Anda di halaman 1dari 10

MAKALA

ETIKA BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK


DOSEN PENGAMPUH:

DISUSUN OLEH :
NAMA:
ETIKA BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK

Abstrak: 

Etika birokrasi sangat penting untuk dipahami oleh aparatur birokrasi terhadap norma-norma
dalam organisasi. Dalam pelayanan publik etika birokrasi harus dapat memberikan harapan yang
dapat memuaskan masyarakat pengguna jasa layanan. Hal ini, sangat berhubungan dengan faktor
pengawasan, konsistensi aparat birokrasi, dan komunikasi yang efektif. Dalam arti berjalannya
mekanisme dengan baik, konsistennya aparat birokrasi dalam penegakkan aturan, dan adanya
komunikasi yang efektif akan dapat meningkatkan penerapan etika birokrasi dalam pelayanan
publik. nampak dari inkonsisten aparat birokrasi dalam penerapan aturan yang ditetapkan
organisasi, mekanisme kontrol belum berjalan dengan baik, dan komunikasi yang dilakukan
tidak efektif.  untuk etika birokrasi ini adalah meningkatkan etika pelayanan publik dengan
memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut;

1) Kesadaran aparat birokrasi dalam menerapkan etika pelayanan publik,

2) Konsistensi aparat birokrasi perlu adanya kesadaran diri sendiri untuk meningkatkan
semangat kerja yang baik yang akhirnya yang bermuara kepada perbaikan etika pelayana publik,

3) Komunikasi, dalam mensosialisasikan aturan yang telah dilaksanakan lewat mas media baik
cetak maupun elektronik perlu dilakukan dengan cara lain yaitu dengan jalan memasang atau
menempel ketentuan dan prosedur pelayanan di loket-loket pelayanan dan petugas memberikan
informasi yang jelas dan benar kepada pengguna jasa layanan,

4) Mekanisme kontrol, masyarakat diharapkan untuk berpartisipasi secara pro aktif ikut
memberikan kontrol sosial pada tindakan-tindakan aparat yang menyimpang dari aturan.
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di negara sedang berkembang seperti Indonesia, kesejahteraan masyarakat sangat tergantung


pada kemampuan mereka mendapat akses dan kemampuan untuk dapat menggunakan pelayanan
publik. Akan tetapi permintaan akan pelayanan tersebut biasanya jauh melebihi kemampuan
pemerintah untuk dapat memenuhinya. Hal ini dikarenakan pemusatan segala urusan publik
hanya kepada negara dan urusan pelayanan publik yang demikian kompleks mustahil dapat
diurus secara menyeluruh oleh institusi negara (sentralisasi). Oleh karena itulah kemudian
dicetuskan ide desentralisasi, yang mencoba menggugat kelemahan yang ada pada diskursus
sentralisasi tersebut. Kerangka desentralisasi melalui pemberian otonomi kepada daerah untuk
melaksanakan pemerintahan sendiri selain dipandang positif dari sisi efektifitas manajemen
pemerintahan, pelaksanaan desentralisasi juga dipandang sesuai dengan prinsip-prinsip
demokrasi yang memungkinkan setiap warga negara untuk menentukan sendiri nasib dan
mengapresiasikan keinginannya secara bebas (Setiyono, 2004: 205). Mengingat tujuan kebijakan
desentralisasi sendiri yaitu untuk menciptakan suatu sistem pembagian kekuasaan antar daerah
yang mapan dimana pemerintah pusat dapat meningkatkan kapasitas, memperoleh dukungan
masyarakat, dan mengawasi pembagian sumber daya dengan adil. Desentralisasi yang juga
merupakan bentuk pelaksanaan dari demokrasi lokal dengan memanfaatkan keefektifitasan
pemerintah daerah pada akhirnya juga diharapkan dapat mendorong pemerintah daerah agar
lebih bertanggung jawab dalam mengelola dan memberikan pelayanan kepada masyarakat yang
ada di daerah. Namun konsep desentralisasi yang sampai saat ini masih berjalan justru membuka
kesempatan untuk melahirkan “raja-raja kecil” daerah. Sebagai akibatnya, ide desentralisasi itu
tidak lantas memperbaiki kinerja daerah dalam mengelola urusan publiknya, justru malah
cenderung mengabaikannya. Penyelenggaraan urusan publik yang berpindah dari pusat ke daerah
jugamemberikan kesempatan terjadinya praktek korupsi di daerah. Ini terlihat dari banyaknya
pejabat daerah baik di birokrasi maupun di non birokrasi (lembaga legislatif) yang terlibat kasus
hukum, politisasi birokrasi merajalela, serta pelayanan di daerah menjadi lahan rebutan antar
daerah sehingga pungutan menjadi berlapis-lapis untuk satu produk barang. Kinerja birokrasi
yang masih kurang baik inilah yang kemudian dinilai sebagai kegagalan dalam semangat
desentralisasi. Dari gambaran di atas dapat kita ketahui bahwa kinerja birokrasi Indonesia
memang masih mengecewakan. Dalam survey yang dilakukan oleh Dwiyanto, dkk bahkan
dijelaskan nilai capaian kinerja birokrasi dalam hal produktifitas kualitas layanan, responsivitas,
responsibilitas, dan akuntabilitas birokrasi kita juga masih sangat rendah. Bahkan sebagaimana
dikutip oleh Dwiyanto dkk, menurut The World Competitiveness Yearbook tahun 1999, tingkat
indeks competitiveness birokrasi kita berada pada urutan terendah dari segi kualitas pelayanan
publik dibandingkan dengan 100 negara lain di dunia. Hal ini terbukti dari hasil penelitian
tersebut diketahui bahwa dari segi orientasi pelayanan birokrasi, kita masih cenderung tidak
sepenuhnya mencurahkan waktu dan tenaga untuk menjalankan tugas melayani rakyat. Hampir
40% birokrat yang menjadi responden dalam penelitian itu menyatakan bahwa mereka memiliki
pekerjaan lain di luar pekerjaaannya sebagai aparatur negara. Kondisi ini otomatis mengurangi
konsentrasi mereka dalam bekerja sehingga tidak fokus mengerjakan tugas-tugasnya (Setiyono,
2004: 131). Hal ini tentu saja menambah daftar panjang buruknya birokrasi (selain prosedur
birokrasi yang berbelit-belit, lama, kurang peka terhadap tuntutan masyarakat, dll.) di negeri ini
yang membuat masyarakat juga semakin tidak percaya kepada kinerja aparat untuk dapat
memenuhi tuntutan tuntutan publik tersebut.
PEMBAHASAN

A. Sejarah Etika Pelayanan Umum (Publik)


Etika merupakan seperangkat nilai sebagai pedoman, acuan, referensi, penuntun apa yang harus
dilakukan dalam menjalankan tugasnya, tapi juga sekaligus berfungsi sebagai standar untuk
menilai apakah sifat, perilaku, tindakan atau sepak terjangnya dalam menjalankan tugas dinilai
baik atau buruk. Oleh karenanya, dalam etika terdapat sesuatu nilai yang dapat memberikan
penilaian bahwa sesuatu tadi dikatakan baik, atau buruk. Pemikiran tentang etika kaitannya
dengan pelayanan publik mengalami perkembangan sejak tahun 1940-an melalui karya Leys
(dalam Keban, 1994: 5051). Leys berpendapat: “bahwa seorang administrator dianggap etis
apabila ia menguji dan mempertanyakan standard-standard yang digunakan dalam pembuatan
keputusan, dan tidak mendasarkan keputusannya semata-mata pada kebiasaan dan tradisi yang
sudah ada”. Kemudian Tahun 1950-an, muncul perkembangan pemikiran baru. Hal ini terlihat
dalam karya Anderson (dalam Keban, 1994: 51) menyempurnakan aspek standard yang
digunakan dalam pembuatan keputusan. Karya Anderson menambah suatu point baru, bahwa
standard-standard yang digunakan sebagai dasar keputusan tersebut sedapat mungkin
merefleksikan nilai-nilai dasar dari masyarakat yang dilayani. Di tahun 1960-an, muncul lagi
pemikiran baru lewat tulisan Golembiewski (dalam Keban, 1994: 51) menambah elemen baru
yaitu standar etika mungkin mengalami perubahan dari waktu-kewaktu dan karena itu
administrator harus mampu memahami perkembangan dan bertindak sesuai standard-standard
perilaku tersebut.

Sejak permulaan tahun 1970-an ada beberapa tokoh penting yang sangat mempengaruhi etika
administrator publik, dua diantaranya adalah John Rohr dan Terry L.Cooper. Rohr (dalam
Keban,1994: 51-52) menyarankan agar administrator dapat menggunakan regime norms yaitu
nilai-nilai keadilan, persamaan, dan kebebasan sebagai pengambilan keputusan terhadap
berbagai alternatif kebijaksanaan dalam pelaksanaan tugas-tugasnya. Dengan cara demikian,
administrator negara dapat menjadi etis (being ethical). Namun, menurut Cooper (dalam
Keban,1994: 51) etika sangat melibatkan substantive reasoning tentang kewajiban, konsekwensi
dan tujuan akhir; dan bertindak etis (doing ethics) adalah melibatkan pemikiran yang sistematis
tentang nilai-nilai yang melekat pada pilihan-pilihan dalam pengambilan keputusan. Pemikiran
Cooper menunjukkan administrator yang etis adalah administrator yang selalu terikat pada
tanggung jawab dan peranan organisasi, sekaligus bersedia menerapkan standard etika secara
tepat pada pembuatan keputusan administrasi.

B. Pengertian Etika Birokrasi


Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos, yang artinya kebiasaan atau watak, sedangkan
moral berasal dari bahasa Latin yaitu mos yang artinya cara hidup atau kebiasaan. Dari istilah ini
muncul pula istilah moril dan norma, moril bisa berarti semangat atau dorongan batin, sedangkan
norma dalam bahasa Inggris berarti aturan atau kaidah. Etika cenderung dipandang sebagai suatu
cabang ilmu dalam filsafat yang mempelajari nilai-nilai baik dan buruk bagi manusia
(Kumorotomo : 2008). Etika adalah kebiasaan yang baik dalam masyarakat, yang kemudian
mengendap menjadi norma-norma atau kaidah atau dengan kata lain yang menjadi normatif
dalam perikehidupan manusia 
Menurut Weber, birokrasi adalah metode organisasi terbaik dengan spesialisasi tugas.
Walaupun kemudian banyak pakar yang mengkritik Weber, seperti Warren Bennis yang
menyampaikan perlunya kebijaksanaan memperhatikan keberadaan manusia itu sendiri.
Birokrasi tetap akan diperlukan di kantor-kantor pemerintah, terutama di negara-negara
berkembang yang harus dipacu dengan kedisiplinan.
Aristoteles juga memberikan istilah Ethica yang meliputi dua pengertian yaitu etika
meliputi Kesediaan dan Kumpulan peraturan, yang mana dalam bahasa Latin dikenal dengan
kata Mores yang berati kesusilaan, tingkat salah saru perbuatan (lahir, tingkah laku), Kemudian
kata Mores tumbuh dan berkembang menjadi Moralitas yang mengandung arti kesediaan jiwa
akan kesusilaan. Dengan demikian maka Moralitas mempunyai pengertian yang sama dengan
Etika atau sebaliknya, dimana kita berbicara tentang Etika Birokrasi tidak terlepas dari moralitas
aparat Birokrasi penyelenggara pemerintahan itu sendiri.

C. Etika Birokrasi dalam Pelayanan Publik


Dari paparan tersebut di atas maka dapat pula dikatakan bahwa etika sangat diperlukan
dalam praktek administrasi publik untuk dapat dijadikan pedoman, referensi, petunjuk tentang
apa yang harus dilakukan oleh administrasi publik. Disamping itu perilaku birokrasi tadi akan
mempengaruhi bukan hanya dirinya sendiri, tetapi juga masyarakat yang dilayani. Seperangkat
nilai dalam etika birokrasi yang dapat digunakan sebagai acuan, referensi, penuntun bagi
birokrasi publik dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya antara lain adalah:
1.     efisiensi, artinya tidak boros, sikap, perilaku dan perbuatan birokrasi publik dikatakan baik jika
mereka efisien.
2.     membedakan milik pribadi dengan milik kantor, artinya milik kantor tidak digunakan untuk
kepentingan pribadi

3.     impersonal, maksudnya dalam melaksanakan hubungan kerjasama antara orang yang satu
dengan lainnya secara kolektif diwadahi oleh organisasi, dilakukan secara formal, maksudnya
hubungan impersonal perlu ditegakkan untuk menghindari urusan perasaan dari pada unsur rasio
dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab berdasarkan peraturan yang ada dalam organisasi

4.     merytal system, nilai ini berkaitan dengan rekrutmen dan promosi pegawai, artinya dalam
penerimaan pegawai atau promosi pegawai tidak di dasarkan atas kekerabatan, namun
berdasarkan pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), sikap (attitude),
kemampuan (capable), dan pengalaman (experience).

5.     accountable, nilai ini merupakan tanggung jawab yang bersifat obyektif, sebab birokrasi
dikatakan akuntabel bilamana mereka dinilai obyektif oleh masyarakat karena dapat
mempertanggungjawabkan segala macam perbuatan dan sikap

6.     responsiveness, artinya birokrasi publik memiliki daya tanggap terhadap keluhan, masalah dan
aspirasi masyarakat dengan cepat dipahami dan berusaha memenuhi, tidak suka menunda-nunda
waktu atau memperpanjang alur pelayanan.

D. Fungsi Etika Birokrasi  


Etika sangat erat fungsinya dan menyatu dengan kegiatan pembangunan. Apa saja yang
dilakukan demi mencapai taraf hidup yang lebih baik, peranan etika sangat berfungsi. Sistem dan
prosedur yang berlaku dalam pembangunan, sarat dengan nilai-nilai moral yang harus dipegang
teguh oleh mereka yang terlibat dalam pembangunan. Apa yang kita laksanakan dalam
pembangunan pada hakekatnya adalah dari, oleh, dan untuk manusia atau 'people centered
development'. Dalam rumusan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) disebut pembangunan
manusia se-utuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya.
Harapan masyarakat untuk memiliki pemerintahan yang baik, peduli, melayani, dan
meningkatkan kesejahteraan rakyat, masih jauh dari realitas. Masuknya orang-orang baru dalam
pemerintahan (birokrasi), baik di legislatif maupun eksekutif, dirasa masih belum mampu
menciptakan perbaikan nyata kinerja pemerintahan.

Kinerja birokrasi pelayanan publik menjadi isu yang strategis, karena memiliki implikasi
yang luas dalam kehidupan masyarakat dan pembangunan. Salah satu upaya pembenahan
birokrasi dan manajemen Pemerintah sebagai fasilitator pembangunan adalah perubahan mindset
sumber daya manusia (SDM) dari pola pikir priyayi yang selalu ingin dilayani menjadi pola pikir
wirausahawan yang melayani konsumen yaitu masyarakat. Hal ini didasarkan pada pemikiran
yang berkembang dalam mewujudkan spirit reinventing government. Spirit tersebut mengajak
aparat pemerintah (public sector) untuk berpikir seperti kalangan wirausaha (private sector),
tanpa melibatkan organisasi pemerintah sebagai organisasi perusahaan (bisnis). Di dalam
kehidupan masyarakat, perbaikan kinerja birokrasi pemerintah akan memperbaiki kehidupan
masyarakat dan gairah usaha, guna menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kehidupan
masyarakat serta pembangunan .

E. Implementasi Etika Birokrasi

Misalnya Peraturan Kepegawaian Sebagai Bagian Dari Penerapan Etika Birokrasi.


Berbicara Etika Birokrasi tidak dapat dipisahkan dari Etika Aparatur Birokrasi itu karena secara
eksplisit Etika Birokrasi telah termuat dalam peraturan Kepegawaian yang mengatur para aparat
Birokrasi (Pegawai negeri) itu sendiri. Birokrasi merupakan sebuah organisasi penyelenggara
pemerintahan yang terstruktur dari pusat sampai ke daerah dan memiliki jenjang atau tingkatan
yang disebut hierarki. Jadi Etika Birokrasi sangat terkait dengan tingkah laku para
aparat birokrasi itu sendiri dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Aparat Birokrasi secara
kongkrit di negara kita yaitu Pegawai Negeri baik itu Sipil maupun Militer, yang
secara organisatoris dan hierarkis melaksanakan tugas dan fungsi masing-masing sesuai aturan
yang telah ditetapkan.[5]
Etika Birokrasi merupakan bagian dari aturan main organisasi Birokrasi atau Pegawai
Negeri yang kita kenal sebagai Kode Etik Pegawai Negeri, diatur oleh Undang-undang
Kepegawaian. Kode Etik yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) disebut Sapta Prasetya
Korps Pegawai Republik Indonesia (Sapta Prasetya KORPRI) dan di kalangan Tentara Nasional
Indonesia (TNI) disebut Sapta Marga. Kode Etik itu dibaca secara bersama–sama pada
kesempatan tertentu yang kadang-kadang diikuti oleh wejangan dari seorang
pimpinanupacara yang disebut inspektur upacara (IRUP). Hal ini dimaksudkan untuk
menciptakan kondisi–kondisi moril yang menguntungkan dalam organisasi yang berpengalaman
dan menumbuhkan sikap mental dan moral yang baik. Kode Etik tersebut biasanya dibaca dalam
upacara bendera, upacara bulanan atau upacara ulang tahun organisasi yang bersangkutan dan
upacara–upacara nasional.

F. Etika Pelayanan Publik Indonesia

Mengenai bentuk pelayanan itu tidak akan terlepas dari tiga macam pelayanan yaitu

: 1) Pelayanan dengan lisan

2) Pelayanan melalui tulisan


3) Pelayanan dengan perbuatan

Ketiga bentuk pelayanan tersebut dalam setiap organisasi tidaklah dapat selamanya berdiri secara
murni, melainkan sering kombinasi. Apalagi pelayanan tersebut pelayanan publik pada Kantor
Pemerintah.

Faktor utama dalam keterpurukan pelayanan publik di Indonesia adalah lemahnya etika sumber
daya manusia (SDM), yaitu birokrat yang bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Etika pelayanan publik harus berorientasi kepada kepentingan masyarakat berdasar asas
transparansi (keterbukaan dan kemudahan akses bagi semua pihak) dan akuntabilitas
(pertanggungjawaban sesuai dengan peraturan perundang-undangan) demi kepentingan
masyarakat.

Dalam pemberian pelayanan publik khususnya di Indonesia, pelanggaran moral dan etika dapat
kita amati mulai dari proses kebijakan publik yaitu (pengusulan program, proyek, dan kegiatan
yang tidak didasarkan atas kenyataan), desain organisasi pelayanan publik (pengaturan struktur,
formalisasi, dispersi otoritas) yang sangat bias terhadap kepentingan tertentu, prosesmanajemen
pelayanan publik yang penuh rekayasa dan kamuflase (mulai dari perencanaan teknis,
pengelolaan keuangan, sumber daya manusia, informasi,dsb.) yang semuanya itu nampak dari
sifat-sifat tidak transparan, tidak responsif, tidak akuntabel, tidak adil, dsb, sehingga tidak dapat
memberikan kualitas pelayanan yang unggul kapada masyarakat.

PENUTUP

Kesimpulan

Isu tentang etika dalam pelayanan publik di Indonesia kurang dibahas secara luas dan tuntas
sebagaimana terdapat di negara maju, meskipun telah disadari bahwa salah satu kelemahan dasar
dalam pelayanan publik di Indonesia adalah masalah moralitas. Etika sering dilihat sebagai
elemen yang kurang berkaitan dengan dunia pelayanan publik. Padahal, dalam literatur tentang
pelayanan publik dan administrasi publik, etika merupakan salah satu elemen yang sangat
menentukan kepuasan publik yang dilayani sekaligus keberhasilan organisasi pelayanan publik
itu sendiri. Elemen ini harus diperhatikan dalam setiap fase pelayanan publik mulai dari
penyusunan kebijakan pelayanan, desain struktur organisasi pelayanan, sampai pada manajemen
pelayanan untuk mencapai tujuan akhir dari pelayanan tersebut. Dalam konteks ini, pusat
perhatian ditujukan kepada aktor birokrasi yang terlibat dalam setiap fase, termasuk kepentingan
aktor-aktor tersebut – apakah para aktor telah benar-benar mengutamakan kepentingan publik
diatas kepentingan-kepentingan yang lain. Karena pentingnya pelayanan bagi kehidupan
manusia, ditambah kompleksnya kebutuhannya, maka bentuk pelayanan yang diperlukan lebih
banyak, dapat berupa kombinasi dari pelayanan lisan, pelayanan melalui tulisan dan pelayanan
dengan perbuatan. Apalagi pelayanan publik pada sebuah kantor pemerintahan. Disamping itu
pola pelayanan lain yang diharapkan dalam etika pelayanan publik adalah pelayanan yang
menukik pada pendekatan deontologi, yaitu pelayanan yang mendasarkan diri pada prinsip-
prinsip nilai moral yang harus ditegakkan karena kebenaran yang ada dalam dirinya dan tidak
terkait dengan akibat atau konsekuensi dari keputusan yang diambil. Dengan pelayanan seperti
ini diharapkan agar birokrasi selalu melakukan kewajiban moral untuk mengupayakan agar
sebuah kebijakan menjadi karakter masyarakat.

Saran

Etika pelayanan publik sebaiknya disosialisasikan kepada pihak-pihak yang melakukan


pelayanan kepada masyarakat, karena sebagian besar pelayan masyarakat belum mengetahui
etika pelayanan kepada masyarakat. Sebagian mungkin masih belum mengetahui bagaimana
seharusnya tindakan untuk melayani masyarakat sehinggga dia melakukan kesalahan dalam
melakukan pelayanan atas ketidaktahuannya. Sangat disayangkan jika kesalahan dalam
pelayanan dilakukan karena kebutaan akan bagaimana seharusnya etika yang diterapkan kepada
masyarakat. Saran selanjutnya berikanlah penghargaan jika aparatur melakukan tindakan sesuai
etika dan sebaliknya, berikanlah sanksi yang tegas kepada pelanggar etika pelayanan apalagi
yang melakukan dengan sengaja. Diharapkan dengan adanya tindakan seperti itu para pelayan
masyarakat termotivasi untuk mengetahui etika pelayanan kepada masyarakat sehingga
tindakannya dapat sesuai dengan kehendak rakyat. Akhirnya, yang teramat penting adalah
keteladanan, tidak ada orang yang dapat mencapai tingkat kebajikan ideal, karena itu dalam etika
kebajikan, yang penting adalah proses untuk menginternalisasikannya dibandingkan dengan
hasilnya.

Anda mungkin juga menyukai