Anda di halaman 1dari 2

Kartu Tanda Penduduk (KTP) adalah identitas resmi seorang penduduk sebagai bukti diri yang

diterbitkan oleh instansi pelaksana yang berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kartu ini wajib dimiliki Warga Negara Indonesia (WNI) dan Warga Negara Asing (WNA) yang memiliki Izin
Tinggal Tetap (ITAP) yang sudah berumur 17 tahun atau sudah pernah kawin atau telah kawin. Saat ini
KTP berlaku seumur hidup.

Akan tetapi pada tahun 2011 terjadi kasus korupsi E-KTP dimana terjadi kejanggalan yang terjadi
sejak proses lelang tender proyek e-KTP membuat berbagai pihak menaruh kecurigaan terjadinya
korupsi.

Kasus korupsi e-KTP bermula dari rencana Kementerian Dalam Negeri RI dalam pembuatan e-
KTP. Sejak 2006 Kemendagri telah menyiapkan dana sekitar Rp 6 triliun yang digunakan untuk proyek e-
KTP dan program Nomor Induk Kependudukan (NIK) nasional dan dana senilai Rp 258 milyar untuk biaya
pemutakhiran data kependudukan untuk pembuatan e-KTP berbasis NIK pada 2010 untuk seluruh
kabupaten/kota se-Indonesia. Pada 2011 pengadaan e-KTP ditargetkan untuk 6,7 juta penduduk
sedangkan pada 2012 ditargetkan untuk sekitar 200 juta penduduk Indonesia.

Belum sampai perekaman dilakukan di berbagai kabupaten dan kota, pihak kepolisian
mengabarkan bahwa mereka mencurigai terjadinya korupsi pada proyek e-KTP. Kecurigaan itu
berangkat dari laporan konsorsium yang kalah tender yang menyatakan bahwa terjadinya
ketidaksesuaian prosedur yang dilakukan oleh panitia saat lelang tender berlangsung. Kecurigaan bahwa
adanya praktek korupsi pada proyek e-KTP juga dirasakan oleh Government Watch (GOWA) yang
berbuntut pada laporan kepada KPK pada 23 Agustus 2011. Mereka berspekulasi bahwa telah terjadi
upaya pemenangan terhadap satu konsorsium perusahaan dalam proses lelang tender berdasarkan
investigasi yang telah dilakukan sejak Maret hingga Agustus 2011. Dari hasil investigasi tersebut mereka
mendapatkan petunjuk berupa dugaan terjadinya kolusi pada proses lelang oleh Direktorat Jenderal
Kependudukan dan Pencatatan Sipil dan menemukan fakta bahwa telah terjadi 11 penyimpangan,
pelanggaran dan kejanggalan kasat mata dalam pengadaan lelang.

Setelah menyelidiki kasus lebih lanjut, pada Selasa, 22 April 2014 KPK akhirnya menetapkan
Sugiharto, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil pada
Kementerian Dalam Negeri sebagai tersangka pertama dalam kasus korupsi e-KTP. Sugiharto diduga
melakukan penyalahgunaan wewenang dan melakukan suap pada proyek e-KTP di DPR untuk tahun
anggaran 2011-2013, melanggar Pasal 2 Ayat 1 subsider Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP. Ia juga diperkaya dengan uang
senilai 450.000 dollar AS dan Rp 460 juta. Untuk mengusut kasus ini lebih dalam KPK kemudian
melanjutkan pemenuhan berkas-berkas dengan memeriksa berbagai saksi terkait kasus e-KTP di
Kementerian Dalam Negeri pada 25 April 2014. Beberapa di antaranya adalah Drajat Wisnu Setyawan,
Pringgo Hadi Tjahyono, Husni Fahmi, dan Suciati. Sugiharto pun tak luput dari pemeriksaan oleh KPK
pada 14 Juli 2014 dan 18 Mei 2015. Pada waktu bersamaan KPK juga memeriksa para pegawai
Kemendagri dan pihak swasta seperti Pamuji Dirgantara, karyawan Misuko Elektronik dan Andreas
Karsono, karyawan PT Solid Arta Global sebagai saksi.

Pada Senin, 17 Juli 2017 KPK menetapkan Setya Novanto yang kala itu menjabat sebagai Ketua
Fraksi Partai Golkar di DPR sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan e-KTP untuk 2011-2012.
Penetapannya menjadikan ia sebagai tersangka keempat yang ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka
setelah Irman, Sugiharto dan Andi Narogong. Setya Novanto diduga melakukan penyalahgunaan
wewenang dan tindakan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi dengan ikut
mengambil andil dalam pengaturan anggaran proyek e-KTP sebesar Rp 5,9 triliun sehingga merugikan
negara hingga Rp 2,3 triliun. Hal ini sesuai dengan pernyataan Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tipikor.
Tindakan Setya Novanto disangkakan berdasarkan Pasal 3 atau Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Kamis (29/03), jaksa menilai Setya Novanto memiliki peran penting dalam
skandal korupsi yang merugikan negara sebesar Rp 2,3 triliun itu. Dia dituding melakukan korupsi
bersama sembilan orang lainnya.Maka dari itu, jaksa menuntut majelis hakim untuk menyatakan Setya
Novanto bersalah dalam perkara korupsi KTP elektronik itu, dan "menjatuhkan hukuman kurungan
selama 16 tahun dan denda sebesar Rp 1miliar, yang apabila tidak dibayar diganti kurungan selama 6
bulan," ujar jaksa Abdul Basir. Jaksa menuntut pula hukuman tambahan berupa uang pengganti US$7,3
juta yang dikurangi oleh uang yang sudah dikembalikan terdakwa sebesar Rp 5 miliar rupiah. Selain itu,
jaksa pula menuntut Setya Novanto untuk dicabut hak politiknya selama 5 tahun.

Anda mungkin juga menyukai