Anda di halaman 1dari 2

Di tengah perpecahan itu Belanda ikut campur dan membuat keadaan semakin rumit.

Perlahan
masyarakat sadar bahwa Belanda hanya memanfaatkan mereka untuk kepentingan kolonialisasi
di Sumatera. Peperangan pun akhirnya berubah menjadi upaya mengusir pemerintah Belanda
dari Tanah Minang. Kedua kelompok sepakat menghentikan perang dan bersatu menghilangkan
kolonialisme dari wilayahnya.

Di lain pihak, kekhawatiran mulai menyelimuti pihak Belanda. Bersatunya dua kekuatan itu
memunculkan trauma jika kerugian yang mereka alami dalam Perang Jawa akan terulang di
Sumatera. Maka satu-satunya jalan agar kerugian itu tidak terjadi, pihak Belanda  harus
mendatangkan bala bantuan dari Batavia.

Di antara mereka yang dikirim ke Minangkabau terdapat satu pasukan berisi orang-orang bumiputra.
Adalah Sentot Alibasah Abdulmustopo Prawirodirdjo, pimpinan pasukan tersebut. Nama Sentot Alibasah
sudah tidak asing di telinga pasukan Belanda. Dia merupakan salah satu panglima Pangeran Diponegoro
dalam Perang Jawa. Kepiawaiannya mengorganisasi pasukan tempur begitu terkenal.
Di akhir Perang Jawa, kegagalan demi kegagalan dialami Sentot. Dia akhirnya menyerah kepada Belanda
pada 16 Oktober 1829. Dia kemudian dibawa ke Batavia dan dipekerjakan dalam pasukan Belanda.
Itulah sebabnya Sentot bisa berada di kubu para kolonial.
Sentot dan bala pasukannya tiba di Padang, Sumatera Barat pada Juni 1832. Bagi pemerintah Belanda,
pengenalan Sentot itu penting untuk memberitahukan rakyat bahwa di kubu Belanda juga ada orang-
orang bumiputra.

Beberapa waktu tinggal, Sentot semakin dekat dengan kehidupan rakyat Minangkabau. Dia sadar
bahwa rakyat di sini bukanlah musuh yang harus diperangi, tetapi saudara senasib yang sedang
berjuang menghilangkan kolonialsime Belanda. Teringat perjuangannya di Jawa, Sentot mulai
merubah sikapnya. Dia secara diam-diam berbalik melakukan perlawanan dan membantu rakyat
membangun kekuatan untuk mengusir Belanda.

Sentot lalu menjalin pendekatan dengan kaum Padri dan kaum alam. Dia seringkali melakukan
pertemuan rahasia bersama Tuanku Imam Bonjol (pemimpin kaum Padri) dan Sultan Alam
Bagagar Syah (pimpinan kaum alam). Mereka telah bersiap-siap melakukan serangan secara
besar-besaran.

Gerak-gerik mencurigakan dari Sentot dan Sultan Bagagar Syah mulai tercium pemerintah
Belanda. Keduanya mulai tidak menjalankan tugas-tugas yang diperintahkan. Tindakan itu
membuat murka Residen Elout. Dia kemudian menulis surat  ke Batavia. Isinya laporan tentang
Sentot yang dicurigai akan berkhianat kepada pemerintah Belanda.

Setelah menerima surat itu, pemerintah pusat akhirnya mengeluarkan surat pemindahan Sentot
dari Minangkabau. Pada 2 Maret 1833, Sentot diminta kembali ke Jawa dengan dalih membantu
memulihkan keadaan di sana. Dia lalu dipindahkan ke Bengkulu pada Agustus 1833 untuk
menjalani masa pembuangan dan dipisahkan dari bala pasukannya. .
Berkurangnya kekuatan tempur dikhawatirkan akan mempengaruhi jalannya perlawanan. Tetapi
rupanya semangat rakyat Minang untuk melawan tidak berkurang sedikitpun. Di bawah
pimpinan Tuanku Imam Bonjol dan Sultan Alam Bagagar Syah perjuangan terus berlangsung
hingga berakhirnya perang pada 1838.

Anda mungkin juga menyukai