Tim Penyusun:
(sesuai SK Ketua BKS No. Nomor:11/BKS PTN-Barat/X/2014)
Penulis:
Prof. Dr. Moh. Matsna HS., MA (UIN Jakarta); Dr. Kadar, M.Ag (UIN Suska)
Dr. Supriadi, M.Ag. (Untan); Nurhasanah Bakhtiar M.Ag. (UR); Drs. Ahmad Kosasih, MA (UNP)
Reviewer:
Prof. H. Zainuddin, MA (UIN Maulana Malik Ibrahim)
Fasilitator:
Dr. Helmiyati (UIN Suska)
Disusun dalam rangka penyelenggaraan Program Penyusunan Buku Ajar Bersama BKS PTN-Barat
Diperbanyak dalam bentuk CD oleh Sekretaris Eksekutif untuk dipergunakan dalam lingkungan PTN
anggota BKS PTN- Barat sesuai dengan hasil Rapat Tahunan XXXVI Rektor BKS PTN-Barat di Padang
tanggal 28-30 September 2016.
Hak Cipta© 2014 ada pada penulis. Isi buku ini dapat digunakan, dimodifikasi, dan disebarkan untuk
tujuan bukan komersil (non profit), dengan syarat tidak menghapus atau mengubah atribut penulis. Tidak
diperbolehkan melakukan penulisan ulang kecuali mendapatkan izin terlebih dahulu dari penulis.
Palembang
April 2017
BUKU AJAR
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TIM PENULIS
0
KATA PENGANTAR
Wassalam,
Tim Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................ii
BAB I: AGAMA DAN PEDOMAN HIDUP
A. Pengertian Agama...........................................................1
B. Belakang Manusia Beragama..........................................2
C. Jenis-jenis Agama...........................................................5
D. Fungsi Agama.................................................................6
E. Kedudukan Agama Islam................................................8
3
D. Ketuhanan Dalam al-Qur‟an.........................................56
E. Hakekat La Ilaha illallah.............................................57
F. Nubuwwat (Kenabian)..................................................57
G. Ruhaniyyat (Makhluk-makhluk Ghaib).......................61
H. Sam‟iyyat......................................................................64
I. Pemurnian Aqidah.........................................................67
BAB V: SYARI’AH
A. Pengertian Syari‟ah, Fiqh dan Hukum Islam..............75
B. Pembagian Hukum Islam..............................................80
C. Tujuan, Prinsip dan Watak Syaria‟t Islam....................84
D. Ruang Lingkup Syari‟at Islam......................................87
E. Aplikasi Syaria‟t (Hukum Islam)..................................88
4
BAB VIII: PERNIKAHAN DALAM ISLAM
A. Pengertian dan Hukum Nikah........................................160
B. Tujuan Nikah..................................................................161
C. Tata Cara Pernikahan Dalam Islam................................162
D. Rukun Nikah...................................................................163
E. Syarat Nikah....................................................................163
F. Pernikahan yang Terlarang............................................165
G. Kewajiban Suami dan Istri.............................................167
H. Putusnya Pernikahan......................................................167
I. Nikah dalam Kompilasi Hukum Islam...........................176
5
E. Kedudukan Akal dalam Islam.........................................210
F. Integrasi Iman, Ilmu dan Teknologi dan Seni..................214
G. Keutamaan Orang yang Berilmu......................................215
H.Tanggung Jawab Ilmuan Terhadap Lingkungan..............217
I. Sejarah Perkembangan Peradaban Umat Islam................219
J. Mesjid sebagai Pusat Peradaban Umat Islam....................221
6
BAB XIV: PERBEDAAN PENDAPAT DALAM ISLAM
A. Munculnya Aliran Dalam Islam..............................................289
B. Macam-macam Aliran Dalam Islam.......................................289
C. Latar Belakang Munculnya Perbedaan Pendapat Dalam
Islam........................................................................................295
D. Corak Pemahaman Islam di Indonesia...................................300
DAFTAR REFERENSI......................................................................302
7
BAB I
AGAMA DAN PEDOMAN HIDUP
A.Pengertian Agama
Secara etimologis kata “agama” berasal dari bahasa Sanskrit,
yaitu yang tersusun dari dari dua kata, a = tidak dan gam= pergi. Jadi
agama artinya tidak pergi, tetap di tempat, diwarisi secara turun
temurun (Harun Nasution,1985:9). Hal ini menunjukkan pada salah
satu sifat agama, yaitu diwarisi secara turun temurun dari satu generasi
ke generasi berikutnya. Ada juga versi lain yang mengatakan agama
tersusun dari a = tidak dan gama berarti kacau. Jadi agama artinya
tidak kacau. Selanjutnya ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa
agama berarti teks atau kitab suci.
Agama dalam Bahasa Arab disebut din, yang mengandung arti
menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, kebiasaan. Agama
memang membawa peraturan-peraturan yang merupakan hukum, yang
harus dipatuhi orang. (Harun Nasution,1985:9). Din dalam bahasa
Semit juga berarti undang-undang atau hukum. Sedangkan dalam
bahasa Inggris agama disebut religi yang terambil dari bahasa latin
relegere yang mengandung arti mengumpulkan, membaca. Pendapat
lain kata itu berasal dari relegare yang berarti mengikat.
Intisari yang terkandung dalam istilah-istilah di atas menurut
Harun Nasution adalah ikatan. Agama mengandung arti ikatan-ikatan
yang harus dipegang dan dipatuhi manusia.
Sedangkan menurut terminologi, definisi agama beragam
tergantung orang yang mendefinisikannya. Mukti Ali pernah
mengatakan , barangkali tidak ada kata yang paling sulit diberi
pengertian dan definisi selain dari kata agama. Pernyataan ini
didasarkan pada tiga alasan. Pertama, bahwa pengalaman agama
adalah soal batini, subyektif dan sangat individualis sifatnya. Kedua,
barangkali tidak ada orang yang begitu bersemangat dan emosional dari
pada orang yang membicarakan agama. Karena itu setiap pembahasan
tentang arti agama selalu ada emosi yang melekat erat sehingga kata
agama itu sulit didefinisikan. Ketiga, konsepsi tentang agama
dipengaruhi oleh tujuan dari orang yang memberikan definisi itu
(Mukti Ali,1971: 4).
Sampai sekarang perdebatan tentang definisi agama masih belum
selesai, hingga W.H. Clark, seorang ahli Ilmu Jiwa Agama,
sebagaimana dikutip Zakiah Daradjat mengatakan, bahwa tidak ada
yang lebih sukar dari pada mencari kata-kata yang dapat digunakan
untuk membuat definisi agama, karena pengalaman agama adalah
subyektif, intern, individual, dimana setiap orang akan merasakan
8
pengalaman agama yang berbeda dari orang lain. Di samping itu
tampak bahwa umumnya orang lebih condong mengaku beragama,
kendatipun ia tidak menjalankannya.
Menurut Durkheim, agama adalah sistem kepercayaan dan
politik yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang
kudus. Bagi Spencer, agama adalah kepercayaan terhadap sesuatu yang
maha mutlak. Sementara Dewey mengatakan bahwa agama adalah
pencarian manusia terhadap cita-cita umum dan abadi meskipun
dihadapkan pada tantangan yang dapat mengancam jiwanya; agama
adalah pengenalan manusia terhadap kekuatan ghaib yang hebat.
(Didiek Ahmad Subadi, 2012: 36)
Oxfort Student Dictionary (1978) mendefinisikan agama
(religion) dengan “ the belief in the existence of supranatural ruling
power, the creator ad controller of the universe”, yaitu suatu
kepercayaan akan adanya suatu kekuatan pengatur supranatural yang
mencipta dan mengendalikan alam semesta.
Agama dalam pengertiannya yang paling umum diartikan sebagai
sistem orientasi dan obyek pengabdian. (Azyumardi Azra ,2003: 28).
Dalam pengertian ini semua orang adalah makhluk relegius, karena tak
seorangpun dapat hidup tanpa suatu sistem yang mengaturnya.
Kebudayaan yang berkembang di tengah manusia adalah produk dari
tingkah laku keberagamaan manusia.
Dari pengertian di atas, sebuah agama biasanya mencakup tiga
persoalan pokok, yaitu:
1. Keyakinan (credial), yaitu keyakinan akan adanya sesuatu
kekuatan supranatural yang diyakini mengatur dan mencipta
alam.
2. Peribadatan (ritual), yaitu tingkah laku manusia dalam
berhubungan dengan kekuatan supranatural tersebut sebagai
konsekwensi atau pengakuan dan ketundukannya.
3. Sistem nilai (hukum/norma) yang mengatur hubungan manusia
dengan manusia lainnya atau alam semesta yang dikaitkan
dengan keyakinannya tersebut.
Dengan demikian jelaslah bahwa agama merupakan seperangkat
aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan , dengan
sesama manusia dan dengan alam sekitarnya.
9
Kata fitrah merupakan derivasi dari kata fathara, artinya ciptaan,
suci, seimbang. Louis Ma‟luf dalam Kamus al-Munjid (1980:120)
menyebutkan bahwa fitrah adalah sifat yang ada pada setiap yang ada
pada awal penciptaannya, sifat alami manusia, atau sunnah.
Menurut Imam al-Maraghi (1974:200) fitrah adalah kondisi di
mana Allah menciptakan manusia yang menghadapkan dirinya pada
kebenaran dan kesiapan untuk menggunakan pikirannya.
Dengan demikian arti fitrah dari segi bahasa dapat diartikan
sebagai kondisi awal suatu ciptaan atau kondisi awal manusia yang
memiliki potensi untuk cenderung kepada kebenaran (hanif). Fitrah
dalam arti hanif sejalan dengan isyarat al-Qur‟an:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
(Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah, (itulah)
agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Q.S
Al-Rum,30:30).
10
mereka (seraya berfirman): Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka
menjawab: Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi. (Kami
lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang
yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan). (Q.S al-A‟raaf,7:172).
11
semua, karena manusia pasti menghadapi kehidupan setelah hidup di
dunia. Justru hidup di akhirat adalah hidup yang kekal dan abadi. Untuk
itu manusia perlu bimbingan wahyu (agama).
C. Jenis-jenis Agama
Ditinjau dari sumbernya, agama dapat dibagi dua, yaitu:
1. Agama samawi/ revealed religion (agama wahyu)
2. Agama ardhi/ culture religion (agama bukan wahyu / buatan
manusia)
Agama wahyu adalah agama yang diterima oleh manusia dari
Allah SWT Sang Pencipta melalui malaikat Jibril dan disampaikan dan
disebarkan oleh Rasul-Nya kepada umat manusia. Wahyu-wahyu
tersebut dilestarikan melalui Kitab Suci, suhuf (lembaran-lembaran
tertulis) atau ajaran lisan. Yang termasuk ke dalam agama wahyu yaitu
Yahudi, Nasrani dan Islam.
Agama bukan wahyu bersandar semata-mata kepada ajaran dari
seorang manusia yang dianggap memiliki pengetahuan tentang
12
kehidupan dalam berbagai aspeknya secara mendalam. Contohnya
agama Budha yang berpangkal pada ajaran Sidharta Gautama dan
Confusianisme yang berpangkal pada ajaran Kong Hu Chu. Agama
Hindu, agama Sinto dan lain sebagainya yang berpangkal pada ajaran
yang dibawa oleh manusia sebagai pembawa dan penyebar agama
tersebut.
Adapun ciri-ciri agama wahyu antara lain:
1. Secara pasti ditentukan lahirnya, bukan tumbuh dari
masyarakat, melainkan diturunkan kepada masyarakat.
2. Disampaikan oleh manusia yang dipilih Allah SWT sebagai
utusan-Nya. Utusan itu bukan menciptakan agama tetapi
menyampaikan agama.
3. Memiliki kitab suci yang bersih dari campur tangan manusia.
4. Ajarannya serba tetap, walaupun tafsirannya dapat berubah
sesuai dengan kecerdasan dan kepekaaan manusia.
5. Konsep ketuhanannya adalah monotheisme mutlak (Tauhid).
6. Kebenarannya adalah universal, yaitu berlaku bagi setiap
manusia, masa dan keadaan.
Jika keenam tolok ukur ini dibawa kepada tiga agama samawy,
maka agama Islamlah yang memenuhi kriteria sebagai agama samawi
untuk saat ini. Agama Yahudi dan Nasrani dalam perjalanan sejarahnya
mengalami distorsi-distorsi karena kurang terjaganya pengamanan
wahyu. Hal ini dapat dilihat dari ajaran Yahudi dan Nasrani, terutama
tentang ketuhanannya yang tidak monotheisme murni (tidak tauhid).
Adanya Tuhan Yahweh dalam ajaran Yahudi dan konsep Trinitas dalam
ajaran Nasrani menggambarkan ketidakaslian agama tersebut.
Ditambah lagi adanya dosa waris, pembabtisan, legalitas paus
mengampuni dosa jemaatnya telah keluar dari ajaran aslinya yang
bersumber dari wahyu.(Muh. Rifa‟I: 1984).
D. Fungsi Agama
Agama adalah sesuatu yang melekat dalam diri manusia. Tidak
ada seorangpun secara mutlak lepas dari agama. Keberadaan agama
bagi kehidupan manusia pada dasarnya mempunyai dua fungsi utama.
Pertama sebagai informasi dan kedua sebagai konfirmasi.
Secara rinci fungsi agama adalah sebagai berikut:
1. Agama sebagai petunjuk kebenaran
Manusia adalah makhluk berakal. Dengan akal itulah lahir ilmu
dan filsafat sebagai sarana untk mencari kebenaran. Namun tidak
semua kebenaran yang dicari manusia terjawab oleh ilmu dan
filsafat dengan memuaskan karena pijakannya adalah akal yang
mempunyai kemampuan terbatas dan kebenaran yang relatif dan
13
nisbi. Oleh karena itu manusia memerlukan sumber kebenaran lain.
Sumber kebenaran lain adalah agama, yaitu informasi dari Tuhan
Yang Maha Mutlak, Tuhan yang Maha Benar.
14
pengetahuannya, perlu ada pengkonfirmasian dengan wahyu, agar ilmu
dan pengetahuan yang diperoleh memperdekatkan dirinya kepada
Tuhan.
Dengan melihat fungsi agama di atas, maka yang dapat memnuhi
fungsi tersebut adalah agama yang tergolong agama wahyu. Agama
ciptaan manusia tidak mampu mengungkap hal-hal yang tidak
terjangkau oleh akal. Satu-satunya agama wahyu sekarang ini
hanyalah agama Islam. Artinya, fungsi agama secara utuh hanya
ditemukan dalam agama Islam.
15
SWT. Kedua Islam adalah risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad
SAW yang berisi seperangkat ajaran aqidah, ibadah dan akhlak.
Pengertian Islam secara terminologis diungkapkan Ahmad
Abdullah Almasdosi (1962) bahwa Islam adalah kaidah hidup yang
diturunkan kepada manusia sejak manusia digelar ke muka bumi, dan
terbina dalam bentuknya yang terakhir dan sempurna dalam al-Qur‟an
yang suci yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi-Nya yang terakhir,
yakni Nabi Muhammad SAW, satu kaidah hidup yang memuat
tuntunan yang jelas dan lengkap mengenai aspek hidup manusia, baik
spritual maupun material.
Dengan demikian jelaslah bahwa Islam merupakan agama yang
dibawa oleh semua para Rasul dan disempurnakan oleh Nabi terakhir
yaitu dalam risalah Nabi Muhammad SAW. Hal ini dapat kita lihat dari
beberapa ayat Al-Qur‟an yang menjelaskan bahwa Rasul sebelum
Muhammad SAW juga sebagai muslim.
Islam juga agama yang diwasiatkan kepada Nabi Nuh as, Ibrahim
as, Musa as dan Isa as.
16
17
Dari ayat-aya di atas dapat disimpulkan bahwa Islam adalah
agama yang diturunkan Allah kepada manusia melalui rasul-rasul-Nya,
berisi hukum-hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan
Allah, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam semesta.
Islam adalah agama yang dibawa oleh Rasul-rasul sejak Nabi Adam
sampai Nabi Muhammad SAW. Semua rasul mengajarkan ketauhidan
sebagai dasar keyakinan umatnya. Setelah rasul-rasul yang
membawanya wafat, agama Islam yang dianut oleh para pengikutnya
itu mengalami perkembangan dan perubahan baik nama maupun isi
ajarannya. Akhirnya Islam menjadi nama bagi satu-satunya agama,
yaitu agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Seperti yang
tertuang dalm Q.S Ali Imran: 19
...
“..... Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu,
dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai
Islam itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena
18
kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”
19
BAB II
HAKEKAT MANUSIA MENURUT ISLAM
20
Ayat di atas menjelaskan bahwa “orang ini” yaitu nabi
Muhammad SAW adalah manusia seperti umumnya manusia lain..
Nabi Muhammad SAW disamakan dengan manusia lain dengan
menggunakan kata “basyar” yang fokusnya pada aspek fisik
manusia. Aspek fisik manusia antara lain membutuhakan makanan
dan minuman. Untuk itu secara kebutuhan dan komposisi fisik,
Nabi Muhammad Saw tidak berbeda dengan manusia lainnya.
21
Kata “annas” merupakan bentuk jama‟ dari kata “insan”. Ketika
Allah SWT menyebut manusia dengan kata annas tetap lebih
mengacu pada aspek rohaniyah, tetapi seacra kelompok (makhluk
sosial). Allah SWT memanggil manusia dengan sebutan “ annas”
sebanyak 179 kali yang berarti keberadaan manusia sebagai
makhluk sosial menempati poesi yang besar. Manusia adalah
makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendirian tanpa bantuan orang
lain. Sekaya apapun manusia dan sekuat apapun ia, tetap
membutuhkan orang lain. Justru semakin kaya sesorang semakin
banyak membutuhkan orang lain.
5. Dari aspek bentuk (wujud) nya manusia disebut Al-Ins
Al Ins memiliki arti tidak liar atau tidak biadab. Istilah Al Ins
berkebalikan dengan istilah al jins atau jin yang bersifat metafisik dan
liar. Jin hidup bebas di alam yang tidak dapat dirasakan dengan panca
indra. Berbeda dengan manusia yang disebut menggunakan istilah al
ins. manusia adalah makhluk yang tidak liar, artinya jelas dan dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Kata Al Ins disebutkan
sebanyak 18 kali dalam Alquran, masing-masing dalam 17 ayat dan 9
surat, Quraish Shihab mengatakan bahwa dalam kaitannya dengan jin,
maka manusia adalah makhluk yang kasat mata. Sedangkan jin adalah
makhluk halus yang tidak tampak,ditegaskan oleh Allah SWT dalam
Al-Qur‟an surah Al-An‟aam ayat 112:
Artinya :Dan Demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh,
yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin,
sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain
perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).
Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya,
Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.
22
“….Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda (kekuasaan Tuhan) bagi setiap hamba yang kembali
(kepadaNya). (Saba‟,34:9).
23
Di dalam Al Qur‟an dijelaskan bahwa Adam diciptakan oleh
Allah dari tanah yang kering kemudian dibentuk oleh Allah dengan
bentuk yang sebaik-baiknya. Setelah sempurna maka oleh Allah
ditiupkan ruh kepadanya maka dia menjadi hidup. Hal ini ditegaskan
oleh Allah SWT di dalam firman-Nya :
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat :
Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat
kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka
apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan
kedalamnya ruh (ciptaan)-ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan
bersujud” (QS. Al Hijr (15) : 28-29)
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari
tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi
bentuk”. (QS. Al Hijr (15) : 26)
24
memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang sangat
banyak…” (QS. An Nisaa‟ (4) : 1)
1
Dalam Kitab Bibel (Genesis 1:26-27; Imamat 2 : 7 dan 5; Yahwis 2: 18-24
terdapat uraian khusus tentang penciptaan Adam dan Eve (Hawa).
25
27
Manusia diciptakan Allah SWT memiliki beberapa keistimewaan
antara lain:
1. Aspek kreasi
Manusia adalah Makhluk yang paling unik, diciptakan dalam
bentuk dan tatanan yang paling baik dan sempurna. Hal ini bisa
dibandingkan dengan makhluk lainnya dalam aspek penciptaan.
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam
bentuk yang sebaik-baiknya” (al-Tin,95:4).
Karena itu pula keunikan manusia dapat dilihat dari bentuk
dan struktur tubuhnya, gejala-gejala yang ditimbulkan jiwa,
mekanisme yang terjadi pada setiap organ tubuhnya.
2. Aspek ilmu
Hanya manusia yang mampu menyerap ilmu pengetahuan, karena
sudah dianugerahi akal pikiran. Dengan akal manusia mampu
melaksanakan pendidikan dan pengajaran serta menciptakan
kebudayaan dan peradaban yang terus berkembang.
3. Aspek kehendak
Manusia memiliki kehendak yang menyebabkannya bisa
mengadakan pilihan-pilihan dalam hidup. Manusia bebas memilih
jalan hidupnya dengan panduan akal. Namun apa pun yang di
pilihnya tetap punya konsekwensi dan tanggung jawab.
4. Pengarahan akhlak
Manusia adalah makhluk yang dapat di bentuk akhlaknya. Ada
orang yang pada mulanya baik, karena pengaruh lingkungan
menjadi seorang penjahat. Atau sebaliknya. Oleh karena itu
pendidikan mutylak diperlukan untuk pembinaan akhlak generasi
mendatang.
Di samping keistimewaan, manusia mailiki beberapa kelemahan
antara lain: sifat melampaui batas (Yunus,10:12), zalim (bengis, kejam,
tidak menaruh belas kasihan, tidak adil, aniaya dan mengingkari
karunia Allah SWT (Q.S. Ibrahim,14:34),tergesa-gesa (Q.s al-
Isra‟,17:11), suka membantah (Q.S al-Kahfi,18:54), berkeluh kesah
dan kikir (Q.S al-Ma‟arij,70:19-21), ingkar dan tidak berterima kasih
(Q.S al-„Adhiyah,100:6)
28
Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari
(nikmat Allah).(Q.S. Ibrahim: 34)
29
D. Tugas Manusia Sebagai Hamba dan Khalifah Allah
Tugas manusia sebagai hamba sesuai dengan misi penciptaannya
yaitu untuk penyembahan kepada Sang Penciptanya, Allah SWT, (Q.S
al-Zariat,51:56).
30
" Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat ini kepada langit,
bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul
amanat itu dan mereka khawatirkan menghianatinya, dan dipikullah
amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan
amat bodoh. (Q.S. al-Ahzab: 72).
31
evolusi menyangkal terjadinya fenomena penciptaan tersebut dan
menggantikannya dengan suatu konsep evolusi. Perdebatan antara
Bishop Wilberforce dengan Thomas Huxley (yang menamakan dirinya
sebagai “bulldog”nya Darwin) tahun 1860 di Oxford merupakan
perdebatan sengit yang pertama mengenai teori ini.
32
bentuk-bentuk peralihan dalam jumlah besar, tetapi mengapa kita tidak
menemukan mereka terkubur di kerak bumi dalam jumlah tidak
terhitung ? …. Dan pada daerah peralihan, yang memiliki kondisi hidup
peralihan, mengapa sekarang tidak kita temukan jenis-jenis peralihan
dengan kekerabatan yang erat ? Telah lama kesulitan ini sangat
membingungkan saya”
Saat ini sudah banyak buku ditulis oleh para ilmuwan untuk
menentang teori evolusi tersebut, jauh sebelum Harun Yahya
33
menuliskan buku-bukunya. Beberapa diantaranya: Norman Macbeth.
(1971. Darwin retried: an appeal to reason), Michael Denton (1985.
Evolution: a theory in crisis), Robert Saphiro. (1986. Origins: a
sceptics guide to the creation of life on earth), Michael J. Behe. (1996.
Darwin‟s black box), W.R. Bird. (1991. The origin of species
revisited), Elaine Morgan (1994. The scars of evolution), dan lain-lain.
Diterjemahkannya buku-buku Harun Yahya boleh jadi merupakan
langkah awal untuk meramaikan perdebatan tentang teori evolusi ini,
dan kita berharap buku-buku dari penulis lain akan juga dapat
dinikmati oleh masyarakat kita, sebagai bagian dari proses pencerdasan
(dan bukan pembodohan) masyarakat.
34
Dengan demikian jelaslah bahwa manusia pertama adalah
Adam yang langsung diciptakan Allah SWT sebagai
makhluk yang sempurna diberi beberapa potensi untuk
mengemban tugas kehambaan dan kekhalifahan.
35
BAB III
SUMBER AJARAN ISLAM
A. Al-Qur‟an
1. Pengertian
Menurut Dr. Dawud al-Attar (1979), Alqur‟an adalah wahyu
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW secara lafaz
(lisan), makna serta gaya bahasanya, yang termaktub dalam mushaf
yang dinukilkan secara mutawatir. Definisi di atas mengandung
beberapa kekhususan sebagai berikut:
a. Al-Qur‟an sebagai wahyu Allah. Tidak ada satu katapun yang
datang dari pikiran atau perkataan Nabi.
b. Al-Qur‟an diturunkan dalam bentuk lisan dengan makna dan
gaya bahasanya. Artinya isi maupun redaksinya datang dari
Allah SWT.
c. Al-Qur‟an terhimpun dalam mushaf, artinya Alqur‟an tidak
mencakup wahyu Allah kepada Nabi Muhammad dalam
bentuk hukum kemudian disampaikan dalam bahasa Nabi
sendiri.
d. Al-Qur‟an dinukilkan secara mutawatir, artinya Al-Qur‟an
disampaikan kepada orang lain secara terus menerus oleh
sekelompok orang yang tidak mungkin bersepakat untuk
berdusta karena banyaknya jumlah orang dan berbeda-
bedanya tempat tinggal mereka.
Al-Qur‟an diturunkan dalam kurun waktu lebih kurang 23 tahun
yang dibagi dalam dua periode. Periode Makkah selama 13 tahun.
Sedangkan periode Madinah hampir mencapai 10 tahun. Al-Qur‟an
diturunkan secara berangsur-angsur dengan maksud agar mudah
dihapal dan dipahami oleh umat Islam. Di samping itu turunnya Al-
Qur‟an juga sesuai dengan kebutuhan kejadian/peristiwa saat itu.
Sejak Al-Qur‟an diturunkan, ghirah para sahabat untuk membaca
dan menghapal Al-Qur‟an besar sekali. Ditambah dengan motivasi
bahwa membaca Al-Qur‟an dinilai sebagai ibadah dan pahala yang
sangat besar bagi pengahapal Al-Qur‟an menjadi faktor mendorong
gerakan penghapalan Al-Qur‟an bagi kaum muslimin dari waktu ke
waktu.
Selain dihapal, ayat-ayat yang turun juga ditulis oleh sejumlah
sahabat dan hasil pencatatan mereka diserahkan kepada Rasulullah.
Rasul menyimpan catatan ayat-ayat Al-Qur‟an itu di rumahnya dan ada
pula yang disimpan oleh penulisnya sendiri. Tidak berapa lama setelah
Rasul wafat, Khalifah Abu Bakar membentuk tim untuk
mengkondifikasi Al-Qur‟an. Berdasarkan cek silang antara satu penulis
dengan penulis yang lain serta konfirmasi langsung kepada banyak
36
saksi hidup dan para penghafal Al-Qur‟an. Tim berhasil
mengkodifikasi ayat-ayat Alqur‟an ke dalam satu mushaf (kumpulan
lembaran tulisan) Al-Qur‟an.
Selanjutnya, pada masa Khalifah Usman dibentuk tim untuk
menyempurnakan sistem penulisan Alqur‟an, terutama yang berkaitan
dengan tanda-tanda bacanya. Al-Qur‟an yang disempurnakan itu
diperbanyak sebanyak lima buah. Mushaf Al-Qur‟an inilah yang
kemudian menjadi standar rujukan penerbitan Al-Qur‟an yang ada
sekarang ini.
2
Para mufassrir brbda pendapat dalam mendefenisikan makkiyah dan
madaniyah. Pendapat pertama dinisbahkan kepada tempat yaitu makkiyah : ayau yang
diturunkan di Makkah dan madaniyah adalah ayat-ayat yang diturunkan di Madaniya.
Pendapat kedua menunjukkan bahwa Makkiyah adalah ayat yang ditujukan kepada
penduduk Makkah dan Madaniyyah adalah ayat yang ditujukan kepada penduduk
Madinah. Pendapat ketiga melihat dari periode/waktu; makkiyah adalah ayat yang
diturunkan sebelum hijrah dan madaniyah adalah ayat-ayat yang diturunkan setelah
hijrah. Dariketiga pendapat di atas, pendapat yang ketiga lah yang lebih kuat. (Kadar
M. Yusuf:2009: 29. Lihat juga Adnan Muhammad Zarzur; 1981: 138).
37
3. Pengelompokan Surah-surah Dalam Al-Qur‟an
Surah-surah al-Qur‟an jika ditinjau dari panjang dan pendeknya
terbagi atas empat bagian, yaitu:
a. Al- Sab‟u al-Thiwal, yaitu tujuh surah yang panjang terdiri dari
al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa‟, al-A‟raf, al-An‟am, al-Maidah
dan Yunus.
b. Al- Miuun, yaitu surah-surah yang berisi kira-kira seratus ayat
lebih. Seperrti Hud, Yusuf, al-Mukmin.
c. Al-Matsaani, yaitu: surah-surah yang berisi kurang sedikit dari
seratus ayat, seperti al-Anfal, al-Hijir.
d. Al-Mufashshal, yaitu surah-surah pendek, seperti al-Dhuha, al-
Ikhlas, al-Falaq, al-Nas.
4. Keistimewaan Al-Qur‟an
a. Dari segi bahasa
Keistimewaan bahasa Alqur‟an terletak pada gaya
pengungkapannya, antara lain kelembutan dalam jalinan huruf dan kata
dengan lainnya. Susunan huruf-huruf dan lata-kata Al-Qur‟an terajut
secara teratur sehingga menjelma dengan ayat-ayat yang indah untuk
dibaca dan diucapkan. Untuk itu keindahan bahasa Al-Qur‟an
mengalahkan semua hasil karya manusia saat itu, sekarang dan masa
datang. Tidak ada satu manusiapun yang sanggaup untuk membuat
saatu ayat semisal Al-Qur‟an.
b. Dari segi kandungan
Al-Qur‟an adalah kitab yang paling sempurna kandungan isinya,
karena di dalamnya memuat kandungan kitab-kitab sebelumnya. Al-
Qur‟an juga memuat semua aspek kehidupan, baik dalam hubungannya
dengan Allah, dengan sesama manusia dan alam semesta. Isi Al-Qur‟an
selaras dengan akal dan perasaan serta memuat berbagai cabang ilmu
pengetahuan, seperti persoalan biologi, farmasi, astronomi, geografi,
sejarah dan lain sebagainya.
c. Al-Qur‟an sebagai mu‟jizat Nabi Muhammad terbesar
Secara umum Al-Qur‟an membawa dua fungsi utama, yaitu
sebagai mu‟jizat dan pedoman dasar ajaran Islam. Mu‟jizat menurut
bahasa artinya melemahkan. Al-Qur‟an sebagai mu‟jizat menjadi bukti
kebenaran Muhammad selaku utusan Allah yang membawa misi
universal, risalah akhir dan syari‟ah yang sempurna bagi manusia. Ia
menjadi dalil atau argumentasi yang mampu melemahkan segala
argumen dan mematahkan segala dalil yang dibuat manusia untuk
mengingkari kebenaran Muhammad SAW.
Di samping itu dijadikannya Al-Qur‟an sebagai mukijizat terbesar
dari Nabi Muhammad, karena setiap mu‟jizat yang diturunkan kepada
38
para Rasul-Nya sesuai dengan tuntutan zaman. Susunan bahasa Al-
Qur‟an yang tinggi jauh melebihi karya satra (syair) masyarakat Arab
jahiliyah saat itu.
B. As-Sunnah
1. Pengertian dan Pembagian Sunnah
Ditinjau dari segi bahasa, sunnah berarti cara, jalan, kebiasaan
dan tradisi. Kata sunnah di dalam Al-Qur‟an terulang 16 kali pada 11
surat. Penyebutan kata sunnah dalam Al-Qur‟an pada umumnya
merujuk kepada pengertian bahasa, yakni cara atau tradisi, misalnya:
“ Sebagai suatu sunnatullah[1403] yang Telah berlaku sejak
dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan peubahan bagi
sunnatullah itu”.
39
b. Sunnah Fi‟liyah, yaitu segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi SAW berupa perbuatan.
c. Sunnah Taqririyah, yaitu sunnah yang berupa ketetapan
Nabi SAW.
d. Sunnah Hammiyah, yaitu sesuatu yang menjadi hasrat
Nabi SAW tetapi belum sempat dilaksanakanya. Seperti
puasa pada tanggal 9 „Asyura.
a. Sanad
b. Matan Hadis
c. Rawi
40
menyampaikan hadis tersebut dinamakan merawi (meriwayatkan
hadis). Seorang penyusun atau pengarang, bila hendak menguatkan
suatu hadis yang ditakhrijkan dari suatu kitab hadis pada umumnya
membubuhkan nama rawi (terakhirnya) yakni salah satunya Imam
Muslim, Imam Bukhari, Abu Daud, Ibnu Mazah, dan lain sebagainya,
pada akhir matnul hadis..
4. Pembagian Hadis
a. Dari Segi Jumlah Periwayatan
Hadits ditinjau dari segi jumlah rawi atau banyak
sedikitnya perawi yang menjadi sumber berita, maka dalam
hal ini pada garis besarnya hadits dibagi menjadi dua macam,
yakni hadits mutawatir dan hadits ahad.
1). Hadits Mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang
berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu
dengan yang lain. Sedangkan menurut istilah ialah: "Suatu
hasil hadis tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan
oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan
mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta."
2). Hadis Ahad
42
Menurut Istilah ahli hadis, tarif hadis ahad antara lain
adalah "Suatu hadis (khabar) yang jumlah pemberitaannya
tidak mencapai jumlah pemberita hadis mutawatir; baik
pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang,
lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak
memberi pengertian bahwa hadis tersebut masuk ke dalam
hadis mutawatir: "
43
dugaan untuk menetapkan hadis tersebut bukan berasal
dari Rasulullah SAW.
44
setiap hadis yang mardud tidak boleh diterima dan tidak
boleh diamalkan (harus ditolak). Yang termasuk dalam
kategori hadis mardud adalah hadis dhaif. Namun
sebagian ulama berpendapat bahwa hadis dhaif tertolak
sebagai hujjah, tetapi boleh dipakai untuk motivasi amal
dan akhlak.
5. Fungsi Hadis terhadap Alqur‟an
Al-Qur‟an dan hadis sebagai pedoman hidup, sumber hukum
dan ajaran dalam Islam. Antara satu dengan lainnya tidak dapat
dipisahkan dan saling terkait. Al-Qur‟an sebagai sumber pertama dan
utama yang memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global.
Kehadiran sunnah/hadis sebagai sumber kedua tampil untuk
menjelaskan (bayan) terhadap keumuman al-Qur‟an. Berikut fungsi
hadis terhadap Al-Qur‟an:
a. Bayan at-Taqrir
Bayan at-Taqrir disebut juga bayan al-Ta‟kid dan bayan al-
itsbat yaitu menetapkan dan memperkuat apa yang telah ditetapkan
dalam al-Qur‟an. Contohnya, Al-Qur‟an menyebutkan sesuatu
kewajiban atau larangan, lalu Rasul dalam sunnahnya memperkuat
perintah atau larangan tersebut.
b. Bayan Tafsir
Yang dimaksud dengan bayan tafsir adalah bahwa kehadiran
Sunnah berfungsi memberikan rincian dn penjelasan terhadap ayat-
ayat Al-Qur‟an yang masih berdifat umum. Contohnya: dalam al-
Qur‟an diperintahkan sholat, puasa dan lainnya. Tetapi bagaimana
melaksanakan sholat dan puasa hanya ada penjelasannya dalam
hadis.
c. Bayan Tasyri‟
Yaitu hadis yang berfungsi sebagai pembuat hukum yang
belum didapati dalaam al-Qur‟an. Contohnya hadis Nabi SAW
yang melarang mengumpulkan antara bibi dan keponakannya
menjadi istri dalam satu waktu.
d.Bayan Nasakh
Secara bahasa nasakh artinya ibthal (membatalkan), izalah
(menghilangkan), tahwil (memindahkan) dan taghyir (mengubah).
Hal ini terjadi karena adanya ketentuan hukum dalam hadis yang
datang belakangan membatalkan ketentuan hukum yang terdapat
dalam al-Qur‟an yang datang sebelumnya. Contohnya hadis Nabi
yang mengatakan bahwa “tidak ada warisan bagi ahli waris”
menasakhkan Q.S al-Baqarah: 180.
Tidak semua ulama sepakat dengan bayan nasakh. Imam Syafi‟i
termasuk ulama yang menolak bayan nasakh.
45
6. Otoritas As-Sunnah Sebagai Sumber Hukum
Al-Siba‟i mengatakan bahwa dari ketiga fungsi sunnah sebagai
diterangkan di atas, dua yang pertama disepakati oleh para ulama,
sementara yang ketiga dan keempat diperselisihkan. Adapun masalah
pokok yang diperselisihkan itu apakah As-Sunnah dapat menetapkan
suatu hukum tanpa tergantung kepada Al-Qur‟an, ataukah produk
hukum baru itu selalu mempunyai pokok (asl) dalam Al-Qur‟an.
Dalam persoalan tersebut, Jumhur Ulama berpendapat bahwa
Nabi mempunyai otoritas untuk membuat hukum. Dalil yang
dimajukan kelompok mayoritas itu antara lain:
a. Selama Nabi diyakini maksum, maka otoritasnya untuk
melalukan tasyri‟ adalah suatu hal yang dapat diterima
akal.
b. Kenyataan bahwa banyaknya nas Alqur‟an yang
menunjukkan wajibnya mengikuti sunnah.
Kelompok lain yang berpendapat bahwa ketetapan As-Sunnah
selalu merujuk kepada Al-Qur‟an, dengan alasan:
a. Kenyataan bahwa tidak dijumpai suatu perkara dalam As-
Sunnah kecuali Al-Qur‟an sendiri telah menunjukkan
maknanya baik secara global maupun terinci.
b. Bahwa kewajiban menta‟ati As-Sunnah adalah dalam arti
keta‟atan kepada Rasul sebagai penjelas.
Jika dianalisis kedua pendapat diatas memiliki titik persamaan,
yaitu sama-sama mengakui adanya hukum-hukum yang terbit dari As-
Sunnah. Hanya saja kelompok Jumhur melihat sebagai produk hukum
yang berdiri sendiri. Sedangkan kelompok kedua melihat produk
hukum As-Sunnah tersebut sebagai sesuatu yang tidak terlepas dari Al-
Qur‟an. Disepakati oleh para ahli, bahwa As-sunnah yang dijadikan
dasar hukum adalah sunnah yang memiliki kualitas mutawatir atau
hadis-hadis shahih.
C. Ijtihad
Ijtihad merupakan derivasi dari kata jahada artinya berusaha
sungguh-sungguh. Dalam terminologi hukum ijtihad adalah
menggunakan seluruh kesanggupan berpikir untuk menetapkan hukum
syara‟ dengan cara istimbath dari Al-Qur‟an dan Sunnah. Lapangan
ijtihad adalah pada persoalan persoalan yang tidak dijelaskan secara
tuntas oleh Al-Qur‟an dan Sunnah terutama menyangkut perkembangan
ilmu dan peradaban umat manusia. Disepakati para ulama bahwa
ijtihad tidak boleh merambah pada dimensi ibadah mahdhah seperti
shalat, puasa dan lainnya.
46
Ijtihad merupakan dinamika Islam untuk menjawab tantangan
zaman. Ia adalah semangat rasionalitas Islam dalam konteks kehidupan
modern yang kian kompleks permasalahannya. Banyak permasalahan
baru yang tidak ada pada masa hidup Nabi Muhammad SAW.
Kebolehan ijtihad sebagai sumber hukum Islam ketiga
diindikasikan dalam sebuah hadis Riwayat Tarmizi dan Abu Daud yang
berisi dialog antara Nabi Muhammad SAW dan Mu'adz bin Jabal yang
diangkat sebagai gubernur Yaman.
Nabi bertanya: Hai Muaz, bagaimana caramu memutuskan
perkara ? Muaz menjawab : Saya akan mencarinya dalam Kitabullah.
Nabi Bertanya: Jika kamu tidak menemukannya ? Muaz menjawab:
Saya mencarinya dalam sunnah Rasul Nya. Nabi bertanya lagi: “Jika
kamu tidak menemukan dalam sunnah RasulNya ? Muaz menjawab:
“Saya akan berijtihad. “kamu benar” kata Rasul.
Dari peristiwa tersebut jelaslah bahwa Rasul sudah memberi
peluang kepada Muaz untuk menggunakan kemampuan untuk
berijtihad terhadap hal-hal yang tidak ditemukan dalam al-Qur‟an dan
Hadis.
Orang yang malakukan ijtihad dinamakan Mujtahid. Adapun
syarat-sayarat seoarng mujtahid adalah:
a. Islam
b. Menguasai al-Qur'an dan ilmu-ilmunya
c. Memahami hadis dan ilmunya
d. Memahami kaedah bahasa Arab
e. Memiliki ilmu-ilmu yang terkait dengan masalah yang bahas.
Macam-macam ijtihad:
1. Ijma‟ : Kesepakatan semua mujtahid pada suatu masa
terhadap suatu masalah hukum.
2. Qiyas: Secara bahasa artinya mengukur atau
mempersamakan, yakni membandingkan atau
mempersamakan hukum suatu perkara yang belum ada
ketentuan hukumnya dengan perkara lain yang sudah ada
ketentuan hukumnya dalam al-Qur'an atau sunnah dengan
melihat persamaan 'illat (sebab yang mendasari ketetapan
hukum). Misalnya: arak (khamr) diharamkan karena
memabukkan. (Q.S: 2: 219) dan riba diharamkan karena
mengandung unsur penganiayaan (Q.S. 2:275). Maka secara
qiyas, benda dan hal lainpun jika ternyata memabukkan atau
mengandung unsur penganiayaan menjadi haram juga.
3. Istihsan: Menetapkan suatu hukum berdasarkan prinsip-
prinsip umum ajaran Islam, seperti keadilan, kasih sayang.
47
Istihsan juga merupakan perpindahan dari suatu qiyas kepada
qiyas lainnya yang lebih kuat atau mengganti argumentasi
dengan fakta yang dapat diterima untuk mencegah
kemudharatan. Contohnya: menurut aturan syara‟, dilarang
mengadakan jual beli yang barangnya belum ada saat terjadi
akad. Akan tetapi berdasarkan istihsan jual beli yang
demikian dibolehkan dengan sistem pembayaran diawal
kemudian barangnya dikirim kemudian asalkan sudah jelas
identitas barangnya.
4. Istishab, yaitu menetapkan menurut keadaan sebelumnya
sampai ada dalil lain yang mengubah keadaannya.
Contohnya, seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah
berwudhu‟atau belum. Di saat seperti ini, ia harus berpegang
atau yakin kepada keadan sebelum berwudhu‟, sehingga ia
harus berwudhu‟ kembali karena sholat tidak sah bila tidak
berwudhu‟.
5. Maslahah Mursalah : Menetapkan hukum berdasarkan
tinjauan kegunaan atau kemanfa‟atannya sesuai dengan
tujuan syari‟at, sementara tidak ada dalil yang melarang atau
mewajibkan pencapaiannya. Misalnya membukukan atau
mencetak al-Qur'an, menggaji muazzin, imam, khotib dan
guru agama serta mengadakan perayaan hari besar Islam.
6. Urf, yaitu menetapkan hukum sesuatu berdasarkan adapt
yang sudah menjadi kebiasaan orang banyak. Contoh
keharusan ijab kabul dalam jual beli dapat diganti dengan
ucapan terimakasih karena sudah menjadi kebiasaan dalam
masyarakat.
7. Syar”u man Qablana, yaitu syari‟at yang diturunkan Allah
melalui Nabi-nabi yang diutus sebelum Nabi Muhammad
SAW selama tidak bertentangan dengan al-Qur‟an dan
Sunnah.
8. Sududz Dzari‟ah, yaitu menurut bahasa artinya menutup
jalan. Sedangkan menurut istilah tindakan memutuskan suatu
yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan
umat.
48
BAB IV
KEIMANAN (AQIDAH ISLAM)
49
perbincangan para ulama terdahulu, baik iman secara teoritis maupun
praktis dalam arti bentuk aplikasinya ke dalam amal atau perbuatan
sehari-hari. Sehubungan dengan bahasan ini iman dapat dilihat pada
tiga sisi yang disebut tiga dimensi iman yakni (1) pengakuan dan
pembenaran dengan hati (tashdiq), (2) penegasan dengan lisan (iqrar),
dan (3) perbuatan („amal). Ketiga sisi ini saling terkait erat.
Islam sebagai sebuah ajaran terdiri atas sistem
keyakinan/keimanan (akidah), sistem norma, aturan dan hukum
(syari‟ah), dan sistem moral (akhlak). Akidah merupakan fondasi
ajaran Islam yang diatasnya tegak pengamalan terhadap aturan-aturan
Islam yang disebut syari‟ah dan moralitas Islam yang disebut dengan
akhlak. Dalam istilah sehari-hari akidah lazim disebut dengan
keimanan atau iman. Iman adalah sistim keyikinan Islam yang pokok-
pokoknya terdapat dalam rukun iman yang enam sebagaimana
terungkap dalam hadis Nabi Saw berikut:
50
Allah dapat diamati dari terlaksananya ibadah-ibadah pokok (ibadah
mahdhah) yang melahirkan kesalehan individu, sedangkan hubungan
seorang hamba dengan sesama manusia dapat diamati dari sikap dan
perilakunya dalam pergaulan sosial yang melahirkan kesalehan sosial.
Sasaran akidah Islam itu adalah rukun iman yang enam yang
dapat dirangkum ke dalam empat persoalan pokok. Keempat persoalan
pokok tersebut terdiri atas ilahiyyat (ketuhanan), nubuwwat(kenabian),
ruhaniyyat (hal-hal yang berkaitan dengan makhluk
halus), dan sam‟iyyat (pemberitaan tentang peristiwa-peristiwa yang
terjadi di alam kubur dan alam akhirat). Berikut ini akan dijelaskan ke
empat persoalan tersebut.
1. Al-Ilahiyyat
Masalah ilahiyyat ialah masalah yang berkaitan dengan
ketuhanan yang mencakup pembahasan tentang zat Allah
SWT, asma‟ (nama-nama-Nya) dan sifat-sifat-Nya.
a. Zat Allah SWT
Persoalan tentang hakikat zat Allah SWT tidak dapat dijangkau
oleh akal manusia yang serba terbatas oleh karenanya ia merupakan
wilayah hati (qalbu). Hati adalah wadah yang dapat menampung rasa
percaya sebagai awal tumbuhnya keimanan dalam diri seseorang.
Manusia dilarang memperbincangkan zat Allah SW, meskipun
larangan tersebut menurut sebagaian ulama, bukan larangan yang
bersifat mutlak melainkan larangan yang bertujuan untuk menjaga dan
memelihara diri agar tidak terjatuh dan terperosok kedalam jurang
kesesatan atau kebinasaan. Nabi Muhammad Sawbersabda:
“Pikirkanlah ciptaan Allah, dan jangan kamu memikirkan Dzat
Allah.”
Memikirkan serta merenungkan ciptaan Allah adalah cara yang baik
dan efektif untuk mengenal Allah SWT (ma‟rifatullah). Meskipun
larangan tersebut, menurut sebagaian ulama, bukan larangan yang
bersifat mutlak melainkan larangan yang bertujuan untuk menjaga dan
memelihara diri agar tidak terjatuh dan terperosok kedalam jurang
kesesatan atau kebinasaan. Di antara firman Allah yang berkaitan
dengan hal ini diterjemahkan sebagai berikut:
(1) Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang
yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya
51
Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha
suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka (Q.S.3:190-
191).
(2) Maka Apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas
mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan
langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun ? dan Kami
hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang
kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang
indah dipandang mata (Q.S.50:6-7).
52
sifat pada zat Allah SWT adalah salah satu caramu‟tazilah untuk
mensucikan Allah SWT (tanzih) guna mencapai kemurnian tauhid.
Selain dari sembilan puluh sembilan nama-nama Allah SWT
sebagimana tersebut dalam hadis Nabi SAW di atas juga terdapat nama
dari sebutan lain seperti al-Hannan (Yang Maha Pengasih), al-
Mannan(Yang Memberi Nikmat), al-Kafiil (Yang Maha
Pelindung/Penjamin), Dzu at-Thaul (Yang Memiliki Keutamaan), Dzu
al-Ma‟arij (Yang Memiliki Jalan-jalan naik), Dzu al-Fadhli (Yang
Memiliki Karunia), al-Khallaq (Yang Maha Pencipta).
Disamping itu terdapat pula lafal-lafal majazi (kiasan) yang menunjuk
pada nama Allah SWT, yakni ad-dahru dan al-„anin sebagaimana
tersebut dalam hadits berikut yang terjemahannya:
a. “Janganlah kamu mencaci dahr (masa), karena sesungguhnya
Allah itu adalah ad-Dahr.”
53
Adapun sifat-sifat Allah yang akan dibicarakan pada sub
bahasan ini adalah sifat-sifat Allah yang diformulasikan pertama kali
oleh Abu Abdullah Muhammad bin Yusuf Umar bin Syu‟aib dari suku
Sanus, Al-Jazair, lebih populer dikenal dengan Imam al-Sanusi (832-
895H) (Asywadi Syukur, 1994:v). Hasil formulasi tersebut lebih
dikenal dengan sifat Allah yang dua puluh (Sifat Dua Puluh). Bahkan
untuk memantapkan pemahaman terhadap sifat dua puluh tersebut
ditetapkan pula lawan masing-masingnya sehingga menjadi empat
puluh. Terdiri dari dua puluh sifat yang wajib bagi Allah dan dua puluh
sifat yang mustahil bagi-Nya. Sifat-sifat tersebut ditetapkan
berdasarkan interpretasi terhadap firman Allah terkait dengan sifat-sifat
dimaksud. Karena itu, unsur logika terasa amat menonjol dalam
memahami. Misalnya sifat qidam dan baqa`merupakan interpretasi
terhadap firman Allah huwa al-awwalu wa al-
akhiru (Q.S.57:3), mukhalafat li al-hawadits merupakan interpretasi
terhadap firman Allah Laisa kamitslihi syai`un (Q.S.42:11)
dan qiyamuhu binafsishi merupakan interpretasi terhadap firman
Allah huwa al-hayyu al-qayum (Q.S.2:255) dan firman-Nya wallahu
huwa al-ghaniyyu al-hamid (Q.S.35:15). Mengenai sifat-sifat ini
terdapat perbedaan pendapat ulama kalam (mutakallim), secara garis
besarnya terbagi dalam dua kelompok. Pertama, kelompok yang
mempertahankan bahwa Allah mempunyai sifat. Kedua, kelompok
yang mengingkari atau menafikan keberadaan sifat Allah dengan alasan
untuk memurnikan ketauhidan-Nya. Sebab, mereka, bila Allah
memilki sifat sedangkan sifat Allah itu banyak, akan berakibat
berbilangnya Allah sehingga membawa kepada kemusyrikan. Pendapat
yang pertama itu dianut oleh golongan ahlussunnah, sedangkan
pendapat yang keduanya dianut oleh golongan Muktazilah (kaum
rasionalis Islam). Terlepas dari perdebatan itu, secara sederhana yang
dimaksud dengan sifat di sini adalah segala atribut yang menjelaskan
tentang Allah selain zat-Nya. Dengan memperhatikan alam semesta
beserta seluruh makhluk yang ada, seorang muslim mendapat petunjuk
bahwa alam semesta ini memiliki pencipta yang bersifat dengan segala
sifat kesempurnaan dan mahasuci dari sifat kekurangan. Sifat-sifat
tersebut antara lain sebagai berikut:
1). al-Wujud (Ada)
Dalilnya adalah firman Allah dalam (Q.S.13:2) yang
terjemahannya sebagai berikut:
54
2). al-Qidam dan Al-Baqa (Maha Dahulu dan Maha Kekal)
Dalilnya adalah firman Allah dalam Q.S.57:3 yang terjemahannya
sebagai berikut:
“Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir dan Yang Batin, dan
Dia mengetahui segala sesuatu.” (Depag. R.I, 1989: 900)
3). Mukhalafatun lil-Hawadits (Berbeda dengan Makhluk)
Dalilnya adalah firman Allah dalam Q.S 42:11 yang terjemahannya
sebagai berikut:
“…Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang
Maha Mendengar dan Maha Melihat.” (Depag. R. I, 1989: 784).
dan firman-Nya lagi dalam Q.S. 112:4 yang terjemahannya sebagai
berikut:
“…dan tidak ada seorang pun yang setara dengan
Dia.” (Depag.R.I,1989:1118).
4). al-Qiyamu bi Nafsihi (Berdiri Sendiri)
“Dan sesungguhnya telah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa
yang ada di antara keduanya dalam enam masa, dan Kami sedikit pun
tidak ditimpa keletihan.” (Depag. R.I, 1989:855).
7). Iradah (Maha Berkehendak)
55
“Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu
hanyalah berkata kepadanya: „jadilah!‟ maka terjadilah ia.” (Depag.
R.I, 1989:714).
8). al-„Ilm (Maha Mengetahui)
56
sebagai berikut: Pertama: Golongan ulama yang mengambil
makna zahir ayat, lalu menisbatkan wajah, tangan, dan sebagainya
kepada Allah SWT sebagaimana terdapat pada makhluk-Nya. Dengan
demikian menurut mereka Allah SWT mempunyai muka, tangan, dan
anggota tubuh lainnya. Golongan ini lazim disebut dengan
golongan mujassimah(menganggap Allah berjisim/tubuh)
atau musyabbihah (menyerupakan Allah dengan makhluk). Pendapat
ini dibantah dan dianggap batil oleh golongan lainnya dengan dalil
firmanAllah SWT dalam Q.S 42:11 yang terjemahannya sebagai
berikut: “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia”(Depag.
R.I,1989:784 ).
Kedua: Golongan ulama yang menolak makna secara lafal (lafzi) ini
dengan memalingkan (ta`wil) maknanya kepada sesuatu yang lain yang
pantas bagi Allah SWT. Menurut mereka Allah SWT tidak berkata-
kata, mendengar, melihat dan sebagainya untuk menghindari
penyerupaan Allah SWT dengan makhluk. Mereka itu dikenal dengan
kaum Mu‟aththilah (mengingkari sifat-sifat Allah) atau
kaum Jahmiyah. Golongan ini dianggap sesat oleh golongan yang
pertama karena mengingkari nashal-Qur‟an.dalam menetapkan ayat-
ayat Al-Quran mengenai sifat-sifat Allah.
Ketiga: Mazhab Salaf. Mereka mengimani ayat-ayat dan hadits-
hadit tentang sifat-sifat Allah sebagaimana bunyi nash (teksnya)
dengan menyerahkan pengertian dan maksudnya kepada Allah SWT.
Mereka mengimani sifat-sifat tersebut dengan tidak
mempermasalahkan bagaimana hakikat sebenarnya, dan dengan tetap
mensucikan Allah dari menyerupai makhluk-Nya.
Keempat: Mazhab Khalaf. Mereka berpendapat bahwa ayat-ayat
tersebut tidak dimaksudkan secara lahiriah atau apa adanya. Tetapi
ayat-ayat tersebut bersifat majazi yang perlu ditakwilkan. Maka yang
dimaksud “wajah” bagi Allah adalah Dzat-Nya dan yang dimaksud
“tangan” bagi-Nya adalah kekuasaan-Nya. Mereka menakwilkan yang
demikian demi menghindari tasybih (penyerupaan Allah dengan
makhluk). Dan takwil ini mereka syaratkan harus sesuai dengan
kesucian-Nya. Baik yang mengakui adanya sifat Allah maupun yang
menapikannya, keduanya sama-sama bertujuan untuk memurnikan
ketauhidan menurut caranya masing-masing. Perbedaan pendapat di
antara mereka tidaklah sampai membawanya kepada kekufuran dan
kemusyrikan atau keluar dari Islam.
57
manusia dapat mengenal dan mempercayai adanya tuhan berdasarkan
bukti-bukti yang dapat dinalar secara empiri lewat argumen-argumen
sebagai berikut:
1. Argumen ontologi
Ontologi terdiri dari susunan dua kata: ontos = sesuatu yang
berwujud, dan logos = logika atau pemikiran.jadi ontologi dalam
pengertian ini adalah teori tentang wujud, tentang hakikat yang ada.
Ringkasanya argument ini adalah, "semua yang berwujud (ada) dapat
dikategorikan dalam dua kategori.Pertama, wujud yang bersifat mutlak
(wajibul wujud), kedua wujud yang bersifat relatif (mumkinul wujud).
Wujud yang mutlak hanya satu, keberadaanya tidak tergantung pada
yang lainnya dan tidak diikat oleh ruang dan waktu, karena itu dia ada
di mana-mana dan kapan saja. Keberadaanya menjadi penyebab bagi
adanya yang lain, namun ia tidak disebabkan oleh yang lain. Sedangkan
wujud yang besifat relatif itu keberadaannya tergantung kepada yang
lain. Keberadaannya diikat oleh ruang dan waktu, karena itu
keberadaannya tidak bersifat kekal.
Maka wujud dalam bentuk yang pertama tadi adalah wujud yang
tidak mungkin disebabkan oleh yang lainnya tetapi berdiri dengan
sendirinya. Dia bersifat maha segala-galanya yang tidak ada
tandingannya. Akal kita mengharuskan demikian adanya. Itulah yang
didalam ajaran agama disebut dengan Tuhan
(Ind), God (ingr), Theo/Deus (Yunani), llah (Arab) dsb. Sedangkan
wujud dalam bentuk yang kedua adalah bersifat relatif dan tidak kekal.
Itulah alam semesta termasuk didalamnya manusia. Maka yang selain
Tuhan itu disebut alam atau makhluq (yang diciptakan) sedangkan
Tuhan disebutkhaliq (Pencipta).
2. Argumen Cosmologi
Kata cosmos menurut makna asalnya adalah teratur, harmono
dan tersusun rapi. Kemudianmaknanya berkembang menjadi "alam
raya". Argumen cosmologi ini disebut juga dengan argumen sebab
akibat (sabab wal musabbab). Ringkasnya argumen ini adalah "segala
sesuatu di alam ini terjadi melalui proses sebab dan akibat. Misalnya,
adanya banjir disebabkan hujan, hujan turun disebabkan adanya awan
mendung, awan disebabkan oleh terjadinya pengguapan dari laut,
sedangkan penguapan terjadi disebabkan adanya panas atau cahaya.
Terjadinya panas karna adanya Matahari, begitulah seterusnya sampai
kepada penyebab pertama. Akal mengharuskan bahwa penyebab
pertama itu tidak disebabkan oleh yang lainnya. Aristoteles
menyebutnya dengan istilah penggerak pertama ( almuharrikul awwal )
atau prima causa. Penggerak pertama tersebut mestilah maha sempurna
58
dan tidak berhajat kepada yang lain. Dia merupakan akal yang suci
(divine, muqaddas). Itulah asal dari segala-galanya, yang didalam
ajaran agama-agama disebut sebagai tuhan.
3. Argumen Moral
Argumen Moral ini dikemukakan pertama kali oleh Immanuel
Kant (1724-1804 M). Inti dalam argumen ini adalah : "wujud tuhan
hannya dapat ditetapkan dengan tanda-tanda dalam jiwa manusia.
Tanda-tanda tersebut berbentuk "laranggan moral" (al-wasi'ul akhlaqi)
atau tanda wajib (Al-Akkad, ketuhanan …,1981: 191).
Di dalam diri setiap manusia ada satu timbangan yang disebut
dengan “kata hati" (dhamir) kata hati tersebut tidak pernah berbohong
dan selalu mengingatkan kepada kebenaran, kebaikan dan keadilan.
Seperti diketahui, kata Immanuel Kant, di dalam alam semesta tidak
ditemukan timbangan kebenaran moral untuk menanamkan kewajiban
tersebut. Lalu dari manakah timbulnya kebenaran moral di dalam diri
manusia kalau bukan dari sesuatu yang diluar dirinyastilah kebenaran
moral itu berasal dari Yang Maha Baik (Maha Bermoral). Itulah yang
yang diyakini sebagai tuhan". Kesadaran moral adalah kesadaran
tentang diri kita sendiri ketika kita berhadapan dengan keadaan baik
atau buruk. Pada saat yang sama manusia dapat membedakan antara
yang halal (benar) dan yang haram (tidak benar), yang boleh dan yang
tidak boleh dilakukan meskipun belum mampu dilakukan. Dalam hal
ini kita dapat melihat sesuatu yang sepesifik atau khusus manusiawi.
Contoh kongritnya ialah adanya ucapan-ucapan seperti : "perbuatan si
A itu tidak pantas sebagai manusia". Inilah bukti adanya kesadaran
moral itu di dalam diri manusia (Dirjakara, percikan,filsafat, 1962:13).
Perintah itu sifatnya absolute dan universal (categorical inperative).
Perbuatan itu di ketahui baik karena perintah kata hati mengatakan
demikian. Demikian pula perbuatan jahat ditinggalkan karena
pemeritah tersebut mengatakan demikian. Semuanya dilandasi rasa
wajib secara moral (Harun Nasution, Falsafat agama, 1991:64-65).
D.Ketuhanan di Dalam Al-Qur`an
Sekarang mari kita perhatikan bagaimana Al-Qur'an bebicara
tentang Tuhan. Bila kita perhatikan Al-Qur'an menggunakan beberapa
macam kata yang menunjuk kepada pengertian Tuhan, dan belum
termasuk lagi nama-nama yang baik (al-asma`ul husna) serta sifat-
sifatnya. Di antara kata yang sering digunakan oleh Al-Qur'an
adalah Rabb dan llah. Pertama, kata Rabb menggandung makna
mendidik dan memelihara, maka Allah sebagai Tuhan tidak hanya
mencipta tapi juga mendidik dan memelihara ciptaan-Nya. Hal ini
diungkapkan di dalam banyak firman-Nya, misalnya : "Dan kami telah
59
meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri, lalu mereka
berkata, Rabb (Tuhan) kami adalah Rabb (pencipta) langit dan bumi,
kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia" (Q.S Al- Kahfi /
18:14). Contoh lainya dapat dilihat dalam S.al-Baqarah/2:21-22;. S.al-
Isra'/17:66; S. Fusshilat/41:30, dan S.al-An'am /675-79. Kedua,
kata llah dalam bahasa Arab menunjuk kepada sesuatu yang di sembah
atau dipuja oleh manusia dalam hidupnya. Misalnya firman-Nya: "dan
kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan kami
wahyukan kepadanya bahwasanya tidak ada tuhan melainkan aku,
maka sembahlah aku" (Q.S.Al-Anbiya/21:25). Contoh lain dapat dilihat
dalam Q.S.Al-A'raf/7:59; S.al-baqarah/2:163 dan S.al-Furqan/25:69.
Secara umum uraian Al-Qur'an tentang bukti-bukti keesaan
Tuhan dapat dibagi dalam tiga bagian pokok yaitu: Pertama:
Menjelaskan kenyataan wujud yang tampak (fenomena alam
semesta). Kedua:Menjelaskan rasa yang terdapat dalam jiwa manusia,
dan Ketiga: Menjelaskan dengan dalil-dalil logika. Untuk
yang pertama itu Al-Qur'an menggunakan seluruh wujud sebagai bukti.
Semua fenomena yang terjadi di alam semesta meripakan saksi-saksi
tentang keberadaan-Nya. Melalui cara ini Al-Qur'an merangsang nalar
manusia untuk memikirkanya hingga sampai kepada satu kesimpulan
dan keyakinan akan kemahakuasaan-Nya. Misalnya firman-Nya dalam
surat Al- Ghasyiyah/88:17-20 yaitu “maka apakah mereka tidak
memperhatikan unta bagaimana ia diciptakan; dan langgit bagaimana ia
di tinggikan, dan gunung-gunung bagaimana ia di tegakkan; dan bumi
bagaimana ia di hamparkan”? Contoh lain dapat dilihat dalam
S.Qaf/50:6-7; S.al-Ra'du/13:4; s. al-Mulk/67:3-4. Untuk yang kedua,
Al-Qur'an sering berbicara tentang situasi dan kondisi jiwa manusia,
misalnya dalam firman-Nya: “Katakanlah, terangkanlah kepada-Ku jika
datang siksaan Allah kepada mu, atau datang kepadamu hari kiamat
apakah kamu menyeru (tuhan) selain Allah, jika kamu orang-orang
yang benar?" (Q.S. al-An'am/6:40-41). Contoh lain dapat dilihat dalam
S. Yunus/46:4; S.al-A'raf/7:97-99. Karena itu tidak mengherankan bila
ada satu teori di dalam antropologi agama menyebutkan bahwa awal
rasa beragama di kalangan suku-suku primitif adalah adanya rasa
kagum dan takut terhadap gejala alam yang dahsyat. Ketakutan itu
mendorong mereka untuk mencari perlindungan sehingga muncullah
pikiran pikiran mereka tentang Yang Maha Kuasa .
Ketiga adalah, dialog Al-Qur'an yang banyak merangsang akal
manusia, sehingga manusia itu dapat berfikir dengan kritis, logis dan
sistematis untuk sampai kapada keyakinan kepada Sang Maha Pencipta.
Misalnya firman Allah : "Apakah mereka menggambil tuhan-tuhan dari
60
bumi yang dapat menghidupkan (orang-orang mati)? Sekiranya di
langit dan di bumi ada tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya
telah rusak binasa, maka Maha Suci Allah yang mempunyai 'arasy dari
pada yang mereka sifatkan" (Q.S. al-Anbya'/21:21-22) contoh lain
dapat di lihat dalam S. al-Ahqaf/46:4; S. al-Anbiya/21:62-66 S. al-
An'am/6;101; S. Yusuf/12:39.
E. Hakikat la Ilaha illallah
Menurut para mufassir dan ahli bahasa Arab, kata la didalam
rumusan ini berfungsi sebagai penggingkaran, kata llah (tuhan)
berfungsi sebagai yang diingkari atau dinafikan. Kata illa adalah adat
istitsna (pengecualian), sedangkan kata Allah adalah yang di kecualikan
(mustatsna). Susunan kalimat seperti ini bertujuan pemantapan
terhadap keesaan Allah. Kita di suruh menggulang-ngulang kalimat ini
agar kita senantiasa mengingat kemahaesaan Allah serta mengingkari
kekuasaan selain-Nya. Dengan demikian diharapkan agar kita terhindar
dari belenggu kekuasaan materi dan hawa nafsu ankara murka.
Keyakinan tentang adanya yang Maha kuasa selain Dia disebut dengan
syirik, sebagai lawan dari pada tauhid. Tauhid menuntun kita agar tidak
menyembah, memuja dan mengagung-agungkan yang selain-Nya,
sedangkan syirik akan menggiring kita untuk diperbudak oleh benda
(materi) sehingga dapat menjatuhkan martabat kemanusaan itu sendiri.
Dari sisi ini kita dapat berkata bahwa akidah tauhid pada hakikatnya
membebaskan hati dan pikiran manusia dari kebekuan dan
keterbelengguan berdasarkan keyakinan bahwa hanya Allah saja yang
Mahaagung dan Mahakuasa. Sedangkan Islam sebagai satu-satunya
agama yang dapat menampung keyakinan tauhid itu bertujuan
membebaskan manusia dari berbagai bentuk penjajahan dan
penindasan.
F. Al-Nubuwwat (kenabian)
Pembahasan penting mengenai nubuwwat (kenabian) ini
berkaitan dengan iman kepada para nabi/rasul Allah, tugas-tugas
mereka, wahyu, mukjizat, dan keumuman risalah Nabi Muhammad
saw. Berikut ini dijelaskan satu per satu secara singkat:
1. Iman kepada rasul dan nabi
Sebagai muslim kita wajib beriman kepada para rasul dan
Nabi. Bahwa Allah telah mengutus manusia-manusia pilihan pada
periode tertentu dan kepada umat tetentu untuk membimbing mereka
kepada jalan kebenaran. Barangsiapa mengingkarinya maka dia ter-
hukum kafir. Allah berfirman dalam Q.S.2:285 yang terjemahannya
sebagai berikut:
“Rasul telah beriman kepada Al-Quran yang diturunkan kepadanya
dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya
61
beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan
rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan), „Kami tidak membeda-bedakan
antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya‟ ….”
(Depag. R. I, 1984:72).
Rasulullah saw. bersabda:
“ …Iman ialah engkau percaya kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya….”
b. Wajib beriman kepada para rasul dan nabi yang diutus Allah
dengan keimanan secara garis besar bagi orang yang tidak mengetahui
nama-namanya, dan secara rinci bagi orang yang mengetahui nama-
namanya. Yang nama-namanya disebutkan secara jelas (rinci) ada dua
puluh lima. Di antara yang dua puluh lima juga ada yang ulul
azmi yaitu Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad.
c. Wajib beriman bahwa Allah telah membuktikan kebenaran rasul-
rasul-Nya dengan memberi mukjizat dan menurunkan kitab-kitab suci
kepada mereka yang berisi petunjuk dan cahaya. Kitab-kitab suci yang
disebutkan secara tertentu wajib diimani dengan yakin, seperti Taurat,
Zabur, Injil, dan Al-Quran. Sedangkan yang tidak disebutkan secara
tertentu, maka wajib diimani secara global.
62
mengenal Rabb-nya, dan mengetahui nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya,
dan af‟al-Nya, yang selanjutnya tidak mungkin mereka beribadah
kepada-Nya dan hidup sesuai dengan manhaj-Nya. Oleh karena itu,
keberadaan para rasul mutlak diperlukan.
3. Tugas rasul
Secara garis besar tugas para rasul dapat dikemukakan sebagai berikut :
a. Membimbing akal manusia untuk mengenal Allah SWT, dzat-Nya,
nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan af‟al (perbuatan)-Nya, serta untuk
beribadah kepada-Nya dan mentauhidkan-Nya.
b. Menjelaskan kaidah-kaidah keadilan dan kebenaran kepada
manusia, mangatur kehidupan mereka, dan membatasi bentuk
hubungan antar mereka.
c. Memberikan batasan tentang keutamaan-keutamaan dan menyeru
manusia kepadanya, dan menerangkan perkara-perkara yang hina serta
mencegah manusia agar tidak melakukannya.
d. Menerangkan keadaan akhirat dan segala sesuatu yang berkaitan
dengannya berupa pahala, siksa, surga, dan neraka.
Empat hal di atas merupakan tugas-tugas pokok para rasul Allah.
4. Hal-hal yang Wajib, Mustahil, dan Jaiz bagi para rasul
Para rasul wajib memiliki seluruh sifat kesempurnaan secara garis
besar sebagai manusia, sebagaimana rincian berikut :
a. Ash-Shidqu benar dalam semua perkataan-nya dan pada semua
yang disampaikannya yang berasal dari Rabb-Nya.
b. Al-Amanah (tepercaya): mereka tidak pernah meninggalkan yang
diperintahkan Allah dan tidak pernah melanggar larangan-Nya.
c. Al-Fathanah cerdas akalnya, cepat ber-pikir, mudah
mengemukakan bukti-bukti, dan kuat argumentasinya.
d. At-Tabligh (menyampaikan): yakni menyampaikan segala yang
diperintahkan Allah SWT kepada manusia.
63
Mukjizat ialah perkara (kejadian) luar biasa yang ditampakkan
Allah kepada orang yang mengaku sebagai Nabi sesuai dengan
kehendak-Nya untuk membenarkan pengakuan tersebut. Dalam hal ini
semua makhluk tidak mampu menandinginya atau melakukan hal
seperti itu. Menurut hukum akal (logika), mukjizat adalah sesuatu yang
mungkin, dan secara faktual merupakan kenyataan. Mukjizat dihukumi
sebagai sesuatu yang mungkin karena merupakan perbuatan Allah,
sedangkan Allah tidak mustahil melakukan sesuatu. Adapun mukjizat
dikatakan sebagai suatu fakta ialah karena adanya berita mutawatir
yang menjelaskan bahwa Allah SWT telah mengukuhkan rasul-rasul-
Nya dengan mukjizat tersebut. Dalam hal ini, setiap Nabi memiliki satu
mukjizat atau lebih.
Adapun mukjizat Nabi Muhammad saw. ada dua macam:
a. Mukjizat hissiyyah (indrawi), seperti ter-belahnya
bulan, terpancarnya air dari celah-celah jari beliau, merintih-nya pohon
kurma kepada beliau, menyembuhkan mata Qatadah bin Nu‟man pada
waktu Pterang Uhud, dan Isra Mi‟raj. Atau selamatnya nabi Ibrahim
dari kobaran api, terbelahnya Lautan Merah sehingga selamat nabi
Musa beserta kaumnya dari kejaran Fir‟un dan tentaranya.
b. Mukjizat aqliyyah (yang dirasakan dan diketahui dengan akal atau
penalaran), seperti Al-Quranul-Karim yang merupakan mukjizat beliau
yang terbesar. Bangsa Arab yang pandai fashahahdan balaghah (sastra)
pernah mencoba menandinginya, tetapi mereka tidak mampu. Al-Quran
ini juga memberitakan perkara-perkara gaib, serta mensyariatkan
hukum-hukum dan kemaslahatan manusia.
Mukjizat itu bertujuan selain untuk menyelamatkan
para rasul dari ancaman orang-orang kafir juga sebagai bukti
kerasulannya. Sesuai dengan makna dasar kata mu‟jizat ialah sesuatu
yang melemahkan atau membuat sesuatu menjadi lemah dan tak
berdaya maka mukjizat juga bertujuan untuk melemahkan dan
mematahkan keangkuhan lawan-lawanya sekaligus menjadi bukti
kemahakuasaan Allah SWT.
64
serta pengaruhnya dalam kehidupan manusia seperti yang diberitakan
di dalam Al-Qur‟an dan hadis-hadis shahih. Berikut ini penjelasan
tentang makhluk-makhluk tersebut:
(1) Malaikat
Malaikat adalah jisim-jisim (tubuh) yang halus yang diciptakan
dari cahaya yang kadang-kadang dapat menampakkan diri dengan
wujud yang nyata. Umumnya mereka berada di langit. Mereka selalu
bertasbih, mensucikan Allah SWT pada waktu siang dan malam tanpa
merasa letih, dan tidak pernah melanggar perintah Allah
SWT. Sebagian mereka bertugas memberikan bantuan atau pertolongan
kepada orang-orang yang beriman (Q.S.2:30; S.66:6; S.41:30).
Kita wajib mengimani malaikat secara global sebagai mana
Q.S.2:285 yang terjemahannya sebagai berikut:
“Rasul telah beriman kepada Al-Quran yang diturunkan kepadanya
dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya
beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan
rasul-rasul-Nya ….” (Depag. R.I,1989:72).
Malaikat tidak makan, tidak minum, dan tidak berketurunan.
Mereka bukan laki-laki, bukan perempuan, dan bukan banci.
Barangsiapa menyifati mereka dengan laki-laki, maka dia fasik; dan
barangsiapa yang menyifati mereka dengan perempuan, maka ia telah
kafir, karena menentang firman Allah SWT yang artinya dalam Q.S.
43:19 yang terjemahnnya sebagai berikut:
“Dan mereka menjadikan malaikat-malaikat yang mereka itu adalah
hamba-hamba Allah Yang Maha Pemurah sebagai orang-orang
perempuan ….” (Depag. R. I, 1989:796).
(2) Jin, iblis dan syetan
Jin adalah sejenis makhluk ruhani dantidak berjisim yang
diciptakakn dari api. Makhluk jin itu adayang jahat yang dapat
menggoda serta mengganggu manusia dan ada pula yang baik. Mereka
memiliki kemampaun yang hebat untuk melakukan perbuatan-
perbuatan yang berat dan mengagumkan. Mereka diberi taklif oleh
Allah semenjak diciptakan. Di antara mereka ada yang taat dan ada
pula yang melanggar. Mereka makan, minum, dan berketurunan, tetapi
ada pula di antara mereka yang tidak makan dan tidak minum. Diantara
jin yang taat itu sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah
SWT Q.S. 72:13 yang terjemahannya sebagai berikut:
“Dan sesungguhnya kami tatkala mendengar petunjuk (Al-Qur‟an)
kami beriman kepadaNya. Barangsiapa beriman kepadaNya maka ia
tidak takut akan pengurangan pahala dan tidak (takut pula) akan
penambahan dosa dan kesalahan”. (Depag. R.I, 1989: 984).
65
Menurut informasi Al-Qur‟an iblis diciptakan atau berasal dari
api. Hal ini didasarkan atas pengakuan iblis itu sendiri ketika berdialog
dengan Allah SWT mengenai alasannya untuk tidak mau sujud kepada
Adam A.S. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S 7: 12 yang
terjemahannya sebagao berikut:
“Allah berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud
(kepada Adam) diwaktu Aku menyuruhmu?” Iblis menjawab: “saya
lebih baik dari padanya, engkau ciptakan saya dari api sedang di
aEngkau ciptakan dari tanah” (Depag. R.I, 1989:222).
Menurut ulama iblis itu hanya satu karena tidak ditemukan baik
dalam Al-Qur‟an maupun hadis bentuk kata jamaknya. Pendapat ini
diperkuat dengan pernyataan iblis sebagaimana firman Allah SWT
dalam (Q.S7:16-17) yang terjemahannya sebagai berikut:
“Iblis menjawab: “karena Engkau telah menghukum saya tersesat,
saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan
Engkau yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari
muka dan belakang mereka, dari kanan dan kiri mereka. Dan Engkau
tidakakan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat)” (Depag.
R.I, 1989:223).
Dalam ayat ini terdapat sebanyak dua kali pernyataan iblis dengan
menggunakan kata saya. Lalu pada ayat berikutnya ketika Allah SWT
mengusir iblis dari dalam surga menggunakan kata perintah (fi‟il al-
„amar) dalam bentuk tunggal sebagaimana firmanNya
dalam (Q.S.7:18) yang terjemahannya sebagai berikut:
“Allah berfirman, keluarlah engkau dari surga itu sebagai orang
terhina lagi terusir. Sesungguhnya barangsiapa diantara mereka
mengikuti kami benar-benar kami akan mengisi neraka Jahannam
dengan kamu semuanya” (Depag. R.I, 1989:223).
Kata syetan didalam Al-Qur‟an ditemukana dalam bentuk tunggal
yakni syaithan dan bentuk jamaksyayaathin. Ini mengindikasikan
bahwa syetan itu merupakan nama dari satu jenis makhluk Allah SWT
yang banyak. Sebagian ulama mengatakan bahwa syetan itu adalah
sifat, karena itu ada syetan yang berasal dari jin dan syetan yang berasal
dari manusia (Q.S.6:112).
Quraisy Shihab (1996:509) mengungkapkan bahwa kata syetan
itu terbentuk dari dua macam kata. Pertama, dari kata syathatha yang
berarti melampaui batas. Oleh karena itu syetan ialah sifat yang identik
dengan kenakalan atau kebrutalan. Kedua, dari kata syaththa yang
berarti pinggir atau tepi. Maksudnya bahwa syetan itu mudah
memasuki orang-orang yang berpikiran ekstrim dalam berbagai hal
termasuk dalam keagamaan. Sifat dan perilaku syetan itu banyak
diungkap dalam Al-Qur‟an dan hadis, berbeda dengan malaikat yang
66
memiliki sifat-sifat positif (baik), maka syetan dan iblis memiliki sifat-
sifat negatif (buruk) yakni mengganggu dan menggoda manusia kepada
kejahatan.
Malaikat menuntun serta membimbing manusia ke jalan yang
benar sedangkan syetan dan iblis mendorong manusia kepada kejahatan
dan kekufuran. Oleh karena itu Allah SWT memperingatkan manusia
untuk selalu waspada terhadap taktik dan tipu daya iblis dan syetan.
(Q.S.2; 7:17; 2:102; 5:90-91).
(3) Ruh
Kata ruh yang biasa diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia
dengan roh adalah sejenis makhluk Allah SWT yang wajib dipercaya
atau diimani keberadaannya. Al-Qur‟an banyak sekali memberitakakn
keberadaan ruh itu, misalnya firman Allah SWT dalam Q.S.32:9 yang
terjemahannya sebagai berikut:
“Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan kedalan (tubuh) nya
roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan kamu pendengaran,
pengelihatan dan hati, (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur” (Depag.
R.I, 1989:661).
Setiap manusia memiliki ruh tetapi dia tidak dapat mengetahui
hakikatnya. Oleh karena itu ruh merupakan hal yang misteri bagi
manusia sampai sekarang. Sebagaimana firman Allah SWT dalam
(Q.S.17:85) yang terjemahannyasebagai berikut:
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: roh itu
termasuk urusanTuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan
melainkan sedikit” (Depag. R.I, 1989:437).
Sebagian ulama menjadikan ayat ini sebagai alasan untuk tidak
memperbincangkan lebih jauh soal roh karena roh itu adalah urusan
Tuhan dan manusia tidak akan mampu mencapai hakikatnya. Tetapi
sebagaian yang lain berpendapat, ayat ini bukan dalam kontek larangan
untuk membahas persoalan roh karena roh adalah ciptaanNya
juga. Larangan Allah SWT hanya berkaitan dengan memikirkan zat-
Nya.
H. As-Sam’iyyat
Kata Sam‟iyyat berasal dari sam‟u yang berarti pendengaran.
Yang dimaksud dengan As-Sam‟iyyat disini ialah hal-hal yang
berhubungan dengan alam akhirat dan alam barzakh seperti surga,
neraka, titian(shirath), timbangan (mizan) dan azab kubur. Ini semua
tidak dapat dibuktikan secara empiri karena tidak dapat dijangkau oleh
panca indera manusia, tetapi wajib diimani sebagaimana yang
diceritakan di dalam Al-Qur‟an dan hadis. Berikut ini hal-hal yang
berkaitan dengan As-Sam‟iyyat ini adalah sebagai berikut:
67
(1). Al-Ba‟ts (pembangkitan) dan al-Hasyar (penghimpunan)
Al-Ba’ts (pembangkitan)
Yang dimaksud dengan Al-Ba‟ts adalah keyakinan tentang adanya
hari kebangkitan manusia dari alam kubur setelah Allah SWT
mempertemukan roh dengan jasadnya. Beriman tentang hari
kebangkitan itu hukumnya wajib dan mengingkarinya di hukum kafir.
Hal ini didasarkan atas firman Allah SWT dalam (Q.S 64:7) yang
terjemahannya sebagai berikut:
“Orang-orang yang kafir mengatakan, bahwa mereka sekali-kali tidak
akan dibangkitkan. Katakanlah: „Tidak demikian, demi Tuhanku,
benar-benar kamu dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu
apa yang telah kamu kerjakan ….‟ ” (Depag. R.I, 1989:941).
dan Q.S 36:78 – 79 yang terjemahannya sebagai berikut:
“… ia berkata: „Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang,
yang telah hancur luluh?‟ Katakanlah: „Ia akan dihidupkan oleh Tuhan
yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui
tentang segala makhluk.‟ ” (Depag. R. I, 1989:714).
Dalil sunnah untuk masalah ini antara lain diriwayatkan
bahwa Ubai bin Khalaf pernah datang kepada Nabi untuk mendebat
beliau sambil membawa tulang yang telah rapuh, lalu ia meremas-
remasnya dengan tangannya sambil berkata: “Wahai Muhammad,
apakah engkau berpendapat bahwa Allah SWT akan menghidupkan
tulang ini setelah hancur lebur?” Nabi saw. menjawab, “Benar, Dia
akan membangkitkanmu dan memasukkanmu ke dalam
neraka.” Riwayat inimelatarbelakangi turunnya firman Allah SWT
dalam (Q.S.36:78-80) yang terjemahannya sebagai berikut:
“Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami, dan dia lupa kepada
kejadiannya, ia berkata: “siapakan yang dapat menghidupkan tulang-
belulang yang telah hancur leluh”. Katakanlah: “ia akan dihidupkan
oleh yang menciptakannya kali yang pertama dan Dia Maha
Mengetahui tentang segala makhluk”, yaitu Tuhan yang menjadikan
untukmu apai dari kayu yang hijau, maka tiba-tiba kamu nyalakan
(api) dari kayu itu.”(Depag.R.I,1989:714)
al-Hasyr (penghimpunan)
Al-Hasyar artinya berkumpul sedangkan mahsyar artinya
tempat berkumpul. Yang dimaksud dengan al-Hasyar dalam topik ini
ialah keyakinan bahwa manusia setelah dibangkitkan dari alam kubur
akan dikumpulkan pada suatu tempat untuk diproses dan diadili semua
amalannya semasa hidup di alam dunia. Keyakinan ini didasarkan
atas nash Al-Qur‟an dan sunnah serta ijma‟ulama. Mengingkari hal
tersebut akan membawa kepada kekufuran karena mengingkari Al-
68
Qur‟an dan sunnah Rasul. Allah berfirman dalam (Q.S.50:44) yang
terjemahannya sebagai berikut:
69
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan
Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan
mendapat rezeki.” (Depag. R.I, 1989:105).
dan Q.S 23:46 yang terjemahannya sebagai berikut:
“Kepada mereka ditampakkan neraka pada pagi dan petang, dan
pada hari terjadinya kiamat. (Dikatakan kepada malaikat):
„Masukkanlah Fir‟aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat
keras‟.” (Depag.R.I,1989:765).
Kemudian disebutkan dalam suatu riwayat bahwa Nabi saw.
pernah melewati dua kuburan, lalu beliau bersabda:
“Sesungguhnya keduanya sedang disiksa, tetapi mereka disiksa bukan
karena dosa besar. Yang satu karena suka mengadu domba, dan
lainnya karena tidak bersuci dari kencing.”
Adapun peristiwa-peristiwa lain yang terjadi di hari akhirat itu,
yang wajib diimani adalah mengenai: mizan (penimbangan amal baik
dan amal buruk), „aradh (penayangan amal baik dan amal buruk
manusia) dan jaza‟ (pembalasan) yakni surga bagi yang berbuat
kebaikan dan neraka bagi yang berbuat kejahatan.
I. Pemurnian Akidah
Adapun yang dimaksud dengan pemeliharaan dan pemurnian
akidah itu ialah menjaga dan memelihara iman dari segala sesuatu yang
dapat merusak dan mencemarinya.
Seperti syirik, kufur(kekafiran), nifaq (kemunafikan),
dan khurafat (keyakinan-keyakinan terhadap pemberitaan-pemberitaan
bohong). Aqidah yang benar tentang dzat dan sifat-sifat Allah SWT
berusaha meluruskan pemikiran manusia dari kesesatan. Di samping
itu ia juga dapat menuntun, mengarahkan untuk beramal serta
melakukan karya-karya inovatif untuk menciptakan kemaslahatan
hidupnya. Dengan demikian aqidah selain mengandung
aspek nazhari (teoretis yakni keyakinan), juga mengandung
aspek tathbiq(pengamalan ). Penjelasan tentang ini akan diuraikan lebih
lanjut pada bahagian syari‟ah. Selanjutnya pembahasan mengenai
syirik.
a. Pengertian syirik
Syirik adalah lawan dari tauhid. Tauhid berarti mengesakan Allah,
sedangkan syirik berarti memperserikatkan-Nya dengan yang lain.
Syirik menurut bahasa terambil dari kata Arab syirkun artinya
berserikat atau bersekutu. Dalam bentuk kata kerja aktif-transitif
70
ialah asyraka artinya memperserikatkan/mempersekutukan sesuatu.
Menurut Imam Muhammad Abduh (79:94), syirik itu ialah percaya
bahwa ada yang memberi bekas selain Allah dan percaya bahwa ada
sesuatu yang mempunyai kekuasaan yang mutlak selain Allah. Dengan
kata lain secara sederhana syirik itu dapat diartikan dengan sikap atau
tingkah laku yang pada intinya lahir dari suatu keyakinan tentang
adanya kekuasaan lain yang dapat menandingi bahkan melebihi
kekuasaan Allah baik itu terdapat dalam hati maupun lahir dalam
bentuk tindakan nyata.
c. Pembagian syirik
Syirik dapat dibedakan dalam dua kelompok besar yaitu syirik
besar/jali dan syirik kecil/khafi. Yang dikatakan syirik besar adalah
mempercayai tuhan selain Allah yang diikuti dengan pemujaan atau
penyembahan kepadanya secara terang-terangan. Seperti kaum
penyembah berhala („abidul watsani), kepercayaan kepada dua
kekuatan yang berpengaruh kepada alam semesta yakni tuhan cahaya
(Ahura Mazdak) dan tuhan kegelapan (Ahriman) sebagaimana
keyakinan umat Majusi, dan kepercayaan kepada tuhan-tuhan lain.
Penganut kepercayaan ini berada di luar Islam, dan disebut dengan
kafir (orang-orang yang ingkar). Yang dikatakan syirik kecil ialah
keyakinan seorang muslim kepada selain Allah di samping meyakini
Allah sebagai Tuhan yang wajib disembah. Syirik seperti ini terjadi
dikalangan umat Islam sendiri, karena di samping mempercayai dan
menyembah kepada Allah SWT, mereka juga menyembah kepada
obejek-obbjek lain yang mereka yakini dapat mem-berikan manfaat
atau mudarat kepada dirinya, seperti kepercayaan terhadap benda-
benda atau tempat-tempat yang dianggap keramat, ramalan-ramalan
nasib, dan sebagainya. Pelakunya meskipun masih tetap dalam status
muslim dipandang sudah melakukan dosa besar. Syirik semacam ini
disebut juga dengan syirik khafi (syirik tersembunyi).
c. Bentuk-bentuk syirik menurut Al-Qur‟an
Al-Qur‟an banyak mengungkapkan bentuk-bentuk syirik yang
dipraktekkan oleh umat manusia di sepanjang zaman. Praktek-praktek
yang dimaksud antara lain:
1) Penyembahan yang semata-mata dihadapkan kepada selain Allah.
Seperti penyembahan kepada berhala (Q.S. 21:52), pohon-pohon,
bulan, bintang dan matahari seperti yang terdapat di kalangan umat di
masa Nabi Ibrahim dan umat jahiliah sebelum masuk Islam. Atau
seperti keyakinan orang-orang majusi kepada dua kekuatan yang
mereka sebut sebagai dewa (tuhan) cahaya yang diyakini sebagai
sumber dari segala kabaikan, dan dewa (tuhan) kegelapan yang
diyakini sebagai sumber dari segala kejahatan.
71
2) Menyekutukan Allah dengan sesuatu selain-Nya. Misalnya,
keyakinan orang-orang Nasrani bahwa Isa Al-Masih adalah anak Tuhan
(Allah) dan roh kudus yang keduanya dianggap sebagai oknum Tuhan
(Q.S. 5:72-73).
3) Menjadikan pemimpin-pemimpin agama sebagai Tuhan.
Sebagaimana dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani (Q.S.
9:31).
4) Menjadikan hawa nafsu sebagai Tuhan (Q.S. 25:43).
5) Keyakinan bahwa hidup di dunia hanya tergantung pada masa
sebagaimana keyakinan kaum dahriyyun / atheis (Q.S. 45:24).
6) Sifat riya dalam beramal/ibadah.
Dari Abu Sa‟id Nabi saw bersabda:
“Maukah kamu aku beritahu tentang sesuatu yang lebih aku takuti
menimpa dirimu dari pada Dajjal yang merajalela? Mereka menjawab,
baiklah ! Maka ia (Rasulullah) berkata: syirik khafi yaitu seorang
sedang shalat lalu ia perindah shalatnya karena ia tahu dilihat
orang.” (Ibnu Majah No. 4194).
Menurut Muhammad bin Abdul Wahab (1979:110), suatu amal
yang dilakukan karena Allah, kemudian dicampuri dengan riya, kalau
riyanya disingkirkan, maka riya itu tidak membahayakan, tetapi kalau
riya yang datang itu terus menghinggapinya, maka hilanglah nilai amal
yang permulaannya ikhlas karena Allah.
Bahaya syirik
Syirik selain merusak iman dan amalan juga merusak diri dan
masyarakat sebagai pelaku syirik itu sendiri. Orang yang berbuat syirik
hatinya akan diselimuti oleh kegelapan, jauh dari cahaya iman yang
pada akhirnya ia mudah bertindak zalim. Karena itu syirik dipandang
sebagai kezaliman yang paling dahsyat (Q.S. Luqman/31:12). Syirik
juga akan menjatuhkan martabat sebagai manusia yang diciptakan
paling mulia di sisi Allah. Orang yang syirik akan mudah tunduk
kepada alam sedangkan tauhid mengajarkan manusia agar tunduk dan
takut kepada Allah semata.
Perbuatan syirik akan membelenggu jiwa dan membungkam
fikiran si pelakunya. Sebab, keterikatannya kepada benda akan
mengakibatkan ketergantungannya kepada benda-benda yang
diyakininya itu sehingga dapat menghilangkan pikiran yang jernih
(rasional). Misalnya orang-orang yang suka mencari perlindungan/
pertolongan – dalam perkara yang ghaib kepada Allah. Al-Quran
mengibaratkannya dengan sarang laba-laba. Firman-Nya dalam surat
al-Ankabut ayat 41 yang artinya:
72
“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung
selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan
sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba kalau
mereka mengetahui”. (Depag.R.I.1989: 634).
73
SWT menggambarkan perumpamaan akidah yang kuat dan manfaatnya
bagi diri dan orang lain, terjemahannya sebagai berikut:
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat
perumpamaankalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya
teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan
buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat
perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu
ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang
buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi;
tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun”. (Depag. R.I, 1984: 383 - 384).
Kiat-kiat pemeliharaan iman itu seperti dikemukakan oleh Zakiah
Daradjat (1986:157 – 162) adalah sebagai berikut:
a. Menambah atau memperdalam ilmu
Firman Allah dalam Q.S 35:28 yang terjemahannya sebagai berikut:
“ … sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-
Nya, hanyalah ulama (orang-orang berilmu). Sesungguhnya Allah
Maha perkasa lagi Maha Pengampun”. (Depag. R.I,1984 :700).
Menambah dan memperdalam ilmu yang dimaksud adalah ilmu
tauhid (akidah) itu sendiri secara keseluruhan. Bila anda telah
menguasai ilmu akidah Islam secara benar, maka akan menjadikan
anda orang jujur, disiplin dan sopan. Secara umum akan menjadikan
anda berkepribadian yang baik.
b. Membiasakan amal shahih
Firman Allah dalam Q.S 24:55 yang terjemahannya sebagai
berikut:
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara
kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-
sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia
telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan
sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah
diridhai-Nya untuk mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan
menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada
mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang
(tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang
fasik”. (Depag. R.I, 1984: 553).
Ilmu aqidah yang telah anda kuasai itu wujudkanlah dalam
bentuk tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari yang dalam
kacamata Islam disebut amal saleh, baik amal shalih dalam bentuk
ibadahmahdhah maupun amal shaleh dalam bentuk ibadah ghairu
mahdhah.
c. Membiasakan jihad
74
Firman Allah dalam Q.S 37: 10–11 yang terjemahannya sebagai
berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu
perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih?
(yaitu) kamu beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan berjihad di
jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu
jika kamu mengetahuinya” (Depag. R.I, 1984: 929).
Melawan godaan hawa nafsu merupakan jihad yang paling berat
dalam sejarah umat manusia di muka bumi ini. Oleh karena itu bila
anda telah mampu menundukkan bisikan hawa nafsu anda sendiri maka
anda telah melakukan jihad dalam hidup anda. Selalulah berjihad agar
anda berhasil mengharungi lautan kehidupan yang banyak gelombang
dan badainya.
d. Berserah diri kepada Allah
Firman Allah dalam Q.S 2:112 yang terjemahannya sebagai berikut:
“(Tidak demikian), bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri
kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada
sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak
(pula) mereka bersedih hati”. (Depag. R.I, 1984: 30).
Selain berjihad, suatu langkah yang harus tempuh dalam rangka
memelihara iman adalahberserah diri kepada Allah (tawakal). Dalam
hidup kita tidak selalu mengalami kesuksesan dalam setiap yang kita
usahakan dan tidak semua rencana terlaksana seperti yang kita
harapkan. Karena kita harus yakin bahwa di balik rencana manusia ada
kekuatan dahsyat yang maha menentukan yakni takdir Allah. Kita
wajib meyakini adanya takdir itu namun kita juga tidak boleh menyerah
dan pasrah saja kepada apa yang kita namakan takdir itu karena takdir
itu dirahasiakan Allah kepada kita. Setelah kita berusaha secara
maksimal dengan perencanaan serta langkah-langkah yang sudah
diperhitungkan dengan matang lalu kita menemukan kegagalan, maka
hal itu kita terima dengan lapang dada atau sikap ridha berdasarkan
keyakinan bahwa Allah itu adalah Mahakuasa dan keptusan-Nya di atas
segala-galanya. Sebab, tidak akan terjadi sesuatu di muka bumi ini
kecuali atas izin Allah. Hal ini akan menjadikan anda selalu menjalani
hidup ini penuh dengan kreatif yang berlandaskan tauhid. Sikap itulah
yang disebut dengan tawakal.
e. Selalu mencari keridhaan Allah
Firman Allah dalam Q.S 5:16 yang artinya:
“Dengan Kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti
keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah
mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang
75
terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan
yang lurus”. (Depag.R.I,1984:161).
Bila anda ingin meraih ridha Allah dalam hidup ini maka lakukan
semua aktivitas yang sesuai dengan koridor yang ditetapkan Allah,
yang dijelaskan dan di contohkan oleh Rasul-Nya. Tidak ada artinya
kekayaan kalau diraih dengan cara yang tidak diridhoi Allah. Begitulah
seterusnya.
f. Memakmurkan masjid
Firman Allah dalam Q.S 9: 18 yang terjemahannya sebagai berikut:
“Hanyalah yang memakmurkan mesjid-mesjid Allah ialah orang-orang
yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan
sholat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain
kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk
golongan orang-orang yang mendapat petunjuk”. (Depag. R.I, 1984:
280).
Akhlak mulia, kepribadian yang baik itu perlu tapi dimana diajarkan
atau dimana lembaga pendidikannya. Dalam pandangan Islam salah
satu lembaga pembinaan akhlak mulia itu adalah di mesjid. Mesjid
adalah lembaga pendidikan pertama di zaman Rasullah. Diharapkan
anda meramaikan mesjid untuk mendidik jiwa anda di samping untuk
menunaikan ibadah. Dari jiwa yang suci akan lahir kepribadian yang
baik.
g. Membiasakan zikir dan membaca serta mendengarkan Al-Qur‟an
Firman Allah dalam Q.S 8: 2 yang terjemahannya sebagai berikut:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang
apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila
dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka
(karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal”.(Depag. R.I,
1984: 260).
Berzikir dapat menumbuh kembangkan potensi hati yang anda miliki.
Zikir meliputi seluruh potensi yang dimiliki manusia, sehingga disebut
zikir lidah, zikir hati, zikir otak dan zikir anggota tubuh. Materi zikir
yang paling utama adalah Al-Qur‟an, seringlah anda membaca Al-
Qur‟an dan fahami maknanya lalu amalkan agar anda menjadi pribadi
yang baik dan berhasil dalam segala hal.
Akidah/ iman sebagaimana yang telah diuraikan dijadikan
merata untuk semua umat manusia, kekal sepanjang masa, dan
bermanfaat baik bagi kehidupan perorangan maupun bermasyarakat.
Untuk memantapkan pemahaman anda dikemukakan rangkuman
berikut ini :
Pertama: ialah iman kepada Allah Ta‟ala akan memancarkan
perasaan yang baik dan dapat menjadi semangat untuk manuju ke arah
76
perbaikan. Makrifat ini memberi didikan kepada hati untuk meneliti
mana yang salah dan tercela dan mencari yang luhur dan mulia dalam
hidupnya.
Kedua: ialah iman kepada malaikat Allah Ta‟ala yang dapat
mengajak hati untuk berhati-hati dalam berbuat dan beribadah karena
dia makhluk Allah yang memperhatikan dan mencatat segala gerak
langkah dan perilaku manusia.
Ketiga: ialah iman kepada kitab-kitab suci Allah Ta‟ala yang dapat
memberikan arah untuk menempuh jalan yang lurus dan diridhai Allah.
Keempat: ialah iman kepada rasul-rasul Allah agar kita dapat
mengikuti jejak langkahnya, dan menghias diri dengan meniru akhlak
para rasul itu.
Kelima: ialah iman kepada hari akhir yang dapat menjadi motivasi
yang terkuat untuk mengajak kita berbuat kebaikan dan menjauhi
keburukan atas dasar keyakinan bahwa segala sesuatu akan dibalasi
dengan pembalasan yang seadil-adilnya.
Keenam: ialah iman kepada takdir yang dapat memberikan bekal
kekuatan kepada kita untuk menanggulangi segala macam rintangan,
kesengsaraan dan kesukaran.
Aqidah itu tujuan utamanya adalah memberikan pendidikan
yang baik untuk menempuh jalan kehidupan, dan mengarahkannya
untuk mencapai sifat-sifat yang luhur. Aqidah juga merupakan sumber
inspirasi dan motivasi untuk melahirkan amal sholeh. Seperti
dikemukakan oleh Hassan Hanafi (2003:11), akidah bukanlah tujuan,
melainkan medium yang dapat memberikan pengaruh dalam kehidupan
praktis. Keyakinan merupakan komponen psikologis, bukan hakikat
teoritis, formulasi kebahasaan, atau fakta sejarah yang berdiri sendiri.
Akidah tidak membahas sesuatu tetapi mengarahkan perilaku. Ia
menjadi pendorong tindakan dan pembangkit aktivitas yang
menyatukan niat dan mengejawantahkan tujuan. Akidah sebagai motor
penggerak manusia. Akidah merupakan ethos yang tidak mungkin
digambarkan dengan pemikiran dan diungkapkan dengan rumusan
logika.
77
BAB V
SYARI'AH
A. Pengertian Syariah, Fiqh dan Hukum Islam.
Sebagian kalangan ada yang alergi mendengar kata Syari‟ah
(Syari‟at Islam), lebih-lebih bila dikaitkan dengan kehidupan
bernegara. Seakan-akan nilai-nilai Syari‟ah tidak terkait sama sekali
dengan kehidupan selain ibadah-ibadah khas (ibadah mahdhah).
Misalnya ketika mereka mendengar ungkapan-ungkapan berikut: Mari
kita tegakkan syari‟at Islam, Mari kita landasi kehidupan kita di atas
syari‟ah, dsb. Mereka lalu berkomentar, “Indonesia bukan negara
Islam, Indonesia adalah negara Pancasila”. Memang masih ada
sebagian orang mempersepsikan syari‟ah sebagai sesuatu yang
menakutkan, mereka membayangkan bila syari‟ah itu ditegakkan dalam
kehidupan bernegara, maka akan diberlakukan hukum potong tangan
bagi setiap pencuri, hukum rajam atau dera bagi setiap pelaku zina, dan
hukum rajam bagi se pembunuh. Seakan-akan itulah yang dianggap
syari‟ah Islam sehingga syari‟ah menjadi momok yang amat ditakuti.
Padahal jenis hukuman yang disebutkan itu baru satu aspek saja dari
syari‟at Islam yang terkait dengan hukum pidana (hudud). Untuk itu
kita harus kembali kepada pengertian syari‟ah secara utuh dengan
memperhatikan aspek-aspek yang terkait dengan syari‟ah tersebut serta
ruang lingkupnya. Setelah membaca topik ini diharapkan anda dapat
membedakan syari‟at Islam dengan Hukum Islam dan Fikih (fiqh) serta
memahami kaitan syari‟ah dengan akidah dan akhlak.
1. Pengertian Syariah
Secara etimologi kata syari‟ah berarti “sumber air/aliran air yang
digunakan untuk minu. Dalam perkembangannya, kata syari‟at
digunakan orang Arab untuk mengacu kepada jalan (agama) yang lurus
(al-thariqat al mustaqim), karena kedua makna tersebut mempunyai
keterkaitan makna (Dahlan, Ed., 2006:334). Bila kata hukum dirangkai
dengan kata syara‟ yaitu Hukum Syara‟ berarti: “Seperangkat peraturan
berdasarkan kepada ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang
diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang
beragama Islam”. (Amir Syarifuddin I, 1997:281). Sehubungan dengan
ini Allah berfirman yang artinya:
78
Istilah syara‟ juga sering disebut dengan hukum. Dua istilah ini
secara terminologi sama, bahkan istilah syara‟ dalam pemakaiannya
dipersempit pada aspek-aspek hukum yang dipahami sekarang yaitu
aturan-aturan Allah berkenaan dengan kehidupan atau aktivitas
manusia.
79
Syari‟at dalam arti yang terbatas ini sebagai alat untuk memecahkan
masalah. Sedangkan syari‟at dalam pengertian yang luas menurut Zaki
Yamani (1974:13), mencakup segala apa yang telah dibukukan oleh
ahli-ahli fikih Islam tentang masalah-masalah yang terjadi di masa
mereka atau yang mereka harapkan akan terjadi dengan menariknya
langsung dari Al-Qur`an dan Sunnah atau dari sumber-sumber
yurisprudensi lainnya seperti ijima‟, qiyas, istihsan, istishab dan
mashalih-mursalah. Barangkali yang dimaksud Syari‟at oleh Yamani
dalam konteks ini ialah hukum Islam. Bahwa sumber hukum Islam itu
terdiri dari sumber-sumber pokok yakni Al-Qur`an dan Hadis, dan
sumber tambahan atau pengembangan terhadap kedua sumber tersebut
yakni ijtihad. Ijtihad akan melahirkan pandangan-pandangan hukum
yang lebih luas dan bervariasi yang disebut dengan mazhab. Masalah
ijtihad dapat dilihat pada Bab yang membahas tentang Sumber-Sumber
Ajaran Islam.
Kata litahkuma dalam ayat ini mengandung makna hukm yang berarti
memutuskan perkara atau mengadili[1].
Pengertian kata hukum memiliki rumusan yang sangat luas.
Meskipun demikian secara sederhana dapat dikatakan bahwa hukum itu
adalah “seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang
ditetapkan dan diakui oleh suatu negara atau kelompok
masyarakat” (Amir Syarifuddin I, 1997:281). Jadi hukum sangat erat
kaitannya dengan keberadaan sebuah masyarakat. Bahkan dalam
kehidupan masyarakat dengan tingkat pola kehidupan yang lebih tinggi
peran hukum sangat sentral. Sebaliknya dalam pola kehidupan
masyarakat dengan peradaban yang lebih rendah, peran hukum juga
lebih rendah. Seperti dikemukakan oleh Nurcholis Madjid (1992:314),
wahyu yang turun kepada Nabi Muhammad dalam periode Madinah
menyangkut masalah-masalah kemasyarakatan mencerminkan
pentingnya peran hukum. Lebih jauh dia ungkapkan, karena pentingnya
80
segi tertib hukum, Nabi Saw mengatur dan menerima masyarakat
Madinah sebagai suatu negara (city state) dengan sistim hukum yang
tegas. H.R. Gibb dalam Rifyal Ka‟bah (1999:35) mengemukakan,
hukum dalam pandangan ilmuan muslim merupakan aspek praktis
doktrin social dan keagamaan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad.
Adapun kata fikih (fiqh) pada awalnya meliputi pengertian usaha untuk
mengkaji serta mendalami ilmu-ilmu keagamaan (Islam) secara
keseluruhan. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S.9:122:
Artinya: “mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara
mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka
tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya” (Depag RI, 1989:301-302).
81
ungkapan ( ألُّىااٌصَلةdirikanlah shalat!), maka fikih menjelaskan
tentang hukum wajib atau tidaknya, tatacara (kaifiyat) serta rukun dan
syaratnya. Begitu pula tentang pengamalan terhadap bidang-bidang
syari‟at yang lainnya seperti bidang muamalat, munakahat, mawarits,
jinayat dan jihad memerlukan fikih. Fikih bersifat normatif dan lebih
menekankan kepada aspek legal formal tentang pengamalan
syari‟ah/ibadah. Ini bebeda dengan kajian akidah atau akhlak yang
lebih menekankan kepada aspek keimanan dan moral/etika. Fikih lebih
banyak berbicara tentang aspek zhahiriah (eksoterik) agama,
sedangkan akidah dan akhlak berbicara lebih kepada
aspek bathiniyah (esetorik) agama.
82
murid yang menerangkan pendapat-pendapat mereka. Periode ini
berakhir dengan berakhirnya abad ketiga hijriah, (5) Periode pembinaan
hukum yang di dalamnya terdapat pendapat para imam serta munculnya
karangan-karangan besar beserta masalah-masalah yang banyak. Masa
ini berakhir dengan berakhirnya masa daulah Abbasiyah di Bagdad, (6)
Pembinaan hukum pada masa taqlid semata-mata. Periode ini
berlangsung sejak sesudah periode kelima sampai sekarang.
1. Hukum taklifi
Hukum taklifi adalah titah Allah yang berbentuk tuntutan dan
pilihan. Dinamakan hukum taklif karena titah ini langsung mengenai
perbuatan orang yang sudah mukallaf. Yang dimaksud dengan mukallaf
dalam kajian hukum Islam adalah setiap orang yang
sudah baligh (dewasa) dan waras. Anak-anak, orang gila/mabuk dan
orang tertidur tidak termasuk kedalamnya, maka segala tindakan yang
mereka lakukan tidak dapat dikenakan sanksi hukum. Ada dua bentuk
tuntutan di dalam hukum Islam, yaitu tuntutan untuk mengerjakan dan
tuntutan untuk meninggalkan. Dari segi kekuatan tuntutan tersebut
terbagi pula ke dalam dua bentuk yaitu tuntutan yang bersifat mesti dan
tuntutan yang tidak mesti, dan pilihan yang terletak di antara
mengerjakan dan meninggalkan.
Menurut Al-Amidi, (1983:91) hukum taklif itu ada empat
dengan tidak memasukkan al-ibahah(pilihan) karena yang dimaksud
dengan taklif itu adalah beban kepada orang mukallaf baik untuk
mengerjakan atau meninggalkan. Sedangkan menurut jumhur ulama
hukum taklif itu ada lima macam yang disebut juga dengan hukum
yang lima (al-ahkam al-khamsah).
(1)Wajib, yaitu tuntutan yang mengandung suruhan yang mesti
dikerjakan, sehingga orang yang mengerjakan mendapat
ganjaran (pahala), dan kalau ditinggalkan mendapat ancaman (dosa),
seperti firman Allah dalam Q.S 4: 36 yang terjemahannya sebagai
berikut:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu
agar kamu bertakwa (Depah RI, 1989:44).
83
(2)Sunat, yaitu tuntutan yang mengandung suruhan tetapi tidak mesti
dikerjakan, hanya berupa anjuran untuk mengerjakannya. Orang yang
melaksanakan mendapatkan ganjaran (pahala). Karena kepatuhan-nya,
tetapi bila tuntutan itu ditinggalkannya tidak mendapat ancaman dosa
seperti firman Allah SWT dalam Q.S.2:282 yang terjemahannya
sebagai berikut:
84
Pengaruh larangan yang bersifat tidak mesti itu terhadap perbuatan
disebut dengan “karahah”,sedang perbuatannya disebut “makruh”.
“ Talak (yang dapat dirujuk) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma‟ruf atau menceraikan dengan cara yang baik
...”. (Depag,R.I,1984:55).
2. Hukum Wadh‟i
Hukum wadh‟i ini merupakan pra-syarat bagi terlaksananya hukum
taklifi. Ulama ushul fiqh membagi hukum wadh‟i menjadi lima macam
yaitu: “sabab, syarth, mani‟, shah dan bathil” (Nasrun Haroen, 1995:
40). Sedangkan menurut Al-Amidi hukum taklifi itu ada tujuh macam
yaitu: “sabab, syarth, mani‟, shah, bathil, azimah dan rukhsah” (Al-
Amidi, 1983: 91).
(1) Sabab, yaitu titah yang menetapkan bahwa sesuatu itu dijadikan
sebab bagi wajib dikerjakannya suatu pekerjaan, seperti firman Allah
SWT dalam surat Q.S 17:78 yang terjemahannya sebagai berikut:
85
wadh‟i merupakan petunjuk untuk melaksanakan hukum taklifi. Itulah
yang dimaksud dengansabab dalam pembicaran hukum wadh‟i.
(2) Syarath, yaitu titah yang menerangkan bahwa sesuatu itu dijadikan
syarat bagi sesuatu seperti sabda Nabi SAW (terjemahnya):
(4) Shah, yaitu suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara‟.
Maksudnya hukum itu dikerjakan jika ada penyebab, memenuhi syarat-
syarat dan tidak ada sebab penghalang untuk melaksanakannya.
Misalnya, mengerjakan shalat zuhur setelah tergelincir matahari sabab
(sabab), telah berudhuk (syarath), dan tidak ada penghalang (mani‟)
seperti haid, nifas dan sebagainya, maka hukumnya adalah sah.
86
(5) Bathil, yaitu terlepasnya hukum syara‟ dari ketentuan yang
ditetapkan dan tidak ada akibat hukum yang ditimbulkannya, seperti
batalnya jual beli dengan memperjualbelikan minuman keras, karena
minuman keras itu tidak bernilai harta dalam ketentuan hukum syara‟.
Dalam bahasa Indonesia disebut batal. Suatu ibadah dianggap batal
apabila tidak memenuhi rukun dan syarat atau terdapat sesuatu yang
membatalkannya.
Sebagian ulama juga memasukkan perkara „azimah dan rukhshah ke
dalam pembicaraan hukum wadh‟i. Amir Syarifuddin misalnya,
sependapat dengan Al-Amidi bahwa azimah dan rukhsah adalah
bahagian dalam pembicaraan hukum wadh‟i itu (Syarifuddin I,
1997:28). „Azimah, yaitu hukum asal atau pelaksanaan hukum taklifi
berdasarkan dalil umum tanpa memandang kepada keadaan mukallaf
yang melaksanakannya, seperti haramnya bangkai untuk umat
Islam. Rukhsah, yaitu keringanan atau pelaksanaan hukum taklifi
berdasarkan dalil yang khusus sebagai pengecualian dari dalil yang
umum karena keadaan tertentu seperti boleh memakan bangkai dalam
keadaan tertentu, walaupun secara umum memakan bangkai itu haram.
Atau keringanan yang diberikan kepada orang sakit dan musafir untuk
menjamak dan menqashar shalatnya atau meninggalkan kewajiban
berpuasa di bulan Ramadhan.
87
Allah menegaskan tentang kesesuaian syariah dengan potensi manusia
di antaranya dalam Q.S30:30 dan Q.S 2:185. Dua ayat tersebut
menjelaskan bahwa seluruh aturan yang ada dalam syari‟ah tidak ada
yang tidak bisa dilakukan oleh manusia sesuai dengan situasi dan
kondisinya masing-masing. Bahkan Allah menghendaki ke-mudahan
bagi manusia, bukan kesukaran.
(b) Luwes dalam pelaksanaannya
Allah menjelaskan tentang keluwesan syariah tersebut dalam Q.S
2:173, bahwa hal-hal yang diharamkan dalam suatu keadaan dan
kondisi tertentu, dapat menjadi halal dalam keadaan dan kondisi lain,
yaitu dalam keadaan terpaksa. Contoh lain seperti yang dijelaskan
dalam hadis Rasul riwayat Bukhari, (Al-Asqalany, tth: 99) bahwa bagi
orang yang tidak mampu mengerjakan shalat dalam keadaan berdiri,
maka ia boleh melakukannya sambil duduk, dan selanjutnya boleh
sambil berbaring.
(c) Tidak memberatkan
Semua syariat Allah tidak ada yang berat sehingga manusia tidak
mampu melaksanakannya. Contoh ibadah shalat yang diwajibkan lima
kali dalam 24 jam , yang hanya membutuhkan waktu minimal kira-kira
5x7 menit = 35 menit, zakat harta hanya berkisar 2,5%, 5% dan 10%,
ibadah haji cukup sekali seumur hidup, begitu juga dengan benda-
benda yang di-haramkan hanya sebahagian kecil apabila diban-dingkan
dengan yang dihalalkan.
(d) Penetapan hukum secara bertahap.
Allah mengharamkan suatu hal tidak secara langsung, melainkan
melalui tahapan. Contoh pengharaman minuman keras, tidak langsung
sekaligus dilarang tetapi berangsur-angsur setahap demi setahap sampai
akhirnya diharamkan. Allah SWT menurunkan ayat larangan minuman
keras dengan larangan secara bertahap. Prosesnya diawali dengan
turunnya Q.S 2:219 yang menyatakan bahwa pada khamar dan judi
terdapat dosa besar dan ada manfaatnya bagi manusia, tetapi dosa
keduanya lebih besar dari manfaatnya. Setelah itu Allah
turunkan Q.S 4:43 berupa larangan mendekati shalat bagi orang-orang
yang sedang mabuk.
Kemudian Allah turunkan Q.S 5:90 yang menyatakan secara tegas
tentang haramnya minuman keras dan ditegaskan oleh hadis Rasul
walaupun sedikit diminum maka statusnya sama, yaitu hukumnya
haram.
(e) Tujuan syari‟ah adalah keadilan.
Pencapaian keadilan di dalam syariah secara eksplisit tampak pada
adanya penjelasan tentang pokok-pokok akhlak yang baik yang
88
terdapat didalam syariat tersebut. Allah menjelaskan hal itu di dalam
Q.S 16:90.
Syari‟ah Islam mempunyai tiga watak yang tidak berubah-
rubah yaitu: 1) takammul (lengkap), 2) wasthiyyah (pertengahan/
moderat) dan 3) harakah (dinamis). Watak takammul memperlihatkan
bahwa syari‟ah itu dapat melayani golongan yang tetap pada apa yang
sudah ada (konsisten), dan dapat pula melayani golongan yang
menginginkan pembaharuan. (Dahlan II, ed. 1997: 577)
Konsep wasthiyah menghendaki keselarasan dan
keseimbangan antara segi kebendaan dan segi kejiwaan. Keduanya
sama-sama diperhatikan tanpa mengabaikan salah satu dari padanya.
Watak wasthiyah ini seperti diekukakan oleh Yusuf Al-Qradhawi
(2000:141) ialah adanya keseimbangan antara dua jalan atau dua arah
yang saling berhadapan atau bertentangan, dimana salah satu di antara
dua jalan dimana salah satu dari dua jalan tadi tidak bisa berpengaruh
dengan sendirinya sambil mengabaikan yang lain. Seperti antara
aspek ruhiyah (spiritualisme) dengan madiyah (materialisme),
fardiyah (individu) dengan jama‟iyah (kolektif), waqi‟iyah (realitas)
dengan mitsaliyah (idealisme), tsabit (tetap) dengan taghayyur
(perubahan)[2] dsb. Misalnya dalam hal berpakaian, Al-Qur`an
menyebutkan dalam surat Al-A‟raf ayat 31 yang terjemahnya:
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap
(memasuki) mesjid, Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-
lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan.”
89
mempelejarinya pada bab sebelumnya). Selain watak yang tiga ini,
Yusuf Al-Qardhawi (2000:117) menyebutkan bahwa syari‟at Islam itu
juga bersifat syumul dalam arti bahwa syari‟at Islam meliputi semua
zaman kehidupan dan eksistensi manusia.
Dengan demkian jelas bahwa syari‟ah itu mengakomodasikan
semua hajat/kebutuhan hidup manusia. Mulai dari aspek yang sekecil-
kecilnya seperti tatacara wudhu` dan bersuci (Q.S.5:6) sampai kepada
persoalan kenegaraan atau pemerintahan (Q.S.4:58-59) bahkan
hubungan antarbangsa (Q.S.49:13) dan hubungan antar umat beragama
(Q.S.60:8-9).
90
pelaksaan hukum mawaris (kewarisan), pelaksanaan hukum jinayat
(pidana), pelaksanaan hukum pemerintahan/kenegaraan (siyasah), jihad
dsb tidak terlepas dari unsur-unsur ibadah apabila memenuhi ketiga
persyaratan tersebut
1) ibadah mahdhah
a) Thaharah
Menurut bahasa thaharah berarti bersih dari kotoran. Dan menurut
istilah terdapat perbedaan pendapat ulama, Abdurrahman al-Jaziri
penyusun kitab al-Fiqh ala Mazahib al Arba‟ah berpendapat: thaharah
adalah suatu sifat maknawi yang ditentukan oleh Allah SWT sebagai
syarat sahnya shalat. (Dahlan V, 1997: 1747).
Dasar hukumnya antara lain firman Allah SWT
dalam Q.S 2:222 yang terjemahannya sebagai berikut:
b) Shalat
Secara bahasa shalat berarti do‟a sebagaimana firman Allah SWT
dalam Q.S 9: 103 yang terjemahannya sebagai berikut:
...Dan berdo‟alah untuk mereka, sesungguhnya do‟a, kamu (menjadi)
ketentraman jiwa bagi mereka (Depag, R.I, 1989: 297).
92
individu dan tidak dapat ditumpangkan kepada orang lain seperti sholat
lima waktu. Perintah yang bersifat fardhu kifayah adalah kewajiban
yang apabila sudah dilaksanakan oleh sebahagian atau sekelompok
muslim maka gugurlah kewajiban muslim yang lainnya seperti sholat
jenazah. Ketentuan shalat ditetapkan oleh syari‟at Islam berdasarkan
Al-Qur‟an dan dicontohkan oleh Nabi SAW. Begitu juga pada shalat
jum‟at dan shalat jenazah. Shalat fardu ain yang lain adalah shalat
jum‟at bagi laki-laki. Shalat jum‟at adalah shalat yang dilakukan pada
hari Jum‟at pada waktu zuhur secara berjamaah dan diawali dengan
dua khutbah. Kewajiban shalat Jum‟at didasarkan pada firman Allah
SWT dalam Q.S 62:9 yang terjemahannya sebagai berikut:
93
sunat nawafil yaitu shalat sunat yang mempunyai waktu tersendiri
seperti shalat „aidaini(dua hari raya), shalat tahiyatul masjid, shalat
kusuf, shalat khusuf, shalat tahajud, shalat dhuha dan lain-lain. Shalat-
shalat sunat tersebut merupakan ibadah khusus, yang dilakukan untuk
mendekatkan diri kepada Allah, membina pribadi dan menjaga diri
supaya tidak terjerumus kepada dosa serta selalu dalam lindungan
Allah SWT.
Shalat memiliki banyak hikmah. Antara lain mendidik orang agar
disiplin dengan waktu, karena ibadah shalat harus dikerjakan pada
waktu yang telah ditentukan. Selain itu, shalat juga mendidik seseorang
muslim untuk hidup dalam keadaan suci bersih. Kesucian dan
kebersihan itu meliputi badan, pakaian, dan tempat. Orang yang shalat
pastilah orang yang mempehatikan dan memelihara kebersihan dan
kesucian. Orang yang shalatnya teratur pastilah ia biasa bangun di
waktu fajar, sedangkan bangun di waktu fajar mengandung banyak
hikmah dan manfaat terhadap kesehatan badan (jasmani) dan jiwa
(ruhani). Shalat juga mengandung makna pembinaan pribadi, yaitu
dapat menghindarkan diri dari perbuatan dosa dan kemungkaran.
Dengan melakukan shalat perbuatan bisa dikontrol dengan baik karena
setiap waktu shalat dia akan menghadap kepada Allah untuk memohon
petunjuk dan meminta ampunan. Pribadi yang terkontrol sedemikian
rupa akan cendrung bertingkah laku yang baik dan terhindar dari
perbuatan dosa, sehingga setiap selesai shalat dia akan kembali kepada
rutinitasnya dengan jiwa yang bersih.
c) Puasa
Menurut bahasa puasa berarti menahan sebagaimana yang
diungkapkan dalam firman Allah SWT dalam Q.S 19:26 yang
terjemahannya sebagai berikut :
94
“Hai orang-orang yang beriman diwajibkan kepadamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, semoga
kamu menjadi orang-orang yang bertakwa.(Depag, R.I, 1989:44).
Puasa terbagi empat, yaitu puasa wajib, sunat, haram, dan makruh.
Puasa wajib antara lain: Pertama: puasa Ramadhan. Perintah
puasa Ramadhan terdapat di dalam firman Allah SWT dalam Q.S
2:183-185. PuasaRamadhan mulai diwajibkan pada tahun kedua
hijriyah. Kedua: puasa qadha. Puasa qadha yaitu mengganti puasa
Ramadhan yang ditinggalkan. Dalilnya yaitu firman Allah SWT dalam
Q.S 2:184. Ketiga: puasa nazar. Puasa nazar yaitu puasa yang
dikerjakan karena nazar untuk mendekatkan diri kepeda Allah SWT.
Dalil puasa nazar ini terdapat dalam firman Allah SWT Q.S 76:7.
Keempat: Puasa kifarat. Puasa kifarat yaitu puasa sebagai akibat dari
pelanggaran-pelanggaran tertentu seperti: sumpah palsu dengan
melaksanakan puasa selama tiga (3) hari. Dalilnya berdasarkan firman
Allah SWT dalam Q.S 5:89, membunuh orang tidak sengaja dengan
puasa dua bulan berturut-turut berdasarkan Q.S 4:92, melakukan
hubungan seksual pada siang Ramadhan, melakukan zihar yaitu
mengharamkan istri dan menyamakan istri dengan ibu berdasarkan Q.S
58:3-4. Kelima: puasa fidyah. Puasa fidyah yaitu pengganti dari
kewajiban melaksanakan qurban karena pelanggaran peraturan dalam
ibadah hajji, yaitu puasa 3 hari di kota Mekah dan 7 hari lagi di negeri
sendiri. Kewajiban puasa fidyah ini didasarkan pada firman Allah SWT
Q.S 2:196.
Adapun puasa sunat atau tathawwu‟ antara lain: (1) puasa senin
dan kamis, (2) puasa enam hari bulan Syawal, (3) puasa pada tanggal 9
Zulhijjah, (4) puasa pada hari Asyura, (5) puasa pada tiap tanggal 13,
14 dan 15 bulan Qamariah. Puasa haram, antara lain: (1) Puasa terus
menerus (wishal), (2) Puasa pada hari yang diharamkan yaitu hari
tasyrik (11, 12 dan 13 Zulhijjah) dan dua hari raya (1 Syawal dan 10
Zulhijjah), (3) puasa pada hari syak (30 Sya‟ban), (4) puasa seorang
perempuan yang sedang haid atau nipas, dan (5) puasa sunnat seorang
istri yang suaminya sedang berada di rumah sedangkan ia tidak
mengizinkannya. Puasa makruh antara lain: (1) puasa sunat dengan
susah payah (karena sakit atau dalam perjalanan), dan (2) puasa sunat
pada hari Jum‟at atau hari Sabtu saja (kecuali kalau hari Jum‟at atau
Sabtu itu bertepatan dengan hari yang disunatkan puasa).
Kesempurnaan puasa bukan hanya menahan diri dari makan dan
minum, dan melakukan hubungan suami istri pada siang Ramadhan
saja, tetapi mengandung arti menahan diri dari segala perbuatan yang
95
tidak sesuai dengan hikmah dan tujuan puasa. Hikmah melaksanakan
puasa antara lain adalah:
(1) Disiplin rohaniah, merupakan pengekangan diri dari perbuatan
yang membatalkan puasa
(2) Pembentukan akhlakul karimah, dengan berpuasa insan dididik
untuk berbuat baik dan mulia
(3) Pengembangan nilai-nilai sosial
(4) Latihan rohani yang dimulai dengan latihan-latihan secara fisik
yaitu menahan diri dari makan, minum, hubungan seks, dal lain-lain.
d) Zakat
Zakat berarti suci, sedangkan menurut syari‟ah, zakat adalah
memberikan harta tertentu yang diwajibkan Allah mengeluarkannya
kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Pendapat ini
dikemukakan oleh Yusuf Qardawi (Dahlan VI, 1997:1985).
Dasar hukum mengeluarkan zakat ini adalah firman Allah dalam
Q.S 9:103 yang terjemahannya sebagai berikut:
Ambillah zakat dari sebahagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendo‟alah untuk mereka.
Sesungguhnya do‟a kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka.
Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Depag, R.I,
1989:297).
96
Adapun jenis harta yang wajib dizakatkan berdasarkan firman Allah
SWT antara lain dalamQ.S 2: 267:
(a). Ternak
(b). Emas dan perak
(c). Barang dagangan
(d). Hasil pertanian
(e). Barang tambang dan harta terpendam
(f). Zakat hasil usaha dan profesi
Dengan ketentuan nisab berkisar dari 2,5% sampai dengan 20%.
Mengenai orang yang berhak menerima zakat dijelaskan pada Q.S 9:60
yang dikenal dengan asnaf yang delapan.
97
dengan baik, maka kemiskinan di kalangan umat Islam akan dapat
dikurangi, bahkan mungkin dihapuskan
98
(a) Haji Tamattu‟, yaitu melaksanakan umrah terlebih dahulu, dan
setelah tahallul umrah memotong seekor kambing di Mina, seandainya
tidak mampu diganti dengan puasa sepuluh hari, yang dilaksanakan 3
hari di tanah suci dan 7 hari di tanah airnya
(b) Haji Ifrad, yaitu melaksanakan haji terlebih dahulu. Setelah
melakukan tawaf qudum (tawaf kedatangan di Mekah) dengan
berpakaian ihram dan tidak bertahallul langsung melaksanakan ibadah
haji, umrah dilaksanakan setelah melaksanakan haji
(c) Haji Qiran, yaitu ibadah haji dan umrah sekali gus. Seperti
halnya bagi yang melaksanakan haji tamattu‟, maka haji qiran pun
diwajibkan memotong kambing
99
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
(Depag, R.I, 1989:69).
(b) Munakahat
Hukum munakahat yaitu hukum yang mengatur mengenai perkawinan
dan hal-hal yang ber-hubungan dengannya seperti talak, rujuk,
pemeliharaan anak dan lain-lain dengan dasar firman Allah
dalam Q.S 30:21 yang terjemahanannya sebagai berikut:
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapa
dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada pula bagian dari harta
peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bagian yang telah ditetapkan”. (Depag, R.I, 1989: 116).
Masalah waris ini juga difirmankan Allah SWT dalam Q.S 4: 11-12
dan 176.
100
Firman Allah SWT lainnya antara lain di dalam Q.S 4:93 mengenai
pem-bunuhan, Q.S 2:178 mengenai jenis-jenis hukuman, Q.S 5:38
mengenai pencurian, Q.S 5:33 mengenai perampokan, Q.S 5:90-91
mengenai meminum minuman keras dan Q.S 24:2 dan lainnya.
Begitu juga firman Allah SWT dalam Q.S 5:106 yang membicarakan
masalah saksi dan sumpah.
(f) Siyasah
Siyasah terambil dari akar kata “sasa-yasusu”,yang berarti
mengemudikan, mengendalikan, mengatur dan sebagainya. Abdul
Wahhab Khallaf mendefinisikan, syiyasah syar‟iyah sebagai
“wewenang penguasa dalam mengatur kepentingan umum dalam
negara Islam sehingga terjamin kemaslahatan” (Dahlan V, 2006:1626).
Kepentingan umum yang dimaksudkan adalah segala peraturan dan
perundang-undangan negara, baik yang berkaitan dengan hubungan
negara dengan rakyat (urusan dalam negeri) maupun hubungan negara
dengan negara lain (hubungan lauar negeri). Aturan-aturan dimaksud
berdasarkan pada prinsip-prinsip pokok agama. Aturan-aturan
dimaksud meliputi antara lain:
(1) Dusturiyyah (Hukum Tatanegara); Meliputi aturan pemerintahan,
prinsip dasar yang berkaitan dengan pendirian suatu pemerintahan serta
aturan yang berkaitan dengan hak-hak pribadi, masyarakat dan negara;
(2) Kharijiyyah (luar negeri, internasional); Meliputi hubungan negara
dengan negara lainnya, kaidah yang melandasi hubungan ini, dan tata
aturan tentang keadaan perang dan damai; (3) Maliyyah (harta), yang
meliputi sumber-sumber keuangan dan belanja negara (Dahlan V,
2006:1627).
Aturan-aturan dimaksud semuanya berdasarkan pada prinsip-
prinsip syari‟at Islam. Contoh hukum Internasional, yaitu hukum yang
mengatur hubungan warga negara dengan negara lain seperti tawanan,
perang, perjanjian, rampasan perang,dan lainnya. Hal tersebut diatur
dalamQ.S 8:56-58 yang terjemahannya sebagai berikut:.
101
(Yaitu) orang-orang yang kamu telah mengambil perjanjian dari
mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janjinya pada setiap kalinya,
dan mereka tidak takut (akibat-akibatnya). Jika kamu menemui mereka
dalam peperangan, maka cerai beraikanlah orang-orang yang di
belakang mereka dengan (menumpas) mereka, supaya mereka
mengambil pelajaran. Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya)
pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu
kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berkhianat. (Depag R.I, 1989:270).
102
kebebasan dalam Islam mempunyai batas-batas” (Dahlan II, 1997:
497).
Jadi, ajaran Islam juga menganjurkan perkembangan dalam
segala hal, tanpa memisahkan antara kehidupan dunia dengan
kehidupan di akhirat. Artinya Islam me-nganjurkan manusia untuk
mencari kenikmatan dunia, sekaligus kenikmatan akhirat sebagaimana
firman-Nya dalam Q.S.28:77 yang terjemahannya sebagai berikut:
103
BAB VI
AKHLAK
A. Pengertian Akhlak, Moral dan Etika
Akhlak adalah misi utama diutusnya Rasulullah SAW ke muka
bumi ini. Sebagaimana sabdanya yang artinya: “Sesungguhnya aku
diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak (budi pekerti)”. Akhlak
juga ibarat buah yang diharapkan terbit dari “pohon Islam” yang berdiri
di atas landasan akidah sebagai urat tunggangnya dan syari‟ah sebagi
batang, dahan, cabang, ranting serta daunnya. Buah yang lebat akan
keluar dari pohon yang subur, dan pohon yang subur akan tegak di atas
akar yang kokoh. Begitulah hubungan interaksi antara ketiga
komponon ajaran Islam yakni akidah, syari‟ah dan akhlak. Akhlak juga
ibarat etalase, pada sebuah super market (mall), sebagai tempat dimana
orang-orang dapat melihat kualitas suatu barang. Begitulah
gambarannya kedudukan akhlak dalam kerangka ajaran Islam. Apakah
itu akhlak?
1. Pengertian Akhlak
Secara etimologi akhlak berasal dari bahasa Arab ( ُخٍُ ْكbentuk
tunggal) lalu menjadi ( أخَلقbentuk jamaknya) yang berarti perbuatan
atau tingkah laku. Kata خٍكjuga bersinonim dengan kata
(ٌّسؤةاmaru`ah) ( اٌؼاد ةadat) dan ( اٌطبغtabiat) (Louwis Ma‟luf, Tt:194).
Kemudian kata tersebut sudah diserap ke dalam bahasa Indonsia
menjadi akhlak sehingga menjadi salah satu kosakata dalam bahasa
bahasa Indonesia. Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia kata
akhlak diartikan “budi pekerti, watak, tabiat” (WJS. Poewadarminta,
2002:25).
Secara umum akhlak dipahami sebagai sikap, tingkah laku,
dan performance dari seseorang. Istilah akhlak sering disejajarkan
dengan istilah lain seperti etika, moral, susila, nilai (value), adat, dan
lainnya. Sedangkan secara substansi antara akhlak dan moral/etika dan
adat jauh berbeda. Perbedaaan mendasarnya adalah dari segi sumber
atau rujukan serta tujuannya. Menurut ajaran Islam akhlak itu
merupakan perwujudan prilaku yang menghubungkan makhluk dengan
khalik-Nya dan tata nilainya datang dari Sang khalik. Imam al-
Ghazali mendefinisikan akhlak adalah sifat yang tertanam dalam diri
seseorang yang merupakan sumber lahirnya perbuatan dengan gampang
dan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Dari
penegrtian di atas dapat ditarik beberapa karakteristik akhlak yaitu: (1)
sifat yang muncul dari jiwa/diri yang dalam, (2) jiwa menjadi sumber
munculnya perbuatan, (3) perbuatan tersebut muncul secara spontan
tanpa pertimbangan dan pemikiran. Dengan kata lain, sesuatu
perbuatan dapat disebut akhlak apabila sudah memenuhi criteria yang
104
tiga itu. Kriteria ini sekaligus akan memberikan perbedaan yang tajam
antara akhlak dan moral/etika, adat dan susila yang akan kita jelaskan
pada bahasan selanjutnya.
105
dianggap buruk apabila tidak sesuai atau berlawanan dengan kodrat
kemanusiaan (Poejawiyatna, 1990:44-47).
Apa yang sudah dikemukakan di atas semuanya merupakan hasil
pemikiran manusia (filsafat) sehingga melahirkan pandangan yang
berbeda-beda tentang ukuran baik dan buruk. Untuk tidak
menimbulkan kebingungan dalam memilih pandangan manakah yang
akan kita pegangi dalam menentukan serta menilai baik atau buruknya
suatu perbuatan/tindakan, ada satu pandangan lagi yakni pandangan
agama (religosisme). Dalam pandangan ajaran agama, yang dikatakan
baik adalah yang sesuai dengan kehendak Tuhan, sedangkan yang
dikatakan buruk adalah sesuatu yang tidak sesuai/sejalan dengan
kehendak Tuhan. Sehubungan dengan ini secara ekstrim Imam al-
Asy‟ari, seorang theolog Muslim,sebagaimana dikutip Harun Nasution
(1986:85) mengatakan, “jika seseorang mengatakan berdusta adalah
jahat karena Tuhan menentukan demikian, kita akan jelaskan
kepadanya tentu saja, jika Tuhan sekiranya menyatakan perbuatan itu
baik, maka itu mestilah baik, dan jika itu Ia wajibkan, tidak ada orang
yang dapat menentangnya”. Jadi penilaian baik atau buruknya sesuatu
harus berdasarkan ketetapan dari Tuhan. Berikut ini kita akan melihat
akhlak dari segi ajaran agama Islam.
Berangkat dari ucapan nabi Muhammad SAW yang menegaskan
bahwa sesungguhnya ”aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan
akhlak (budi pekerti)” umat manusia yang sudah rusak, menunjukkan
bahwa manusia yang hidup sebelum kedatangan Rasul Allah bukan
tidak berakhlak sama sekali melainkan akhlaknya sudah dirusak oleh
adat kebiasaan atau tradisi kaum jahiliah karena mereka tidak mendapat
petunjuk dari wahyu Allah. Mereka ibarat orang buta yang meraba-raba
di tengah-tengah kegelapan malam yang tidak ada sinar atau cahaya
penerang. Kadatangan nabi Muhammad ibarat bulan purnama atau
matahari yang memberikan sinar penerang bagi seluruh jagat raya.
Sumber ajaran akhlak yang dibawa oleh Rasulullah tiada lain adalah
Al-Qur`an. Sebagaimana disebutkan dalam suatu riwayat bahwa ketika
Aisyah, isteri Rasulullah, ditanya tentang ihwal akhlak Rasulullah dia
menjawab, ”akhlak dia (Rasulullah itu) adalah Al-Qur`an”.
Maksudnya yang menjadi barometer akhlak Rasulullah itu ialah semua
nilai kebaikan yang terkandung di dalam Al-Qur`an. Sedangkan
Rasulullah sendiri merupakan model atau percontohan tehadap nilai-
nilai luhur dimaksud. Dengan kata lain, tingkah laku Rasulullah itu
merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai Al-Qur`an.
Penjelasan di atas memberikan pemahaman bahwa pengertian
akhlak lebih tinggi dibandingkan dengan istilah-istillah lain yang
digunakan dalam konsep perilaku atau budi pekerti atau
106
karakter. Akhlak berpangkal dari jiwa sedangkan jiwa adalah pusat
kendali hidup manusia yang mampu menerima wahyu dan hidayah dari
Allah SWT. Selain itu, munculnya akhlak merupakan reaksi spontan
tanpa ada pemikiran sebelumnya, sehingga akhlak mewakili hakekat
jiwa yang sesungguhnya. Sementara dalam konsep moral, etika, adat
dan susila bersumberkan dari manusia yang memiliki berbagai
keterbatasan dan perbedaan seperti budaya, tingkat peradaban dan
pemikiran. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah
sikap seseorang yang dimanifestasikan ke dalam perbuatan dan tingkah
laku.Ketinggian akhlak dengan berbagai karakteristiknya seperti
disebutkan di atas semakin memperjelas kemuliaan tujuan dari agama
Islam. Karena akhlak mulia merupakan tujuan utama dari misi
Rasullullah dalam mengemban risalah Islam.
107
B. Rasulullah SAW Suri Tauladan Umat
108
Di samping sebagai seorang Rasul dan pemimpin umat Nabi
Muhammad SAW juga menampilkan dirinya sebagai manusia biasa
yang memiliki ciri-ciri yang sama dengan manusia yang lainnya.
Beliau juga dilahirkan dan wafat, makan dan minum, merasakan sehat
dan sakit, bekerja dan berusaha mencari nafkah untuk keluarganya, dan
juga tidur untuk melepaskan lelah sebagaimana manusia lainnya.
Nabi Muhammad SAW memiliki tugas menyampaikan risalah,
menjalankan amanah dari Allah dan menjadi pemimpin umat.
Perjalanan Nabi Muhammad SAW dalam menyampaikan dakwah dapat
dilihat dalam fikih dakwah, sedangkan tentang perilaku secara
keseluruhan dapat dilihat dalam sirah nabawiyah. Atas dasar ini tidak
ada lagi alasan bagi umat Islam untuk tidak menjadikan beliau sebagai
model dan contoh dalam berperilaku (akhlak). Allah telah menegaskan
bahwa Rasulullah SAW adalah suri tauladan dalam firman Allah SWT
dalam Q.S 33:21.
Sebagai Nabi terakhir, Rasululllah SAW memiliki beberapa
sifat dasar yang agung sifat tersebut antara lain:
Pertama: Al-Basyariyah (manusia biasa)
Rasulullah SAW adalah manusia biasa seperti umatnya, perbedaannya,
Allah memberikan wahyu untuk disampaikan kepada umatnya. Dengan
keyakinan ini sebenarnya menghantarkan kepada umat Islam bahwa
tidak ada alasan untuk menolak perintah Rasulullah SAW. Tidak ada
alasan tidak mampu apalagi tidak mungkin, karena Rasulullah juga
meiliki tanggungan seperti layaknya manusia biasa, bekerja, memiliki
istri, anak bahkan beliau mendapat amanah tambahan yang lebih berat
yaitu mendidik manusia dan memimpin mereka. Sebagimana firman
Allah SWT dalam Q.S 14: 11 yang terjemahannya sebagai berikut:
“ Rasul-rasul mereka berkata kepada mereka: "Kami tidak lain
hanyalah manusia seperti kamu, akan tetapi Allah memberi karunia
kepada siapa yang dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. dan
tidak patut bagi kami mendatangkan suatu bukti kepada kamu
melainkan dengan izin Allah. dan Hanya kepada Allah sajalah
hendaknya orang-orang mukmin bertawakkal.” (Depag. R.I. 1984:381)
Kedua: Al-„Ishmah (terpelihara dari kesalahan)
Oleh karena Rasululah SAW adalah manusia biasa yang terpilih untuk
menerima wahyu maka beliau dilebihkan Allah SWT yakni terpelihara
dari kesalahan. Hal ini menjadi penting karena yang disampaikannya
adalah amanah dari Allah sehingga Allah perlu memelihara aturanNya
dari kesalahan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S 5:67 yang
terjemahannya sebagai berikut dari kesalahan
“Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu,
109
berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara
kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Depag. R.I. 1989:170)
Rasulullah pernah khilaf yakni ketika beliau sedang asyik
menghadapi tamunya dari pemuka kaum Quraisy, tiba-tiba datang
Abdullah bin Ummi Maktum, seorang buta, beliau tidak
mempedulikannya karena sedang melayani tamu besar, maka beliau
langsung mendapat Allah sebagaimana tertera dalam Q.S.80:1-4 yang
terjemahannya:
Artinya: (Muhammad) bermuka masam dan berpaling,
karena telah datang seorang buta kepadanya, tahukah kamu
barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau Dia (ingin)
mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat
kepadanya? (Depag RI, 1989:1024).
Peristiwa itulah yang melatarbelakangi turunnya ayat ini.
Ketiga: Ash-Shidiq (benar)
Orang yang membawa kebenaran tentu ia sendiri harus memiliki
sifat shidiq sehingga apa yang disampaikannya dapat diterima manusia.
Oleh karena itu Rasulullah SAW bersifat shidiq, bahwa beliau juga
tidak berkata berdasarkan hawa nafsunya, sebaliknya beliau hanya
berkata yang baik dan benar serta bermanfaat saja. Sebagaimana firman
Allah SWT dalam Q.S 53:3-4 yang terjemahannya sebagai berikut:
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur‟an) menurut kemauan
hawa nafsunya.Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya)”. (Depag. R.I, 1989: 871
Keempat: Al-Fathanah (cerdas)
Kecerdasan Rasulullah SAW dapat dilihat dari jawaban yang
diberikan kepada para sahabat maupun orang lain, cara Rasulullah
SAW menyelesaikan masalah, ataupun dalam menyusun strategi
dakwah dan siyasat dalam peperangan. Firman Allah SWT dalam Q.S
48:27 yang terjemahannya sebagai berikut:
“Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya, tentang
kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa Sesungguhnya
kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam
keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya,
sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang
tiada kamu ketahui dan dia memberikan sebelum itu kemenangan yang
dekat.”( Depag. R.I, 1989:842)
Selang beberapa lama sebelum terjadi Perdamaian Hudaibiyah
Nabi Muhammad SAW, bermimpi bahwa beliau bersama para
sahabatnya memasuki kota Mekah dan Masjidil Haram dalam keadaan
sebahagian mereka bercukur rambut dan sebahagian lagi bergunting.
110
Nabi mengatakan bahwa mimpi beliau itu akan terjadi nanti. Kemudian
berita ini tersiar di kalangan kaum muslim, orang-orang munafik,
orang-orang Yahudi dan Nasrani. Setelah terjadi perdamaian
Hudaibiyah dan kaum muslimin waktu itu tidak sampai memasuki
Mekah Maka orang-orang munafik memperolok-olokkan Nabi dan
menyatakan bahwa mimpi Nabi yang dikatakan beliau pasti akan
terjadi itu adalah bohong belaka. Maka turunlah ayat Ini yang
menyatakan bahwa mimpi Nabi itu pasti akan menjadi kenyataan di
tahun yang akan datang. dan sebelum itu dalam waktu yang dekat Nabi
akan menaklukkan kota Khaibar. Andaikata pada tahun terjadinya
perdamaian Hudaibiyah itu kaum muslim memasuki kota Mekah, maka
dikhawatirkan keselamatan orang-orang yang menyembunyikan
imannya yang berada dalam kota Mekah waktu itu.
Kelima: Amanah (dipercaya)
Amanah secara umum berarti bertanggung jawab terhadap apa yang
dibawanya, menepati janji, melaksanakan perintah, menunaikan
keadilan, memberikan hukum yang sesuai dan dapat menjalankan
sesuatu yang telah disepakati. Firman Allah SWT dalam Q.S.4:58 yang
terjemahannya sebagai berikut:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.”(Depag. R.I, 1989:128)
Keenam: At-Tabligh (menyampaikan pesan)
Kewajiban Rasulullah adalah menyampaikan perintah dan larangan
Allah kepada manusia, kemudian manusia bertanggungjawab dan
berkewajiban pula menyampaikan risalah ini kepada siapapun yang
mau menerimanya. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S 5:67 yang
terjemahannya sebagai berikut:
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu,
berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.Allah memelihara
kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Depag. R.I, 1989:172)
Ketujuh: Al-Iltizam (komitmen)
Rasulullah SAW dan para sahabat selalu mencontohkan sikap untuk
selalu komitmen terhadap Islam, walaupun diterpa cobaan yang
bertubi-tubi. Dengan adanya iltizam nilah maka nilai-nilai Islam akan
selalu terpelihara, firman Allah SWT dalam Q.S 17:74 yang
terjemahannya sebagai berikut:
111
“Dan kalau kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu hampir-
hampir condong sedikit kepada mereka,”(Depag. R.I, 1989: 435)
Tanpa adanya iltizam godaan syaithan dan gangguan orang kafir
akan mudah menggoncang ummat yang pada gilirannya akan
membawa umat itu kedalam lembah kebinasaan.
C. Ruang Lingkup dan Aplikasi Akhlak
113
datang ke rumah Rasulullah. Mereka ingin tahu seperti apa ibadah
Rasulullah itu. Mereka diterima oleh Aisyah karena Rasulullah sedang
beristirahat di kamarnya. Lalu mereka menyatakan maksud
kedatangannya ialah untuk mengetahui lebih dekat tentang ibadah
kekasih Allah itu. Lalu diceritakan oleh Aisyah dengan panjang lebar
bagaimana Rasulullah tahajjud setiap malam, puasa sunnatnya setiap
Senin dan Kamis serta ibadah lainnya. Menjawablah laki-laki yang
pertama sambil menyatakan tekad dan keinginannya untuk beribadah
setiap malam tanpa waktu istirahat dan tidur karena ingin meniru
Rasulullah. Kemudian menjawab pula laki-laki yang kedua sambil
menyatakan tekad dan keinginannya untuk puasa sepanjang hari
sehingga tiada hari tanpa puasa. Akhirnya menjawab si laki-laki yang
ketiga sambil menyatakan tekad dan keinginannya untuk membujang
(tiada menikah) sampai akir hayatnya agar ibadahnya tidak terganggu.
Mendengar tekad si laki-laki yang ketiga itu, Rasulullah keluar dari
kamarnya dan mendatangi ketiga orang laki-laki itu sambil berkata.
Aku adalah orang yang paling takwa di antara umatku, aku paling rajin
ibadah tapi aku tetap punya waktu untuk beristirahat. Kalian yang
menyatakan tidak akan tidur pada malam hari, atau yang mengatakan
puasa sepanjang hari adalah tidak sah. Sedangkan untuk si laki-laki
yang ketiga itu Rasulullah hanya berkata, “Barang siapa yang
membenci sunahku maka ia bukan termasuk umatku”. Riwayat tersebut
memberikan pelajaran kepada kita bahwa dalam beribadahpun kita
tidak boleh menyiksa diri. Karena diri kita punya hak, keluarga kita
punya hak pada kita, maka berikanlah haknya masing-masing.
Menahan hak orang lain sama dengan kezaliman.
b). Syukur
Syukur adalah sikap mampu menerima, dan memanfaatkan
segala sesuatu yang diberikan oleh Allah menurut kehendak-
Nya. Syukur juga berarti upaya memanfaatkan nikmat Allah secara
optimal untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Allah berfirman
dalam Q.S.31:12 yang terjemahannya sebagai berikut:
114
diungkapkan melalui dua cara, yaitu ucapan dan perbuatan. Syukur
melalui ucapan diaplikasikan dengan mengucapkan pujian kepada
Allah SWT sedangkan syukur dalam bentuk perbuatan diwujudkan
dengan pemanfaatan maksimal dari semua karunia yang diberikan-Nya.
Adapun sifat yang tidak pandai mensyukuri nikmat Allah
disebut dengan kufur nikmat. Dalam pandangan Allah orang yang
berbuat kufur nikmat ini sangat dicela dan ganjaran untuk mereka
adalah azab yang pedih. Hal ini dijelaskan oleh Allah SWT
dalam Q.S. 14:7 yang terjemahannya sebagai berikut:
c). Tawadhu‟
Maksud tawadhu‟ adalah sifat rendah hati yang terdapat dalam diri
seseorang yang terwujud dalam berbagai aktivitas hidup. Sifat
tawadhu‟ dipuji dan sangat dianjurkan oleh Allah SWT sedangkan
lawannya (sombong) dicela dan dilarang oleh Allah. Hal ini sesuai
dengan firman Allah dalam Q.S. 31:18 yang terjemahannya sebagai
berikut:
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena
sombong) dan janganlah kamu berjalan dimuka bumi dengan angkuh.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang sombong lagi
membanggakan diri”. (Depag. R.I,1989: 655 ).
d). Benar
Sifat benar dalam bahasa Arab disebut dengan Shidiq yaitu jujur.
Dalam prakteknya jujur tercermin pada kesesuaian antara sikap yang
muncul dengan isi hati dan bahasa lisan. Perilaku benar yang
dicerminkan seseorang akan melahirkan sikap saling mempercayai.
Sifat benar ini selalu menjadi harapan setiap manusia karena dengan
sifat itu akan menyebabkan mereka survive di tengah masyarakat. Hal
ini dijelaskan oleh Allah SWT dalam Q.S. 17:80 yang terjemahannya
sebagai berikut:
115
Sikap benar ini adalah salah satu fadhilah yang menentukan
status dan kemajuan perseorangan dan masyarakat. Menegakkan
prinsip kebenaran adalah salah satu sendi kemaslahatan dalam
hubungan antara satu golongan dengan lainnya.
e). Amanah
Amanah artinya sifat berpegang teguh pada kepercayaan yang
diberikan dan menjalankannya dengan penuh tanggung jawab baik
dalam bentuk harta benda, rahasia, maupun tugas dan kewajiban.
Tentang sifat amanah ini dijelaskan oleh Allah SWT dalam Q.S.4:58
yang terjemahannya sebagai berikut :
Akhlak kepada keluarga adalah sikap yang muncul dari jiwa yang
berhubungan dengan pemeliharaan keharmonisan dan kebaikan diri
secara pribadi. Berikut ini dijelaskan beberapa bentuk akhlak kepada
keluarga, antara lain:
116
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh
kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka
keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu
kecil". (Depag. R.I, 1989:427).
Ayat ini menekankan sikap anak kepada kedua orang tua (ayah-ibunya)
yakni; (1) jangan menyakiti hati atau perasaan orang tua baik dengan
ucapan, maupun sikap dan tingkah laku, (2) memelihara perasaan
kedua orang tua sangat diperhatikan terutama sekali ketika ayah-ibu
sudah berada dalam usia lanjut (lansia) dimana jiwanya sudah mulai
labil dan mudah tersinggung, (3) gunakanlah kata-kata sopan dan manis
dalam berbicara atau berkomunikasi dengan kedua orang tua baik
pembicaraan langsung saat bertatap muka maupun lewat telepon, (4)
dalam menghadapi kedua orang tua hindari sifat angkuh dan sombong,
dan (5) teruslah berdo‟a unuk kedua orang tua agar mereka selalu
berada dalan lindungan rahmat adan keampunan-Nya.
Sifat dan sikap adil ada dua macam. Adil yang berhubungan
dengan perseorangan dan adil yang berhubungan dengan
kemasyarakatan dan pemerintahan. Adil perseorangan ialah tindakan
memberi hak kepada yang mempunyai hak. Sedang adil dalam segi
kemasyarakatan dan pemerintahan misalnya tindakan hakim yang
menghukum orang-orang jahat sepanjang neraca keadilan.
Pemerintahan dipandang adil jika mengusahakan ke-makmuran rakyat
secara merata. Susunan redaksi ayat seakan-akan memberi isyarat
kepada kita bahwa berbuat adil harus lebih diutamakan dari pada
berbuat ihsan. Salah satu makna adil adalah memberikan hak orang lain
ada di tangan atau di bawah kekuasaan kita. Sedangkan ihsan adalah
kebaikan yang kita lakukan melalui hak kita yang tidak ada paksaan
dari siapapun jua, jadi kita lakukan sesuai dengan keinginan kita.
Contoh, tidaklah adil bila seorang pejabat negara saat berkunjung ke
suatu kelompok masyarakat memberikan bantuan di sana sini
117
sementara korupsi dibiarkannya berjalan, hukum tidak ditegakkan
dengan konsekuen terhadap kuruptor. Sehingga, korupsi kian
merajalela akibatnya rakyat semakin menderita dan sengsara ditambah
dengan kenaikan berbagai macam tarif semisal telepon, listrik, air
minum termasuk harga BBM yang menjadi kebutuhan vital harian oleh
rakyat.
119
Saw memberikan pelajaran di masjid Nabawi, para sahabat dengan
sangat antusias mendengarnya. Tiba-tiba datang serombongan orang,
mereka juga ingin mendengarkan wajangan yang disampaikan oleh
Rasulullah sedangkan orang-orang yang datang terdahulu tidak ada
yang memberikan jalan kepada teman-teman mereka yang datang
terlambat itu. Padahal di antara yang baru datang itu adalah para
sahabat yang ikut dalam peperangan Badar, maka mereka terpaksa
mendengarkan wajangan Rasulullah sambil berdiri. Melihat situasi itu,
turunlah ayat di atas dan Rasulullah segera memerintahkan agar
memberikan tempat kepada mereka yang datang terlambat. Imam
Fakhruddin al-Razi berkomentar, ayat tersebut tidak hanya
memerintahkan kita berlapang-lapang secara fisik yakni tempat duduk
tetapi juga sikap lapang dada atau toleransi dalam pembicaraan serta
mau saling mendengar dan menghormati pendapat orang lain. Bila
dicermati rangkaian ayat tersebut, terlihatlah bahwa sikap lapang dada,
toleransi (tasamuh) itu merupakan bahagian yang tak terpisahkan dari
kadar keimanan dan kapasitas intelektualitas seseorang. Dengan kata
lain sikap serta kemampuan untuk menghormati dan menghargai
pikiran orang lain juga ditentukan oleh kadar keimanan dan daya
intelektualitas tersebut.
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan
tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya
120
melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang
memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan
membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan Barangsiapa
menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang
yang zalim.” (Depag RI, 1989:924).
122
Penulis juga punya pengalaman sebagai warga dalam dalam
satu kompleks perumahan dimana orang-orang yang punya mobil
dengan seenaknya memarkir mobilnya tanpa memberi jalan untuk
tetangganya. Ketika saya meminta kepada salah seorang anak muda
pemilik mobil itu untuk menggeser mobilnya sedikit supaya saya bisa
lewat, dia menjawab, “Inikan rumah saya Pak”. Hati saya tersentak
mendengar ucapan anak muda yang juga seorang mahasiswa itu,
sebegitu individualnya kehidupan saat ini. Orang tidak mau tahu dan
peduli tentang hidup bertetangga, arti toleransi, kesopanan, kesusilaan
apalagi akhlak.
Islam memandang buruk sikap demikian. Karena perasaan
kolektif menjadi bukti keimanan. Islam mengajarkan umatnya untuk
selalu menjalin perasaan kolektif ini. Ia adalah nadi dari geliat umat ini.
Rasulullah SAW. bersabda: “Tidak beriman salah seorang diantaramu
apabila tidak mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri”.
(H.R. Bukhari dan Muslim)
123
Mencermati ayat-ayat Al-Qur`an tentang persaudaraan akan
ditemukan beberapa bentuk persaudaraan yang ditunjukkan oleh Islam,
antara lain: “(1) Saudara kandung (2) Saudara yang dijalin oleh ikatan
keluarga (3) Saudara sebangsa walau tidak seagama (4) Saudara
dalam satu masyarakat walaupun terdapat perselisihan paham (5)
Saudara seagama” (M.Quraish Shihab, 1996:487-488).
Adapun persaudaraan dalam bentuk pertama itu diikat oleh
pertalian darah yang di dalam hukum Islam berimplikasi pada hak
kewarisan (saling mewarisi), dan haramnya saling menikahi antara
individu yang bersaudara itu. Ada juga persaudaraaan yang dijalin oleh
ikatan keluarga tapi bukan saudara kandung misalnya persaudaraan
anatara N. Musa dan N. Harun djelaskan di dalam Q.S. 20:29-30
sebagai berikut:
“Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku (yaitu)
Harun, saudaraku” (Depag, R.I, 1987:478).
124
anak dengan orang tuanya yang musyrik/musyrikah tidak boleh putus
dalam batas-batas keduniaan melainkan harus dibina dengan baik
(ma‟ruf). (Q.S.31:15).
Akhir-akhir ini muncul istilah ukhuwah wathaniyah
(ukhuwwatun wathaniyyatun) yang biasa diterjemahkan dengan
“persaudaraan kebangsaan”. Persaudaraan ini pada awalnya muncul
dari rasa senasib sepenanggungan antar berbagai suku bangsa yang
berbeda bahasa, ras, adat istiadat dan budaya yang kemudian diikat
oleh suatu tekad dan janji bersama, yakni: satu bangsa, satu tanah air,
seperti kasus yang terjadi di Indonesia sehingga melahirkan bangsa
Indonesia. Kemudian tekad itu diperkuat lagi dengan satu ketentuan
hukum yang disepakati bersama yakni pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Ikatan tersebut alhamdulillah masih dapat kita
pertahankan sampai hari ini meskipun berbagai cobaan sudah dilalui.
Inilah barang kali suatu kenyataan takdir Tuhan yang dialami bangsa
Indonesia seperti juga bangsa-bangsa lainnya.
Masyarakat Indonesia terkenal dengan masyarakat yang
majemuk (plural). Furnival dalam (Akhyar Yusuf, 2005:1)
mengemukakan, masyarakat plural itu mengacu pada suatu tatanan
masyarakat yang di dalamnya terdapat berbagai unsur masyarakat yang
memiliki ciri-ciri budaya yang berbeda satu sama lain. Dalam bidang
sosial –budaya pluralisme itu adalah keyakinan bahwa realitas sosial-
budaya itu beragam, berbagai kelompok dengan budaya dan nilai-
nilainya masing-masing relatif independen dan organisasinya mewakili
bidang dan pekerjaan yang berbeda-beda. Kesadaran akan perbedaan
tersebut, menurut Hasbi Indra dalam (Komarudin Hidayat et.al,
2001:370), adalah sebagai dinamika yang normal dan wajar dalam
kelompok masyarakat sebagai umat yang satu hendaklah selalu
ditumbuhkembangkan melalui sikap-sikap tenggang rasa, welas asih,
saling menghargai, penuh pengertian dan bersikap adil (moderat) dalam
menyikapi perbedaan. Hal ni tentu saja apabila ia dapat disikapi secara
arif dengan mengembangkan sikap toleransi.
Sikap mengakui serta menerima keberagaman sebagai akibat
dari kenyataan adanya perbedaan-perbedaan itulah yang dikenal dengan
pluralisme. Sikap semacam ini, menurut Nugroho (2005:1),
“memperkuat dan meneguhkan teladan „bagimu agamamu dan bagiku
agamaku‟.” Dengan kata lain, tetap dapat menjalin kehidupan yang
damai dalam keberbedaan akidah. Persaudaraan semacam ini pernah
dicontohkan dengan baik oleh Rasulullah di Madinah antar umat dari
berbagai etnik dan agama di bawah seperangkat aturan yang terangkum
dalam “Piagam Madinah” (mitsaq al-madinah). Selanjutnya apa
yangdisebut dengan ukhuwah islamiah selama ini yang diartikan
125
sebagai persaudaraan sesama muslim sebenarnya lebih tepat disebut
ukhuwah fi dinil islam yaitu persaudaraan interen umat Islam atau
persaudaraan seiman (Q.S.49:10).
Pada dasarnya ukhuwah adalah bahasa amal bukan bahasa teori
atau konsep. Sikap kesadaran bersaudara dalam Islam merupakan
pancaran kebiasaan yang berasal dari sinar keimanan. Sinar keimanan
yang lahir dari pembiasaan watak dan prilaku para pemiliknya. Karena
itu, sikap ini tidak dapat dihambat oleh berbagai kalkulasi material. Ia
begitu lancar untuk bertindak cepat memutuskan pilihan-pilihan sulit
baginya. Ia tidak mempedulikan keuntungan apa yang bakal diperoleh
malah ia rela mendapatkan kerugian bagi dirinya asalkan saudaranya
meraih kebahagian atas sikapnya.
Rasulullah SAW. memberikan resep sederhana untuk dapat
mengikat kembali tali-tali yang putus hingga dapat menghimpun hati-
hati yang retak. Beliau mengatakan: “Sebarkanlah salam, berikanlah
makan dan dirikanlah shalat malam”. Resep ini memang terkesan
sangat simple namun setelah diamalkan efek positifnya luar biasa
dalam merajut hati kaum muslimin yang bersaudara.
Pertama, mengucapkan dan menyebarkan salam. Dalam
kegiatan ini bisa dijabarkan dengan bermacam-macam perlakuan,
diantaranya bertanya bagaimana kabarnya, keluarganya, istri dan
anaknya? Baik-baikkah mereka. Bagaimana mereka selama ini. Adakah
yang sakit. Adakah yang mendapatkan musibah atau adakah diantara
mereka yang telah dianugerahi Allah kebaikan yang dapat
menyenangkan orang banyak. Dapat saling mendoakan keadaan
masing-masing agar meraih kemudahan dalam menjalani aktifitas
hariannya serta mendapatkan karunia dari Allah sehingga meredam
rasa berat dalam menerima ujian dan cobaan hidup. Dan banyak lagi
segudang ungkapan untuk memulai menyebarkan salam sesama
muslim.
Mengucapkan dan menyebarkan salam juga berfungsi menjadi
jembatan komunikasi ummat dalam Islam, persoalan menjalin
komunikasi yang harmonis menjadi kebutuhan asasi masyarakat
modern, karena dengan komunikasi manusia menemukan eksitensi
dirinya sebagai makhluk yang multi dimensional. Makhluk yang
dihargai oleh lingkungan sekitarnya. Saat ini banyak kita temukan
orang yang kehilangan rasa, termasuk rasa dalam berkomunikasi ketika
bergaul antar sesama. Makanya banyak orang berupaya mencari tempat
kongkow-kongkow hanya sekedar mendapatkan sebuah tali komunikasi
yang tidak diikat oleh formalitas kehidupan. Sehingga mereka bisa
berbicara dan tertawa lepas yang selama ini tidak mereka temukan
karena masih dirasakan terdapat dinding pembatas hati mereka.
126
Karena komunikasi yang harmonis bagi masyarakat barat amat
mahal, karena selama ini mereka menjalani kehidupan ini secara
mekanik. Melakoni satu babak kehidupan ke babak berikut bagai mesin
yang rutin berputar. Tanpa seni yang menyentuh ruang hati manusia
yang paling dalam. Kondisi ini membuat mereka berupaya untuk
menemukan format baru dalam berkomunikasi dengan sesama. Di
antaranya mereka mengadakan pasar loakan setiap hari libur sebagai
sarana mereka berkomunikasi. Mereka bisa saling tawar menawar suatu
harga barang yang selama ini mereka jualbelikan dengan mesin atau
robot. Mereka dapat saling menyapa untuk menanyakan dimana
tinggalnya, dari mana asalnya, sudah berapa lama tinggal di daerah itu
dan sapaan lainnya. Dari saling menyapa itulah hubungan yang kaku
diantara mereka mencair seketika, akhirnya mereka begitu akrab satu
sama lainnya. Orang bijak mengatakan, „berkomunikasilah karena ia
seni kehidupan„.
Sebagai contoh ketika seorang sahabat merasa tersanjung ketika
Rasulullah SAW jalan beriringan di sampingnya sambil beliau
menanyakan keadaannya. Sikap ini menunjukkan betapa manisnya
pergaulan yang dilakukan Rasulullah SAW. kepada sahabatnya
begitupun sebaliknya.
Media berkomunikasi saat ini sangat banyak apalagi kemajuan
teknologi dapat menunjang pelaksanaannya. Berkomunikasi dapat
dilakukan melalui silaturrahmi atau mengunjunginya. Dengan
mengunjungi kita dapat menuangkan berbagai suasana hati. Dapat
saling bertatap muka, saling bertegur sapa dan saling mengekspresikan
raut wajah yang dapat disaksikan oleh mitra bicara.
Berziarah atau mengunjungi saudaranya yang muslim
merupakan sebagian tanda keimanan. Karena ia adalah hak sesama
muslim. Dengan mengunjungi kita dapat berkomunikasi dan berbagi
perasaan, pengalaman, pelajaran serta berbagi lainnya.
Rasulullah SAW. bersabda:
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia
menghubungkan silaturrahim”. (H.R. Muslim)
127
Rasulullah SAW. bersabda: “Salinglah berbagi hadiah niscaya
kalian akan saling mencintai”. (H.R. Tirmidzi). Hadiah sebagai media
mengungkapkan kata hati pada seseorang dalam kondisi tertentu.
Maka tidaklah naif memberikan hadiah yang sepertinya tidak begitu
bernilai. Sebab ia adalah bentuk visualisasi dari atensi yang besar.
Oleh karena itu tidak perlu merasa malu untuk memberikan hadiah
yang tidak mewah atau mahal. Malah dalam sebuah riwayat
diceritakan bahwa ada seorang sahabat Nabi SAW. yang memberikan
hadiah berupa sekerat kurma kepada saudaranya, Nabi SAW.
mendengar berita itu tersenyum bahagia. Duhai mulianya ia yang mau
memberikan hadiah meski kondisi hidupnya dalam kesulitan. Memang
alangkah bagusnya bila mampu memberikan hadiah yang menarik
serta bernilai lebih. Apalagi hadiah yang diberikan kepada saudaranya
sangat ia sukai.
Firman Allah SWT dalam Q.S 3: 92 yang terjemahannya sebagai
berikut:
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),
sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan
apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah
mengetahuinya”. (Depag, R.I, 1989:91)
Ukhuwah Islamiyah tidaklah sama dengan cita rasa humanisme
seperti yang dipahami banyak orang. Sehingga mereka melakukan
suatu kebaikan lantaran faktor humanisme, tidak dikaitkan dengan
nilai-nilai moralitas yang tertanam dari benih ideologi samawiyah,
bersumber dari Tuhan. Akan tetapi ukhuwah Islamiyah merupakan
manivestasi keimanan pelakunya. Keimanan yang stabil senantiasa
memproduk amal khairiyah dan merealisasikannya dalam bentuk nyata
tatkala bermuamalah dengan banyak manusia, sebaliknya keimanan
yang labil dapat menghambat produktivitas amal tersebut.
Hubungan personal ketika bermuamalah pada sesama muslim
memang tidak diikat pada simpul-simpul kesatuan aktivitas manusia
dalam kesehariannya. Mereka tidak disatukan karena motivasi materi,
kesukuan, kondisi temporer yang mereka alami. Melainkan hubungan
mereka diikat oleh keimanan. Keimananlah yang menjadi pijakan
muamalah mereka. Keimanan ini melandasi hubungan mereka yang
teramat indah itu. Wihdatul aqidah itulah jawabannya. Menjadi
kewajiban setiap kader untuk membangun bangunan keimanan yang
kokoh agar dapat merefleksikannya dalam berinteraksi antar sesama.
Keimanan yang selalu bersinar terang akan menyalakan
kepekaan ukhuwah. Hasasiyah (kepekaan) ukhuwah ini akan semakin
dinamis bila dilakukan dua arah. Sehingga semua pihak menahan diri
128
untuk hanya menikmati ukhuwah orang lain. Akan tetapi masing-
masing pihak berupaya untuk dapat menyenangkan khalayak
sekitarnya. Menjadi kepuasan bagi dirinya apabila kelebihannya dapat
dicicipi oleh banyak orang.
Lihatlah sejarah manusia-manusia pilihan yang telah mengukir
indahnya peradaban orang-orang yang beriman. Mereka tidak bakhil
pada orang lain akan kelebihan dirinya. Mereka tidak pula celamitan
pada kebaikan orang lain. Mereka merasa bahagia apabila orang lain
merasakan kebaikannya. Dan mereka terhina apabila orang lain
terepotkan lantaran dirinya.
Pagi-pagi Rasulullah SAW. tersenyum melihat seorang sahabat
yang telah membuktikan sikap ukhuwahnya pada saudaranya yang lain.
Beliau mendapatkan informasi bahwa sahabat tersebut menjamu
tamunya dengan hidangan yang diperuntukkan keluarganya. Agar
tamunya berselera menyantap hidangannya, dia matikan lampu rumah
sehingga makanan yang disajikan tidak tampak pada sang tamu. Hal itu
dilakukan untuk menghilangkan rasa sungkan tamunya untuk
menyantap makanan tersebut. Lantaran porsi hidangan yang tersedia
hanya cukup untuk seorang, untuk menyenangkan hati tamunya, tuan
rumah berpura-pura sedang menyantap makanan tersebut bersama-
sama dengan lahap. Sikap inilah yang mendapatkan senyuman malaikat
dan membuat senang hati Rasulullah SAW.
Juga ketika Rasulullah SAW. membangun Madinah sebagai
sentral aktivitas muslim, beliau mempersaudarakan sahabat Muhajirin
dan Anshar. Di antaranya Abdurrahman bin Auf RA. dipersaudarakan
dengan Saad bin Rabi‟i RA. Dengan hati yang tulus Saad bin Rabi‟
mengatakan: “Aku memiliki beberapa perniagaan silahkan ambil yang
kau cenderungi. Dan aku mempunyai beberapa isteri silahkan lihat
mana yang menarik hatimu. Akan aku ceraikan dia dan nikahilah
setelah selesai masa iddahnya”. “Semoga Allah senantiasa memberkahi
dirimu dan keluargamu, terima kasih atas penawaranmu. Akan tetapi
lebih baik bagiku tunjukkanlah padaku dimana pasar?” Jawab
Abdurrahman bin Auf RA.
Betapa manisnya kehidupan orang-orang yang beriman. Mereka
dapat memposisikan dirinya secara tepat. Mereka dapat merasakan
kesusahan dan kebahagiaan saudaranya. Mereka tahu betul apa yang
mesti dilakukan untuk orang lain. Mereka merasa bersedih apabila
tidak mampu berbuat banyak untuk orang lain.
129
yang diberikan bagi mereka yang dicintai dan dikehendaki Allah dari
hamba-hambaNya. Hal ini mengingatkan kepada kita akan nikmat yang
begitu besar, dan mengingatkan kita bagaimana kita sebelumnya dalam
keadaan jahili saling bermusuh-musuhan.
Dalam sejarah diketahui bahwa tidak ada seorang pun yang
tidak memiliki permusuhan antara kaum Aus dan Khazraj di kota
Madinah sebelum Islam. Namun setelah masuk Islam, Allah
menyatukan hati di antara mereka. Tidak ada solusi sedikit pun kecuali
Islam yang dapat menyatukan hati yang beragam bentuknya, tidak ada
yang terjadi kecuali karena tali Allah yang dapat menyatukan mereka
menjadi saudara, dan tidak mungkin hati-hati itu akan bersatu kecuali
karena ukhuwah fillah.
Berikut ini akan dijelaskan proses terbentuknya ukhuwah
Islamiyah yaitu:
a. Ta'aruf, yaitu saling kenal mengenal (Q.S 49:13) antar lain
mengenal nama, fisik, tempat tinggal, pekerjaan, hobi dan keluarga.
b. Tafahum, saling memahami, yaitu saling, memahami kondisi
mental, sifat, karakter, watak dan lain-lain.
c. Ta'awun, saling tolong menolong dalam suka dan duka dalam
meningkatkan ketakwaan.
d. Takaful, saling mendukung program dan kegiatan saudara dalam
rangka menegakkan tali per-saudaraan yang berlandaskan iman dan
takwa.
Potret ukhuwah Islamiyah yang telah dilakoni para pendahulu
menggores kesan mendalam yang teramat indah bagi peradaban
manusia. Bagaimana tidak, seseorang rela mati demi saudaranya.
Mereka lebih memilih lapar bagi dirinya daripada saudaranya yang
lapar. Mereka lebih mendahulukan kepentingan orang lain dari
kepentingan diri mereka sendiri meskipun mereka teramat
membutuhkannya. Mereka sangat menjaga kehormatan dirinya
ketimbang harus menjadi orang yang rakus lagi terhina. Sebagaimana
firman Allah SWT dalam Q.S 59:9 yang terjemahannya sebagai
berikut:
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah
beriman (Anshar) sebelum kedatangan mereka (kaum Muhajirin)
mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka
tiada menaruh keingan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang
diberikan kepada mereka (kaum Muhajirin) dan mereka
mengutamakan orang-orang Muhajirin atas diri mereka sendiri.
Sekalipun mereka memerlukan apa yang mereka berikan itu. Dan siapa
yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang
yang beruntung” (Depag, R.I, 1989:917)
130
Memelihara Ukhuwah
131
cara menggunakan dan mengelolanya supaya memberi manfaat bagi
kehidupan manusia dan makhluk lainnya, baik yang hidup sekarang
maupun generasi yang akan datang.
Dalam al-Quran terdapat banyak ayat yang berhubungan dengan
akhlak terhadap lingkungan ini, di antaranya yang menjelaskan tentang
larangan berbuat kerusakan baik di laut maupun di darat, sebagaimana
firman Allah SWT dalam Q.S 30:41 yang terjemahannya sebagai
berikut:
132
BAB VII
HAM DALAM PERSPEKTIF ISLAM
133
Deklarasi yang merupakan buah dari revolusi Prancis tersebut
telah berhasil meruntuhkan sistem masyarakat feodal termasuk sistem
pemerintahan negara yang bersifat absolut. Dari situ dirumuskan tiga
prinsip yang dikenal dengan Trisloganda, yakni; (1) kemerdekaan
(liberte) (2) kesamarataan (equalite) (3) kerukunan dan persaudaraan
(fraternite) yang kemudian melahirkan Konstitusi Prancis 1791
(Kuntjoro Probopranoto, 1982:18-19). Sebelumnya yakni pada tahun
1776, di Amerika sudah muncul deklarasi kemerdekaan (declaration of
independence) yang isinya menegaskan bahwa “manusia adalah
merdeka sejak dalam perut ibunya, sehingga tidak logis bila sesudah
lahir ia harus dibelenggu”. Sementara itu Jan Materson dalam
Baharuddin Lopa (1996:1), mengartikan hak-hak asasi manusia sebagai
hak yang melekat pada manusia, yang tanpa dengannya manusia
mustahil hidup sebagai manusia ”Human right which are inheren in
our nature and wathout which we can not live as human being”.
Menurut seorang cendekiawan Muslim Pakistan, Al-Maududi, hak
tersebut bukanlah pemberian dari siapa-siapa atau seorang raja
sekalipun. Hak asasi dalam pandangan Islam adalah pemberian Tuhan,
tak seorangpun berhak mencabutnya kembali atau membatalkan (Tahir
Mahmood, Ed. 1993:2). Kemudian di dalam UU RI No. 39 Tahun 1999
Ps.1 disebutkan bahwa “hak asasi manusia adalah seperangkat hak
yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk
Tuhan Yang Mahaesa dan merupakan anugerah-Nya yang dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah,
dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia”.
Adapun HAM yang digunakan di dunia sekarang ini umumnya
berpedoman kepada rumusan HAM yang dicetuskan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa yang dikenal dengan Pernyataan Semesta tentang Hak-
hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) yang
disingkat dengan UDHR. Deklarasi ini dikeluarkan pada tanggal 10
Desember 1948, sehingga tanggal ini diperingati sebagai hari HAM
sedunia. Deklarasi ini terdiri atas 30 pasal. Selain itu juga ada Deklarasi
Kairo yang lahir pada tanggal 5 Agustus 1990 yang lebih dikenal
dengan Cairo Declaration disingkat dengan CD. Inilah rumusan
tentang hak-hak asasi manusia (HAM) yang bercirikan Islam. Deklarasi
Kairo ini terdiri atas 25 pasal. Indonesia juga telah meratifikasi HAM
yang dicetuskan PBB tersebut di masa presiden B.J. Habibi sehingga
lahirlah Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Undang-
undang yang terdiri atas 106 pasal tersebut isinya tidak hanya berbicara
tentang hak asasi tetapi juga kewajiban asasi manusia dan sebagai
warganegara RI.
134
B. Konsep HAM Yang Kontroversial
Rumusan tentang hak-hak asasi manusia (HAM) yang dianggap
legal dan dijadikan standar hingga saat ini adalah produk yang
diterbitkan oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). HAM yang
hanya terdiri dari 30 pasal itu ternyata belum dapat mengakomodasi
keinginan serta kepentingan semua bangsa-bangsa di dunia yang amat
beragam latar belakang budaya dan agamanya. Bagi kita umat Islam
kejanggalan yang amat prinsipil di dalam pasal-pasal HAM tersebut
dapat dilihat antara lain :
1. Pasal 16 berbunyi : (1) Laki-laki dan wanita yang telah
dewasa tanpa pembatasan atas perbedaan ras, kebangsaan
dan agama mempunyai hak untuk menikah dan mendirikan
rumah tangga. Mereka mempunyai hak yang sama di dalam
pernikahan selama pernikahan masih berlangsung dan
waktu perceraian.
(2) Pernikahan dianggap telah terjadi hanya dengan
persetujuan yang bebas sepenuhnya dari kedua belah pihak
calon mempelai.
Substansi dari pasal ini jelas-jelas bertentangan dengan ajaran
Islam yang tidak membolehkan perkawinan dua jenis manusia yang
berbeda agama (antara muslim dengan non muslim). Sedangkan ayat 2
dari pasal tersebut membuka peluang bagi pernikahan tanpa wali dan
saksi sebagai persyaratan wajib (rukun) yang tidak boleh diabaikan
dalam sebuah akad nikah.
2. Pasal 18 berbunyi : “Setiap orang berhak untuk bebas
berpikir, bertobat dan beragama; hak ini meliputi
kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan
kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaannya
dalam bentuk beribadat dan menepatinya, baik sendiri
maupun dilakukan bersama-sama dengan orang lain, baik
di tempat umum maupun sendiri”.
Pasal ini juga akan berbenturan dengan prinsip-prinsip akidah
Islam. Di dalam Islam memang tidak boleh ada pemaksaan atas
seseorang dalam memilih suatu agama (Q.S. al-Baqarah/ 2:256), tetapi
manakala seseorang telah meyatakan diri sebagai penganut Islam
(muslim), maka diatas pundaknya sudah terpikul kewajiban untuk
memelihara akidah dan syari‟ah Islam. Apabila di satu saat dia pindah
ke agama lain maka ia dihukum sebagai murtad yang dikenakan sanksi-
sanksi tersendiri. Maka pasal 18 UDHR tersebut jelas-jelas melegalisir
dan memberi peluang untuk terjadinya pemurtadan pada seorang
muslim.
135
Dengan adanya kontroversial inilah maka tidak semua negara
yang tergabung dalam perserikatan bangsa-bangsa (PBB) dapat
menerima konsep-konsep HAM itu secara totalitas. Lebih-lebih lagi
negara-negara muslim dan yang menjadikan Al-Quran dan Hadis
sebagai dasar negaranya semisal Saudi Arabia.
C. Standar Ganda HAM
Memang diakui, di negara-negara dunia ketiga yang sering
dikonotasikan dengan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan,
banyak terjadi pelanggaran HAM, baik oleh sesama penduduk aslinya,
antara penguasa dan rakyatnya sendiri maupun oleh pihak yang
menjajahnya. Sementara oleh negara-negara maju (Barat), mereka tidak
saja dijadikan sasaran tudingan sebagai pelanggar HAM untuk
kepentingan politik, ekonomi, dan keamanan, mereka bahkan dijadikan
sebagai lahan yang subur bagi tersebarnya isu politis untuk melegalisasi
pelanggaran HAM yang mereka lakukan kemudian. Ironinya, standar
yang mereka gunakan untuk “pelanggaran” HAM itu sendiri terkesan
sangat diskriminatif. Misalnya, PBB yang telah membuat rakyat Irak
menderita selama bertahun-tahun lantaran sanksi ekonomi yang
diterapkan kepada negara yang berpenduduk mayoritas muslim itu,
tidak menyadari sama sekali bahwa ia juga telah melanggar hak-hak
asasi rakyat Irak.
Demikian pula halnya dengan kasus-kasus pencaplokan tanah
penduduk Palestina oleh Israel serta pembantaian terhadap rakyat sipil
mereka terdiri dari anak-anak, orang tua dan kaum wanita, oleh Israel
(Yahudi) dan pembantaian terhadap etnik muslim Bosnia oleh Serbia
dan yang terakhir pembantain terhadap muslim Maluku dan Ambon
oleh kaum Nasrani. Amerika yang menganggap dirinya sebagai “polisi”
dunia dan penajaga HAM itu seperti menutup mata saja atas kejahatan
tersebut. Sementara rakyat Tim-Tim yang sering bergerilya ingin
memerdekakan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi
agenda utama mereka bagi penegakan HAM disana. Padahal masalah
pengungsi mereka saja ternyata juga kurang mendapat perhatian serius
dari badan dunia yang bernama PBB itu. Bukankah nasib rakyat ex
propinsi yang ke 27 RI itu tidak semakin membaik hingga saat ini?
Maka dalam hal ini siapakah yang lebih bertanggung jawab terhadap
nasib mereka? Siapakah sebenarnya pelanggar HAM terbesar di pentas
bumi ini?
Penerapan sikap ganda ini tentu tidak terlepas dari pandangan
mereka yang berat sebelah terhadap HAM itu sendiri. Terlihat pula
disana adanya perbedaan pandangan yang amat mendasar antara Barat
136
dan Timur tentang hak-hak asasi manusia. Tegasnya, perbedaan
pandangan tersebut terjadi antara Barat dan Islam.
D. Hak Asasi Manusia dalam Pandangan Islam
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna diciptakan oleh
Allah dibanding dengan makhluk-makhluk lainnya. Kesempurnaan
ciptaan manusia tidak hanya dapat dilihat dari segi fisik atau jasmani
tetapi juga dari segi ruhani. Secara jasmaniah manusia diciptakan
dengan organ-organ yang lengkap untuk dapat menjalani hidupnya
dengan dengan layak dan baik seperti pendengaran, penglihatan dan
lidah untuk dapat berkomunikasi dengan sesamanya. Secara ruhaniah,
manusia dilengkapi dengan akal pikiran („aqlu), hati (qalbu) dan nafsu
(syahwat). Dari ketiga macam instrumen ini lahirlah tindakan-tindakan
yang berperikemanusiaan (manusiawi). Manusia lebih dari hewan yang
diciptakan dengan nafsu tapi tak punya akal pikiran. Manusia juga lebih
dari malaikat yang diciptakan sebaliknya, yakni punya akal pikiran
tetapi tidak punya nafsu. Akal akan mengontrol keinginan-keinginan
yang datang dari dorongan nafsu bekerjasama dengan hati sebagai
pemberi pertimbangan. Allah berfirman:
“Dan sesungguhya telah Kami muliakan anak-anak Adam. Kami
angkat mereka di daratan dam di lautan. Kami beri mereka rezki dari
yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan” (Q.S.
Al-Isra‟ 17:70)
Dengan adanya akal, Tuhan memberikan kepada manusia tanggung
jawab (amanah). Di dalam Al-Quran disebutkan bahwa amanah itu
pada mulanya ditawarkan kepada langit, bumi dan gunung-gunung,
namun karena mereka merasa tidak mampu memikulnya lalu tampillah
manusia memikulnya (Q.S al-Ahzab/33:72).
Pernyataan Allah ini mengandung makan metaforik, yang pada
hakikatnya menunjukkan supremasi (keunggulan) manusia atas
makhluk-makhluk lain. Hal itu disebabkan antara lain, Pertama,
manusia adalah makhluk Tuhan yang dilengkapi dengan akal sebagai
instrument pembeda antara baik dan buruk, yang bermanfaat dan yang
mendatangkan mudarat kepada diri dan lingkungannya. Hal ini tidak
diberikan kepada hewan atau binatang. Kedua, dari segi kejadian atau
penciptaannya, manusia dinyatakan sebagai ahsan taqwim (ciptaan
terbaik). Kata ahsan itu menunjuk kepada konstruksi bentuk tubuh
(fisik) dan juga segi rohaniahnya. Ketiga, dari sekian macam dan jenis
makhluk ciptaan Allah, hanya manusialah satu-satunya makhluk yang
ditetapkan sebagai khalifah Allah di bumi ini (khalifatullah fil ardh)
137
(Q.S. al-Baqarah/2:30). Khalifah dalam artian sebagai makhluk yang
dapat memimpin dan mengemban amanah-Nya di bumi.
Untuk dapat menjalankan tugas serta fungsi kekhalifahan
tersebut, maka setiap individu harus mengerti dan menyadari terlabih
dahulu hak-hak dasar yang diberikan Allah kepadanya, seperti
kebebasan, persamaan, perlindungan, dan sebagainya. Dia hendaknya
sadar betul bahwa hak-hak tersebut bukan pemberian dari seseorang,
organisasi, atau Negara tapi adalah anugerah Allah yang sudah
dibawanya sejak lahir ke alam dunia. Hak-hak itulah yang kemudian
dikenal dengan sebutan hak-hak asasi manusia (HAM). Tanpa
memahami hak-hak tersebut adalah mustahil ia dapat menunaikan
tugas-tugas serta kewajibannya sebagai khalifah Allah dengan baik.
Namun persoalannya kemudian apakah setiap individu
menyadari hak-hak tersebut? Jawabannya, adalah belum! Belum setiap
orang, termasuk umat Islam itu sendiri, menyadarinya. Hal ini mungkin
disebabkan rendahnya taraf pendidikan atau sistem sosial-politik
maupun budaya yang kurang kondusif untuk tercapainya kesadaran itu.
E. Perbandingan HAM Barat dan HAM dalam Islam
Meskipun Barat tidak selalu identik dengan non Islam,
demikian pula Timur tidak pula semuanya Islam. Tapi buat sementara
kita menggunakan dikotomi ini sebagai ganti dari dikotomi sekuler di
satu pihak dan Islam di pihak lain. Adapun perbedaan yang mendasar
antara HAM Barat dan HAM dalam perspektif Islam antara lain :
(1) HAM Barat (UDHR) bersumber pada pemikiran filosofis
semata, karena ia speenuhnya produk otak manusia.
Sedangkan HAM dalam Islam bersumber pada ajaran Al-
Quran dan Sunnah. Karena itu, HAM Barat terkesan sangat
sekularistik.
(2) HAM Barat lebih bersifat antrofosentrik, maksudnya ialah
manusialah yang menjadi fokus utama. Manusia dilihat
sebagai pemilik sepenuhnya hak tersebut. Maka
pertanggung jawaban dalam menegakkan HAM lebih
berpijak serta berorientasi kepada nilai-nilai kemanusiaan
semata. Sedangkan HAM di dalam Islam bersifat
theosentrik. Manusia dalam hal ini dilihat hanya sebagai
makhluk yang dititipi hak-hak dasar oleh Tuhan, bukan
sebagai pemilik mutlak. Oleh Karen itu ia wajib
memeliharanya sesuai dengan aturan Tuhan. Penggunaan
hak tersebut tidak boleh bertentangan dengan keinginan
Tuhan. Dalam penegakkannya, selain untuk kepentingan
kemanusiaan juga didasari atas kepatuhan/ketaatan
138
melaksanakan perintah Tuhan dan dalam rangka mencari
keridhaan-Nya. Maka di dalam menegakkan HAM itu tidak
boleh berbenturan dengan ajaran syari‟at secara
komprehensif.
139
menimbulkan kemudaratan harus dicegah. Misalnya
larangan khalwat, yakni berduaan di tempat yang sepi bagi
dua insan yang berbeda jenis kelaminnya yang bukan
mahram dan tidak ada kepentingan tertentu yang dapat
dikategorikan ke dalam hal-hal yang bersifat darurat. Selain
itu, penggunaan hak individu menurut Islam harus
memperhatikan kepentingan dan tidak boleh merugikan
orang lain. Di zaman Rasulullah pernah terjadi suatu kasus
seorang dari golongan Anshar datang mengadu kepada
Rasulullah bahwa pohon kurma tetangga kebunnya,
Samurah bin Jandub, condong dan masuk ke kebunnya
hingga ia dan keluarganya merasa dirugikan. Samurah tidak
mau memotong pohon tersebut karena merasa itu adalah hak
miliknya. Tetapi Rasullah memerintahkan agar Samurah
mencabut pohon tersebut.
(5) HAM Barat memandang manusia sebagai pemilik penuh
atas hak-haknya, sedangkan HAM dalam perspektif Islam
memandang manusia sebagai penerima titipan (amanah)
Allah terhadap hak-haknya dan bukan pemilik secara
mutlak. Oleh karenanya, manusia sadar bahwa dirinya akan
dimintai pertanggungjawaban kepada Allah atas hak-hak
tersebut.
140
tersebut.
3 HAM Barat lebih HAM dalam Islam
mengutamakan hak mengutamakan keseimbangan
daripada kewajiban, antara hak dan kewajiban pada
karena itu ia lebih seseorang. Penggunaan hak-hak
terkesan pribadi di dalam Islam tidak
individualistik. Dalam boleh merugikan atau
hal ini, penggunaan hak mengabaikan kepentingan orang
oleh seseorang kurang lain.
memperhatikan
kewajiban memelihara
hak orang lain.
4 HAM Barat lebih HAM dalam pespektif Islam
bersifat individualistik, selain melindungi kepentingan
dimana kepentingan individu juga menjaga
indvidu sangat kepentingan sosial secara
diutamakan bahkan berimbang.
bisa mengabaikan serta
mengalahkan
kepentingan sosial.
141
dalamnya”. Bahkan ada sebuah kaidah di dalam ushul fiqh
menyebutkan “dar‟ul mafasid muqaddamun „ala jalbil mashalih”
(mencegah kerusakan lebih diutamakan daripada berbuat kebajikan).
Ini tentu saja jauh berbeda dari HAM yang berpandangan
antrofosentrik dan yang hanya mementingkan hak-hak pribadi,
pencegahan kurang diperhatikan karena takut dituduh melanggar HAM.
Hal ini dapat mengakibatkan merajalelanya kejahatan di sana sini.
Itulah di antara kelemahan HAM dalam paradigma Barat yang
dipropaganda oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya.
Cikal bakal hak-hak asasi dalam Islam
Sebenarnya cikal bakal hak-hak asasi dalam Islam sudah
dirumuskan oleh ulama-ulama terdahulu. Bertitik tolak dari tujuan
pensyari‟atan (maqashid al-syari‟ah), Islam memandang bahwa tujuan
syari‟at diturunkan adalah untuk kepentingan manusia, memelihara
lima hajat/kebutuhan dasar dalam kehidupan manusia yakni;
memelihara nyawa (hifzh al-nafs), memelihara akal (hifzh al-„aql),
memelihara harta (hifzh al-mal), memelihara keturunan/kehormatan
(hifzh al-nasb) dan memelihara agama (hifzh al-dien).
1. Penghargaan Islam terhadap nyawa
Nyawa manusia adalah sesuatu yang sangat berharga, karena itu
dalam rangka memeliharanya, Islam melarang pembunuhan tanpa
alasan yang dibenarkan oleh syari‟at. Pembunuhan terhadap satu nyawa
berarti pembunuhan terhadap manusia pada umumnya dalam arti
pelecehan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Allah berfirman dalam
Q.S.5:32 sebagai berikut:
.......
Artinya: “....Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena
orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan
dimuka bumi, maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya.
dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka
seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan
Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan
(membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara
142
mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat
kerusakan dimuka bumi” (Depag RI, 1989:164).
2. Penghargaan Islam terhadap akal
Akal merupakan anugerah Allah yang sangat berharga pada
manusia. Dengan adanya akal manusia dapat menyampaikan
ide-ide/gagasan-gagasan yang akan melahirkan pengetahuan.
Akal itu pula yang menjadi salah satu pembeda antara manusia
dan binatang. Karena itu akal harus dipelihara sebaik-baiknya
agar tidak rusak dan kehilangan fungsinya dalam menjalani
hidup sebagai manusia. Dalam rangka memelihara akal Islam
melarang umatnya mengkonsumsi zat-zat, minuman atau
perbuatan yang berpotensi merusak akal. Misalnya larangan
mengkonsumsi khamar (minuman memabukkan, miras),
Narkoba (Narkotika Psikotropika dan Bahan Adiktif). Juga
dalam rangka memelihara akal, Islam melarang perbuatan-
perbuatan yang berpotensi merusak akal sehat seperti
mempercayai ramalan atau tenung-tenung dari dukun ramal,
ahli nujum atau paranormal. Allah berfirman dalam Q.S.5:90-91
sebagai berikut:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud
hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di
antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi
itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan
sembahyang; maka berhentilah kamu (dari
143
mengerjakan pekerjaan itu).” (Depag RI, 1989:176-
177).
Dalam ayat ini disebutkan empat macam perbuatan yang
berpotensi merusak akal yaitu: khamar, berjudi, berhala, dan
mengundi-undi nasib karena keempat perbuatan tersebut
didalangi oleh syetan yang ingin menghembuskan api
permusuhan dan kebencian antara sesama manusia, di samping
itu membuat pelakunya lalai dari mengingat Allah.
3. Penghargaan Islam terhadap hak kepemilikan
Islam memandang harta sebagai kebutuhan yang sangat vital
dalam kehidupan manusia. Salah satu naluri yang ditanamkan
Allah ke dalam diri manusia dan dipandang sebagai perhiasan
hidup adalah kecenderungan kepada harta benda. Sebagaimana
firman Nya dalam Q.S.3:14 berikut:
144
(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda
orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu
mengetahui” (Depag RI, 1989:46).
Karena itu Islam menetapkan hukuman yang berat kepada si
pencuri baik laki-laki maupun perempuan. Sebagaimana firman
Allah yang terjemahahannya:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi
apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari
Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”
(Depag RI, 1989:165).
Yang dimaksukan mencuri (sirqah) adalah “mengambil barang
orang lain secara sembunyi-sembunyi” (Sayid Sabiq,
1365H:310). Menurut Qadhi „Iyadh seperti dikutip oleh Sayid
Sabiq (1365H:309), Allah menjatuhkan hukuman potong tangan
bagi si pencuri itu adalah untuk menjaga dan melindungi harta.
4. Penghargaan Islam terhadap Keturunan/kehormatan
Keturunan dan kehormatan diri serta keluarga wajib dijaga dan
dilindungi. Karena itu Islam melarang umatnya melakukan
perbuatan yang dapat mencemari dan merusak garis keturunan
serta kehormatan diri seperti zina dan perkosaan. Allah
berfirman dalam Q.S.17:32) berikut:
145
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka
deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan
janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk
(menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan
hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka
disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman” (Depag
RI, 1989:543).
146
saudaranya yang sudah mati? maka tentulah kamu
merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang.” (Depag RI, 1989:847).
147
yang amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah
Mahamendengar lagi Mahamengetahui” (Depag RI,
1989:63).
149
oleh suatu siding pengadilan terbuka dimana ia memperoleh semua
jaminan yang diperlukan untuk pembelaannya.
Bila dibandingkan antara pernyataan pasal 2,7 dan 11 UDHR dan pasal
19 Cairo Declaration (CD) pada umumnya terdapat persamaan. Hanya
saja yang membedakannya ialah dasar hukum yang dipakai. Di dalam
UDHR dasarnya adalah hukum nasional atau internasional yang
berlaku, sedangkan di dalam CD di tegaskan “tidak boleh ada kejahatan
atau penghukuman kecuali di tetapkan syari‟at. Jadi ukuran sesuatu itu
termasuk kejahatan atau tidak adalah hukum syari‟at bukan hukum
yang dibuat oleh manusia semata.
2. Hak Berekspresi dan Mengeluarkan Pendapat
Di dalam UDHR pasal 19 disebutkan :
“Setiap orang berhak untuk mendapatkan dan menyatakan
pendapatnya; hak ini meliputi kebebasan untuk memiliki pendapat-
pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan untuk mencari, menerima
dan menyampaikan informasi dan pendapat-pendapat dengan cara
apapun dan dengan tanpa memandang batas-batas”.
150
Ayat-ayat diatas menegaskan bahwa setiap orang berhak
menyampaikan pendapatnya kepada orang lain, mengingatkan kepada
kebenaran, kebajikan serta mencegah kemungkaran. Bahkan hal itu
disampaikan bukan saja karena ada hak tapi sekaligus merupakan suatu
kewajiban sebagai orang beriman. Demikian pula kita juga disuruh
untuk dapat saling mendengarkan dan mengeluarkan pendapat untuk
kemudian memilih yang terbaik di antara pendapat-pendapat yang ada.
Kemudian, ditegaskan juga di dalam sebuah hadis bahwa kebenaran itu
harus disampaikan meskipun dirasakan pahit, baik bagi diri orang lain
maupun diri sendiri. Inilah ajaran kontrol sosial di dalam Islam.
3. Hak Berpartisipasi dalam Politik dan Pemerintahan
Di dalam UDHR pasal 21 disebutkan :
(1) “Setiap orang berhak untuk ikut ambil bagian di dalam
pemerintahan negerinya, secara langsung atau melalui perwakilan yang
dipilihnya secara bebas”.
(2) “Setiap orang mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk
menjabat jabatan pemerintahan negaranya”.
(3) “Kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintahan;
kehendak tersebut harus dinyatakan dalam pemilihan umum yang
diselenggarakan secara periodik dan jujur yang harus dilakukan secara
umum dan sederajat, dan dilakukan pula dengan jalan rahasi atau
dengan jalan menjamin kebebasan memberikan suara”.
151
dianggap sama tanpa ada diskriminasi. Sedangkan di dalam ayat (a)
pasal (6) CD ditegaskan ;
“Wanita memiliki hak yang sama denga pria dalam mepertahankan
derajat kemanusiaannya dan memiliki hak-hak untuk menikmati hak
persamaan tersebut di samping melaksanakan kewajiban-kewajibannya,
ia memiliki hak sipil dan kebebasan yang berhubungan dengan
keuangan, dan hak untuk menjaga nama baik pribadi dan
keturunannya”.
152
Allah berfirman dalam Q.S.65:6 yang terjemahnya:
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka
untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang
sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka
nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya,
dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik;
dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh
menyusukan (anak itu) untuknya” (Depag RI, 1989:946).
153
Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari
apa yang telah mereka kerjakan.” (Depag RI, 1989:417)
154
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.
Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut[162] dan
beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada
buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah
Mahamendengar lagi Mahamengetahui” (Depag RI, 1989:63).
Berdasarkan ayat-ayat ini, jelaslah bahwa masalah menganut
suatu agama atau kepercayaan sepenuhnya diserahkan kepada manusia
itu sendiri untuk memilihnya. Menganut suatu agama atau kepercayaan
tidak boleh ada pemaksaan-pemakasaan dari pihak manapun karena
antara jalan yang benar dan jalan yang salah sudah sedemikian jelas
perbedaannya. Di dalam Islam kita hanya diperintahkan untuk
berdakwah yang tujuannya menyeru, mengajak dan membimbing
seseorang kepada kebenaran. Dakwah juga bertujuan untuk
menegakkan “al-amru bil ma‟ruf wa al-nahyu „an al-munkar”
(menyeru kepada kebajikan serta mencegah dari kemungkaran). Usaha
ini tidak hanya bermanfaat bagi umat Islam tapi juga bagi masyarakat
umum tanpa di batasi oleh sekat-sekat agama, ras dan suku bangsa.
Berdasarkan doktrin “tidak boleh ada paksaan dalam beragama”
ini, Islam dapat bersikap toleransi terhadap penganut-penganut agama
lain untuk hidup berdampingan dalam satu negeri. Islam sanggup
bekerja sama dengan penganut agama lain sepanjang mereka tidak
menganggu umat Islam. Bahkan Islam mewajibkan umatnya agar
berlaku adil terhadap mereka. Kecuali, apabila merek sudah
mengganggu ketentraman umat Islam, maka di saat itu mereka harus
diperlakukan sebagai musuh yang perlu dilawan.
Sikap toleransi ini pernah di buktikan oleh Nabi Muhammad
SAW dalam memimpin negara Madinah yang terdiri dari berbagai
etnik dan agama. Sikap tersebut tercermin dalam salah satu pasal yang
tertera dalam Pasal 25 „Piagan Madinah” yang berbunyi:
“Orang-orang Yahudi dan Bani „Auf adalah satu umat dengan
orang-orang mukmin. Orang-orang Yahudi hendaknya berpegang teguh
pada agama mereka, dan orang-orang Islampun berpegang teguh pada
agama mereka, termasuk juga sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri,
kecuali bagi orang yang berbuat aniaya dan durhaka. Orang-orang
semacam ini hanya akan merusak diri dan keluarga mereka” (Kosasih,
2003:170).
6.Hak dan Kesempatan Yang Sama Untuk Memperoleh Kesejahteraan
Sosial
Di dalam UDHR pasal 25 di tegaskan :
“Setiap orang berhak akan taraf hidup yang memadai baik bagi
kesehatan dan kesejahteraan dirinya sendiri maupun keluarganya
155
termasuk sandang, pangan, dan perawatan kesehatan serta pelayanan-
pelayanan sosial dan jaminan sosial pada waktu mengalami
pengangguran, sakit, cacat, menjadi janda, usia lanjut atau mengalami
kekurangan mata pencarian di luar kemampuannya”.
156
yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna”
(Depag RI, 1989:1108).
157
berkata: „Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat
berhijrah di bumi itu?‟ Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam,
dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” (Depag RI,
1989:137).
Ayat 97 Surah An-Nisa‟ di atas berisi pesan bahwa
seorang mukmin tidak boleh membiarkan dirinya ditindas atau
dianiaya orang lain di negerinya sendiri. Dia harus menghindar
dari penganiyaan itu meskipun ia harus berangkat (hijrah)
meninggalkan negerinya itu ke negara lain yang lebih aman.
Selanjutnya umat muslim juga berkewajiban memberikan
perlindungan terhadap non muslim yang tinggal di negeri mereka
sepanjang mereka tidak mengganggu. Allah berfirman salam
Q.S.60:8-9 yang terjemahnya:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku
adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama
dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya
melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang
memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan
membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa
menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang
yang zalim.” (Depag RI, 1989:924).
Ayat ini berisi pesan bahwa orang muslim boleh memberikan
perlindungan terhadap non muslim yang tidak mengganggu
kepentingan agama dan diri mereka. Tapi apabila mereka telah
mengganggu kepentingan agama dan keamanan jiwa mereka (orang
muslim), Islam melarang umatnya bersekongkol dengan mereka. Jadi,
pada prinsipnya Islam itu terbuka untuk mengadakan hubungan
persaudaraan dengan melampaui wilayah territorial negerinya dan
agamanya sepanjang hal itu tidak merugikan kepentingan Islam dan
umatnya.
Penegakan HAM di Indonesia
Dengan terbentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM) dan lahirnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
tentu banyak yang berharap agar pelanggaran HAM di negeri yang
beradab ini akan semakin berkurang. Pelaku-pelaku pelanggaran
manapun yang di duga melakukan pelanggaran itu akan dapat di adili
sesuai aturan hukum yang berlaku. Baik pelanggaran yang dilakukan
oleh rakyat jelata maupun oleh aparat atau kelompok papan atas.
Namun tidak seperti yang di bayangkan semula, harapan rakyat agar
pelanggar-pelanggar HAM berat segera di adili dan para korbannya
segera mendapatkan kompensasi yang seimbang, nyaris lenyap ditelan
158
waktu. Memang serba dilematis, pengaduan-pengaduan yang sampai
kepada Komnas HAM ada ditanggapi dan dilanjutkan dengan
melakukan investigasi ke lapangan, tapi karena mereka bukanlah aparat
yang berwenang untuk penegakan hukum maka temuan-temuan yang
telah mereka kumpulkan seakan-akan mengendap begitu saja.
Problema selanjutnya ialah perangkat hukum dan perundang-
undangan kita belum siap untuk menindaklanjutinya sampai ke tingkat
peradilan. Kesempatan ini pula yang terlihat “dimanfaatkan” oleh
sebahagian para “kuasa hukum” atau pengacara di negeri ini untuk
melakukan pembelaan-pembelaan terhadap di pelanggar tersebut. Dan
sering kita saksikan bahwa pembelaan berlebihan hanya diberikan
kepada yang melanggar bukan malah kepada si korban yang nyaris
menderita sampai kepada anak cucunya. Kenapa demikian?
Mungkinkah ini makna yang terkandung dibalik ungkapan yang
berkembang dalam masyarakat akhir-akhir ini: ”maju tak gentar
membela yang bayar“? Lihat saja misalnya, kasus-kasus pelanggaran
HAM Aceh dan Tanjung Priok, entah kapan pihak korban akan
mendapatkan keadilan secara hukum. Dan sederetan kasus-kasus lain
yang tak cukup ruang untuk menyebutkannya di sini. Sementara
peraturan dan undang-undang dapat saja berubah-ubah dari masa ke
masa sesuai keinginan yang kuat dari penguasa pada saat itu. Inilah
yang perlu disadari oleh seluruh umat Islam. Seorang muslim itu tidak
boleh terperosok dua kali ke dalam lubang yang satu.
Oleh karena itu, umat Islam sebagai penduduk mayoritas di
Indonesia mempunyai kearifan dalam memberikan dukungan kepada
orang yang dianggap sebagai tokoh penyelamat negeri ini. Sebab,
dalam situasi yang penuh kegalauan ini banyak sekali musang berbulu
ayam serta maling berteriak maling. Mereka sangat pintar
menggunakan simbol-simbol penarik perhatian massa dengan
berkedok sebagai seorang humanis, moralis, pendekar HAM serta
demokrat sejati dan sejumlah atribut lainnya. Apalagi ketika banyak
orang yang menyanjungnya, maka iapun lupa diri dan seperti punya
otoritas yang kuat untuk mengelurkan pernyataan seenaknya disana
sini, padahal ia sendiri belum tentu seorang yang benar dan mempunyai
niat yang baik. Meskipun tidak jarang pula dalam sejarah peradaban
umat manusia orang-orang seperti itu pada akhirnya tersandung karena
disanjung. Sehingga, pada gilirannya, orang-orang yang tadinya
menyanjungnya setinggi langit jadi berbalik arah untuk mencaci
makinya. Demikianlah yang namanya dunia politik. Semua
kemungkinan bisa terjadi, karena ada sebuah semboyan dalam pentas
politik, yaitu ”tiada teman yang abadi dan tiada lawan yang abadi,
yang abadi hanyalah kepentingan.”
159
Inilah problem bangsa dan umat kita dalam spectrum kehidupan
bernegara dari masa ke masa sejak 69 tahun kemerdekaannya. Sebagai
antisipasi ke depan jawabannya adalah pendidikan. Pendidikan yang
tidak hanya membuat orang menjadi cerdas dan pintar, tapi yang punya
kearifan. Kearifan takkan bisa didapat hanya dengan mengandalkan
kecerdasan akal, tapi adalah hasil dari perpaduan antara akal dan hati
nurani, antara fikir dan zikir. Fikir sumbernya adalah otak, sedangkan
zikir tempatnya adalah pada qalbu, nurani yang sehat (qalbun salim).
Diatas semuanya itu adalah agama (al-Dien) yang datang dari Tuhan.
Nilai-nilai yang datang dari Tuhan bersifat absolut, sinar kebenarannya
akan memancar kemana-mana tanpa dibatasi ruang dan waktu. Hanya
saja sewaktu-waktu sinar itu terhalang oleh kabut hitam yang berada di
sekitar tempat yang mau di masukinya. Kabut hitam itulah yang
menurut Al-Ghazali, adalah noda-noda dan dosa-dosa yang
menyelimuti diri seseorang, sehingga ia menjadi penghalang untuk
sampainya sinar kebenaran itu ke dalam hati orang tersebut. Sedangkan
dosa yang paling berbahaya dalam kehidupan manusia adalah syirik.
Salah satu pengertian syirik, menurut Imam Muhammad Abduh,
adalah “keyakinan tentang adanya sesuatu yang memiliki kekuasaan
secara mutlak di atas kekuasaan Allah”. Syirik pada jaman jahiliyah
lahir dalam bentuk penyembahan umat kepada berhala bukan hanya
patung. Tidak setiap patung berfungsi sebagai berhala, sebab banyak
juga patung-patung digunakan orang saat ini hanya sebagai ornament
atau asesoris, selama benda-benda tersebut tidak dijadikan objek
sembahan. Tapi faham keberhalaan dapat muncul dalam berbagai
bentuk sesuai perkembangan jaman, termasuk di dalamnya
pengkultusan terhadap seorang tokoh atau individu tertentu dan
pemutlakan sebuah pemikiran dan ideologi. Sebab, ketika kita sudah
memutlakan sebuah pendapat atau ideologi, katakanlah “demokrasi”
misalnya, maka pada saat yang bersamaan kita sudah berpotensi untuk
masuk ke dalam lorong sebuah tirani (thaghut). Karena itu, Islam
melarang umatnya bersikap taqlid buta kepada seorang tokoh atau
sebuah ideologi.
160
BAB VIII
PERNIKAHAN DALAM ISLAM
161
c. Halal atau Boleh (Mubah atau Jaiz, bagi seseorang yang
memenuhi syarat tapi kurang bekal. Sabda Rasulullah saw:
d. Makruh, bagi yang belum memenuhi syarat dan belum
mempunyai bekal/modal, dan
e. Haram, bagi yang mau menikah dengan niat untuk merusak
atau mengakibatkan timbulnya bencana keluarga.
Pada prinsipnya nikah adalah Sunnah (tradisi) Rasulullah
saw. Beliau melarang membenci sunnahnya. Dibenarkan tidak
menikah selama dapat menjaga diri dan tidak “membenci”
pernikahan.
B. Tujuan Nikah.
Pernikahan dalam Islam ditempatkan pada posisi yang
terhormat. Pernikahan tida hanya legalisasi hubungan laki-laki
dengan perempuan semata-mata, melainkan wahana mewujudkan
kasih sayang yang diberikan Allah kepada hamba-hambanya.
Tujuan pernikahan dalam Islam adalah menciptakan keluarga
sakinah, yaitu keluarga yang mendapatkan ketenangan dan
kelapangan jiwa, keleluasan hidup dana menjalani kehidupan
bersama keluarga sertaterpenuhinya kebutuhan lahir batin
seperti yang difirmankanAllah dalam:
Q.S. Ar-Rum (30) : 21
162
seagama, sehingga akad nikah dapat dilangsungkan menurut
agama Islam.
2. Khitbah (Meminang)
Seorang muslim yang akan mengawini seorang muslimah
hendaknya ia meminang terlebih dahulu, karena
dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain. Islam
sangat melarang seorang muslim meminang wanita yang
sedang dipinang oleh orang lain. Dalam khitbah disunahkan
melihat wajah wanita yang akan dipinang (HR. Imam Ahmad,
Abu Daud, Imam Tarnudzi)
3. Aqad Nikah (Prosesi Pernikahan)
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus
dipenuhi:
a. Ada perasaan suka sama suka dari kedua calon
mempelai.
b. Adanya ijab qabul: Ijab adalah pernyataan wali
menyerahkan mempelai wanita kepada mempelai pria.
Sedamgkan Qabul pernyataan mempelai pria menerima
mempelai wanita.
c. Ada mahar (maskawin)
d. Ada wali
e. Ada saksi
163
4. Walimatul `arusy
Hukumnya wajib dan diusahakan sesederhana mungkin serta
hendaknya mengundang orang-orang miskin. Rasulullah
Saw bersabda jika yang diundang kalangan kaya sajaberarti
makanan/hidangan itu sejelek jelek (buruk)
makanan/hidangan.
Dalam haditsnya yang lain Rasulullah SAW bersabda barang
siapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia
durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya
D. Rukun Nikah
Pernikahan dapat dilaksanakan apabila memenuhi unsur-
unsur berikut:
1. Calon pengantin laki - laki dan perempuan (boleh
diwakilkan)
2. Wali pihak calon pengantin wanita
3. Dua orang saksi
4. Akad nikah (ijab Kabul nikah)
5. Di satu tempat (satu ruangan)
6. Ada maskawin/mahar
E. Syarat Nikah
1. Calon pengantin pria syaratnya:
a. Beragama Islam
b. Laki-laki (bukan banci)
c. Orangnya diketahui, jelas, tak ragu - ragu (misalnya
kembar)
d. Tidak ada halangan nikah dengan calon pengantin
wanita
e. Mengenal danmengetahui calon istrinya
f. Rela, tak dipaksa
g. Tidak sedang ihram
h. Tidak mempunyai istri yang dilarang dimadu dengan
calon istrinya
i. Tidak ada larangan lain, misalnya sudah empat orang
2. Calon pengantin wanita
a. Beragama Islam
b. Wanitaasli (bukan banci)
c. Orangnya diketahui, jelas, tak ragu (kembar)
d. Tidak dalam masa iddah
e. Tidak dipaksa
164
3. Wali Calon Mempelai Wanita
b. Bapak kandung
c. Kakek,
d. Saudara laki-laki seibu sebapak (sekandung)
e. Saudara laki-laki sebapak
f. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
g. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
h. Paman dari pihak ayah
i. Anak laki-laki dari parnan dari pihak bapak
j. Wali Hakim
165
G. Pernikahan Tidak Syah
1. Harus ada persetujuan antara kedua calon mempelai
2. Calon pengantin laki-laki sudah mencapai umur 19 tahun, calon
mempelai wanita minimal 16 tahun
3. Antara kedua calon mempelai tidak ada larangan untuk menikah
4. Masing-masing pihak tidak terikat tali perkawinan, kecuali bagi
pengantin laki-laki mendapat izin dari Pengadilan atas
persetujuan istrinya
5. Antara kedua calon pengantin tidak pernah terjadi dua kali
perceraian. Dalam Islam, boleh kawin dengan perempuan yang
sudah dijatuhi talak tiga, tetapi dengan syarat bahwa perempuan
itu sudah kawin dengan laki-laki lain secara baik, kemudian
telah terjadi perceraian dan sudah habis masa iddahnya.
6. Telah lepas dari masa iddah atau jangka waktu tunggu karena
putusnya perkawinan
H. Pernikahan Terlarang
1. Nikah Mut'ah
Nikah mut' ah adalah pernikahan yang diniatkan dan
diakadkan untuk sementara waktu saja (hanya untuk bersenag-
senang), misalnya seminggu, satu bulan, atau dua bulan. Masa
berlakunya pernikahan dinyatakan terbatas. Nikah mut'ah telah
dilarang oleh Rasulullah saw, sebagaimana dijelaskan dalam
sebuah hadis :" Dari R abi 'bin Sabrah al-juhanibahwasanya
bapaknya meriwayatkan, ketika dia bersama Rasulullah saw.
Beliau bersabda :" wahai sekalian manusia, dulu pernah aku
izinkan kepada kamu sekalian perkawinan mut'ah, tetapi ketahuilah
sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat.
" (HR. Muslim)
2. Nikah Syigar
Nikah syigar adalah apabila ada seorang laki-laki mengawinkan
anak perempuannya dengan tujuan agar seorang laki-laki lain
menikahkan anak perempuannya kepada lakilaki(pertama) tanpa
maskawin (pertukaran anak perempuan). Perkawinan ini
dilarang dengan sabda Rasulullah saw: Dari Ibnu Umar ra,
sesungguhnya Rasulullah sawmelarangperkawinansyigar. (HR.
Muslim)
3. Nikah Muhallil
Nikah muhallil adalah pernikahan yang dilakukan seorang laki-laki
166
terhadap seorang perempuan yang telah ditalak ba‟in, dengan
maksud pernikahan tersebut membuka jalan bagi bekas suami
(pertama) untuk nikah kembali dengan bekas istrinya tersebut,
setelah cerai dan habis masa idah.
Dikatakan muhallil karena dianggap membuat halal bekas suami
yang menalak ba' in untuk mengawini bekas istrinya. Pernikahan ini
dilarang oleh Rasulullah saw dengan hadis yang diriwayatkannya
dari ibnu mas' ud.
Dari IbnuAbbas ra, Rasulullah saw melaknat muhallil (yang
mengawini setelah ba'in) dan muhallil lahu (bekas suami pertama yang
akan mengawini kembali). (HR. Al-Khamsa)
167
3. Suami adalah pemimpin keluarga, harus bijak dalam mengambil
keputusan keluarga. Saling memelihara kehormatan dan mampu
menj aga rahasia rumah tangga.
4. Suami harus memberi kesempatan kepada istrinya berkarir,
sesuai dengan tingkat pendidikan istri.
J. Perceraian/Putusnya Pernikahan
Cerai dalam suatu pernikahan menurut Agama Islam adalah
perbuatan dibenci oleh Allah. Namun karena watak dasar Islam
bersifat lentur/terbuka terhadap kondisi tertentu di bidang
kemasyarakatan maka cerai diperbolehkan dalam keadaan
tertentu dengan syarat-syarat tertentu pula. Beberapa norma
yang berkenaan dengan perceraian dalam suatu perkawinan
adalah:
1. Cerai
Cerai, artinya lepas ikatan. Talak adalah perbuatan halal
yang dibenci Allah (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah), karena itu
hukumnya makhruh, dan dibolehkan jika ada alasan-alasan
yang sampai kepada tingkat darurat (terpaksa). Menurut UU.
No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan: cerai hanya dapat
dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama. Cerai terjadi
apabila diucapkan oleh suami dengan sadar dan disertai niat
ingin menceraikan istri.
2. Kematian
Siapapun diantara suami istri yang meninggal dunia, maka
secara otomatis putuslah tali pernikahan, yang menyebabkan seorang
suami boleh melakukan pernikahan lagi dengan wanita pilihan lain,
begitu juga seorang istri. Tetapi seorang isti-i dibolehkan
melakukan pernikahan setelah ditinggal suaminya, setelah habis
masa iddahnya (menunggu) yang lamanya telah diatur oleh syariat
Islam. Masaiddah atau masa menunggu bagi seorang istri yang
ditinggal suaminya yaitu, 1) sampai melahirkan anak, jika ia sedang
hamil, 2) empat bulan sepuluh hari (empat kali sucian) bila ia
ditinggalkan mati dalam keadaan suci.
3. Thalak
Thalak berarti melepaskan atau menanggalkan. Menurut istilah
thalak ialah melepaskan seorang perempuan dari ikatan
perkawinan. Seseorang yang akan mentalak istrinya, hendaklah
terlebih dahulu dipikirkan untung ruginya, terutama manfaat dan
mudzoratnya, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk istri dan
anak-anaknya.
Dalam ajaran Islam thalak bukan hal yang disukai bahkan
168
dibenci, meskipun tidak diharamkan. Sebagaimana hadits
Rasulallah SAW.:
169
tidak boleh menikah kembali kecuali memenuhi syarat.
Q.S.Al- Baqarah ayat 230
6. Zihar (penyerupaan).
Zihar (penyerupaan), yaitu menyerupakan istri dengan
ibu sendiri (sebagai alasan untuk tidak menggaulinya).
Dendanya ditebus dengan memerdekakan seorang
hamba sahaya, jika tidak didapatkan maka puasa 60 hari
170
berturut-turut, atau tidak – jika tidak bisa juga – member
makan 60 orang miskin (QS. 58. Al-Mujadillah: 2-4).
7. Íla‟.
Ila‟, yaitu seorang suami – karena marah –
mengharamkan dirinya untuk berhubungan intim dengan
istrinya dan bersumpah untuk menjauhi diri darinya,
Waktunya paling lama 4 bulan (QS. 2:226-227). Setelah
itu ada dua pilihan bagi suami: pertama; kembali kepada
istrinya dan harus membayar denda seperti denda
sunnah (memberi makan/pakaian 10 fakir miskin, atau
memerdekakan budak, atau puasa 3 hari (QS. 5:89) atau
kedua; menceraikan istrinya dan tidak boleh rujuk lagi
(disebut talak ba‟in sughra).
8. Li‟an, (saling melaknat).
Li‟an (saling melaknat), yaitu suami/istri menuduh
pasangannya berzina tetapi tidak dapat mengajukan 4
orang saksi, masing-masing bersumpah di hadapan
hakim empat kali dan sumpah yang kelima menyatakan
bahwa laknat Allah akan menimpa dirinya jika tidak
benar/benar apa yang dituduhkannya kepadanya (QS.
24. Al-Nur: 6-9). Kemudian keduanya diceraikan dan
tidak dapat rujuk.
9. Syiqaq.
Syiqaq adalah adalah perceraian yang diakibatkan oleh
pertengkaran suami istri serta tidak dapat didamaikan
lagi.
171
kepada suaminya, dan jatuhlah thalaq satu kepada
istrinya.
11. Iddah
Iddah adalah masa menunggu bagi perempuan yang
diceraikan atau ditinggal mati suminya untuk dapat menikah
lagi dengan laki-laki lain.
Masa iddah yang dijalani oleh perempuan banyak macamnya yaitu:
1) Iddah Istri yang dicerai dan ia masih hamil, lama iddahnya
tiga kali quru' (suci), sebagaimana firman Allah dalam:
Q.S. Al-Baqarah (2) : 228
172
(monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika
kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa
iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula)
perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-
perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang -
siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah
menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.”
Yang dimaksud dengan perempuan-perempuan yag tidak
haid dari ayat diatas adalah, perempuan yang masih belum haid
(belum dewasa), perempuan dewasa tetapi memang sudah tidak
haid karena adanya kelainan, dan perempuan yang sudah tua
(sudah berhentihaidnya)
2) Iddah istri yang ditinggal mati suami, lamanya empat bulan
sepuluh hari, seperti firmanAllah dalam:
Q.S. Al-Baqarah [21] : 234
173
yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil,
waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan
kandungannya. Dan barang -siapa yang bertakwa kepada
Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam
urusannya.”
12. Rujuk
Rujuk ialah kembalinya suami istri kepada ikatan perkawinan
setelah terjadi thalak raj'I dan selama masih dalam masa iddah.
Rujuk merupakan perbiatan terpuji, karena setelah suami istri
bercerai, keduanya kembali lagi secara utuh ke dalam iktan
perkawinan.
Ketentuan mengenai rujuk, perhatikan ayat-ayat pada slide
berikut :
174
Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka
menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya,
jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-
suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika
mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu
tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
K. Hikmah Pernikahan
1. Jembatan menghalalkan hubungan dalam upaya mendapatkan
kebahagiaan hidup dunia dan akhirat
2. Membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warohmah dan
menjalin kasih sayang (Ar-Rum: 21).
3. Melaksanakan sunnah Rasulullah Saw
4. Benteng untuk berbuat tercela.
5. Menjaga agama dan akhlak.
6. Silaturrahim dengan asas lestari.
7. Reproduksi/ regenerasi.
8. Ketenangan lahir-batin.
9. Tolong-menolong.
10. Membuka pintu rezeki.
11. Da‟wah
12. Pendidikan,
13. dll.
L. Nikah dalam Kompilasi Hukum Islam
1. Perkawinan Campuran
a. Pengertian
Pengertian perkawinan campuran disini mempunyai 3
(tiga) arti, yaitu :
1. Perkawinan campuran adalah perkawinan antara
dua orang di Indonesia yang tunduk pada hukum
175
yang berlainan karena perbedaan
kewargenagaraan.
2. Perkawinan antar orang yang berbeda warga
negara, jika keduanya orang Islam maka di
nikahkan di KUA.
3. Perkawinan antar dua pemeluk agama yang
berbeda. Islam tidak mengatur dan tidak ada
dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
Islam melarang perkawinan dua pemeluk agama
berbeda.
b. Mengapa perkawinan antar agama dilarang
1. Dalam satu keluarga harus satu akidah atau satu
tauhid. Bila beda agama berarti lepas hubungan
kekeluargaan, termasuk hak waris.
2. Tujuan perkawinan adalah menciptakan
ketenangan, kasih sayang dan kesajahteraan,
maka harus satu komando, satu agama.
c. Sebab terjadinya konflik rumah tangga adalah :
1. Tidak ada kesatuan anatara suami dan isteri
2. Rumah tangga tanpa agama
3. Rumah tangga banyak agama
4. Pengaruh orang tua
Untuk menciptakan keharmonisan keluarga perlu
pengenalan dulu antara calon istri dan calon suami. Kalau
beda agama akan kesulitan terwujudnya keharmonisan
keluarga.
2.Pembinaan Rumah Tangga
a. Kehidupan rumah tangga
1. Pasangan suami istri harus pasangan sesama
manusia bukan makhluk lain.
2. Suami itu seperti pakaian bagi isteri. Suami dan
isteri harus saling menghargai, menhormati dan
menutup rahasia.
3. Ketenangan sebagai tempat pengembangan nilai
yang baik
4. Suami adalah pimpinan dalam rumah tangga yang
wajib mengayomi, melindungi dan tanggung jawab
yang bersifat kedalam.
5. Asas musyawarah dipakai di rumah tangga
176
b. Fungsi keluarga
1 Orang tua sebagai pendidik pada pendidikn dasar
dan lanjutan dengan pendidikan tauhid
2. Orang tua sebagai pimpinan rumah tangga
c. Akibat dari perkawinan campuran
1. Kerenggangan antar keluarga suami/istri karena
perbedaan agama.
2. Keluarga yang berbeda agma akan terkucil dan sulit
kembali kekeluarga besar yang seiman tersebut.
3. Kesulitan perkembangan anak, sebab anak
mengikuti siapa. Ibunya atau bapaknya. Sementara
itu anak harus belajar agama yang di ikuti oleh
bapaknya atau ibunya.
3.Kawin hamil
Kawin Hamil adalah pernikahan yang dilakukan antara
seorang laki-laki dengan seorang laki-laki dengan seorang wanita
yang telah di hamilinya. Menurut komplimasi hukum Islam bab VIII
pasal 53, seorang wanita yang hamil di luar nikah ( sebelum nikah)
dapat di kawinkan dengan seorang laki-laki yang menghamilinya.
Perkawinan tersebut dapat dilakukan tanpa menunggu lebih dahulu
kelahiran anaknya. Bagi keduanya tidak perlu melakukan
pernikahan ulang setelah anak yang dikandungnya lahir.
177
BAB IX:
WARISAN DALAM ISLAM
A. Pengertian Warisan
Warisan adalah berpindahnya hak dan kewajiban atas segala
sesuatu baik harta mupun tanggungan dari orang yang telah
meninggal kepada keluarganya yang masih hidup. Sedangkan
yang disebut harta waris, adalah sisa dari kekayaan setelah
dipotong Harta waris sebelum dibagikan kepada ahli waris, supaya
dikeluarkan untuk keperluan:
1. Biaya pengurusan jenazah, misalnya biaya sakit, kain kafan,
ambulan, penguburan
Sabda Rasulullah saw. “kafanilah olehmu mayat itu dengan
dua kain kafan ihramnya” (H.R. Jama‟ah ahli hadis)
2. Melunasi utang piutang Jenazah (haqqul adami), jika ia
memiliki hutang.
3. Zakat. Jika harta warisan belum dizakati, hendaknya
dikeluarkan dulu zakatnya, sebelum dibagikan
4. Wasiat. Wasiat adalah pesan si pewaris sebelum meninggal,
agar bagian hartanya kelak setelah ia meninggal, diserahkan
kepada seseorang atau lembaga sepertiga dari harta yang
ditinggalkannnya. Firman Allah SWT. dalam QS. An-Nisa‟
11 :
Artinya: Allah mensyari‟atkan bagimu tentang (pembagian
pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bahagian seorang anak
lelaki sama dengn bagahian dua orang anak perempuan
dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua.
Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka
ia memperoleh saparo harta. dan untuk dua orang ibu-
bapanya (saja), Maka ibuna mendapat sepertiga; jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya
mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di
atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)
sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamudan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara
mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini
adalah ketetapan dari Allah Maha mengetahui lagi Maha
bijaksana.(QS.An Nisaa:11)
B. Hukum Waris
178
Akibat pernikahan dan adanya keturunan diperlukan aturan atau
hukum yang mengatur urusan pewarisan atau harta peninggalan.
Syariat Islam menyediakan hukum waris Islam atau faraidh,
yaitu hukum yang mengatur dan menetapkan ahli waris dan
bagian-bagian yang diperoleh dengan sebab adanya orang yang
meninggal dunia.
Hukum waris Islam diatur berdasarkan jauh dekatnya
hubungan huungan nasab antara seseorang dengan seseorang
yang meninggal dunia . Sementara perbedaaan bagian antara
laki-laki dan perempuan. Karena itu dalam waris Islam terdapat
perbedaan antara bagian laki-laki dan perempuan sebagai
bentuk aktualisasi keadilan yang membedakan peran dan
tanggung jawab masing-masing.
Hukum waris merupakan aturan yang berkaitan dengan
pembagian harta pusaka yang ditinggalkan mati oleh
pemiliknya dan menjadi hak ahli warisnya. Pembagian harta
warisan wajib dilakukan oleh ahli warisnya berdasarkan
ketentuan Allah sebagiaman diatur dalam Al-quran dan sunnah
Rasul.
Allah telah menciptakan aturan tentang tata cara
membagi harta warisan dengan baik dan adil. Umat Islam
diwajibkan melaksanakan hukum Nya dalam semua aspek
kehidupan. apa saja yang membagi harta waris tidak sesuai
dengan hukum Allah, maka Allah akan menempatkan mereka di
neraka selama-lamanya. Perhatikan ayat di bawah ini:
Q.S An-Nisa Ayat: 14
179
atau harta pusaka dari seorang yang meninggal dunia. Jumlah ahli
waris semuanya ada 25 orang,l5 orang dari pihak laki-laki, 10
orang dari pihak perempuan
a. Ahli Waris Pihak Laki-laki
1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki (anak laki-laki dari anak laki-laki dan terus ke bawah)
3. Bapak
4. Kakek (bapaknya bapak, dan seterusnya)
5. Saudara laki-laki sekandung
6. Saudara laki-laki sebapak
7. Saudara laki-laki seibu
8. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
9. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
10. Saudara laki-laki bapak yang sekandung
11. Anak laki-laki dari saudara laki-laki bapak seayah
12. Suami
13. Laki-laki yang memerdekakan mayat tersebut.
Jika semua ahli waris tersebut ada, maka yang berhak menerima
warisan hanya tiga yaitu 1) Bapak, 2) Anak laki-laki 3) Suami
b. Ahli Waris Pihak Perempuan
1. Anak perempuan
2. Anak perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah
3. Ibunya bapak
4. Ibunya ibu dan seterusnya ke atas
5. Ibu
6. Saudara perempuan sekandung
7. Saudara perempuan sebapak
8. Saudara perempuan seibu
9. Istri
10. Wanita yang memerdekakan mayat tersebut
Jika semua ahli waris perempuan ada, yang berhak menerima
warisan hanya lima, yaitu ;
1. Istri,
2. Anak perempuan,
3. Cucu perempuan (anak perempuan dari anak laki-laki),
4. Ibu dan
5. Saudara perempuan sekandung.
Selanjutnya jika ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan
semuanya ada, yang berhak mewarisi harta hanya lima orang saja,
yaitu
1. Suami atau istri,
2. Ibu,
180
3. Bapak,
4. Anak laki-laki,
5. Anak perempuan
D. Sebab-Sebab Mendapatkan Warisan
1. Adanya Hubungan Perkawinan. Contoh: Seorang suami
meninggal, maka istrinya mendapat warisan dari suaminya
2. Adanya Hubungan Nasab (Keturunan). Contoh: Jika
seorang ayah meninggal, anaknya mendapat warisan dari
ayahnya.
3. Adanya hubungan agama. ahli waris beragama sama
dengan agama yang meninggal dunia yaitu beragama Islam
Jika ahli waris tidak ada, harta waris diserahkan ke
baitulmal untuk kepentingan perjuangan Islam
4. Hamba sahaya. Ahli waris disebabkan telah
memerdekakan hamba sahaya.
Ahli waris karena perkawinan
1. Bagian suami.
Suami yang ditinggal mati istrinya memperoleh bagian
dari harta peningglan istrinya sebagai berikut:
a. Setengah dari harta peninggalan, jika istrinya tu tidak
meninggalkan antara dari dirinya atau suami-suami
sebelumnya
b. Seperempat dari harta peninggalan, jika istrinya itu
meninggalkan anak dari dirinya maupun dari suami-
suami sebelumnya.
Besar bagian suami didasarkan kepada firman Allah :
Artinya:”Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari
harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu jika mereka tidak
mempunyai anak, jika istrimu mempunyai anak, maka kamu
mendapat seperempatdari harta yang ditinggalkan mereka.
(QS.An-Nisa,4:12)
2. Bagian Istri
Istri yang ditinggal mati suaminya memperoleh bagian dari
harta peninggalan suaminya sebagai berikut:
a. Seperempat dari harta peninggalan, jika suaminya itu tidak
meninggalkan anak, baik dari dirinya, istri-istrinya
yang lain, atau mantan-mantan istrinya.
b. Speredelapan dari harta peninggalan, jika suaminya itu
meninggalkan anak, baik dari dirinya, istri-istrinya yang
lain, atau mantan-mantan istrinya. Besarnya bagian istri
tersebut didasarkan kepada firman Allah:
181
Artinya: para istri memperoleh seperempat harta yang
kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika
kamu mempunyai anak, maka istri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan ... (QS.An-
Nisa, 4:12)
Ahli waris karena kekerabatan
1. Anak perempuan
Anak perempuan, baik yang meninggal itu ibu atau
ayahnya, maka bagian dari harta pusaka adalah:
a. Setengah, jika hanya seorang diri; tidak bersama-sama
dengan saudara laki-laki. Hal ini sejalan dengan firman
Allah yang artinya:
Artinya: .....Jika ia (anak perempuan) hanya seorang diri
bagiannya separoh.....(QS. 4:11).
b. Dua pertiga, jika anak perempuan tersebut dari dua orang
atau lebih dan tidak bersama dengan anak laki-laki.
Pembagian ini sejalan dengan firman Allah yang artinya:
Artinya: .....maka jika mereka itu perempuan-perempuan
lebih dari dua orang, bagi mereka dua pertiga dari harta
peninggalannya(QS. 4: 11).
c. Ashabah, yaitu sisa harta yang telah dibagikan kepada ahli
waris lain.
2. Anak laki-laki
Anak laki-laki tidak termasuk ahli waris yang sudah
ditentukan kadarnya (ashabul furudl), ia menerima sisa
(„ashabah) dari ashabul furudl, penerima seluruh harta waris
apabila tidak ada dzawil furudl seorangpun.
Anak laki-laki adalah ahli waris utama, sekalipun
kedudukan dalam warisan sebagai penerima sisa. Ia dapat
menghalangi sama sekali ahli waris lain (hijab hirman) atau
mengurangi penerimaan ahli waris lain (hijab nuqshan).
Sedangkan ia sendiri tidak bisa dihijab oleh ahli waris
manapun, bahkan ia dapat menarik saudara perempuannya
untuk menerima „ashuabah bersama dengan penerimaan
yang berlipat dua dari saudara perempuannya itu. Rincian
harta waris bagi anak laki-laki sebagai berikut:
a. Jika si mati hanya meninggalkan seorang atau beberapa
orang anak laki-laki, maka anak laki-laki mewarisi seluruh
harta.
182
b. Jika si mati meninggalkan seorang atau beberapa anak laki-
laki dan meninggalkan ahli waris ashabul furudl, anak laki-
laki mendapatkan sisa(„ashabah) setelah diambil oleh
ashabul furudlnya.
c. Jika si mati meninggalkan anak laki-laki, anak perempuan,
dan ashabul furudl, maka seluruh harta setelah diambil oleh
ashabul furudl dibagi dua, dengan ketentuan anak laki-laki
dua kali bagian anak perempuan.
Semua ahli waris dapat dihijab hirman oleh anak laki-laki,
kecuali ibu, bapak, suami, istri, anak perempuan, kakek dan
nenek yang hanya dapat dihijab nuqshan.
183
baik ia tunggal atau banyak, baik ashabah bersama atau
tidak.
4. Anak laki-laki pancar laki-laki (abnaul abnai).
Cucu laki-laki pencar laki-laki adalah anak laki-laki dari
anak laki-laki turun si mati yang mempunyai hak mewarisi,
karena itu ia termasuk far‟ul waris. Hak pusaka far‟ul waris
adakalanya dengan jalan fardl, seperti anak perempuan dan
cucu perempuan pancar laki-laki terus ke bawah, dan
dengan cara „ushubah, yaitu anak laki-laki dan cucu laki-
lakki pancar laki-laki terus ke bawah.
Hak cucu laki-laki pancar laki-laki adalah ushubah
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Jika si mati mempunyai anak dan tidak ada ahli waris yang
lain, ia menerima seluruh harta peninggalan „ushubah. Jika
ada ahli waris ashabul furudl, ia menerima sisa ashabul
furudl.
b. Jika cucu itu mewarisi bersama-sama dengan saudari-
saudarinya, ia membagi seluruh harta atau sisa harta dari
ashabul furudl dengan saudari-saudarinya, dengan ketentuan
laki-laki dua bagian dan perempuan satu bagian.
Kebanyakan ahli waris dapat dihijab oleh cucu laki-laki
pancar laki-laki kecuali: ibu, ayah, suami, istri, anak
perempuan, cucu perempuan pancar laki-laki, kakek, dan
nenek. Ia dapat dihijab oelh setiap anak laki-laki yang lebih
tinggi derajatnya. Salain far‟ul waris yang telah disebutkan
diatas, terdapat pula far‟ul waris yang lain, yaitu anak yang
berada dalam kandungan, anak hasil dari zina dan anak dari
perkawinan yang telah terjadi li‟an(antara suami istri terjadi
tuduh menuduh berbuat zina). Anak yang berada dalam
kandungan tergolong ahli waris yang berhak menerima
warisan dengan syarat:
a. Anak itu sudah berwujud pada saat orang yang mewariskan
mati. Untuk menentukannya dapat dipertimbangkan
pandangan bahwa sperma yang berada dalam rahim,
apabila tidak hancur, berarti mempunyai zat hidup, karena
itu dihukumkan hidup. Untuk meyakionkan, sekarang ini
telah terdapat alat untuk melihat janin dalam rahim, antara
lain alat USG, sehingga untuk menentukannya tidak lagi
mengalami kesulitan.
b. Anak itu dilahirkan dalam keadaan hhidup yang dapat
dilihat secra indrawi dengan adanya tanda-tanda hidup,
184
seperti bergerak dan menangis sebagimana disabdakan
Nabi:
Artinya: Apabil anak yang dilahirkan itu berteriak, maka
diberi pusaka(HR. Ashab al sunan).
Oleh karena itu, jika ada yang meninggal dunia
meninggalkan anak dalam kandungan istrinya, sebaiknya
pembagian harta pusakanya ditangguhkan sampai bayi yang
ada dalam kandungan istrinya dilahirkan sehingga dapat
diketahui secara jelas, apakah bayi itu hidup, jenis
kelaminnya laki-laki atau perempuan, satu atau kembar.
Anak yang dihasilkan dari perzinahan atau anak yang
dilahirkan dari perkawinan yang tidak sah menurut syariat,
atau anak yang dilahirkan kurang dari 6 bulan dari akad
perkawinan, dihukumkan anak zina yang hanya bernasab
kepada ibunya; tidak kepada bapak biologisnya. Karena itu,
ia hanya mendapatkan waris dari ibunya. Demikian pula
anak yang lahir dari pernikahan yang sudah terjadi li‟an,
yaitu tuduh menuduh zina antara suami istri, anak yang
dilahirkan setelah terjadi li‟an dinasabkan kepada ibunya,
kerana itu tidak mendapatkan waris dari pihak bapaknya.
Nabi menyatakan:
Artinya: Dari Ibn umar bahwasanya seorang laki-laki
yang meli‟an istrinya dan mengingkari anak istri tersebut,
maka nabi menceraikan keduanya dan mempertemukan
anaknya kepada ibunya. (HR. Bukhari dan Abu Daud).
5. Ibu
Bagian ibu ada tiga macam, yaitu:
a. Seperenam, dengan ketentuan bila ia mewarisi bersama-
sama dengan far‟ul waris bagi si mati, baik seorang atau
lebih, laki-laki maupun perempuan. Ia bersama dengan
saudara-saudara si mati baik sekandung, seibu maupun
seayah, atau campuran seibu dan seayah, baik laki-laki
maupun perempuan. Berdasarkan firman Allah:
Artinya: ..... Dan untuk ibu bapak, masing-masing
seperenam dari harta yang meninggal jika yang meninggal
mempunyai anak (QS. 4: 11).
Dan dalam kelanjutan ayat tersebut:
Artinya: ..... Jika yang meninggal itu mempunyai saudara-
saudara, maka ibunya memperoleh seperenam. (QS. 4: 11).
185
b. Sepertiga, dengan ketentuan tidak bersama-sama dengan
far‟ul waris bagi si mati atau dua orang atau lebih saudari-
saudari si mati. Ia sendiri yang mewarisi dengan ayah si
mati.
Apabila ia bersama dengan far‟u ghairu warits bagi si mati atau
bersama dengan seorang saudari-saudari bagi si mati. Ia tidak
berhijab dari sepertiga menjadi seperenam fardl. Bila ia
mewarisi bersama dengan ayah salah seorang suami istri, ia
mendapat sepertiga sisa harta peninggalan.
Artinya: .... Jika yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia
diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat
sepertiga .....( QS. 4: 11)
Ahli waris tidak ada yang dapat menghijab hirman terhadap ibu,
tetapi ada dua ahliu waris yang dapat menghijab nuqshan
padanya, yaitu:
a. Far‟ul waris, secara mutlak
b. Dua orang saudara, secara mutlak
Sedangkan ibu dapat menghijab ahli waris, yaitu:
1. Ibunya ibu (ummul ummi)
2. Ibunya ayah (ummul abi) ke atas.
6. Nenek
Nenek mendapatkan bagian seperenam dengan ketentuan bila ia
tidak bersama ibu, baik sendiri atau beberapa orang. Ahli waris
yang dapat menghijab nenek adalah : ibu, ayah, kakek shahih,
dan nenek yang dekat.
7. Ayah
Ayah mempusakai harta peninggalan anaknya dengan tiga
macam bagian, yaitu :
a. Seperenam, dengan ketentuan bila anak yang diwarisi
mempunyai far‟ul waris mudzakkar (anak turun si mati
yang berhak mewarisi yang laki-laki), yaitu anak laki-
laki dan cucu laki-laki pancar laki-laki sampai ke bawah.
b. Seperenam dan ushubah, dengan ketentuan bila anak
yang diwarisi mempunyai far‟u waris muannats (anak
turun si mati yang perempuan), yakni anak perempuan
dan cucu perempuan pancar laki-laki sampai ke bawah.
Ketentuan ini didasarkan kepada firman Allah :
Artinya: …dan untuk ibu bapak, masing-masing
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal mempunyai anak…(QS. An-Nisa,4:11)
186
c. Ushubah, bila anak yang diwarisi harta peninggalannya
tidak mempunyai far‟u waris sama sekali, baik laki-laki
maupun perempuan, sesuai dengan firman Allah :
Artinya: …tetapi jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu
bapaknya(saja), maka untuk ibunya sepertiga
peninggalan..(QS.4:11)
8. Kakek
Istilah kakek dalam ilmu waris memiliki dua arti, yaitu
kakek shahih dan kakek ghairu shahih. Kakek shahih
adalah kakek yang hubungan nasabnya dengan si mati
tanpa diselingi oleh perempuan, seperti ayahnya ayah
(abul ab) dan ayah dari ayahnya ayah (abu abil ab)
sampai keatas. Sedangkan kakek ghiru shahih adalah
kakek yang hubungan nasabnya dengan si mati diselingi
oleh perempuan, seperti ayahnya ibu(abul um) dan ayah
dari ibunya ayah(abu ummu ab).
Kakek dapat menduduki status ayah bila tidak ada ayah
dan saudara-saudara atau saudari-saudari sekandung
atau seayah, karena itu ia mendapat bagian pusaka
seperti bagian ayah, yaitu:
a. Seperenam, jika si mati mempunyai anak turun yang
berhak waris yang laki-laki(far‟u waris mudzakkar)
b. Seperenam dan sisa dengan jalan ushubab bila si mati
mempunyai anak turun perempuan yang berhak waris
(far‟u waris muannats)
c. Ushubah, jika si mati tidak mempunyai far‟u waris secara
mutlak, baik laki-laki maupun perempuan. Ia juga
mempunyai anak turun yang tidak berhak menerima
pusaka (far‟u ghairu warits), seperti cucu perempuan
pancar perempuan.
Ahli waris yang dihijab oleh kakek shahih adalah saudara-
saudara kandung, saudara-saudara seayah, saudara-saudara
seibu, anak laki-lakinya saudara kandung, anak laki-lakinya
saudra seayah, paman sekandug, paman seayah, anak laki-
lakinya paman sekandung, anak laki-lakinya paman sayah,
dan kakek shahih yang lebih jauh.
Adapun ahli waris yang dapat menghijab kakek adalah ayah
dan kakek shahih yang lebih dekat dengan si mati.
9. Saudara kandung
187
Saudari kandung mempusakai hara peninggalan dengan lima
macam bagian, yaitu:
a. Separuh, jika ia hanya seorang diri dan tidak mewarisi bersama
dengan saudara kandung yang menjadikannya „ashubah (bil
ghir)
b. Dua pertiga, jika ia dua orang atau lebih dan tidak mewarisi
bersama-sama dengan saudara kandung yang menjadikannya
„ashabah (bil ghair)
c. „ushubah (bil ghair), jika ia, baik tunggal maupun jamak
mewarisi bersama-sama dengan saudara kandung baik tunggal
maupun banyak. Mereka dapat menerima seluruh harta
peninggalan atau sisa dari dzawil furudl dengan ketentuan
bahwa penerimaan laki-laki dua kali bagian penerimaan
perempuan
d. Ushubah (ma‟al ghair), jika ia mewarisi bersama-sama:
1) Seorang atau beberapa orang anak perempuan
2) Seorang atau beberapa orang anak cucu perempuan
pancar laki-laki
3) Anak perempuan dan cucu perempuan pancar laki-laki,
dengan ketentuan ia tidak bersama-sama enga saudara
kandungnya yang menjadi ma‟ashibnya. Bila ada
saudara kandung, penerimaannya kembali seperti nomor
c di atas. Di sini keushubahannya, seolah menempati
status saudara kandung. Konsekuensinya, andaikata
sudah tidak ada sisa yang tinggal setelah pembagian
kepada dzawil furudl, maka ia tidak menerima apa-apa.
188
Saudari seayah mendapat bagian sebagai berikut:
Ahli waris yang dapat dihijab oleh saudari seayah adalah: anak
laki-laki saudara sekandung, kemenakan ayah, paman
sekandung, paman seayah, anak laki-laki paman sekandung, dan
saudara sepupu seayah.
189
Anak-anak ibu(saudara-saudara tiri si mati) ini tidak dapat
menghijab siapapun, bahkan mereka dapat dihijab oleh:anak
laki-laki atau perempuan, ayah, dan kakek sahih.
190
Para ahli waris yang berhijab oleh saudra seayah adalah anak
laki-laki saudara sekandung, anak laki-laki saudara seayah, paman
sekandung , paman seayah, anak laki-laki paman sekandung , anak
laki-laki paman seayah.
Sedangkan ahli waris yang dapat menghijab saudara seayah
adalah saudara sekandung, ayah, anak laki-laki, cucu laki-laki pacar
laki-laki, saudari sekandung, bila bersama anak perempuan atau
cucu perempuan pacar laki-laki.
14. Anak-anak saudara (kemenakan laki-laki), panam dan
anak- anak paman(saudara sepupu laki-laki)
Mereka tergolong ahli waris „ashabah yang utama setelah anak
laki-laki saudara seayah, paman sekandung, paman seayah,
anak laki-laki paman sekandung, dan anak laki-laki panam
seayah
Anak laki-laki dapat menghijabnya adalah: anak laki-laki,
saudara seayah, paman sekandung, paman seayag, anak laki-
laki- paman sekandung, dan anak laki-laki paman seayah.
Ahli waris yang dapat menghujabnya adalah : anak laki-laki,
cucu laki-laki pacar laki-laki, bapak, kakek, saudara laki-laki
sekandung, saudara seayah, saudari sekandung, atau seayah
yang menjadi „ashabah ma‟alghair bersama-ama dengan anak
perempuan atau cucu perempuan.
Anak laki-laki saudara seayah dapat menghijab ahli waris:
paman sekandung, paman seayah, anak paman sekandung , anak
paman seayah.
Ahli waris yang dapat menghijabnya adalah: anak laki-laki ,
cucu laki-lakipacar laki-laki, kakek , saudara kandung, sauadara
seayah, anak laki-laki saudara sekandung, saudarai sekandung
atau seayah yang menjadi „ashabah ma‟al ghair bersama-sama
dengan anak perempuan atau cucu perempuan.
Paman dapat menghijab ahli waris: paman seayah, anak laki-
laki paman sekandung, anak laki-laki paman seayah.
Ahli waris yang dapat menghijab paman adalah: anak laki-laki,
cucu laki-laki pacar laki-laki, ayah, kakek, saudara kandung,
saudara seayah, anak laki-laki saudara sekandung,saudari
sekandung atau seayah „ashabah ma‟al ghair besama-sama anak
permpuan, dan anak laki-laki saudara seayah.
Paman seayah dapat menghijab ahli waris: anak laki-laki paman
sekandung, dan anak laki-laki paman seayah.
Para ahli waris yang menghijab paman seayah adalah: anak
laki-laki, cucu laki-laki pacar laki-laki, ayah, kakek, saudara
kandung, saudara seayah, anak laki-laki saudara sekandung,
191
saudari sekandung atau seayah yang menjadi „ashaba ma‟al
ghair bersama-sama anak perempuan atau cucu perempuan,
anak laki-laki saudara seayah, paman sekandung.
Anak laki-laki paman sekandung hanya dapat menghijab anak
laki-laki paman seayah. Ahli waris yang dapat menghijab anak
laki-laki paman sekandung adalah: anak laki-laki, cucu laki-laki
pacar laki-laki,ayah, kakek, saudara kandung, saudara seayah,
anak laki-laki saudara sekandung, saudara sekandung atau
seayah yang menjadi „ashabah ma‟al ghair bersama anak
perempuan, anak laki-laki saudra seayah, paman sekandung,
paman seayah dan anak laki-laki paman sekandung.
E. Penghalang Mendapatkan Warisan
Ahli waris dapat kehilangan hak untuk mendapatkan warisan apabila :
1. Hamba atau budak, selama seseorang berstatus sebagai budak,
maka tidak mendapatkan warisan dari keluarganya yang
meninggal. Diterangkan dalam firman Allah swt: hamba yang
dimiliki (berbuat), tidak memepuyai kekuasaan atas segala
sesuatu” (QS An Nisa: 75).
2. Pembunuh. Dalam hal ini ahli waris yang memebunuh Al
Muwaris (si mati). S abgda Rasulullah saw “yang membunuh
tidak mewerisi dari yang dibunuhnya” (HR. Nasai).
3. Murtad, seseoarang yang keluar dari agama Islam kehilangan
untuk mewarisis harta, keluarganya yang meninggal. Sabda
Rasulullah saw, “ Orang Islam tidak dapat mewarisi harta
orang kafir dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta
orang muslim” (HR. Bukhari Muslimin).
4. Adanya perbedaan agama.
F. Rukun Waris
a. Adanya yang meninggal dania, baik hakiki, atau hukmi.
b. Adanya harta waris
c. Adanya ahli waris, maksudnya ketika yang mewariskan
meninggal dunia pada saat itu ahli waris hidun. baik hakiki
maunun hukmi.
G. Syarat-syarat Waris.
a. Matinya mawaris. Orang yang akan mewariskan benar-
benar sudah mati, baik mati hakiki, hukmi atau mati takdiri
b. Hidupnya ahli waris. Ahli waris masih hidup pada saat
mawaris meninggal
c. Tidak ada penghalang untuk menerima harta waris
Dalil Naqli Tentang Mawaris
a. Q.S. An-Nisa [4l] : 7
192
Artinya : “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi
orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik
sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah
ditetapkan.”
b. Q.S. An-Nisa [4] : 11
c. Q.S.An-Nisa [4] : l2
194
J. Hikmah Mawaris
1. Untuk menunjukkan ketaatan kita kepadaAllah Swt.
2. Untuk menegakkan keadilan
3. Untuk tetap menjaga keharmonisan antar saudara/kerabat
4. Untuk lebih mensejahterakan keluarga yang ditinggal.
5. Untuk kemaslahatan umat
6. Mengangkat martabat dan hak kaum wanita sebagai ahli
waris
7. Semua ahli waris mendapat harta warisan secara demokratis
8. Menegakkan nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan serta
keadilan.
195
sisanya dibagikan untuk para ahli warisnya. Yang dapat
mewarisi berdasarkan janji bersaudara inipun juga harus laki-
laki.
196
bapak, dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bagian yang telah ditetapkan”.
Kemudian dalam ayat 11 Surat An Nisa‟ itu pula Allah SWT.
Berfirman yang
artinya :
Artinya: ”Allah mensyari‟atkan bagimu tentang (pembagian
pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bahwa bagian seorang anak
laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan”.
Selanjutnya pewarisan yang didasarkan perjanjian bersaudara
(janji setia) juga dihapuskan dengan turunnya Ayat 6 Surat Al
Ahzab, yang artinya :
Artyiya: ”..... dan orang-orang yang mempunyai hubungan
darah sebagiannya adalah lebih berhak daripada sebagian
yang lain di dalam kitab Allah daripada orang-orang mukmin
dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat
baik kepada saudara-saudaramu .....”
Kemudian mengenai kewarisan anak angkat juga dihapuskan
dengan turunnya Ayat 4 dan 5 Surat Al Ahzab, yang artinya :
Artinya: ”..... dan Tuhan tidak menjadikan anak-anak
angkatmun sebagai anak kandungmu sendiri. Yang demikian itu
hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Sedang Allah
mengatakan yang sebenarnya dan menunjukkan jalan (yang
benar). Panggillah mereka dengan memakai nama-nama
ayahnya (yang sebenarnya) sebab yang demikian itu lebih adil
di sisi Allah. Jika kamu tidak mengetahuiayahnya maka
(panggillah mereka seperti memanggil) saudara-saudaramu
seagama dan maula-maulamu (yakni orangorang yang berada
di bawah pemeliharaanmu).....”
Kemudian di dalam Surat Al Ahzab, ayat 40 ditegaskan pula
bahwa :
Artinya: ”Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari
seorang laki-laki di antara kamu tetapi dia adalah Rasul Allah
dan penutup para nabi.....”
Sedang mengenai kewarisan berdasarkan persaudaraan karena
hijrah antara Muhajirin dengan Anshor telah dihapuskan dengan
Hadits Nabi Muhammad SAW. Dalam sabdanya :
Artinya : ”Tidak ada kewajiban berhijrah lagi setelah
penaklukan kota Makkah” (HR. Bukhori dan Muslim)
Hal ini terjadi pada tahun ke-8 Hijriyah. Hadits inilah yang
dijadikan dasar penghapusan hubungan Muwarosah antara
Muhajirin dengan Anshor.
197
Ayat-ayat kewarisan itu turun secara berangsur-angsur, sejak
tahun ke-II sampai VII Hijriyah, selama Rasulullah berada di
Madinah, menggantikan hukum adat kewarisan Jahiliyah,
sejalan dengan yat-ayat yang mengatur hukum keluarga
(perkawinan). Demikian pula praktik pelaksanaan hukum
kewarisan pun secara berangsur-angsur mengalami perubahan
demi perubahan yang kesemuanya itu menuju kesempurnaan,
yaitu suatu tatanan masyarakat yang tertib, adil, dan sejahtera
denga susunan keluarga yang bersifat bilateral.
Meskipun diyakini bahwa sistem kekeluargaan yang dibangun
oleh syari‟ah Islam adalah sistem kekeluargaan yang bersifat
bilateral, akan tetapi ternyata pengaruh adat istiadat masyarakat
Arab jahiliyah yang Patrilineal itu sangatlah kuat sehingga
mempengaruhi pikiran dan praktik hukum keluarga dan Hukum
Kewarisan pada masa sahabat dan sesudahnya. Praktik
kekeluargaan Patrilineal yang sangat menonjol tersebut telah
mempengaruhi praktik dan Ijtihad hukum kewarisan Islam pada
masa lalu sampai sekarang. Dan paham inilah yang masuk dan
diajarkan kepada ummat Islam di Indonesia.
Ketidakseimbangan telah terjadi karena hukum keluarga yang
dianut dan berkembang di Indonesia adalah kukum keluarga
yang bersifat bilateral, sementara hukum kewarisan yang
diajarkan bersifat patrilineal sehingga hukum kewarisan
patrilineal tersebut kurang mendapat sambutan secara tangan
terbuka karena dirasa belum/ tidak pas untuk diterapkan dalam
praktik. Di sinilah diperlukan adanya kaji ulang dan ijtihad baru
di bidang hukum kewarisan.
Dalam upaya menghapuskan perbudakan maka Rasulullah
SAW. Menetapkan bahwa orang yang memerdekakan budak,
maka ia menjadi ahli warisnya bila budak itu meninggal dunia.
Akan tetapi pada masa kini perbudakan secara yuridis sudah
tiada lagi.
Hukum Kewarisan dan Hukum Perkawinan, masing-masing
merupakan Sub-sistem yang membentuk suatu Sistem Hukum,
yaitu hukum keluarga. Antara keduanya tidak dapat dipisahkan
ibarat sekeping mata uang, antara satu sisi dengan sisi lainnya.
Oleh karenanya kedua hukum tersebut harus mempunyai sifat,
asas dan gaya yang sama sehingga dapat dilaksanakan dengan
enak dan selaras dalam dalam tata kehidupan keluarga, apabila
terjadi ketidakselarasan maka dapat dipastikan akan terjadi
ketimpangan dalam kehidupan keluarga. Demikian pula halnya
dengan Hukum Kewarisan Islam sebagai sub-sistem dari sistem
198
hukum keluarga harus memiliki sifat, asas, dan gaya yang sama
dengan Hukum Perkawinan.
Selain itu dalam pengajaran Hukum Waris pun terdapat
berbagai Mahdzab, seperti halnya pada bidang-bidang lain.
Perbedaan ini terjadi karena faktor sejarah, tata kehidupan
masyarakat, pemikiran, ketaatan terhadap syari‟ah, dan
sebagainya yang berbeda-beda. Demikian pula dalam
perkembangan hukum kewarisan Islam di Indonesia, dan juga
menimbulkan disparitas nya putusan Pengadilan Agama.
Disamping itu, corak kehidupan masyarakat Arab yang bersifat
patrilineal sangat menonjol dan mempengaruhi pemahaman
terhadap Hukum Kewarisan Islam. Hukum Kewarisan Islam
yang kita pelajari selama ini adalah hukum kewarisan yang
lebih bercorak patrilineal karena berasal dari pemahaman
masyarakat Arab tempo dulu sehingga sering kali terasa janggal
dan tidak adil karena tidak corak kehidupan masyarakat kita
adalah bilateral, sementara hukum waris yang akan diterapkan
bercorak Patrilineal.
Keadaan yang demikian ini sangat dirasakan oleh Mahkamah
Agung RI. Sebagai Pengadilan Negara tertinggi yang bertugas
membina jalannya peradilan dari semua lingkungan peradilan,
termasuk disini adalah Peradilan Agama.
Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No.7, Tahun 1989,
tentang Peradilan Agama, dimana kekuasaan Pengadilan Agama
untuk memeriksa, mengadili, serta menyelesaikan sengketa
waris dipulihkan kembali, maka kebutuhan terhadap hukum
waris yang jelas, rinci, mudah dan pasti serta sesuai dengan tata
kehidupan masyarakat Islam Indonesia yang bilateral semakin
terasa mendesak. Untuk itu pulalah kemudian dikeluarkan
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang diberlakukan dengan
Instruksi Presiden Nomor 1, tahun 1991, tanggal 10 Juni 1991.
Menghadapi kenyataan tentang perkembangan hukum
kewarisan Islam di Indonesia, KH. Ali Darokah mengatakan
bahwa :
”Walhasil, hukum faraid yang ada perlu dibina lagi, terutama
untuk Indonesia, dengan hukum faraid konkrit yang dapat
mencakup soal-soal penting yang berkait dengan faraid, dan
mencakup petunjuk ayat-ayat Al Qur‟an dan Al Hadits yang
telah dipotong oleh sebagian ulama fiqih. Bila pembinaan itu
berhasil, Insya Allah persengketaan kita dapat terselesaikan.”
Untuk menghilangkan kesenjangan antara teori kewarisan
dalam ilmu fiqih dengan rasa keadilan masyarakat islam maka
199
perlu diadakan kaji ulang terhadap hukum kewarisan Islam
yang ada dan mengembalikannya kepada sumber aslinya, yaitu
Al Qur‟an dan As Sunah. Untuk itu, diluncurkanlah gagasan
tentang reaktualisasi Hukum Islam yang kemudian hasilnya
dituangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) ini.
K. Wasiat.
1. Pengertian Wasiat
Kata wasiat (washiyah) diambil dari kata washshaitu asy-
syaia, uushiihi, artinya aushaltuhu (aku menyampaikan
sesuatu). Maka muushii (orang yang berwasiat) adalah orang
yang menyampaikan pesan diwaktu dia hidup untuk
dilaksanakan sesudah dia mati (Sayyid Sabiq, 1987 : 230).
Menurut Amir Syarifuddin secara sederhana wasiat
diartikan dengan: “ penyerahan harta kepada pihak lain yang
secara efektif berlaku setelah mati pemiliknya “.
Menurut istilah syara‟ wasiat adalah pemberian seseorang
kepada orang lain baik berupa barang, piutang ataupun
manfaaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat sesudah
orang yang berwasiat mati (Sayyid Sabiq, 1987 : 230).
Menurut Hukum Islam pasal 171 huruf f wasiat adalah
pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau
lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia
(Elimartati, 2010 : 59).
Wasiat adalah amanah yang diberikan seseorang menjelang
ajalnya atau dia membuat dan berwasiat dalam keadaan sedang
tidak sehat, artinya bukan ketika menjelang ajal. Wasiat dapat
dipandang sebagai bentuk keinginan pemberi wasiat yang
ditumpahkan kepada orang yang diberi wasiat. Oleh karena itu,
tidak semua wasiat itu berbentuk harta. Adakalanya wasiat itu
berbentuk nasihat, petunjuk perihal tertentu, rahasia orang yang
memberi wasiat, dan sebagainya (Beni Ahmad Saebani, 2009 :
343).
Dari berbagai definisi tersebut dapat di jelaskan bahwa
wasiat adalah pemberian seseorang pewaris kepada orang lain
selain ahli waris yang berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
2. Hukum Wasiat
Menurut Sayyid sabiq, hukum wasiat itu ada beberapa macam yaitu :
a. Wajib
Wasiat itu wajib dalam keadaan jika manusia mempunyai
kewajiban syara‟ yang dikhawatirkan akan disia-siakan bila dia
tidak berwasiat, seperti adanya titipan, hutang kepada Allah dan
hutang kepada manusia. Misalnya dia mempunyai kewajiban
200
zakat yang belum ditunaikan, atau haji yang belum
dilaksanakan, atau amanat yang harus disampaikan, atau dia
mempunyai hutang yang tidak diketahui selain dirinya, atau dia
mempunyai titipan yang tidak dipersaksikan.
b. Sunnah
Wasiat itu disunatkan bila diperuntukkan bagi kebajikan, karib
kerabat, orang-orang fakir dan orang-orang saleh.
c. Haram
Wasiat itu diharamkan jika ia merugikan ahli waris. Wasiat
yang maksudnya merugikan ahli waris seperti ini adalah batil,
sekalipun wasiat itu mencapai sepertiga harta. Diharamkan juga
mewasiatkan khamar, membangun gereja, atau tempat hiburan.
c. Makruh
Wasiat itu makruh jika orang yang berwasiat sedikit harta,
sedang dia mempunyai seorang atau banyak ahli waris yang
membutuhkan hartanya. Demikian pula dimakruhkan wasiat
kepada orang yang fasik jika diketahui atau diduga keras bahwa
mereka akan menggunakan harta itu di dalam kefasikan dan
kerusakan.
d. Jaiz
Wasiat diperbolehkan bila ia ditujukan kepada orang yang kaya,
baik orang yang diwasiati itu kerabat ataupun orang jauh (bukan
kerabat).
201
( إِنه: هللاِ صلى هللا علٍو وسلم ٌَقُو ُل سو َل َ ه ُ س ِمعْتُ َز َ َوعَهْ أَبًِ أُ َما َمةَ اَ ْلبَا ِىلِ ًِّ زضً هللا عنو
َ َو ْاْلَ ْزبَ َعةُ إِ هَّل النه, ث ) َز َواهُ أَ ْح َم ُد
, ًسائِ ه ٍ صٍهةَ لِ َوا ِزِ فَ ََل َو, ُق َحقهو ٍّ هللاَ قَ ْد أَ ْعطَى ُك هل ِذي َح َه
ْ َ َ
َوابْهُ اَل َجا ُزو ِد, َوق هواهُ اِبْهُ ُخ َز ٌْ َمة, ي َ
ُّ سنَوُ أ ْح َم ُد َواَلت ِّْس ِم ِر
َو َح ه
ِ َِ ْٓ َِا ثَ َػًٍَ َو:ٍُ لَا َي َزسُى ُي هللا صًٍ هللا ػٍُٗ وس: َو َز َوي ابُْٓ َِا َجتَ ػ َْٓ َجا بِ ٍس لَا َي
صُه ٍت
ٌَٗ َِا ثَ َػًٍَ َسبِ ُْ ًٍ َو ُسٕه ٍت و َِا ثَ َػًٍَ حَمِ ًٍّ َو َشهَا َد ٍة َو َِا ثَ َِ ْغفُىْ ًزا
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Jabir, dia berkata: Telah
bersabda Rasulullah SAW : “ barang siapa yang mati dalam
keadaan berwasiat, maka dia telah mati di jalan Allah dan
Sunnah, mati dalam keadaan taqwa dan syahid, dan dia mati
dalam keadaan diampuni dosanya.” (Sayyid Sabiq, 1987 : 232).
d. Ijma‟
Kaum muslimin sepakat bahwa tindakan wasiat merupakan
syariat Allah dan RasulNya. Ijma‟ didasarkan pada ayat-ayat
Al-Qur‟an dan Hadits.
4. Rukun, dan Syarat Wasiat
a. Rukun wasiat
Adapun rukun wasiat menurut Ibnu Rusyd, Elimartati:
2010:61), yaitu:
1. Orang yang menerima wasiat
2. Barang yang diwasiatkan
3. Ijab Qabul
4. Orang yang berwasiat
Sedangkan menurut Sayyid Sabiq rukun wasiat itu adalah dari
orang yang mewasiatkan.
b. Syarat wasiat
1. Syarat orang yang berwasiat
Menurut Sayyid Sabiq diisyaratkan agar orang yang memberi
wasiat itu adalah orang yang ahli kebaikan, yaitu orang yang
mempunyai kompetensi (kecakapan) yang sah.
2. Syarat orang yang menerima wasiat
a)Dia bukan ahli waris dari orang yang berwasiat.
202
bOrang yang diberi wasiat disyaratkan ada dan benar-benar
ada disaat wasiat dilaksanakan baik ada secara nyata
maupun secara perkiraan, seperti berwasiat kepada anak
dalam kandugan, maka kandungan itu harus ada diwaktu
wasiat diterima.
c)Orang yang diberi wasiat bukan lah orang yang membunuh
orang yang memberi wasiat.
3. Syarat benda yang diwasiatkan
Pada dasarnya benda yang menjadi objek wasiat adalah
benda-benda atau manfaat yang bisa dimiliki dan dapat
digunakan untuk kepentingan manusia secara positif (Elimartati,
2010 : 64).
Menurut pasal 194 Kompilasi Hukum Islam menentukan
bahwa harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari
pewaris (ayat 2) (Abdul Shomad, 2010 : 355).
Menurut Amir Syrifuddin harta yang diwasiatkan itu tidak
boleh melebihi sepertiga dari harta yang dimiliki oleh pewasiat
(Amir Syarifuddin, 2010 : 237).
Menurut pasal 195 bahwa wasiat hanya diperbolehkan
sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali
apabila semua ahli waris menyetujuinya (pasal 195 ayat 2).
Pernyataan persetujuan dibuat secara lisan dihadapan dua orang
saksi atau tertulis dihadapan dua orang saksi atau dihadapan
notaris (pasal195 ayat 4). Apabila wasiat melebihi sepertiga dari
harta warisan, sedangkan ahli waris ada yang tidak
menyetujuinya maka wasiat hanya dilaksanakan sampai batas
sepertiga harta warisan (Abdul Shomad, 2010 : 356).
203
notaris dan saksi-saksi pembuat akta tersebut. Peraturan tersebut
di atas dimaksudkan agar tidak terjadi penyimpangan
dalampelaksanaan wasiat, mengingat orang-orang yang disebut
dalam pasal 207, 208 tersebut terlihat langsung dalam kegiatan
wasiat tersebut (Elimartati, 2010 : 67).
2. Batalnya wasiat
Menurut Sayyid Sabiq wasiat itu batal dengan hilangnya
salah satu syarat dari syarat yang ada pada wasiat, misalnya
sebagai berikut :
a) Bila orang yang berwasiat itu menderita penyakit gila yang
parah yang menyampaikannya pda kematian.
b) Bila orang yang diberi wasiat mati sebelum orang yang memberi
wasiat itu mati.
c) Bila yang diwasiatkan itu barang tertentu yang rusak
sebelum diterima oleh orang yang diberi wasiat.
Menurut KHI pada pasal 197 :
(1) Wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat
berdasarkan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap, dihukum karena :
a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh
atau menganiaya berat pada pewasiat.
b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan bahwa
pewasiat telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan
hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
c. Dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah
pewasiat untuk membuat atau mencabut atau mengubah wasiat
untuk kepentingan calon penerima wasiat.
d. Dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau
memalsukan surat wasiat dari pewasiat.
(2) Wasiat itu menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk
menerima wasiat itu :
a. Tidak mengetahuui adanya wasiat tersebut sampai ia
meninggal dunia sebelum meninggalnya sipewasiat.
b. Mengetahui adanya wasiat tersebut, tetapi ia meolak untuk
menerimanya.
c. Mengetahui adanya wasiat itu tetapi tidak pernah
mengatakan menerima atau menolak sampai ia meninggal
sebelum meninggalnya pewasiat.
(3) Wasiat menjadi batal apabila barang yang diwasiatkan musnah.
3. Pencabutan wasiat
Pencabutan wasiat diatur dalam pasal 199 KHI yang berbunyi :
204
1) Pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima
wasiat belum mengatakan persetujuannya atau mengatakan
persetujuannya tetapi kemudian menarik kembali.
2) Pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan
disaksikan oleh dua orang saksi atau bebrdasarkan akte notaris
bila wasiat terdahulu dibuat secara lisan.
3) Bila wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat dicabut
dengna cara tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau
berdasarkan akte notaris.
4) Bila wasiat dibuat berdasarkan akte notaris, maka hanya
dapat dicabut berdasarkan akte notaris.
Apabila wasiat yang telah dilaksanakan itu dicabut, maka surat
wasiat yang dicabut diserahkan kembali kepada pewasiat
sebagaimana diatur dalam pasal 203 ayat (2) KHI (Elimartati,
2010 : 69-70).
4. Wasiat wajibah
Wasiat wajibah adalah tindakan yang dilakukan oleh penguasa
atau hakim sebagai aparat Negara untuk memaksa atau memberi
putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal yang
diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu
(Elimartati, 2010 : 70).
Orang-orang yang mendapat wasiat wajibah adalah cucu-cucu
yang orang tuanya telah mati mendahului atau berbarengan
dengan pewaris. Mereka diberi wasiat wajibah sebesar bagian
orang tuanya dengan ketentuan tidak melebihi dari 1/3
peninggalan. Oleh karena besar kecilnya bagian orang tuanya
itu tergantung dengan sedikit atau banyaknya saudara orang
tuanya, maka ada kemungkinan bahwa bagian orang tuanya 1/5,
1/4, 1/3 atau 1/2 peninggalan, kelebihannya itu harus
dikembalikan kepada ahli waris. Walaupun cucu tersebut dapat
menduduki kedudukan orang tuanya dalam memperoleh harta
warisan, namun jumlah yang diterimanya itu bukan semata-
mata berdasarkan memusakai (dengan fardh atau ushubah),
tetapi berdasarkan wasiat wajibah. Oleh karena itu, memberikan
bagiannya harus didahulukan daripada memberikan bagian
kepada ahli waris (Abdul Shomad, 2010 : 365).
Dasar hukum penentuan wasiat wajibah adalah kompromi dari
pendapat-pendapat ulama salaf dan khalaf yang menurut Fathur
Rahman adalah :
Tergantung kewajiban berwasiat kepada kerabat, kerabat yang
tidak dapat menerima pusaka ialah diambil dari pendapat-
205
pendapat fuqaha‟ dan Tabi‟in besar ahli fiqih dan ahli hadits
antara lain Sain bin Musayyad, Hasan Al-Basyri, Thawus,
Ahmad Ishak bin Rahawib dan Ibnu Hazmin.
Pemberian sebagian harta simati kepada kerabat-kerabat
yang tidak dapat menerima pusaka yang berfungsi wasiat
wajibah, bila simati tdak berwasiat adalah diambil dari pendapat
mazhab Ibnu Hazmin yang dinukilkan dari fuqaha‟, tabi‟in dan
pendapat Ahmad.
Pengkhususan kerabat-kerabat yang tidak menerima pusaka
kepada cucu dan pembatasan penerimaan sebesar 1/3
peninggalan adalah didasarkan kepada Ibnu hanzim, dan kaedah
yang berbunyi “ pemegang kekuasaan mempunyai wewenang
perkara mubah karena ia berpendapat bahwa hal itu membawa
kemaslahatan umum. Bila penguasa memrintahkan demikian
wajiblah ditaati”.
5. Ketentuan Teknis
Dalam KHI juga diatur beberapa ketentuan teknis untuk
mengantisipasi dan menyelesaikan masalah yang timbul, antara
lain pasal 204 yang menyebutkan :
Jika pewasiat meninggal dunia maka surat wasiat yang
tertutup dan disimpan pada notaris, dibuka olehnya dihadapan
ahli waris, disaksikan dua orang saksi dan dengan membuat
berita acara pembukaan surat wasiat tersebut.
Jika surat wasiat yang tertutup disimpan bukan pada notaris
maka penyimpan harus menyerahkan kepada notaris setempat
dan selanjutnya notaris atau kantor urusan agama membuka
sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) pasal ini.
Setelah semua isi serta maksud surat wasiat itu diketahui
maka oleh notaris atau kantor urusan agama diserahkan kepada
penerima wasiat guna menyelesaikan wasiat guna penyelesaian
selanjutnya.
Pasal 205 menyatakan dalam waktu perang, para anggota
tentara dan mereka yang termasuk dalam golongan tentara dan
berada dalam daerah pertempuran atau yang berada disuatu
tempat yang ada dalam kepungan musuh, dibolehkan membuat
surat wasiat dihadapan seorang komandan atasannya dengan
dhadirkan oleh dua orang saksi.
Pasal 206 mengatur orang yang sedang dalam perjalanan
melalui laut dibolehkan membuat surat wasiat di hadapan
nahkoda atau mualim kapal jika pejabat tersebut tidak ada maka
dibuat dihadapan seorang penggantinya dengan dihadiri dua
orang saksi.
206
BAB X
ILMU PENGETAHUAN, TEKNOLOGI DAN SENI DALAM ISLAM
A. Pengertian IPTEKS
Pengetahuan dan Ilmu. Pengetahuan adalah kumpulan data
tentang apa saja yang kita ketahui.Ilmu berarti kejelasan. Imu
pengetahuan adalah kejelasan data-data yang kita ketahui baik
tentang alam (di sebut ilmu pengetahuan alam), maupun tentang
kehidupan manusia (di sebut ilmu pengetahuan sosial), dll.
Definisi Ilmu Secara terminologi ilmu di definisikan sebagai
pengetahuan yang sudah diklasifikasi, diorganisasi, disistimisasi,
dan diuji ulang secara ilmiah. Betapa pentingnya ilmu sehingga Al-
Quran menyebut kata-kata dalam berbagai bentuknya sebanyak
854 pengetahuan.
Iptek dalam Al-Qur‟an
Pada saat Al-Qur‟an di turunkan, belum banyak teori ilmu
pengetahuan seperti sekarang ini. Di sisi lain kitab suci yang di
turunkan saat itu (Zabur,taurat injil,) masih belum cukup mampu
memberikan gambaran dan solusi ilmiah rasional tentang jagat
raya. Al-Qur‟an dalam konteks ini di turunkan selain untuk
membenarkan kitab-kitab sebelumnya, juga sebagai pembeda baik
atau buruknya dalam hal etik, benar dan salah dalam hal logika
antara indah dan jelek dalam hal estetika. Sebagai pembeda (al-
furqan) yang benar dan salah, baik dalam pengamatan maupun
teori,yang menyangkut makrokosmos maupun mikrokosmos,dan
yang menyangkut kisah masa lalu maupun kehidupan yang akan
datang.
Salah satu teori makrokosmos yang sangat populer pada saat itu
adalah ”teori Geosentris” di kemukakan oleh filosuf Ptolemeus
yang menyatakan bumi sebagai pusat dari tata surya. Teori ini di
bantah oleh metode deduksi Al-Qur‟an yang menyatakan secara
gamblang yang tercantum dalam:
Q.S Yasin [36]: 38-40
﴾٨٣﴿ ُُِ ٍَِص ْاٌ َؼِ اٌ هش ّْسُ حَجْ ِسٌ ٌِ ُّ ْسخَمَسٍّ ٌههَا َذٌِهَ حَ ْم ِدَ ُس ْاٌ َؼ ِص
﴿ َُِ ُىْ ْاٌمَ ِد
ِ َاش َي َحخهً ػَا َد َو ْاٌؼُسْ ج ِ َِٕ َُٖو ْاٌمَ َّ َس لَدهزْ َٔا
َْاز َو ُوًٌّ فٍِ فٍََ ٍه ََ ْسبَحُى ُ ََِل اٌ هش ّْسُ ََٕبَ ِغٍ ٌَهَا أَْ حُ ْد ِزنَ ْاٌمَ َّ َس َو ََل اٌٍه ُْ ًُ َساب
ِ َك إٌهه
﴾٠٤﴿
Artinya:“dan matahari berjalan ditempat peredarannya
demikianlah ketetapan yang Maha Perkasa lagi Maha
mengetahui. Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-
manzilah, sehingga (setelah Dia sampai ke manzilah yang
207
terakhir) Kembalilah Dia sebagai bentuk tandan yang tua.
Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan
malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing
beredar pada garis edarnya.” (QS. Yasin : 38 – 40)
Jadi teknologi merupakan budaya manusia menerapkan
secara nyata hasil-hasililmu pengetahuan guna memudahkan
kehidupan mereka.Teknologi tidak lebih dari sekedar alat atau
sarana untuk memperlancar kehidupan.Karena itu pengguna
yang tepat terhadap teknologi akan sangat bermanfaat bagi
manusia dan alam,namun penggunaan yang tidak tepat akan
membawa kerugian bencana bagi manusia dan alam.
Pengertian Seni. Seni adalah ungkapan akal dan budi manusia
dalam bentuk yang indah-indah.Ia merupakan bagian dari
budaya dalam bentuk kreatifitas perasaan akal dan budi manusia
dalam memahami,menghayati,dan meng ekspresikan keindahan.
B. Sumber Ilmu Pengetahun
Islam bersumber dari wahyu Allah, sedangkan ilmu pengetahuan
bersumber dari pikiran manusia yang disusun berdasarkan hasil
kajian ilmiah. Dengan demikian ilmu pengetahuan bertujuan
mencari kebenaran ilmiah. Ilmu pengetahuan dan teknologi
dalam islam di pandang sebagai kebutuhan manusia dalam rangka
mencapai keejahteraan hidup di dunia dan memberi kemudahan
pada peningkatan ubudiyah kepada Allah. Karena itu islam
memandang iptek sebagai bagian dari pelaksanaan kewajiban
manusia sebagai mahluk Allah yang berakal.
Dorongan ke arah penguasaan ilmu pengetahuan dapat di lihat
dengan banyaknya firman Allah sebagai sumber ilmu, yang
menganjurkan manusia untuk memahami ciptaan Allah (alam).
Alam sendiri pada akhirnya menjadi obyek penelitian manusia
melalui penelitiam ilmiah. Degan demikian, dengan memandang
nilai-nilai Islam sebagai ilmu, maka manusia akan mampu
menyusun teori yang merupakan deskripsi dari berbagai fenimena
alam.
C. Syarat-Syarat Ilmu
Dari sudut filsafat, ilmu lebih khusus di bandingkan dengan
pengtahuan. Suatu pengetahuan dapat dikategorikan sebagai
ilmu apabila memiliki 3 unsur pokok, yaitu Ontologi,
epistemologi, dan Aksiologi.
Ontologi, artinya bidang ilmu yang bersangkutan memiliki
obyek studi yang jelas. Obyek studi harus dapat didefinisikn,
208
dapat di beri batasan, dapat di uraikan sifat-sifatnya yang
esensial.
Epistemologi artinya, bidang studi yang bersangkutan
memiliki metode kerja yang jelas. Ada tiga metode yaitu
deduksi,induksi,eduksi.
Aksiologi, artinya bidang sosiologi yang bersangkutan
memiliki nilai guna atau kemanfaatannya. Bidang studi tersebut
menunjukan nilai-nilai teoritis, hukum-hukum,generialisasi,
kecenderungan umum,konsep-konsep dan kesimpulan logis,
sistematika dan koheran.
Dalam teori dan konsep tersebut tidak terdapat
kerancuan atau kesemmrawutan pikiran atau pertentanagan
kontradiktif di antara satu sama lainya. Istilah pengetahuan dan
ilmu di fahami oleh masyarakat luas menjadi satu istilah baku
yaitu Ilmu Pengetahuan atau Sains.
Secara singkat, istilah ini dapat didefinisikan sebagai
himpunan pengetahuan manusia yang di kumpulkan melalui
suatu proses pegkajian dan dapat di terima oleh rasio, dapat di
nalar. Jadi ilmu pengetahauan dapat di katakan himpunan
rasionalisasi kolektif insani. Secara singkat sains dapat di
artikan sebagai pengetahuan yang sistematis dalam pemikiran
sekuler. Sains mempunyai tiga karakteristik yaitu obyektif
netral dan bebas nilai. Sedangkan dalam pemikiran islam sains
tidak boleh bebas dari nilai-nilai, baik lokal maupun nilai
universal.
Menurut Jujun Suriasumantri(1982:40) ilmu merupakan
kumpulan pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu yang
membedakan ilmu pengetahuan lainya.
Menurut Al-Ghazali dalam Tim LPP-SDM (201:27) bahwa
ilmu yang di pelajari dapat di pandang dari dua sisi:
1. Ilmu sebagai suatu proses, yaitu :
a. Ilmu hissyah, yaitu yang diperoleh melalui
penginderaan(alat indera)
b. Ilmu aqliyah, yaitu ilmu yang diperoleh melalui kegiatan
berfikir(akal)
c. Ilmu laduni, yaitu ilmu yang diperoleh langsung dari
Allah Swt, tanpa melalui proses penginderaan atau
berfikir, melainkan melalui hati dalam bentu ilham.
2. Ilmu sebagai obyek
a. Ilmu sebagai pengetahuan yang tercela secara mutlak,
baik sedikit maupun banyak, seperti ilmu sihir
209
b. Ilmu pengetahuan yang terpuji, naik sedikit maupun
banyak,
c. Ilmupengetahuan yang dalam kadar terpuji, akan tetapi
bila mendalaminya tercela, seperti ilmu ketuhanan,
cabang ilmu filsafat, jika ilmu-ilmu tersebut di perdalam
akan menimbulkan kekufuran dan ingkar.
D. Pembagian ilmu
Menurut Al-Ghazali dalam Baharuddin dan Esa Nur
Wahyuni(2008:430) ilmu terdiri dari dua jenis:
1. Ilmu kasbi (Hushulu)
Ilmu kasbi yaitu cara berfikir sistematika dan metodik yang
di lakukan secara konsisten dan bertahap melalui proses
pengamatan, penelitian ,ekseperimen,dan penemuan. Ilmu
ini di peroleh manusia pada umumnya dan dengan
sendirinya seseorang yang melalui proses-proses itu akan
memperoleh ilmu tersebut.
2. Ilmu Ladunni (hudhuri)
Ilmu ladduni yaitu ilmu yang di peroleh oleh orang-orang
tertentu yang di lakukan dengan melalui prosrs
penginderaan atau berfikir, akan tetapi melalui proses
pencerahan oleh hadirnya cahaya ilahi dalam qalb.
Menurut Al- Zarnuji dalam Baharudin dan Esa Nur
Wahyuni (2008:53) ilmu di bagi menjadi empat, yaitu:
1. Ilmu Fardu „Ain
Ilmu yang mempelajari oleh setiap umat Islam
secara indivu.
2. Ilmu Fardu Kifayah
Ilmu yang kebutuhannya hanya dalam saat-saat tretentu
seperti ilmu shalat jenazah
3. Ilmu haram
Ilmu yang haram untuk di pelajari seperti ilmu nujum atau
ilmu perbintangan yang biasa di gunakan untuk meramal
4. Ilmu jawaz
Ilmu yang hukum mempelajarunya adalah boleh karena
bermanfat bagi umat manusia, seperti ilmu
kedokteran,ekonomi,dsb.
210
Menurut Ahmad Tafsir(2004:25-26) ilmu sain di bagi menjadi tiga,
yaitu :
1. Ilmu Kealaman, yang termasuk ilmu ini adalah
Astronomi, Fisika, Kimia, Biologi, dan Geografi
2. Ilmu Sosial yang termasuk ilmu ini adalah Sosiologi,
Antropologi, Psikologi, Ekonomi, dan Politik
3. Ilmu Humaniora,yang termasuk ilmu ini adalah Seni,
Hukum, Filsafat, Agama, dan Sejarah
Pengetahuan dapat di capai melalui akal, kalbu dan fuad yang
dengannya dapat di tangkap ayat-ayat Allah pada kejadian di
alam semesta, dengan mengunakkan mekanisme fuad ini
kadangkala manusia menghasilkan ilmu yang bersifat
transedental-filosofis. Karena itu, kelak kemudian hari, Allah
akan meminta pertanggung jawaban manusia atas pengunaan
sama‟‟ basher dan fuad-nya.
Q.S. Al- Isra’ {17} :36
211
E. Pembagaian ilmu pengetahuan
Ilmu pengetahuan merupakan buah kerja dari akal. Dalam hal
ini yang menentukan dan mengeraakan kerja akal. Akan tetapi
fitrah ini dapat tertutup, tertimbun oleh hasil pikir dan amal
kerja manusia yang menyimpang dan membelenggu, sehingga
fitarah yang baik itu tidak dapat muncul secara optimal dalam
memberikan guidance terhadap jerja akal.( Cecep
Sunarna,2008:xii-xiii). Adapun ruang lingkup ilmu pengetahuan
itu sendiri mencakup rasional,emperis,tektual dan kontektual.
Sedangkan syarat ilmu pegetahuan yaitu obyektif,
rasional,sistematis,empiris,dibatasi ruang dan
waktu,metedologis, dam memiliki system pendekatan dan
analisis jelas.
Menurut Al-Qur‟an, manusia adalah mahluk yang sangat
berpotensi untuk menguasi ilmu pengetahuan. Allah-lah yang
mengajarkan manusia, semua hal yang sebelumnya tidak di
ketahui.
Q.S.Al-„Alaq (96) : 5. Dia mengajarkan kepada manusia apa
yang tidak di ketahuinya
Kemanusiaan manusia (insaaniyyatul-insaaniyyaah) di ukur
antara lain oleh interaksinya degan ilmu pengetahuan. Oleh
karan itu, berulang kali di kemukan dalam Al-Qur‟an agar
manusia bekerja pada amal-amal yang menghsilkan ilmu.
Manusia di angkat sebagai khalifah-nya di bedakan dari mahluk
yang lain karena ilmu pengetahuan
Q.S. Al-Baqarah [2]:31
212
(penglihatan) yang biasanya menghasilkan ilmu pengetahuan
yang bersifat observasional-eksperimental. Contoh yang dapat
dikemukakan, misalnya Allah mengajarkan Qabil cara
mengubur mayat melalui perntaraan burung gagak‟
Q.S.Al-Baqarah (2):259
Artinya: Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang
yang melalui suatu negeri yang (temboknya)telah roboh
menutupi atapnya. Dia berkata: “Bagsimana Allah
menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur? “maka Allah
mematikan orang itu seratus tahun, kemudian
menghidupkannya kembali. Allah bertanya:” Berapa lamanya
kamu tinggal disini?” ia menjawab: “Saya tinggal disini sehari
atau setengah hari. “Allah berfirman: “Sebenarnya kamu telah
tinggal disini seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makanan
dan minumanmu yang belum lagi berubah; dan lihatlah kepada
keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); kami akan
menjadikan kamu tanda kekuasaan kami bagi manudia; dan
lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian kami
menyusunnya kembali, kemudian kami membalutnya dengan
daging.” Maka tatkalatelah nyata kepadanya (bagaimana allah
menghidupkan yang telah mati) diapunberkata:” saya yakin
bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Allah juga menunjukkan kepada Nabi Ibrahim As, bagaimana
menghidupkan yang mati melaluiekspriment, sebagaimana
difirmankan dalam Q.S.Al-Baqarah 2:260.
Artinya: dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: Ya Tuhanku,
perhatikanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan
orang-orang mati.”Allah berfirman: “Belum yakinkah kamu?
“Ibrahim menjawab: “Aku telah meyakinkan, akan tetapi agar
hatiku tetap mantap (dengan imamku) Allah berfirman : “(Kalau
demikian) ambillah 4 ekor burung, lalu cincanglah semuanya
olehmu. (Allah berfirman) : “lalu letakkan diatas tiap-tiap satu
bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah
mereka, niscaya mereka dating kepadamu dengan segera. ”dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Tujuan mencari ilmu pengetahuan adalah untuk
meningkatkan amal ibadah yang ditujukan dalam mencari ridha
Allah Swt, sekaligus untuk meningkatkan kualitas amal shaleh
bagi kepentingan hidup manusia.
Ilmu pengetahuan menurut Al-Qur‟an dapat di peroleh
melalui berbagai macam cara. Diantaranya melalui indra, seperti
sama‟ (pendengaran) yang biasanya bersifat verbal, dan bashar
213
(penglihatan) yang biasanya menghasilkan ilmu pengetahuan
yang bersifat observasional-eksperimental. Contoh yang dapat di
kemukakan misalnya Allah mengajarkan Qabil cara mengubur
mayat melalui perantaraan burung gagak.
Allah juga mengajarkan pengetahuan kebangkitan
melalui pengamatan eksperimental, sebagimana firmannya
dalam:
Q.S.Al-Baqarah(2):259
Artinya: Atau apakah (kamu tidak memperhatikan)
orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh
menutupi atapnya. Dia berkata: bagaimana Allah
menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?” Maka Allah
mematikan orang itu seratus tahun, kemudian
menghidupkannya kembali. Allah bertanya: “berapakah
lamanya kamu tinggal disini?” ia menjawab: “saya tinggal
disini sehari atau setengah hari.” Allah berfirman:
“sebenarnya kamu telah tinggal disini seratus tahun lamanya;
lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi
berubah; dan lihatlah kedelai kamu (yang telah jadi tulang
belulang); kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan kami
bagi nmanusia; dan lihatlah kepada tulang belulang kedelai itu,
kemudian kami menyusunnya kembali, kemudian kami
mambalutnya dengan daging.” Maka tatkala telah nyata
kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati)
diapun berkata: “saya yakin bahwa Allah maha kuasa atas
segala sesuatu.”
Allah juga menunjukkan kepada Nabi Ibrahim As,
bagaimana menghidupkan yang mati melalui eksperimen,
sebagaimana di firmankan dalam Q.S.Al-Baqarah (2):260
Artinya: dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Ya
Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau
menghidupkan orang-orang mati. Allah berfirman: belum
yakinkah kamu?” Ibrahim menjawab: “Aku telah
meyakinkannya akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan
imanku) Allah berfirman: (kalau demikian) ambillah empat ekor
burung, lalu cincanglah (165) semua olehmu. (Allah berfirman:
“lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bagian dari bagian-bagian
itu kemudian panggillah mereka,niscaya mereka dating
kepadamu dengan segera.”dan ketahuilah bahwa Allah maha
perkasa lagi maha bijaksana.
Didin Hafidhuddin (2003 : 24) berpendapat, semangat Al-Quran
dalam mendorong umat Islam untuk bekerja sungguh-sungguh
214
pada pencarian ilmu, harus terus disosialisasikan. Dunia masa
kini, apalagi masa depan, adalah dunia yang dikuasai ilmu
pengetahuan dan teknologi. Siapapun yang menguasai
keduanya, secarah lahiriah pasti akan menguasai dunia. Bila
dikaitkan dengan ilmu pengetahuan merupakan infrastruktur
maka keduanya akan menentukan suprastruktur dunia
internasional, termasuk kebudayaan, moral, hukum, dan juga
prilaku keagamaan. Bila umat Islam ingin kembali memainkan
perannya sebagai Khairu Ummah (umat terbaik) dan Ummatan
wasathan (Umat Pilihan) yang menjadi saksi atas kebenaran
ajarannya maka mutlak harus menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi.
F. Sumber Ilmu Pengetahuan Menurut Islam
1. Insting
Manusia sejak lahir telah dibekali dengan pengetahuan bawaan
yang di sebut instink. Pengetahuan ini tidak perlu di didikan atau di
ajarkan. Setiap orang secara instinktif telah memilikinya.
Misalnya, menyatakan lapar dan haus, dan kondisi tidak enak
lainnya dengan menagis.
2. Indra
Lewat indra manusia penglihatan, pendengaran, penciuman,
perabaan, merupakan bagian dari sumber pengetahuan. Al-
Qur‟an menyuruh manusia untuk mempergunakan indranya
dalam upaya mencari kebenaran, tidak sebaliknya.
3. Akal
Mempergunakan akal pikiran, melahirkan pikiran rasional, bisa
di pergunakan metode induktif, deduktif, kompratif, analitik dan
seterusnya, berpikir ini dapat di pakai kaidah-kaidah berpikir
rasional, atau mempergunakan ilmu logika atau manthiq, Al-
Qur‟an juga banyak mendorong berpikir ini seperti tertera pada:
Q.S.Ali-Imran(3):191
Artinya: (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari
siksa neraka.
Filosof mempergunakan akal setinggi-tingginya, sehingga
sampai ke tingkat akal yang tertinggi di miliki oleh manusia
setelah tingkatan potensial, dan akal actual.
215
Akal adalah perimbangan antara intelek (budi) dan intuisi (hati)
manuisa, atau pikiran dan emosi manusia. Intelek adalah alat
untuk memperoleh pengetahuan untuk alam nyata.
Dalam membentuk pengetahuan, intelek terikat oleh yang
konkret. Oleh karena itu ia hanya mungkin bejalan selangkah
demi selangkah, menyelesaikan arah demi arah. Intuisi
adalahalat untuk alam yang tak nyata. Dalam membentuk
pengetahuan ia dapat melakukan lompatan dari tidak tahu
menjadi tahu (laduni)
4. Pengalaman
Al-Qur‟an mengajak manusia untuk mempergunakan
pengalaman baik pengalamannya sendiri maupun pengalaman
orang lain yang bisa menjadi i‟tibar.
5. Intuitif
Salah satu jenis sumber pengetahuan yang sifat nonalitik. Jadi
intuitif adalah pengetahuan yang di peroleh tanpa penalaran.
Seorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah
tiba-tiba saja menemukan jawaban atas permasalahan terssebut
tanpa melalui proses berfikir yang berliku-liku, tiba-tiba saja dia
sudah sampai di situ.
6. Qalbu
Qalbu juga adalah sumber pengetahuan dalam islam, titik
tolaknya adalah rasa. Para sufi mempergunakan yang qalbu ini
sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada allah.
Metodenya adalah dengan membersihkan qalbu sebersih-
bersihnya dari segala macam penyakit hati dan mengisinya
dengan segala macam sifat terpuji.
7. Wahyu
Wahyu diberikan allah swt. Kepada para Nabi atau Rasul,
termasuk Nabi Muhammad Saw. Yang menerima wahyu, yang
kemudian dibukukan dalam Al-Qur‟an. Dari Al-Qur‟an ini lah
para mujtahid berijtihadtentang berbagai ilmu pengetahuan
keagamaan. Al-Qur‟an memberi penjelasan secara eksplisit
tetapi kebanyakkan implisit. Wahyu adalah tuntunan yang
diberikan Allah kepada para Hamba-Nya dan ciptaan-Nya
dalam menjalankan fungsi kekehidupannya di alam ini.
Hubungan dengan pencipta itu tidak khusus bagi manusia.
Sebenarnya cara yang di pakai Al-Qur‟an dengan kata wahyu,
menunjukkan bahwa Al-Qur‟an memandangnya sebagai sesuatu
milik hidup yang universal, sekalipun kodrat dan waktunya
216
berbeda menurut perbedaan tingkat-tingkat kehidupan itu. Imam
suyuti berpendapat, bahwa hadist Rasullulah Saw pada dasarnya
adalah wahyu juga, tetapi jibril menyampaikannya dalam
bentuk makna. Sedangkan Al-Qur‟an adalah wahyu yang
disampaikan dalam bentuk lafaz dan makna.
Dalam persfektif islam, ilmu pengetahuan, teknologi dan
seni merupakan hasil pengetahuan potensi manusia yang di
berikan Allah berupa akal dan budi. Prestasi gemilang dalam
pengembangan iptek, pada hakikatnya tidak lebih dari sekedar
menemukan bagaimana proses sannatullah itu terjadi di alam
ini, bukan merancang atau menciptakan suatu hukum baru di
luar sunnatullah.
8. Mimpi
Ada mimpi yang merupakan sumber ilmu pengetahuan, bahkan
bagi sebagian rassul mimpi adalah wahtu, sebut saja contohnya
Nabi Ibrahim As. Selain dari rasul bagi orang-orang tertentu ada
yang di sebut Ar-ru‟ya as-shidiqah (mimpi yang benar).
9. Anugerah Ilahi
Yaitu ilmu yang diberikan secara langsung kepada seseorang,
misalnya Nabi Yusuf As. Mampu menta‟birkan mimpi.
Kemampuan menta‟birkan mimpi. Kemampuan Nabi Khidir
As. Menjelaskan kepada Nabi Musa As. Apa yang bakal terjadi
di masa yang akan datang. Di pondok Pesantren ilmu anugerah
Allah ini, yang di peroleh seseorang tanpa proses belajar di
kenal dengan nama laduni.
G. Kedudukan Akal dalam Islam
Akal ,dari kata aqala, artinya ikatan, tautan, yaitu ikatan/tautan
budi (perasaan) dan pikiran. Akal merupakan wadah untuk
berfikir dan memahami.Piranti kasarnya (hard ware) adalah
otak sadangkan piranti halusnyaI(soft ware) adalah ruh.
Islam mewujudkan ummatnya untuk menggunakan ro‟yu (akal
pikiran), disamping wahyu, dalam memahami dan menghampiri
kebenaran (QS.2:269/3:7-8/17:36,107/16:43/20:114/35:19-
20/39:9/58:11/69:1-5,dll). Menurut Syaikh Ahmad Mustafa
al-Maraghi (Tafsir al-Maraghi,1:35-36); Allah memberikan
lima macam petunjuk (hidayah) kepada manusia, yaitu:
Hidayah Ilhami (instink) ,Hidayah Hawasiy (indera), Hidayah
Aqly (akal budi), Hidayah Adayany (agama/wahyu), dan
Hidayah Tawfiqy (pertolongan/perkanan Allah). Akal
217
ditempatkannya sebagai peunjuk (hidayah) Allah yang berada
setingkat di bawah wahyu.
Dengan demikan; akal sangat tinggi kedudukannya di dalam
Islam,ia menjadi salah satu sumber kebenaran (sumber ketiga)
dalam ajaran Islam yang di sebut ijtihad. Syekh al-Zarnuji
berkata; sesungguhnya abadinya Islam karena ilmu,dan
tidaklah absah kezuhudan serta ketaqwaan seseorang yang di
landasi oleh kebodohan (Ta‟lim;10). Ini menujukkan bahwa
akal dan wahyu sama-sama merupakan institusi kebenaran yang
hanya berbeda tingkatannya tetapi mustahil bertentangan.
Muhammad Abduh (1849-1905M) menyatakan Islam adalah
agama yang rasional, sehingga wahyu tidak membawa hal-hal
yang bertentangan dengan pendapat akal. Dalam Risalah al-
Tawhid ditegaskan;
“Pendek kata agama tidak boleh di jadikan tabir pembatas
antara jiwa dan akal yang selalu dinamis untuk mengetahui
hakekat-hakekat alam yang terbentan di hadapan kita ini dengan
segala kemampuan yang ada pada akal itu.Bahkan agama
hendaklah jadi pendorong yang kuat bagi ilmu pengetahuan
yang mendesak akal manusia itu untuk menghormati bukti-bukti
yang nyata,sehingga manusia itu memeras energinya dengan
segala kekuatan akalnya unutuk mengetahui rahasia alam yang
ada di hadapan mata itu,tetapi dengan syaratbahwa akal itu
tidak akan keluar dari batas yang wajar,dan kemudian berhenti
pada batas tertentu untuk menjaga keselamatan I‟tikad”
(Abduh,1979;106).
H. Integrasi Iman, Ipteks, dan Akal
Islam adalah agama yang sempurna,yang mencakup
iman,ilmu,dan amal.Jika di ibaratkan sebatang pohon,maka
iman adalah akarnya,dan teknologi adalah batangnya,dan amal
adalah buahnya.
Amal dan ilmu seseorang tidak akan bermakna tanpa adanya
iman.Berkah ilmu dan amal yang tidak di dasari oleh iman dan
takwa hanya akan membawa bencana dan keruskan bagi
manusia dan alam semesta.Kemaslahatan manusia dan alam
sangat bergantung kepada integrasi iman,ilmu,dan amal mereka.
Dalam pandangan islam, antara agama, ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni terhadap hubungan harmonis yang
terintegrasi ke dalam suatu sistem yang di sebut Dinul Islam. Di
dalamnya terkandung tiga unsur pokok, yaitu akidah, syariah
dan akhlak. Dengan kata lain iman, ilmu dan amal salih.
218
Islam merupakan ajaran agama yang sempurna.
Kesempurnaannya dapat tergambar dalam inti ajarannya. Ada
tiga tiga inti ajaran islam yaitu Iman, islam, dan ikhsan. Ketiga
inti ajaran itu terintegritas di dalam sebuah sistem ajaran yang
di sebut Dinul Islam.
Hubungan Ilmu dengan Iman dan Amal, Allah menggambarkan
dalam: QS. Ibrahim: 24-25:
Artinya: 24. Tidaklah kamu perhatikan bagaimana Allah telah
membuat perumpamaan kalimat yang baik, seperti pohon yang
baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit. 25.
Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan
seizin Tuhannya. Allah membuat perempamaan-perumpamaan
itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.
Ayat di atas menggambarkan keutuhan antara iman, ilmu dan
amal atau aqidah, syari‟ah dan akhlak dengan menganalogikan
bangunan Dinul Islam bagaikan sebatang pohon yang baik.
Akarnya menghunjam ke bumi, batangnya menjulang tinggi ke
langit, cabangnya atau dahannya rindang dan buahnya lebat. Ini
merupakan gambaran banhwa antara iman, ilmu dan amal
merupakan satu kesatuan yang utuh tidak dapat dipisahkan
antara satu sama lain. Iman diidentikkan dengan akar dari
sebuah pohon yang mengeluarkan dahan-dahan dan cabang-
cabang ilmu pengetahuan. Sedangkan amal ibarat buah dari
pohonituidentik dengan teknologi dab seni. Iptek yang
dikembangkan di atas nilai-nilai iman dan ilmu akan
menghasilkan amal shalih, bukan kerusakan alam.
Q.S.Al-Mujadalah [58] : 11
219
Perbuatan baik seseorang tidak akan bernilai amal shalih
apabila perbuatan tersebut tidak dibangun di atas nilai-nilai
iman dan ilmu yang benar. Sama halnya pengembangan iptek
yang lepas dari keimanan dan ketakwaan tidak akan bernilai
ibadah serta tidak akan menghasilkan kemaslahatan bagi umat
manusia dan alam lingkungannya, bahkan akan menjadi
malapetaka bagi kehidupannya sendiri.
Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna.
Kesempurnaanya karena dibekali seperangkat potensi. Potensi
yang paling utama adalah akal. Akal berfungsi untuk berpikir,
hasil pemikirannya adalah ilmu pengetahuan, teknologi dan
seni. Ilmu-ilmu yang dikembangkan atas dasar keimanan dan
ketakwaan kepada Allah SWT, akanmemberi jaminan
kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia termsuk bagi
lingkungannya. Allah berjanji dalam QS. Al-Mujadalah: 11:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan
kepadamu: Berlapang-lapanglah dalam majlis, maka
lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu. Dan apabila dikatakan; Berdirilah kamu, maka
berdirilah, naiscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan.
Menurut al-Ghazali, bahwa makhluk yang paling mulia adalah
manusia, sedangkan sesuatu yang paling mulia pada diri
manusia adalah hatinya. Tugas utama pendidik adalah
menyempurnakan, membersihkan dan menggiring peserta didik
agar hatinya selalu dekat kepada Allah SWT melalui
pengembangan ilmu pengetahuan. Kegiatan pembelajaran
merupakan kegiatan yang amat mulia yang dapat menentukan
masa depan seseorang. Karena itu para pendidik akan selalu
dikenang dalam hati anak didiknya. Selanjutnya al-Ghazali
menjelaskan tentang keutamaan-keutamaan orang yang berilmu,
barang siapa berilmu, membimbing manusia dan memanfaatkan
ilmunya bagi orang lain, bagaikan matahari, selain menerangi
dirinya juga menerangi orang lain. Dia bagaikan minyak kasturi
yang harum dan menyebarkan keharumannya kepada orang
yang berpapasan dengannya.
Beriman dan berilmu pengetahuan sangat mulia, Allah berjanji
akan mengangkat derajat keduanya..Seperti firman-Nya yang
artinya;
220
“...niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman
di antaramu dan orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat...”(QS.58.Al-Mujadilah;11)
Kedudukan orng yang beriman dan berilmu sangat penting,
kerena keduanya dapat mengekspresikan Islam secara lengkap.
Orang yang beriman akan melahirkan iman dan takwa
(IMTAK), orang berilmu melahirkan ilmu pengetahuan,
teknolohi, dan seni (IPTEKS). perpaduan keduanya itu akan
menampilkan pamahaman dan penghayatan terhadap Islam
secara lengkap.
A. Tanggung Jawab Ilmuan Terhadap Lingkungan
Tanggung jawab adalah kesadaran akan tugas kewajiban yang
harus dikerjakan,serta mengetahui akibat dan dampak yang di
timbulkan dari setiap perbuatan yang akan di kerjakan itu
dengan kesiapan dan kesediaan memikul resikonya. Sebelum
berbicara tentang tanggung jawab manusia terlebih dahulu di
jelaskan fungsi dan peran manusia.
Secara umum ada dua fungsi utama manusia di dunia ini adalah
sebagai ”hamba Allah”(abdun Allah) dan sebagai khalifah
Allah di bumi. Esensi dai abdun adalah ketaatan, ketuntukan
dan kepatuhan kepada kebenaran dan keadilan Allah, sedangkan
esensi khalifah adalah tanggung jawab kepada diri sendiri dan
alam lingkungannya , baik lingkungan sosial maupun
lingkungan alam. Di samping itu juga berkewajiban
melestarikan, memanfaatkan, membangun dan memahami alam
semesta.
Tanggung jawab manusia tidak lain adalah melaksanakan fingsi
dan peranannya, yaitu di samping mengabdi kepada Allah,
manusia juga wajib mewujudkan kehendak-kehendak Allah
terhadap alam semesta ini. Khusus untuk ilmuan tentu memiliki
kewajiban dan tanggung jawab yang lebih besar, diantaranya
menjaga kkeseimbangan alam dan lingkungan tempat mereka
tinggal demi untuk keselamatan manusia keseluruhannya.
Dalam kontek „abdun, manusia menempati posisi sebagai
ciptaan Allah. Posisi ini mempunyai konsekwensi adanya
keharusan manusia untuk taat dan patuh kepada penciptanya.
Keengganan manusia menghambakan diri kepada Allah sebagai
pencipta akan menghilangkan rasa syukur dan anugerah yang
Allah berikan berupa potensi yang tidak diberikan kepada
makhluk lainnya, yaitu potensi akal. Dengan hilangnya rasa
syukurmengakibatkan ia menghambakan diri kepada hawa
221
nafsunya. Keikhlasan manusia menghambakan diri kepada diri
kepada Allah akan mencegah penghambaan manusia kepada
sesama manusia, termasuk kepada dirinya. Manusia diciptakan
oleh Allah dengan dua kecenderungan, yaitu kecenderungan
pada ketakwaan dan kecenderungan kepada perbuatan fasik.
Dengan dua kecenderungan tersebut Allah berikan petunjuk
berupa agama sebagai alat bagi manusia untuk mengarahkan
potensinya kepada keomanan dan ketakwaan bukan pada
kejahatan yang selalu didorong oleh hawa nafasu amarah.
Fungsi yang ke dua sebagai khalifah Allah di muka bumi, ia
mempunyai tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan alam
dan lingkungannya tempat mereka tinggal. Mnusia diberi
kebebasan untuk mengeksploitasi, menggal sumber-sumber
daya serta memanfaatkannya dengan sebesar-besar
kemanfaatan. Karena alam diciptakan untuk kehidupan manusia
sendiri. Untuk menggal pontensi dan memanfaatkannya
diperlukan ilmu pengetahuan yang memadai. Hanya orang-
orang yang memiiki ilmu pengetahuanlah yang sanggup
mengeksploitasi sumber alam ini. Akan tetapi para ilmuwan itu
harus sadar bahwa potensi sumber daya alam akan habis
terkuras untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia apabila
tidak dijaga keseimbangannya.
Oleh sebab itu tanggung jawab kekhalifahan banyak bertumpu
pada para ilmuwan dan cendekiawan. Mereka mempunyai
tanggung jawab jauh lebih besar dibandingkan dengan manusia
yang tidak memiliki ilmu pengetahuan. Bagi mereka yang
memiliki ilmu pengetahuan tidak mungkin mengeksploitasi
alam ini secara berlebihan, paling hanya sekedar kebutuhan
primernya bukan untuk pemenuhan kepuasan hawa nafsunya.
Kerusakan alam dan lingkungan ini lebih banyak disebabkan
karena ulah manusia sendiri. Mereka banyak yang berkhianat
terhadap perjanjiannya sendiri kepada Allah. Mereka tidak
menjaga amanah Allah sebagai khalifah yang bertugas untuk
menjaga kelestarian alam ini sebagaimana firman Allah dalam
QS. Al-Rum: 41:
Artinya: Telah nampak kerusakan di darat dan di laut
disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah
merasakan kepada mereka sebahagian dari akibat perbuatan
mereka, agar mereka kembali kepada jalan yang benar.
Dua fungsi di atas merupakan suatu kesatuan yang tidak boleh
terpisah. Dan simbol dari ke dua fungsi itu adalah zikir dan
pikir. Untuk melaksanakan tanggung jawabnya, manusia diberi
222
keistimewaan berupa kebebasan untuk memilih dan berkreasi.
Namun ia harus sadar akan keterbatasannya yang menuntut
ketaatan dan ketundukan kepada aturan Allah, baik dalam
konteks ketaatan terhadap perintah beribadah secara langsung
(fungsi sebagai abdun) maupun dalam konteks ketaatan
terhadap sunatullah, hukum alam di alam ini (fungsi sebagai
khalifah). Perpatuan anatara tugas ibadah dan khalifah ini akan
mewujudkan manusia yang ideal, yaitu manusia yang selamat di
dunia dan di akhirat.
K. Sejarah Perkembangan Peradaban Umat Islam
Kebudayaan adalah hasil akal, budi, ciptarasa, dan karya
manusia. Kebudayaan yang telah terseleksi oleh nilai-nilai
kemanusiaan yang universal kemudian berkembang menjadi
peradaban. Kebudayaan Islam adalah hasil tutunan dan ajaran
Tuhan dan agama Islam sebagai pembimbing dan pedoman
dalam prosesnya . Jadi yang dikehendaki dengan kebudayaan
Islam adalah peradaban yang beradab atau peradaban yang
Islami.
Kebudayaan Islam dimulai dengan diutusnya para Rasul,
terutama Rasul Muhammad SAW . Tonggak pertama dan utama
membangun kebudayaan Islam ini adalah hijrah, Al-Quran
mengajarkan tiga konsep hijrah agar terjadi kemajuan pada
peradaban manusia,yaitu :
1. Hijrah secara kultur (budaya), dimulai dengan perintah
membaca dan transfer ilmu melalui tulis-baca )Q.S.96. Al-Alaq
1-5)
Artinya: 1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang
menciptakan. 2. Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah, 3. Bacalah, dan Tuhanmu lah Yang Paling
Pemurah, 4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan
kalam, 5. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya.
2. Hijrah secara mental, yaitu melakukan perpindahan mentalitas
seperti sikap hidup, pola hidup, yang tidak baik atau kurang
baik kepada yang baik dan yang lebih baik (Q.S 74 Al-
Muddassir 1-7), Artinya: Hai orang yang berkemul (berselimut),
2. Bangunlah, lalu berilah peringatan, 3. Dan Tuhanmu
Agungkanlah, 4. Dan pakaianmu bersihkanlah, 5. Dan
perbuatan dosa tinggalkanlah, 6. Dan janganlah kamu memberi
(dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak, 7.
Dan untuk (memenuhi) perintah) Tuhanmu bersabarlah.
223
3. Hijrah secara fisik, yaitu berpindah dari satu tempat ke tempat
lain yang lebih baik dan strategis.
Prof.Dr.Quraish Shihab, mengatakan ilmu tidak dapat di capai
tanpa terlebih dahulu melakukan qira‟at, membaca bacaan
dalam artian yang luas. Perintah pertama menuntut ilmu
tertuang dalam wahyu Allah yang pertama kali diturunkan
kepada Rasul Muhammad SAW, yaitu: QS. al-Alaq;1-5 yang di
mulai dengan iqra‟ yang merupakan kata perintah dan berakar
dari kata qara‟a yang bermakna; menghimpun, menyampaikan,
menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui cirinya
(Shihab; 167:]; 171).
Al-Quran meletakkan pentingnya mendalami ilmu pengetahuan
sama pentingnya dengan pergi berperang membela agama (al-
Taubah;122). Rasulullah dangan tegas menetapkan hukumnya
wajib dalam menuntut ilmu sebanyak-banyaknya mungkin,
sejauh mungkin dan selama mungkin.Sabdah Nabi Muhammat
SAW :
“Tutntutlah ilmu sejak dari buaian sampai ke liang lahad”
“Siapa yang pergi dari rumahnya untuk menuntut ilmu, maka ia
berada fi sabilillah sampai ia pulang kembali”
“Ssiapa yang menempuh suatu jalan berupa menuntut
ilmumaka Allah akan memudahkan baginya jalan untuk
kesurga”.
Ulama juga sepakat bahwa hukum menuntut ilmu itu adalah
wajib. tetapi mereka membagi hukum wajib tersebut kepada
dua; yaitu;
1. Wajib perorangan (fardhu „ain)yaitu menuntut ilmu
agama.
2. Wajib komal (fardhu kifayah) yaitu menuntut semua
ilmu lainnya.
Pada abad pertengahan, dengan semangat mengamalkan
kewajiban menuntut ilmu, ummat Islam bergairah dalam
menuntut dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Pelopor utamanya adalah dinasti Abbsiyah yang berkuasa mulai
tahun 750 M. Hal-hal yang menunjang perkembangan ilmu
pengetahuan dimasa itu adalah;
1. Tidak eksklusif”Arab cantris”
2. Terjadinya asimilasi(kawin campur)terutama Arab-
Persia.
3. Kekuasaan tidak lagi berorientasi kepada perluasan
wilayah tetapi kepada perkembangan ilmu.
224
4. Teologi Rasional Isalm/Mu‟tazilah dijadikan ideologi
negara.
5. Mengutuhkan integrasi bahasa al-Quran (arab)dengan
kebudayaan dan peradaban.
6. Pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan yang baik.
7. Menghargai kebudayaan yang berasal dari luar arab.
8. Untuk pertama kalinya terjadi kontak dengan peradaban
barat yaitu kebudayaan yunani klasik.
Berkat kondisi yang mendukung tersubut maka tampillah
berbagai ilmuan muslim yang memelopori perkembangan
berbagai ilmu pengetahuan.
a. Abad ke-9
1. Jabir ibn Hayyan;bapak ilmu kimia,pendiri laboraturium
pertama.
2. Al-Khawarizmi;ahli matematika pertama di dunia Islam.
3. Al-Kindi;filosuf,penggerak dan pengembang ilmu
pengetahuan.
4. Abu Kamil Syuja;ahli aljabar muslim tertua.
5. Ibn Miskawaih;dokter spesialis diet,filosuf moral.
6. Al-Farghani;astronom yang karyanya banyak
diterjemahkan.
7. Tasib Bin Qurrah;ahli geometri yang membahs waktu
matahari.
8. AL-Battani;astronom yang melakukan observasi
gemilang.
9. Zakariya al-Razi;dokter penemu cacar dan darah tinggi.
b. Abad-10
1. Abu Qasim al-Zahrawi;ahli bedahpencipta alat bedah
2. Al-Farabi;filosuf emanasi,komentator Aristoteles.
3. Al-Mas‟udi;ahli sejarah,pengembara.
4. Ibnu Amajura;astronom pencatat perjalanan bulan.
5. Abu Dulaf;sang penyair yank ahli logam.
6. Ibnu Juljul;penulis biografi dan ahli kedokteran.
7. Al-Hazin;ahli matematika yang memecahkan soal-soal
Archimedes.
8. Abu Wafa;astronom dan ahli matematika yang
mengembangkan trigonometri.
c. Abad ke-11
1. Ibnu Haitsam;ahli fisika yang di segani Bacon dan
Kepler
2. Al-Karkhi;penulis paling orisional di bidang aritmatika.
225
3. Ibnu Irak;guru al birruni,ahli astronomi dan matematika.
4. Al-Birruni;eksperimentalis yang berilmu luas.
5. Ibnu Sina;dokter dan filosuf jiwa.
6. Ibnu Yunus;penemu pendulum.
7. Ibnu Wafid;farmakolog yang menyelidiki obat bius.
8. Ibnu Saffar;penulis sejumlah tabel astronomis.
9. Abu Ubaid al-Bakri;ahli ilmu bumi.
d. Abad ke-12
1. Umar Khayyam;ahli aljabar dan syair.
2. Ibnu Bajjah;filosuf dan ahli musik.
3. Al-Kharaki;ahli astronomi,matematika dan geografi.
4. Al-Khazani;meteorolog penemu teori grafitasi dan
dokter.
5. Jabir bin Aflah;astronom yang membangun
observatorium.
6. Ibnu Ghalib;ahli geografi,penulis sejarah spanyol.
7. Abu Khair;ilmuan yang ahli tumbuh-tumbuhan.
8. Ibnu Rasyd;filosuf,ahli hukum,perintis kedokteran
umum.
9. Ibnu Thufail;filsuf,murid Ibnu Rasyd.
e. Abad ke-13
1. Al-Bitruji;astronom yang mengenal teori gerak spiral.
2. Ibnu Sa‟ati;dokter,ahli mambuat kunci.
3. Abdul Lathif;ahli anatomi,pengembang study
pertualangan.
4. Ibnu al-Baithar;dokter hewan,penemu 300 jenis obat.
5. Al-khazwini;ahli ilmu falak dan gegrafi.
6. Abi Mahasin;dokter spesialis mata.
7. Ibnu Nafis;ahli fisiologi dan sirkulasi darah yang
kemudian diformalkan oleh Michael Servetus.
f. Abad-abad berikutnya;
1. Ibnu al-Munzir (abad ke-14); ahli hewan
2. Ustad Khairudiin (abad ke-15); arsitek besar dari turki.
3. Ibnu Majiid (abad ke-15); navigator terbesar di abadnya.
4. Mohammad Iqbal (abad ke-19);filosuf dan penyair dari
pakistan.
5. Prof.Abdus Salam (abad ke-20) ahli fisika dari
pakistan,memperoleh hadiah nobeltahun1979.
Abad pertengahan terdapat empat pusat perdaban Islam;
Baghdad dan Mesir di dunia Islam bagian timur, serta Sicilia
dan Spanyol Islam (Andalusia) di dunia bagian barat. Baghdad
226
berperan dari tahun 750 s/d di hancurkan oleh Mongol tahun
1258 M, adapun Spanyol berperan dari tahun 211 s/d dikuasai
oleh penguasa Kristen tahun 1492 M.
Empat pusat-pusat peradaban tersebut berperan besar dalam
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di Eropa, terutama
dari Andalusia yang secara geografis merupakan gerbang
pengaruh di bidang politik, sosial, ekonomi,ilmu pengetahuan,
dan filsafat.
Pengaruh peradaban Islam ke Eropa di mulai dengan banyaknya
pemuda Kristen Eropa yang belajar di berbagai universitas
Islam di Andalusia seperti Universitas di Cordova, Sevilla,
Malaga, Salamanca dan Granada. Selama belajar mereka giat
menerjemahkan buku-buku yang menjadi oleh-oleh ketika
mereka pulang.
Selanjutnya mereka mendirikan Universitas Paris (1231M) dan
mengajarkan semua ilmu yang mereka dapatkan seperti
kedokteran, pemikiran-pemikiran falsafat Ibnu Sina, al-Farabi,
al-Kindi, Ibnu Risyd dll (108-109).
Selain melalui lembaga dan aktifitas ilmuan di Spanyol tersbut,
saluran masuknya peradaban islan ke Eropa juga melalui
gerakan penerjemahan di Sicilia serta Perang Salib (abad ke-11
s/d 13).
Semangat empirisisme ke ilmuan Islam itu lah yang mendorong
sebagian besar ilmuan Eropa untuk meneliti alam, menaklukan
lautan dan menjelajahi benua. Maka muncullah Chtistoper
Colombus yang menemukan benua Amerika (1492M),Vasco
Dagama yang menemukan jalur ke timur melelui Tanjung
Harapan (1494M).Ironisnya; pada saat yang sama ummat Islam
tengah mengalami kemunduran, kekalahan dan kebekuan.
Sedangkan di Eropa semakin maju hingga saat ini (yatim;169).
Ilmu pengetahuan dan peradaban Islam berpengaruh di Eropa
telah berlangsung sejak abad ke-12 M dan mampu memberikan
sumbangsihnya terhadap reinassance (kebangunan dan
kelahiran kembali). Eropa yang di mulai dari Italia pada abad
ke-13 M. Filosuf Inggris, Arthur Bertrand Russell, dalam
bukunya History of Western Philosophy (1974;420) telah
mengakui peran peradaban islam di abad ke-13 sebagai telah
mampu membebaskan Barat dari kebiadabannya (barbarism).
Kenyataan seperti itu lah yang membuat seseorang orientalis,
Alfred Guillaume (Arnold,1952;241) menyatakan; ‟Had the
Arabs been barbarians like the Mongolos....The renascence in
Eropa might well have been delayed more then one
227
century...”.(Andai orang-orang Arab (Islam) dulu itu biadab
seperti orang-orang Mongol...... .Maka kebangkitan kembali di
Eropa niscaya akan terlambat lebih dari satu abad).
L. Mesjid sebagai Pusat Peradaban Umat Islam
Dalam sejarah Islam, setelah Rasululah melakukan hijrah dari
Mekkah ke Madinah, beliau memiliki kekuasaan di berbagai
aspek kehidupan, di samping aspek agama. Tempat pertama
yang beliau bangun sebagai pusat kegiatan melakukan tugas-
tugasnya sebagai pemimpin adalah Mesjid. Di masjid beliau
memimpin shalat, dan di masjid pula beliau membangun
kehidupan sosail, politik, ekonomi, hukum, pertahanan dan
keamanan. Di masjid, Rasulllah SAW mengajar, menerima
tamu kenegaraan, menyelesaikan permasalahan umat,
pembinaan umat dan memberikan kemando perang.
Mesjid sesungguhnya berfungsi luas, tidak hanya sekedar
tempat ibadah, zikir,dan kegiatan-kegiatan keagaman yang
khusus, melainkan juga kegiatan pembinaan umat.mesjid
memiliki dua fungsi utama yaitu :
1) fungsi ritual : sebagai tempat pelaksanaan ibadah khusus
2) fungsi sosial : sebagai pusat kegiatan-kegiatan
sosial,keilmuan dan kesejahteraan.
Pada waktu masa rasul Muhammad saw mesjid difungsikan
sebagai pusat peradaban islam, yaitu pusat semua aktivitas
kemanusian,keilmuan,kemasyarakatan dan ekonomi. Pada saat
ini masjid tidak memungkinkan lagi menampung semua pusat-
pusat kegiatan tersebut. Implementasi fungsi masjid
sebagaimana terjadi pada masa Rasulullah SAW saat ini, adalah
perannya yang menjadikan ajaran Islam sebagai dasar yang
menentukan kebijakan dalam membangun umat dalam berbagai
sektor kehidupan. Sarana fisik dan kelembagaan, mungkin saja
berkembang di luar masjid, tetapi subtansi arah dan kebijakan
tidak boleh terpisah dan bertentangan dengan fungsi masjid.
Dalam istilah al-Qur‟an, masjid adalah tempat pembinaan umat
untuk membangun umat yang bertakwa, sebagaimana firman
Alllah dalam QS. Al-Taubah: 108: Artinya: Janganlah kamu
shalat dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid
yang didirikan atas dasar takwa, sejak hari pertama adalah
lebih patut kamu bershalat di dalamnya. Di dalamnya ada
orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah
menyukai orang-orang yang bersih.
228
berikutnya dimesjidlah umat islam membangun
universitas.Umat islam lamban dalam memajukan
peradabannya karena hilangnya fungsi dan peranan mesjid
sebagai pusat peradaban , disamping hilangnya tradisi keilmuan
yang telah dengan gemilang dirintis dan dicontohkan oleh umat
islam generasi awal. Selain itu umat islam terpedaya oleh pola
dan sikap hidup sekuler, materialistik, fanatisme sempit,
irrasional, anti intelektual, berpecahbelah, malas, manja dan
berbuat yang sia-sia.(Pembaruan dalam islam) . upaya umat
islam membangun peradabannya dizaman modern tidak terlepas
dari upaya pembaharuan. pembaharuan setimbang dengan
istilah tajdid (arab_ dan reformation atau modernization
(inggris) yang secara bahasa artinya mengadakan sesuatu
yang belum ada dan memperbarui sesuatu yang telah
usang. Modernisme dibarat cenderung menjadi sekularisme,
karena modernisasi yang mereka lakukan berupa “fikiran ,
aliran, gerakan dan usaha untuk mengubah paham-paham atau
adat istiadat serta institusi-institusi lama dsb untuk disesuaikan
dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu
pengetahuan teknologi modern” (Nasution, Islam II : 93).
Pembaharuan dalam Islam menurut Harun Nasution, adalah
pikiran dan gerakan untuk menyesuaikan paham-paham
keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang
ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern
(Nasution,1975 : 11-12). Sedangkan Azyyumardi Azra
mendefinisikannya sebagai usaha-usaha sadar di antara ulama
dalam jaringan untuk membarui dan merevitalisasi ajaran-ajaran
islam serta merekonstruksi sosio-moral masyarakat muslim
(Azra. 1995 :16). Pembaruan dalam islam tidak mengarah
kepada sekularisme. Pembaruan hanya terjadi kepada
penafsiran/iterpretasi dalam islam dalam rangka untuk
merevitalisasi ajaran dan membangun kembali sosiomoral umat
islam. Landasan hukum bolehnya pembaruan yang demikian
adalah :
1. Firman Allah yang menyuruh kita agar selalu
mengintropeksi keimanan(Al-baqarah:170), mengujinya (al-
A‟raf:28-29) serta bersikap terbuka dan korektif (QS.43:22-
24).
2. Hadis nabi yang menyuruh untuk selalu memperbaharui
iman, serta mengabarkan bahwa akan selalu ada pembaharu
keberagamaan umat setiap awal seratus tahun (HR.Abu
Daud).
229
Cikal bakal pembaharuan dalam Islam diilhami oleh
gerakan pemurnian akidah dan ibadah yang dipelopori oleh
Muhammad bin Abdul Wahhab (w.1792M) di Arabia. Tiga
pokok pemikirannya yang mempengaruhi pemikiran para
pembaharu adalah :
1. Hanya al-Quran dan hadislah sumber asli ajaran Islam,
adapun pendapat/interpretasi ulama bukan sumber asli.
2. Taklid (mengikut buta) ulama tidak dibenarkan.
3. Pintu ijtihad tetap terbuka.
Point pertama pemikiran ini menunjuk kepada Islam otentik
yang tidak dapat diperbarui, hanya dapat dimurnikan. Ponint
kedua menunjukan berlakunya pembahuruan terhadap point
kedua.(Pembahuran di Indonesia). Pembaharuan Islam di
Indonesia, dalam bentuk revitalisasi ajaran Islam dan
rekonsstruksi sosio-moral umat Islam sebenarnya telah muncul
sejak abad ke-17. Banyak ulama Nusantara yang terkenal
sepanjang abad-abad.namun dalam arti masuknya ide-ide
modernisme ke dalam pemikiran pembaharuan Islam baru
dimulai pada abad ke-20,diilhami oleh majalah Al-Imam yang
terbit di Malaysia oleh said Muhammad Agil dkk. Manar
pimpinan Rasyid Ridha di Mesir. Pengaruhnya di Padang
terlihat pada majalah ini berisi ide-ide pembaruan yang terdapat
didalam majalah Al-Manar pimpinan Rasyid Ridha di Mesir.
Pengaruhnya di Padang terlihat pada majalah Al-Munir yang
diasuh oleh H.Abdul Karim Amrullah (ayah Buya HAMKA)
dan kawan-kawannya.Pembaharuan di Jakarta dimulai dengan
didirikannya sekolah Jami‟at Khair tahun 1901. Ulama dari
sudan bernamaa Syekh Ahmad Surkati yang merupakan
pengikut Muhammad Abduh. Beliau kemudian membentuk
organisasi Al-Islah wa al-Irsyad serta mendirikan sekolah
bernama al-Zakhirah. Melalui tiga wadah inilah ide-ide
pembaharuan mereka berkembang. Pengaruhnya sangat besar
adalah gerakan K.H Ahmad Dahlan yang mendirikan organisasi
dakwah Muhammadiyah tahun 1912. Dengan organisasi dan
sekolah-sekolah modernya yang menyebar ke seluruh
Indonesia, maka pembaharuan di Indonesia dilakukan olehnya.
Pembaharu lainnya adalah H.Agus Salim yang banyak
mempengaruhi golongan intelegensia muslim Indonesia yang
berpendidikan Barat. Kemudian juga H. Said Omar
Cokroaminoto dengan Syarikat Islamnya, dan H.A.Hasan
Bandung dengan persatuan Islam. Kalbar juga tidak tertinggal
230
dalam arus besar pembaharuan ini. Di antara tokoh-tokoh
pembaharu yang pernah muncul adalah Syaikh Ahmad Khatib
As-Sambasy (1803-1875) yang mengadakan pemurnian
berbagai ajaran terekat dan mengembalikannya kepada yang
dapat dipertanggung jawabkan yaitu tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah. Ahmad Khatib Sambas meninggalkan ajaran-
ajarannya dalam kitab Fathul-Arifin. Tokoh lainnya
mengembangkan pemikiran guruny Syaikh Rasyid Ridha murid
Muhammad Abduh di Mesir. Mufti kerajaan Sambas ini banyak
mengadakan upaya peningkatan kualitas umat Islam seperti
mendirikan lembaga pendidikan untuk mencetak calon-calon
pemuka agama da‟i dll.
231
BAB XI
KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA
A. Islam Agama Rahmat Bagi Seluruh Alam
1. Makna Agama Islam
Kata Islam berarti, selamat, sejahtera, penyerahan diri, taat dan
patuh. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa agama Islam
adalah agama yang mengandungh ajaran untuk menciptakan
kedamaian, keselamatan, dan kesejahteraan umat manusia pada
khususnya dan semua makhluk Allah pada umumnya. Kondisi ini
akan terwujud apabila manusia sebagai penerima amanah Allah
dapat menjalankan aturan Allah tersebut secara benar dan kaafah.
Agama Islam adalah agama yang Allah turunkan sejak manusia
pertama, yaitu Nabi Adam AS. Kemudian agama Islam itu
diturunkan oleh Allah secara berkesenambungan kepada para Nabi
dan Rasul berikutnya sampai kepada Rasul terakhir Muhammad
SAW. pada awal abad ke-VII M. Islam sebagai nama dari agama
yang Allah turunkan belum dinyatakan secara eksplisit pada masa
kerasulan kerasulan sebelum Rasul Muhammad SAW, tetapi
makna dan subtansi ajarannya secara implisit mempunya
persamaan yang dapat dipahami dari pernyataan sikap para rasul
sebagaimana difirman Allah dalam QS. 2 (al-Baqarah) : 132:
Artinya: Dan Ibrahim telah mewasiatkanucapan itu kepada
anak-anaknya, demikian pula Yakub (Ibrahim berkata);
Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah
memilihagama itu bagimu, maka janganlah kamu mati
kecuali dalam memeluk agama Islam.
2. Bersifat Rahmatan Lil‟Alamin
Islam diturunkan untuk mewujudkan rahmat, kasih sayang Allah
terhadap makhluk-Nya, seperti ketenangan hidup, kedamaian
hidup, dan kebahagian hidup serta kemaslahatan bagi semua
makhluk-Nya. Hal ini dinyatakan oleh Allah dalam QS 48 (al-
Fath) 4:
Artinya: Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam
hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah
di samping keimanan mereka yang telah ada. Dan
kemupunyaan allahlah tentara langit dan bumi dan adalah
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Kerahmatan yang ingin diwujudkan Islam itu juga dinyatakan
Allah ketika menjelaskan kerasulan Muhammad SAW
sebagaimana difirmankan dalam QS. 21 (al-Anbiya‟):107:
232
Artinya: Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan un tuk
menjadi rahmat bagi semesta Alam.
3. Kerahmatan Islam Bagi Seluruh Alam
Ketika Islam mulai disampaikan oleh Rasul Muhammad SAW
kepada masyarakat Arab dan beliau mengajak masyarakat untuk
menerima dan mentaati ajaran yang disampaikannya, tanggapan
masyarakat terhadap ajakan Rasullah SAW tersebut beraneka
ragam. Pada mulanya mereka merasa heran dan menganggap
ganjil. Islam dianggapnya sebagai ajaran yang menyimpang dari
tradisi leluhur yang telah mendarah daging bagi masyarakat Arab,
yang mereka taati secara turun menurun. Mereka tida k mau tahu,
apakah tradisi tersebut salah atau benar. Hal itu dijelaskan oleh
Alla dalam QS. Al-Baqarah: 170:
Artinya: Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa
yang telah diturunkan Alla”, mereka menjawab”(Tidak), kami
hanya mengikutiapa yang telah kami dapati (perbutan) nenek
moyang kami”, “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun
nenek moyang mereka itu tidak mengetahuisuatu apa pun, dan
tidak mendapat petunjuk”
4. Bentuk-bentuk kerahmatan Allah pada ajaran Islam itu
diantaranya adalah:
a. Islam menunjukan manusia jalan kebenaran
Islam memberikan petunjuk kepada manusia pada jalan
yang benar. Ajaran Islam sebagiannya bersifat supra
rasional atau ta‟abbudi, artinya di atas kemampuan akal
manusia untuk mengetahuinya. Ajaran Islam itu diperlukan
oleh manusia, baik sebagai subtansi pengetahuan maupun
sebagai sarana pengabdian, seperti Kemahaesaan Allah dan
ajaran Shalat.
b. Islam memberikan kebebasan kepada manusia untuk
menggunakan potensi yang diberikan Allah secara
bertanggung jawab.
Sekalipun Allahmemberikan petunjuk kebenaran kepada
umat manusia, tetapi Allah tidak memaksakan kehendak-
Nya kepada manusia untuk menerima petunjuk-Nya,
sekalipun Allah memilii kekuasaan untuk memaksa
manusia. Allah hanya mengingatkan kepada manusia akan
konsekwensi yang harus diterima manusia dengan pilihan
hidupnya tersebut. Manusia bebnas untuk menerima atau
menolak pwetunjuk Allah tersebut. Penilaian dan balasan
233
Allah terhadap pilihan hidup manusia secara mutlak akan
diberikan di akhirat kelak.
c. Islam menghargai dan menghormati semua manusia sebagai
hamba Allah, baik muslim maupun non muslim.
Di hadapan Allah manusia itu sama. Karena itu manusia
mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama.
Yang membedakan manusia yang satu dengan lainnya
hanyalah ketakwaannya. Asas persamaan itu mengharuskan
perlakuan yang adil kepada setiap manusia dan tidak boleh
menyakiti dan mendhalimi satu sama lain. Apabila terjadi
konsekwensi dalam kehidupan, seperti dikenakan sangsi
hukum dan membayar zakat, hal itu timbul karena kodisi
masing-masing secara spesifik berdasarkan perbuatan yang
dilakukannya. Allah berfirman dalam suarat al-Furqon : 19:
Artinya: Maka sesungguhnya merekayang disembah itu
telah mendustakan kamu tentang apa yang katakan maka
kamu tidak akan dapat menolak (adzab) dan tidak pula
menolong dirimu, dan barang siapa di antara kamu yang
berbuat dzalaim, niscaya Kami rasakan epadanya adzab
yang besar.
d. Islam mengatur pemanfaatan alam secara baik dan
proporsional.
Allah berfirma dalam QS. Al-Baqarah: 29:
Artinya: Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang
ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menuju
langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha
Mengetahui segala sesuatu.
Dalam ayat ini Allah memberikan hak kepada manusia
untuk memanfaatkan alam beserta isinya, tetapi juga Allah
mengingatkan kepada manusia dalam firman-Nya QS. Al-
Ruum: 41:
Artinya: Telah nampak kerusakan di darat dan di
lautdisebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya
Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari akibat
perbuatan mereka, agar mereka kembali kepada jalan yang
benar.
Dalam ayat ini Allah mengingatkan bahwa kerusakan
yang terjadi di alam ini diakibatkan oleh perbuatan manusia
yang tidak terkontrol, dan akibatnya menyengsarakan hidup
manusia sendiri. Begitu pula dengan pemanfaatan hewan,
Allah menghalalkan makan daging dari sebagian binatang
234
yang ada di alam ini, tetapi dalam penyembeliahannya
Rasulullah mengingatkan apabila dalam penyembelihan
binatang hendaknya dengan cara yang baik, gunakanlah
pisau yang tajam, agar tidak menyiksa binatang yang
disembelih.
e. Islam menghormati kondisi spesifik individu manusia dan
memberikan perlakuan yang spesifik pula.
Bagi orang yang berpergian jauh di bulan Ramadhan,
diberikan dispensasi untuk berbuka, orang yang lupa atau
tertidur sehingga waktu shalat habis, ia boleh mengerjakan
shalat ketika ingat atau bangun dari tidurnya, sekalipun
waktu shalat telah lewat, orang yantg lapar dan tidak
memiliki makanan kecuali barang haram, ia boleh
memakannya sekedar untuk bertahan hidup. Dalam masalah
keyakinan, Islam juga menghormati pilihan bebas manusia
untuk menentukan keyakinannnya sendiri. Karena itu orang
kafir selama mereka tidak mengganggu dan memusuhi
orang Islam, mereka tidak boleh juga dimusuhi.
B. Makna Ukhuwah Islamiyah dan Ukhuwah Islamiyah
1. Ukhwah Islamiyah
Kata ukhwah berarti persaudaraan, artinya adalah
persaudaraan simpati dan empati antara dua orang atau lebih.
Masing-masing pihak memiliki satu kondisi atau perasaan yang
sama, baik suka maupun duka, baik senag maupun sedih.
Jalinan persaudaraan itu menimbulkan sikap timbal balik untuk
saling membantu apabila pihak lain mengalami kesulitan, dan
sikap untuk saling membagi kesenangan kepada pihak lain
apabila pihak lain menemukan kesenangan. Ukhwah atau
persaudaraan berlaku terhadap sesama umat Islam, yang disebut
ukhwah Islamiah, dan berlaku pula kepada sesama umat
manusia secara universal tanpa membedakan agama, suku, ras,
dan aspek-aspek perbedaan lainnya, yang disebutukhwah
insaniah.
Persaudaraan sesama muslim, berarti saling menghormati
dan saling menghargai relavitas masing-masing sebagai sifat
kemanusiaan, seperti perbedaan pemikiran, sehingga tidak
menjadi penghalang untuk saling membantuatau menolong,
karena diantara mereka terikat oleh satu keyakinan dan jalan
hidup, yaitu Islam.Agama Islam memberikan petunjuk yang
jelas untuk menjaga agar persaudaraan sesama muslim itu dapat
235
terjalin dengan kokoh sebagaimana disebutkan dalam QS al-
Hujarat : 10-12:
Artinya: 10. Orang-orang yang beriman itu sesungguhnya
bersaudara sebab itu damaikanlah (perbaikilah
hubungan)antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap
Allah, supaya kamu mendapat rahmat.11. Hai orang-orang
yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki
merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang
ditertawakanitu lebih baik dari mereka,dan jangan pula
sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh
jadi yang direndahkan itulebih baik, dan janganlah suka
memncela dirimu sendiri dan jangan memanggildengan gelaran
yang mengandung ejekan, seburuk-buruk panggilanadalah
(panggilan) yang buruk sesudah iman, dan barang siapa yang
tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. 12.
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba
sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba sangka itu
dosa, dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan
janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang
diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang
sudah mati? Maka tentulH kamu merasa jijik kepadanya, dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya AllahMaha
PenerimaTaubat lagi Maha Penyayang.
2. Ukhwah Insaniah
Konsep Islam tentang persaudaraan sesama umat manusia, yang
disebut ukhwah insaniah, adalah bahwa sesama umat manusia
itu adalah makhluk Allah.Sekalipun Allah memberikan
petunjuk kebenaran melalui ajaran Islam, tetapi Allah juga
memberikan kebenaran kepada setiap manusia untuk memilih
jalan hidup berdasarkan pertimbangan rasionya. Karena itu
sejak awal penciptaan Allah tidak tetapkan manusia sebagai
satu umat, pada hal Allah bisa bila mau. Itulah fitrah manusia,
sebagaimana Allah jelaskan dalam QS. Al-Maidah: 48:
Artinya: Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur‟an
dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang
sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturnkan sebelumnya) dan
batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu, mata putuskanlah
perkara mereka menurut apa yang Allah turunkandan
236
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk
tiap-tiap umat diantara kamu. Kami berikan aturan dan jalan
yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu
jadikan-Nya satu umat saja, tetapi Allah herndak menguji kamu
terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka bertlomba-lombalah
berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu
kembalisemuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang
telah kamu perselisihkan itu.
Prinsip kebebasan itu menolak pemaksaan suatu agama
oleh otoritas manusia manapun, bahkan Rasulullah SAW pun
dilarang oleh Alllah melakukannya, sebagaimana firman Allah
dalam QS. Yunus:99:
Artinya: Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman
semua orang yang dimuka bumi seluruhnya. Maka apakah
kamu hemndak memaksa manusia supaya mereka menjadi
orang-orang beriman semuanya?
Dalam QS. Al-Baqarah : 256 Alllah berfiurman:
Artinya: Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam,
sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang
sesat. Karena itu baramng siapa yang ingkar kepada Thaghut
dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah
berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan
putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
1. Pengertian Pluralisme
Secara etimologi, Pluralisme adalah mengenal lebih dari
satu. Sedangkan secara terminologis, paham kemajemukan atau
paham yang berorientasi kemajemukan yang memiliki berbagai
penerapan yang berbeda dalam berbagai filsafat agama, moral,
hukum dan politik, termasuk adat, kebiasaan, dimana batas
kolektifnya adalah pengakuan atas kemajemukan di depan
ketinggalan.
Seperti dalam filsafat, sebagian orang tidak
mempercayai aspek kesatuan dalam makhluk-makhluk Tuhan,
dan pandangan ini kemudian disebut dengan heterogenitas
wujud dan jnaujud. Lawan pandangan ini adalah paham
panatisme atau paham yang menolak segala bentuk
heterogenitas atau paham yang menerima adanya
237
keanekaragaman sekaligus ketunggalan. Ada juga yang
mengatakan bahwa pluralisme dipahami sebagai doktrin
metafisik yang memandang bahwa seluruh eksistensi
secaraumum bisa menunjukkan jalan keselamatan. Hanya
agama tertentu saja yang benar. Cara pandang yang demikian
ini merupakan cara pandang yang tidak bisa dihindari bagi
seseorang yang dibatasi sebuah tradisi agama tertentu.
Akan tetapi ketika agama-agama itu lahir secara historis,
ia berhadapan dengan masyarakat Secara lebih luas, istilah
pluralis merupakan salah satu kata ringkas untuk menyebut
suatu tatanan dunia baru dimana perbedaan budaya, sistem
sosial, sistim kepercayaan dan nilai-nilai yang membangkitkan
bergairahnya berbagai ungkapan manusia yang tidak kunjung
habis sekaligus mengilhami konflik yang berkepanjangan dan
sulit didamaikan
Pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan
mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam,
terdiri berbagai suku, entis, ras dan agama, yang justru hanya
menggambarkan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga
tidak boleh dipahami sekedar kebaikan negatif (negative good),
hanya dijilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme.
Pluralis akan dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan
dalam ikatan-ikatan keadaan. Bahkan pluralis adalah suatu
keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui
mekanisme perawatan, pengawasan dan pengembangan yang
dihasilkannya.
Ajaran Islam paska meninggalnya Rasulullah pada
akhirnya mengalami banyak perkembangan, seperti munculnya
banyak theologl bersumber pada Al-Qur‟an dan Al-Hadits, tetap
saja pada implementasi ajarannya sangat beragam.
2. Pluralisme dalam Perspektif Islam
Islam sangat menghargai perbedaan. Bahkan Nabi
Muhammad berpendapat bahwa perbedaan (khilafiyah) dalam
konsepsi Islam adalah sebuah rahmat. Ketika Islam periode
Madinah betapa Nabi berusaha keras untuk menerima banyak
perbedaan. Pada periode ini bersatu kaum Ansor sebagai
penduduk asli Madinah dengan Muhajirin, pendatang dari
Makkah. Belum lagi Nabi harus menerima kaumYahudi
Madinah yang memang sebelumnya telah menetap di sana.
Heterogenitas ini sebagai cikal bakal konsep pleralisme yang
harus Nabi ramu menjadi masyarakat Madani. Dan Nabi
238
berhasil karena mengedepankan konsep kebersamaan, saling
hormati, saling menghargai, saling toleran di bidang sosial.
Perbedaan adalah karunia umat manusia, bukan sebaliknya
merupakan bencana,
Q.S.A1-Baqarah [2] : 251
Artinya: mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut
dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Daud membunuh
Jalut, kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud)
pemerintahan dan hikmah (sesudah meninggalnya Thalut) dan
mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya.
seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat
manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini.
tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas
semesta alam.
Pluralisme merupakan pengakuan adanya kebhinekaan
(diversity). Selama Orde Baru, Bhineka Tunggal Ika hanya
sekedar slogan, karena maknanya telah direduksi menjadi ke-
eka-an dengan doktrin uniformity-nya. Kebhinekaan harus
dipahami sebagai keniscayaan, karena tidak ada yang dapat
menghilangkan kebhinekaan. Mengenai perbedaan ini dalam
Al-Qur'an telah disebutkan, sebagai berikut:
Q.S.A1-Hujarat [49] : 13
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersukusuku supaya
kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi
Maha Mengenal.
Ayat di atas menunj uldon bahwa pluralis memang
dikehendaki Tuhan, hanya saja perbedaan itu dalam kerangka
yang lebih baik.
Islam mengajarkan persamaan diantara sesama manusia, dan
karena itu Islam juga sangat mengutuk perlakuan diskriminatif
diantara manusia dan merasa dirinya lebih tinggi dan orang lain
sehingga merendahkan martabat orang lain. Perbedaan warna
kulit, bahasa, budaya, pekerj aan, status sosial dan lain
sebagainya bukan merupakan alasan manusia yang satu
memiliki deraj at lebih tinggi diantara yang lain. Pada
kenyataannya yang membedakan manusia di hadapan Tuhan
adalah ketaqwaannya. Tuhan mengungkapkan bahwa manusia
diciptakan dalam bentuk yang sempurna,
239
Q.S. At-Tin [95] : 4-5
Artinya: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia
dalam bentuk yang sebaik-baiknya kemudian Kami kembalikan
Dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka),
Q.S.A1-Bagarah [2] : 213
Artinya: manusia itu adalah umat yang satu. (setelah
timbul perselisihan), Maka Allah mengutus Para Nabi, sebagai
pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka
kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia
tentang perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih
tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan
kepada mereka Kitab, Yaitu setelah datang kepada mereka
keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara
mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang
yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka
perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu
memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan
yang lurus.
Dalam memahami ayat di was muncul tiga fakta, khususnya
yang berkaitan dengan pluralisme agama. Pertama, kesatuan
umat manusia di bawah satu Tuhan. Kedua, kekhususan agama-
agama yang dibawa oleh para nabi. Ketiga, peran wahyu dalam
mendamaikan perselisihan atau perbedaan di antara berbagai
umat beragama. Ketiganya merupakan konsep fundamental Al-
Qur'an tentang pluralisme agama.
Pada satu sisi, konsepsi tersebut tidak mengingkari
kekhususan berbagai agama dan kontradiksi-kontradiksi yang
mungkin ada di dalamnya. Sedangkan di sisi lain konsepsi
tersebut menentukan kebutuhan untuk mengakui kesatuan
manusia dalam penciptaan dan kebutuhan untuk berusaha
menumbuhkanpemahaman yang lebih baik antar umat
beragama. Selanjutnya agar plurlisme tetap terjaga dengan baik,
yang mutlak diperlukan adalah sikap saling menghormati, tidak
menganggap kelompok yang lain lebih rendah, toleransi, dan
untuk ituperlu dikembangkan dialog antar budaya, agama, entis
dan lintas golongan, dengan harapan agar masing-masing
mampu mengerti, memahami dan menghormati. Kesediaan
mental untuk saling menerima segala perbedaan yang ada.
Dengan begitu akan tercipta suatu masyarakat yang harmonis
dimana masing-masing kelompok dapat saling hidup
berdampingan dengan aman tanpa ada rasa curiga.
3. Hablumminannas
240
Ajaram Islam yang sangat universal tidak saja mengatur
hablumminallah, tetapi juga mengatur hablumminnas
Hablumminallah sejauh ini di kalangan remaja, mahasiswa
nyaris tidak banyak masalah, karena konsep ini diterima, sejak
TK sampai PT.
Dalam bidang aqidah, bermunculan ajaran baru,
fenomena seseorang yang mengaku nabi, mengaku malaikat
mengaku mendapat wahyu dari tuhan pada akhirnya bukan
sesuatu yang luar bias. Akibatnya adalah keresahan umat tidak
pernah berhenti yang ada ujungnya sering tetjadi bentrok antar
umat seagama, kekerasan fisik antar umat beragama. Semua itu
disadari atau tidak sebagai akumulasi dari pemahaman konsep
hablumminannas belum sepenuhnya diamalkan oleh umat.
Umat masih merasa benar dengan theologinya, dan tidak
sedikit yang menyalahkan bahkan menyesatkan umat lain.
Padahal kalaupun memang dianggap sesat, bukankah masalah
aqidah merupakan wilayah Tuhan, dan manusia tidak berhak
memasuki wilayah ini.
Al-Qur‟an memandang konsep manusia sebagai bashar,
seharusnya menyadarkan manusia bahwa ada sisi kemanusiaan
yang harus dipelihara oleh manusia itu sendiri. Memanusiakan
diri sendiri saja memang berat, apalagi memanusiakan manusia
lain. Tetapi setidaknya karena bashar-nya manusia, maka
menghargai, menghormati, toleransi, antar 'manusia setidaknya
akan tepelihara, dan pada akliirnya pluralis diantara manusia
akan tercipta dan terpelihara dengan sempurna.
Pluralisme bukan berarti menyamakan semua agama.
Karena jika seluruh agama sama, berarti agama hanya satu. Jika
agama hanya satu, artinya tidak plural. Dengan begitu
pluralisme merupakan sebuah sikap yang menggunakan semua
agama. Bahkan Al-Quran menyikapi pluralism secara positif.
Dengan begitu manusia harus memelihara sikap saling
menghargai, menghormati serta toleransi dalam urusan
Hablumminannas sehingga pada akhirnya pluralis yang ada
pada suatu lingkungan yang bermasyarakat yang beraneka
ragam akan tercipta dan terpelihara dan dapat saling hidup
berdampingan dengan baik dan aman.
4. Persatuan dan Kerukunan Umat Beragama
Nabi Muhammad saw pernah menggambarkan bahwa
umat ilam itu laksana satu bangunan yang saling menguat kan
241
satu sama lain.Umat islam juga laksana satu tubuh, yang apabila
satu bagian sakit maka seluruh tubuh akan merasa sakit.
Sebagaimana sabda beliau: Dari Nu‟man bin Basyir berkata,
Rasulullah saw bersabda:
Artinya: "perumpaman orang yang beriman dan saling yang
mencintai ,mengasihi, dan membantu satu kepada yang lain
lainnya, bagaikan suatu tubuh yang apabila satu anggota
menderita sakit, maka seluruh tubuh merasakan sakit tidak mau
tidur dan merasakan demam" (HR. Al –Bukhari dan Muslim)
Ajaran islam sendiri telah mengatur tatanan kehidupan
bermasyarakat dan bernegara secara rukun, damai dan sejahtera
(baldatun tayyibah) sebagaimana tujuan hidup manusia yang
selalu di ucapakan dalam doa sebagai berikut:
Q.S Al-Baqarah (2):201
Artinya: "dan di antara mereka ada orang yang berdoa:‟‟ya
tuhan kami,berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di
akhirat dan periharalah kami dari siksa neraka‟‟.
Contoh perilaku persatuan dan kerukunan
a. Tasamuh.
Tasamuh adalah toleransi social kemasyarakatan. Dalam bidang
akidah dan keimanan, seorang muslim meyakini islam satu-
satunya agama yang benar dan di ridhai Allah Swt.
Dasar perilaku ini disebutkan dalam Al-Quran surat Ali-Imran
(3):19 dijelaskan “Sesungguhnya agama (yang di ridhaii) disisi
Allah hanyalah Islam, tiada berselisih orang-orang yang diberi
AlKitab kecuali sesudah dating pengetahuan kepada mereka,
karena kedengkian (yang ada) diantara mereka. Barangsiapa
yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka Sesungguhnya Allah
sangat cepat hisab-Nya”. Selain itu juga dijelaskan dalam Q.S
Ali-Imran (3):85 bahwa “Barangsiapa mencari agama selain
Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari
padanya, dan Dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”.
Setiap yang menganggap semua agama itu benar tidak sesuai
dengan keimanan seorang muslim dan pemikiran yang logis.
Perbedaan pendapat diantara masyarakat akan tetap ada sebab
telah menjadi fitrah manusia itu sendiri yang dappat
menyebabkan perpecahan. Tetapi hendaklah kembali kepada
Al-Quran dan sunnah Rasul. Karena kebenaran hakiki hanya
milik Allah SWT dan Rasul-nya. Seperti yang telah dujelaskan
dalam Q.S All-Baqarah (2):147 “kebenaran itu adalah dari
242
Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu Termasuk orang-
orang yang ragu”.
b. Mengakui Persamaan Derajat
Persamaan hak dan kewajiban sesame manusia. Hal ini sesuai
denan firman Allah SWT:
Q.S. Al-Hujarat (49):13
Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal”.
Ayat diatas menjelaskan bahwa manusia satu dengan yang
lainnya sama sebagai makhluk Allah SWT. Hal yang
membedakan manusia satu dengan yang lainnya adalah
ketaqwaan dan perbuatan baiknya.
c. Saling Mencintai Sesama Manusia
Sikap tenggang rasa/tasamuh harus disertai rasa saling
mencintai sesama manusia. Ini sejalan dengan sabda Rasulullah
SAW : Dari Annas bin Malik, Rasulullah bersabda:
Artinya: “Tidaklah beriman seseorang diantara kamu
sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia
mencintai dirinya sendiri (HR.Al-Bukhari dan Muslim)”.
d. Mengembangkan Sikap Tenggang Rasa
Sebagai makhluk social kita harus memiliki sikap tenggang
rasa. Semua perbuatan yang kita lakukan jangan sampai
menyinggung perasaan orang lain. Kita dilarang saling mencaci,
berburuk sangka dan semacamnya. Hal ini dijelaskan dalam
Q.S. Al-Hujarat (49):12
Q.S. Al-Hujarat (49):12
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah
kebanyakan purba-sangka (kecurigaan) karena sebagian
dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari
keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu
sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka
memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka
tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan
bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Penerima taubat lagi Maha Penyayang ”
243
e. Tidak Semena-mena Terhadap Orang Lain
Sebagai makhluk social kita tidak dibenarkan berbuat
semena-mena terhadap orang lain. Kita harus dapat
mengendalikan diri dari perbuatan itu karena dapat merugikan
diri sendiri dan orang lain. Sebagaimana dalam Q.S.Al-Maidah
(5):8 Q.S.Al-Maidah (5):8
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah
kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil.
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap
sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak
adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat
kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan”.
244
Artinya: “Allah menyeru (manusia) ke Darussalam
(surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya
kepada jalan yang lurus (Islam)”.
d) Umat islam terbiasa dengan sikap tolong-menolong
terhadap siapapun.
e) Umat islam senantiasa tidak sombong saat berkiprah
dibumi.
Q.S. Al-Isra (17):37
Artinya: “Janganlah kamu berjalan di muka bumi ini
dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali
tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak
akan sampai setiinggi gunung”.
f) Umat Islam harus berlaku adil terhadap siapa saja
Q.S. Al-Maidah (5):8
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah
kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apayang kamu kerjakan”.
1. Pengertian
246
mendapatkan karunia dan ridlanya di dunia dan akhirat.Dan
untuk mencapai masyarakat yang senantiasa dan bahagia,
disertai nikmat dan rahmat Allah yang melimpah-limpah,
sehingga merupakan Baldatun Thayyibatun Warabbun Ghafur.
QS. Saba‟ : 15 menyatakan:
Artinya: Sesungguhnya bagi kaum Saba‟ ada tanda
(kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah
kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka-
mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezeki yang
(dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya,
(Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah
Tuhan Yang Maha Pengampun”.
Masyarakat madani sebagai masyarakat yang ideal itu
memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) Bertuhan, (2) Damai,
(3) Tolong-menolong, (4) Toleran, (5) Keseimbangan antara hak
dan kewajiban sosial. Konsep zakat, infak, shadaqah dan hibah
bagi umat Islam serta ijazah dan kharaj bagi non Islam,
merupakan salah satu wujud keseimbangan yang adil dalam
masyarakat tersebut, (6) Berperadaban tinggi, (7) Berakhlak
mulia.
Penyusunan konsep masyarakat madani akan mengalami
proses yang amat panjang. Maka harus terlebih dahulu dimulai
dengan meneliti dan mengumpulkan firman Allah dan sabda
Rasul yang mendukung konsep tersebut.Sehingga, dengan
demikian sekalipun konsep yang kita kehendaki belum selesai,
namun kita telah dapat membina masyarakat kita dengan
petunjuk Allah Rasul itu.
Gerakan da‟wah dan amar ma‟ruf nahi munkar itu harus
ditunjukkan kepada dua arah, yakni perorangan dan masyarakat.
Masyarakat ialah tempat di mana manusia hidup bersama dan
menimbulkan interaksi social, yaitu hubungan antara dua orang
individu atau lebih yang saling mempengaruhi, mengubah atau
memperbaiki kelakuan individu yang lain, atau sebaliknya yaitu
memperburuk jalannya da‟wah atau pembinaan adalah
berdasarkan interaksi ini. Maka setiap usaha da‟wah atau
pembinaan baik terhadap individu maupun terhadap
masyarakat, agar dapat berhasil.Hendaklah melalui interaksi
yang ditimbulkan oleh factor simpati, yakni kasih saying
sesame manusia.
Dalam masyarakat madani senantiasa berkembang situasi
kebersamaan atau togetherness situation dimana pergaulan
banyak orang akan mampu merubah perilaku individu, apakah
247
dari buruk kepada baik atau sebaliknya. Oleh sebab itulah maka
da‟wah atau pembinaan terhadap individu dan terhadap
masyarakat harus dilakukan secara stimulant. Apabila Ernest
Renan mengatakan bahwa suatu bangsa itu sesungguhnya
merupakan satu jiwa dengan satu prinsip rohaniah
(Unenation est une ame, un principe spirituel), maka suatu
masyarakat pun demikian juga. Disinilah kesempatan para da‟i
untuk mengisi rohani anggota masyarakat dengan prinsip ajaran
Islam, supaya jiwa kesatuan masyarakat itu juga bercorak Islam,
sehingga mewujudkan masyarakat utama yang kita idamkan.
2. Konsep Masyarakat Madani
a. Konsepsi Manusia
Allah menciptakan alam semesta dan segala rangkaian
kejadian didalamnya, bukannya tanpa maksud tertentu.Kesemuannya
itu diciptakan-Nya dengan Qodrat dan Irodat-Nya serta hikmah yang
tinggi.Allah pun ciptakan manusia dengan tujuan yang jelas yakni
untuk hidup didunia sementara waktu guna mengabdi kepada
Allah.Berbuat kebaikan terhadap sesamanya, melestarikan dan
memakmurkan bumi yang dihuni, kemudian meneruskan perjalanannya
hidupnya ke akhirat untuk dinilai dan dibalas perbuatannya selama
hidup didunia.Dan untuk menjalankan hidup semacam itu manusia
memerlukan petunjuk. Petunjuk itu tidak lain adalah agama atau
amanah Allah, seperti yang telah difirmankan dalam surat Al-Ahzaab
ayat 72:
249
Manusia yang dijadikan Allah khalifah itu bukanlah manusia
orang seorang, melainkan manusia sebagai satu jenis makhluk
atau manusia secara keseluruhan.Dengan demikian umat
manusia ini tanpa kecuali telah dijadwalkan Allah untuk
berfungsi sebagai kahlifah menata kemakmuran dibumi, materil
dan spiritual.Tetapi untuk bertindak sebagai khalifah
memerlukan persyaratan yang berat, yakni mendalami san
melaksanakan Al-Qur‟an dan akal yang sehat.Nah, para
malaikat tidak mengetahui fungsi khalifah ini dan tidak pula
mengerti kebijaksanaan Allah dalm memberikan petunjuk Al-
Qur‟an kepada manusia, oleh sebab itu mereka menyanggah.
Tetapi, tentu tidak semua orang mampu menetapi persyaratan
tersebut untuk diangkat menjadi khalifah, banyak manusia yang
gagal dan bahkan berbuat kerusakan di muka bumi.Allah
berfirman dalam surat An Nur ayat 55:
250
kelompok-kelompok lain hingga mewujudkan kesatuan social.
Demikianlah antara lainAugute comte (1798-1857), seorang
sarjana matematika dan ilmu alam yang kemudian menjadi ahli
dan penemu sosiologi. Dengan demikian kedudukan dan
peranan kelompok-kelompok sangat penting dalam menetukan
perkembangan masyarakat.
Al-Qur‟an telah jauh lebih dahulu mengidentifikasikan
kelompok-kelompok itu dan memerintahkannya agar dipelihara
terhadap polusi dan erosi yang akan menghancurkan
keseluruhannya. Kelompok inti itu dijelaskan oleh Al-Qur‟an,
yakni keluarga. Firman Allah dalam surat At-Tahriim ayat 6:
d. Ekonomi
Ekonomi menurut arti bahasa adalah “ Ilmu mengurusi rumah
tangga”. Maka menurut istilah dan perkembangannya
mempunyai makna “ilmu untuk membiayai perjalanan satu
252
Negara dengan memanfaatkan kekayaan dan produksi dengan
jalan perdangangan dan lain-lainnya disertai usaha untuk
meningkatkan potensi Nasional.” Yang demikian itu ialah
perekonomian Negara.Ekonomi dalam ukuran yang jauh lembih
sempit ialah perekonomian keluarga, di mana kepala keluarga
memikirkan dan bekerja untuk memperoleh biaya guna
mencukupi kebutuhan seluruh keluarga, memasukkan
kekuangan dan mengatur pengeluarannya.
Sampai dewasa ini orang masih berselisih paham tentang ada
atau tidaknya system perekonomian islam atau Al-Qur‟an. Di
sini masalah itu tidak pada tempatnya untuk dibicarakan.
Tetapi, disini sesuai dengan judul uraian ini, akan diungkapkan
ajaran Al-Qur‟an yang menyentuh masalah perekonomian itu,
yang mungkin dapat di kembangkan untuk membentuk suatu
system yang secara garis besar didasari oleh Al-Qur‟an.
Apabila kita memperhatikan firman Allah surat An Nahl ayat 89
yang menegaskan bahwa AL-Qur‟an memuat penjelasan
mengenai segala perkara, tentu kitapun tidak akan ragu-ragu
lagi bahwa di dalam Al-Qur‟an itu terdapat petunjuk-petunjuk
mengenai perekonomian itu walaupun dalam garis besar dan
singkat. Beberapa pokok dapat dikemukakan sebagai berikut :
e. Azas Kebersamaan
Dengan mantap dan terang Allah berfirman, kekayaan alam ini
mutlak milik Allah, anatara lain :
Surat Al-Maidah ayat 17 :
253
mungkin belum ketemu. Dalam masaalah perbankan sendiri
masih ada hal yang menurut Al-Qur‟an belum dibenarkan,
yakni masalah interest atau bunga karena termasuk riba.
Al-Qur‟an telah mengharamkan riba antara lain :
Surat Al Imran ayat 130 :
255
Sudah jelas bahwa ekonomi pembangunan kesejahteraan rakyat
sebagaimana yang dianut oleh Negara kita pasti akan menerangi
kemiskinan, dengan jalan memeratakan pembangunan,
kesempatan, kesempatan kerja dengan pembinaan keterampilan
serta membuka lapangan seluas mungkin dan melaksanakan
amalan sosial dan pelayanan kepada orang yang kurang mampu.
Pasal 34 UUD 1945 sudah jelas.
“Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh
Negara.”
Al-Qur‟an dalam hai ini telah menggariskan dengan tegas
bahwa didalam harta orang-orang kaya itu terdapat bagian hak
yang menjadi hak orang fakir dan orang miskin, jadi bagian itu
harus dikembalikan kepada yang berhak.
Firman Allah dalam surat Ad Dzaariyat ayat 19: Artinya: “Dan
dalam harta mereka itu terdapat hak bagi orang-orang miskin
yang meminta dan tidak meminta.”
Oleh sebab itu maka harta mereka itu wajib disucikan, artinya
diambil bagian yang sebenarnya bukan hak mereka tetapi hak
orang miskin, untuk kemudian diserahkan kepada yang berhak.
3. Ciri Masyarakat Madani
Salah satu ciri rukun iman dalam islam meneguhkan
kesaksian bahwa Rasulullah, Muhammad SAW utusan Allah.
Beliau meninggalkan warisan sejarah kepemimpinan yang
biarpun relatif pendek tetapi telah dengan bijaksana berhasil
merumuskan kaidah-kaidah dasar bagi terwujudnya masyarakat
utama. Pada tahun-tahun pertam kurun Madinah dari masa
kerasulannya, dengan memperhatikan keragaman masyarakat
yang dihadapi dipemukiman baru itu, beliau meletakkan dasar-
dasar peradaban islam. Prinsip-prinsip dasar bagi bangunan
sebuah masyarakat utama ini dituangkan dalam sebuah piagam
yang oleh ahli sejarah politik islam disebut piagam atau
konstitusi Madinah. Walaupun dokumen itu ditulis lebih dari 13
abad yang lalu, tetapi hikmah yang terkandung di dalamnnya
menurut pendapat saya masih sangat relevan sampai sekarang.
Khususnya tatkala kita hendak merumuskna patokan dasar
pembentukan masyarakat utama di Indonesia yang juga
manjemuk itu yang menjamin kesatuan bangsa dan tidak
bertentangan bahkan sangat rujuk dengan akidah islam.
Aspek pertama, yang digaris bawahi oleh Rasulullah dalam
piagam Madinah itu ialah pentingnyan persatuan umat islam
dalam kehidupan berdampingan dengan kelompok masyarakat
lain.”Kaum muslimin adalah masyarakat yang bersatu utuh,
256
mereka hidup berdampingan dengan kelompok-kelompok
masyarakat lain.” Antara kaum Muhajirin yang berasal dari
warga Quraisy dan Ansor yang merupakan kelompok pengikut
Nabi dari warga asli Yastrib, ditegaskan doktrin persatuannya.
Mereka mengesampingkan kepentingan kelompok tatkala harus
menegakkan peradaban hidup berdampingan secara damai
dengan kelompok lain dalam masyarakat plural Madinah saat
itu. Komunitas islam harus diperlakukan sebagai satu kesatuan
dan tidak dilihat dalam denominasi keturunan, suku, asal dan
pengelompokkan lainnya.
Aspek kedua, adalah pentingnya gotong royong dan amanah
secara internal diantara sesame anggota kelompok dalam
kehidupan kemasyarakatan.Amalan bergotong royong dan
amanah ini hendaknya didasarkan dan berpegangan teguh pada
akidah. Apabila dalam masyarakat yang majemuk itu umat
islam menghadapi kewajiban dalam rangka kehidupan bersama
maka kewajiban itu pertama-tama hendaknya menjadi beban
bersama diantara sesame umat islam.
Aspek ketiga, adalah partisipasi dan solidaritas diantara tiap-
tiap anggota masyarakat lepas dari mana ia berasal, suku, agama
dan puak dimana ia mengidentifikasikan dirinya. Mereka bahu-
membahu dalam menegakkan bangunan peradaban baru di
Madinah, yaitu bangunan masyarakat utama yang hendak dijaga
bersama itu.
Artinya:“jaminan Allah hanya satu, Allah berada dipihak
mereka yang lemah dalam menghadapi yang kuat.” Karena itu
adalah menjadi kewajiban anggota masyarakat utama untuk
membela si lemah dalam menghadapi kemungkinan penindasan
dari pihak yang lebih kuat, sepanjang hal itu dilakukan demi
keadilan, kebenaran dan tegaknya akidah.
Aspek keempat, adalah persamaan hak dan kewajiban serta
perlindungan hokum bagi anggota masyarakat
utama.”seseorang muslim dalam pergaulannya dengan pihak
lain, adalah perlindungan bagi muslim yang lain.” Aspek ini
berkaitan erat dengan pentingnya penciptaan perdamaian, yang
ditegakkan berlandasan asas persamaan dan keadilan itulah
maka perdamaian abadi yang hendak diwujudkan dalam
masyarakat utama memiliki landasan untuk diteggakan.
Aspek kelima, adalah otonomi kelompok sangat dihormati dan
dijaga. Biarpun hanya muslim yang taat adalah yang terbaik dan
yang benar dihadapan Allah, tetapi anggota kelompok atau
kelompok lain di luar muslim diseyogyakan tidak saling untuk
257
mencampuri atau turut memberi penilaian, demikian pula
sebaliknya.
Aspek keenam, adalah tegaknya prinsip kedaulatan hokum yang
ditegakkan atas landasan keadilan dan kasih sayang.Segala
perbedaan pendapat hendaknya bisa selesaikan menurut saluran
hokum, yang dijaman itu diungkapkan dengan rujukan Allah
dan Muhammad, Al-Qur‟an dan Sunnah. “bila kami sekalian
berbeda pendapat dalam sesuatu hal, hendaknya perkaranya
diserahkan kepada ketentuan Allah dan Muhammad.” Dimensi
keadilan dalam masyarakat utama juga ditegaskan bahwa
kedaulatan hukum tidak memandang asal, suku, agama dan
puak si pelaku pelanggaran atau kejahatan dan hukum di
tegakkan tidak pandang bulu. “setiap muslim…tidak
diperkenankan membela dan melindungi kejahatan”. Dalam
Masyarakat utama, menurut teladan yang diletakkan Rasulullah
di Madinah itu tidak dikenal dosa turunan dan dosa
kelompok.Artinyaa perbuatan kejahatan dan pelanggaran adalah
sepenuhnya menjadi tanggung jawab pelakunya saja. “bila
diantara mereka ada yang melakukan aniaya atau dosa…. Maka
akibatnya akan ditanggung oleh diri dan warganya sendiri.”
Tidak bisa anak dan keturunannya harus turut menanggung
konsekuensi hukum karenannya. “seseorang tidak dipandang
berdosa karena tidak dosa sekutunya. Dan orang teraniaya
mendapat pembelaan.”
Aspek ketujuh, adalah kerjasama dan koordinasi antara umat
islam dan non muslim dibenarkan, bahkan diajurkan dalam
menghadapi tantangan bersama dan untuk mewujudkan
kepentingan dan kebaikan bagi dua belah pihak. “kaum yahudi
dan kaum Muslimin” akan membela satu dengan yang lain
dalam menghadapi pihak yang memerangi kelompok-kelompok
masyarakat yang menyetujui piagam perjanjian ini.
Aspek kedelapan, adalah egaliterianisme dalam cara pandang
hukum dan etika kemasyarakatan di masyarakat dengan
peradaban baru madaniyah itu.Antara pemimpin dan pengikut
tidak dibedakan dalam perlakuan dan pengakuan atas hak dan
kewajiban individual maupun kelompoknya. “sekutu (hamba
sahaya) Bani Tsalabah tidak berbeda dengan Bani Tsalabah
sendiri. Kelompok-kelompok keturunan yahudi tidak berbeda
dengan yahudi itu sendiri.” Adapun patokan umum dalam
pergaulan kemasyarakatan utama ini adalah kewajaran,
kelayakan, proporsionalitas dan resiprositas
258
Aspek kesembilan, adalah adanya saling mendukung dan
menjaga agar kesepakatan-kesepakatan sosial maupun hukum
yang telah dibuat antara kelompok-kelompok masyarakat yang
majemuk itu dapat ditegakkan dan dilaksanakan.Apabila ada
perbedaan pendapat, sekali lagi tatanan masyarakat ini memilih
lembaga arbitase berdasarkan hukum Allah dan sunah
Muhammad. “sesuatu peristiwa atau perselisihan yang terjadi
diantara pihak-pihak yang menyetujui piagam ini diselesaikan
atas ajaran Allah dan utusan-Nya. Keputusan-keputusan yang
diambil dalam mahkamah arbitrase ini dipilih yang paling
memberi pada anggota masyarakat dan yang paling membawa
kebijakan bagi semua.Tidak ada suku atau golongan yang
memperoleh perlakuan istemewa dalam sengketa ini.Bahkan
“dalam hubungan ini, warga yang berasal dari Quraisy (pun)
dan warga lain yang mendukungnya, tidak akan mendapat
pembelaan”, (untuk menurut perlakuan istimewa tadi).
Aspek kesepuluh, adalah penegasan bahwa dalam masyarakat
utama Madinah yang baru itu, penyelesaian segala macam
sengketa hendaknya ditempuh dengan cara-cara damai lewat
musyawrah. “Bila mereka diajak berdamai dan memenuhi
ajakan itu… maka perdamaian itu dianggap sah.”
Aspek kesebelas, dan terakhir adalah penghargaan pada
perlindungan atas mutu lingkungan hidup dan keasilan budaya
serta social fabrics yang ada di wilayah asli Madinah. “daerah-
daerah Yathrib terlarang, perlu dilindungi dari setiap ancaman,
demi untuk kepentingan penduduknya.”
Menurut H.A.R Tilaar (1999:158) Ciri-ciri Masyarakat
Madani terdapat empat ciri, yaitu:
a. Kesukarelaan. Artinya suatu masyarakat madani bukanlah
merupakan suatu masyarakat paksaan atau karena indokrinasi.
Keanggotaan masyarakat madani adalah keanggotaan pribadi
bersama dan oleh sebab itu mempunyai komitmen bersama
yang sangat besar untuk mewujudkan cita-cita bersama.
Dengan sendirinya tanggung jawab pribadi sangat kuat karena
diikat oleh keinginan bersama untuk mewujudkan keinginan
tersebut.
b. Keswasembadaan. Seperti kita lihat keanggotaan yang suka
rela untuk hidup bersama tentunya tidak akan
menggantungkan kehidupannya kepada orang lain. Dia tidak
tergantung kepada negara, juga tidak tergantung kepada
lembaga-lembaga atau organisasi. Setiap anggota mempunyai
harga diri yang tinggi, yang percaya akan kemampuan sendiri
259
untuk berdiri sendiri bahkan untuk dapat membantu yang
berkekurangan. Keanggotaan yang penuh percaya diri tersebut
adalah anggota yang bertanggung jawab terhadap dirinya
sendiri dan terhadap masyarakat.
c. Kemandirian tinggi terhadap negara. Berkaitan dengan cirri
yang kedua tadi, para anggota masyarakat madani adalah
manusia-manusia yang percaya diri sehingga tidak tergantung
kepada pemerintah orang lain termasuk negara. Bagi mereka,
negara adallah kesepakatan bersama sehingga tanggung jawab
yang lahir dari kesepakatan tersebut adalah juga tuntutan dan
tanggung jawab dari masing-masing anggota. Inilah negara
yang berkedaulatan rakyat.
d. Keterkaitan pada nilai-nilai hukum yang disepakati bersama.
Hal ini berarti suatu masyarakat madani adalah suatu
masyarakat yang berdasarkan hukum dan bukan negara
kesatuan.
Isilah “Civil Sociaty” bisa disepadankan dengan istilah
“masyarakat madani”, acuannya adalah masyarakat demokratis
di Madinah Sukidi yang dikutip oleh H.A.R Tilaar (1999:160)
terdapat sepuluh prinsip dasar yang tercantum dalam Piagam
Madinah, yaitu:
1) Prinsip kebebasan beragama.
2) Prinsip persaudaraan seagama.
3) Prinsip persatuan politik dalam meraih cita-cita bersama.
4) Prinsip saling membantu yang setiap orang mempunyai
kedudukan yang sama sebagai anggota masyarakat.
5) Prinsip persamaan hak dan kewajiban warga negara terhadap
negara.
6) Prinsip persamaan di depan hukum bagi setiap warga negara.
7) Prinsip penegakan hukum demi tegaknya keadilan dan
kebenaran tanpa pandang bulu.
8) Prinsip pemberlakuan hukum adat yang tetap berpedoman
pada keahlian dan kebenaran.
9) Prinsip perdamaian dan kedamaian. Hal ini berarti
pelaksanaan prinsip-prinsip masyarakat madaniah tersebut
tidak boleh mengorbankan keadilan dan kebenaran.
10)Prinsip pengakuan hak atas setiap orang atau individu. Prinsip
ini adalah pengakuan terhadap kehormatan atas hak asasi
setiap manusia.
4. Peran Umat Islam dalam Mewujudkan Masyarakat
Madani.
Dalam kontek masyarakat Indonesia, dimana umat Islam adalah
260
mayoritas, peranan umat Islam untuk mewujudkan masyarakat
madani sangat menentukan. Kondisi masyarakat Indonesia
sangat bergantung pada kontribusi yang diberikan oleh umat
Islam. Peranan umat Islam itu dapat direalisasikan melalui jalur
hukum, sosial-politik, ekonomi dan yang lain. Sistem hukum,
sosial-politik, ekonomi dan yang lain di Indonesia, memberikan
ruang untuk menyalurkan aspirasi secara kontruktif bagi
kepentingan bangsa secara keseluruhan. Permasalahan pokok
yang masih menjadi kendala saat ini adalah kemampuan dan
konsistensi umat Islam Indonesia terhadap karakter dasarnya
untuk mengimplementasikan ajaran Islam dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara melalui jalur-jalur yang ada. Sekalipun
umat Islam secara kuantitatif mayoritas, tetapi secara kualitatif
masih rendah sehingga perlu pemberdayaan secara sistematis.
Sikap amar ma‟ruf nahi munkar juga masih sangat lemah. Hal
ini dapat dilihat dari fenomena-fenomena sosial yang
bertentangan di semua sector, kurangnya rasa aman, dan lain
sebagainya. Bila umat Islam Indonesia benar-benar
mencerminkan sikap hidup yang Islami, pasti bangsa Indonesia
menjadi bangsa yang kuat dan sejahtera.
261
BAB XII
EKONOMI ISLAM
262
mudharabah. Selain itu, Islam mengatur pula etika dalam kerjasama
tersebut; apa yang boleh atau pantas dilakukan dan apa yang tidak
pantas dilakukan. Inilah di antara perbedaan ekonomi Islam dengan
ekonomi konvensional, dimana ekonomi konvensional kalaupun ada
etika dalam menjalankan usaha namun etika hanyalah kesepakatan
antara para pelaku ekonomi. Etika ekonomi Islam bukan saja
kesepakatan antara pelaku ekonomi saja, tetapi yang paling penting
adalah aturan-aturan ilahiah yang mesti dipatuhi dalam kegiatan
ekonomi tersebut.
Islam sebagai agama rahmatan li al-`alamin memberikan
bimbingan kepada manusia mengenai tatacara berinteraksi antar sesama
manusia dalam kegitan ekonomi. Hal itu dalam hukum Islam (fiqih)
dibahas dalam Fiqih Muamalah, yaitu suatu bidang kajian keislaman
yang khusus membahas tentang akttivitas perekonomian tersebut,
seperti jual beli, kerjasama dalam bidang perdagangan, kerjasama
dalam bidang pengolahan lahan, dan lain sebagainya. Selain itu,
perbincangan Islam tentang ekonomi juga berkaitan dengan etika atau
aturan islami yang mesti diikuti dan dipatuhi oleh pelaku ekonomi
tersebut. Dimana kepatuhan atau ketidakpatuhan terhadap aturan-aturan
ekonomi islami berdampak terhadap pelakunya, baik positif maupun
negatif. Dampak itu ada yang bersifat material dan ada pula immaterial,
serta di dunia dan di akhirat. Maka pertimbangan dan standar dalam
kegiatan ekonomi tidak hanya keuntungan material semata tetapi yang
terpenting lagi adalah keuntungan immaterial, berupa keharmonisan
antara sesama pelaku ekonomi atau sesama manusia, keberkahan harta,
pahala, dan keridhaan Allah. Untuk itu, pelaku bisnis islami tidak akan
merasa rugi jika dia harus merelakan miliknya kepada orang lain tanpa
mendapat keuntungan material. Alquran mengajarkan :
263
Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap
apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya
(QS.2;280-281).
Ayat di atas mengambarkan etika menagih piutang dalam
kegiatan ekonomi atau etika pelaku bisnis dengan kliennya. Ayat 281
menegaskan, ada dua altenatif yang mestinya dipilih oleh orang yang
berpiutang ketika orang yang berhutang tidak mampu membayar
hutangnya setelah jatuh tempo, yaitu pertama memperpanjang masa
jatuh tempo sampai orang yang berhutang mampu membayarnya.
Alquran menyebutnya dengan ungkapan (فٕظسة اًٌ ُِسسةmaka berilah
tangguh sampai dia berkelapangan). Jadi, orang yang berpiutang tidak
boleh mamaksa orang yang belum mampu membayar hutangnya.Kedua
membebaskan orang yang berhutang itu dari hutangnya, bahkan itu
lebih baik. Hal itu tergambar dalam penggalan ayat ْواْ حصدلىا خُس ٌىُ ا
ْ(وٕخُ حؼٍّىDan menyedekahkannya, lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui). Pelaku bisnis dianjurkan agar membebaskan atau
mengurangi jumlah hutang orang yang berhutang kepadanya, sikap ini
adalah hal terbaik yang sepantasnya dilakukan oleh orang-orang yang
berhutang.
Ayat 281 surat al-Baqarah sebagai kelanjutan ayat 280 di atas,
lebih menarik lagi, memberikan peringatan sebagai bimbingan kepada
pelaku bisnis. Bahwa, harta benda dunia yang dicari dalam kegiatan
bisnis tidak akan lama, semua pasti berakhir dan semua akan kembali
kepada Allah untuk mempertanggung jawabkan segala kegiatannya di
dunia. Selanjutnya, semua kegiatan itu pasti akan dibalas, termasuk
perilaku dan sikap pelaku bisnis terhadap kliennya. Keyakinan akan
danya balasan atas segala aktivitas yang dilakukan oleh pelaku bisnis
dapat membatasi ambisi materi seseorang.
Kegiatan ekonomi hal yang sangat vital. Dalam kehidupan sehari-
hari ekonomi merupakan sumbu yang dikelilingi kehidupan sosial
individu dan masyaratkat (Abu Saud.1991;11). Karena begitu vitalnya
ekonomi dan ia sebagai sumbu kehidupan, maka keunggulan seseorang
selalu diukur dengan kesejahteraan ekonominya. Bahkan, kemajuan
suatu bangsa juga diukur dengan pertumbuhan dan pendpatakan
ekonomi bangsa tersebut.Dalam perspektif Islam kesejahteraan
ekonomi memang sangat penting, karena aktivitas manusia termasuk
beribadah sangat tergantung kepada kesejaheraan ekonomi.Alquran
mengingatkan manusia betapa bahayanya meninggalkan anak
keturunan yang lemah termasuk kelemahan ekonomi. Allah berfirman;
264
265
orang-orang yang menumpuk harta secara monopoli dan kebanggaan.
Dalam surat al-Takatsur ditegaskan:
Artinya: Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu
masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan
mengetahui (akibat perbuatanmu itu),
Ayat ini melarang manusia bermegah-megahan, yaitu dengan
berlomba-lomba dalam memperbanyak harta sehingga melalaikan
manusia dari ketaatan bahkan terkadang tidak memperdulikan
kebersihan harta tersebut. Dalam surat al-Humazah dijelaskan pula;
266
ekonomi Islam dengan sosialis dan kapitalis tidak hanya terletak pada
sistem kepemilikan tetapi juga sistem nilai. Ekonomi Islam dibangun
dan dijalankan atas nilai atau etika yang harus dipatuhi oleh semua
pelaku kegiatan ekonomi. Islam memiliki aturan mengenai produksi,
sehingga barang-barang tertentu tidak boleh diproduksi. Barang-barang
yang dapat merusak, misalnya, seperti minuman keras tidak boleh
diproduksi. Bahkan, barang yang halal pun tidak boleh dijual kepada
orang yang diyakini akan digunakannya untuk berbuat yang haram,
seperti menjual ayam jantan kepada orang yang akan menggunakannya
sebagai media untuk berjudi.Islam memiliki aturan tentang pengelolaan
dalam pengembangan usaha dan keuntungan, sehingga bentuk-bentuk
pengelolaan dan sistem pencarian keuntungan yang tidak boleh
dilakukan seperti larangan sistem transaksi ribawi, judi, memperoduksi
barang-barang haram, sistem monopoli dengan menumpuk barang
(ihtikar), dan lain sebagainya. Aturan-aturan itu dibuat atas
kepentingan keharmonisan umat manusia. Aturan dan nilai-nilai yang
harus dipatuhi dalam aktivitas ekonomi itu didasarkan atas petunjuk
Alquran dan Sunnah.
C. Karakteristik dan Tujuan Ekonomi Islam
Karena dasarnya Alquran dan Sunnah serta ijtihad para ahli
berdasarkan Alquran dan Sunnah itu, maka ekonomi Islam memiliki
karakteristik tersendiri yang tidak terdapat dalam sistem ekonomi
lainnya, khususnya ekokomi sosialis dan kapitalis. Di antara
karakteristik ekonomi Islam itu adalah ketuhanan, kemanusiaan, dan
komprehensif.
Karakter ketuhanan yang menjadi ciri khas ekonomi Islam
bermakna bahwa yang mendasari kegiatan ekonomi Islam itu adalah
hal-hal yang bersifat ilahiah, berperoses dalam ridha Tuhan, dan
menuju Tuhan. Aktivitas ekonomi Islam yang dilakukan seseorang
berangkat dari niat dan motivasi yang tulus, yaitu Allah. Pelaku
ekonomi menyadari kegiatannya memproduksi atau usaha yang
dilakukannya merupakan ibadah kepada Allah. Motivasinya dalam
bekerja tidak hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup tetapi
juga bernilai ibadah ghairu mahdhah. Dorongannya dalam bekerja tidak
hanya tidak hanya motivasi biologis semata, tetapi juga motivasi
teologis. Dengan demikian, walaupun dia gagal,misalnya, dalam
mendapat keperluan biologis dalam bekerja namun keperluan
tiologisnya tidak pernah gagal. Seorang muslim yang berhasil dalam
usahanya, pada hakikatnya dia mendapatkan dua imbalan yaitu material
berupa barang yang diharapkan dan immaterila berupa pahala atau
ridha Allah. Maka tidak ada usaha seorang muslim yang gagal total,
267
menimal dia mendapatkan satu hasil yaitu penghargaan dari Allah
berupa pahala.
Peroses kegiatan ekonomi Islam juga bersifat ketuhanan. Artinya,
tidak ada kegiatan ekonomi yang melanggar ketentuan syari`at, baik
ketentuan syari`at yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi itu sendiri
maupun ketentuan lainnya. Seorang muslim dalam kegitan ekonominya
tidak hanya dilarang melakukan segala bentuk transaski yang
melanggar syari`at, tetapi juga dilarang mengurangi ibadah mahdhah
atas alasan sibuk bekerja dan berusaha.
Sifat ketuhanan (rabbaniyah) melekat pada teori dan peraktik
ekonomi Islam. Secara teoritis, ekonomi Islam dikonstruksi
berdasarkan syari`at ilahi sehingga ia dinisbatkan kepada Allah; inilah
sistem ekonomi dari Tuhan untuk hamba-Nya. Dan secara peraktis,
kegiatan ekonomi itu dijalankan berorientasi kepada Tuhan. Tuhan dan
ridha-Nya yang menjadi tujuan utama, hasil produksi dan keuntungan
atau peningkatan hasil usaha hanya merupakan sarana untuk mencari
ridha-Nya. Maka pelaku ekonomi tidak berhenti pada tercapainya
keuntungan atau hasil yang diharapkan, tetapi dia mesti mengelola
keuntungan itu menjadi media yang dapat menyampaikannya kepada
Tuhan.
Selain rabbaniyah, ekonomi Islam juga bercirikan al-insaniyah
(kemanusiaan). Ia bertujuan menciptakan kehidupan manusia yang
aman dan sejahtera (Qardawi. 1997;57). Ia memberikan kebebasan
kepada manusia untuk berusaha, memproduksi barang-barang yang
diperlukan, dan melakukan transaksi. Tetapi kebebasan itu ada batasan-
batasan yang tidak boleh dilanggar, karena bertentangan dengan
kebebabasan, kesejahteraan, atau ketenangan orang lain. Justru itulah,
dalam ekonomi Islam dilarang ihktikar, menjual barang yang telah
terjual (bay` al-sum `ala al-sum) di mana penjual dan pembeli pembeli
pertama telah sepakat (Malaybari Jilid III. t.th;25), mengurangi
timbangan, dan tindakan lainnya yang dapat merugikan orang lain.
Komprehensipnya ekonomi Islam terlihat pada perhatiannya
terhadap segala aspek keperluan manusia, yang meliputi keperluan
material dan immaterial.Keperluan material terlihat pada kebebasan
dan dirorongan Alquran dan sunnah Nabi terhadap umatnya agar
berusaha untuk memenuhi keperluan material tersebut. Tetapi dalam
pencarian keperluan material tersebut, pelaku ekonomi perlu
mempertimbangkan keperluan immaterialnya, yaitu kebahagiaan ruhiah
baik dalam hidup ini maupun dibalik kehidupan ini, dengan tidak
melepaskan segala aktivitasnya dari kebahagiaan ruhiah tersebut. Allah
berfirman :
268
269
yang mendatangkan kemaslahatan adalah dianjurkan dalam Islam.
Maksud transaksi atau produksi yang mendatangkan kerusakan disini
adalah dampak negatif terhadap agama, harta, jiwa, akal, dan
kehormatan. Demikian pula kemaslahatan, ia merupakan efek baik atau
maslahah yang dihasilkan dari aktivitas ekonomi tersebut terhadap
agama, harta, jiwa, akal, dan kehormatan tersebut.
D. Lembaga Ekonomi Islam
Lembaga ekonomi adalah suatu institusi yang berfungsi
mengelola ekonomi umat. Dizaman Rasulullah dan Khulafa`ur
Rasyidin terdapat beberapa sumber keuangan, yaitu harta ghanimah, al-
fay`, jizayah, dan zakat. Keuangan ini dikelolah dipungut dan
distribusikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Pada
zaman Nabi, lembaga yang mengelolah keuangan dari sumber-sumber
tersebut adalah baytul mal dan wilayah al-hizbah.Baytul mal berfungsi
menyimpan harta kekayaan negara yang bersumber dari sumber-
sumber yang telah disebutkan di atas, dan mendistribusikannya sesuai
dengan ketentuan Alquran dan sunnah Nabi. Sedangkan wilayah al-
hizbah berfungsi sebagai lembaga pengontrol, kegiatan bisnis yang
terlarang seperti monopoli.
Nabi Muhammad ditugasi Allah mengambil zakat dari orang-
orang kaya, yang memiliki harta yang sudah sampai nisab. Allah
berfirman :
Artinya; Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu
kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk
mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi
mereka. dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS.
9;103).
Selain memungut zakat, Nabi juga mengumpulkan harta ghanimah dan
jizyah yang kemudian didistrubusikan kepada orang-orang yang berhak
menerimanya.
Lembaga ekonomi dan keuangan tumbuh dan berkembang
dengan pesat sesuai dengan perkembangan sians dan peradaban.
Demikian pula lembaga ekonomi Islam, ia tumbuh dan berkembang
melalui pengkajian-pengkajian terhadap fenomena sosial
kemasyarakatan dan kebutuhan umat, yang tentu saja didasarkan atas
Alquran dan sunnah Nabi. Sehingga bermunculanlah lembaga-lembaga
270
ekonomi Islam. Di antara lemabaga itu, pada suatu sisi, mengadopsi
lembaga ekonomi konvensional khususnya istilah yang digunakan,
seperti bank, deposito, dan lain sebagainya. Tetapi dalam peroses dan
produk-produk yang dihasilkan menampakkan karakteristiknya
tersendiri. Karena lembaga ekonomi Islam itu tidak menggunakan
sistem riba, maka proses dan produk yang bernuansa riba dan hal-hal
terlarang lainnya tidak gunakan dalam pengelolaan lembaga ekonomi
Islam tersebut.
Di antara lembaga ekonomi Islam itu adalah perbankan, Baytul
Mal wa l-Tamwil (BMT), rumah zakat, ansuransi takaful, dan lain-lain.
Sistem perbankan Islam berkembang sangat pesat, ia tidak hanya
tumbuh di negara-negara Islam tetapi juga banyak terdapat di negara-
negara yang mayoritas penduduknya non muslim. Di Indonesia,
terdapat Bank Mu`amalah, Syaria`h Mandiri, dan lain sebagainya.
Bank-bank ini memperoduksi berbagai program pengembangan
keuangan sesuai dengan ekonomi Islam, seperti mudharabah dan
deposito yang dikelolah secara islami.
271
Ayat ini mengambarkan azab yang akan ditimpakan kepada pelaku
transaksi riba, yaitu dia akan dibangkitkan dari kuburnya dalamkeadaan
sempoyongkan seperti orang gila. Mereka menganggap riba itu sama
dengan jual beli, sama-sama memperoleh dan mencari keuntungan.
Padahal riba jauh berbeda dengan jual beli, justru jual beli itu
dihalalkan sedangkan riba diharamkan.
Perbincangan Alquran tentang haramnya riba lebih tegas terdapat
dalam surat al-Baqarah ayat 278;
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang
yang beriman.
Dalam ayat ini terdapat kata perintah yaitu zaru (tinggalkanlah) yang
ditujukan kepada orang-orang mukmin, agar mereka meninggalkan
pekerjaan memungut sisa riba yang belum dipungut. Dan akhir ayat
mengaitkan perintah itu dengan keimanan. Hal ini bermakna begitu
eratnya kaitan keimanan dengan meninggalkan transaksi ribawi.
Kesempurnaan iman bergantung kepada kepatuhan orang terhadap
perintah yang terkandung dalam ayat tersebut. Transaksi ribawi tidak
hanya diharamkan dalam syariat Islam yang dibawa Nabi Muhammad
saw, tetapi juga diharamkan dalam agama samawi lainnya yaitu Yahudi
dan Nasrani(Sabiq.1983;176). Alquran menegaskan haramnya transaksi
riba bagi ahlulu kitab (Yahudi dan Nasrani):
272
1. Riba dapat menyebabkan permusuhan antar pribadi dan
menghancurkan semangat saling tolong menolong
2. Riba itu dapat menimbulkan malas bekerja. Para rentener merasa
tidak perlu bekerja karena uangnya terus bertambah melalui bunga
pinjaman. Padahal Islam sangat mendorong umatnya agar
berusaha.
3. Riba itu merupakan sarana penjajahan ekonomi, sehingga orang
kaya semakin kaya dan yang miskin sulit bangkit dari
kemiskinannya.
4. Islam mengajak manusia agar memberi hutang yang kepada
saudaranya, yang sangat membutuhkan. Bukan justru
memanfaatkan kesulitan yang sedang dialaminya.
Terdapat beberapa transaksi keuangan atau jual beli barang yang
tergolong kepada transaksi riba, yang sangat dilarang dalam Islam.
Berdasarkan bentuk-bentuk transaksi itu para ulama membuat kategori
riba. Para ulama berbeda dalam membuat kategori riba tersebut.
Zainuddin al-Malaybari membaginya kepada empat macam, yaitu riba
fadhal, riba qaradh, riba yad, dan riba nasa` (al-Maybari.t.th;68).
1. Riba fadhal adalah menukar antara benda sejenis, dimana satu di
antara pelaku harus melebihkan jumlah barang yang diberikan
kepada yang lain.
2. Riba qaradh ialah suatu transaksi antara seorang pemilik modal
dengan peminjam yang memnetapkan suatu persyaratan dimana
pemiliki modal mendapatkan tambahan bayaran dari peminjam
dengan jumlah tertentu.
3. Riba yad ialah transaksi yang tidak timbang terima, salah satu dari
pelaku transaksi meninggalkan tempat sebelum saling menerima
atau saling menyerahkan barang yang ditransaksikan itu.
4. Sedangkan riba nasa` bermakna transaksi penukaran barang, satu
di antara pelaku transaksi menagguh bayaran sedangkan yang lain
tunai.
Berbeda dengan al-Malaybari, Said Sabiq mengkategorikan pula
riba itu kepada dua macam saja, yaitu riba nasa`i dan riba al-fadhl. Riba
nasa` adalah transaksi keuangan antara pemiliki modal yang
memberikan pinjaman kepada peminjam, dimana dalam transaksi itu
disepakati bahwa peminjam harus membayar lebih dari jumlah yang dia
pinjam sesuai kesepakatan. Sedangkan riba fadhal bermakna jual beli
uang dengan uang atau makanan dengan makanan yang salah satu dari
kedua pelaku transaksi itu menyerahkan melebihi dari jumlah yang dia
terima (Sabiq Jilid III. 1983;78).
Riba fadhal, menggunakan istilah Said Sabiq atau riba fadhal,
yad, dan nasa‟ menggunakan istilah al-malaybari, hanya terjadi pada
273
transaksi makanan, emas, dan perak, seperti menukar makanan dengan
makanan atau menukar emas dengan emas. Agar tidak terjadi riba
dalam melakukan trnasaksi makanan yang sejenis, misalnya, maka
transaksi harus memenuhi tiga persyaratan, yaitu kedua belah pihak
harus membayarnya tunai, saling menerima makanan yang
ditransaksikan itu, dan sama takarannya. Apabila transaksi itu
dilakukan terhadap makanan yang tidak sejenis, seperti menukar jagung
dengan padi, maka transaksi harus memenuhi dua syarat, yaitu kedua
belah pihak membayarnya secara tunai dan kedua belah pihak saling
menerima makanan itu (al-Malaybari;12).
274
BAB XIII
POLITIK ISLAM
275
seperti shalat, puasa, dan lain-lain, tetapi mencakupi segala perbuatan
manusia yang tidak melanggar aturan yang telah ditetapkan dan
dikerjakan secara ikhlas bertujuan mencapai keridhaan Allah. Maka
kepemimpinan sebagai suatu fungsi yang dijalankan manusia mesti
dilihat sebagai salah satu daripada pengabdian kepada Tuhan.
Kata “mengabdi” terambil dari bahasa Arab, yaitu `abada, yang
secara harfiah dapat diterjemahkan kepada “menyembah” dan
“mena`ati”. Dari kata ini terbentuk pula kata “`abdun”, yang berarti
budak atau hamba sahaya yang siap sedia bila dan di mana saja
melakukan perintah majikannya. Bahkan dia terjual jika dijual, dia akan
berpindah majikan jika diberikankan kepada orang lain, dan akan
merdeka jika dimerdekakan. Inilah makna pengabdian seorang hamba
sahaya kepada majikannya. Pengabdian seorang manusia sebagai
hamba Allah harus lebih daripada itu. Dia mesti mengabdi secara fisik
dan nonfisik; secara fisik tergambar dalam ucapan serta perilaku, dan
secara nonfisik adalah ketundukan hati, jiwa, dan fikiran terhadap-Nya.
Dari kata `abada juga terbentuk kata `ibādah, yang berarti
ketaatan atau ketundukan. Secara konseptual, ketataan itu dapat dilihat
dari dua sisi; pertama ketaatan sebagai ketundukan ijbāri makhluk
secara mutlak dan konsisten kepada Khaliq, yang mana ketundukan itu
juga sekali gus menjadi tanda-tanda yang sempurna atas adanya Allah
dan kemahabesaran-Nya. Hal inilah yang selalu disebut oleh Alquran
dengan istilah sujūd. Sujud disini dalam arti mengikuti hukum alam
yang telah Allah tetapkan. Alquran menyebutkan, bahwa segala yang
ada di langit dan bumi sujud kepada Allah (QS 16;49), seperti bintang
dan pepohonan (QS 55; 6). Bahkan manusia yang ingkarpun, secara
fisik, tunduk kepada aturan-aturan yang telah ditetapkan-Nya. Tetapi
ketundukan dalam arti ini tidak mempunyai sebarang pembalasan bagi
makhluk yang tunduk tersebut. Maka itulah sebabnya binatang dan
tumbuhan tidak mendapatkan balasan kelak di akhirat, kerana
ketundukan mereka hanya sebatas ketundukan ijbāri. Ketundukan yang
mempunyai konsekuensi balasan itu hanyalah kepatuhan ikhtiyāri.
Pada sisi kedua, ibadah berarti ketaatan atau ketundukan
ikhtiyāri yang menjadi sifat orang-orang mukmin (Hijazi.1993;542).
Ketaatan itu merupakan pilihan bukan paksaan. Justru itu, ia tidak
kosisten dan selalu berubah bentuk dan wujudnya. Kadang-kadang ia
dikerjakan dan kadang-kadang tidak, serta kadang ia dikerjakan dengan
sungguh-sungguh dan kadang-kadang dikerjakan dalam keadaan malas
sesuai dengan kondisi jiwa orang yang mengerjakannya.
Secara umum, ibadah atau kepatuhan ikhtiyāri itu mempunyai
dua bentuk. Pertama pengabdian individual, yaitu suatu pengabdian
yang dilakukan oleh setiap individu manusia yang dalam
276
pelaksanaannya tidak melibatkan orang lain, baik orang lain itu ikut
serta bersamanya ataupun tidak, pengabdian itu tetap bisa dilaksanakan.
Hal ini adalah aktivitas manusia dalam melaksanakan ibadah-ibadah
mahdhah, seperti shalat dan puasa. Pengabdian ini dapat pula disebut
dengan pengabdian dua arah, yaitu antara hamba dan Khaliq.
Bentuk ibadah ikhtiyari kedua adalah pengabdian kolektif, yaitu
suatu ibadah yang tidak dapat dilaksanakan sendiri, tetapi mesti
mengikut sertakan orang lain. Tanpa ada orang lain, ibadah dalam
bentuk ini tidak dapat dilaksanakan. Pengabdian itu ialah menjalankan
fungsi kepemimpinan. Pengabdian seperti ini merupakan pengabdian
tiga arah, yaitu pemimpin yang mengabdi, rakyat yang dipimpin, dan
Tuhan. Seorang pemimpin, dalam menjalankan fungsi
kepemimpinannya, haruslah dilihat sebagai pengabdiannya kepada
Tuhan. Dan rakyat yang dipimpin, dalam kepatuhannya terhadap
aturan-aturan yang telah disepakati, juga mesti dilihat sebagai
kepatuhannya kepada Tuhan, sebab Alquran menyuruh manusia patuh
kepada pemimpin (QS.4; 59).
Uraian di atas menunjukkan, bahwa pekerjaan memimpin itu
merupakan ibadah. Kerana ia ibadah, maka orientasi kepemimpinan
mestilah mengarah kepada kepentingan bersama, yaitu pemimpin,
rakyat, dan Tuhan. Setiap kebijakan yang diambil mestilah didasari
oleh semangat ketauhidan dan berproses dalam nuansa ilahiah serta
menuju kepada keridhaan Allah. Jika kebijakan yang diambil sudah
keluar dari ketiga hal tersebut atau salah satu daripadanya, maka
hendaklah ada suatu keritikan atau koreksi dari rakyat yang dipimpin
serta evaluasi dari pihak pemimpin. Pola kepemimpinan yang
mengikuti jalan seperti ini dapat mewujudkan kesejahteraan bagi orang
ramai.
Alquran menyebut manusia sebagai khalifah di muka bumi,
baik sebagai individu ataupun sebagai penguasa. Prediket khalifah itu
merupakan suatu tugas dan amanah yang titipkan Allah kepadanya.
Kerana ia amanah Allah, maka tentu malaksanakan dan
menjalankannya juga merupakan ibadah. Sebab dalam pandangan
Islam, bahwa segala perintah dan larangan Tuhan jika dipatuhi adalah
bernilai suatu pengabdian kepada Khaliq. Jadi, memimpin atau
memegang suatu kedudukan adalah ibadah. Justru itu, fungsi tersebut
mesti dilaksanakan dengan bersih dan kosong daripada kepentingan
pribadi dan golongan. Yang ada hanya kepentingan bersama, baik
secara material ataupun secara immaterial. Jika tidak demikian, maka
berarti poroses kepemimpinan yang dijalankan bertentangan dengan
ikhlas yang selalu dipentingkan dalam ibadah.
a. Terminologi Kepemimpinan dalam Alquran
277
Terdapat beberapa istilah dalam politik Islam yang digunakan
untuk menyebut pemimpin atau penguasa, yaitu khalīfah, wali, mulk,
uli al- dan lain-lain. Istilah-istilah ini juga
digunakan Alquran, walaupun tidak semuanya bermakna penguasa.
Kata khalīfah terulang 9 kali dalam Alquran, dua kali dalam bentuk
mufrad dan tujuh lainnya dalam bentuk jamak. Selain dalam bentuk
kalimat isim (kata benda), istilah khalīfah juga diungkapkan Alquran
dalam bentuk fi`il (kata kerja), yaitu khalafa dan istakhlafa. Kata yang
terakhir ini terulang 5 kali, satu dalam shighat mādhi dan empat lainnya
dalam sighat mudhāri‟.
Istilah waliy terulang 44 kali dalam bentuk mufrad dan 34 kali
dalam bentuk jamak. Kata al-mulk, dalam berbagai sighat, terulang
pula 133 kali. Dan kata uli al-amr hanya disebutkan satu kali,
sedangkan kata sulthān dalam berbagai shighat terulang 35 kali.
Adapun istilah imam terulang 12 kali, tujuh dalam bentuk mufrad dan
lima dalam bentuk jamak.
1. Khalifah
Istilah khalīfah berasal dari kata khalafa, yang secara harfiah
berarti belakang, menggantikan, atau wakil. Berdasarkan makna harfiah
ini, maka khalīfah berarti orang yang bartindak di belakang orang lain,
pengganti, atau penerima wakil. Hijazi memaknai kata khalīfah kepada
man yakhlifuka wa yaqūmu maqāmaka. Allah menjadikan Nabi Adam
sebagai khalifah. Hal ini berarti, bahwa Allah menjadikan Adam
sebagai pengganti-Nya yang diberi tugas meng-`imarah-kan
(membangun) bumi dan menerapkan hukum-hukum ilahiah padanya
(Hijazi I 1993: 30). Jadi, khalifah adalah wakil atau pengganti Allah
memimpin bumi sesuai yang dikehendaki oleh Yang digantikan atau
Yang diwakili. Hal ini digambarkan dalam Alquran, seperti firman
Allah kepada Nabi Daud; “Hai Daud sesungguhnya Kami telah
menjadikan kamu sebagai khalifah di bumi, maka hukumlah di antara
manusia dengan kebenaran (al-haqq) (Shād (38); 26). Ayat ini
merupakan wasiat Allah kepada para pemimpin agar menghukum di
antara manusia berdasarkan atas kebanaran yang berasal
daripadaNya (Ibn Kathir IV. t.th: 32). Tidak semua kata khalifah dalam
Alquran berarti penguasa, seperti yang terdapat dalam surah 28 ayat 26,
surat 6 ayat 65, dan surat 7 ayat 69.
Dengan demikian, pemimpin adalah pengganti atau wakil
Tuhan. Pemimpin atau penguasa suatu negara juga berarti pengganti
pemimpin sebelumnya; khallifah Rasul, misalnya, berarti pengganti
Rasul. Dia merupakan penerus kepemimpinan sebelumnya. (Al-
Isfihāni. 2001: 162) menegaskan, ada empat kemungkinan sebab
278
terjadinya penggantian kepemimpinan, yaitu pemimpin tidak berada di
tempat, pemimpin sebelumnya meninggal, kerana ada kelemahan pada
pemimpin, dan memuliakan yang digantikan. Yang terakhir ini
bermakna, bahwa Allah menjadikan manusia sebagai wakil atau
pengganti-Nya di bumi, kerana Allah memuliakan manusia tersebut.
Jadi, jelaslah bahwa pemimpin adalah pengganti dan penerus
pemimpin sebelumnya. Dalam sejarah politik Islam dikenal, bahwa
Abu Bakar itu khalīfah al-Rasul (pengganti Rasul) dan Umar bin
Khattab pengganti Abu Bakar. Hal ini berarti, bahwa Abu Bakar mesti
meneruskan program-program yang telah dirancang pada masa Nabi,
dan Umar melanjutkan kebijakan-kebijakan yang telah dirintis pada
masa Abu Bakar. Tetapi pengganti boleh melakukan perbaikan atau
reformasi sesuai dengan kondisi masyarakat pada masanya, seperti
kebijakan yang dilakukan pada masa Abu Bakar yang tidak dilakukan
di masa Nabi. Demikian pula, kebijakan Umar yang tidak popular pada
masa Abu Bakar. Namun perlu menjadi catatan, bahwa perubahan yang
dilakukan tidak boleh didasarkan atas kepentingan segelintir orang,
atau bahkan politik balas dendam. Perubahan hanya boleh dilakukan
atas kepentingan bersama atau kemaslahatan agama.
Selain dari meneruskan estapek kepemimpinan sebelumnya,
seorang penguasa juga wakil rakyat yang dipimpinnya. Artinya, rakyat
mempercayakan kepada pemimpin agar menjalan tugas-tugas mereka
yang tidak mungkin mereka jalankan secara individual. Hal ini paling
tidak dapat dipahami dari konsep musyawarah yang diajarkan Alquran.
2. Waliy
Istilah waliy berasal dari kata ًٌ وyang secara harfiah berarti
menolong. Maka istilah waliyyun berarti penolong yang
menghindarkan manusia dari kegelapan dan memberikan kepadanya
cahaya. Dalam fiqih Islam, para ulama menggunakan istilah waliy al-
nikāh, waliy al-yatīm dan lain-laian. Istilah pertama bermakna orang
yang menguasai akad nikah seorang perempuan. Dan istilah terakhir
bermakna orang yang menguasai atau mengurus urusan anak yatim (Ibn
Manzūr XV. 1990: 407). Penguasaan dan pengurusan disini tentu saja
dalam arti pemberian pertolongan, bukan penjajahan dan tindakan
menindas. Sebab, jika tidak demikian maka bertentangan dengan
makna dasar waliy itu sendiri dan nama Tuhan yang digambarkan
sebagai waliyun.
Dari kata wala juga terbentuk kata wilayah, yang berarti nasrah
(pertolongan atau perlindungan). Hal ini seperti yang terdapat dalam
firman Allah:
279
280
3. Al-Malik, Sulthan, Uli al-Amr, dan Imam
Istilah al-mulk atau al-mālik berasal dari kata malaka, yang
secara harfiah dapat diartikan kepada “memiliki” atau “menguasai”.
Kemudian, istilah tersebut juga sering diartikan kepada raja atau
penguasa, sebab raja itu memiliki atau menguasai wilayah kerajaannya.
Al-Isfihāni (2001) membagi kepemilikan itu kepada dua macam, yaitu
menguasai dan memiliki kekuatan untuk menguasai. Kerana memiliki
dan menguasai, maka seseorang bisa bartindak terhadap apa-apa yang
dimilikinya. Dengan demikian, pemimpin sebagai mālik mempunyai
kekuasaan bartindak terhadap urusan pemerintah yang
dikendalikannya. Namun tindakan yang diperbuat tidak boleh
bertentangan dengan fungsinya sebagai khalīfah (pengganti/penerima
wakil) dan wali (penolong). Artinya, penguasa bebas bartindak dalam
mengurus negara tetapi tidak boleh keluar dari bingkai pemberian
pertolongan dan penerima wakil.
Istilah “sulthān” berasal dari kata “salatha”, yang semakna
dengan al-qahr (paksaan) (Ibn Manzūr VII. 1990: 320). Konsep al-
mālik di atas bisa disinerjikan dengan makna sultan atau al-qahr ini.
Pemimpin dalam suatu negara Islam, kadang-kadang juga disebut
sultan. Hal ini berarti, pemimpin yang memiliki kekuasaan mempunyai
hak memaksa rakyat yang dipimpin menuruti aturan dan perundang-
undangan yang telah disepakati atau yang telah ditetapkan oleh nas
syara‟. Tetapi pemaksaan ini tidak boleh keluar dari koridor konsep
wali dan khalifah di atas.
Uli al-amr secara harfiah terdiri dari dua kata, yaitu uli dan amr.
Yang pertama berarti yang mempunyai, dan yang terakhir berarti
urusan. Maka istilah uli al-amr dapat diterjemahkan kepada “yang
mempunyai urusan”, sama dengan makna uli al-albāb (yang
mempunyai akal). Yang dimaksud dengan “yang mempunyai urusan”
disini adalah pemimpin atau penguasa. Hijāzi (1993: 390)
menyebutkan, bahwa yang dimaksud dengan uli al-amr dalam Alquran
adalah para penguasa seperti para hakim, wali, para ulama, pemimpin
dan lain-lain. Ketetapannya wajib ditaati selama mereka menunaikan
amanah, keadilan dan melaksanakan hukum-hukum Tuhan. Hal ini
menggambarkan bahwa konsep uli al-amr tidak dapat dipisahkan dari
arti wali dan khalifah di atas.
Selain dari beberapa istilah di atas, Alquran juga menggunakan
term imam, yang juga dapat diterjemahkan kepada pemimpin baik
formal maupun non-formal. Al -Isfihāni (2001: 33) mendefinisikan
imam itu kepada “orang yang menjadi pemimpin manusia”, dimana
perkataan dan perbuatannya diikuti, baik benar maupun batil. Disini
281
terlihat bahwa pemimpin atau penguasa -sebagai imam- menonjol pada
panutan masyarakat terhadapnya, sehingga dia dituruti atau dipatuhi.
Maka penguasa dalam arti -amr dan imām
semestinya disinerjikan dengan penguasa sebagai khalifah dan wali.
Karakter menguasai dan karismatik yang dimiliki oleh seorang
penguasa mesti dipadukan dengan karakter khalifah dan wali. Jika tidak
demikian, maka penguasa mungkin akan bartindak menindas
menggunakan kekuasaan demi kepentingan individunya. Demikian
pula sebaliknya, karakter khalifah dan wali yang ada pada seorang
penguasa mesti dipadukan dengan sifat menguasai dan karismatik. Jika
tidak demikian, maka dia akan menjadi penolong dan wakil yang
lemah, sehingga tidak dipatuhi oleh rakyat yang dipimpinnya.
Dalam pandangan Islam, pemimpin bertugas menjalankan
amanah dua arah ; pertama arah vartikal dan yang kedua arah
horizontal. Arah vartikal ialah kepatuhan dan ketaatan yang bersifat
ibadah kepada Tuhan, dan arah horizontal ialah yang bersifat
pemberian pertolongan, penghapusan penindasan, dan pemberian
pencerahan. Atau dengan kata lain, ketika seseorang menjalankan tugas
kepemimpinan, pada hakikatnya dia menjalankan dua amanah
sekaligus; amanah Tuhan dan amanah rakyat yang dipimpinnya. Dia
tidak boleh menyalahi atau menyimpang dari salah satu dua amanah
tersebut. Menyimpang dari salah satunya berarti mengkhianati yang
lain. Alquran mengingatkan :
282
politik ataupun kebijakan kenegaraan. Dengan demikian, dia berarti
menyebarkan keselamtan dan kesejahteraan, dia memberikan
pencerahan dan dia menghilangkan kesusahan. Secara umum dapat
dikatakan, bahwa semua kebijakan yang dibuat dan diwujudkan dalam
peraturan, perundang-undangan serta pelaksanaannya mesti mengarah
dan berpijak atas prinsip-prinsip tersebut.
283
dalam wujud perhatian, keadilan, kebenaraan, persamaan, dan
kebebasan. Tetapi hal ini tidak boleh bertentangan dengan hak azazi
manusia atau kemaslahatan, terutama kemaslahatn daruriyah yang
meliputi agama, jiwa, harta, akal, dan kehormatan atau muruah. Maka
orang tidak bebas memaksakan agama atau menghina agama lain,
orang tidak bebas membunuh atau mengambil harta dan merosak
kehormatan orang lain. Bahkan, penguasa mesti mengantipasi agar hal
ini jangan terjadi. Dan ini adalah bagian dari fungsi dan tugas
pemimpin.
Pemimpin dalam bergaul dengan rakyatnya mestilah seperti
imam dalam shalat. Dia rela dikritik dan memperbaiki kesalahan serta
bersedia berhenti dari fungsinya sebagai imam, jika ada aturan yang
telah dilanggar. Umar dalam suatu pidato kenegaraannya menegaskan :
“Hai semua rakyatku, siapa saja diantara kalian melihat saya
menyeleweng, maka luruskanlah”. Tiba-tiba seorang laki-laki
datang menghunus pedang seraya berkata: “Demi Allah, hai Amīr
al-Mu‟minīn, kalau kami melihatmu menyeleweng maka akan kami
luruskan dengan pedang kami ini”. Kemudian Umar menjawab:
“Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan di tengah-tengah
umat ini orang yang mau meluruskan kekeliruan Umar dengan
pedangnya” (Uthmān. 1968: 74).
Jadi, pemimpin mesti berjiwa besar menerima kritikan dan teguran dari
rakyatnya. Dia tidak boleh keras dan kejam terhadap mereka. Alquran
mengajarkan; “Berlemah lembutlah kamu terhadap mereka (rakyatmu).
Sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari kamu. Kerana itu, maafkanlah mereka dan
mohonkanlah ampun untuk mereka (Ali-imrān (3); 159). Apabila
seorang pemimpin berlaku kasar terhadap rakyatnya, maka perkara
yang baik tidak akan muncul dari mereka. Padahal hikmah dan
kebaikan itu boleh jadi berada pada siapa saja. Bahkan, jika mereka
tidak diperlakukan dengan lemah lembut maka mereka boleh melawan
dan menjatuhkanya.
Selain seperti imam dalam salāt, seorang pemimpin dalam
menghadapi rakyatnya juga mesti seperti orang tua menghadapi anak-
anaknya. Kalaupun dia memberikan hukuman, namun hukuman itu
harus diberikan atas prinsip pertolongan, sama ada pertolongan atas
pribadi yang melanggar hukum agar dia tidak kekal dalam kesalahan,
ataupun pertolongan terhadap pribadi lainnya agar perbuatannya tidak
berpengaruh kepada yang lain, atau membela pribadi yang dizaliminya.
Prinsip inilah yang dipegangi oleh Umar bin Khattab, sehingga dia
tidak menghukum seorang miskin yang mencuri harta orang kaya yang
284
tidak mengeluarkan zakat. Dia pernah melakukan interview terhadap
salah seorang gubernurnya yang akan bertugas di daerah, yaitu:
Umar : Apa yang akan anda lakukan, jika seorang pencuri
dihadapkan kepada anda ?
Gubernur : Saya akan memotong tangan pencuri itu
Umar : Tetapi, jika datang kepadaku orang yang lapar dari
kalangan mereka, maka akan saya potong tanganmu.
Sesungguhnya Allah menjadikan kita sebagai
pemimpin guna agar kita dapat menghilangkan
kelaparan mereka, menutup aurat mereka dan
membuatkan untuk mereka lapangan kerja. Apabila
semua ini telah kita berikan kepada mereka barulah
kita memberlakukan atas mereka hukuman (Surur.
1961: 88).
Karakteristik atau sifat-sifat kepemimpinan di atas terus ada
secara konsisten, tetap dan berkelanjutkan dimiliki oleh penguasa. Jika
tidak, maka ketika itulah lembaga atau wilayah yang dia pimpin
menjadi kacau bahkan hancur. Untuk menkonsistenkan karakter-
karakter itu pada diri seorang pemimpin, maka perlu ada dua hal yang
harus selalu dipegangi, yaitu sālat dan zakat yang didasarkan atas iman.
Alquran menegaskan : “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah,
Rasul-Nya dan orang-orang mukmin yang mendirikan sālat dan
membayarkan zakat, seraya mereka tunduk kepada Allah” (al-Mā‟idah
(5); 55).
Ayat di atas menggunakan adat , yaitu innamā. Hal ini
berarti bahwa yang boleh menjadi pemimpin (wali) orang-oramg
mukmin hanya Allah, Rasul dan orang-orang mukmin itu sendiri. Al-
Maraghi, ketika mentafsirkan ayat ini, mengatakan : “Hai orang-orang
mukmin, tidak ada wali dan penolong yang dapat menolongmu kecuali
Allah, Rasul dan orang-orang mukmin, yang mempunyai sifat-sifat
tertentu (Al-Marāghī. 1974: 143). Dalam ayat sebelumnya (ayat 51),
dengan jelas Alquran melarang orang mukmin menjadikan orang
Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin. Bahkan yang dilarang tidak
hanya itu, tetapi juga orang yang tidak mempunyai cinta kasih dan
komitmen dalam memberikan bantuan dan pertolongan (al-Sha‟rawi.
1991: 3234), walaupun dia mengaku beriman sebab hal itu
bertentangan dengan prinsip pertolongan sebagai konsep dasar
kepemimpinan islami.
Ayat di atas itu juga berarti bahwa janganlah menjadikan
pemimpin orang yang tidak sālat dan tidak membayar zakat. Kedua hal
ini sangat penting dalam membentuk jiwa seseorang untuk konsisten
dalam kebenaran. Mendirikan sālat berarti bermunajat kepada Tuhan,
285
menanam perasaan mempunyai hubungan dengan Tuhan dan
membentuk penghayatan bahwa segala aktiviti, termasuk jabatannya
sebagai pemimpin, dipersembahkan kepada-Nya. Inilah hakikat
pelaksanaan sālat, ia dapat membentuk jiwa menjadi konsisten dalam
kebenaran. Demikian pula zakat, ia tidak boleh hanya dilihat sebagai
belas kasihan tetapi juga harus dimaknai sebagai suatu kewajiban,
sebagaimana kewajiban memberi kepada keluarga sendiri. Keduanya
mesti dikerjakan dengan ikhlas: terlepas dari segala kepentingan. Jika
sālat, zakat atau memberi bantuan serta ibadah lainnya dikerjakan
kerana ada kepentingan, untuk mendapatkan kedudukan duniawi
misalnya, maka keduanya tidak akan mempunyai sebarang pengaruh
terhadap keadaan jiwa pemimpin. Jadi, sālat dan zakat tidak hanya
dilihat sebagai ibadah formal, tetapi mesti dijadikan sebagai kegiatan
pelatihan dan membekali jiwa dalam mengemban tugasnya. Abduh
menyembutkan, bahwa hakikat ibadah itu adalah memasukkan kedalam
hati, takut kepada Allah dan berharap kepada karunia-Nya, bukan
hanya perbuatan dan gerak lidah semata (`Abduh. 1972:27). Jika rasa
takut kepada Tuhan dan perasaan harap kepada-Nya sudah tertanam di
dalam jiwa, maka seseorang akan selalu memberikan pertolongan
kepada rakyat yang dia pimpin.
Berdasarkan pembentangan di atas, maka dapat ditegaskan
disini bahwa kepemimpinan menurut Islam mempunyai prinsip
-„ālamīn, yang secara operasional berwujud pemberian
perlindungan, amanah, suka membantu, atau tidak merasa
lebih unggul dari rakyat yang dipimpinnya dan perduli terhadap
keadaan rakyat.
Maka pemimpin islami adalah penguasa yang membela dan
melindungi rakyatnya dari segala sesuatu yang bertentangan dengan
prinsip -„ālamīn. Umar bin Khattab mengibaratkan
bahwa penguasa itu di tengah-tengah rakyatnya adalah bagaikan
seorang wali penjaga anak yatim; dia tetap mengasihi sang anak walau
bagaimanapun situasi yang sedang dihadapi, termasuk kebijakan yang
diambil dalam penyelenggaraan negara.
Berdasarkan pembentangan di atas, maka dapat ditegaskan
bahwa karakter pemimpin Alqurani itu adalah :
1. Memberi pertolongan dan memandang tugasnya itu sebagai ibadah,
justru itu ia tidak terlepas dari kejujuran dan keadilan. Maka
kepemimpinan sebagai suatu sistem mesti berangkat dari ketentuan
Tuhan dan Rasul, berproses tidak menyalahi ketentuan tersebut dan
mengarah kepada tujuan penciptaan manusia.
2. Demokrasi, hal ini penting kerana kepemimpinan itu lahir untuk
kepentingan bersama, baik pemimpin maupun yang dipimpin.
286
Demokrasi dalam hal ini bukan seperti demokrasi Barat yang
cenderung liberal dan sekuler, tetapi demokrasi islami. Dimana
semua ketentuan dan ketetapan yang mesti dijalankan tidaklah
secara mutlak berdasarkan suara terbanyak; masalah-masalah
prinsipil mesti ditegakkan walaupun bertentangan dengan pendapat
mayoritas rakyat. Masalah-masalah prinsipil itu adalah berkaitan
dengan agama, jiwa, akal, kehormatan dan harta. Jika ada gagasan
atau ide mayoriti rakyat yang betentangan dengan prinsip-prinsip ini,
maka hal itu tidak dapat diterima. Atau dengan kata lain, demokrasi
tidak dapat memasuki wilayah agama, akal, jiwa, kehormatan dan
harta kecuali pada sisi tertentu.
3. Istiqāmah (konsisten) dan berpegang teguh kepada perkara-perkara
yang telah disepakati bersama. Tidak boleh berubah atau
bertentangan dengan sesuatu yang telah ditetapkan, kecuali
perubahan itu telah disepakati lagi.
4. Komitmen semua pihak yang terlibat dalam sistem, menjalankan
kesepakatan tersebut walaupun harus mengorbankan kepentingan
pribadi.
5. Perduli terhadap kepentingan rakyat kecil.
6. Tidak memihak kepada perbuatan yang menyimpang dari prinsip
kebenaran. Bahkan dia berusaha secara konsisten menghapus segala
bentuk kedurhakaan. Alquran dalam surat al-Taubah (9); 23
menegaskan :
Artinya: Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapa-
bapa dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih
mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu
yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang
yang zalim.
Ayat ini menggunakan kata al-kufr bukan al-shirk. Kedua istilah itu
mempunyai makna yang berbeda; kata pertama berkaitan dengan
perilaku dan keyakinan sedangkan kata yang terakhir berkaitan
dengan keyakinan saja. Maka setiap syirik jelas menunjukkan
kepada kekafiran, tetapi tidak setiap kekafiran menunjukkan kepada
syrik. Orang mukmin jika dilihat dari segi perbuatannya ada yang
287
kafir. Penggunaan kata al-kufr dalam ayat di atas berarti bahwa
larangan bagi orang mukmin memilih orang kafir sebagai penguasa
tidak hanya sebatas pada orang-orang musyrik saja. Tetapi juga
dilarang memilih orang muslim yang memiliki perilaku yang tidak
baik atau fasik. Bahkan dalam ayat ini lebih ditegaskan lagi, “jangan
memilih pemimpin orang-orang yang lebih mengumatakan atau
memihak kepada perbuatan fasik, walaupun mereka orang-orang
terdekatmu”. Hal inilah yang dipraktikkan Nabi dan pemerintah
khulafa‟ al-rasyidin, sehingga Islam dan umatnya disegani oleh
bangsa lain.
288
dijalankan, jika masih ada keperluan primer masyarakat yang belum
terpenuhi. Jadi, tidak perlu membuat taman hiburan dan pembelian
kereta mewah, misalnya, bagi pemimpin negara atau daerah, jika
keperluan utama daripada rakyat belum terpenuhi. Demikian pula
kebijakan ekonomi, misalnya, ia mesti dirancang dan diprogramkan
dan programnya tidak boleh bercanggah dengan mashlahah
dharūriyah. Maka penguasa tidak boleh melegalkan perjudian dan
pelacuran dengan alasan devisa negara, sebab hal itu bertentangan
dengan prinsip agama dan keturunan.
Rancangan pembangunan negara mestilah berangkat dari
kemaslahatan tersebut. Dalam soal kemaslahatan daruri, misalnya,
pemimpan negara atau daerah mestilah berorientasi kepada
pembangunan agama, jiwa, moral, intelektual dan ekonomi. Demikian
pula hal-hal keperluan masyarakat yang bersifat sekunder dan
pelengkap; semuanya mestilah tergambar dalam rancangan program
pembangunan negara atau daerah.
Persoalan itulah yang mesti jadi perhatian seorang pemimpin
dalam memimpin suatu negara. Persoalan tersebut harus tergambar
dalam program dan anggaran yang dibuat oleh seorang pemimpin
negara atau daerah. Paling tidak ada lima hal yang perlu diperhatikan
oleh seorang pemimpin negara dalam rangka mencapai kesejahteraan
dan kenyamanan bagi semua warga negara, yaitu penyebaran ilmu yang
dipadukan dengan penanaman moral dan prinsip nasionalisme,
kesejahteraan ekonomi, sistem keamanan dan penegakan hukum.
Tetapi tiga hal yang terakhir ini terkait dengan persoalan pertama, yaitu
penyebaran ilmu atau pendidikan. Pembangunan kesejahteraan
ekonomi, keamanan dan penegakan hukum mesti dimulai dari
penyebaran ilmu, pembangunan moral dan nasionalisme, yang direkat
dalam suatu paket yang disebut dengan pendidikan. Artinya,
penyebaran ilmu tidak hanya semata-mata pembangunan intelektual
saja, tetapi ia mesti dipadukan dengan moral dan nasionalisme. Dengan
demikian, pendidikan akan dapat melahirkan output yang bermutu,
komitmen dan cinta kepada bangsanya yang selanjutnya dapat pula
membawa kesejahteraan, keamanan dan penegakan hukum sesuai
dengan perundang-undangan dan peraturan yang berlaku. Jika
pendidikan tidak dipadukan dengan moral dan nasionalisme, maka
yang terlahir adalah para ilmuwan yang siap menerkam bangsanya
sendiri.
Jadi, pemimpin berkewajiban memerangi kebodohan dengan
meningkatkan kualiti pengetahuan masyarakat melalui pendidikan,
bimbingan dan pelatihan. Hal ini sangat penting, sebab pendidikanlah
yang dapat membentuk manusia menjadi insan yang sebenarnya.
289
Apabila orang sudah terdidik, maka dia akan mencintai dirinya demi
kecintaannya kepada orang lain dan dia akan mencintai orang lain demi
kecintaannya kepada dirinya sendiri (Abduh. 1972: 154). Apabila
semua pihak telah saling mengasihani, maka terwujudlah kedamaian
dan penegakan hukum secara benar. Jadi pendidikan yang diformat
sedemikian rupa dapat menanamkan rasa kasih sayang di dalam jiwa
setiap peserta didik.
Jadi, penyebaran ilmu juga merupakan kunci bagi kesejahteraan
masyarakat dalam segala aspek kehidupan. Ilmulah yang membuat
manusia menjadi makhluk yang tercerahkan, melalui ilmulah manusia
dapat hidup sejahtera dan ilmulah yang membuat manusia dapat
bangkit dari keterbelakangan. Bahkan Abduh mengatakan bahwa
segalanya menjadi tiada dengan sebab tiadanya ilmu, dan segalanya
menjadi ada dengan sebab adanya ilmu (Abduh. 1972: 151). Allah
mengunggulkan Adam dari malaikat kerana ilmu, sehingga malaikat
disuruh bersujud kepada Adam (Al-Baqarah (2) : 34). Kerana begitu
pentingnya ilmu dalam segala aspek kehidupan manusia, maka Alquran
memulai reformasi globalnya dari ilmu tersebut. Sebelum ia berbicara
tentang hukum, tatanan sosial, termasuk politik dan lain sebagainya, ia
mengajar ummat ini agar membaca. Ini berarti program apa saja yang
digulirkan mestilah dimulai dari penyebaran ilmu. Maka seorang
pemimpin mestilah belajar dari cara Tuhan mendidik dan memimpin
manusia, melalui kitab suci-Nya.
Tetapi kadang-kadang manusia sombong dengan ilmu yang dia
miliki. Maka ilmu campur kesombongan tidak akan membawa
pencerahan dan kesejahteraan, bahkan manusia cenderung memangsa,
menindas dan menipu makhluk semuanya. Untuk itu, pemimpin harus
mempunyai konsep dan filsafat yang jelas mengenai pendidikan.
Sebagaimana yang telah diperbincangkan di atas, untuk menghindarkan
hal tersebut maka pembangunan negara dan pendidikan perlu
dipadukan dengan moral dan nasionalisme. Dalam rangka
mengantisipasi hal itu juga, penyebaran ilmu paling tidak mesti
didasarkan atas dua prinsip utama. Pertama, pendidikan sebagai salah
satu sarana penyebaran ilmu mestilah mengacu pada prinsip rahmah li
al-„ālamīn sebagai tugas umum yang mesti diwujudkan pemerintah dan
sebagai pokok yang membuahkan hasil kesejahteraan, kemakmuran
dan kenyamanan bagi masyarakat. Setiap kebijakan mengenai
pendidikan haruslah berdasarkan prinsip tersebut. Kedua, prinsip
ilahiyah. Alquran mengajarkan agar pelajaran didasarkan atas prinsip
ilahiyah tersebut. Maka kurikulum, metode, dan strategi pembelajaran
tidak dapat dilepaskan dari kedua prinsip ini. Jika tidak demikian
290
manusia akan memusuhi bahkan membunuh dirinya sendiri. Alquran
mengajarkan :
291
menentukan suatu kebijakan mengenai persoalan kenegaraan yang
belum muncul di masa Nabi.
Alquran menekankan kepada suatu pemerintahan agar
menegakkan dengan benar dan adil;
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan
dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-
baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi
Maha Melihat. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan
negara yang diperbincangkan dalam ayat di atas, yaitu menunaikan
amanah, penegakan hukum dengan adil, kepatuhan kepada Allah, Rasul
dan pemerintah (ulil amri), jalan penyelesaian sengketa baik antar
pejabat negara maupun antar pemerintah dengan rakyatnya.
Menunaikan amanah suatau kewajiban yang mesti dipatuhi semua
orang, baik amanah antar pribadi maupun amanah rakyat kepada
pemerintah. Masyarakat menitipkan penyelenggaraan negara kepada
para pejabat dalam suatu negara, mereka mesti menjalankan dan
menjaga titipan itu melalui program-program yang diselenggarakan.
Demikian pula hukum dalam suatu negara, ia mesti ditegakkan dengan
benar dan adil. Hal ini merupakan ajaran Alquran terhadap manusia
dalam menjalankan pemerintahan pada suatu negara.
Selain dari menjaga amanah dan penegakan hukum dengan adil,
ayat di atas juga mengajarkan kepada manusia tentang loyalitas dan
kepatuhan. Kepatuhan dan loyalitas kepada pemerintahan, yang sah dan
menjalan roda pemerintahan dengan adil dan benar, adalah suatu
kewajiban. Perintah mematuhi pemerintah (ulil amri), dalam ayat di
atas, disebutkan pada urutan ketigasetelah kewajiban mematuhi Allah
dan Rasul. Ini bermakna kepatuhan kepada pemerintah bagian dari
ajaran agama, dan loyalitas terhadap pemerintah itu mesti didasarkan
atas kepatuhan kepada Allah dan Rasul. Alquran mengingatkan, jika
terjadi perselisihan baik antara rakyat dengan pemerintah maupun
antara sesama pejabat dalam suatu pemerintahan, maka selesaikanlah
dengan Alquran dan Sunnah Nabi. Artinya, Alquran dan Sunnah
Nabilah yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan perselisihan
tersebut.
292
Selain menegakkan keadilan, dalam penegakan hukum dan
penyelenggaraan suatu negara, Islam juga menekankan pentingnya
suatu pemerintah menyusun dan merialisasikan program-program
kerakyatan. Alquran menegaskan:
293
dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan
sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka (QS. 42;38).
Ayat di atas mengambarkan karakter orang-orang beriman, yaitu
mematuhi seruan Allah, mendirikan shalat, menetapkan urusan dengan
jalan musyawarah, serta menafkahkan sebagian rezkinya di jalan Allah.
Bermusyawarah, yang disebut salah satu karakteristik orang mukmin,
merupakan prinsip demokrasi. Alquran dengan tegas menjelaskan
pentingnya musyawarah. Dalam surat Ali Imran, musyawarah itu
diungkapkan dengan menggunakan kata perintah yaitu Allah
memerintahkan kepada Nabi agar memutuskan suatu persoalan dengan
musyawarah (QS.3; 159).
Berdasarkan perbincangan di atas, dapat ditegaskan bahwa Islam
juga mengajarkan demokrasi kepada umatnya. Yusuf Qardawi
menentang pendapat yang mengatakan “demokrasi itu bertentang
dengan Islam”. Lebih jauh dia mengatakan, merupakan sesuatu yang
aneh pendapat yang mengatakan “demokrasi itu perbuatan mungkar
atau kafir. Menurut Qardawi, orang yang berpendapat demikian adalah
orang yang memiliki pengetahuan yang belum baik tentang demokrasi
(Qardawi.1997;131). Sepantasnya, menetapkan hukum sesuatu mesti
mengenali dulu esensi sesuatu itu termasuk demokrasi. Demokrasi itu
adalah masyarakat menentukan pelihannya sendiri mengenai orang
yang akan memimpin mereka, sehingga kedaulatan berada ditangan
rakyat. Oleh karenanya, dalam sistem demokrasi masyarakat bisa
mengontrol para pejabat sehingga kesalahan dan penyimpangan yang
mereka lakukan bisa diluruskan (Qardawi.1997;132).
Walaupun sistem demokrasi itu relevan dengan pandangan
Islam, namun Islam memiliki ciri demokrasi yang tidak sama dengan
demokrasi libral yang berlaku di Barat. Tidak ada kebesan mutlak
dalam Islam, kebebesan mempunyai batas-batas tertentu. Demokrasi
Islam tidak selamanya menggunakan suara terbanyak suatu komunitas,
sebab suara terbanyak belum tentu benar. Demokrasi Islam didasarkan
atas prinsip kebenaran dan keadilan. Maka jika suara terbanyak
bertentangan dengan prinsip keadilan dan kebenaran, suara terbanyak
tidak bisa diterima, ia mesti ditolak. Menetapkan sesuatu persoalan bisa
didasarkan suara terbanyak selama suara terbanyak itu tidak
bertentangan perinsip keadilan dan kebenaran tersebut.
Parameter kebenaran dan kadilan yang mendasari demokrasi
islami itu adalah Alquran dan sunnah. Jika suatu kebijakan dan
program pemerintah bertentangan dengan prinsip kebenaran dan
keadilan qurani, maka kebijakan dan program itu mesti ditolak atau
dihapuskan. Demikian pula kehendak dan keinginan masyarakat,
keinginan mereka tidak bisa dikabulkan jika bertentangan dengan
294
Alquran dan sunnah. Dengan demikian, demokrasi Islami itu tidak
semata-mata didasarkan atas suara mayoritas. Pandangan mayoritas
rakyat hanya menjadi pertimbangan dan bahkan rujukan ketiga setelah
Alquran dan sunnah.
295
BAB XIV
PERBEDAAN PENDAPAT DALAM ISLAM
297
bukan? Mereka juga berdebat mengenai sifat Allah, dan taqdir-Nya.
Apakah Allah sudah menentukan semua perbuatan manusia dan
manusia hanya tinggal menjalani saja ketentuan itu? Persolan-persoalan
ini menjadi perbincangan luas dan mendalam, yang melahirkan banyak
karya tulis dan memunculkan berbagai corak pemikiran di kalangan
umat Islam. Bahkan, persoalan ini menimbulkan perpecahan di
kalangan umat Islam itu sendiri. Tentu buku ini tidak sedang
membicarakan mengenai persoalan tersebut lebih jauh mendalam.
c. Aliran Dalam Bidang Tasawuf dan Tarekat
Dalam bidang tasawuf lahir misalnya tasawuf nazari dan tasawuf
`amali. Tasawuf nazari, misalnya, terdapat paham hulul, ittihad, dan
wahdah al-wujud. Dalam bidang `amali berkembang pula padangan
tentang perbuatan dan akhlak terpuji, seperti takwa, sabar, ridha,
tawakkal, mahabbah, dan lain sebagainya. Perbedaan yang menonjol
dalam hal ini adalah penilaian atau pandangan terhadap tasawuf falsafi
atau nazari. Mengenai tasawuf amali, yang menekankan pengekangan
hawa nafsu, takwa, ridha, sabar, tawakkal dan lain sebagainya, tentu
tidak ada perbedaan. Semua umat mengakui pentingnya menahan
godaan nafsu, tawakkal, dan sabar itu. Walaupun bagi orang yang tidak
menyukai tasawuf tidak menamakannya dengan tasawuf, namun itulah
sesungguhnya aktivitas dan kegiatan para pengikut tasawuf amali
tersebut.
Dalam bidang tarekat lahir pula banyak jenis tarekat, antara lain
tarekat Naqsyabandi, tarekat Syatari dan lain sebagainya. Perbedaan
aliran-aliran dalam tarekat ini pada hakikatnya merupakan perbedaan
jalan dan metode dalam mendekatkan diri kepada Allah. Orang-orang
shaleh melakukan banyak hal dan menempuh banyak jalan dalam
mendekatkan diri kepada Tuhan, khususnya berzikir kepada Allah.
Mereka membangun jalan, cara, dan atau metode bahkan tahapan-
tahapan dalam berzikir dimana metode dan tahapan-tahapan itu berbeda
antara seorang shaleh dengan orang shaleh lainnya. Kemudian metode,
jalan, dan tahapan yang dibuatnya itu diikuti oleh muridnya. Maka lahir
berbagai tarekat, yang dinisbatkan kepada orang shaleh yang pertama
membangun metode dan tahapan tersebut. Fokus utama perbincangan
dalam buku ini tidak pada persoalan ini. Perbincangan mengenai
perbedaan pendapat, khususnya dalam hal tasawuf dan tarekat, hanya
sebagai pengenalan tentang perbedaan tersebut. Maka penulis cukup
sampai disini perbincangan mengenai aliran dalam tasawuf dan tarekat.
d. Mazhab Dalam Bidang Hukum (Fiqih)
Selain mazhab atau aliran dalam bidang politik, ilmu kalam, dan
tasawuf terdapat pula mazhab dalam hukum Islam atau fiqih. Setelah
masa sahabat dan tabi`in banyak bermunculan mazhab. Thaha Jabir
298
Fayyad al-`Ulwani (1991) memperkirakan terdapat 13 mazhab yang
muncul. Akan tetapi hanya terdapat delapan atau sembilan mazhab
yang paling populer dan melembaga di kalangan jumhur umat Islam.
Mereka itu adalah:
1. Imam Abu Sa`id al-Hasan bin Yasar al-Basri (w 110 H).
2. Imam Abu Hanifah al-Nu`man bin Thabit bin Zauti (w 150 H).
3. Imam Auza`i Abu `Amru `Abd al-Rahman bin `Amru bin
Muhammad (w 157 H).
4. Imam Sufyan bin Sa`id bin Masruq al-Tsauri (w 160 H).
5. Imam al-Laits bin Sa`id (w 175 H).
6. Imam Malik bin Anas (w 179 H)
7. Imam Sufyan bin `Uyainah (w 198 H).
8. Imam Muhammad bin Idris al-Syafi`i (w 204 H).
9. Imam Ahmad bin Hanbal (w 241 H).
Itulah sembilan Imam Mujtahid di mana pemikiran hukum atau hasil
ijtihadnya menjadi suatu aliran khusus yang diikuti oleh banyak umat
Islam.
Di anatar sembilan imam mazhab di atas, terdapat empat
maszhab yang sangat popular di kalangan umat Islam dan banyak
dianut di berbagai Negara termasuk Indonesia. Keempat mazhab itu
adalah Hanafiah, Malikiah, al-Syafi`iah, dan Hanabilah.
1. Mazhab Hanafi
Mazhab ini diberi nama dengan mazhab Hanafi yang dinisbahkan
kepada imam mujtahidnya, yaitu Abu Hanifah. Nama lengkapnya
adalah Abu Hanifah al-Nu`man bin Tsabit bin Zauti. Dia lahir di Kufah
pada tahun 80 H/699 M. Pada masa mudanya, Abu Hanifah belajar
fiqih kepada Himad bin Abi Sulayman. Dia juga banyak belajar dari
para tabi`in, seperti `Atha‟ bin Abi Rabah dan Nafi` Maula Ibn Umar.
Abu Haniafah adalah seorang pedagang yang jujur. Dia suka membantu
orang lain dan banyak diam. Ja`far bin Rabi` berkata; “Saya pernah
tinggal bersama Abu Hanifah selama lima tahun, dia sangat pendiam.
Apabila ditanya persoalan fiqih, maka dia membuka atau menjawabnya
bagaikan anak sungai yang mengalir”. Dia meninggal pada tahun 150
H/767 M.
Metode Abu Hanifah dalam mengistinbatkan hukum tergambar
dalam ungkapannya :
Sesungguhnya aku mengambil Kitab Allah jika memang aku
peroleh. Jika tidak memperolehnya, maka aku akan mengambil
sunnah Rasulullah saw dan athar-athar yang sahih yang para
perawinya dapat dipercaya. Jika aku tidak mendapatinya dalam
Kitab Allah dan sunnah Rasul, maka aku mengambil perkataan
sahabat beliau yang aku anggap sesuai dengan pendapatku.
299
Kemudian aku sekali-kali tidak keluar dari perkataan mereka untuk
beralih kepada pendapat selain mereka. Maka semuanya buntu,
akhirnya kepada Ibrahim al-Asha`bi dan Ibn Musayyab, maka aku
berijtihad sebagaimana mereka berijtihad (al-`Ulwani. 1991;88).
Ungkapan di atas mengambarkan, bahwa Abu Hanifah menjadikan
sahabat sebagai rujukan terakhir. Dia tidak merujuk pendapat tabi`in.
Beliau memilih berijtihad sendiri daripada merujuk tabi`in. Dalam
berijtihad, ada beberapa hal yang menjadi prinsip baginya yaitu :
1. Dalil `am itu qat`i sebagaimana khas.
2. Yang khas itu mubayyin dan tidak dijelaskan dengan bayan
3. Tidak wajib mengamalkan hadis yang diriwayatkan oleh orang
yang bukan faqih, bila menutup kesempatan ra‟yu.
4. Tarjih itu tidak berdasarkan pertimbangan banyak rawi.
5. Tidak perlu dipertimbangkan sama sekali petunjuk syarat dan
sifat
6. Jika tidak ada riwayat Abu Hanifah berbicara tentang qiyas.
Abu Hanifah menggunakan istihsan, bahkan menurutnya dalam kondisi
yang sangat diperlukan istihsan lebih didahulukan daripada kias (al-
`Ulwani. 1991;88).
300
Mazhabnya dikenal dengan mazhab al-Syafi`i. Nama lengkapnya
adalah Abu `Abd Allah Muhammad bin Idris al-Syafi`i. Dia lahir di
Ghazzah pada tahun 150 H/769 M. Di antara guru Imam al-Syafi`i
adalah Imam Malik. Dia wafat pada tahun 204 H/ 820 M. Metode
ijtihad Imam al-Syafi`i dalam mengistimbatkan hukum tergambar pada
ungkapannya dalam karyanya “al-Risalah”, seperti yang dikutip oleh
al-`Ulwani (1991); “Yang pokok adalah Alquran dan sunnah. Jika tidak
terdapat dalam kedua sumber itu, maka lakkanlah kias. Sedangkan
ijmak lebih baik dari berita seseorang. Dan hadis yang diutamakan
adalah pemahaman lahiriahnya, jika ia menandung banyak makna
maka diusahakan makna yang mendekati lahiriahnya
Pernyataan di atas mengambarkan kaedah yang dipegangi Imam
al-Syafi`i dalam menetapkan hukum. Secara terperinci dapat
ditegaskan, bahwa Imam al-Syafi`i dalam meistinbatkan hukum
berpeganag kepada kaedah-kaedah berikut:
1. Hukum ditetapkan berdasarkan kepada Alquran, dengan
berpegang kepada makna zahir ayat kecuali jika ada dalil yang
menunjukkan bahwa yang dimaksud bukan makna zahir.
2. Jika jawaban suatu persoalan tidak ditemukan jawabannya dalam
Alquran, maka dirujuk kepada Hadis
3. Selain dua sumber utama di atas, al-Syafi`i juga berpegang
kepada ijma`.
4. Jika suatu persoalan hukum tidak ditemukan atau tidak ada
jawabannya dalam ketiga sumber di atas, Imam al-Syafi`i
berijtihad dengan berpegang kepada qiyas
Berbeda dengan Imam Hanafi dan Maliki, Imam al-Syafi`i menolak
berdalil dengan istihsan dan maslahah musrsalah.
4. Mazhab Imam Hanbali
Tokoh pendiri mazhab ini adalah Ahmad bin Hanbal bin Hilal al-
Shaibani. Dia lahir di Baghdad pada tahun 164 H/780 M. Di antara
gurunya adalah Imam al-Syafi`i, Yusuf al-Hasan, Umair, dan lain
sebagainya. Ahmad bin Hanbal dalam mengistimbatkan hukum
berpegang kepada Alquran, sunnah, perkataan sahabat, qiyas, dan
saddu` al-zari`ah. Untuk itu, Ahmad bin Hanbali berpegang alur
sebagai berikut;
1. Berpeganag kepada nas Alquran dan sunnah
2. Jika tidak terdapat dalam kedua nas itu, maka beralih kepada
fatwa para sahabat
3. Jika terjadi perbedaan pendapat para sahabat, maka diambillah
perkataan mereka yang paling mendekati kitab dan sunnah dan
tidak keluar dari perkataan mereka.
4. Menjadikan Hadis mursal sebagai sumber hukum.
301
5. Jika ketiga hal di atas tidak juga ditemukan, maka Imam Ahmad
berpegang kepada qiyas dan Saddu` al-zari`ah (al-
`Ulwani.1991;91).
302
dan amalan penduduk Madinah. Dan Imam al-Syafi`i bersandar pada
Alquran, sunnah, ijma`, dan qiyas. Sedangkan Imam Ahmad bin
Hanbal bersandar pada Alquran, sunnah (termasuk hadis da`if), ijma`,
qiyas, dan saddu al-zari`ah (menutup jalan yang dapat mengantarkan
kepada kerusakan atau maksiat).
Perbedaan dalam menentukan rujukan atau sumber hukum ini
tentu membawa dampak kepada perbedaan istinbat hukum. Imam
Malik, misalnya, menjadikan amalan penduduk Madinah sebagai salah
satu landasan hukum. Hal itu seperti yang tergambar dalam
pendapatnya mengenai membaca basmalah pada awal surat al-Fatihah
dalam shalat. Penduduk kota Madinah, terutama shalat di mesjid Nabi,
tidak membaca basmalah dalam membaca al-Fatihah. Sedangkan
mazhab lainnya, terutama al-Syafi`i, tidak menjadikan amalan
penduduk Madinah itu sebagai landasan hukum. Maka menurutnya,
basamalah mesti dibaca dalam membaca surat al-Fatihah walaupun
penduduk Madinah tidak membaca basmalah.
b. Perbedaan Penafsiran Terhadap Nas Syar`i.
Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, bahwa jika
ditinjau dari sisi kepastian dan kejelasan makna, teks Alquran dan
sunnah Nabi itu dapat dikategorikan kepada dua macam, yaitu qat‟i al-
dalalah dan zanni al-dalalah. Qat‟i al-dalalah ialah ayat atau hadis
yang telah memiliki kepastian makna. Ia tidak memiliki kemungkinan
makna selain makna yang pasti itu. Para ulama cenderung sepakat
dalam memaknainya, sehingga merekapun juga sepakat dalam
menetapkan hukum berdasarkan ayat atau hadis tersebut. Sedangkan
zanni al-dalalah ialah ayat atau hadis yang tidak dapat dipantau
maknanya secara pasti, pemahaman para pembaca atau penafsir
terhadap suatu teks hanya sampai pada tingkat kemungkinan besar atau
diduga keras (zann). Dan perkiraan atau kemungkinan besar (zann)
makna suatu teks itu bisa saja tidak sama antar para imam mujtahid.
Maka hal ini menimbulkan perbedaan dalam penafsiran, dan
selanjutnya juga melahirkan perbedaan hasil istinbat hukum.
Dalam menetapkan suatu hukum seorang imam mujtahid bisa
saja merujuk nas syar`i yang sama dengan imam mujtahid lainnya,
tetapi hukum yang ditetapkan berbeda antara satu dari yang lain. Hal
ini disebabkan oleh perbedaan pemahaman atau penafsiran. Pernyataan
dalam suatu nas kadang-kadang dimaknai oleh seorang mujtahid
sebagai suatu kemastian, sedangkan mujtahid lainnya memaknai
dengan suatu keutamaan bukan kewajiban.
Sudah menjadi suatu kebiasaan dalam penyampaian risalah kepada
umat manusia, Allah menggunakan bahasa bangsa atau masyarakat yang
303
menjadi sasaran dakwah, walaupun pesan-pesan Tuhan itu tidak dikhususkan
buat bangsa itu saja. Alquran menegaskan :
Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa
kaumnya, supaya dia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada
mereka (QS.14;4).
Alquran sebagai Kitab terakhir diturunkan dalam bahasa Arab, karena
memang sasaran awal dakwahnya bangsa Arab. Mereka dalam kesehariannya
berinteraksi sesama mereka menggunakan bahasa Arab. Alquran
mengambarkan hal itu: “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Alquran
dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya”(QS.12;2). Orang Arab
sangat bangga dengan bahasa yang mereka gunakan. Mereka menyukai puisi
dan prosa serta amtsâl.
Bagaimanapun juga, bahasa mempunyai andil yang sangat besar
terhadap pemahaman seseorang terhadap teks yang dia baca atau ungkapan
yang dia dengar. Pemahaman pendengar terhadap ungkapan yang didengarnya
atau pemahaman pembaca terhadap teks yang dia baca belum tentu sesuai
dengan apa yang dimaksud oleh pembicara atau penulis teks tersebut. Hal itu
disebabkan oleh pemahaman terhadap teks yang dibaca, baik kemampuan
ataupun cara menangkap pesan-pesan yang terkandung dalam teks. Maka
itulah sebabnya, kebanyakan hasil penafsiran terhadap nas syra‟i tetap
menjadi nisbi; kebenarannya tidak sampai kepada tingkat mutlak (zhanni al-
dalâlah), kecuali ungkapan-ungkapan yang mempunyai makna yang pasti
(qath`i al-dalâlah), dimana tidak ada kemungkinan makna lain selain makna
yang pasti itu.
Bahasa Arab sebagai bahasa Alquran dan Sunnah memiliki karakter
yang dapat membuat pembaca berbeda dalam memahami teks yang dibaca.
Hal itu antara lain dapat dilihat dalam lafaz yang digunakan, dimana ia
mempunyai makna ganda (musytarak). Demikian pula huruf, seperti huruf jar,
ia tidak hanya memiliki satu makna tetapi mempunyai berbagai makna.
Bahkan di antara huruf-huruf itu terdapat huruf yang mempunyai dua puluh
makna. Maka memahami al-nushûsh al-shari`yyah (teks-teks syara`), yang
mengandung huruf jar itu,tentu saja menjadi suatu persoalan krusial, yaitu
bagaimana menetapkan atau menentukan satu di antara begitu banyaknya
makna tersebut. Penentuan makna ini perlu berijtihad, mujtahid perlu
menganalisis sehingga dia dapat melihat makna yang lebih pantas digunakan
dalam ayat yang sedang dia tafsirkan. Tetapi walaupun seorang mujtahid telah
menganalisis dengan segala kemampuan yang dimilikinya, tetap saja makna
yang digunakannya itu sebagai satu altenatif dimana masih banyak alternatif
lain yang keabsahannya sama dengan makna yang dia gunakan.
Para imam Mujtahid sebagai penafsir ayat-ayat Alquran terutama ayat-
ayat hukum menghadapi persoalan-persoalan kebahasan seperti yang telah
disebutkan di atas. Perbedaan-perbedaan mereka dalam menafsirkan ayat-ayat
ahkam dilatarbelakangi juga oleh persoalan-persoalan kebahasaan.
Sebagai alat komunikasi, bahasa mempunyai problem
tersendiri.Pemahaman pembaca atau pendengar terhadap teks yang dibaca
atau ungkapan yang didengarnya belum tentu sesuai dengan apa yang
304
dimaksud oleh penulis teks atau pembicara. Sebab, mungkin saja penulis atau
pembicara itu menggunakan suatu lambang bunyi yang mempunyai banyak
makna, dimana lambang bunyi tersebut dia maksudkan dengan arti tertentu,
sedangkan pembaca teks atau pendengar memaknai lambang itu dengan
makna yang lain lagi. Dengan demikian, perbedaan maksud antara penulis
teks atau pembicara dengan pembaca atau pendengar merupakan suatu hal
yang wajar terjadi. Demikian pula perbedaan antar para pendengar dan
pembaca; mungkin saja ada di antara pembaca suatu teks atau pendengar
suatu ungkapan menangkap makna tertentu sementara pembaca atau
pendengar lainnya menangkap makna yang lain lagi. Dengan demikian,
perbedaan pemahaman antara para pembaca teks yang sama atau para
pendengar ungkapan yang sama merupakan suatu keniscayaan. Sebab, bahasa
memang menuntut atau menggiring manusia kepada perbedaan-perbedaan itu.
Berangkat dari analisis di atas, maka dapat ditekankan bahwa
perbedaan para imam mujtahid dalam menafsirkan Alquran merupakan suatu
keniscayaan. Kondisi bahasa Alquran itu sendiri mempunyai konsekuensi
kepada perbedaan tersebut. Sebab tidak semua ayat Alquran itu mempunyai
makna yang jelas (al-muhkamât), yang mengambarkan kepastian makna
(qath`i al-dalâlah) dimana ia menggiring kepada keseragaman dalam
memahaminya. Justru sebaliknya,banyak terdapat dalam Alquran ayat yang
menggunakan lafaz yang tidak mempunyai makna pasti atau samar-samar (al-
mutasyâbihât). Kesamar-samaran makna itu tentu tidak dapat mencapai tarap
kepastian makna. Status pemaknaannya tetap berada pada ketidak pastian
(zhanni al-dalâlah), dimana hal ini berdampak kepada perbedaan atau
ketidaksepakatan dalam pemaknaan terhadap suatu teks.
Bahasa Arab sebagai bahasa Alquran dan sunnah mempunyai kondisi
seperti yang telah disebutkan di atas. Ia mempunyai beragam lafaz yang
menunjukkan satu makna atau beragam makna yang dimiliki oleh suatu lafaz,
baik makna kata kerja (fi`il), kata benda (isim), ataupun kata sambung (hurûf).
Keberagaman makna ini tentu saja mempunyai dampak terhadap pemaknaan
teks ayat.
Lebih jauh lagi, yang menjadi persoalan dalam teks Arab (al-nushûsh
al-`arabiyah) adalah penentuan maksud kata ganti (isimdhamîr), kemana ia
dikembalikan. Berbeda dalam menentukan maksud yang ditunjuki oleh isim
dhamir jelas mempengaruhi makna. Demikian pula isimisyârah, untuk
memahami teks seorang pembaca mesti dapat menentukan kata yang ditunjuki
(musyârah ilayh) oleh isim tersebut. Berbeda dalam menentukan musyârah
ilayh berdampak pula kepada perbedaan pemahaman.
Paling tidak ada enam persoalan kebahasaan yang dapat membentuk
perbedaan pendapat para ulama dalam menafsirkan nusus al-shar`iyyah, yang
tentu saja berpengaruh terhadappenetapan hukum. Keenam perseoalan itu
adalah pemaknaan huruf Jar dan `Athaf, pemaknaan terhadap kata benda
(isim) dan kata kerja (fi`il), penentuan musyârahilayh dari suatu isimisyârah,
penentuan tempat kembali dhamîr, cakupan dan kualitas makna suatu lafaz,
serta makna hakiki dan majazi
305
Dalam Bahsa Arab, kadang-kadang suatu lafaz mempunyai
makna ganda. Ketika lafaz itu digunakan dalam suatu nas syar`i maka
tentu pemaknaannya menjadi tidak pasti. Artinya, yang mana satu dari
beberapa makna yang mesti digunakan dalam memahami lafaz yang
terdapat dalam nas syar`i tersebut. Karena ketidakpastian makna itu
membuat para mujtahid mempunyai perspektif dan pandangan yang
berbeda. Justru itu muncullah perbedaan dalam menetapkan suatu
hukum walaupun didasarkan atas nas yang sama. Demikian pula
penentuan tempat kembali dhamir dan musyarah ilaih-nya suatau isim
isyarah. Perbedaan-perbedaan dalam penentuan persoalan ini jelas akan
berpengaruh kepada pemahaman dan pengamalan.
c. Perbedaan Dalam Menilai Kualitas dan Status Suatu Nas.
Nas syar`i, yang terdiri dari Alquran dan sunnah, dapat
dikategorikan kepada qat`i dan zanni. Jika ditinjau dari segi wurud
(kemunculannya)-nya, seluruh ayat Alquran termasuk dalam kategori
qat`i al-wurud. Dan jika dilihat dari segi dalalah (makna)-nya, ayat al-
Qr‟an itu ada yang qat`i al-dalalah dan ada pula yang zanni al-dalalah.
Dalam persoalan kualitas dan kebsahannya, ayat Alquran tentu tidak
diragukan lagi. Maka tidak perbedaan pendapat para ulama, mengenai
suatu persoalan, yang dilatarbelakangi oleh perbedaan dalam menilai
kualitas atau keabsahan ayat Alquran. Umat Islam sepakat, dan juga
terbukti secara ilmiah, bahwa seluruh ayat Alquran datang dari Allah
dan sampai kepada seluruh umat dengan jalan mutawatir. Ayat-ayatnya
terjaga dari penambahan, pengurangan, dan perubahan. Maka
perbedaan pendapat para imam mujtahid yang berasal dari Alquran
hanya disebabkan oleh perbedaan penafsiran.
Hadis Nabi, yang tidak termasuk dalam kategori mutawatir,
merupakan zanni al-wurud. Para ulama kadang-kadang berbeda dalam
menilai Hadis yang zanni al-wurud itu. Ulama yang menilainya suatu
Hadis itu sahih, tentu dia menjadikannya sebagai sumber atau sandaran
hukum. Demikian pula sebaliknya; ulama yang menilainya sebagai
Hadis da`if tentu tidak akan menjadikannya sebagai sandaran hukum.
Perbedaan dalam menilai kualitas Hadis ini tentu berdampak kepada
ketetapan suatu hukum.
d. Perbedaan dalam Menyelesaikan Nas yang Bertentangan
(Ta`arudh al-Adillah).
Bagaimanapun juga, secara lahiriah selalu ditemukan
pertentangan-pertentangan (ta`arudh) antara suatu nas dengan nas
lainnya, baik Alquran maupun sunnah. Dengan adanya kontradiksi
tersebut maka para pakar hukum Islam menyusun sutau teori untuk
menyelesaikannya, yaitu ta`arud al-adillah (pertentangan antara dalil-
306
dalil). Ada beberapa metode yang dapat dijadikan pegangan dalam
menyelesaikan ta`arud tersebut, yaitu :
a. al-jam`u wa al-tawfiq, yaitu mengkompromikan atau melihat sisi
kesesuaian dalil-dalil yang bertentangan itu sehingga keduanya
diamalkan. Untuk itu, seorang mujtahid dapat melihat dan
mengemukakan maksud dalil tersebut dimana masing-masing
dalil punya maksud dan makna yang berbeda sehingga dalil-dalil
itu dapat disimpulkan bahwa ia tidak saling bertentangan
b. al-tarjih, yaitu melakukan penilaian terhadap nas syar`i yang
kontradiktif itu; mana di antaranya yang paling kuat. Nas paling
kuat itulah yang dipakai dan diamalkan. Hal itu dilakukan dengan
cara melihat kualitas sanadnya. Walaupun semuanya siqah atau
adil, tetapi bisa dinilai yang paling siqah berdasarkan tingkat
kesiqahannya. Hal itu dengan berpijak pada istilah peringkat
kesiqahan para rawi yang digunakan oleh para ahli hadis, seperti
awsaqu al-nas, siqatun-siqatun, siqatun, dan lain sebagainya.
c. al-naskhu, jika kedua poin di atas tidak bisa dilakukan maka
seorang mujtahid menelusuri kemuculan nas-nas tersebut. Nas
yang muncul duluan berarti telah dinasakhkan oleh nas yang
munculnya kemudian.
d. al-tawaquf, yaitu mujtahid mengabaikan nas-nas yang
bertentangan itu, tidak menjadikanya sebagai sumber hukum.
Seorang mujtahid berpaling darinya dan berpegang kepada
sumber lain. Hal ini berdasarkan suatu kaedah “al-dalilu iza
tatharraqa ilayhi al-ihtimalu kasaha tsawbu al-ijmal, fasaqatha
bihi al-istidlal (apabila suatu dalil mengamndungi keraguan,
maka maknanya menjadi tidak jelas. Dengan demikian, dalil
tersebut gugur dijadikan sebagai sandaran)
Itulah empat hal yang dapat dijadikan pegangan dalam
menyelesaikan nas-nas syara` yang saling bertentangan. Para mujtahid
kadang-kadang mempunyai sikap yang berbeda dalam menggunakan
satu di antara empat hal tersebut. Ada imam mujtahid yang melakukan
kompromi terhadap nas-nas syar`i yang bertentangan itu, sementara
mujtahid lainnya menggunakan nasakh atau sebaliknya. Bahkan, ada
kemungkinan para imam mujtahid menggunakan pendekatan yang
sama, tetapi pola yang digunakan berbeda dan tentu juga hasilnya
berbeda. Maka perbedaan mereka dalam hal ini tentu berdampak
terhadap hasil ijtihad atau istimbat hukumnya.
D. Corak pemahaman Islam di Indonesia
Indonesia merupakan negara yang berpenduduk muslim
terbanyak di dunia. Pada umumnya, muslim Indonesia menganut
mazhab al-Syafi`i dalam bidang fiqih dan Asy`ariah dalam bidang
307
aqidah dan ilmu kalam. Hal ini disebabkan oleh para da`i atau ulama
yang menyebarkan agama Islam pada awal perkembangannya adalah
bermazhab al-Syafi`i dan Asy`aryah. Kemudian dilanjutkan oleh para
ulama, yang pada umumnya juga bermazhab al-Syafi`i. Mereka
mendirikan pondok pesantren yang tersebar di berbagai daerah di
penjuru tanah air. Kitab-kitab yang menjadi rujukan dan bahan bacaan
serta kajian di pondok pesantren tersebut adalah kitab-kitab Syaf`iyah,
antara lain:
a. Ghayah al-Taqrib, yang disyarah menjadi Fath al-Qarib al-Mujib
dan disyarah lagi oleh al-Bajuri
b. Qurrah al-`Ayn, yang disyarah oleh menjadi Fath al-Mu`in dan
disyarah lagi oleh I`anah al-Thalibin
c. Minhaj al-Thalibin, yang disyarah oleh al-Mahalli dan disyarah
lagi oleh Qalyubi wa `Umayrah
Semua kitab ini ditulis dalam mazhab al-Syafi`i. Pertumbuhan Islam di
Indonesia sangat pesat, banyak melahirkan ulama ternama tidak hanya
ditanah air tetapi juga bahkan di Timur Tengah seperti Syekh Khatib
Minangkabawi dan al-Nawawi al-Jawi.
Tidak semua muslim Indonesia yang brmazhab al-Syafi`i dan
Asy`ariyah, terdapat pula mazhab atau aliran lain yang dianut oleh
sebagian penduduk Indonesia, seperti mazhab Hanafi, Maliki, dan
Hanbali dalam bidang fiqih serta Mu`tazilah dalam bidang ilmu kalam.
Di Indonesia terdapat berbagai organisasi masyarakat Islam, seperti
Nahdhatul Ulama (NU), Muhammadiah, Tarbiyah Islamiah, al-
Wasliah, dan lain sebagainya. Dari aspek agama, semua organisasi
keislaman ini mempunyai ideologi yang sama, yaitu Islam. Tetapi dari
aspek aliran atau metodologi pemahaman keislaman, organisasi-
organisasi tersebut mempunyai perbedaan. Muhammadiah, misalnya,
tidak menganut suatu mazhab tertentu, bahkan ia menyerukan agar
kembali kepada Alquran dan sunnah. Nahdhatul Ulama menganut salah
satu dari empat mazhab yang telah dikemukakan di atas. Sedangkan
Tarbiyah Islamiyah dan Al-Wasliyah menganut mazhab al-Syafi`i.
308
DAFTAR REFERENSI
309
Ali Abd al-Raziq, Al-Islam wa Ushul al-Hukm, (Kairo, 1925).
Ali Jum‟ah. 2013. Menjawab Dakwak Kaum Salafi (judul asli: Al-
Mutasyaddiduun Manhajuhum wa Munaaqasyatu Ahammi
Qadhaayaahum). (Jakarta: Khatulistiwa Press).
Al-Malaybari, Zain al-Din bin Abd al-Aziz. Fath al-Mu`in bi Syarh Qurah al-
`Ayn. Semarang; Karya Thaha Putra. T.th.
Al-Marāghī, Ahmad Mustafa. 1974. Tafsīr al-Marāghī . Bairut; Dār Ihyā‟ al-
Turaś al-„Arabi.
Al-Qardāwi, Yūsuf. 1997. Min Fiqh al-Dawlah fi al-Islām. Kairo; Dār al-
Syurūq.
Al-Razi, Imam Muhammad ibn Abi Bakar ibn Abdul Qadir. 1994. Mukhtar
al-Shihhah. Beirut:Dar al-
Al-Sāwi, Ahmad. t.th. al-Shāwi „Alā al-Jalālayn. t.tp.: Dār Ihyā‟ al-Kutub al-
„Arabiyah.
310
Al-Sya‟rawi, Muhammad Matawalli. 1991. Tafsīr al-Sha‟rawi. t.tp. Akhbar
al-Yawm.
312
Kosasih, Ahmad. 2003. HAM Dalam Perspektif Islam; Menyingap
Persamaan dan Perbedaan Antara Islam dan Barat.
(Jakarta: Penerbit Salemba Diniyah).
313
Nurdin, Muslim. 1993. Moral dan Kognisi Islam. (Bandung: CV.
Alfabeta).
Sabiq, al-Sayyid. Fiqh al-Sunnah Jilid III. Bairut; Dar al-Fikr. 1983.
314
Shihab, M.Quraish. 1992. Membumikan Al-Qur`an. (Bandung: Penerbit
Mizan).
316
CURRICULUM VITAE PENULIS
317
13. Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Sumatera Barat 2012-
sekarang
14. Pengurus Ikatan Persaudaraan Muballig dan Pengurus Masjid se-
Kota Padang 2008-2011.
15. Pengurus MUI Sumbar 2011-2015 Bidang Ukhuwah
16. Pengurus Masjid Al-Azhar, kampus Universitas Negeri Padang
17. Pengurus Yayasan DR.H.Abdullah Ahmad PGAI Sumbar.
18. Staf Ahli/Pengasuh Konsultasi Agama pada Koran
Kampus GANTO, Universitas Negeri Padang 2008- sekarang.
4. “Telaah Islam atas Motivasi Kerja” dalam Nilai & Makna Kerja
dalam Islam,
Nuansa Madani, Jakarta , 1999
318
DR.M.Quraish Shihab, MA sedang dalam proses penerbitan
319
2. Dr. H. Kadar. M. Yusuf, M.Ag
320
3. Hj. Nurhasanah Bakhtiar, M.Ag
321
322