DISUSUN OLEH :
NAMA:
ETIKA BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK
Abstrak:
Etika birokrasi sangat penting untuk dipahami oleh aparatur birokrasi terhadap norma-norma
dalam organisasi. Dalam pelayanan publik etika birokrasi harus dapat memberikan harapan yang
dapat memuaskan masyarakat pengguna jasa layanan. Hal ini, sangat berhubungan dengan faktor
pengawasan, konsistensi aparat birokrasi, dan komunikasi yang efektif. Dalam arti berjalannya
mekanisme dengan baik, konsistennya aparat birokrasi dalam penegakkan aturan, dan adanya
komunikasi yang efektif akan dapat meningkatkan penerapan etika birokrasi dalam pelayanan
publik. nampak dari inkonsisten aparat birokrasi dalam penerapan aturan yang ditetapkan
organisasi, mekanisme kontrol belum berjalan dengan baik, dan komunikasi yang dilakukan
tidak efektif. untuk etika birokrasi ini adalah meningkatkan etika pelayanan publik dengan
memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut;
2) Konsistensi aparat birokrasi perlu adanya kesadaran diri sendiri untuk meningkatkan
semangat kerja yang baik yang akhirnya yang bermuara kepada perbaikan etika pelayana publik,
3) Komunikasi, dalam mensosialisasikan aturan yang telah dilaksanakan lewat mas media baik
cetak maupun elektronik perlu dilakukan dengan cara lain yaitu dengan jalan memasang atau
menempel ketentuan dan prosedur pelayanan di loket-loket pelayanan dan petugas memberikan
informasi yang jelas dan benar kepada pengguna jasa layanan,
4) Mekanisme kontrol, masyarakat diharapkan untuk berpartisipasi secara pro aktif ikut
memberikan kontrol sosial pada tindakan-tindakan aparat yang menyimpang dari aturan.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak permulaan tahun 1970-an ada beberapa tokoh penting yang sangat mempengaruhi etika
administrator publik, dua diantaranya adalah John Rohr dan Terry L.Cooper. Rohr (dalam
Keban,1994: 51-52) menyarankan agar administrator dapat menggunakan regime norms yaitu
nilai-nilai keadilan, persamaan, dan kebebasan sebagai pengambilan keputusan terhadap
berbagai alternatif kebijaksanaan dalam pelaksanaan tugas-tugasnya. Dengan cara demikian,
administrator negara dapat menjadi etis (being ethical). Namun, menurut Cooper (dalam
Keban,1994: 51) etika sangat melibatkan substantive reasoning tentang kewajiban, konsekwensi
dan tujuan akhir; dan bertindak etis (doing ethics) adalah melibatkan pemikiran yang sistematis
tentang nilai-nilai yang melekat pada pilihan-pilihan dalam pengambilan keputusan. Pemikiran
Cooper menunjukkan administrator yang etis adalah administrator yang selalu terikat pada
tanggung jawab dan peranan organisasi, sekaligus bersedia menerapkan standard etika secara
tepat pada pembuatan keputusan administrasi.
3. impersonal, maksudnya dalam melaksanakan hubungan kerjasama antara orang yang satu
dengan lainnya secara kolektif diwadahi oleh organisasi, dilakukan secara formal, maksudnya
hubungan impersonal perlu ditegakkan untuk menghindari urusan perasaan dari pada unsur rasio
dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab berdasarkan peraturan yang ada dalam organisasi
4. merytal system, nilai ini berkaitan dengan rekrutmen dan promosi pegawai, artinya dalam
penerimaan pegawai atau promosi pegawai tidak di dasarkan atas kekerabatan, namun
berdasarkan pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), sikap (attitude),
kemampuan (capable), dan pengalaman (experience).
5. accountable, nilai ini merupakan tanggung jawab yang bersifat obyektif, sebab birokrasi
dikatakan akuntabel bilamana mereka dinilai obyektif oleh masyarakat karena dapat
mempertanggungjawabkan segala macam perbuatan dan sikap
6. responsiveness, artinya birokrasi publik memiliki daya tanggap terhadap keluhan, masalah dan
aspirasi masyarakat dengan cepat dipahami dan berusaha memenuhi, tidak suka menunda-nunda
waktu atau memperpanjang alur pelayanan.
Kinerja birokrasi pelayanan publik menjadi isu yang strategis, karena memiliki implikasi
yang luas dalam kehidupan masyarakat dan pembangunan. Salah satu upaya pembenahan
birokrasi dan manajemen Pemerintah sebagai fasilitator pembangunan adalah perubahan mindset
sumber daya manusia (SDM) dari pola pikir priyayi yang selalu ingin dilayani menjadi pola pikir
wirausahawan yang melayani konsumen yaitu masyarakat. Hal ini didasarkan pada pemikiran
yang berkembang dalam mewujudkan spirit reinventing government. Spirit tersebut mengajak
aparat pemerintah (public sector) untuk berpikir seperti kalangan wirausaha (private sector),
tanpa melibatkan organisasi pemerintah sebagai organisasi perusahaan (bisnis). Di dalam
kehidupan masyarakat, perbaikan kinerja birokrasi pemerintah akan memperbaiki kehidupan
masyarakat dan gairah usaha, guna menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kehidupan
masyarakat serta pembangunan .
Mengenai bentuk pelayanan itu tidak akan terlepas dari tiga macam pelayanan yaitu
Ketiga bentuk pelayanan tersebut dalam setiap organisasi tidaklah dapat selamanya berdiri secara
murni, melainkan sering kombinasi. Apalagi pelayanan tersebut pelayanan publik pada Kantor
Pemerintah.
Faktor utama dalam keterpurukan pelayanan publik di Indonesia adalah lemahnya etika sumber
daya manusia (SDM), yaitu birokrat yang bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Etika pelayanan publik harus berorientasi kepada kepentingan masyarakat berdasar asas
transparansi (keterbukaan dan kemudahan akses bagi semua pihak) dan akuntabilitas
(pertanggungjawaban sesuai dengan peraturan perundang-undangan) demi kepentingan
masyarakat.
Dalam pemberian pelayanan publik khususnya di Indonesia, pelanggaran moral dan etika dapat
kita amati mulai dari proses kebijakan publik yaitu (pengusulan program, proyek, dan kegiatan
yang tidak didasarkan atas kenyataan), desain organisasi pelayanan publik (pengaturan struktur,
formalisasi, dispersi otoritas) yang sangat bias terhadap kepentingan tertentu, prosesmanajemen
pelayanan publik yang penuh rekayasa dan kamuflase (mulai dari perencanaan teknis,
pengelolaan keuangan, sumber daya manusia, informasi,dsb.) yang semuanya itu nampak dari
sifat-sifat tidak transparan, tidak responsif, tidak akuntabel, tidak adil, dsb, sehingga tidak dapat
memberikan kualitas pelayanan yang unggul kapada masyarakat.
PENUTUP
Kesimpulan
Isu tentang etika dalam pelayanan publik di Indonesia kurang dibahas secara luas dan tuntas
sebagaimana terdapat di negara maju, meskipun telah disadari bahwa salah satu kelemahan dasar
dalam pelayanan publik di Indonesia adalah masalah moralitas. Etika sering dilihat sebagai
elemen yang kurang berkaitan dengan dunia pelayanan publik. Padahal, dalam literatur tentang
pelayanan publik dan administrasi publik, etika merupakan salah satu elemen yang sangat
menentukan kepuasan publik yang dilayani sekaligus keberhasilan organisasi pelayanan publik
itu sendiri. Elemen ini harus diperhatikan dalam setiap fase pelayanan publik mulai dari
penyusunan kebijakan pelayanan, desain struktur organisasi pelayanan, sampai pada manajemen
pelayanan untuk mencapai tujuan akhir dari pelayanan tersebut. Dalam konteks ini, pusat
perhatian ditujukan kepada aktor birokrasi yang terlibat dalam setiap fase, termasuk kepentingan
aktor-aktor tersebut – apakah para aktor telah benar-benar mengutamakan kepentingan publik
diatas kepentingan-kepentingan yang lain. Karena pentingnya pelayanan bagi kehidupan
manusia, ditambah kompleksnya kebutuhannya, maka bentuk pelayanan yang diperlukan lebih
banyak, dapat berupa kombinasi dari pelayanan lisan, pelayanan melalui tulisan dan pelayanan
dengan perbuatan. Apalagi pelayanan publik pada sebuah kantor pemerintahan. Disamping itu
pola pelayanan lain yang diharapkan dalam etika pelayanan publik adalah pelayanan yang
menukik pada pendekatan deontologi, yaitu pelayanan yang mendasarkan diri pada prinsip-
prinsip nilai moral yang harus ditegakkan karena kebenaran yang ada dalam dirinya dan tidak
terkait dengan akibat atau konsekuensi dari keputusan yang diambil. Dengan pelayanan seperti
ini diharapkan agar birokrasi selalu melakukan kewajiban moral untuk mengupayakan agar
sebuah kebijakan menjadi karakter masyarakat.
Saran