Ramacandra Rakhmatullah
Identitas
Nama : Tn. A
Umur : 59 Tahun
Berat / Tinggi Badan : 50 kg / 155cm
PBW / BMI : 52,4 kg / 20,8 kg/m2
Tanggal MRS : 19 Maret 2019; 16.50 WIB
Tanggal Masuk ICU : 21 Maret 2019; 15.00 WIB
Tanggal keluar ICU : 24 Maret 2019; 09.30 WIB
No RM : 0001752***
Laporan Kasus
Pasien rujukan dari RSUD Majalaya Bandung (RSMB) datang ke IGD RSUP Hasan Sadikin.
17.59 WIB
Secondary Survey
S:
Pasien rujukan RSMB dengan penurunan kesadaran.
Heteroanamnesis
Keluhan utama: penurunan kesadaran
Penurunan kesadaran sejak 1 hari SMRS. Penurunan kesadaran disertai dengan laju
nafas yang cepat. Pasien juga merasakan demam sejak dua hari SMRS, demam dirasakan
hilang timbul, membaik setelah minum obat penurun panas. Pasien juga mengeluhkan nyeri
perut terutama di ulu hati, hilang timbul sejak tujuh hari SMRS. Nyeri perut disertai dengan
mual dan muntah, dirasakan terutama setelah makan. Sebelum mengalami penurunan
kesadaran pasien mengeluhkan nyeri perut memberat dan terasa terus menerus di seluruh
lapang perut. Pasien dirawat di RSMB sejak 5 hari sebelumnya dengan diagnosis dyspepsia +
GEA + syok hipovolemik. Riwayat terapi di RSMB tidak ada data, tidak masuk ruang
intensif, tidak ada tindakan operatif. Pasien dirujuk ke RSUP Hasan Sadikin karena
penurunan kesadaran.
Riwayat penyakit Dahulu
• Pasien sering mengkonsumsi obat maag
• Riwayat mengkonsumsi jamu jamuan dan obat anti nyeri tidak ada
• Riwayat Asma tidak ada
• Riwayat Hipertensi tidak ada
• Riwayat DM, ginjal tidak ada
• Riwayat penyakit jantung tidak ada
O:
Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum: tampak sakit berat
SSP : DPO Midazolam 3mg/jam
Kepala/leher : Konjunctiva anemi -/-, pupil isokor 3/3mm, RC +/+
Paru : ETT 7,5 fiksasi 22cm. P-SIMV frek 12 PS 10 PEEP 5 FiO2 80-60%
(intubasi dengan Midazolam 2,5mg, Fentanyl 50mcg, Atrakurium 20mg)
Aktual: frek 18-24x/menit, TV 390-510mL, SpO2 99%, reflek batuk (+), sekret (-),
simetris, sonor, kanan~kiri, vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung : TDS 90-127mmHg, TDD 53-70mmHg; Norephinefrin 0,1 mcg/kgBB/menit
Nadi 90-110x/menit, MAP 65-89 mmHg
S1-S2 tunggal, reguler, murmur -, gallop -
Abdomen : cembung, tegang, defence muscular (+), H/L sulit dinilai, peristaltik (+),
NGT residu +, BAB (-)
Ginjal : Produksi urin 0mL
Ekstremitas : Capillary Refil < 2”, Akral hangat, perfusi perifer baik, sianosis (-), edema (-),
Suhu 36,6-37oC
Pemeriksaan penunjang
Laboratorium :
Hb : 9,8 Alb : 1,52 Na : 164 AGD (FiO2 80%)
Hmt :29,8 Ureum: 276,7 K : 5,1 PH : 7.541
Lekosit : 20.050 Cre : 3,95 Cl : 119 PaCO2 : 23,4
Trombosit : GOT : 58 Laktat : 4,1 PaO2 : 321,8
230.000 GPT : 28 PT : 10,1 HCO3 : 20,2
GDS: 116 APTT : 17,9 BE : -1,1
INR: 1,49 SO2 : 98,6%
EKG : Irama sinus, HR 126x/menit
Rontgen Thorax :
Thorax AP
20.15WIB
A:
Gagal nafas, Syok septik ec Peritonitis difus ec susp perforasi gaster, Acute Kidney Injury,
Imbalance elektrolit
P:
RL 100mL/jam
Midazolam 3mg/jam
Kultur darah, pasang CVC
Source control:
- Antibiotik Ceftriaxon 1x2gram iv (E1)
- Metronidazol 3x500mg iv (E1)
- Laparotomi eksplorasi cito
Omeprazol 2x40mg iv
18.30 WIB
Dilakukan pemasangan CVC
CVP terukur 12cmH2O
AGD Vena sentral: 7,504 / 34,7 / 25,9 / 20,6 / -0,9 / 69,4%
Laktat 3,2, Ur / Cr 275,7 / 3,91
20.15 WIB
Informed consent rencana laparotomi eksplorasi cito, keluarga menolak tindakan karena
alasan biaya, keluarga menyatakan sedang mengurus SKTM
Rencana source control abdominal drain (biaya lebih terjangkau)
A:
Syok septik ec Peritonitis difus ec susp perforasi gaster, Acute Kidney Injury, Imbalance
elektrolit
P:
RL 100mL/jam
Midazolam 3mg/jam
Source control:
- Antibiotik Ceftriaxon 1x2gram iv (E2)
- Metronidazol 3x500mg iv (E2)
- Laparotomi eksplorasi cito segera setelah keluarga menyelesaikan jaminan/asuransi
Omeprazol 2x40mg iv
P:
F : Enteral : Puasa
Parenteral : RL 2000mL/24 jam
A: Fentanyl 25mcg/jam
S : Midazolam 3mg/jam
T: -
H: Head up 30o
U: Omeprazol 2x40mg iv
G: Cek GD per 24 jam
B: Evaluasi produksi drain dan residu NGT
I : Evaluasi CVC di jugularis interna D, kemerahan -
D:
- Meropenem 3x1gram iv (E1)
- Metronidazole 3x500mg iv (E3)
Rontgen Thorax :
A:
Syok septik ec Peritonitis difus ec perforasi abses liver, Acute Kidney Injury
P:
F : Enteral : Puasa
Parenteral : RL 1.500mL/24jam
A: Fentanyl 25mcg/jam
S : Midazolam 2mg/jam
T: -
H: Head up 30o
U: Omeprazol 2x40mg iv
G: Cek GD per 24 jam
B: Evaluasi produksi drain dan residu NGT
I : Evaluasi CVC di jugularis interna D, kemerahan -
D:
- Meropenem 3x1gram iv (E2)
- Metronidazole 3x500mg iv (E4)
P:
F : Enteral : D5 20mL/jam
Parenteral : RL 1.500mL/24jam
A: Fentanyl 25mcg/jam
S: -
T: -
H: Head up 30o
U: Omeprazol 2x40mg iv
G: Cek GD per 24 jam
B: Evaluasi produksi drain dan residu NGT
I : Evaluasi CVC di jugularis interna D, kemerahan -
D:
- Meropenem 3x1gram iv (E3)
- Metronidazole 3x500mg iv (E5)
P:
F : Enteral : Diet cair 1.000kkal/24 jam masuk 800kkal
Parenteral : RL 1.500mL + D5 2.000mL/24jam (masuk D5 1.660mL)
FFP 420mL
A: Paracetamol 4x1g iv
S: -
T: -
H: Head up 30o
U: Omeprazol 2x40mg iv
G: Cek GD per 24 jam
B: Evaluasi produksi drain dan residu NGT
I : Evaluasi CVC di jugularis interna D, kemerahan -
D:
- Meropenem 3x1gram iv (E4)
- Metronidazole 3x500mg iv (E6)
A:
Syok septik ec Peritonitis difus ec perforasi abses liver, Acute Kidney Injury
P:
F : Enteral : Diet cair 1.500kkal full
Parenteral : RL 500mL
A: Paracetamol 4x1g iv
S: -
T: -
H: Head up 30o
U: Omeprazol 2x40mg iv
G: Cek GD per 24 jam
B: Evaluasi produksi drain dan residu NGT
I : Evaluasi CVC di jugularis interna D, kemerahan -
D:
- Meropenem 3x1gram iv (E6)
Pindah ruangan
BAB IV
PEMBAHASAN
SEPSIS
Sepsis adalah disfungsi organ yang mengancam jiwa akibat disregulasi respons tubuh
terhadap infeksi. Sedangkan syok septik adalah bagian dari sepsis dimana terjadi
abnormalitas sirkulasi dan metabolisme seluler yang dapat meningkatkan mortalitas. Ketika
mendapatkan pasien infeksi perlu dilakukan skrining kemungkinan terjadinya sepsis.
Skrining ini bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja. Metodenya dengan quick SOFA
(qSOFA). Skoring ini dirasa kuat dan lebih sederhana serta tidak memerlukan pemeriksaan
laboratorium. 1,12,14
Kriteria qSOFA: 1,12
Laju Pernapasan ≥ 22 kali/menit
Perubahan kesadaran (Skor Glasgow Coma Scale ≤13)
Tekanan darah sistolik ≤100mmHg
Skor qSOFA dinyatakan positif apabila terdapat 2 dari 3 kriteria di atas. Skor ini
dapat digunakan dengan cepat oleh klinisi untuk mengetahui adanya disfungsi organ, untuk
menginisiasi terapi yang tepat, dan sebagai bahan pertimbangan untuk merujuk ke tempat
perawatan kritis atau meningkatkan pengawasan. Skor qSOFA pada pasien positif karena saat
datang di IGD didapatkan kondisi tekanan darah pasien 64/…(< 100mmHg), laju nafas 32-
34x/menit (>22 x/menit), serta pasien dalam kondisi somnolen (penurunan kesadaran). Jika
qSOFA positif selanjutnya akan dilakukan skoring dengan metode SOFA. 12, 14
Se
psis dapat diketahui dengan menggunakan skor Sequential (Sepsis-Related) Organ
Failure Assessment (SOFA). Skor SOFA (Tabel 1) dirasa lebih mudah untuk dimengerti dan
sederhana. Apabila pasien yang mengalami infeksi didapatkan Skor SOFA ≥ 2 maka sudah
tegak diagnosis sepsis.1, 2 Sejak awal, sesaat setelah diketahui pasien dengan qSOFA positif,
dilakukan resusitasi awal mulai dari airway, breathing, dan circulation, dilaksanakan seiring
dengan guideline resusitasi sesuai SSC update 2018, one hour bundle:
Faktor Risiko
- Usia tua (>70 tahun) 2
- Immunosuppression ( kortikosteroid, chemotherapy dll) 3
Kondisi klinis
- Sepsis (acute organ dysfunction) 3
- Syok sepsis(mendapat vassopressor) 5
- Healthecare-associated infection 2
Lokasi dari IAI
- Colon (non diverticular) perforation paritonitis 2
- Small Intenstine perforation perotonitis 3
- Post operatif diffused peritoni 2
Delayed Source Control
Durasi preoperative peritonistis > 24 jam 3
Pemberian antibiotik dimulai sesegera mungkin setelah pengambilan darah untuk
kultur. Pasien diberi antibiotik pada hari pertama didasarkan atas terapi infeksi intra abdomen
berdasarkan IDSA guideline. Initial terapi antibiotik pada infeksi intra abdominal bisa
diberikan dengan single atau multiple berdasarkan pada kondisi klinis dan derajat dari
infeksi. Derajat keparahan untuk menetukan berat ringannya infeksi bisa dinilai berdasarkan
WSES Sepsis Severity Score. Pada pasien ini digunakan antibiotic broad spectrum
ceftriaxone dan metronidazole. Setelah mengetahui bahwa sumber infeksi adalah abses liver,
ceftriaxone diganti menjadi meropenem, dan metronidazole tetap dilanjutkan.8
Pada pasien juga terjadi imbalance elektrolit, kadar natrium naik s.d. 164. Karena
kondisi hipovolemik hipernatremi, maka tidak dilakukan koreksi, tetapi melakukan resusitasi
cairan untuk memperbaiki kondisi hipovolemiknya, dan terbukti bahwa tanpa koreksi,
Natrium kembali normal dengan sendirinya.
Pada pasien terjadi AKI. Salah satu organ yang paling awal mengalami gangguan
adalah ginjal yang dapat dinilai dari produksi urin yang berkurang atau bahkan nihil, kondisi
yang dikenal dengan gagal ginjal akut atau Acute Kidney Injury (AKI). Pemahaman akan
patogenesis terjadinya AKI pada sepsis adalah akibat yang komplek, berupa hipotensi
sistemik karena penurunan volume intravasculer, menyebabkan vasokonstriksi pembuluh
darah ginjal termasuk termasuk splanik, sehingga menurunkan aliran darah ginjal, pelepasan
sitokin dan aktivasi neutrofil oleh endotoksin dan petida lainnya yang berkontribusi terjadi
gagal ginjal akut. Terjadinya AKI sebagai akibat dari hipoperfusi ginjal melibatkan 20%
pasien sepsis dengan angka mortalitas mencapai 74,5% dan sepsis menjadi penyebab utama
AKI.3 AKI yang terjadi termasuk kriteria RIFLE: Failure dan AKIN stage 2 yang mengalami
perbaikan seiring dengan perbaikan perfusi jaringan dan dilakukannya source control. Akan
tetapi terjadi balance positif dari urin pada hari ke 0, 1, dan 2 sampai dengan (+) 1712 mL/24
jam. Tatalaksana cairan yang tepat pada sepsis dan syok sepsis menjadi perhatian lebih
terutama balans cairan positif. Selain dari parameter umur, balance cairan positif merupakan
faktor prognostik yang kuat dari kematian pada pasien sepsis. Malbrain et al mengenalkan
konsep ROSE (Resusitasi, Optimalisasi, Stabilisasi, Evakuasi) sebagai fase yang akan
dialami selama sepsis berlangsung, dimana pada fase evakuasi terjadi peningkatan
permeabilitas sel dan terjadi edema sehingga perlu dilakukan de-resusitasi. Fase evakuasi
merupakan tahapan yang terjadi setelah kondisi stabil tercapai. Pada fase ini ancaman
akumulasi cairan interstitial yang terus berlangsung akibat kebocoran kapiler sehingga perlu
dilakukan de-resusitasi.6 Pada pasien ini dapat dilakukan de-resusitasi cairan meski tanpa
pemberian diuretik furosemid. Karena pada hari kedua pasca operasi, terjadi diuresis s.d. 1,38
mL/kg/jam pada pasien dan balance cairan menjadi negatif, serum creatinine juga menurun
dengan sendirinya s.d. normal. Hal ini terjadi karena terjadi perbaikan perfusi, hilangnya
faktor-faktor inflamasi yang merusak ginjal. Resusitasi dan source control yang cepat dan
tepat berhubungan dengan perbaikan outcome/ luaran.
BAB V
KESIMPULAN