Makalah Aflatoksin
Makalah Aflatoksin
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah penyakit kanker tetap menghantui umat manusia, di mana diberitakan bahwa
kanker ini merenggut 30% dari sekitar 7 juta kematian tiap tahun di seluruh dunia. Hal ini
terutama disebabkan karena gejala awal masih sulit diketahui dan sampai sekarang dunia
kedokteran masih belum menemukan obat yang mujarab untuk mengobatinya.
Sir Richard Dool salah seorang ahli kanker terkemuka Inggris menyatakan baru-baru ini
bahwa penyakit kanker yang mematikan masih dapat dikurangi dengan sekitar 60% jika orang
memakan makanan yang lebih sehat dan berhenti merokok. Peranan serat makanan yang antara
lain berfungsi untuk mencegah timbulnya penyakit kanker saluran pencernaan. Hal ini diperkuat
oleh ahli kanker tersebut yang menyatakan bawa makanan yang baik yang diperkaya dengan
sayuran dan bahan pangan berkadar serat tinggi dapat mengurangi timbulnya penyakit kanker
empedu, kandungan dan usus besar.
Jagung dan kacang tanah selalu selalu dikonsumsi oleh banyak orang. Selain itu, jagung dan
kacang tanah juga diekspor keluar negeri. Kualitas dari jagung dan kacang tanah ini, harus perlu
diperhatikan. Kualitas jagung dan kacang tanah ini dapat menurun dikarenakan adanya parasit yang tumbuh
seperti jamur. Komoditi ekspor ini sangat mudah terserang oleh jamur atau kapang misalnya Aspergillus
flavus. Selain merusak dan mengganggu, Aspergullius flavus dapat menghasilkan metabolit berupa
micotoxin. Toxin ini dikenal dengan Aflatoxin. Selain pada hasil komoditi pertanian, aflatoxin juga
dijumpai pada sector perikanan melalui pakan yang diberikan. Walau demikian bahaya micotoxin ini belum
diketahui efeknya secara luas bagi hasil perikanan.
Menurut Dr. Ir Deddy Muchtadi Sinar harapan, Pada tahun 1960 di Inggris terjadi kasus 100.000
ayam kalkun mengalami kematian yang tidak diketahui penyebabnya, sehingga penyakit tersebut
dinamakan “Turkey X disease” dan beberapa waktu kemudian kejadian tersebut terjadi kembali di Uganda
dan Kenya. Para peneliti Inggris dari Tropical Product Institute menemukan bahwa penyebab Turkey X
disease berasal dari pakan ternak yang diberikan. Dengan penelitian lebih lanjut, ditemukan bahwa
penyakit ini disebabkan oleh suatu zat hasil metabolit kapang (jamur) Aspergillus flavus yang tumbuh di
kacang tanah. Aflatoxin kemudian diresmikan menjadi nama racun atu micotoxin yang diambil dari
singkatan nama genus (Aspergillus) dan spesies (flavus).
Pada tahun 1729, Michelli dapat menjelaskan genus dari Aspergillus. Species Aspergillus kurang
lebih berjumlah 180 species. Kapang Aspergillus ini dapat tumbuh dengan baik dengan kadar air minimal
80%. Aspergillus dapat menyebabkan penyakit yang disebut Aspergilosis. Hewan terserang kapang ini,
dapat menyebabkan mucotic pneumonia, rhinitis kronis, penyakit sistemik yang disebabkan oleh jamur atau
kapang, penyakit kulit, alergi, aspergilosis pada saluran pencernaan, mastitis dan keratomycosis. Ada dua
species dari genus Aspergillus yang menghasilkan senyawa berbahaya Aflatoxin yaitu Aspergillus
flavus dan Aspergillus parasiticus. Aspergillus flavus dapat ditemukan di belahan dunia yang beriklim
panas dan lembab diantaranya afrika sub-sahara dan asia tenggara. genus Aspergillus dapat menyerang biji
kacang tanah yang rusak atau kulitnya terkelupas.
B. Tujuan
Mengetahui jamur yang menghasilkan Aflatoksin dan dapat mengetahui bahaya dari Aflatoksin
tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
Aspergillus favus
Aspergillus parasiticus
Klasifikasi
Super kingdom : Eukaryota
Kingdom : Fungi
Sub kingdom : Dikarya
Phylum : Ascomycota
Subphylum : Pezizomycotina
Classis : Eurotiomycetes
Sub classis : Eurotiomycetidae
Ordo : Eurotiales
Familia : Trichocomaceae
Genus : Aspergillus
Spesies : Aspergillus flavus
Aspergillus parasiticus
B. Aflatoksin
1. Sejarah
Aflatoksin ditemukan secara tidak sengaja pada insiden kematian seratus
ribu ekor kalkun di suatu peternakan di Inggris pada tahun 1960. Penyakit
tersebut dikenal dengan nama Turkey X Disease karena belum diketahui
penyebabnya pada waktu itu. Penyebab penyakit tersebut ditemukan berupa
sejenis toksin yang terdapat dalam tepung kacang tanah pada ransum ternak.
Pengujian yang melibatkan sampel ransum ternak mengungkapkan keberadaan
sejenis kapang. Toksin tersebut berasal dari kontaminasi Aspergillus flavus pada
campuran ransum ternak tersebut.
Nama toksin tersebut diambil dari penggalan kata Aspergillus
flavus toksin yang disingkat menjadi aflatoksin karena Aspergillus
flavus dan Aspergillus parasiticus merupakan spesies dominan yang
bertanggung jawab atas kontaminasi aflatoksin pada tanaman sebelum dipanen
maupun selama penyimpanan.
C. Efek Aflatoksin
1. Efek Aflatoksin Terhadap Kesehatan Manusia
Aflatoksin dapat bersifat toksigenik, mutagenik, teratogenik, karsinogenik,
dan immunosuppresif pada hewan percobaan. Aflatoksin mendapat perhatian
yang lebih besar daripada mikotoksin lain karena memiliki potensi efek
karsinogenik terhadap tikus uji serta efek toksisitas akut terhadap manusia. Pada
sejumlah spesies hewan, aflatoksin dapat menyebabkan nekrosis akut, sirosis, dan
karsinoma hati serta berpotensi mempengaruhi sistem kekebalan tubuh. Tidak ada
hewan yang resisten terhadap efek toksik akut aflatoksin, oleh karena itu sangat
logis jika diasumsikan bahwa manusia juga mungkin dapat mengalami efek yang
sama. Pada kebanyakan spesies hewan, LD50 aflatoksin berkisar antara 0,5 hingga
10 mg/kg berat badan.
Pada tahun 1988, IARC menggolongkan aflatoksin B1 pada daftar
karsinogen terhadap manusia. Hal ini didukung dengan sejumlah hasil penelitian
epidemiologi di Asia dan Afrika yang menunjukkan hubungan positif antara diet
aflatoksin dan kanker sel hati (Liver Cell Cancer = LCC). Sebagai tambahan,
timbulnya penyakit yang berhubungan dengan aflatoksin pada manusia
kemungkinan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti usia, status nutrisi,
dan/atau paparan bahan lain, seperti virus hepatitis (HBV) atau infestasi parasit.
Aflatoksin mampu menyebabkan penyakit dalam jangka panjang (kronis)
dan penyakit jangka pendek (akut) bergantung pada dosis dan frekuensi paparan
aflatoksin. Salah satu efek yang paling sering terjadi ialah kehilangan sintesis
protein, termasuk sintesis antibodi sesuai dengan dosis paparan.
Toksisitas akut terjadi tak lama setelah mengonsumsi bahan makanan
yang terkontaminasi racun dengan dosis relatif besar dan yang terserang adalah
hati, pankreas, serta ginjal. Pada efek kronis, aflatoksin menyebabkan timbulnya
kanker hati (hepatic carcinoma). Secara umum konsentrasi aflatoksin dan akibat
yang ditimbulkannya dapat dilihat pada Tabel 3.
Konsentrasi Aflatoksin (ppb) Efek yang Ditimbulkan
20 Level maksimal yang diijinkan untuk
manusia
50 Level maksimal yang diijinkan untuk
hewan
100 Pertumbuhan lambat pada usia muda
200 – 400 Pertumbuhan lambat pada usia tua
>400 Kerusakan hati dan kanker
Tabel 3. Konsentrasi Aflatoksin dan Akibat yang Ditimbulkan
2. Aflatoksikosis
Keracunan akibat mengkonsumsi pangan atau pakan yang tercemar
aflatoksin disebut aflatoksikosis. Beberapa negara, terutama negara dunia ketiga,
seperti Taiwan, Uganda, dan India telah melaporkan adanya bukti terjadinya
aflatoksikosis akut pada manusia. Di negara-negara maju, kontaminasi aflatoksin
pada pangan jarang terjadi pada tingkat yang dapat menimbulkan aflatoksikosis
akut terhadap manusia. Penelitian toksisitas paparan oral aflatoksin terhadap
manusia difokuskan pada potensi karsinogeniknya. Kerentanan relatif manusia
terhadap aflatoksin masih belum diketahui, meskipun pada studi epidemiologi di
Afrika dan Asia Tenggara, tempat dimana banyak terjadi insiden hepatoma, telah
ditemukan kaitan antara insiden kanker dengan kandungan aflatoksin dalam diet.
Hasil penelitian tersebut tidak membuktikan adanya hubungan sebab akibat, tetapi
dapat menjadi bukti adanya kaitan.
Masalah yang timbul jika mengonsumsi makanan yang mengandung
aflatoksin:
a) Keracunan akut (aflatoksikosis), dengan gejala mual, muntah, kerusakan
hati hingga kematian pada kasus serius
b) Perkembangan anak dan pertumbuhan janin terganggu.
c) Metabolisme protein terganggu.
d) Kekebalan tubuh menurun.
e) Kanker hati
Efek berat aflatoksikosis pada hewan (yang diperkirakan bisa juga terjadi
pada manusia) dikategorikan ke dalam dua bentuk utama, yaitu aflatoksikosis
akut (jangka pendek) dan aflatoksikosis kronik (jangka panjang).
a) Aflatoksikosis akut dapat diakibatkan oleh konsumsi aflatoksin dalam
tingkat sedang hingga tinggi. Beberapa gejala umum aflatoksikosis adalah
edema anggota tubuh bagian bawah, nyeri perut, dan muntah. Secara
spesifik, paparan akut aflatoksin dapat menyebabkan perdarahan,
kerusakan hati secara akut, edema, perubahan pada pencernaan, dan
kemungkinan kematian. Tertelannya aflatoksin dalam jumlah besar
umumnya terjadi di peternakan. Organ target aflatoksin adalah hati.
Setelah aflatoksin masuk ke hati, lipid menyusup ke dalam hepatosit dan
menyebabkan nekrosis atau kematian sel hati. Hal ini terutama disebabkan
oleh metabolit aflatoksin yang bereaksi secara negatif dengan protein sel
lain, yang menyebabkan penghambatan metabolisme karbohidrat dan
lemak serta sintesis protein. Akibat penurunan fungsi hati, terjadi
gangguan mekanisme pembekuan darah, ikterus (jaundice), dan
penurunan protein serum esensial yang disintesis oleh hati.
b) Aflatoksikosis kronik disebabkan oleh konsumsi aflatoksin dalam tingkat
rendah hingga sedang. Efek yang ditimbulkan biasanya bersifat subklinis
dan sulit dikenali. Gejala aflatoksikosis kronik dapat berupa penurunan
laju pertumbuhan, penurunan produksi susu atau telur, dan imunosupresi.
Beberapa pengamatan menunjukkan adanya karsinogenisitas, terutama
terkait dengan aflatoksin B1. Tampak jelas terjadinya kerusakan hati
karena timbulnya warna kuning yang menjadi karakteristik jaundice, serta
timbul pembengkakan kandung empedu. Imunosupresi disebabkan oleh
reaktivitas aflatoksin dengan sel T, penurunan aktivitas vitamin K, dan
penurunan aktivitas fagositosis makrofag. Pada hewan, efek imunosupresi
akibat aflatoksin ini memberi kecenderungan terkena infeksi sekunder dari
jamur lain, bakteri, maupun virus.
2. Teknik Dekontaminasi
Upaya menekan kandungan aflatoksin dapat dilakukan dengan
menggunakan cendawan Neurospoa sp. dan Rhizopus sp. Selanjutnya untuk
menghindari serangan cendawan A. Flavus pada jagung dapat dilakukan dengan
sesegera mungkin menjemur tongkol jagung yang sudah dipanen sampai kadar air
17%, lalu dipipil dan dikeringkan lagi sampai kadar air 11% kemudian disimpan.
Pada kondisi kadar air rendah pada biji jagung, maka tidak terserang cendawan A.
Flavus. Upaya lain adalah penggunaan bahan kimia yaitu ammonia dan asam
propionate dapat negurangi jumlah spora yang menempel pada jambul jagung,
sehingga mengurangi sumber inokolum untuk infeksi di penyimpanan.
Upaya untuk mengatasi mikotoksin adalah dengan ekstraksi menggunakan
pelarut organik, antara lain dengan kalsium klorida atau sodium bikarbonat atau
dengan pemanasan dalam air garam. Penggunaan amonia atau monometylamine
dan kalsium hidroksida juga efektif dalam mengatasi toksin tersebut. NaOCl bisa
digunakan untuk dekontaminasi pada kacang tanah, formaldehid dan NaOH pada
tepung kacang. Perendaman atau pencelupan kacang tanah dalam p-amino
benzoat, kalium sulfit, kalium fluorida, ammonia 2%, asam propionat, Na-asetat,
dan H2O2. Detoksifikasi dengan ammonia terhadap aflatoksin adalah sangat
praktis dan mudah, sehingga banyak dipraktekkan.
Toksin dapat juga dihancurkan dengan pemanasan, misal penggarangan
kacang tanah pada suhu 150oC selama 30 menit akan mengurangi aflatoksin
B1 sebanyak 80% dan aflatoksin B2 sebanyak 60%. Penggorengan dengan minyak
pada kacang tanah pada suhu 204oC akan mengurangi kadar aflatoksin B1 dan
G1 rata-rata 40 -50%, sedangkan aflatoksin B2 dan G2 akan menurun sebanyak 20
– 40%. Aflatoksin dianggap stabil terhadap pemanasan, karena pada pemanasan
normal (100oC) tidak menyebabkan perubahan. Demikian pula trikhotesen,
zeralenon, khloratoksin dan patulin. Sedangkan sitrinin mudah dirusak oleh
pemanasan. Pemanasan bertekanan (autoklaf) dapat juga mengurangi kadar
aflatoksin. Pada autoklaf suhu 120oC bertekanan 15 lbs selama 4 hari pada tepung
kacang dengan kelembaban 60% akan menurunkan kadar aflatoksin dari 7.000
mg/kg menjadi 340 mg/kg.
Penyinaran dengan sinar ultra violet selama 45 detik bisa menghancurkan
spora A. Flavus. Akan tetapi penyinaran ini juga menyebabkan berkurangnya zat-
zat gizi dalam bahan pakan.
Bahan-bahan kimia tertentu, seperti diklorvos akan menghambat
pembentukan aflatoksin pada gandum, jagung, beras dan kacang
tanah. Pencegahan aflatoksin dapat dilakukan dengan penggunaan feed
aditiv yang dicampurkan dalam bahan pakan , sehingga secara in vivo feed aditiv
ini akan aktif melawan mikotoksin. Beberapa mineral dapat memiliki kemampuan
mengabsorbsi atau menangkap molekul mikotoksin sehingga tidak berbahaya bagi
ternak. Beberapa zat yang dapat bertindak sebagai feed aditiv antara
lain activated charcoal, yeast produk dinding sel. Beberapa produk sintetik dapat
digunakan, antara lain zeolit, aluminosilikat dan Gamma Amino Butiric Acid
(GABA). Zeolit aktif melawan aflatoksin T2.. Penambahan zeolit 2% sebanyak
1mg/kg bahan pakan terkontaminasi aflatoksin B1 akan menurunkan kadar
aflatoksin dalam hati sampai 30-40%.5
F. Langkah Penanganan
Berikut merupakan beberapa langkah penanganan Aflatoksin, yakni :
a) Melakukan peningkatan manajemen bercocok tanam, penggunaan varietas tanaman
tahan serangan kapang toksigenik pada proses pra panen, serta pemilihan terhadap
bahan pangan yang berkualitas baik dan tidak berkapang.
b) Mendidik petani, pedagang pengumpul, grosir, pengecer, industri pangan dan pakan
mengenai cara penanganan pasca panen kacang tanah dan jagung yang baik, melalui
media berupa brosur, artikel pada majalah ilmiah populer, dan lain-lain.
c) Melakukan monitoring terhadap kadar aflatoksin pada pangan dan pakan secara
kuantitatif dan semi kualitatif pada berbagai tahapan.
d) Melakukan survei yang lebih luas dan terpadu terhadap kontaminasi aflatoksin pada
berbagai bahan pangan dan pakan di berbagai daerah (kabupaten, provinsi) di
Indonesia.
e) Menangani masalah aflatoksin dengan koordinasi berbagai pihak meliputi
pemerintah, produsen, konsumen, praktisi, akademisi dan peneliti.
f) Mendistribusikan informasi yang diperoleh dari laporan ini kepada penyuluh
pertanian, importir, grosir, dan pengecer kacang tanah, serta industri pangan dan
pakan yang berbahan baku kacang tanah dan jagung.
g) Mendidik konsumen untuk dapat mengenali dan tidak mengonsumsi kacang tanah
yang tercemar aflatoksin dengan ciri biji berwarna coklat kehijauan hingga
kehitaman, dan berasa pahit.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Aspergillus sp. merupakan kapang yang tersebar luas di alam. Kapang ini menghasilkan
racun aflatoksin yang dapat mencemari bahan pangan maupun pakan ternak. Bahan pangan
terutama kacang tanah, jagung, dan biji kapas. Terdapat 18 jenis racun aflatoksin, empat yang
paling kuat daya racunnya adalah aflatoksin B1, G1, B2, dan G2. Aflatoksin B1 bersifat
karsinogen pada manusia.
Kapang A. flavus tidak selalu menghasilkan racun sehingga adanya kapang ini belum
tentu memberikan pencemaran racun aflatoksin. Aflatoksin yang mencemari pakan ternak dapat
membahayakan kesehatan dan produktivitas ternak. Sementara residunya pada hasil ternak dapat
menyebabkan keracunan (aflatoksikosis) baik akut maupun kronis pada manusia bila hasil ternak
tersebut dikonsumsi.
B. Saran
1. Bagi berbagai negara telah mencoba membatasi paparan aflatoksin dengan
mengeluarkan peraturan batasan kadar aflatoksin pada komoditi yang akan
digunakan sebagai makanan dan pakan.
2. Bagi seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholder) baik pemerintah, petani,
produsen dan konsumen pada komoditi bahan pangan dan pakan yang berpeluang
terkena cemaran aflatoksin untuk dapat melakukan Upaya pencegahan aflatoksin
dengan sebaik-baiknya.
DAFTAR PUSTAKA
A. Latar Belakang
Masalah penyakit kanker tetap menghantui umat manusia, di mana diberitakan bahwa
kanker ini merenggut 30% dari sekitar 7 juta kematian tiap tahun di seluruh dunia. Hal ini
terutama disebabkan karena gejala awal masih sulit diketahui dan sampai sekarang dunia
kedokteran masih belum menemukan obat yang mujarab untuk mengobatinya.
Sir Richard Dool salah seorang ahli kanker terkemuka Inggris menyatakan baru-baru ini
bahwa penyakit kanker yang mematikan masih dapat dikurangi dengan sekitar 60% jika orang
memakan makanan yang lebih sehat dan berhenti merokok. Peranan serat makanan yang antara
lain berfungsi untuk mencegah timbulnya penyakit kanker saluran pencernaan. Hal ini diperkuat
oleh ahli kanker tersebut yang menyatakan bawa makanan yang baik yang diperkaya dengan
sayuran dan bahan pangan berkadar serat tinggi dapat mengurangi timbulnya penyakit kanker
empedu, kandungan dan usus besar.
Jagung dan kacang tanah selalu selalu dikonsumsi oleh banyak orang. Selain itu, jagung dan
kacang tanah juga diekspor keluar negeri. Kualitas dari jagung dan kacang tanah ini, harus perlu
diperhatikan. Kualitas jagung dan kacang tanah ini dapat menurun dikarenakan adanya parasit yang tumbuh
seperti jamur. Komoditi ekspor ini sangat mudah terserang oleh jamur atau kapang misalnya Aspergillus
flavus. Selain merusak dan mengganggu, Aspergullius flavus dapat menghasilkan metabolit berupa
micotoxin. Toxin ini dikenal dengan Aflatoxin. Selain pada hasil komoditi pertanian, aflatoxin juga
dijumpai pada sector perikanan melalui pakan yang diberikan. Walau demikian bahaya micotoxin ini belum
diketahui efeknya secara luas bagi hasil perikanan.
Menurut Dr. Ir Deddy Muchtadi Sinar harapan, Pada tahun 1960 di Inggris terjadi kasus 100.000
ayam kalkun mengalami kematian yang tidak diketahui penyebabnya, sehingga penyakit tersebut
dinamakan “Turkey X disease” dan beberapa waktu kemudian kejadian tersebut terjadi kembali di Uganda
dan Kenya. Para peneliti Inggris dari Tropical Product Institute menemukan bahwa penyebab Turkey X
disease berasal dari pakan ternak yang diberikan. Dengan penelitian lebih lanjut, ditemukan bahwa
penyakit ini disebabkan oleh suatu zat hasil metabolit kapang (jamur) Aspergillus flavus yang tumbuh di
kacang tanah. Aflatoxin kemudian diresmikan menjadi nama racun atu micotoxin yang diambil dari
singkatan nama genus (Aspergillus) dan spesies (flavus).
Pada tahun 1729, Michelli dapat menjelaskan genus dari Aspergillus. Species Aspergillus kurang
lebih berjumlah 180 species. Kapang Aspergillus ini dapat tumbuh dengan baik dengan kadar air minimal
80%. Aspergillus dapat menyebabkan penyakit yang disebut Aspergilosis. Hewan terserang kapang ini,
dapat menyebabkan mucotic pneumonia, rhinitis kronis, penyakit sistemik yang disebabkan oleh jamur atau
kapang, penyakit kulit, alergi, aspergilosis pada saluran pencernaan, mastitis dan keratomycosis. Ada dua
species dari genus Aspergillus yang menghasilkan senyawa berbahaya Aflatoxin yaitu Aspergillus
flavus dan Aspergillus parasiticus. Aspergillus flavus dapat ditemukan di belahan dunia yang beriklim
panas dan lembab diantaranya afrika sub-sahara dan asia tenggara. genus Aspergillus dapat menyerang biji
kacang tanah yang rusak atau kulitnya terkelupas.
B. Tujuan
Mengetahui jamur yang menghasilkan Aflatoksin dan dapat mengetahui bahaya dari Aflatoksin
tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
Aspergillus favus Aspergillus parasiticus
Klasifikasi
Super kingdom : Eukaryota
Kingdom : Fungi
Sub kingdom : Dikarya
Phylum : Ascomycota
Subphylum : Pezizomycotina
Classis : Eurotiomycetes
Sub classis : Eurotiomycetidae
Ordo : Eurotiales
Familia : Trichocomaceae
Genus : Aspergillus
Spesies : Aspergillus flavus
Aspergillus parasiticus
B. Aflatoksin
1. Sejarah
Aflatoksin ditemukan secara tidak sengaja pada insiden kematian seratus
ribu ekor kalkun di suatu peternakan di Inggris pada tahun 1960. Penyakit
tersebut dikenal dengan nama Turkey X Disease karena belum diketahui
penyebabnya pada waktu itu. Penyebab penyakit tersebut ditemukan berupa
sejenis toksin yang terdapat dalam tepung kacang tanah pada ransum ternak.
Pengujian yang melibatkan sampel ransum ternak mengungkapkan keberadaan
sejenis kapang. Toksin tersebut berasal dari kontaminasi Aspergillus flavus pada
campuran ransum ternak tersebut.
Nama toksin tersebut diambil dari penggalan kata Aspergillus
flavus toksin yang disingkat menjadi aflatoksin karena Aspergillus
flavus dan Aspergillus parasiticus merupakan spesies dominan yang
bertanggung jawab atas kontaminasi aflatoksin pada tanaman sebelum dipanen
maupun selama penyimpanan.
C. Efek Aflatoksin
1. Efek Aflatoksin Terhadap Kesehatan Manusia
Aflatoksin dapat bersifat toksigenik, mutagenik, teratogenik, karsinogenik,
dan immunosuppresif pada hewan percobaan. Aflatoksin mendapat perhatian
yang lebih besar daripada mikotoksin lain karena memiliki potensi efek
karsinogenik terhadap tikus uji serta efek toksisitas akut terhadap manusia. Pada
sejumlah spesies hewan, aflatoksin dapat menyebabkan nekrosis akut, sirosis, dan
karsinoma hati serta berpotensi mempengaruhi sistem kekebalan tubuh. Tidak ada
hewan yang resisten terhadap efek toksik akut aflatoksin, oleh karena itu sangat
logis jika diasumsikan bahwa manusia juga mungkin dapat mengalami efek yang
sama. Pada kebanyakan spesies hewan, LD50 aflatoksin berkisar antara 0,5 hingga
10 mg/kg berat badan.
Pada tahun 1988, IARC menggolongkan aflatoksin B1 pada daftar
karsinogen terhadap manusia. Hal ini didukung dengan sejumlah hasil penelitian
epidemiologi di Asia dan Afrika yang menunjukkan hubungan positif antara diet
aflatoksin dan kanker sel hati (Liver Cell Cancer = LCC). Sebagai tambahan,
timbulnya penyakit yang berhubungan dengan aflatoksin pada manusia
kemungkinan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti usia, status nutrisi,
dan/atau paparan bahan lain, seperti virus hepatitis (HBV) atau infestasi parasit.
Aflatoksin mampu menyebabkan penyakit dalam jangka panjang (kronis)
dan penyakit jangka pendek (akut) bergantung pada dosis dan frekuensi paparan
aflatoksin. Salah satu efek yang paling sering terjadi ialah kehilangan sintesis
protein, termasuk sintesis antibodi sesuai dengan dosis paparan.
Toksisitas akut terjadi tak lama setelah mengonsumsi bahan makanan
yang terkontaminasi racun dengan dosis relatif besar dan yang terserang adalah
hati, pankreas, serta ginjal. Pada efek kronis, aflatoksin menyebabkan timbulnya
kanker hati (hepatic carcinoma). Secara umum konsentrasi aflatoksin dan akibat
yang ditimbulkannya dapat dilihat pada Tabel 3.
2. Aflatoksikosis
Keracunan akibat mengkonsumsi pangan atau pakan yang tercemar
aflatoksin disebut aflatoksikosis. Beberapa negara, terutama negara dunia ketiga,
seperti Taiwan, Uganda, dan India telah melaporkan adanya bukti terjadinya
aflatoksikosis akut pada manusia. Di negara-negara maju, kontaminasi aflatoksin
pada pangan jarang terjadi pada tingkat yang dapat menimbulkan aflatoksikosis
akut terhadap manusia. Penelitian toksisitas paparan oral aflatoksin terhadap
manusia difokuskan pada potensi karsinogeniknya. Kerentanan relatif manusia
terhadap aflatoksin masih belum diketahui, meskipun pada studi epidemiologi di
Afrika dan Asia Tenggara, tempat dimana banyak terjadi insiden hepatoma, telah
ditemukan kaitan antara insiden kanker dengan kandungan aflatoksin dalam diet.
Hasil penelitian tersebut tidak membuktikan adanya hubungan sebab akibat, tetapi
dapat menjadi bukti adanya kaitan.
Masalah yang timbul jika mengonsumsi makanan yang mengandung
aflatoksin:
a) Keracunan akut (aflatoksikosis), dengan gejala mual, muntah, kerusakan
hati hingga kematian pada kasus serius
b) Perkembangan anak dan pertumbuhan janin terganggu.
c) Metabolisme protein terganggu.
d) Kekebalan tubuh menurun.
e) Kanker hati
Efek berat aflatoksikosis pada hewan (yang diperkirakan bisa juga terjadi
pada manusia) dikategorikan ke dalam dua bentuk utama, yaitu aflatoksikosis
akut (jangka pendek) dan aflatoksikosis kronik (jangka panjang).
a) Aflatoksikosis akut dapat diakibatkan oleh konsumsi aflatoksin dalam
tingkat sedang hingga tinggi. Beberapa gejala umum aflatoksikosis adalah
edema anggota tubuh bagian bawah, nyeri perut, dan muntah. Secara
spesifik, paparan akut aflatoksin dapat menyebabkan perdarahan,
kerusakan hati secara akut, edema, perubahan pada pencernaan, dan
kemungkinan kematian. Tertelannya aflatoksin dalam jumlah besar
umumnya terjadi di peternakan. Organ target aflatoksin adalah hati.
Setelah aflatoksin masuk ke hati, lipid menyusup ke dalam hepatosit dan
menyebabkan nekrosis atau kematian sel hati. Hal ini terutama disebabkan
oleh metabolit aflatoksin yang bereaksi secara negatif dengan protein sel
lain, yang menyebabkan penghambatan metabolisme karbohidrat dan
lemak serta sintesis protein. Akibat penurunan fungsi hati, terjadi
gangguan mekanisme pembekuan darah, ikterus (jaundice), dan
penurunan protein serum esensial yang disintesis oleh hati.
b) Aflatoksikosis kronik disebabkan oleh konsumsi aflatoksin dalam tingkat
rendah hingga sedang. Efek yang ditimbulkan biasanya bersifat subklinis
dan sulit dikenali. Gejala aflatoksikosis kronik dapat berupa penurunan
laju pertumbuhan, penurunan produksi susu atau telur, dan imunosupresi.
Beberapa pengamatan menunjukkan adanya karsinogenisitas, terutama
terkait dengan aflatoksin B1. Tampak jelas terjadinya kerusakan hati
karena timbulnya warna kuning yang menjadi karakteristik jaundice, serta
timbul pembengkakan kandung empedu. Imunosupresi disebabkan oleh
reaktivitas aflatoksin dengan sel T, penurunan aktivitas vitamin K, dan
penurunan aktivitas fagositosis makrofag. Pada hewan, efek imunosupresi
akibat aflatoksin ini memberi kecenderungan terkena infeksi sekunder dari
jamur lain, bakteri, maupun virus.
2. Teknik Dekontaminasi
Upaya menekan kandungan aflatoksin dapat dilakukan dengan
menggunakan cendawan Neurospoa sp. dan Rhizopus sp. Selanjutnya untuk
menghindari serangan cendawan A. Flavus pada jagung dapat dilakukan dengan
sesegera mungkin menjemur tongkol jagung yang sudah dipanen sampai kadar air
17%, lalu dipipil dan dikeringkan lagi sampai kadar air 11% kemudian disimpan.
Pada kondisi kadar air rendah pada biji jagung, maka tidak terserang cendawan A.
Flavus. Upaya lain adalah penggunaan bahan kimia yaitu ammonia dan asam
propionate dapat negurangi jumlah spora yang menempel pada jambul jagung,
sehingga mengurangi sumber inokolum untuk infeksi di penyimpanan.
Upaya untuk mengatasi mikotoksin adalah dengan ekstraksi menggunakan
pelarut organik, antara lain dengan kalsium klorida atau sodium bikarbonat atau
dengan pemanasan dalam air garam. Penggunaan amonia atau monometylamine
dan kalsium hidroksida juga efektif dalam mengatasi toksin tersebut. NaOCl bisa
digunakan untuk dekontaminasi pada kacang tanah, formaldehid dan NaOH pada
tepung kacang. Perendaman atau pencelupan kacang tanah dalam p-amino
benzoat, kalium sulfit, kalium fluorida, ammonia 2%, asam propionat, Na-asetat,
dan H2O2. Detoksifikasi dengan ammonia terhadap aflatoksin adalah sangat
praktis dan mudah, sehingga banyak dipraktekkan.
Toksin dapat juga dihancurkan dengan pemanasan, misal penggarangan
kacang tanah pada suhu 150oC selama 30 menit akan mengurangi aflatoksin
B1 sebanyak 80% dan aflatoksin B2 sebanyak 60%. Penggorengan dengan minyak
pada kacang tanah pada suhu 204oC akan mengurangi kadar aflatoksin B1 dan
G1 rata-rata 40 -50%, sedangkan aflatoksin B2 dan G2 akan menurun sebanyak 20
– 40%. Aflatoksin dianggap stabil terhadap pemanasan, karena pada pemanasan
normal (100oC) tidak menyebabkan perubahan. Demikian pula trikhotesen,
zeralenon, khloratoksin dan patulin. Sedangkan sitrinin mudah dirusak oleh
pemanasan. Pemanasan bertekanan (autoklaf) dapat juga mengurangi kadar
aflatoksin. Pada autoklaf suhu 120oC bertekanan 15 lbs selama 4 hari pada tepung
kacang dengan kelembaban 60% akan menurunkan kadar aflatoksin dari 7.000
mg/kg menjadi 340 mg/kg.
Penyinaran dengan sinar ultra violet selama 45 detik bisa menghancurkan
spora A. Flavus. Akan tetapi penyinaran ini juga menyebabkan berkurangnya zat-
zat gizi dalam bahan pakan.
Bahan-bahan kimia tertentu, seperti diklorvos akan menghambat
pembentukan aflatoksin pada gandum, jagung, beras dan kacang
tanah. Pencegahan aflatoksin dapat dilakukan dengan penggunaan feed
aditiv yang dicampurkan dalam bahan pakan , sehingga secara in vivo feed aditiv
ini akan aktif melawan mikotoksin. Beberapa mineral dapat memiliki kemampuan
mengabsorbsi atau menangkap molekul mikotoksin sehingga tidak berbahaya bagi
ternak. Beberapa zat yang dapat bertindak sebagai feed aditiv antara
lain activated charcoal, yeast produk dinding sel. Beberapa produk sintetik dapat
digunakan, antara lain zeolit, aluminosilikat dan Gamma Amino Butiric Acid
(GABA). Zeolit aktif melawan aflatoksin T2.. Penambahan zeolit 2% sebanyak
1mg/kg bahan pakan terkontaminasi aflatoksin B1 akan menurunkan kadar
aflatoksin dalam hati sampai 30-40%.5
F. Langkah Penanganan
Berikut merupakan beberapa langkah penanganan Aflatoksin, yakni :
a) Melakukan peningkatan manajemen bercocok tanam, penggunaan varietas tanaman
tahan serangan kapang toksigenik pada proses pra panen, serta pemilihan terhadap
bahan pangan yang berkualitas baik dan tidak berkapang.
b) Mendidik petani, pedagang pengumpul, grosir, pengecer, industri pangan dan pakan
mengenai cara penanganan pasca panen kacang tanah dan jagung yang baik, melalui
media berupa brosur, artikel pada majalah ilmiah populer, dan lain-lain.
c) Melakukan monitoring terhadap kadar aflatoksin pada pangan dan pakan secara
kuantitatif dan semi kualitatif pada berbagai tahapan.
d) Melakukan survei yang lebih luas dan terpadu terhadap kontaminasi aflatoksin pada
berbagai bahan pangan dan pakan di berbagai daerah (kabupaten, provinsi) di
Indonesia.
e) Menangani masalah aflatoksin dengan koordinasi berbagai pihak meliputi
pemerintah, produsen, konsumen, praktisi, akademisi dan peneliti.
f) Mendistribusikan informasi yang diperoleh dari laporan ini kepada penyuluh
pertanian, importir, grosir, dan pengecer kacang tanah, serta industri pangan dan
pakan yang berbahan baku kacang tanah dan jagung.
g) Mendidik konsumen untuk dapat mengenali dan tidak mengonsumsi kacang tanah
yang tercemar aflatoksin dengan ciri biji berwarna coklat kehijauan hingga
kehitaman, dan berasa pahit.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Aspergillus sp. merupakan kapang yang tersebar luas di alam. Kapang ini menghasilkan
racun aflatoksin yang dapat mencemari bahan pangan maupun pakan ternak. Bahan pangan
terutama kacang tanah, jagung, dan biji kapas. Terdapat 18 jenis racun aflatoksin, empat yang
paling kuat daya racunnya adalah aflatoksin B1, G1, B2, dan G2. Aflatoksin B1 bersifat
karsinogen pada manusia.
Kapang A. flavus tidak selalu menghasilkan racun sehingga adanya kapang ini belum
tentu memberikan pencemaran racun aflatoksin. Aflatoksin yang mencemari pakan ternak dapat
membahayakan kesehatan dan produktivitas ternak. Sementara residunya pada hasil ternak dapat
menyebabkan keracunan (aflatoksikosis) baik akut maupun kronis pada manusia bila hasil ternak
tersebut dikonsumsi.
B. Saran
1. Bagi berbagai negara telah mencoba membatasi paparan aflatoksin dengan
mengeluarkan peraturan batasan kadar aflatoksin pada komoditi yang akan
digunakan sebagai makanan dan pakan.
2. Bagi seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholder) baik pemerintah, petani,
produsen dan konsumen pada komoditi bahan pangan dan pakan yang berpeluang
terkena cemaran aflatoksin untuk dapat melakukan Upaya pencegahan aflatoksin
dengan sebaik-baiknya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2007. Aflatoksin. http://www.pom.go.id/surv/events/afla2007Vol2.pdf, diakses pada
tanggal 3 Mei 2012.
Anonim. Mewaspadai Cemaran Aflatoksin pada Pangan. http://www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&ved=0CE0QFjAB&url=http%3A%2F
%2Fbalitnak.litbang.deptan.go.id
Dwooqkii. 2012.Info tentang racun aflatoksin yang terdapat pada kacang
tanah. http://www.forumkami.net/cafe/207917-info-tentang-racun-aflatoksin-terdapat-kacang-
tanah.html, diakses pada tanggal 3 Mei 2012.
v