tahun.

Berdasarkan jenis kelamin, dalam penelitian ini rata-rata

stres responden perempuan sebelum intervensi relaksasi otot

progresif lebih tinggi daripada laki-laki yaitu 20,44, sedangkan stres

rata-rata responden laki-laki yaitu 11,45. Menurut peneliti,

perbedaan ini disebabkan karena kebanyakan perempuan lebih

menggunakan perasaan dalam menghadapai masalah daripada

laki-laki yang lebih berpikir rasional. Selain itu, wanita sangat

mudah mengalami stres ketika terjadi perubahan sistem hormonal

pada tubuh mereka, perubahan hormonal tersebut cenderung

membuat emosi wanita lebih labil. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Stuart & Sunden (2007) menyatakan bahwa stres yang

dialami oleh wanita lebih tinggi dibandingkan stres yang dialami

laki-laki. Hal ini dikarenakan wanita lebih memiliki kepribadian labil

dan peran hormon estrogen yang mempengaruhi kondisi emosi


68

sehingga mudah meledak, cemas dan curiga. Hal ini didukung oleh

penelitian dari Gyllensten (2005) yang menyatakan bahwa jenis

kelamin merupakan karakteristik demografi yang berperan pada

stres. Ada perbedaan pada tingkat keparahan stres terkait dengan

jenis kelamin. Walaupun terpapar oleh stresor yang sama,

perempuan dapat memiliki respon yang berbeda dengan laki-laki.

Sedangkan, penelitian dari Matud (2009) dengan menggunakan

Utilizing the Life Event Stresful Success Questionnaire (LESSQ)

pada 1566 perempuan dan 1250 laki-laki pada rentang usia 18-65

tahun menunjukkan perempuan lebih sering dilaporkan mengalami

stres dibandingkan laki-laki.

Berdasarkan faktor kelas sosial yang meliputi pendidikan

dan pekerjaan (Merikangas dan Amanda, 2009). Dalam penelitian

ini, rata-rata nilai stres tertinggi pada responden yang tidak

bersekolah sebanyak 4 orang (20%) yaitu 24 dan tidak bekerja

sebanyak 8 orang (40%) yaitu 19,62. Menurut peneliti, angka

kejadian stres secara umum lebih besar pada tingkat status sosial

ekonomi dan tingkat pendidikan lebih rendah. Pasien dengan

penghasilan rendah yang menjalani perawatan di Rumah Sakit

dengan Diabetes Mellitus tipe 2 dan komplikasinya membutuhkan

waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit, sehingga dapat

menimbulkan beban pada pasien dan keluarganya. Hal ini sesuai

dengan penyataan Notoatmojo (2002), makin tinggi tingkat

pendidikan seseorang maka makin mudah dalam memperoleh


69

pekerjaan, sehingga semakin banyak pula penghasilan yang

diperoleh. Sebaliknya pendidikan yang kurang akan sulit dalam

memperoleh pekerjaan, sehingga semakin sedikit pula penghasilan

yang diperoleh. Status ekonomi dan pekerjaan mempunyai

hubungan yang signifikan dengan tingkat stres pada pasien. Pasien

yang memiliki pekerjaan dan status ekonomi rendah mengalami

stres dikarenakan beban hidup yang tinggi terkait beban pikiran dan

biaya perawatan selama dirawat. Hal ini dibuktikan dengan teori

Yosep (2007), bahwa kondisi sosial ekonomi yang tidak sehat

dapat menimbulkan stres. Misalnya pendapatan jauh lebih rendah

dari pengeluaran, terlibat hutang, kebangkrutan usaha, biaya

perawatan dan lain sebagainya. Problem keuangan sangat

berpengaruh pada kesehatan jiwa seseorang dan sering kali

masalah keuangan ini merupakan faktor yang membuat seseorang

jatuh dalam depresi, stres dan kecemasan.

Menurut Lazarus dan Folkman (1987) dalam Manurung

(2016) kondisi fisik lingkungan dan sosial yang merupakan

penyebab dari kondisi stres disebut dengan stresor. Stresor adalah

faktor-faktor dalam kehidupan manusia yang mengakibatkan

terjadinya respon stres. Stresor dapat berasal dari berbagai

sumber, baik dari kondisi fisik, psikologis, maupun sosial.

Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan peneliti

selama penelitian berlangsung terkait stresor yang menjadi pemicu

munculnya stres yang dirasakan oleh responden, yaitu persepsi


70

pasien akan penyakit yang diderita, seperti pasien menyatakan

penyakit DM merupakan penyakit yang akan mereka alami seumur

hidup dan perasaan takut akan komplikasi dari penyakit DM,

perasaan jenuh akan kegiatan monoton yang hanya berbaring

ditempat tidur tanpa bisa melakukan apapun dengan kondisi fisik

yang lemah dan lamanya proses perawatan yang dijalani selama di

Rumah Sakit serta kondisi fisik lingkungan Rumah Sakit, baik

kondisi ruangan rawat inap yang padat ataupun perasaan tidak

nyaman dengan kondisi dan suasana lingkungan yang baru

menjadi stresor munculnya stres. Hal ini sesuai dengan pernyataan

Widihardjo (2013) yang menyatakan bahawa suasana lingkungan

medis identik dengan ketakutan, kegelisahan serta ketidakpastian

ini memicu munculnya stres. Dari hasil penelitian yang dilakukan

oleh Duff dan Hollingshead (2004) dalam Patty (2015)

mewawancarai sejumlah 161 pasien yang semuanya menyatakan

stres dan takut pada saat masuk Rumah Sakit bahkan 52% dari

pasien tersebut merasa sangat ketakutan. Ketakutan dan stresor

yang dialami berkaitan dengan ancaman penyakit yang diderita.

Faktor lain penyebab stres menurut Isselbacher (2000) yaitu

perubahan gaya hidup, bahwa seseorang yang memiliki penyakit

kronis selalu sulit untuk menerima kenyataan bahwa mereka harus

melakukan perubahan terhadap gaya hidup. Hal ini disebabkan

karena pasien biasanya sadar bahwa mereka rentan terhadap

penyakit lanjut dan harapan hidup mereka menjadi lebih pendek.


71

Tidak mengejutkan jika respon emosional terhadap DM sering

menghambat terapi dan memicu munculnya stres. Hal ini juga

didukung oleh pernyataan Chritina, Middlebrooks & Audageb

(2008), yaitu keharusan pasien Diabetes Melitus mengubah pola

hidupnya agar gula darah dalam tubuh tetap seimbang seperti pola

makan, diit dan obat-obatan yang harus rutin dikonsumsi,

mengakibatkan mereka rentan terhadap stres, karena stres akan

terjadi apabila seseorang merasakan adanya ketidak sesuaian

antara sumber daya yang dimiliki dengan tuntutan situasi yang

harus dijalankan ketika tuntutan situasi dirasakan berbeda dangan

situasi sebelumnya dan terlalu berat maka stres akan terjadi.

Dalam penelitian ini, dari hasil wawancara pada responden,

sebagian besar responden merasa stres dengan diit makanan yang

harus dijalani semenjak didiagnosis DM tipe 2, obat-obatan yang

harus dikonsumsi ditambah lagi dengan obat-obatan baru yang

harus dikonsumsii selama masuk RS.

Menurut Putri (2011) dalam Widihardjo (2013) menyatakan

kegagalan proses adaptasi pasien terhadap stresor dapat

menyebabkan stres dalam diri pasien yang berpengaruh terhadap

proses penyembuhannya. Pernyataan tersebut diperkuat oleh

Djikstra (2009) yang mengungkapkan stres yang terjadi pada

pasien dapat menekan sistem imun sehingga pasien memerlukan

waktu perawatan yang lebih lama dan bahkan dapat mempercepat

terjadinya komplikasi-komplikasi selama perawatan.


72

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nirmala

dan Izzati (2015), menyatakan bahwa responden yang mengalami

stres berat disebabkan oleh faktor perubahan fisik dan juga

permasalahan dalam hidup. Hal ini sesuai dengan data hasil

penelitian, terdapat 2 responden Ny.R/02 dan Ny.M/20 yang

memiliki kategori stres berat. Dari hasil wawancara, Ny.R/02

merasa tidak berdaya dengan kondisinya yang membuatnya tidak

dapat hadir dalam acara pemakaman suaminya, yang meninggal

pada saat ia dirawat di Rumah Sakit, perasaan sedih karena

kehilangan orang yang dicintai dan penyakit yang dideritanya

menyebabkan ia merasa stres. Seperti halnya yang dirasakan

Ny.R/02, begitu juga yang dirasakan oleh Ny.M/20, ia juga merasa

tidak berdaya karena kondisinya membuatnya harus dirawat begitu

lama di Rumah Sakit, yaitu sudah 3 minggu ia menjalani rawat inap

dan yang menemaninya hanya suaminya saja, sedangkan anak-

anaknya berada diluar kota, disaat seperti ini, ia merasa rindu

dengan anak-anaknya dan menginginkan kehadiran anak-anaknya.

Selain faktor-faktor yang telah dibahas sebelumnya, faktor

lain yang juga mempengaruhi stres pada pasien Diabetes Melitus

tipe 2 terkait dengan dukungan keluarga dan komunikasi dengan

perawat. Menurut Irhayani (2012) bahwa rendahnya dukungan

keluarga maka akan menyebabkan semakin tinggi stres pada

penderita Diabetes Melitus tipe II, hal ini seperti yang di alami oleh
73

Ny.M/20 yang selama menjalani perawatan hanya ditemani

suaminya.

Sedangkan yang terkait dengan komunikasi, menurut

peneliti dari hasil observasi peneliti selama penelitian berlangsung,

komunikasi yang terjalin antara perawat dengan pasien kurang

terjalin tidak semua perawat melakukan komunikasi dengan pasien,

khususnya dalam komunikasi interpersonal yang membangun

kepercayaan antara perawat dan pasien, sehingga stres yang

dialami pasien tidak begitu terkaji. Tindakan yang dilakukan

terfokus pada tindakan medis seperti pemberian obat dan

perawatan lainnya. Sedangkan kebutuhan psikososial kurang

mendapat perhatian. Menurut Weimann & Giles (1988) dalam Patty

(2015) menunjukan bahwa komunikasi dalam keperawatan sangat

penting dengan alasan sebagai akses dan pertukaran informasi

antara perawat dengan pasien serta dukungan emosional selama

stres. Kurangnya komunikasi yang memuaskan dan berkualitas dari

perawat dapat berimplikasi serius terhadap kesehatan fisik dan

psikologis pasien.

B. Stres Responden Setelah Intervensi Relaksasi Otot Progresif

Berdasarkan hasil penelitian pada 20 responden pasien DM

tipe 2, diperoleh nilai stres tertinggi setelah intervensi relaksasi otot

progresif 20 dan terendah adalah 7 dengan nilai rata-rata stres

setelah diberikan intervensi relaksasi otot progresif yaitu 13,30.


74

Namun terdapat perbedaan penurunan stres antara laki-laki

dan perempuan. Responden perempuan dalam penelitian ini hanya

berjumlah 9 orang (45%). Jika dilihat dari rata-rata penurunan nilai

stres antara laki-laki dan perempuan menunjukkan bahwa rata-rata

penurunan stres lebih besar pada perempuan yaitu 7,11

dibandingkan laki-laki sebesar 7. Hal ini dapat dihubungkan dengan

pendapat Dobson (2010) yang menyatakan bahwa pikiran wanita

lebih mudah dialihkan atau terdistraksi oleh suatu stimulus daripada

laki-laki. Sehingga penurunan stres lebih besar terjadi pada

responden wanita dengan relaksasi otot pogresif sebagai teknik

relaksasi yang dapat mengalihkan pasien dari stres dan

menurunkan stres yang dirasakan.

Menurut Bahrami dan Naser (2011), dibandingkan laki-laki

wanita pada umumnya menggunakan emotion focused coping lebih

percaya bahwa stres merupakan sesuatu yang harus dihindari

dengan teknik seperti teknik relaksasi yang dapat memberikan

perasaan rileks dan nyaman. Hal tersebut mendukung keefektifan

relaksasi otot progresif sebagai teknik relaksasi yang mudah

diterima yang mampu menurunkan stres yang dirasakan.

Penurunan stres pada perempuan juga dipengaruhi oleh

mekanisme koping yang digunakan, yaitu using emotional support

yang merupakan bagian dari penggunaan dari dimensi emotion

focused coping dengan mengungkapkan respon emosi atau

perasaan dengan mencari dukungan moral, simpati dan


75

kepercayaan atau pengertian dari orang lain untuk menenangkan

diri atau mengeluarkan stres (Taylor, 2009). Sehingga,

meningkatkan pengaruh intervensi yang diberikan terhadap respon

stres responden wanita. Hal ini didukung oleh hasil penelitian

American Psychological Association (2011) bahwa perempuan

lebih mengungkapkan respon emosi atau perasaan daripada laki-

laki. Berdasarkan penelitiaan tersebut diperoleh 28% perempuan

lebih mengungkapkan perasaannya dibandingkan laki-laki. Hasil

observasi peneliti selama melakukan penelitian, perempuan

cenderung lebih mengungkapkan perasaannya dengan

menceritakan terkait masalah yang sedang dialami, dibandingkan

dengan laki-laki yang lebih tertutup.

Menurut teori Pappas (2010), interaksi antara pemrosesan

emosi seperti lobus temporal kanan (insula dan girus fontal inferior)

berbeda antara laki-laki dan perempuan. Peneliti tersebut

menemukan pada pengukuran yang disebut konektivitas fungsional

yang menunjukkan area otak yang lebih aktif tersimulasi. Laki-laki

memperlihatkan kurangnya konektivitas fungsional antara area ini

selama stres, sedangkan perempuan memperlihatkan lebih. Hal ini

menunjukkan ketika perempuan mengalami stres, area sosial dan

emosional dari otak menjadi lebih tanggap dan juga

mengrefleksikan kecenderungan untuk lepas dari stres, sedangkan

area yang sama pada otak pria tidak terlalu tanggap.


76

Selain faktor-faktor diatas, faktor lain yang mempengaruhi

penurunan stres pada wanita, menurut Jacobs (2014), pada level

hormonal, perbedaan stres pada jenis kelamin dihubungkan

dengan sistem oksitosin. Oksitosin merupakan hormon yang

dihubungkan dengan perilaku sosial, dan studi sebelumnya pada

kondisi stres, kadar oksitosin wanita lebih tinggi daripada laki-laki.

Oksitosin memiliki efek alami anti stres. Hal ini juga menjadi faktor

yang mendukung dalam penurunan stres pada responden wanita.

Relaksasi otot progresif merupakan salah satu cara dalam

manajemen stres yang merupakan salah satu bentuk mind-body

therapy (terapi pikiran dan otot-otot tubuh). Teknik relaksasi otot

progresif merupakan suatu prosedur untuk mendapatkan relaksasi

pada otot melalui dua langkah, yaitu dengan memberikan tegangan

pada kelompok otot, dan menghentikan tegangan tersebut

kemudian memusatkan perhatian terhadap bagaimana otot

tersebut menjadi rileks, merasakan sensasi relaksasi, dan

ketegangan menghilang (Hunter, 2011).

Teknik relaksasi otot progresif dapat menurunkan stres

dengan bekerja menghambat jalur umpan balik stres dengan

mengaktivasi kerja sistem saraf parasimpatis dan memanipulasi

hipotalamus melalui pemusatan pikiran untuk memperkuat sikap

positif sehingga rangsangan stres dapat berkurang. Relaksasi otot

progresif juga akan memberikan sensasi rileks sehingga dapat

menurunkan kadar kortisol dalam tubuh sehingga kadar glukosa


77

darah juga akan stabil pada pasien Diabetes Melitus (Copstead &

Banasik, 2000 dalam Shiela, 2016).

Dalam penelitian ini terdapat perbedaan penurunan stres

pada tiap responden. Perbedaan penurunan yang terjadi pada

setiap responden berbeda–beda, hal ini disebabkan karena individu

mempunyai sifat yang multidimensi, respon individu dalam

mengatasi masalah yang terjadi berbeda-beda. Tampak pada

penelitian ini dengan perlakuan yang sama yaitu relaksasi otot

progresif yang diberikan selama 2 hari yaitu pada waktu pagi pukul

10.00 WITA dan sore hari pukul 16.00 WITA dengan rentang waktu

tiap latihan yaitu 6 jam dan durasi latihan selama 15 menit, ternyata

penurunan stres setiap responden berbeda-beda.

Perbedaan penurunan stres pada tiap responden dalam

penelitian ini melaporkan bahwa pada saat melakukan relaksasi

otot progresif ada dua sensasi yang berbeda yaitu merasakan

ketegangan otot ketika bagian otot-otot tubuhnya ditegangkan dan

merasakan sesuatu yang rileks, nyaman, enak, dan santai ketika

otot-otot tubuh yang sebelumnya ditegangkan tersebut

direlaksasikan. Namun ada beberapa responden yang melaporkan

kurang bisa merasakan sensasi dari latihan relaksasi otot progresif

yang dilakukannya karena mereka kurang bisa berkonsentrasi

dalam melakukan relaksasi otot progresif tersebut, meskipun

dirinya bisa melakukan semua langkah atau prosedur relaksasi otot

progresif. Hal ini sesuai dengan pernyataan Richmond (2007)


78

dalam Mashudi 2012), bahwa relaksasi otot progresif merupakan

salah satu bentuk mind-body therapi, oleh karena itu saat

melakukan relaksasi otot progresif perhatian diarahkan untuk

membedakan perasaan yang dialami saat kelompok otot

dilemaskan dan dibandingkan ketika otot-otot dalam kondisi

tegang.

Dalam penelitian ini, rentang penurunan stres pasien yaitu

3-14 point. Terdapat 3 responden yang penurunan stres relatif lebih

rendah dari responden yang lain yaitu hanya mengalami penurunan

3 point, namun 1 diantaranya termasuk penurunan dalam kategori

normal atau tidak stres, yaitu Ny.B/04 dari stres ringan dengan nilai

15 menjadi normal atau tidak stres dengan nilai 12. Sedangkan 2

diantaranya, yaitu Tn.N/06 dan Ny.A/16 mengalami penurunan,

untuk Tn.N/06 stres sedang dengan nilai 21 menjadi stres ringan

dengan nilai 18 dan Ny.A/16 stres ringan dengan nilai 18 tetap

berada dalam kategori stres ringan dengan nilai 15. Perbedaan

penurunan ini, kemungkinan disebabkan oleh ketidakmampuan

responden melaksanakan relaksasi otot progresif dengan benar.

Meskipun responden dapat melakukan semua prosedur atau

langkah-langkah relaksasi otot progresif, namun bila yang

bersangkutan tidak mampu memusatkan pikiran dalam

melaksanakan relaksasi otot progresif juga kurang membawa hasil

yang maksimal, karena relaksasi otot progresif merupakan salah

satu bentuk mind-body therapy.


79

Selain itu, perbedaan penurunan kategori stres pada hasil

penelitian ini, terdapat pada Ny.K/14 mengalami penurunan dengan

point terbanyak yaitu 14, nilai stres sebelum intervensi yaitu 23

menjadi 9 setelah intervensi dilakukan. Hal ini disebabkan dalam

pelaksanaan intervensi, pasien bersungguh dalam melakukan

setiap gerakan dan memusatkan pikirannya dalam merasakan

setiap perbedaan sensasi gerakan saat ditegangkan dan saat

dirilekskan, responden juga mengungkapakan merasa enak,

nyaman, otot-otot yang awalnya kaku karena jarang bergerak, lebih

terasa lemas setelah melakukan gerakan-gerakan relaksasi otot

progresif dan napas dalam yang merupakan bagian dari relaksasi

otot progresif membuatnya merasa rileks dan segar.

Dukungan keluarga juga mempengaruhi penurunan stres

pada Ny.K/14. Hal ini disebabkan karena selama menjalani

perawatan di Rumah Sakit, ia selalu ditemani oleh suaminya dan

dikunjungi oleh keluaganya, membuatnya merasa sangat

diperhatikan dan disayang. Hal ini, sesuai dengan pernyataan

Berman, 2001 (dalam Feldman, 2004) bahwa dukungan keluarga

diketahui memiliki peranan yang saling berhubungan seperti

adanya perhatian yang dapat menurunkan pengalaman stres yang

dialaminya dan mendapatkan kesehatan yang lebih baik. Dukungan

yang diterima seseorang dari keluarga dapat mencegah

berkembangnya masalah akibat tekanan yang dihadapi. Seseorang

yang mendapatkan dukungan dari keluarga akan lebih mampu


80

untuk menghadapi dan mengatasi masalahnya dibandingkan orang

yang tidak mendapatkan dukungan dari keluarganya. Dukungan

keluarga tinggi dapat menurunkan stres pada penderita diabetes

mellitus tipe II dalam melakukan perubahan pola hidup, diet dan

mengatasi masalah yang dihadapinya. Sedangkan penderita

diabetes yang memilki dukungan keluarga yang rendah akan

memiliki stres yang tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Triyanto

(2009) menunjukkan bahwa dukungan suami dapat mengurangi

tingkat stres istri yang menderita kista ovarium di Purwokerto. Hasil

penelitian menyimpulkan bahwa dengan adanya dukungan yang

diberi suami baik dukungan emosional, instrumental maupun

dukungan informasi dapat mengurangi stres pada istri yang

menderita kista ovarium. Hal ini sesuai dengan kajian psikologi

kesehatan (dalam Taylor, 2009) yang menunjukkan bahwa

dukungan yang berasal dari lingkungan sosial ataupun keluarga

dapat meredam efek dari stres, membantu individu mengatasi stres

dan mendapatkan kesehatan yang lebih baik.

Posisi saat latihan juga menjadi faktor dalam pencapaian

perasaan rileks selama latihan. Menurut (Hamarno, 2010) latihan

relaksasi otot progresif dapat dilakukan dengan posisi duduk

ataupun tidur. Dalam penelitian ini, peneliti membagi posisi saat

latihan mencakup posisi duduk tegak, setengah duduk dan posisi

tidur. Adapun data dari hasil penelitian ini, menunjukkan bahwa

posisi saat latihan yang banyak dipilih oleh responden yaitu posisi
81

duduk tegak sebanyak 9 orang (45%) dengan nilai stres rata-rata

sebelum intervensi menurun dari 17,33 menjadi 10,55 dengan

penurunan nilai stres rata-rata sebesar 6,7, posisi tidur sebanyak 8

orang (40%) dengan nilai stres rata-rata sebelum intervensi

menurun dari 22,63 menjadi 15,25 dengan penuruan nilai stres

rata-rata sebesar 7,8 dan posisi setengah duduk dengan nilai stres

rata-rata sebelum intervensi menurun dari 23 menjadi 16,33

dengan penurunan nilai stres rata-rata sebesar 5,6. Posisi yang

dipilih responden adalah posisi yang dianggap nyaman dan mampu

dilakukan oleh pasien, sehingga pasien dapat melakukan relaksasi

otot progresif dengan nyaman. Karena relaksasi otot progresif

merupakan salah satu bentuk mind-body therapi yaitu terapi pikiran

dan otot-otot (Richmond, 2007 dalam Mashudi, 2012). Sehingga,

perasaan nyaman dengan posisi selama melakukan latihan akan

menjadi salah satu faktor pendukung dalam fokus pemusatan

pikiran pasien pada saat latihan relaksasi otot progresif dilakukan.

C. Pengaruh Relaksasi Otot Progresif Terhadap Stres Pasien

Diabetes Melitus Tipe 2

Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan p=0,000

(α<0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang

signifikan relaksasi otot progresif terhadap stres pasien Diabetes

Melitus tipe 2 di Ruang rawat inap RSUD Provinsi NTB.

Penelitian dari (Maghfira, S., dkk, 2015 ) yang dilakukan

selama 3 minggu di Poli Penyakit Dalam RSUD Dr. Harjono


82

Ponorogo, pada 30 responden yang terdiri dari 14 orang kelompok

perlakuan dan 16 orang kelompok kontrol dengan menggunakan uji

Wicoxon Signed Rank Test didapatkan hasil stres psikologis

p=0,014 (p < α=0,05) dan uji Mann-Whitney U Test pada kelompok

perlakuan diperoleh hasil p=0,003 (p< α=0,05). Kesimpulan dari

penelitian ini adalah ada pengaruh relaksasi otot progresif terhadap

stres psikologis pasien DM tipe 2.

Beberapa penelitian lain yang terkait dengan relaksasi otot

progresif, telah menunjukkan manfaat dalam mengatasi berbagai

masalah kesehatan terutama mengurangi ansietas atau

kecemasan, dan berkurangnya kecemasan ini mempengaruhi

berbagai gejala psikologis dan kondisi medis. Yildirim & Fadiloglu

(2006) dari hasil penelitiannya menyebutkan bahwa relaksasi otot

progresif menurunkan kecemasan dan meningkatkan kualitas hidup

pasien yang menjalani dialisis. Penelitian yang dilakukan oleh

Sheu, et al, (2003) memperlihatkan bahwa relaksasi otot progresif

menurunkan rata-rata tekanan darah sistolik dan diastolik pada

pasien hipertensi di Taiwan. Maryani (2008), menyebutkan

relaksasi otot progresif mengurangi kecemasan yang berimplikasi

pada penurunan mual dan muntah pada pasien yang menjalani

kemoterapi. Haryati (2009), menyebutkan bahwa relaksasi otot

progresif meningkatkan status fungsional pasien kanker dengan

kemoterapi di RS. Dr Wahidin Sudirohusodo. Selanjutnya relaksasi

otot progresif efektif menurunkan tekanan darah pada pasien

hipertensi primer di Kota Malang (Hamarno, 2010).


83

Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti berpendapat bahwa

relaksasi otot progresif dapat diterapkan sebagai asuhan

keperawatan mandiri untuk mengatasi stres pada pasien DM tipe 2

yang menjalani rawat inap di Rumah Sakit, sebagai bentuk upaya

dalam proses adapatasi pasien terhadap sumber-sumber stresor

yang menimbulkan stres yang dapat mempengaruh kontrol gula

darah pasien, prsoses penyembuhan dan munculnya komplikasi-

komplikasi lanjut dari penyakit DM tipe 2.

Relaksasi otot progresif ini mengarahkan perhatian pasien

untuk membedakan perasaan yang dialami saat kelompok otot

dilemaskan dan dibandingkan dengan ketika otot dalam kondisi

tegang, dengan demikian diharapkan dapat meningkatkan

kemampuan pasien dalam mengelola stres yang dialaminya.

Kemampuan mengelola stres ini akan berdampak pada kestabilan

emosi pasien sehingga komplikasi risiko dapat dikurangi atau

dicegah.

Sesuai dengan pernyataan (Moyad & Hawks, 2009 dalam

Mashudi, 2011) menyatakan bahwa relaksasi merupakan salah

satu bentuk mind body therapy dalam terapi komplementer dan

alternatif (Complementary and Alternative Therapy (CAM). Terapi

komplementer adalah pengobatan tradisional yang sudah diakui

dan dapat dipakai sebagai pendamping terapi konvensional/medis.

Pelaksanaannya dapat dilakukan bersamaan dengan terapi medis.

Relaksasi merupakan salah satu teknik pengelolaan diri yang

didasarkan pada cara kerja sistem saraf simpatetis dan

parasimpatetis (Triyanto, 2014).

Anda mungkin juga menyukai