Anda di halaman 1dari 7

REFORMASI KEMERDEKAAN DI INDONESIA

ADITA ALIFVIA SALSABILLA ADHA


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH
IBTIDAIYAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BENGKULU

Email : aditaalivia19@gmail.com

Abstrak :
Periode ini dikenal sebagai periode Reformasi. Berbagai aspek pendidikan senantiasa
mengandung unsur-unsur politik, begitu juga sebaliknya, setiap aktivitas politik ada kaitannya
dengan aspek-aspek kependidikan. Kebijakan pendidikan pada masa Orde Baru diarahkan pada
penyeragaman di dalam berpikir dan bertindak. Pendidikan di era reformasi 1999 mengubah
wajah sistem pendidikan Indonesia melalui UU No 22 tahun 1999, dengan ini pendidikan
menjadi sektor pembangunan yang didesentralisasikan. Pemecahan masalah politik dan ekonomi
yang paling diperhatikan oleh pemerintah, dan menyebabkan sektor lain seperti pendidikan
kurang mendapat perhatian yang serius pada masa awal Reformasi. Perubahan politik dari Orde
Baru menjadi Reformasi banyak mengubah tatanan negara Indonesia.

Kata kunci : Masa Reformasi

Pendahuluan :
Masa reformasi atau masa transisi ini terbuka peluang untuk menata kehidupan
berdemokrasi. Masa ini dimulai dari kepemimpin BJ Habibie sebagai presiden menggantikan
Soeharto yang mengundurkan diri. Pada masa ini, Habibie membuat reformasi besar-besaran di
sistem pemerintahan. Sistem yang dijalankannya itu lebih terbuka dan demokrasi lebih
ditonjolkan.

Indonesia saat ini ditandai oleh kedaulatan rakyat termanifestasi dalam pemilihan
parlemen dan presiden setiap lima tahun. Sejak berakhirnya Orde Baru yang dipimpin presiden
Suharto dan mulainya periode Reformasi, setiap pemilu di Indonesia dianggap bebas dan adil.
Namun, Indonesia belum bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme maupun 'politik uang' di mana
orang bisa membeli kekuasaan atau posisi politik. Misalnya, segmen miskin dari masyarakat
Indonesia 'didorong' untuk memilih calon presiden tertentu pada hari pemilihan dengan
menerima uang kecil di dekat kotak suara. Strategi seperti ini masih tetap dilakukan, bahkan
digunakan oleh semua pihak politik yang terlibat (dan ini sebenarnya berarti race-nya lumayan
adil maka berbeda dengan pemilu era Orde Baru).
Salah satu hasil reformasi adalah makin tumbuh dan berkembangnya bisnis media di
Indonesia. Terdapatkecenderungan saat ini banyak sekali pemberitaan-pemberitaan di media
massa yang tidaksesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Penguasa media,
yangberkolaborasi dengan aktor-aktor politik dan ekonomi pasar menyebabkan publik
tidakberdaya menghadapi serbuan media. Berangkat dari fenomena tersebut, muncul
pertanyaanyang perlu dijawab, bagaimanakah perkembangan kebebasan pers saat ini setelah 14
tahunreformasi ditinjau dari perspektif ekonomi politik yang dapat dibagi dalam dua bagian,
yaitupendekatan ekonomi politik liberal (sebagar mainstream) dan pendekatan ekonomi
politikkritis. Dalam pendekatan liberal, aspek ekonomi dilihat sebagai bagian dari kerja dan
praktekprofesional. Dalam pendekatan kritis, aspek ekonomi politik selalu dilihat dan
dimaknaisebagai kontrol.

Artikel ini membahas problematika kemerdekaan pers di Indonesia setelah14 tahun


reformasi yang meliputi sejumlah hal mulai dari rendahnya tingkat kesejahteraanwartawan;
iIndependensi media yang rentan; rendahnya profesionalisme pekerja mediahingga; struktur
media yang cenderung monopolistik.Reformasi di Indonesia telah berjalan selama 14 tahun, dan
salah satu hasilreformasi adalah makin tumbuh dan berkembangnya bisnis media di Indonesia.
Terdapatkecenderungan saat ini banyak sekali pemberitaan-pemberitaan di media massa yang
tidaksesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Penguasa media,
yangberkolaborasi dengan aktor-aktor politik dan ekonomi pasar menyebabkan publik
tidakberdaya menghadapi serbuan media.

Berangkat dari fenomena tersebut, muncul pertanyaanyang perlu dijawab, bagaimanakah


perkembangan kebebasan pers saat ini setelah 14 tahunreformasi ditinjau dari perspektif
ekonomi politik yang dapat dibagi dalam dua bagian, yaitupendekatan ekonomi politik liberal
(sebagar mainstream) dan pendekatan ekonomi politikkritis. Dalam pendekatan liberal, aspek
ekonomi dilihat sebagai bagian dari kerja dan praktekprofesional. Dalam pendekatan kritis,
aspek ekonomi politik selalu dilihat dan dimaknaisebagai kontrol. Artikel ini membahas
problematika kemerdekaan pers di Indonesia setelah14 tahun reformasi yang meliputi sejumlah
hal mulai dari rendahnya tingkat kesejahteraanwartawan; iIndependensi media yang rentan;
rendahnya profesionalisme pekerja mediahingga; struktur media yang cenderung monopolistik.

Pembahasan :
Pendidikan dan politik memiliki hubungan yang dinamis. Pendidikan dan politik
berhubungan erat dan saling memengaruhi. Berbagai aspek pendidikan senantiasa mengandung
unsur-unsur politik, begitu juga sebaliknya, setiap aktivitas politik ada kaitannya dengan aspek-
aspek kependidikan. Pada masa awal kemerdekaan, kebijakan pendidikan pada masa Orde Lama
ditujukan pada pendidikan sosialisme Indonesia. Kebijakan pendidikan pada masa Orde Baru
diarahkan pada penyeragaman di dalam berpikir dan bertindak. Pendidikan di era reformasi 1999
mengubah wajah sistem pendidikan Indonesia melalui UU No 22 tahun 1999, dengan ini
pendidikan menjadi sektor pembangunan yang didesentralisasikan. Untuk dapat memahami
berbagai persoalan pendidikan yang ada di tengah masyarakat tidak hanya diperlukan dasar
pengalaman dan pengetahuan pendidikan, tetapi juga diperlukan pengetahuan tentang aspek-
aspek dan konteks politik dari persoalan-persoalan kependidikan tersebut.

"Demokrasi" adalah sebuah kata yang begitu sering diucapkan. Namun, makin banyak ia
dibahas makin terasa betapa sulit mencari contoh tentang negara yang memenuhi tatanan
demokrasi secara sempurna. Di Indonesia, pencarian terhadap sosok demokrasi pun terus digelar,
baik pada aras praktik sistem politik maupun kajian akademik. Dalam aras akademik, sejumlah
makalah dikupas habis-habisan dalam berbagai seminar. Sementara itu, sejumlah buku, artikel
pidato para pakar dan politisi, telah pula diterbitkan dalam jurnal ilmiah, koran dan majalah.
Tetapi, berbeda dengan di negara-negara berkembang lainnya, semaraknya perbincangan tentang
sistem demokrasi di Indonesia bukan karena bangsa atau pemerintahan di negeri ini tidak
mengenal sistem demokrasi. Justru sebaliknya, bangsa Indonesia pada aras implementasi sistem
politik telah banyak memahami varian-varian demokrasi di dunia. Beberapa di antaranya bahkan
telah diujicobakan di negeri ini: demokrasi liberal, demokrasi parlementer, dan demokrasi
Pancasila. Namun berbagai varian demokrasi ini gagal memberikan tatanan kehidupan berbangsa
dan bernegara yang benar-benar berbasis pada nilai-nilai dan kaidah demokrasi dalam arti yang
sebenar-benarnya. Ketika era reformasi berkembang menyeruak dalam tatanan kehidupan politik
Indonesia, sebagian besar masyarakat berharap akan lahirnya tatanan dan sistem perpolitikan
yang benarbenar demokratis. Namun, setelah hampir lima tahun berjalan, praktik-praktik politik
dan kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis belum menampakkan arah yang sesuai
dengan kehendak reformasi.

Demokrasi pun kemudian dipertanyakan dan digugat ketika sejumlah praktik politik yang
mengatasnamakan demokrasi seringkali justru menunjukkan paradoks dan ironi. Gugatan
terhadap demokrasi ini sesungguhnya memiliki relevansi yang kuat dalam akar sejarah dan
sosiologi politik bangsa Indonesia. Dalam konteks itulah, tulisan ini hendak melihat bagaimana
perjalanan demokrasi di negeri ini, yang kemudian akan dianalisis guna membaca prospek
demokrasi Indonesia di masa depan dengan mengambil contoh kasus Pemilu dan Pilkada. Pada
masa reformasi, Aspinall (2004) mengatakan bahwa Indonesia sedang mengalami saat yang
demokratis. Inisiatif politik yang dimotori oleh Amien Rais mendorong reformasi terus bergulir.
Reformasi yang gegap gempita tersebut memberikan secercah harapan akan munculnya tata
kehidupan yang benar-benar demokratis, yang ditandai dengan booming munculnya banyak
parpol baru, kebebasan berserikat, kemerdekaan berpendapat, kebebasan pers, dan sebagainya,
yang merupakan ciri-ciri demokrasi.

Muncul tuntutan-tuntutan terhadap reformasi politik karena adanya optimisme perbaikan


implementasi demokrasi. Ada tiga alasan munculnya optimisme semacam ini (Aspinall, 2004),
yaitu: (1) Meluasnya antusiasme terhadap reformasi; (2) Kedalaman krisis ekonomi yang
dipercaya berakar pada korupsi dan kurangnya pertanggung jawaban yang meresapi sistem
politik, sehingga reformasi demokratis diyakini merupakan solusi; (3) Perpecahan di kalangan
elite politik yang berkuasa. Namun, di balik dinamika reformasi yang penuh akselerasi tinggi,
nampaknya masih belum banyak kekuatan-kekuatan sosial politik yang benar-benar memiliki
kesungguhan untuk menggelindingkan demokrasi. Sekalipun berbagai pranata bangunan
demokrasi kini telah terbentuk, namun di sana sini paradoks demokrasi masih banyak dijumpai.
Demokrasi yang dibangun dan dipahami lebih mengacu pada demokrasi yang bersifat prosedural
kelembagaan ketimbang demokrasi yang mengacu pada tata nilai. Menurut Suharso (2002)
setidaknya tercatat berbagai paradoks demokrasi yang patut dikritisi saat ini. Pertama,
berkembangnya kekerasan politik, anarki, radikalisme, percekcokan massal yang sering
dilanjutkan dengan adu fisik secara kolektif, pemaksaan kehendak, dan berbagai perilaku
menyimpang lainnya yang justru mencerminkan perilaku anti demokrasi. Politik zero sum game
(dan bukan win-win) dalam rangka menenggelamkan lawan politik menjadi praktek-praktek
lazim yang menumbuhkan rasa takut untuk berbeda. Tumbuh ketakutan politik diam-diam di
berbagai kalangan masyarakat, termasuk mereka yang kritis, hanya karena merasa berbeda
dengan kekuatan politik yang ada.

Demokrasi nyaris tidak menjadi sebuah alam pikiran dan kearifan untuk toleran terhadap
perbedaan. Gejala monopoli untuk menang sendiri mulai marak, bahkan sampai ke bentuk fisik,
dengan menggunakan simbul-simbul milik partai, kendati harus memakai berbagai fasilitas
publik. Kedua, berkembangnya konspirasi politik yang sangat pragmatis dengan mereka yang
dulu anti demokrasi, yang diwarnai dengan semangat kental hanya sekedar demi meraih
kemenangan Pemilu tanpa menunjukkan komitmen serius dalam mengagendakan demokrasi.
Ketiga, demokrasi mulai dimasukkan hanya sekedar sebagai retorika politik ketimbang sebagai
sebuah agenda politik. Ketika keseragaman pada Orde Baru dihujat habis-habisan, kini sebagian
kekuatan demokratik berargumentasi bahwa demokrasi tidak harus selalu berisi perbedaan tetapi
juga kesamaan. Ketika pilihan tunggal ala Orde Lama digugat, kini juga tumbuh retorika bahwa
pilihan tunggal itu juga demokratik. Kesan yang tumbuh ialah bahwa demokrasi bukan lagi
sebagai idealisme dan agenda yang harus diperjuangkan untuk mencerahkan kehidupan
berbangsa dan bernegara, tetapi lebih sebagai alat dan isu untuk meraih kekuasaan. Keempat,
ketika kultus individu yang diperagakan oleh rezim Soeharto dengan berbagai simbolnya dihujat
keras untuk dihabisi, kini sebagian masyarakat politik malahan memperagakan simbolisasi-
simbolisasi figur kepemimpinan yang membawa warna kultus individu dalam bentuk lain.
Simbol-simbol budaya politik Orde Baru bahkan mulai dibangkitkan kembali, seakan merupakan
potret kehidupan politik yang benar.

Berbagai upaya untuk membangun sentralisasi otoritas dengan mobilisasi simbolsimbol


kharisma politik mulai dilakukan, dalam rangka memberikan kesan bahwa telah lahir sebuah
potensi kepemimpinan baru yang sangat layak untuk memimpin Indonesia ke depan. Tidak jadi
soal apakah kharisma politik itu nyata atau semu, yang penting ada pesona yang ditawarkan
sebagai sebuah komoditas politik. Sejumlah ironi atau paradoks demokrasi yang muncul di
permukaan era reformasi ini menunjukkan, betapa terjal jalan yang harus ditempuh oleh bangsa
ini menuju demokrasi yang sesungguhnya. Bahwa, ternyata tidak mudah untuk mewujudkan
demokrasi secara jujur, jernih dan bertanggung jawab, baik pada tingkat alam pikiran maupun
lebih-lebih sebagai politik yang tersistem. Perjuangan demokrasi akhirnya harus berhadapan
dengan godaan-godaan kekuasaan di tengah sejumlah jerat politik yang sebenarnya adalah anti
demokrasi.

Sebagai negara dan bangsa yang terus terhubung dengan bangsa-bangsa yang lain, negara
Indonesia tidak mungkin melepaskan dari perkembangan global. Begitu pun halnya dalam
bidang pendidikan, termasuk dalam pendidikan pancasila dan kewarganegaraan. Standar Isi mata
pelajaran pendidikan pancasila dan kewarganegaraan, tidak terlepas dari adanya kecenderungan-
kecenderungan global dalam pendidikan pancasila dan kewarganegaraan.

Pemecahan masalah politik dan ekonomi yang paling diperhatikan oleh pemerintah, dan
menyebabkan sektor lain seperti pendidikan kurang mendapat perhatian yang serius pada masa
awal Reformasi. Perubahan politik dari Orde Baru menjadi Reformasi banyak mengubah tatanan
negara Indonesia, misalnya dalam pendidikan khususnya materi pembelajaran sejarah. Buku-
buku sejarah yang diterbitkan masa orde baru banyak “dicurigai” oleh kalangan akademisi
Reformasi sebagai karya “pesanan” dan pembenaran politik Soeharto.
Walaupun tidak semua karya sejarah sebagai “justifikasi” politik atau terkontaminasi
pembenaran rezim orde baru, tetapi penulisan sejarah yang cenderung “seragam” membuat
akademisi curiga dengan karya-karya sejarah yang terbit masa orde baru. Oleh karena itu,
sejarawan masa Reformasi menerbitkan IDAS (Indonesia Dalam Arus Sejarah) untuk referensi
yang lebih beragam dari SNI (Sejarah Nasional Indonesia) .
Perubahan arah dan penulisan sejarah masa Reformasi juga mempengaruhi materi sejarah
dalam kurikulum yang dikembangkan kepada peserta didik. Kurikulum 2004 sebagai kurikulum
pertama yang dicetuskan masa Reformasi juga dikenal sebagai Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK). Kurikulum ini diterapkan bukan sebagai upaya dalam memperbaiki kurikulum
sebelumnya, tetapi disebabkan oleh situasi dan kebutuhan masyarakat yang menuntut tersedianya
SDM yang unggul dan kompeten. Selama pelaksanaan uji coba kurikulum 2004, buku-buku
sejarah yang mengacu pada kurikulum tersebut dilarang oleh pemerintah melalui arahan menteri
Pendidikan nasional Bambang Sudibyo.
Pelarangan tersebut dinilai karena Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar pada mata
pelajaran sejarah dalam kurikulum 2004 tidak sepenuhnya mencatat fakta perjalanan bangsa
Indonesia.

Kesimpulan :
Setelah berada di bawah pemerintahan otoriter selama 30 tahun lebih, politik Indonesia
mengalami proses pembaruan untuk memberikan kekuatan lebih banyak kekuasaan dan politik
kepada masyarakat Indonesia. Periode ini dikenal sebagai periode Reformasi. Tak hanya ditandai
oleh perubahan struktural (seperti desentralisasi kekuasaan ke daerah dan pembatasan kekuasaan
presiden), tetapi juga ditandai oleh kesinambungan (misalnya korupsi, kemiskinan dan
pengelompokan modal di kalangan atas). Berbagai aspek pendidikan senantiasa mengandung
unsur-unsur politik, begitu juga sebaliknya, setiap aktivitas politik ada kaitannya dengan aspek-
aspek kependidikan. Kebijakan pendidikan pada masa Orde Baru diarahkan pada penyeragaman
di dalam berpikir dan bertindak. Pendidikan di era reformasi 1999 mengubah wajah sistem
pendidikan Indonesia melalui UU No 22 tahun 1999, dengan ini pendidikan menjadi sektor
pembangunan yang didesentralisasikan. Muncul tuntutan-tuntutan terhadap reformasi politik
karena adanya optimisme perbaikan implementasi demokrasi. Ada tiga alasan munculnya
optimisme semacam ini (Aspinall, 2004), yaitu: (1) Meluasnya antusiasme terhadap reformasi;
(2) Kedalaman krisis ekonomi yang dipercaya berakar pada korupsi dan kurangnya pertanggung
jawaban yang meresapi sistem politik, sehingga reformasi demokratis diyakini merupakan solusi;
(3) Perpecahan di kalangan elite politik yang berkuasa. Pemecahan masalah politik dan ekonomi
yang paling diperhatikan oleh pemerintah, dan menyebabkan sektor lain seperti pendidikan
kurang mendapat perhatian yang serius pada masa awal Reformasi. Perubahan politik dari Orde
Baru menjadi Reformasi banyak mengubah tatanan negara Indonesia.

Referensi

https://media.neliti.com/media/publications/73273-ID-demokrasi-indonesia-dari-masa-ke-
masa.pdf.

http://e-journal.unipma.ac.id/index.php/JA/article/view/879

Jurnal Administrasi Publik, Vol. 3, No.2, 2004

Sirozi, M. (2010). Politik pendidikan, dinamika hubungan antara kepentingan kekuasaan dan
praktek penyelenggaraan pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hlm: 25

Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan, Vol.2, No.2, Juli 2017 ISSN 2527-7057 (Online), ISSN
2545-2683 (Printed)

Almond, Gabriel. and Sydney Verba. 1963. The Civic Culture. Princeton: NJ. Princeton
University Press.

Apter, David. 1990. The Politics of Modernization. Chicago: University of Chicago Press.

Aspinall, Edward. 2000. "Bagaimana Peluang Demokratisasi?" dalam Edward Aspinall (eds).

Titik Tolak Reformasi: Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Yogyakarta: LkiS.

Bulkin, Farhan, Politik Orde Baru, Prisma, Vol.8, 1984

Feith, Herbert. 1971. The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Ithaca: Cornell
University Press.

Geertz, Clifford. 1980. Negara dan Penjaja. Jakarta: PT.Gramedia.

Gould, Charles. 1998. Demokrasi Ditinjau Kembali. Jakarta: PT.Gramedia.

Przeworski. 1991. The Democracy and Organization of Political Parties. London: McMillan.

Suharso. 2000. "Quo Vadis Demokrasi Indonesia" dalam Mahfud MD (eds), Wacana Politik,
Hukum dan Demokrasi.

Anda mungkin juga menyukai