Anda di halaman 1dari 77

HASIL PENELITIAN

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN


NARKOTIKA YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA
KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA
(Studi Di Polrestabes Makassar)

OLEH

ANDI NURWAHIDAH
04020170427

Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk melakukan


seminar hasil penelitian

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2021
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Diterangkan Bahwa Hasil Penelitian Mahasiswa :

Nama : ANDI NURWAHIDAH

Stambuk : 040 2017 0427

Bagian : Hukum Pidana

Judul : ANALISIS TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN


NARKOTIKA YANG DILAKUKAN OLEH
ANGGOTA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA
(Studi Di Polrestabes Makassar)

Telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan dalam seminar hasil


penelitian.

Menyetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. H. Baharuddin Badaru, SH.,MH. Dr. Sutiawati, SH.,MH.

Mengetahui
Ketua Bagian Hukum Pidana

Prof. Dr. Hj. Mulyati Pawennai, SH., M.H

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat, taufik

dan inayah-Nya sehingga penyusunan Skripsi ini dengan judul “Analisis

Penegakan Hukum Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika yang

Dilakukan Oleh Anggota Kepolisian Republik Indonesia (Studi di Wilayah

Hukum Polrestabes Makassar)” dapat dirampungkan sesuai dengan waktu

yang direncanakan. Tak lupa penulis kirimkan salawat dan salam kepada

Nabi Muhammad SAW sebagai teladan bagi seluruh umat manusia.

Disadari bahwa Skripsi ini kurang sempurna, hal ini disebabkan

karena keterbatasan kemampuan yang ada pada penulis. Oleh karena itu,

kritik, saran dan koreksi untuk perbaikan dan penyempurnaannya sangat

penulis harapkan.

Pada kesempatanini, perekenankanlah penulis menyampaikan rasa

terima kasih diiringi do’a kepada Allah SWT, kepada kedua orang tua

penulis Ayahanda H. ANDI JUMARDI dan Ibunda HJ.ANDI DARMAWATI

yang telah mendidik, membesarkan dan membimbing serta doa yang tulus.

Selanjutnya diucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. H. Basri Modding, SE.,M.Si., selaku Rektor Universitas

Muslim Indonesia.

ii
2. Prof. Dr. H. La Ode Husen, SH.,MH., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Muslim Indonesia

3. Prof. Dr. Hj. Mulyati Pawennai, SH.,MH., selaku Ketua Bagian Hukum

Pidana Universitas Muslim Indonesia, yang telah memberikan izin,

kesempatan dan fasilitas kepada penulis selama mengikuti pendidikan

program sarjana.

4. Dr. H. Baharuddin Badaru, SH.,MH., dan Dr.Sutiawati, SH.,MH., selaku

Ketua dan Anggota Pembimbing yang memberikan bimbingan, dengan

penuh keseriusan, kecermatan dan kebijakan dalam memberi

petunjuk-petunjuk perihal prinsip penulisan karya ilmiah kepada

penulis.

Kepada seluruh sahabat-sahabat yang tak sempat penulis sebut satu

persatu dalam tulisan ini, Penulis ucapkan terima kasih atas bantuan dan

kebersamaanya.

Akhirnya penulis mengharap semoga dengan hadirnya skripsi ini dapat

bermanfaat bagi pengembangan ilmu dan teknologi. Semoga Allah SWT,

senantiasa memberkati dan merahmati segala aktivitas keseharian

sebagai suatu ibadah disisi-Nya. Amin.

Makassar Maret 2021

ANDI NURWAHIDAH

iii
DAFTAR ISI

SAMPUL ..............................................................................................

PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................... i

KATAR PENGANTAR .......................................................................... ii

DAFTAR ISI ......................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1


B. Rumusan Masalah ............................................................... 6
C. Tujua n Penelitian ................................................................ 6
D. Manfaat Penelitian ............................................................... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Penegakan Hukum .................................... 7


1. Pengertian Penegakan Hukum ....................................... 7
2. Ruang Lingkup Penegakan Hukum ................................ 9
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum ... 12
B. Tinjauan Umum Tindak Pidana ........................................... 13
1. Pengertian Tindak Pidana .............................................. 13
2. Unsur-unsur Tindak Pidana ............................................ 14
C. Tinjauan Umum Penyalahgunaan Narkotika ........................ 15
1. Pengertian Narkotika ...................................................... 15
2. Macam-macam Narkotika ............................................... 17
3. Sebab terjadinya penyalahgunaan narkotika .................. 18
4. Tujuan dibuatnya Undang-undang Narkotika ................. 20
5. Jenis-jenis tindak pidana narkotika ................................. 22
D. Tinjauan Umum Kepolisian .................................................. 39
1. Pengertian Kepolisian ..................................................... 39

iv
BAB III METODE PENELITIAN

A. Tipe penelitian...................................................................... 49
B. Lokasi Penelitian .................................................................. 49
C. Jenis dan Sumber Data ....................................................... 49
D. Teknik Pengumpulan Data................................................... 50
E. Analisis Data ........................................................................ 50

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian .................................................................... 51


1. Data Penyalahgunaan Narkotika Yang Dilakukan Oleh
Anggota Kepolisian di Wilayah Hukum Polrestabes
Makassar ........................................................................ 51
2. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Tindak Pidana
Penyalahgunaan Narkotika Oleh Anggota Kepolisian
Republik Indonesia ........................................................ 52
B. Pelaksanaan Penegakan Hukum Tindak Pidana
Penyalahgunaan Narkotika Yang Dilakukan Oleh Anggota
Kepolisian ............................................................................ 57

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .......................................................................... 67
B. Saran ................................................................................... 67

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 69

v
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penyalahgunaan narkotika telah lama menjadi masalah yang

serius di berbagai negara, baik negara-negara yang sudah maju

maupun di negara- negara yang sedang berkembang tidak terkecuali

di Indonesia. Kita ketahui bahwa masalah narkotika ini merupakan

masalah yang sangat menarik perhatian dari banyak kalangan baik

kalangan masyarakat maupun pemerintah. Tindak kejahatan narkotika

saat ini tidak lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tetapi sudah

terang-terangan dilakukan oleh para pemakai tanpa pandang bulu.

Tugas polisi dalam bidang penegak hukum adalah melakukan

penyelidikan dan penyidikan, khususnya terhadap tindak pidana

penyalahgunaan narkotika baik sebagai pengedar maupun sebagai

pengguna. Dalam pemberantasan tindak pidana narkotika baik jaksa,

hakim maupun polisi perlu lebih dahulu memiliki kesadaran dan mental

tangguh yang tidak akan tergoyahkan oleh pengaruh dari pihak

manapun dalam memberantas peredaran narkotika di negara ini

Dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian menyebutkan bahwa tugas pokok kepolisian Negara

Repubik Indonesia adalah Pertama memelihara keamanan dan

ketertiban masyarakat, Kedua menegakkan hukum dan Ketiga

1
memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat

Dalam undang-undang kepolisian juga ditegaskan bahwa

Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan memberikan

keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,

perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam

rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Fungsi kepolisian

yakni sebagai alat Negara yang menjaga keamanan, ketertiban

masyarakat, melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta

menegakkan hukum.

Untuk itu sangat disayangkan jika ada anggota Kepolisian

Negara Republik Indonesia baik yang bertugas di tingkatan daerah

maupun ditingkatan pusat terdapat personil kepolisian yang melakukan

penyalahgunaan narkotika tentu mencoreng citra kepolisian, pasalnya

polisi yang seharusnya ikut memberantas peredaran narkotika tetapi

yang terjadi justru yang sebaliknya ada oknum kepolisian yang menjadi

musuh dalam selimut dalam upaya memberantas narkotika dan obat-

obatan terlarang.

Jumlah anggota Kepolisian Republik Indonesia yang menjadi

pengguna narkotika dan obat-obatan dari tahun ke tahun mengalami

peningkatan. Fakta ini merujuk pada data yang dikumpulkan oleh Divisi

Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri dari tahun 2015 hingga 2016.

Secara rinci, berdasarkan laporan Akreditor Utama Propam Polri

2
Kombes Pol Iriyanto, pada 2015 tercatat sebanyak 106 anggota polisi

terlibat narkotika. Terdiri dari kasus sabu-sabu 100 orang, ekstasi tiga

anggota, dan ganja tiga anggota. Peran pelaku, yaitu pengedar 11

orang dan pemakai 95 orang. Sementara itu, untuk tahun 2016, hingga

Agustus, tercatat ada 118 anggota polisi yang tersangkut narkotika.

Kasus sabu-sabu sebanyak 116 anggota dan dua orang untuk kasus

ekstasi. Untuk 2016 itu, lima anggota polisi tercatat sebagai pengedar

dan sisanya 113 orang hanya pengguna

Di tahun 2020 yaitu dari bulan januari hingga oktober sebanyak

113 oknum polisi dipecat dan mayoritas terjerat kasus narkotika.

Direktur Tindak Pidana Narkotika Bareskrim Polri Brigjen Pol Eko

Daniyanto menyebutkan sebanyak 515 oknum anggota polri terlibat

kasus narkotika sepanjang tahun 2019. Angka tersebut, menurut eko

lebih banyak jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu 374

oknum polri sepanajng 2018 di seluruh indonesia.

Sedangkan di Sulawesi Selatan sebanyak 14 anggota Polri

terlibat dalam kasus penyalahgunaan narkoba selama tahun 2018.

Data tersebut berdasarkan hasil rilis Direktorat Reserse Narkoba Polda

Sulsel.

Direktur Direktorat Reserse Narkoba Polda Sulsel Kombes Pol

Hermawan mengungkapkan di tahun 2017, sebanyak 23 orang yang

terlibat dan di tahun 2018 sebanyak 14 orang anggota Polri yang

terlibat kasus narkoba. Sepanjang tahun 2020 tiga anggota polda

3
sulawesi selatan dipecat dengan tidak hormat satudiantaranya terlibat

kasus narkotika.

Penyimpangan perilaku anggota polisi merupakan pelanggaran

terhadap peraturan disiplin anggota Polri sebagaimana yang diatur

dalam peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003

tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri. Upaya penegakan disiplin

dan kode etik Polri sangat dibutuhkan guna terwujudnya pelaksanaan

tugas yang dibebankan dan tercapainya profesionalisme Polri. Sangat

tidak mungkin penegakan hukum dapat berjalan dengan baik, apabila

penegak hukumnya sendiri tidak disiplin dan tidak profesional.

Lemahnya pengawasan institusi penegak hukum menjadi salah

satu faktor penyebab adanya oknum Polri yang turut

menyalahgunakan narkotika, sehingga sikap pesimistis timbul

terhadap keberhasilan pihak kepolisian untuk memberantas peredaran

dan penyalahgunaan barang haram tersebut. Dengan demikian

memunculkan asumsi di kalangan masyarakat yang tidak sedikit

menghendaki agar anggota polisi yang terlibat atas penyalahgunaan

narkotika dapat dihukum berat, bukan hanya diberikan sanksi

melanggar disiplin kepolisian atau hanya sekedar peringatan saja.

Anggota Polri yang seharusnya sebagai alat negara penegak

hukum dalam memberantas tindak pidana khususnya

penyalaguanaan narkotika dan psikotropika sangat disayangkan

apabila profesi yang mulia ini dicederai oleh perbuatan anggotanya

4
yang justru bertolak belakang dengan tugas yang harus dia kerjakan

sebagai anggota kepolisian. Meninjau konsep penegakan hukum,

maka setiap warga negara wajib menjunjung hukum. Seseorang yang

melanggar hukum harus mempertanggung jawabkan perbuatanya

dihadapan hukum.

Dalam Al Qur’an menjelaskan bahwa mengkonsumsi Narkotika

dijelaskan dalam surah Al-Maidah ayat 90 yang berbunyi:

Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya
minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan
mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji
dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-
perbuatan) itu agar kamu beruntung”

Di dalam ayat Al Qur’an Surah Al-Maidah ayat 90 tidak

dijelaskan secara spesifik mengenai narkotika, namun yang diketahui

narkotika tergolong dalam hal yang memabukkan, sama halnya

dengan meminum khamar atau alkohol yang dilarang agama islam.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk

melakukan penelitian dengan judul “Analisis Penegakan Hukum

Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika yang dilakukan oleh

Anggota Kepolisian Republik Indonesia (Studi Di Polrestabes

Makassar)”.

5
B. Rumusan Masalah

1. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan anggota Kepolisian

melakukan penyalahgunaan Narkotika?

2. Bagaimanakah pelaksanaan penegakan hukum tindak pidana

penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anggota Kepolisian?

C. Tujuan penelitian

1. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang

menyebabkan anggota Kepolisian melakukan penyalahgunaan

Narkotika.

2. Untuk menegtahui dan menganalisis pelaksanaan penegakan

hukum tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan

oleh anggota Kepolisian.

D. Manfaat penelitian

1. Secara teoritik penelitian ini dapat memberikan pengetahuan

tentang faktor-faktor penyebab penyalahgunaan narkotika oleh

anggota kepolisian,dan penegakan hukum tindak pidana

penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anggota kepolisian.

2. Kegunaan praktik, yakni berguna bagi pihak-pihak yang

berkepentingan dalam penelitian hukum khususnya mengenai

penegakan hukum tindak pidana narkotika.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Penegakan Hukum

1. Pengertian Penegakan Hukum

Penegakan hukum merupakan upaya yang dilakukan untuk

menjadikan hukum, baik dalam arti formal maupun materiil, sebagai

pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para

subjek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur

penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh

undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum

yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara

Menurut Sajipto Rahardjo dalam bukunya yang berjudul

masalah penegakan hukum menyatakan bahwa penegakan hukum

merupakan suatu proses untuk mewujudkan keinginan keinginan

hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum yang

dimaksud disini adalah fikiran-fikiran pembentuk undang undang

yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu.

Perumusan fikiran pembuat hukum, turut menentukan bagaimana

penegakan hukum itu harus dijalankan. Demikian, pada gilirannya

proses penegakan hukum itu memuncak pada pelaksanaan

peraturan hukum oleh para pejabat penegak hukum itu sendiri. Dari

keadaan ini dengan nada ekstrim dapat dikatakan bahwa

keberhasilan ataupun kegagalan para penegak hukum dalam

7
melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan

hukum yang harus dijalankan itu dibuat.

Apabila dilihat dari terminologinya. Istilah “penegakan” sendiri

dalam bahasa inggris dikenal dengan istilah “enforcement” di mana

dalam Black Law Dictionary diartikan sebagai the act of putting

something such as a law into effect, the execution of a law. Adapun

penegak hukum (law enforcement officer). Arinya adalah those

whose duty it is to preserve the peace. Dalam Kamus Bahasa

Besar Indonesia, “penegak” adalah “yang mendirikan” atau “yang

menegakkan.” Penegak hukum adalah yang menegakkan hukum,

dalam arti sempit hanya berarti polisi dan jaksa. Di Indonesia,

istilah ini diperluas sehingga mencakup pula hakim, pengacara, dan

lembaga permasyarakatan.

Sudarto memberi arti penegakan hukum adalah perhatian dan

penggarapan, baik perbuatan-perbuatan yang melawan hukum

yang sungguh sungguh terjadi (onrecht in actu) maupun perbuatan

melawan hukum yang mungkin akan terjadi (onrecht in potentie),

adapun menurut Soerjono Soekanto, secara konsepsional, maka

inti dari penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan

hubungan nilai nilai yang terjabarkan di dalam kaidah kaidah yang

mantap dan menjelma dan sikap tindak sebagai rangkaian

penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan

mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.

8
Unsur-unsur penegakan hukum dapat dibagi kedalam 3 (tiga)

bagian, yaitu pertama peraturan perundang-undangan yakni

kumpulan peraturan yang berlaku mengikat dan bersifat memaksa

serta disertai sanksi bagi sipelanggar, kedua penegak hukum yang

dalam hal ini kepolisian, kejaksaan, hakim dan advokat, sangat

menentukan terlaksana atau tidak terlaksananya hukum itu

sebagaimana mestinya. Ketiga masyarakat itu sendiri dimana

tingkat kesadaran dan/atau pengetahuan hukum sangat

menentukan tercapainya penegakan hukum

2. Ruang Lingkup Penegakan Hukum

Penegakan hukum sebagai proses dari pengungsian norma-

norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku atau

hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara. Ruang lingkup istilah “penegakan

hukum” adalah luas sekali karena mencakup mereka yang secara

langsung dan secara tidak langsung berkecimpung di bidang

penegakan hukum.Penegak hukum merupakan warga masyarakat

yang mempunyai hak dan kewajiban tertentu, yakni menegakkan

dalam artian memperlancar hukum.

Bekerjanya aparatur penegak hukum secara intitusional

merupakan suatu amanah yang diberikan undang-undang kepada

masing-masing lembaga tersebut untuk dapat melaksanakan

semua tugas-tugasnya dengan baik dan benar. Aparat penegak

9
hukum memiliki fungsi yang sangat strategis dan signifikan dalam

menegakkan hukum.Hal ini tercermin dari para aparat penegak

hukum itu merupakan salah satu unsur yang paling berpengaruh

dalam penegakan hukum. Berikut adalah aparat penegak yang

terdapat di Indonesia :

a. Kepolisian

b. Kejaksaan

c. Kehakiman

d. Pengacara atau advokat

e. Lembaga permasyarakatan

Secara umum penegakan hukum di Indonesia dilakukan

dengan 2 (dua) cara yaitu:

1) Preventif yakni upaya yang dilakukan untuk mencegah

terjadinya suatu perbuatan yang melanggar hukum. Pendapat

Muladi sebagaimana dikutip Rusli Muhammad, apabila dilihat

dari suatu proses kebijakan, maka penegakan hukum pada

hakekatnya merupakan penegakan kebijakan melalui beberapa

tahap, yaitu:

a. Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum in abstarcto

oleh badan pembuat undang-undang, pada tahap ini disebut

tahap kebijakan legislatif.

10
b. Tahap aplikasi, yaitu penegakan hukum pidana oleh aparat

penegak hukum mulai dari kepolisian, pengadilan, tahap ini

disebut tahap kebijakan yudikatif.

c. Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana

secara konkrit oleh aparat-aparat pelaksana pidana, tahap

ini disebut tahap kebijakan eksekutif atau adminstratif

2) Upaya Penegakan Hukum Secara Represif

Bentuk penegakan hukum ini adalah adanya penindakan

ketika atau telah dilakukan kejahatan. Penindakan tersebut ada

beberapa tahapan dari awal penyelidikan sampai pada

pengadilan, diantaranya adalah :

a. Penyelidikan, yaitu serangkaian tindakan penyelidik untuk

mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga

sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya

dilakukan penyidikan. ( Pasal 1 ayat 5 KUHAP )

b. Penyidikan, yaitu serangkaian tindakan penyidik untuk

mencari dan mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna

menemukan tersangkanya.( Pasal 1 ayat 2 KUHAP )

c. Penangkapan, yaitu suatu tindakan penyidik berupa

pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau

terdakwa apabila cukup bukti guna kepentingan penyidikan

atau penuntutan dan atau peradilan.( Pasal 1 ayat 20

KUHAP )

11
d. Penahanan, yaitu penempatan tersangka atau terdakwa

ditempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau

hakim dengan penetapanya.( Pasal 1 ayat 21 KUHAP )

e. Penuntutan, yaitu tindakan penuntut umum untuk

melimpahkan perkara pidana kepengadilan negeri yang

berwenang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus

oleh hakim disidang pengadilan.( Pasal 1 ayat 7 KUHAP )

f. Mengadili, yaitu tindakan hakim untuk menerima, memeriksa

dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur

dan tidak memihak disidang pengadilan.( Pasal 1 ayat 9

KUHAP )

g. Putusan pengadilan, yaitu pernyataan hakim yang diucapkan

dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa

pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan

hukum.( Pasal 1 ayat 11 KUHAP )

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada

faktor-faktor yang mungkin memengaruhinya. Menurut

Soerjono Soekanto, faktor-faktor yang memengaruhi penegak

hukum tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak

positif dan dampak negatifnya terletak pada isi faktor-faktor

tersebut. Faktor-faktor yang dimaksud adalah sebagai berikut:

a. Faktor hukumnya sendiri (peraturan perundang-undangan)

12
b. Faktor penegak hukum yakni pihak yang membentuk

maupun menerapkan hukum.

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan

hukum.

d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum

tersebut berlaku atau diterapkan.

e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan

rasa yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan

hidup.

B. Tinjauan Umum Tindak Pidana

1. Pengertian tindak pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam

hukum pidana Belanda yaitu strafbaarfeit. Walaupun istilah ini

terdapat dalam Wvs Belanda maupun berdasarkan asas

konkordasi istilah tersebut juga berlaku pada WvS Hindia Belanda

(KUHP). Tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang

dimaksud dengan strafbaarfeit. Oleh karena itu, para ahli hukum

berusaha untuk memberikan arti dan istilah itu, namun hingga saat

ini belum ada keseragaman pendapat tentang apa yang dimaksud

dengan strafbaarfeit.

Menurut Moeljatno, perbuatan pidana adalah perbuatan yang

dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman

(sanksi) yang berupa pidana. Moeljatno berpendapat bahwa,

13
“Perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum

dilarang dan diancam dengan pidana, asal saja dalam pidana itu

diingat bahwa larangan tersebut ditujukan pada perbuatan yaitu

suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelalaian orang,

sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang

menimbulkan kejadian tersebut”.

Sementara perumusan strafbaarfeit, menurut Van Hammel,

adalah sebagai berikut : “Strafbaarfeit” adalah kelakuan orang yang

dirumuskan dalam undang-undang, bersifat melawan hukum yang

patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Maka sifat-sifat

yang ada dalam setiap tindak pidana adalah sifat melanggar hukum

(wederrectelijkheid, onrechtmatigheid)

2. Unsur Unsur Tindak Pidana

Menurut Moeljatno unsur-unsur Tindak Pidana sebagai berikut:

a. Perbuatan itu harus merupakan perbuatan manusia,

b. perbuatan itu harus dilarang dan diancam dengan pidana,

c. perbuatan itu bertentangan dengan undang-undang,

d. harus dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggung

jawabkan

e. perbuatan itu harus dapat dipersalahkan kepada si pembuat

3. Unsur Tindak Pidana dalam Undang-undang

Buku II KUHP memuat rumusan-rumusan perihal tindak pidana

tertentu yang masuk dalam kelompok kejahatan, sedangkan dalam

14
Buku III memuat pelanggaran. Dari rumusan-rumusan tindak

pidana tertentu dalam KUHP, dapat diketahui adanya 11 unsur

tindak pidana yaitu

a. Unsur tingkah laku

b. Unsur melawan hukum

c. Unsur kesalahan

d. Unsur akibat konstitutif

e. Unsur keadaan yang menyertai

f. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana

g. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana

h. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana

i. Objek unsur hukum tindak pidana

j. Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana

k. Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana

C. Tinjauan Umum Narkotika

1. Pengertian Narkotika

Sesuai dengan ketentuan pasal 1 angka 1 Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 perubahan atas Undang-Undang Nomor 22

Tahun 1977 menegaskan bahwa Narkotika ialah suatu zat atau

obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sitetis

maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau

perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai

menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan,

15
yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana

terlampir dalam undang-undang ini. Dilihat dari segi yuridis,

pengaturan yang merupakan kompetensi dari hukum pidana hanya

berupa tindakan mengekspor, mengimpor, menanam, menyimpan,

mengedarkan dan/atau menggunakan secara melawan hukum

dianggap sebagai suatu tindakan kejahatan yang dapat dipidana.

Penegasan ini terlihat pada konsiderans Undang-Undang Nomor

35 Tahun 2009 huruf d yang menegaskan bahwa:

“Mengimpor, mengekspor, memproduksi, menanam,

menyimpan, mengedarkan, dan/atau menggunakan narkota tanpa

pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama serta

bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan

merupakan tindak pidana narkotika karena sangat merugikan dan

merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan, manusia,

masyarakat, bangsa, dan negara serta ketahanan nasional

indonesia.

Dibentuknya Undang-undang 8 Februari 1993 Peraturan

Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 124/Men.kes/II/1993

tentang obat-obatan terlarang tertentu Menteri Repubik Indonesia.

Namun, perturan menteri kesehatan RI tersebut belum

mencantumkan sanksi pidananya. Maka pada tanggal 11 Maret

1997 di Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang narkotika,

kemudian dirubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.

16
Berbagai peraturan yang dikeluarkan olehpemerintah tentang

narkotika dalam rangka mencegah penyalahgunaan narkotika.

Dengan demikian, kejahatan yang menyangkut penyalahgunaan

narkotika tertangkap kemudian diadili dan diputus oleh pengadilan.

Penegasan ini selaras dengan tujuan dari pembentukan

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, pada pasal 4 dikatakan

Undang-Undang Tentang Narkotika bertujuan:

a. Menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan

kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi.

b. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia

dari penyalahgunaan narkotika;

c. Memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekusor

Narkotika.

d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitas medis dan sosial bagi

penyalah guna dan pecandu narkotika.

2. Macam-macam Narkotika

Adapun macam-macam narkotika adalah opioda, morfin, codein,

heroin atau putau, ganja, metadon, kokain, crack. Penggolongan ini

didasarkan pada beberapa golongan:

1) Narkotika golongan I

Narkotika yang hanya digunakan untuk tujuan pengembangan

ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta

17
mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan

ketergantungan. Contoh: ganja, heroin, kokain, opium.

2) Narkotika golongan II

Narkotika yang berkhasiatpengobatan digunakan sebagai

pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan atau

tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai

potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh:

morfina,pentanin, petidin dan turunannya.

3) Narkotika golongan III

Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan

dalam terapi dan atau tujuan pengembangan ilmu

pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan

ketergantunga. Contoh: kodein dan turunannya, metadon,

naltrexon dan sebagainya

3. Sebab terjadinya penyalahgunaan Narkotika

Maroef dalam (Sasangka, 2003) sebagaimana mengutip

pendapat seorang psikiater Graham Blaine menyatakan bahwa

terdapat beberapa sebab terjadinya penyalahgunaan Narkotika

yaitu:

a. Karena dorongan dan rasa ingin tahu dan rasa iseng

b. Untuk meningkatkan rasa kepemilikan antar sesama

c. Untuk menunjukkan keberanian di dalam kelompok

d. Membuat berusaha agar menemukan arti hidup

18
e. Bentuk penolakan terhadap kebiasaan yang dilakukan sehari-

hari

f. Untuk mengisi kekosongan danmengisi perasaan bosan karena

kesibukan

g. Untuk memuaskan nafsu seks

h. Melepaskan rasa kesendirian dengan membentuk kelompok

lainnya

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika, sumber pemyalahgunaan narkotika adalah:

a. Penggunaan narkotika dari peredaran nerkotika secara legal di

luar kepentingan kesehatan. Mata rantainya dari pabrik farmasi-

pedagang besar farmasi-apotek-petugas distribusi.

Penyalahgunaan model ini dilakukan oleh komunitas

medis seperti dokter, perawat, bidan, dan prtugas apotek.

Penyalahgunaan narkotika dari sumber narkotika legal banyak

yang terjadi namun sedikit yang terekspos ke publik.

Pengawasan peredaran narkotika legal dilakukan oleh Badan

Pengawas Obat dan Makanan.

b. Penyalahgunaan narkotika dari peredaran gelap narkotika.

Penyalahgunaan model ini dilakukan oleh masyarakat dengan

cara membeli untuk digunakan sendiri dari para pengedar gelap

narkotika.

19
Penyalahgunaan narkotika dari sumber peredaran gelap,

pengawasannya dilakukan oleh Polri dan BNN dan penyidik dari

instansi yang diberi wewenang sebagai penyidik narkotika.

Kedua model penyalah guna tersebut tersebut dari aspek

hukumnya, penyalah guna diancam dengan pidana penjara.

Namun dari aspek kesehatan wajib dilakukan rehabilitas karena

penyalahguna narkotika adalah penderita sakit adiksi narkotika

yang hanya sembuh dan pulih apabila direhabilitas.

Oleh karena Undang-undang Narkotika mengintegrasikan

aspek hukum dan aspek kesehatan maka sebagai solusi

kebijakan hukum pemerntah dalam menyelesaikan masalah

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika mengutamakan

upaya rehabilitatif terhadap penyalah guna dan diikuti upaya

represif terhadap pengedarannya.

4. Tujuan dibuatnya Undang-undang Narkotika

Tujuan dibuatnya Undang-undang Narkotika terdiri atas aspek

kesehatan dana spek hukum yang merupakan bagian yang

tidak terpisahkan.

Tujuan dari aspek kesehatan adalah, pertama, menjamin

ketersediaan narkotika untuk kepentingan kesehatan, ilmu

pengetahuan, dan terknologi. Dan yang kedua, mencegah,

melindungi, dan meyelamatkan penyalahguna dari akibat buruk

dari penyalahgunaan narkotika.

20
Tujuan dari aspek hukum adalah, pertama, memberantas

peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, dari sini

misi penegak hukum bersifat represif. Dan yang kedua,

menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis rehabilitasi

sosial bagi penyalah guna dan pecandu narkotika, dari sini misi

penegak hukum bersifat rehabilitasi.

Kedua aspek tujuan tersebut terintegrasi di dalam pasal-

pasal dan Undang-undang Narkotika sehingga Undang-undang

narkotika sulit dipahami secara hukum pidana tanpa

memahami aspek kesehatan dari penyalahgunaan narkotika.

Dari aspek kesehatan, narkotika adalah obat yang dapat

menyebabkan sakit adiksi narkotika yang bersifat kronis,

mudah relap. Penyakit ini hanya dapat dipulihkan melalui

proses rehabilitasi medis dan dilanjutkan dengan rehabilitasi

sosial.

Dari aspek hukum, meskipun narkotika itu obat dan

penggunaannya atas petunjuk dokter tapi kalau

disalahgunakan dapat menyebabkan pelakuknya sakit adiksi

narkotika yang merugikan pelakunya sendiri, keluarga dan

masyarakat. Oleh karena itu, penyalah guna narkotika

dilarang dan diancam secara pidana.

21
5. Jenis jenis Tindak Pidana Narkotika

Adapun jenis-jenis tindak pidana narkotika yang

diterangkan dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika adalah sebagai baerikut :

Pasal 111

1) Setiap orang yang tanpa melawan hukum menanam,

memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau

menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman,

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat)

tahun dan paling lama 12 (duabelas) tahun dan dipidana

denda paling sedikit Rp.8.000.000.000,00 (delapan miliar

rupiah).

2) Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki,

menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika

Golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau

melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana dengan

pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling

singkat 5 (lima) tahun atau paling lama 20 (dua puluh) tahun

dan dipidana denda maksimum Sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

22
Pasal 112

1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki,

menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika

Golongan Ibukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara

paling singkat 4(empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas)

tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00

(delapan ratus jutarupiah) dan paling banyak

Rp.8.000.000.000,00 (delapan miliarrupiah).

2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau

menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5

(lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur

hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan

paling 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum

sebagaimana dimaksud padaayat (1) ditambah 1/3

“(sepertiga).

Pasal 113

1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum

memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan

Narkotika Golongan I dipidana dengan pidana penjara

paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)

tahun dan pidana denda paling sedikitRp.1.000.000.000,00

23
(satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp.10.000.000.000,00

(sepuluh miliar rupiah).

2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor,

mengekspor,atau menyalurkan Narkotika Golongan I

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk

tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5

(lima) batang pohon atau dalam bentukbukan tanaman

beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan

pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana

penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20

(dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3

(sepertiga)

Pasal 114

1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum

menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima,

menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau

menyerahkan Narkotika GolonganI, dipidana dengan pidana

penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5

(lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan

pidana denda paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu

miliar rupiah) dan paling banyak Rp.10.000.000.000,00

(sepuluh miliar rupiah).

24
2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual,

membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar,

menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk

tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilo gram atau melebihi

5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman

beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati,

pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling

singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)

tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 115

1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum

membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito

Narkotika Golongan I,dipidana dengan pidana penjara

paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua

belas) tahun dan dipidana denda palingsedikit

Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling

banyak Rp.8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengankut, atau

mentransito Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1

(satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon beratnya

25
melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana

penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20

(dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (seper

tiga).

Pasal 116

1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum

menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain

atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan

orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5

(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan

pidana denda paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar

rupiah) dan paling banyakRp.10.000.000.000,00 (sepuluh

miliar rupiah).

2) Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain

ataupemberian Narkotika Golongan I untuk digunakan orang

lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan

orang lainmati atau cacat permanen, pelaku dipidana

dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau

pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama

20 (dua puluh) tahun dan dipidana denda maksimum

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (seper

tiga).

26
Pasal 117

1) Setiap orang yang tanpa hak dan melawan hukum memiliki,

menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika

GolonganII, dipidana dengan pidana penjara paling singkat

3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana

denda paling sedikit Rp.600.000.000,00 (enam ratus juta

rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar

rupiah).

2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai,

menyediakan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)

tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana

denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

ditambah 1/3 (seper tiga).

Pasal 118

1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum

memproduksi, mengimpor, mengekspor, menyalurkan

Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara

paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua

belas) tahun dan pidana denda paling sedikit

Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling

banyak Rp.8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

27
2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor,

mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5

(lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana

penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5

(lima) tahun dan paling lama 20( dua puluh) tahun dan

pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) ditambaha 1/3 (sepertiga)

Pasal 119

1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum

menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima,

menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau

menyerahkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan

pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling

lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit

Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling

banyak Rp.8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

2) Dalam perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual,

membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,

menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II

sebagaimana dimaksud Pada ayat (1) beratnya melebihi 5

(lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana

penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5

28
(lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan

pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada

ayat(1) ditambah 1/3 (seper tiga).

Pasal 120

1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum

membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito

Narkotika Golongan II,

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun

dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling

sedikit Rp.600.000.000,00 (enem ratus juta rupiah) dan

paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut,

atau mentransito Narkotika Golongan II sebagaimana

dimaksud padaayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram

maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat

5 (lima) tahu dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan

pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 121

1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum

menggunakan Narkotika Golongan II terhadap orang lain

atau memberikan Narkotika Golongan II untuk digunakan

orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4

29
(empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan

pidana denda paling sedikit Rp.800.000.000,00 (delapan

ratus juta rupiah) dan paling

banyak Rp.8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

2) Dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau

pemberian Narkotika golongan II untuk digunakan orang lain

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang

lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidan dengan

pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana

penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20

(dua puluh) tahun dan pidana

denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

ditambah1/3 (seper tiga).

Pasal 122

1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum

memiliki,menyimpan, menguasai, atau menyediakan

Narkotika Golongan III, dipidan dengan pidana penjara

paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun

dan pidana denda paling sedikit Rp.400.000.000,00 (empat

ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.3.000.000.000,00

(tiga miliar rupiah).

2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai,

menyediakan Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud

30
Pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)

tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda

maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah

1/3 (seper tiga).

Pasal 123

1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum

memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan

Narkotika Golongan III, dipidaa dengan pidana penjara

paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh)

tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.600.000.000,00

(enam ratus juta rupiah) dan paling banyak

Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor,

mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5

(lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling

singkat 5 (lima) tahun dan maksimum sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (seper tiga).

Pasal 124

1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum

menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima,

menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau

31
menyerahkan Narkotika Golongan III, dipidana dengan

pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahundan paling lama

10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit

Rp.600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling

banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual,

membeli,menerima, menjadi perantara dalam jual beli,

menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan III

sebagaiman dimaksud pada ayat (1) beratnya lebih 5 (lima)

gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling sedikit

5 (lima ) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan

pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada

ayat1(1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 125

1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum

membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito

Narkotika Golongan III,dipidana dengan pidana penjara

paling singkat 2 (dua) tahun danpaling lama 7 (tujuh) tahun

dan pidana denda paling sedikit Rp.400.000.000,00 (empat

ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.3.000.000.000,00

(tiga miliar rupiah).

2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut,

atau mentransito Narkotika Golongan III sebagaimana

32
dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram

maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat

3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan

pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 126

1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum

menggunakan Narkotika Golongan III terhadap orang lain

atau memberikan Narkotika Golongan III untuk digunakan

orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3

(tiga) tahun dan palinglama 10 (sepuluh) tahun dan pidana

denda paling sedikit Rp.600.000.000,00 (enam ratus juta

rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar

rupiah).

2) Dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau

pemberian Narkotika Golongan III untuk digunakan orang

lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan

orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana

dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan

paling lama 15 (limabelas) tahun dan pidana denda

maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah

1/3 (sepertiga).

33
Pasal 127

1) Setiap penyalah Guna :

a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan

pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;

b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan

pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan

c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan

pidana paling lama 1 (satu) tahun.

2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat

(1),hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam pasal 54, pasal 55 dan pasal 103 (3)

Dalam hal

3) penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan

Narkotika, penyalah Guna tersebut wajib menjalani

rehabilitasi medis dan rehabilitas sosial.

Pasal 128

1) Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup

umur,sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang

sengaja tidak melapor, dipidana dengan pidana kurungan

paling lama 6(enam) bulan atau pidana den da paling

banyak Rp1.000.000,00(satu juta rupiah).

34
2) Pecandu Narkotika yang belum cukup umur dan telah

dilaporkan oleh orang tua atau walinya sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) tidak dituntut pidana.

3) Pecandu Narkotika yang telah cukup umur sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) yang sedang menjalani

rehabilitasi medis2 (dua) kali masa perawatan dokter

dirumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang

ditunjuk oleh pemerintah tidak dituntut pidana.

4) Rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi

standar kesehatan yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 129

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun

dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak

Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) setiap orang yang tanpa

hak atau melawan hukum:

a. memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan

Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika;

b. memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan

Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika;

c. menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima,

menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau

35
menyerahkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan

Narkotika;

d. membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito

Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika.

Pasal 130

1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 111,Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115,Pasal

116, Pasal 117,Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120,Pasal 121,

Pasal 122, Pasal 123,Pasal 124, Pasal 125,Pasal 126, dan

Pasal 129 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara

dan denda terhadap pengurusnya,pidanayang dapat

dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda

dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda

sebagaimana dimaksud dalam Pasal-Pasal tersebut.

2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat

(1),korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:

a. pencabutan izin usaha; dan/atau

b. pencabutan status badan hukum.

Pasal 131

1) Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya

tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111,

Pasal112, Pasal113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal

117,Pasal 118, Pasal119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122,

36
Pasal123, Pasal 124, Pasal125, Pasal 126, Pasal 127 ayat

(1), Pasal128 ayat (1), dan Pasal 129 dipidana dengan

pidana penjarapaling lama 1 (satu) tahun atau pidana

denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta

rupiah).

Pasal 132

1) Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak

pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal113, Pasal 114,

Pasal 115,Pasal 116, Pasal 117, Pasal118, Pasal 119, Pasal

120, Pasal 121,Pasal 122, Pasal123, Pasal 124, Pasal 125,

Pasal 126, dan Pasal129, pelakunya dipidana dengan

pidana penjara yang sama sesuai dengan ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal tersebut.

2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

111,Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal116,

Pasal 117,Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal121, Pasal

122, Pasal 123,Pasal 124, Pasal 125, Pasal126, dan Pasal

129 dilakukan secaraterorganisasi, pidanapenjara dan

pidana denda maksimumnya ditambah 1/3(sepertiga).

3) Pemberatan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

tidakberlaku bagi tindak pidana yang diancam denganpidana

37
mati,pidana penjara seumur hidup, atau pidanapenjara 20

(dua puluh)tahun.

Pasal 133

1) Setiap orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan

sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan,

memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman,

memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat,

atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk

melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud

dalamPasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114,Pasal

115,Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119,

Pasal120,Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal

125,Pasal126, dan Pasal 129 dipidana dengan pidana mati

atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara

paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)

tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00

(dua miliar rupiah) dan palingbanyak Rp20.000.000.000,00

(dua puluh miliar rupiah).

2) Setiap orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan

sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan,

memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman,

memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat,

atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk

38
menggunakan Narkotika, dipidana dengan pidana penjara

paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)

tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00

(satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00

(sepuluh miliar rupiah).

Pasal 134

1) Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur dan dengan

sengaja tidak melaporkan diri sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 55 ayatdipidana dengan pidana kurungan

paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling

banyak Rp2.000.000,00 (dua jutarupiah).

D. Tinjauan Umum Kepolisian

1. Pengertian Kepolisian

Menurut Satjipto Raharjo polisi merupakan alat negara yang

bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,

memberikan pengayoman, dan memberikan perlindungan kepada

masyarakat. Selanjutnya Satjipto Raharjo yang mengutip pendapat

Bitner menyebutkan bahwa apabila hukum bertujuan untuk

menciptakan ketertiban dalam masyarakat, diantaranya melawan

kejahatan. Akhirnya polisi yang akan menentukan secara konkrit

apa yang disebut sebagai penegakan ketertiban.

Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 angka (1) dijelaskan

39
bahwa Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan

fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-

undangan. Istilah kepolisian dalam Undang-undang ini

mengandung dua pengertian, yakni fungsi polisi dan lembaga polisi.

Dalam Pasal 2 Undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia, fungsi kepolisian sebagai

salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan

keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,

pelindung, pengayom dan pelayan kepada masyarakat.

Sedangkan lembaga kepolisian adalah organ pemerintah

yang ditetapkan sebagai suatu lembaga dan diberikan kewenangan

menjalankan fungsinya berdasarkan peraturan perundang-

undangan.

Selanjutnya Pasal 5 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan

bahwa:

1) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara

yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban

masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan

perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat

dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

40
2) Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian

Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan

peran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

Dalam Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia

(UU No. 2 Tahun 2002). Pasal 13 Tugas pokok Kepolisian Negara

Republik Indonesia adalah :

a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat

b. Menegakkan hukum dan,

c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada

masyarakat

Selanjutnya dalam Pasal 14 dikatakan :

1) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 13, Kepolisian Republik Indonesia bertugas :

a. Melaksanakan pengaturan penjagaan, pengawalan dan

patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai

kebutuhan

b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin

keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan,

c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi

masyarakat kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan

warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan

perundang-undangan.

d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional,

41
e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum

f. Melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis

terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil,

dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa,

g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua

tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan

peraturan perundang-undangan,

h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran

kepolisian, laboratorium forensik, dan psikologi kepolisian

untuk kepentingan tugas kepolisian,

i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat,

dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau

bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan

dengan menjunjung tinggi hak azasi manusia,

j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara

sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang

berwenang

k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan

kepentinganya dalam lingkup tugas kepolisian, serta

l. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

42
2) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) huruf f diatur lebih lanjut dengan Peraturan

Pemerintah.

Pasal 15 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 menyebutkan :

1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia

secara umum berwenang :

a. Menerima laporan dan/atau pengaduan,

b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat

yang dapat mengganggu ketertiban umum,

c. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit

masyarakat,

d. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau

mengancam persatuan dan kesatuan bangsa

e. Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup

kewenangan administratif kepolisian,

f. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari

tindaka kepolisian dalam rangka pencegahan.

g. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian,

h. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret

seseorang,

i. Mencari keterangan dan barang bukti,

j. Menyelenggarakan Pusat informasi kriminal nasional,

43
k. Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang

diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat,

l. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan

pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain,

serta kegiatan masyarakat,

m. Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara

waktu.

2) Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan

perundang-undangan lainnya berwenang

a. memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum

dan kegiatan masyarakat lainnya berwenang

b. Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan

bermotor

c. Memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor,

d. Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik,

e. Memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api,

bahan peledak dan senjata tajam,

f. Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan

terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan,

g. Memberikan petunjuk, mendidik dan melatih aparat

kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa

dalam bidang teknis kepolisian,

44
h. Melakukan kerjasama dengan kepolisian negara lain dalam

menyidik dan memberantas kejahatan internasional,

i. Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap

orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan

koordinasi instansi terkait,

j. Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi

kepolisian internasional,

k. Melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam

lingkup tugas kepolisian.

3) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam ayat (2) huruf a dan d diatur lebih lanjut dengan

Peraturan Pemerintah.

Pasal 14 :

Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana. Kepolisian

Negara republik Indonesia berwenang untuk :

a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan

penyitaan.

b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat

kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan.

c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam

rangka penyidikan

45
d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan

serta memeriksa tanda pengenal diri.

e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.

f. Memanggil orang untuk didengar dan diperika sebagai

tersangka atau saksi.

g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam

hubungannya dengan pemeriksaan perkara.

h. Mengadakan penghentian penyidikan.

i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.

j. Merngajukan permintaan secara langsung kepada pejabat

imigrasi dalam keadaan mendesak untuk melaksanakan

cegah dan tangkal terhadap orang yang disangka

melakukan tindak pidana.

k. Memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan kepada

penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil

penyidikan pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada

penuntut umum.

l. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang

bertanggung jawab.

Tugas pokok tersebut dirinci lebih luas sebagai berikut :

1) Aspek ketertiban dan keamanan umum

2) Aspek perlindungan terhadap perorangan dan masyarakat (dari

gangguan/perbuatan melanggar hukum/kejahatan dari penyakit-

46
penyakit masyarakat dan aliran-aliran kepercayaan yang

membahayakan termasuk aspek pelayanan masyarakat dengan

memberikan perlindungan dan pertolongan.

3) Aspek pendidikan sosial di bidang ketaatan / kepatuhan hukum

warga masyarakat.

4) Aspek penegakan hukum di bidang peradilan, khususnya di

bidang penyelidikan dan penyidikan.

Tugas Kepolisian di bidang peradilan pidana hanya terbatas di

bidang penyelidikan dan penyidikan. Tugas lainnya tidak secara

langsung berkaitan dengan penegakan hukum pidana, walaupun

memang ada beberapa aspek hukum pidananya. Misalnya tugas

memelihara ketertiban dan keamanan umum, mencegah penyakit-

penyakit masyarakat, memelihara keselamatan, perlindungan dan

pertolongan kepada masyarakat, mengusahakan ketaatan hukum

warga masyarakat tentunya merupakan tugas yang lebih luas dari

yang sekadar dinyatakan sebagai tindak pidana (kejahatan/

pelanggaran) menurut ketentuan hukum pidana positif yang berlaku.

2. Sanksi terhadap Polisi yang melakukan Pelanggaran Kode Etik

Kepolisian Dalam Perkap Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik

Profesi Polri Pasal 21 dijelaskan bahwa ada tujuh (7) jenis sanksi

pelanggaran Kode Etik Profesi Polri dimana anggota Polri yang

dinyatakan sebagai Pelanggar sebagaimana dimaksud dalam Pasal

20 ayat (2) Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2011 tentang Kode

47
Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dikenakan sanksi

pelanggaran Kode Etik Profesi Polri berupa :

a. Perilaku Pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela.

b. Kewajiban Pelanggar untuk meminta maaf secara lisan

dihadapan Sidang Komisi Kode Etik Profesi dan/atau secara

tertulis kepada pimpinan Polri dan pihak yang dirugikan.

c. Kewajiban Pelanggar untuk mengikuti pembinaan mental

kepribadian, kejiwaan, keagamaan dan pengetahuan profesi,

sekurang-kurangnya 1 (satu) minggu dan paling lama 1 (satu)

bulan.

d. Dipindahtugaskan ke jabatan berbeda yang bersifat Demosi

sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun.

e. Dipindahtugaskan ke fungsi berbeda yang bersifat Demosi

sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun.

f. Dipindahtugaskan ke wilayah berbeda yang bersifat Demosi

sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan/atau

g. Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai anggota Polri.

48
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe penelitian

Jenis penelitian ini bersifat empiris, yaitu metode penelitian hukum

yang berfungsi untuk melihat hukum dalam artian nyata dan meneliti

bagaimana sejatinya hukum bekerja di lingkungan masyarakat.

Dengan menggunakan pendekatan kualitatif dimana dalam penelitian

ini lebih menekankan pada makna dan proses dari pada hasil suatu

aktivitas.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi di Polrestabes Makassar yang

beralamat di Jalan Ahmad Yani No.9, Pattunuang, Kec.Wajo, Kota

Makassar, Sulawesi Selatan. Adapun pertimbangan dipilihnya lokasi

tersebut karena relevan dengan judul dan permasalahan yang

diangkat. Dengan melakukan penelitian di lokasi tersebut, akan sangat

memudahkan untuk mengakses data demi keakuratan penyusunan

penelitian ini.

C. Jenis dan Sumber Data

1. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua, yaitu:

a) Data Primer, yakni data yang diperoleh langsung di lapangan

dengan cara mengadakan wawancara terhadap narasumber di

Polrestabes Makassar.

49
b) Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari beberapa literatur,

dokumen resmi, peraturan perundang-undangan, dan sumber-

sumber kepustakaan lain yang mendukung.

D. Teknik pengumpulan data

1. Studi Kepustakan (Library Research), yakni studi dokumen dengan

mengumpulkan dan mempelajari buku-buku hukum, literatus,

tulisan-tulisan ilmiah, peraturan perundang-undangan dan bacaan

lain yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

2. Studi Lapangan (Field Research), yakni studi lapangan dengan

melakukan wawancara dan pengambilan data dengan pihak yang

berkompeten dan objek penelitian yaitu salah satu pimpinan di

Reserse Narkoba Polrestabes Makassar.

E. Analisis Data

Teknik analisi data yang digunakan adalah Teknik analisis data

kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan data, mengkualifikasikan,

kemudian menghubungkan teori yang terhubung dengan masalah dan

akhirnya menarik kesimpulan untuk menentukan hasil pada penelitian

ini.

50
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Data Penyalahgunaan Narkotika Yang Dilakukan Oleh Anggota


Kepolisian di Wilayah Hukum Polrestabes Makassar

No Tahun Jumlah anggota kepolisianyang


menyalahgunakan Narkotika
1 2017 5 Orang

2 2018 4 Orang

3 2019 -

4 2020 1 Orang

Jumlah 10 Orang

Sumber Data dari Direktorat Narkoba Polrestabes Makassar tahun


2017-2020

Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa tindak pidana

penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anggota kepolisian

dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Pada tahun 2017

jumlah anggota yang menyalahgunakan narkotika sebanyak 5

orang, kemudian di tahun 2018 sebanyak 4 orang dan di tahun

2019 anggota kepolisian yang menyalahgunakan narkotika tidak

ada, di tahun ini jumlahnya menurun akan tetapi pada tahun 2020

terdapat 1 orang oknum yang kembali menyalahgunakan narkotika.

51
Jumlah anggota Kepolisian yang menyalahgunakan narkotika di

Polrestabes Makassar dari tahun 2017-2020 sebanyak 10 orang.

2. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Tindak Pidana Penyalahgunaan


Narkotika Oleh Anggota Kepolisian Republik Indonesia

Masalah penyalahgunaan tindak pidana narkotika, terutama

yang dilakukan oleh anggota kepolisian bukan semata-mata Polisi

sebagai penegak hukum, dia tetap melanggar hukum karena

masalah narkotika bisa menjerat ke siapapun. Sebab narkoba tidak

melihat jabatan baik Polisi, anggota DPR, Pegawai Negeri Sipil dan

lain-lain. Siapapun bisa terlibat narkoba, namun keprihatinan besar

selalu saja muncul setiap kali terungkap ada kasus narkoba yang

menjerat aparat penegak hukum baik itu Polisi, Jaksa ataupun

Hakim karena mereka merupakan gerbang terdepan dalam sistem

hukum untuk memerangi narkoba.

Kejahatan yang dilakukan tentunya memiliki alasan-alasan yang

mendorong anggota kepolisan melakukan tindak pidana narkoba.

Ada berbagai macam faktor yang mendorong seseorang terjerumus

dalam tindak pidana narkoba.

Menurut Iptu Ahmad, Kepala Yunit Satres Narkoba Polrestabes

Makassar (wawancara tanggal, 03 Maret 2021) bahwa ada

beberapa faktor yang menyebabkan anggota kepolisian melakukan

tindak pidana penyalahgunakan narkotika yaitu:

52
a. Faktor internal pelaku.

Ada berbagai macam penyebab kejiwaan yang dapat

mendorong seseorang terjerumus kedalam tindak pidana

narkoba. Penyebab internal itu antara lain:

a) Kurangnya rasa pengendalian diri

Merupakan sifat yang dimiliki oleh setiap orang, sifat ini

sering sekali mendominir perilaku seseorang tanpa sadar,

demikian juga bagi orang yang berhubungan dengan

narkotika/para pengguna dan pengedar narkotika. Pada

suatu ketika rasa egoisnya dapat mendorong seseorang

untuk memiliki atau menikmati secara penuh apa yang

mungkin dapat dihasilkan dari narkotika.

b) Kehendak ingin merasakan kebebasan berperilaku tanpa


dibatasi oleh norma-norma yang ada.

Sifat ini adalah juga merupakan sifat dasar yang dimiliki

manusia. Sementara dalam tata pergaulan masyarakat

banyak, norma-norma yang membatasi kehendak bebas

tersebut. Kehendak ingin bebas ini muncul dan terwujud

dalam perilaku setiap kali seseorang diimpit beban pemikiran

maupun perasaan. Dalam hal ini, seseorang yang sedang

dalam himpitan tersebut melakukan interaksi dengan orang

lain sehubungan dengan narkotika, maka dengan sangat

mudah orang tersebut akan terjerumus pada tindak pidana

narkotika.

53
c) Keadaan jiwa/psikis yang labil sehingga dengan mudah
terlibat dalam tindak pidana narkotika.

Hal ini sebelumya terjadi karena salah satu sebab yang

secara kejiwaan hal tersebut tidak mampudihadap/diatasinya.

Dalam keadaan jiwa yang labil, apabila ada pihak-pihak yang

berkomuniasi dengannya mengenai narkotika maka dia

dengan mudah terlibat tindak pidana narkotika.

d) Adanya rasa ingin tahu yang besar dan perasaan ingin


mencoba.

Perasaan ini pada umumnya lebih dominan pada manusia

yang usianya masih muda, perasaan ingin tidak terbatas

pada hal-hal yang yang positif, tetapi kepada hal-hal yang

sifatnya negatif. Rasa ingin tahu tentang narkotika, ini dapat

juga mendorong seseorang melakukan tindak pidana

narkotika.

b. Faktor Keluarga

Faktor keluarga merupakan hal yang penting pada terjadinya

penggunaan awal obat-obatan terlarang. Keluarga mempunyai

peranan penting dalam perkembangan awal serta melindungi

dari awal penggunaan narkotika. Jika terjadi suatu konflik dalam

keluarga dimana masalah tersebut terlalu sulit untuk

diselesaikan sehingga menimbulkan depresi, hal ini dapat

memicu seseorang untuk menggunakan narkotika agar dapat

54
merasakan suatu ketenangan dan jauh dari masalah yang

dialami.

c. Faktor Ekonomi

Faktor ekonomi merupakan akar dari permasalahan dari

setiap tindak kejahatan. Seseorang akan melakukan hal-hal

yang melanggar hukum jika tidak terpenuhinya kebutuhan hidup

mereka, termasuk oknum polisi sekalipun . Tingginya kebutuhan

hidup memaksa polisi untuk mencari pendapatan tambahan

melalui berbagai cara termasuk menyalahgunakan kewenangan

mereka untuk hal-hal yang seharusnya mereka berantas seperti :

menerima suap, melindungi pengedar narkotika bahkan ikut

menggunakan dan mengedarkan narkotika. Hal ini semata

mereka lakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup

mereka dan keluarga mereka.

d. Faktor Mental dari Polisi itu sendiri

Pada faktor ini, mental seorang polisi juga mempengaruhi

terjadinya penyalahgunaan narkotika. Seorang polisi yang

mempunyai mental yang kuat akan mampu menahan keinginan

untuk tidak menyalahgunakan narkotika walau seberat apapun

masalah yang mereka hadapi. Sebaliknya, jika seorang polisi

yang mempunyai mental rendah tidak akan mampu menghindari

diri dari pengaruh obat-obatan terlarang. Dalam hal ini, mental

seorang polisi khususnya yang menangani kasus narkoba harus

55
terlatih agar tidak mudah terpengaruh untuk ingin mencoba

obat-obatan tersebut. Polisi sebagaimana yang kita ketahui

mempunyai tugas pokok membimbing, mengayomi, melayani

dan menegakkan hukum di masyarakat.

e. Lemahnya pengawasan dari atasan

Pengawasan yang kurang dari atasan merupakan faktor

yang paling mempengaruhi anggota kepolisian untuk

menggunakan narkotika. Atasan yang kurang memperhatikan

gejala yang ditimbulkan oleh bawahannya dapat memicu

penggunaan narkotika oleh anggota kepolisian. Dalam

memberikan sanksi ataupun hukuman kepada anggota

kepolisian yang terbukti menggunakan narkotika dikatakan

cukup rendah sehingga hal ini juga menjadi faktor penyebab

penyalahgunaan narkotika oleh anggota kepolisian karena

hukuman yang rendah tersebut tidak menimbulkan rasa takut

bagi mereka.

f. Pergaulan/Lingkungan yang memberikan pengaruh negatif

Pergaulan ini pada pokoknya terdiri dari pergaulan/

lingkungan tempat tinggal, lingkungan sekolah atau tempat

tinggal, lingkungan sekolah atau tempat kerja dan lingkungan

pergaulan lainnya. ketiga lingkungan tersebut dapat

memberikan pengaruh yang negatif terhadap seseorang, artinya

akibat yang ditimbukan oleh interaksi dengan lingkungan

56
tersebut seseorang dapat melakukan perbuatan yang baik dan

dapat pula sebaliknya. Apabila di lingkungan tersebut narkotika

dapat diperoleh dengan mudah, maka dengan sendirinya

kecenderungan melakukan tindak pidana narkotika semakin

besar adanya

B. Pelaksanaan Penegakan Hukum Tindak Pidana Penyalahgunaan


Narkotika Yang Dilakukan Oleh Anggota Kepolisian

Proses penyidikan terhadap anggota polisi yang melakukan

tindak pidana adalah dilakukan proses sebagaimana warga negara

sipil lainnya, yaitu menggunakan aturan hukum kitab Undang-undang

hukum acara pidana dan di adili pada Pengadilan Negeri. Hal ini

sejalan dengan bunyi Pasal 29 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menegaskan

bahwa anggota kepolisian Negara Republik Indonesia tunduk pada

kekuasaan peradilan umum.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan

Bapak Iptu Ahmad (wawancara tanggal, 03 Maret 2021), menjelaskan

bahwa anggota polisi yang melakukan penyalahgunaan narkotika

tetap diproses hukum pidana setelah dapat putusan yang tetap dari

pengadilan maka diproses disiplin anggota Polri oleh Propam. Jadi

untuk anggota kepolisian bila menggunakan narkotika maka ia akan 2

(dua) kali menjalani proses. Dimana proses yang pertama anggota

polisi yang menggunakan narkoba akan disidik dan diproses melalui

57
pengadilan setelah itu proses keduanya anggota polisi tersebut

disidang kode etik oleh Propam.

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku maka semua

peraturan perundang-undangan yang merupakan pelaksanaan

mengenai Kepolisian Negara Republik indonesia dinyatakan tetap

berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.

Tindak pidana yang dilakukan oleh anggota kepolisian Negara

Republik Indonesia yang belum diperiksa baik ditingkat penyidikan

maupun pemeriksaan di Propam berlaku ketentuan Peraturan

Perundang-undangan dilingkungan peradilan umum.

Berikut diuraikan proses penegakan hukum Polisi yang

melakukan tindak pidana narkoba yaitu:

a. Tahap penyelidikan

Oknum polisi yang melakukan tindak pidana penyalahgunaan

narkotika didasarkan adanya laporkan oleh masyarakat dan/atau

lembaga swadaya masyarakat, hasil tes urin rutin dan hasil sidak

serta pengembangan kasus yang sedang disidik, selanjutnya

disampaikan pada pimpinan anggota Polri yakni Unit Provos

dan/atau Unit Pelayanan Kepolisian.

Unit Provos selanjutnya melakukan pemeriksaan penyelidikan

terhadap oknum polisi yang disangkakan melakukan

penyalahgunaan narkotika. JIka alat bukti belum cukup dan/atau

lengkap oleh Unit Provos, maka kewenangan penyelidikan diambil

58
alih oleh Unit Paminal, proses penyelidikan tidak hanya Unit

Paminal yang melakukan penyelidikan, akan tetapi juga Unit

Reskrim.

Unit Reskrim melakukan penyelidikan guna mencari dan

mengumpulkan alat bukti yang berhuhungan dengan tindak pidana

narkotika. Kemudian unit Paminal memberikan laporan kepada Unit

Provos untuk dilanjutkan pada proses penyidikan terhadap adanya

pelanggaran kode etik dan Unit Reskrim melanjutkan pada proses

penyidikan terhadap tindak pidana yang telah terjadi sesuai dengan

yang telah diatur dalam KUHAP. Penyidikan terhadap anggota Polri

harus memperhatikan tingkat kesalahannya dan jika Oknum Polri

tersebut sebagai tersangka dapat diberhentikan sementara dari

jabatan dinas Kepolisian, sejak dilakukan proses penyidikan sampai

ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap

b. Tahap penyidikan

Proses penyidikan terhadap anggota Polri yang melakukan

tindak pidana berpedoman pada PP No.3 tahun 2003 tentang

Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan Umum Bagi Kepolisian

Negara Republik Indonesia yakni dilakukan oleh penyidik

sebagaimana diatur dalam hukum acara pidana yang berlaku di

lingkungan peradilan umum. Penyidikan terhadap anggota Polri

memperhatikan tempat kejadian perkara TKP), kepada anggota

Polri yang melakukan tindak pidana di wilayah hukumnya disidik

59
oleh kesatuan yang lebih atas dari kesatuan oknum polisi bertugas.

Penyidikan terhadap anggota Polri yang melakukan tindak pidana

tertentu dilakukan oleh penyidik Polri.

c. Tahap peradilan umum

Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dari Kepolisian dan kejaksaan

menyusun dakwaan dan melakukan penuntutan serta pemeriksaan

oleh hakim terhadap terdakwa anggota Kepolisian di lingkungan

peradilan dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku. Tersangka anggota Polri mendapatkan bantuan

hukum pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan

dan kepolisian menyediakan tenaga bantuan hukum bagi tersangka

terkecuali anggota yang menunjuk pengacaranya sendiri.

d. Tahap peradilan kode etik

Etika polisi merupakan nilai-nilai Tribrata yang dilandasi dan

dijiwai oleh Pancasila serta mencerminkan jati diri setiap anggota

kepolisian meliputi etika pengabdian, kelembagaan, dan

kenegaraan, selanjutnya disusun ke dalam Kode Etik Profesi Polri.

Anggota Polri itu tunduk pada kekuasaan peradilan umum seperti

halnya warga sipil pada umumnya hal tersebut diatur dalam Pasal

29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia, ini menunjukkan bahwa

anggota Polri merupakan warga sipil dan bukan termasuk subjek

hukum militer.

60
Setelah proses pidana melalui jalur peradilan umum, maka

selanjutnya adalah Penegakan Kode Etik Profesi Polri dilaksanakan

oleh Propam Polri bidang Pertanggungjawaban Profesi, Komisi

Kode Etik Polri, Komisi Banding, pengemban fungsi hukum Polri,

sumber daya manusia Polri, dan Propam Polri bidang rehabilitasi

personel, sedangkan penerapan Kode Etik Profesi Polri

dilaksanakan melalui pemeriksaan pendahuluan.

Pemeriksaan Pendahuluan sebagaimana dilaksanakan dengan

cara investigasi, pemeriksaan, dan pemberkasan oleh fungsi

Propam Polri bidang pertanggungjawaban Profesi. Sidang Komisi

Kode Etik Polri. Sidang Komisi Kode Etik Polri dilaksanakan oleh

Komisi Kode Etik Polri guna memeriksa dan memutus perkara

Pelanggaran yang dilakukan oleh terduga pelanggar. Sidang

Komisi Banding, Sidang Komisi Banding dilaksanakan oleh Komisi

Banding guna memeriksa dan memutus keberatan yang diajukan

oleh pelanggar.

Pelanggar yang dikenakan sanksi mengajukan banding kepada

Komisi Banding melalui atasan Ankum sesuai dengan tingkatannya

paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak

diterimanya surat keputusan Sidang Komisi Kode Etik Polri, akan

tetapi banding, jika itu melakukan pidana hampir dapat dipastikan

akan keberatannya ditolak, apalagi tindak pidana penyalahgunaan

narkotika. Penetapan administrasi penjatuhan hukuman, setelah

61
memperoleh keputusan dari Atasan Ankum, penetapan administrasi

penjatuhan hukuman dilaksanakan oleh fungsi sumber daya

manusia Polri. Pengawasan pelaksanaan putusan.Pengawasan

pelaksanaan putusan dan rehabilitasi personel dilaksanakan oleh

fungsi Propam Polri yang mengemban bidang rehabilitasi personel.

Putusan atas sidang kode etik adalah berupa teguran tertulis,

penundaan mengikuti pendidikan, penundaan kenaikan gaji,

penundaan kenaikan pangkat, mutasi bersifat demosi, penempatan

dalam tempat khusus selama 21 hari dan pemberhentian tidak

dengan hormat. Anggota kepolisian yang terbukti melakukan tindak

pidana penyalahgunaan narkotika dan telah berkekuatan hukum

tetap diberhentikan dengan tidak hormat dari keanggotaannya

sebagai anggota Polri oleh Kapolri dan diwajibkan untuk

memegang semua rahasia dinas yang menurut sifatnya harus

dirahasiakan serta tidak menyalahgunakan perlengkapan

perorangan dan fasilitas dinas sesuai ketentuan yang berlaku.

e. Tahap penyelesaian perkara di persidangan

Tahap pemeriksaan di tingkat pengadilan, persidangan

tersangka tindak pidana penyalahgunaan narkotika diproses

pemeriksaan dengan menggunakan acara biasa. Hakim yang

memeriksa kasus tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang

dilakukan oleh anggota polisi menyatakan bahwa dalam proses

persidangan terhadap tersangka semuanya jalannya sidang,

62
proses persidangan dan anggota yang terlibat dalam proses

persidangan semuanya sama seperti apabila terdakwanya

masyarakat umum, dari keseluruhannya semua prosesnya sama

walaupun dia anggota polisi semua di mata hukum sama, tidak ada

kekhususan dalam proses pemeriksaannya. Penjatuhan putusan

terhadap terdakwa yakni dijatuhi putusan dengan Pasal 127 ayat (1)

huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

f. Penjatuhan hukuman (vonis)

Penjatuhan hukuman (vonis) diputuskan dalam sidang

pengadilan. Setelah mendengarkan dan / atau memperhatikan

keterangan saksi, terperiksa, saksi ahli, pendamping terperiksa,

serta barang bukti menjatuhkan putusan hukuman (vonis).

g. Pengawasan pelaksanaan putusan

Pengawasan pelaksanaan putusan sidang Komisi Kode Etik

ProfesiKepolisian dilaksanakan oleh pengemban fungsi Propam

Polri bidang rehabilitasi personel yang teknis pengawasannya

dilaksanakan dan menjadi tanggung jawab Kepala Kepolisian

sambil menunggu proses diterbitkannya administrasi

pemberhentian tidak dengan hormat sebagai anggota Polri

sebagaimana diatur Pasal 21 ayat (1) huruf g, Peraturan Kapolri

Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri.

63
Hambatan/Kendala Dalam Mengungkap Kasus Narkotika yang

Dilakukan Oleh Aparat Kepolisian.

Kendala penegakan hukum terhadap anggota kepolisian yang

melakukan tindak pidana narkoba adalah penemuan tersangka yang

merupakan anggotanya sendiri. Anggota Polisi sudah sangat

mengetahui situasi dan keadaan di kantor, penemuan tersangka yang

merupakan anggotanya sendiri. Penemuan ini dirasa sangat sulit

karena pihak polisi tersebut lebih pandai, pandai disini dalam artian

menyembunyikan perbuatan tindak pidana narkoba. Selain itu anggota

polisi sudah sangat mengetahui situasi dan keadaan di kantor, mencari

kesempatan untuk mengunakan narkoba. Jadi sedikit sulit untuk

mengetahuinya atau dapat dikatakan polisi tersebut sudah terbiasa

dengan lingkungan polisi jadi sangat pandai dalam

menyembunyikannya. Hal ini menunjukan betapa pintarnya mereka

menyembunyikan tindak pidana narkoba. peran serta masyarakat yang

mengetahui tindak pidana narkoba. Untuk lingkup kejaksaan tidak ada

hambatan karena menganggap polisi sama saja dengan masyarakat

pada umumnya.

Upaya Kepolisian Dalam Menanggulangi Penyalahgunaan Narkotika

Usaha penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana

narkotika secara represif, juga merupakan usaha penaggulangan

kejahatan dengan hukum pidana yang pada hakekatnya merupakan

64
bagian dari usaha pencegahan hukum (khususnya pencegahan hukum

pidana narkotika). Oleh karena itu sering pula dikatakan, bahwa politik

dan kebijakan hukum pidana juga yang merupakan bagian dari

penegakan hukum (law enforcement policy).

Pemberantasan tindak pidana narkotika yang melanggar

ketentuan-ketentuan hukum narkotika dalam hal ini adalah usaha-

usaha yang dilakukan penegak hukum dalam pemberantasan tindak

pidana penyalahgunaan narkotika, serta konsekuensi yuridis terhadap

pelanggaran Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

Memahami ”Kebijakan: dalam menanggulangi tindak pidana atau

kejahatan sebagaimana tersebut di atas, yaitu dengan menggunakan

kebijakan penal (kebijakan hukum pidana) atau politik hukum pidana,

di samping menggunakan kebijakan non penal atau kebijakan sosial.

Kebijakan semacam ini juga di jumpai dalam Undang-undang Nomor

35 tahun 2009 tentang Narkotika.

Polri sebagai aparat penegak hukum dituntut untuk dapat bertindak

secara profesional sesuai dengan tugas dan wewenang Polri, karena

itu Polri harus melakukan upaya-upaya dalam menangani tindak

pidana narkotika oleh anggota Polri, Adapun upaya-upaya yang

dilakukan Polri, antara lain :

a. Pre-emtif (pembinaan)

Pembinaan merupakan salah satu upaya antisipasi pencegahan

dini yang dilakukan oleh Polri melalui kegiatan-kegiatan dengan

65
tujuan menghilangkan alasan peluang dan pendorong anggota Polri

melakukan tindak pidana narkotika. Tujuan dilaksakannya kegiatan

ini untuk menghilangkan faktor peluang dan pendorong

terkontaminasinya seseorang menjadi pengguna, serta

menciptakan daya tangkal dan memotivasi membangkitkan

kesadaran anggota Polri agar tidak melakukan tindak pidana

narkotika, langkah yang dilakukan dengan diadakannya tes urine

bagi setiap anggota Polri, yaitu melakukan kerja sama antar polisi

dalam rangka mencegah peredaran narkoba. Melakukan

kerja sama dengan lembaga-lembaga swadaya masyarakat

untuk melakukan penyuluhan-penyuluhan, tentang bahaya

penyalahgunaan narkotika.

b. Preventif (pencegahan)

Tindakan preventif ini merupakan upaya yang lebih baik dari

upaya setelah terjadinya suatu tindak pidana. Mencegah kejahatan

adalah lebih baik dari pada mencoba mendidik penjahat menjadi

lebih baik. Lebih baik dalam arti lebih mudah, lebih murah, serta

mencapai tujuan yang diinginkan. Bahkan menjadi salah satu asas

dalam kriminologi yaitu usaha-usaha memperbaiki atau mendidik

para penjahat untuk tidak mengulang kejahatannya. Tindak lanjut

yang dilakukan untuk mencegah terjadinya tindak pidana narkotika

melalui pengendalian dan pengawasan terhadap tiap-tiap

anggotanya.

66
BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana

penyalahgunaan narkotika oleh anggota kepolisian adalah faktor

internal, faktor keluarga, faktor ekonomi, faktor mental dari polisi itu

sendiri, lemahnya pengawasan dari atasan dan

pergaulan/lingkungan yang memberikan pengaruh negatif.

2. Penegakan hukum terhadap tindak pidana penyalahgunaan

narkotika yang dilakukan oleh anggota kepolisian Republik

Indonesia adalah. Tahap penyelidikan, tahap penyidikan, tahap

peradilan umum, tahap peradilan kode etik, tahap penyelesaian

perkara di persidangan, tahap penjatuhan hukuman (vonis), dan

tahap pengawasan pelaksanaan putusan.

B. SARAN

1. Seharusnya sebagai anggota kepolisian hendaklah tetap

menegakkan hukum dengan sebaik-baiknya. Jangan memiliki

mental yang rendah sehingga mudah terpengaruh untuk terlibat

dalam penyalahgunaan Narkotika. Pengawasan terhadap anggota

kepolisian harus benar-benar dilakukan dengan baik sehingga tidak

ada anggota kepolisian yang lepas dari pengawasan untuk

melakukan tindak pidana. Memberikan penyuluhan kepada seluruh

anggota akan bahayanya melakukan tindak pidana narkotika serta

67
dampak dari perbuatan apabila melakukanya. Tidak hanya

pengawasan dari atasan, pengawasan serta partisipasi dari

masyarakat juga sangat berperan penting dalam menanggulangi

kejahatan Narkotika oleh oknum polri karena banyak modus yang

dilakukan oleh oknum tersebut sehingga tidak setiap waktu dan

tempat diawasi oleh anggota kepolisian yang tidak melakukan

kejahatan.

2. Penegakan hukum terhadap aparat kepolisian yang melakukan

tindak pidana penyalahgunaan narkotika harus dilakukan

berdasarkan hukum acara yang berlaku, supaya dapat

menimbulkan efek jera kepada aparat kepolisian agar tidak

menyalahgunakan narkotika. Memberikan hukuman yang setimpal

atas perbuatan oknum Polri yang melakukan tindak pidana

penyalahgunaan narkotika, karena selain merusak nama baik diri

sendiri mereka juga merusak nama baik Institusi Kepolisian, yang

seharusnya sebagai pengayom dan pelindung malah menjadi

pelaku tindak pidana.

68
DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Al-Qur’an dan Terjemahannya. Departemen Agama RI. Jakarta. Bumi


Restu. 1975

Adami Chazawi, 2007, Pelajaran Hukum Pidana II, Raja Grafindo


Persada, Jakarta, hlm.67
Anang Iskandar, 2020, Politik Hukum Narkotika, PT Elex Media
Komputindo, Jakarta, hlm. 12
Barda Nawawi Arief, 2005, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal.21

C.S.T. Kansil dan Christine S.T Kansil, 2004, Pokok-Pokok Hukum


Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 54
Edi Setiadi. Kristiani.2019. Sistem Peradilan Pidana Terpadu Dan Sistem
Penegakan Hukum Di Indoneisa Edisi Pertama, Jakarta Timur.
Prenadamedia Group. Hlm. 136.
Makarao Taufik Mohdkk, 2003, Tindak Pidana Narkotika, Jakarta, Ghalia

Indonesia, hlm.56
Muntaha, 2018, Kapita Selekta Perkembangan Hukum Pidana Di
Indonesia Edisi Pertama, Prenadamedia Group, Jakarta, hlm. 117-
118
P.A.F. Lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra
Aditya Bakti, Bandung, hlm. 184

Rahardjo Sajipto, 2009, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis,


Yogyakarta: Genta Publishing, hal. 111
Rahardja Sajipto. 1983. Masalah Penegakan Hukum. Bandung. Alumni.
Hlm.25
Rusli Muhammad. 2004. Hukum Acara Pidana Kontemporer. Yogyakarta.
Citra Aditya Bakti. Hlm,311

Soekanto Soerjono, 2015, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan


Hukum, Jakarta, Raga Grafindo Persada, Hlm.5
Utomo, Warsito Hadi, 2005, Hukum Kepolisian di Indonesia. Jakarta
Penerbit Prestasi Pustaka Publisher

69
B. JURNAL/SKRIPSI

Aditya Arya. 2019. Penegakan Hukum terhadap Anggota Polri yang


Melakukan Tindak Pidana Narkotika. Jurnal Analogi Hukum. Vol.1
No.1

Andriyanti, D.T. 2014. Pelaksanaan hukum tindak pidana penyalahgunaan


narkotika yang dilakukan oleh anggota kepolisian.Vol.1 No.1.
Ardika Gede Darmawan dkk. Oktober 2020. Penegakan Hukum Terhadap
Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika. Jurnal Kontruksi Hukum.
Vol.1 No.2.
Fitriani T. 2017. Tinjauan Umum Tindak Pidana.

Irfan Jovi Nasution, 2018, Peranan Kepolisian Dalam Menanggulangi


Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Yang Dilakukan Oleh
Aparat Kepolisian (Studi Polrestabes Medan), Skripsi Universitas
Sumatera Utara.
Pulugan, MSHT, 2015, Pengertian Kepolisian.
R Mukhlis, 2015, Tindak Pidana Di bidang Pertanahan di Kota Pekan Baru,
Jurnal Ilmu Hukum, Vol 4, No 1.
Rosmawati, 2015, “Tinjauan Yuridis Tentang Penyalahgunaan Narkotika
Terhadap Anggota Polisi Republik Indonesia Sulawesi Tengah
Berdasarkan Undang-Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika”, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion Edisi 5,
Volume 3, hlm.4
Situmorang Lundu Harapan. 2016. Fungsi Kode Etik Kepolisian Dalam
Mencegah Penyalahgunaan Wewenang Sebagai Aparat Penegak
Hukum.
Soetrisno,dkk. Desember 2014. Hubungan Pembelajaran Kesehatan
Reproduksi Remaja Dengan Pengetahuan Tentang Napza Siswa
Smu Di Surakarta.Jurnal Kesehatan Reproduksi. Vol.1 no.3

Widodo, DI. Agustus 2018. Penegakan hukum terhadap anggota


kepolisian yang menyalahgunakan narkotika dan psikotropika.
Jurnal hukum magnum opus. Vol.1 No.1.
Wisnu Jati Dewangga, September 2014. Penegakan Hukum Tindak
Pidana Penyalahgunaan Narkotika Dengan Pelaku Anggota
Kepolisian (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Boyolali), Jurisprudence,
Vol. 4 No. 2

70
C. WEBSITE

1. https://fajar.co.id/2018/12/28/sepanjang-2018-ada-14-anggota-polri-
terlibat-kasus-narkoba-di-sulsel/ diakses pada tanggal 31
Desember 2020
2. https://kabar24.bisnis.com/read/20191230/16/1185534/tahun-2019-
ada-515-oknum-polri-yang-terlibat-kasus-narkoba diakses pada
tanggal 30 Desember 2020
3. https://nasional.tempo.co/read/1399255/113-anggota-polri-dipecat-
sejak-januari-oktober-2020-mayoritas-kasus-narkoba diakses pada
14 Januari 2021
D. PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN

PASAL 13 UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG


KEPOLISIAN

PASAL 14 UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG


KEPOLISIAN
PASAL 4 UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG
NARKOTIKA
PERKAP NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG KODE ETIK PROFESI
POLRI

71

Anda mungkin juga menyukai