Anda di halaman 1dari 13

POPULASI KUSKUS DI INDONESIA TIMUR

Oleh:
Windra Nandhitya B1A16102

TUGAS TERSTRUKTUR EKOLOGI HEWAN

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2021
I. PENDAHULUAN

Kuskus dari famili Phalangeridae merupakan marsupial Australian yang


penyebarannya cukup luas dimulai dari bagian Timur Indonesia, Australia, Papua New
Guinea sampai beberapa kepulauan di bagian Timur Papua New Guinea (Petocz, 1994).
Satwa ini secara adat tergolong dilidungi oleh masyarakat karena memiliki fungsi
tertentu (Liswanti, 2006). Jumlah jenis kuskus di New Guinea (Irian Jaya di Indonesia
dan Papua New Guinea) dan pulau-pulau sekitarnya sebanyak 11 jenis yang terdiri dari
dua marga (genus) yaitu marga Spilocuscus (kuskus bertotol) dan marga Phalanger
(kuskus tidak bertotol). Kuskus juga merupakan marsupialia nokturnal (hewan
berkantong yang aktif pada malam hari). Hewan ini biasanya hidup di daerah hutan
primer maupun sekunder (Sinery, 2006).
Perburuan hewan-hewan liar dari alam selalu saja dilakukan oleh manusia karena
mereka tidak mempertimbangkan pentingnya aspek dan tidak dapat memisahkan dengan
tumbuhan yang digunakan atau dimanfaatkan oleh kuskus untuk beraktivitas, mayoritas
berupa pohon kanopi dan beberapa diantaranya pohon biasa yang tidak memiliki kanopi.
Penggundulan hutan dan perburuan illegal sangat berdampak besar pada populasi kuskus
khususnya di wilayah Papua. Hutan yang merupakan rumah atau sarang dari kuskus
ditebang secara illegal dan tidak teratur semakin memperparah keadaan.
Disamping termasuk satwa mamalia berkantung endemic di Papua, kuskus juga
merupakan satwa yang memiliki karakter morfologi yang mempesona. dengan wilayah
penyebaran terbatas sehingga menjadi dasar penetapannya sebagai satwa yang
dilindungi oleh pemerintah melalui Keputusan Menteri Pertanian No.
247/KPTS/UM/4/1979. Kuskus juga dilindungi oleh Peraturan Pemerintah No. 7 tahun
1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Hewan dan secara global dua jenis di
antaranya telah terdaftar dalam Appendix IIConvention on International Trade in
Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) (Febriadi, 2016).
Kuskus coklat biasa/kuskus timor (P. orientalis) dikenal oleh penduduk lokal
dalam bahasa Meyah dengan sebutan mesim (betina) dan mosup (jantan). Kuskus
bertotol biasa (S. maculatus) dikenal dengan sebutan mesvir yang meliputi mesvir oja
(Betina) dan mesvir ona (Jantan). Kuskus coklat biasa (P. orientalis) merupakan jenis
kuskus berukuran sedang dengan warna rambut dan ukuran tubuh jenis ini menjadi
karakter morfologi pembeda spesies ini. Panjang dan berat tubuh jantan masing-masing
berkisar antara 397 sampai 480 mm dan 2.300 sampai 2.500 gr, sedangkan panjang dan
berat tubuh betina berkisar antara 374 sampai 400 mm dan 2.000-2.200 g. Dibandingkan
dengan hasil karakterisasi Flannery (1994) terhadap 4 jantan dewasa P. orientalis asal
daratan New Guinea, Dimomonmau (2000) asal pulau Moor, Warmetan (2004) asal
pulau Yapen dan Jendewoa (2005) asal pulau Biak tampak bahwa rerata ukuran tubuh P.
orientalis dari yang terbesar berturut-turut yaitu P. orientalis asal Taman Wisata
Gunung Meja, selanjutnya dari daratan New Guinea, pulau Moor, pulau Biak dan pulau
Yapen. Berat tubuh berturut-turut dari daratan New Guinea selanjutnya Taman Wisata
Gunung Meja, pulau Yapen, pulau Moor, dan pulau Biak. Sedangkan rerata ukuran
tubuh betina P. orientalis yang terbesar berturut-turut P. orientalis dari daratan New
Guinea, selanjutnya dari Taman Wisata Gunung Meja, pulau Yapen, dan asal pulau Biak
dengan berat tubuh berturut-turut P. orientalis dari pulau Yapen, selanjutnya daratan
New Guinea, Taman Wisata Gunung Meja, dan pulau Biak. Hal ini menunjukkan
adanya perbedaan ukuran organ dan berat tubuh jantan dan betina P. orientalis pada
masing-masing wilayah sebagai akibat variasi geografi, habitat, ketersediaan pakan dan
proses evolusi yang dipengaruhi faktor genetik dalam waktu yang panjang serta
perubahan lingkungan. P.orientalis jantan dan betina memiliki rambut yang sama dan
didominasi warna coklat dari kepala (anterior) ke arah belakang (posterior) sampai ujung
ekor berambut dan ke arah samping menuju ventral. Ventral berwarna coklat terang
(putih kotor) dari bawah kepala sampai pangkal ekor dan berwarna agak coklat disertai
strip tengah dorsal berwarna coklat kehitaman dari pangkal. Kantung bayi pada ventral
betina berwarna coklat muda (Sinery, 2006).
II. METODE PENELITIAN

Penelitian yang dilakukan di Nabire dalam mendata sifat kualitatif dan kuantitatif
kuskus di Pulau Moor Kabupaten Nabire, Papua, dibagi dalam dua tahap yaitu tahap I
adalah penelitian lapangan dengan kegiatan koleksi kuskus yang terdapat di pulau Moor,
dimulai dari 30 November sampai dengan 9 Desember 2002.. Tahap II adalah penelitian
lanjutan di laboratorium yang meliputi pengamatan sifat-sifat fisiologis pencernaan dan
organ reproduksi. Tahap kedua ini dilaksanakan di Laboratorium Anatomi dan Fisiologi
Reproduksi Ternak mulai minggu II hingga minggu III Desember 2002.
Penelitian tahap I merupakan pengamatan lapang yang dilakukan dengan cara
mengkoleksi kuskus dari habitatnya dengan bantuan penduduk lokal. Untuk kepentingan
pengamatan (identifikasi) jenis makanan yang dikonsumsi maka dilakukan pembedahan
pascamati pada system pencernaan. Kuskus yang diperoleh kemudian diamati karakter
kualitatifnya dengan cara mengamati warna tubuh kuskus pada bagian ventral dan
dorsal, warna telinga bagian dalam dan luar; pengamatan karakter kuantitatif dilakukan
dengan cara menimbang untuk bobot badan dan bobot karkas, mengukur panjang badan,
ekor dan karakter lain yang dianggap penting pada kuskus. Dari kegiatan ini diperoleh
13 ekor kuskus dari 2 (dua) spesies yaitu 7 ekor spesies Phalanger orientalis dan 6 ekor
spesies Spilocuscus maculatus. Dari sejumlah tersebut 5 ekor yang terdiri dari 3 ekor (2
jantan dan 1 betina) Phalanger orientalis dan 2 ekor (jantan dan betina) Spilocuscus
maculatus telah dilakukan pembedahan pascamati di lapang untuk pengamatan sifat
kualitatif dan kuantitatif
Penelitian Tahap II merupakan pengamatan di laboratorium sebagai bentuk
tindak lanjut setelah penelitian lapangan. Kegiatan yang dilkaukan kali ini meliputi;
lanjutan pengamatan sifat-sifat kualitatif dan kuantitatif kuskus (anatomi), seperti yang
sudah dilakukan di lapang. Setelah itu, Pengamatan organ-organ visceral (fisiologis).
Pengamatan organ-organ visceral dilakukan dengan cara melakukan pembedahan kuskus
jantan dan betina. Mula-mula kuskus dibius dengan ethil ether yang telah dibasahi pada
kapas, lalu ditutup pada hidung sampai kuskus pingsan setelah itu disembelih pada
bagian vena jugularis. Setelah itu kuskus diangkat dan diletakkan di atas bak
pembedahan. Pembedahan dilakukan pada bagian medio ventral yaitu mulai dari bagian
anus sampai ke rongga mulut. Setelah itu dilakukan pengamatan terhadap anatomi dan
fisiologi organ-organ tubuh bagian visceral. Pengamatan selanjutnya dilakukan dengan
cara melepaskan bagian-bagian organ tubuh sesuai kelompoknya masing-masing seperti:
organ-organ yang tergolong dalam sistem pencernaan, dan sistem reproduksi.
Selanjutnya dilakukan pengukuran berat, panjang atau volume dari masingmasing organ
tersebut.
Metode penelitian yang digunakan oleh Sinery (2006) dalam mendata jenis
kuskus yang ada di Taman Wisata Gunung Meja Kabupaten Manokwari, terdiri atas
beberapa tahapan kegiatan, yaitu: survei pendahuluan dengan tujuan untuk mengetahui
keadaan lokasi penelitian. Penentuan stasiun pengamatan secara proposif berdasarkan
kepadatan populasi, dengan batas plot pengamatan berdasarkan batas taman wisata
sehingga dibuat 4 stasiun pengamatan masing-masing pada arah timur, barat, utara dan
selatan. Pengambilan obyek; dilakukan dengan bantuan masyarakat pada siang hari dan
malam hari, dan dilakukan di kawasan hutan juga di luar kawasan hutan (masyarakat).
Pengukuran ukuran tubuh menggunakan mistar (meteran) dinyatakan dalam
millimeter (mm), berat tubuh menggunakan timbangan dinyatakan dalam gram (g), suhu
dan kelembaban udara menggunakan termohigrometer (pukul 19.00, 24.00 dan
05.00 WIT) sedangkan gambar obyek diambil menggunakan kamera. Hasil deskripsi
morfologi kuskus dicatat pada tally sheet, selanjutnya dilakukan identifikasi jenis
berdasarkan kunci identifikasi kuskus New Guinea dan kunci identifikasi kuskus Irian
Jaya. Deskripsi habitat ditemukannya obyek, meliputi ketinggian tempat, jenis pakan,
suhu dan kelembaban lingkungan. Pemanfatan kuskus oleh masyarakat di sekitar
kawasan, meliputi dikonsumsi, dijual, dibuat karya kerajinan dan dipelihara. Variabel
yang diamati terdiri dari variabel utama yaitu karakter morfologi kuskus dan variabel
pendukung yaitu jenis pakan kuskus, habitat kuskus, waktu aktif kuskus dan etnozoologi
kuskus (pemanfaatan kuskus oleh penduduk lokal). Data yang dikumpulkan terdiri atas:
deskripsi karakter morfologi kuskus, jenis pakan (pengamatan dan wawancara), habitat
kuskus, waktu aktif kuskus, pemanfaatan kuskus oleh penduduk lokal (konsumsi, jual
(hidup/mati), karya kerajinan dan pelihara. Data hasil penelitian ditabulasi dan disajikan
dalam bentuk tabel dan gambar.
Sedangkan Pattiselanno (2006), melakukan penelitiannya dalam dua tahap.
Tahap pertama: berupa wawancara pada masyarakat yang berprofesi sebagai pemburu,
sedangkan tahap kedua berupa peninjauan langsung ke lokasi perburuan sekaligus
menghimpun data kuantitatif dan kualitatif kuskus hasil buruan. Melode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah melode deskriptif dengan teknik studi kasus. Kasus yang
dipelajari adalah perburuan kuskus oleh masyarakat di pesisir Napan Yaur, L au Ratewi,
Nabire.
Responden ditentukan secara sengaja dengan menentukan 50% dari total 55
kepala keIuarga (KK) yang tinggal di desa Arui atau sebanyak 28 mKK. Selanjutnya
dari 28 KK tersebut dilakukan (1) identifikasi jumlah KK yang melakukan perburuan
dan memanfaatkan kuskus; diperoleh 20 KK, (2) identifikasi KK yang tidak melakukan
perburuan tetapi memanfaatkan kuskus; diperoleh 5 KK, (3) identifikasi KK yang tidak
melakukan perburuan dan juga tidak memanfaatkan kuskus; diperoleh 2 KK.
Penelitian tahap pertama dilakukan dengan mewawancarai 20 orang responden
yang sudah ditentukan sebelumnya. Pada tahap ini dilakukan wawancara secara
terstruktur, berdasarkan kuisioner yang telah disiapkan. Untuk mendapatkan informasi
yang lebih akurat klarifikasi terhadap data sekunder dilakukan dengan mewawancarai
sejumlah informan kunci (tokoh adat, kelompok pemburu, lokoh masyarakat). Pada
penelitian tahap kedua dilakukan survei langsung ke lokasi perburuan untuk uji silang
terhadap hasil wawancara sebagai klarifikasi terhadap lokasi, alai buru, melode berburu
dan habitat kuskus. Kuskus hasil buruan yang diperoleh pemburu responden kemudian
diamati karakter kualitatifnya dengan cara mengamati warna tubuh kuskus pada bagian
ventral dan dorsal, warna lelinga bagian dalam dan luar. Dan analisis data yang
dilakukan dijelaskan secara deskriptif.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Penangkaran satwa tidak semudah pembudidayaan hewan ternak, karena


berbagai perubahan akan dialami satwa tersebut selama dalam penangkaran, meskipun
kondisi penangkaran dibuat seperti habitat asli. Hal ini menyebabkan tingkat
keberhasilan usaha penangkaran ini tidak optimal bahkan cenderung gagal. Kondisi ini
terjadi karena tidak optimalnya pengawasan dan kurangnya informasi mengenai
berbagai aspek tentang satwa, salah satunya aspek biologis. Aspek biologis yang
dimaksud adalah sifat kualitatif dan kuantitatif, tingkah laku makan dan kawin serta
anatomi dan fisiologi satwa (Supriyantono et al., 2006).
Sifat kualitatif menentukan klasifikasi individu ke dalam suatu kelompok
tertentu, sedangkan sifat kuantitatif banyak dipengaruhi oleh lingkungan, selain genetik
(Suryo, 1989). Anatomi dan fisiologi, khususnya sistem pencernaan dan reproduksi,
sangat menentukan karakteristik pakan dan tingkah laku makan serta tingkah laku
kawin. Selanjutnya, sifat-sifat tersebut akan mendukung produktivitas hewan. Untuk
menunjang upaya mempertahankan dan melestarikan kuskus baik pada habitat asli
maupun penangkaran, perlu dilakukan studi sifat kualitatif dan kuantitatif, tingkah laku
serta anatomi dan fisiologi kuskus seperti yang dilakukan di Pulau Moor Kabupaten
Nabire, Papua. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat kualitatif dan kuantitatif,
tingkah laku serta anatomi kuskus. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan
kontribusi berupa informasi mengenai aspek biologi kuskus sehingga dapat menunjang
usaha pelestarian satwa kuskus, khususnya di Pulau Moor Kabupaten Nabire. Semua
hasil pengamatan pada penelitian ini dianalisis secara statistik deskriptif (Supriyantono
et al., 2006).
Berikut, merupakan hasil penemuan jenis-jenis satwa liar yang terdapat di Pulau
Moor Kabupaten Nabire :
No. Jenis Fauna Jumlah
Megapodius freycinet (maleo kecil) Sedikit
1
Larus novaehollandiae (burung dara laut) Sedikit
2
Egretta garzetta (bangau putih) Sedikit
3
Sus scrofa (babi hutan) Banyak
4
Phalanger permextio (kuskus hutan
Banyak
5 perbukitan)

Phalanger orientalis (kuskus kelabu) Banyak


6
Spilocuscus maculatus (kuskus bertotol) Banyak
7
Acrobates pygmeus (peluncur) Sedikit
8
Petaurus breviceps (tupai/bajing) Sedikit
9
Lasis papuanus (ular phyton Papua) Sedikit
10
Candioa aspera (ular boa tanah) Sedikit
11

Pteropus electo (kelelawar) Sedang


12

Hasil identifikasi dan wawancara dengan masyarakat disekitar kawasan Taman


Wisata Gunung Meja, Manokwari menunjukkan bahwa terdapat 26 (dua puluh enam)
jenis vegetasi sebagai pakan kuskus yang meliputi jenis vegetasi hutan dan tanaman
pertanian serta perkebunan. Mandowen (2004) mengemukakan bahwa di Taman Wisata
Gunung Meja, Manokwari terdapat lebih dari 20 jenis tumbuhan sebagai pakan kuskus
yang sebagian besar dari ordo Moraceae. Tingginya potensi jenis vegetasi yang terdapat
pada kawasan ini memberi peluang dalam produksi bahan pakan kuskus. Perbandingan
jenis pakan yang dikonsumsi kedua jenis kuskus ini menunjukkan bahwa keduanya
mengkonsumsi jenis-jenis tumbuhan yang sama namun berdasarkan daerah jelajah, P.
orientalis sering dijumpai selain di hutan juga di areal perkebunan atau pertanian, karena
adanya sifat soliter terhadap populasi besar. Jenis pakan yang dikonsumsi meliputi
vegetasi hutan, tanaman pertanian atau perkebunan. Bagian yang dikonsumsi kuskus
adalah buah (matang), daun muda (pucuk/tunas) dan bunga ((Sinery, 2006).
Habitat P. orientalis dan S. maculatus memiliki lokasi penyebaran yang hampir
sama yaitu dari arah timur ke barat dan dari arah utara ke selatan yang terpusat ke arah
tengah dan dibatasi jaringan jalan di tengah kawasan dan pemukiman penduduk di desa
Ayambori. Kuskus hidup pada jenis vegetasi hutan yang bertajuk lebat seperti Pometia
sp., Myristica sp., Ficus sp., Intsia sp., dan jenis liana yang umumnya ditemui pada
hutan primer maupun pada hutan sekunder. Lokasi sebaran kuskus di Taman Wisata
Gunung Meja disajikan pada Gambar 1. Kuskus merupakan satwa liar yang kurang
bergantung pada air, satwa ini tidak memerlukan sumber-sumber air untuk mandi,
minum maupun berkembangbiak. Air untuk kuskus diperlukan untuk keseimbangan
metabolisme tubuh yang umumnya diperoleh dari hasil metabolisme berbagai jenis
pakan yang dikonsumsi (Sinery, 2006).
Kuskus merupakan mamalia nokturnal yang beraktivitas (mencari makan, kawin
dan bermain) di malam hari. Secara umum waktu aktif kuskus di Taman Wisata Gunung
Meja, Manokwari yaitu waktu kuskus mulai beraktivitas sampai kembali
beristirahat/bersembunyi yaitu mulai pukul 20.00 WIT sampai 05.00 WIT. Kuskus
cenderung dijumpai pada kondisi setelah turun hujan dan saat terang bulan dengan
temperatur udara rata-rata 23 sampai 30ºC dan rata-rata kelembaban udara 85 sampai 88
%. Penduduk biasanya melakukan perburuan kuskus pada kondisi demikian karena saat
setelah turun hujan kuskus mulai mencari makan dengan memanfaatkan bagian vegetasi
yang baru bertumbuh/tunas dan melakukan aktivitas lainnya dan saat. Selain itu saat
terang bulan kuskus memanfaatkan cahaya bulan untuk mencari sumber-sumber pakan,
disamping itu membantu dalam menentukan pasangannya (Sinery, 2006).
Menurut Leavesley (2005), Kuskus tergolong kedalam hewan yang memakan
daun dajuga serangga atau yang biasa dikenal dengan folivores / insektivora. Makanan
dari tumbuhan yang biasa dikonsumsi ooleh kuskus yaitu daun dan buah, dengan
sesekali memakan seranggaseperti semut dan serangga pohon lainnya. Kuskus juga
merupakan hewan yang banyak sekali ditemukan didaerah beriklim tropis atau subtropis,
dan faktanya P. orientalis jarang meninggalkan hutan hujan yang merupakan cirri khas
dari daerah yang beriklim tropis. Hewan ini sering kali ditemukan tidur di pohon untai
dengan posisi overhang pada siang hari. Posisi overhang merupakan posisi favorit dari
kuskus dengan posisi menggelantung di pohon dengan posisi tangan memeluk batang
pohon tersebut. Kadang-kadang mereka tidur di cabang terbuka, dan sesekali
melakukan aktivitas diurnal.
Pengenalan ke kompleks budaya, termasuk pertanian dan babi, berpotensi
memiliki dampak besar pada perilaku akuisisi makanan. Hal ini akan memiliki tekanan
perburuan berkurang pada kuskus, dan kuskus direduksi sementara menjadi peran
sekunder dalam makanan manusia. Mengurangi tekanan perburuan akan memberikan
kesempatan bagi populasi kuskus untuk memperluas dan meningkatkan ketersediaan
individu yang lebih besar/banyak. Keuntungan dalam waktu yang diberikan oleh sektor
pertanian, ditambah dengan mengurangi ketergantungan pada kuskus, bisa juga menjadi
faktor dalam memberikan ruang lingkup manusia untuk lebih selektif dalam berburu
kuskus, yang memungkinkan manusia untuk lebih berkonsentrasi pada mencari yang
hewan (kuskus) yang lebih tua dan lebih besar (Leavesley, 2005).
Perburuan yang dilakukan di Indonesia khususnya di Indonesia bagian timur
yang merupakan tempat terbanyak ditemukan kuskus, sebagian besar dimanfaatkan
untuk dikonsumsi. Namun ada pula yang berburu hewan ini untuk di jual atau
dikomersilkan. Harga yang lumayan bagus dipasaran merupakan faktor utam yang
menyebabkan mulai banyak manusia yang memanfaatkan kusus untuk dijual. Di Nabire,
Papua harga jual seekor kuskus hidup sekitar Rp. 100.000 s.d Rp. 200.000.
MenurutLee dalam Pattiselanno (2008) kegiatan perburuan dapat dibedakan menjadi:
1.) Perburuan aktif, yaitu aktivitas yang banyak menguras energi, membutuhkan tenaga
dan menghabiskan waktu karena pemburu harus mengejar, memburu dan
menangkap hewan buruan
(2) Perburuan pasif, hanya membuluhkan waktu dan lenaga unluk meraneang dan
menempalkan perangkap alau jeral pada lokasi yang dilelapkan sambil menunggu
hewan buruan masuk dalam jeral alau perangkap.
Pattiselanno (2006) mecatat perburuan satwa di Papua dilakukan baik secara
aktif maupun pasif. Semua respond en di Desa Arui melakukan aktivitas perburuan aktif
karena praktek ini telah dilakukan secara turun temurun dan sampai saat ini tetap terus
dilakukan. Perburuan pasil yang menggunakan jeral alau perangkap sangal jarang
dilakukan karena membuluhkan waklu di anlaranya unluk meraneang dan menempalkan
jeral alau perangkap di lokasi perburuan. Aktivitas perburuan ini umumnya dilakukan
jika mereka memerlukan daging untuk dikonsumsi. Jika ingin menangkap kuskus dalam
keadaan hidup maka perburuan aktif yang lebih tepat dilakukan (Pattiselanno, 2007).
Waktu perburuan kuskus berbeda antara satu responden dengan responden
lainnya. Sebagai nelayan yang waklu melautnya pad a malam hari, perburuan kuskus
dilakukan dari pagi jam 08:00) sampai dengan sore hari hari (18:00). Dalam kondisi
dimana mereka lidak melau!, ada yang aktil melakukan perburuan pada malam hari
mulai dari jam 19:00 s.d. 24:00. Perburuan malam hari dilakukan dengan alasan aktivitas
kuskus yang tinggi di malam hari sehingga memudahkan unluk menemukan dan
memburu hewan tersebut. Perburuan di siang hari dilakukan setelah mengetahui dengan
pasti pohon tempat kuskus bertengger saat tidur atau beristirahat. Siang hari kuskus
berteduh di tajuk pohon yang rimbun dan tinggi untuk berlindung dari predator. Oleh
karena ilu perburuan pada siang hari relatif lebih sulit dibanding pada malam hari, tapi
jika pohon tempat bertengger kuskus telah dikelahui, maka pohon ditebang dan kuskus
ditangkap atau dibunuh (Pattiselanno, 2007).
Upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk menjaga populasi kuskus di
Indonesia yang semakin berkurang diantara dengan konservasi secara insitu dengan
menempatkan kuskus di hutan yang menyerupai habitat aslinya. Yang pasti, hutan yang
digunakan untuk menempatkan hewan ini merupakan hutan yang termasuk atau sudah
terdaftarkan sebagai hutan lindung yang jelas keberadaannya tidak dapat diganggu lagi
oleh manusia. Selain itu, konservasi kuskus juga dilakukan secara exsitu dengan
melakukan penangkaran kuskus di kebun binatang yang ada di Indonesia dan juga
penakaran-penakaran kuskus didekat habitat asalnya. Upaya lain yang dilakukan yaitu
dengan mengontrol kegiatan perburuan illegal serta mengatur ketentuan atau kriteria dari
umur atau jenis kelamin kuskus yang boleh diburu.
IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan, didapatkan kesimpulan :


1. Sifat kualitatif menentukan klasifikasi individu ke dalam suatu kelompok tertentu,
sedangkan sifat kuantitatif banyak dipengaruhi oleh lingkungan dapat menentukan
Optimal atau tidaknya penangkaran satwa karena dalam penangkaran satwa tidak
semudah pembudidayaan hewan ternak, karena berbagaiperubahan akan dialami
satwa tersebut selama dalam penangkaran.
2. Di Indonesia bagian timur, perburuan terhadap kuskus sudah mulai banyak dilakukan
untuk dikonsumsi dagingnya ataupun dikomersilkan atau diperjual belikan dalam
kondisi hidup.
3. Pembalakan hutan secara illegal juga dapat mengurangi populasi kuskus, karena
ebagian besar kuskus menggunakan pohon-pohon besar sebagai tempat tinggal atau
sarang.
4. Upaya-upaya dalam melestarikan populasi kuskus ini sudah mulai dilakukan, dalam
bentuk penangkaran ditempat wisata dan juga pemeliharaan kuskus di hutan lindung.
DAFTAR PUSTAKA

Febriadi, I. 2016. Sudi Tentang Habitat dan Pendugaan Populasi Kuskus Bertotol Biasa
(Spilocuscus Maculatus Desmarest, 1803) di Pulau Numfor Kabupaten Biak
Numfor. Jurnal Agroforestri Vol 10 No. 3 pp. 171-180.

Leavesley, M. G. 2005. Prehistoric Hunting Strategies in New Ireland, Papua New


Guinea : The Evidence of Cuscus (Phalanger orientalis) Remains from Buang
Merabak Cave. Asian Prespectives. Vol 44 No. 1 pp. 208-218

Sinery, A. S. 2006. Jenis Kuskus di Taman Wisata Gunung Meja Kabupaten


Manokwari, Irian Jaya Barat. Biodiversitas. Fakultas Kehutanan IUniversitas
Negeri Papua. Vol. 7 No. 2 pp. 175-180

Supriyantono et al. 2006. Sifat Kualitatif Dan Kuantitatif Kuskus di Pulau Moor
Kabupaten Nabire Papua. Berk. Penel. Hayati No. 11 pp. 139-145

Pattiselanno. F. 2007. Perburuan Kuskus (Pha~angeridae) oleh Masyarakat Napan di


Pulau Ratewi, Nabire, Papua. Biodiversitas. Vol 8 No. 4 pp. 274-278

Pattiselanno. F.., & Koibur, J.F. 2008. Cuscus (Phalangeridae) Hunting by Biak Ethnic
Group in Surrounding North Biak Strict Nature Reserve, Papua. HAYATI
Journal of Biosciences. Vol 15. No. 3 pp. 130-134

Anda mungkin juga menyukai