Anda di halaman 1dari 119

PENGARUH ARSITEKTUR TRADISIONAL ACEH

PADA BANGUNAN PEMERINTAHAN


(STUDI KASUS : ARSITEKTUR KANTOR WALIKOTA
LHOKSEUMAWE)

TESIS

OLEH

NURKARISMAYA
147020012/AR

FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


PENGARUH ARSITEKTUR TRADISIONAL ACEH
PADA BANGUNAN PEMERINTAHAN
(STUDI KASUS : ARSITEKTUR KANTOR WALIKOTA
LHOKSEUMAWE)

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Teknik


Dalam Program Studi Teknik Arsitektur
Pada Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara

Oleh

NURKARISMAYA
147020012/AR

FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


PERNYATAAN

JUDUL TESIS

PENGARUH ARSITEKTUR TRADISIONAL ACEH


PADA BANGUNAN PEMERINTAHAN
(STUDI KASUS : ARSITEKTUR KANTOR WALIKOTA
LHOKSEUMAWE)

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang

pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan

sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah

ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam

naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 7 Februari 2019

(Nurkarismaya)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRAK

Arsitektur Tradisional merupakan salah satu bentuk kekayaan kebudayaan


bangsa indonesia, sehingga kehadirannya menjadikan lambang kekhasan budaya
masyarakat setempat di setiap daerah. Akibat kemajuan teknologi membuat sejumlah
pihak beralih kepada arsitektur modern. Arsitektur regionalisme hadir dalam upaya
menyatukan arsitektur tradisional dan arsitektur modern. Bangunan pemerintahan
sebagai bangunan formal yang kehadirannya memberikan arti penting bagi
pemerintahan kota, sehingga bangunan ini hadir dalam suatu upaya mengekpresikan
secara fisik-visual dalam menampilkan arsitektur setempat. Penelitian ini bertujuan
untuk menemukan penerapan Arsitektur Tradisional Aceh serta elemen Arsitektur
Tradisional Aceh yang paling dominan mempengaruhi bangunan pemerintahan
khususnya Bangunan kantor Walikota Lhokseumawe yang dijadikan studi kasus pada
penelian ini. Bentuk penelitian ini berupa penelitian kualitatif deskriptif, proses
pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi langsung ke lapangan.
Variabel yang dikaji pada penelitian ini berupa karakteristik dari wujud dan elemen
fisik Arsitektur Tradisional Aceh pada bangunan Kantor Walikota Lhokseumawe.
Temuan-temuan yang diperoleh dibahas sesuai dengan tinjauan pustaka. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa bentuk atap dan entrance bangunan kantor walikota
mendapat pengaruh dari arsitektur tradisional Aceh.

Kata Kunci : Arsitektur Tradisional Aceh, Arsitektur Regionalisme, Kantor


Walikota

i
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRACT

Traditional architecture is one of the forms of Indonesian cultural wealth so that


it becomes the symbol of local people’s culture. Technological advancement causes
some people to turn to modern architecture. Regional architecture exists to merge
traditional architecture and modern one. Government buildings as formal buildings
play an important role in urban government; they express physically and visually
local architecture. The objective of the research was to find out the implementation of
Aceh traditional architecture which dominantly influenced government buildings,
especially the building of Lhokseumawe Town Hall which was used as a case study in
this research. The research used descriptive qualitative method. The data were
gathered by conducting direct observation in the field. The research variables were
the characteristics of the physical appearance and the elements of Aceh Traditional
Architecture in the building of Lhokseumawe Town Hall. The findings which were
analyzed were in accordance with the library research. The result of the research
showed that the shape of roof and the entrance of the Town Hall were influenced by
Aceh traditional architecture.

Keywords: Aceh Traditional Architecture, Regionalism Architecture, Town Hall


Building

ii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang maha pengasih

lagi maha penyayang atas berkat rahmat Nya telah menjadi sumber kekuatan dan

inspirasi kepada penulis hingga terselesaikannya penelitian ini. Salawat dan salam

kepada nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari alam

jahiliyah ke alam islamiyah. Tesis ini merupakan syarat yang diwajibkan bagi

mahasiswa untuk memperoleh gelar Magister Teknik bidang kekhususan Studi-Studi

Arsitektur (Alur Riset) pada Universitas Sumatera Utara. Adapun Judul yang

diangkat dalam tulisan ini yaitu “Pengaruh Arsitektur Tradisional Aceh pada

Bangunan Pemerintahan (studi Kasus: Arsitektur kantor walikota,

Lhokseumawe)”.

Selama melakukan penelitian ini penulis banyak memperoleh bantuan dan

bimbingan dari banyak pihak. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada seluruh

staf pengajar pada Magister Teknik Arsitektur Universitas Sumatera Utara. Penulis

menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besar nya kepada Ibu Ir. Nurlisa

Ginting, M.Sc, Ph.D, IPM sebagai Ketua Program Studi Magister Teknik Arsitektur

Universitas Sumatera Utara dan ibu Hilma Tamiami Fachrudin, ST, M.Sc, PhD

selaku Sekretaris Program Studi Magister Teknik Arsitektur Universitas Sumatera

Utara. Pada kesempatan ini, dengan tulus dan kerendahan hati, penulis

menyampaikan rasa hormat dan terimakasih penulis tujukan kepada dosen

iii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
pembimbing I bapak Dr. Ir. Nelson M. Siahaan, Dipl.TP, M.Arch dan bapak Firman

Eddy, ST, MT Sebagai pembimbing II tesis, atas kesediaannnya membimbing,

memotivasi, pengarahan dan waktu beliau kepada penulis sehingga penulis dapat

menyelesaikan tesis ini. Ucapan terimakasih juga taklupa penulis sampaikan sebesar-

besarnya kepada dosen penguji Bapak Dr. Imam Faisal Pane, ST, MT, IPM dan Ibu

Amy Marisa, ST, M.Sc, PhD atas masukan dan arahannya sehingga penelitian ini

menjadi lebih baik. Teman-teman di Studi-Stusi Arsitektur (Alur Riset) khususnya

angkatan 2014 yang telah memberikan dorongan, semangat, bantuan dalam melewati

suka duka selama hingga akhir pendidikan. Dengan segala hormat, kecintaan yang

dalam dan tulus kepada Bapak dan Ibu serta saudara(i) ku, yang telah memberikan

segala pengorbanan, dorongan, semangat, doa dan restunya selama penulis mengikuti

pendidikan dan melewati hari-hari sulit hingga selesai.

Pada akhirnya, penulis berharap agar tesis ini dapat berguna bagi pembaca

dan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi ilmu arsitektur nantinya.

Medan, 7 Februari 2019


Penulis,

Nurkarismaya
NIM 147020012

iv
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap : Nurkarismaya

Tempat/Tanggal Lahir : Banda Aceh, 10 Januari 1986

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Jl. Angsana No: 136 Lhokseumawe

RIWAYAT PENDIDIKAN

1992 – 1998 : SD Negeri 21 Lhokseumawe

1998 – 2001 : SMP Negeri 2 Lhokseumawe

2001 – 2004 : SMA Negeri 3 Banda Aceh

2004 – 2009 : Jurusan Teknik Arsitektur Fakultas Teknik

Universitas Syiah Kuala

v
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ......................................................................................................... i

ABSTRACT ........................................................................................................ ii

KATA PENGANTAR ....................................................................................... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ......................................................................... v

DAFTAR ISI...................................................................................................... vi

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... x

DAFTAR TABEL ............................................................................................. xiii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1

1.2 Perumusan Masalah ....................................................................... 4

1.3 Landasan Teori ............................................................................... 5

1.4 Tujuan Penelitian...................................................................... ..... 6

1.5 Manfaat Penelitian...................................................................... ... 7

1.6 Kerangka Berfikir...................................................................... .... 7

vi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... . 9

2.1 Arsitektur Tradisional ................................................................... 9

2.2 Perkembangan Arsitektur Tradisional .......................................... 10

2.3 Arsitektur Tradisional Aceh ........................................................... 14

2.3.1 Bangunan Tempat Tinggal ................................................... 15

2.3.1.1 Bentuk Rumah Tradisional Aceh ........................... 16


2.3.1.2 Tata Ruang Rumah Tradisional Aceh ..................... 23
2.3.1.3 Orientasi Rumah Tradisional Aceh ........................ 27
2.3.1.4 Ornamen Rumah Tradisional Aceh ........................ 28
2.3.1.5 Proporsi Rumah Tradisional Aceh ........................ 31
2.3.1.6 Warna Rumah Tradisional Aceh ........................... 32
2.3.1.7 Material Rumah Tradisional Aceh ........................ 33

2.3.2 Bangunan Tempat Ibadah ................................................... 34

2.3.2.1 Bentuk bangunan tempat ibadah ............................. 34


2.3.2.2 Ornamen bangunan tempat ibadah .......................... 36
2.3.2.3 Struktur dan konstruksi bangunan tempat ibadah .. 38
2.4 Perkembangan Arsitektur Modern ................................................ 41

2.5 Kerangka Teori ............................................................................. 44

2.6 Penelitian Sejenis .......................................................................... 45

BAB III METODOLOGI ................................................................................. . 49

3.1 Jenis Penelitian............................................................................... 49

vii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3.2 Variabel Penelitian ......................................................................... 50

3.3 Metode Pengumpulan Data ............................................................ 52

3.3 1. Data primer .......................................................................... 52


3.3 2. Data sekunder....................................................................... 54
3.4 Gambaran Umum Objek penelitian .............................................. 54

3.5 Metode Analisa Data ...................................................................... 57

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... . 59

4.1 Kaitan Arsitektur Tradisional Aceh pada Kantor Walikota ........... 59

4.1.1 Wujud Arsitektur Tradisional Aceh ...................................... 60

4.1 1.1 Orientasi bangunan .................................................. 60


4.1 1.2 Proporsi bangunan ................................................... 62
4.1 1.3 Warna bangunan ..................................................... 64
4.1 1.4 Material bangunan .................................................. 66
4.1.2 Elemen Fisik Arsitektur Tradisional Aceh ........................... 68

4.1.2.1 Entrance bangunan .................................................. 68


4.1.2.2 Atap bangunan ......................................................... 74
4.1.2.3 Dinding bangunan ................................................... 76
4.1.2.4 Pintu dan jendela bangunan .................................... 80
4.1.2.5 Ornamen bangunan ................................................. 85

4.2 Pengaruh Arsitektur Tradisional Aceh pada Kantor Walikota ...... 91

viii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 97

5.1 Kesimpulan .................................................................................... 97

5.2 Saran .............................................................................................. 98

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 99

ix
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halalaman

1.1 Bagan Kerangka Berfikir ........................................................................ 8

2.1 Bentuk Rumoh Aceh ................................................................................ 16

2.2 Bagian-bagian Rumoh Aceh .................................................................... 17

2.3 Kolong Bangunan Rumoh Aceh .............................................................. 18

2.4 Bentuk atap pada Rumoh Aceh ............................................................... 20

2.5 Akses pintu masuk Rumoh Aceh ............................................................ 21

2.6 Bentuk Jendela Rumoh Aceh .................................................................. 22

2.7 Susunan ruang pada Rumoh Aceh .......................................................... 24

2.8 Denah Rumoh Aceh ................................................................................. 25

2.9 Orientasi Rumoh Aceh ............................................................................ 27

2.10 Motif Ornamen Aceh .............................................................................. 29

2.11 Penerapan Motif Ornamen Aceh............................................................. 31

2.12 Proporsi rumoh Aceh ............................................................................... 32

2.13 Warna Dinding rumoh Aceh ................................................................... 33

2.14 Masjid Tradisional Aceh ......................................................................... 35

2.15 Meunasah Tradisional Aceh ................................................................... 36

2.16 Ornamen pintalan tali mesjid tradisional Aceh ....................................... 37

x
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2.17 Pola Geometris pada Tradisional Aceh .................................................. 37

2.18 Tampak Masjid Tradisional Aceh ........................................................... 38

2.19 Konstruksi Masjid Tradisional Aceh ...................................................... 39

2.20 Bagan Kerangka Teori ............................................................................ 44

3.1 Lokasi Kota Lhokseumawe..................................................................... 55

3.2 Lokasi Kantor Walikota Lhokseumawe .................................................. 56

4.1 Orientasi bangunan pada Kantor Walikota ............................................. 61

4.2 Proporsi Bangunan Kantor Walikota ...................................................... 63

4.3 Pengunaan warna bangunan Kantor Walikota ........................................ 65

4.4 Material Bangunan Kantor Walikota ...................................................... 67

4.5 Entrance Bangunan Kantor Walikota ..................................................... 70

4.6 Jumlah tiang yang membentuk kolong .................................................. 71

4.7 Letak pintu masuk pada kolong .............................................................. 72

4.8 Bentuk Atap Kantor Walikota ................................................................ 75

4.9 Dinding pada bagian Barat dan Timur ................................................... 77

4.10 Dinding pada bagian Utara dan Selatan ................................................. 78

4.11 Jendela pada bangunan Kantor Walikota ................................................ 81

4.12 Bentuk Lengkung pada jendela Kantor Walikota ................................... 82

4.13 Ventilasi pada Kantor Walikota .............................................................. 83

xi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4.14 Bentuk Pintu masuk pada Kantor Walikota ........................................... 84

4.15 Ornamen pada bagian atap ..................................................................... 87

4.16 Ornamen pada bagian Kindang ............................................................. 88

4.17 Ornamen pada bagian Jendela ............................................................... 89

4.18 Ornamen pada bagian dinding ............................................................... 90

xii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Nama-nama Ruang pada Rumoh Aceh ................................................... 25

2.2 Kesan Warna pada Rumoh Aceh ............................................................ 33

2.3 Karakteristik Arsitektur Tradisional Aceh ............................................ 40

2.4 Penelitian Sejenis .................................................................................... 45

3.1 Langkah Penelitian .................................................................................. 50

3.2 Variabel Penelitian .................................................................................. 51

3.3 Jenis Data Primer .................................................................................... 53

3.4 Jenis Data Sekunder ................................................................................ 54

4.1 Wujud Arsitektur Tradisional Aceh pada kantor walikota ..................... 92

4.2 Elemen Fisik Arsitektur Tradisional Aceh pada kantor walikota ........... 93

xiii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Arsitektur Tradisional merupakan salah satu bentuk kekayaan kebudayaan

bangsa Indonesia. Keragaman Arsitektur Tradisional yang tersebar di setiap willayah

memiliki ciri kedaerahan yang berbeda-beda, bergantung pada budaya setempat,

iklim dan teknologi yang ada. Dikarenakan memiliki ciri yang berbeda-beda sehingga

membuat Arsitektur Tradisional menjadi lambang kekhasan budaya masyarakat

setempat. Arsitektur Tradisional sebagai suatu bentuk dari kebudayaan sangat erat

kaitannya dengan tradisi. Tradisi merupakan satu aturan atau kesepakatan yang

diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya yang didalamnya memuat suatu

norma dan nilai-nilai. Aturan tersebut akan tetap ditaati selama masih dianggap dapat

memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat setempat. Dari tradisi ini memunculkan

suatu konsep bangunan yang dikenal dengan konsep tradisional. Konsep tradisional

berkaitan dengan suatu rancangan bangunan yang bentuk atau pola tata ruangnya

mengadopsi budaya dari daerah itu sendiri baik dari aktifitas masyarakatnya maupaun

dari mata pencaharian mereka. Dari budaya tersebut muncullah sebuah karya

arsitektur tradisional yang dapat memenuhui kebutuhan penggunanya.

Salah satu wujud kebudayaan tradisional Indonesia, dapat dilihat pada

Arsitektur Tradisional Aceh. Arsitektur Tradisional Aceh merupakan cerminan dari

1
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2

budaya, pola hidup, dan nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat Aceh, sehingga

bentukan arsitektur tradisionalnya dapat terlihat pada “Rumoh Aceh” (Hoesin, 1970).

Rumoh Aceh merupakan wujud ekspresi keyakinan terhadap Tuhan dan adaptasi

terhadap lingkungan. Menurut Mirsa (2013), unsur-unsur pada Rumah Tradisional

Aceh terlihat pada bentuk rumah panggung yang ditopang oleh tiang-tiang yang

diatur sejajar, orientasi menghadap Utara dan Selatan, sehingga rumah membujur dari

Timur ke Barat, menggunakan ornamen/ukiran yang menempel pada bangunan,

dominan menggunakan material kayu serta menggunakan teknologi tradisional dalam

membangun struktur dan konstruksinya.

Seiring perkembangan zaman, pada masa sekarang dimana tuntutan akan

kebutuhan, pola hidup, serta seluruh aspek kehidupannya manusia secara tidak

langsung akan berdampak terhadap bentukan Arsitektur Tradisional yang mulai

meninggalkan ciri keadaerahannya. Pengaruh modernisasi serta globalisasi akibat

dari kemajuan teknologi bangunan, membawa perubahan dalam masyarakat dari

keadaan tradisional menuju kearah modern. Hampir setiap bangunan dalam kurun

waktu tertentu akan mengalami perubahan baik secara langsung maupun tidak

langsung. Awalnya Arsitektur Tradisional dibangun menyesuaikan dengan norma,

adat, budaya, kondisi alam dan material bangunan setempat. Dengan kemajuan

teknologi bangunan, ditemukannya material-material baru dan pengerjaan struktur

dan konstruksi yang lebih mudah membuat bentukan Arsitektur Tradisional

disesuiakan dengan perubahan yang terjadi akibat kemajuan teknologi bangunan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3

Dalam upaya Arsitektur Tradisional tidak tersingkirkan oleh modernisasi maka

Arsitektur Regionalisme muncul untuk menyatukan antara arsitektur yang lama

dengan arsitektur yang baru.

Konsep regionalisme berkembang sekitar tahun 1960 (Jenks, 1977), sebagai

salah satu perkembangan arsitektur post-modern yang mempunyai perhatian besar

pada ciri kedaerahan. Ciri kedaerahan yang dimaksud berkaitan erat dengan budaya

setempat, iklim, dan teknologi pada saatnya (Ozkan, 1985). Gagasan regionalisme

merupakan peleburan antara yang lama dan yang baru (Curtis,1985). Sedangkan

gagasan postmodern dalam arsitektur berusaha menghadirkan yang lama dalam

bentuk universal (Jenks, 1977). Menurut Curtis (1985), Regionalisme diharapkan

dapat menghasilkan bangunan yang bersifat abadi, melebur atau menyatu antara yang

lama dan yang baru, antara regional dan universal. Arsitektur tradisional mempunyai

lingkup regional sedangkan arsitektur modern mempunyai lingkup universal. Dengan

demikian yang menjadi ciri utama regionalism adalah menyatukan arsitektur

Tradisional dan Arsitektur Modern.

Kecenderungan memakai kembali unsur desain arsitektur tradisional yang

kemudian menjadi inspirasi desain arsitektur modern sebagai usaha untuk bertindak

lebih baik terhadap lingkungan. Usaha ini mendukung untuk menciptakan suatu

desain yang baik di Indonesia, hal ini umumnya diterapkan pada rancangan bangunan

kantor pemerintah, yang merupakan salah satu usaha untuk mengangkat ciri khas

setiap daerah dari segi karya arsitektur. Prijotomo (1998) menyatakan bahwa suatu

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


4

karya arsitektur dapat dirasakan dan dilihat sebagai karya yang bercorak lokal atau

Indonesia bila karya ini mampu untuk berikut : (1) Membangkitkan perasaan dan

suasana ke-Indonesiaan lewat rasa dan suasana lingkungan visual dan (2)

Menampilkan unsur dan komponen arsitektural yang nampak pada

corak kedaerahannya, tetapi tidak hadir sebagai tempelan atau tambahan saja.

Kantor pemerintahan sebagai simbol pimpinan tertinggi dalam pemerintahan

suatu daerah, tentu seharusnya memiliki ciri khas arsitektur yang disesuaikan dengan

kebudayaan setempat. Penerapan ciri Arsitektur Tradisional pada bangunan kantor

pemerintahan menunjukkan identitas suatu daerah. Bangunan Kantor Walikota

Lhokseumawe menggunakan ciri dari Arsitektur Tradisional Aceh pada

bangunannya. Untuk menemukan pengaruh Arsitektur Tradisonal Aceh pada

bangunan kantor pemerintahan dipilihlah Kantor Walikota Lhokseumawe sebagai

studi kasus untuk melihat pengkaitan antara Arsitektur Masa Lalu (AML) pada

Arsitektur Masa Kini (AMK).

1.2 Perumusan Masalah

Hampir semua suku bangsa di Indonesia mempunyai Arsitektur Tradisional

yang khas dan unik. Biasanya Arsitektur Tradisional di suatu daerah disesuaikan

dengan kondisi alam dan budaya setempat. Akibat dari kemajuan teknologi dan

modernisasi membuat nilai-nilai tradisi sebagai bagian dari bangsa Indonesia semakin

hari semakin memudar. Masyarakat lebih senang mengikuti kemajuan teknologi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


5

tersebut daripada melestarikan nilai-nilai tradisi bangsa Indonesia. Dampaknya,

dengan semakin memudarnya tradisi tersebut dalam diri bangsa Indonesia, dapat

dilihat dalam berbagai aspek, salah satunya dalam bentuk arsitektur tradisional. Pada

kenyataannya beberapa daerah memang masih mempertahankan tipe desain yang

mengandung nilai-nilai tradisi, namun sebagian besar sudah lebih memilih tipe desain

yang modern tanpa adanya nilai-nilai tradisi yang terkandung di dalamnya.

Salah satu cara untuk tetap mempertahankan ciri khas Arsitektur Tradisional

di zaman modern seperti sekarang ini adalah dengan menerapkan ciri kedaerahan

bangsa Indonesia, khususnya daerah Aceh pada bangunan modern. Untuk itu di

pilihlah objek bangunan pemerintahan daerah sebagai wujud identitas budaya di suatu

daerah. Kantor walikota Lhokseumawe dipilih sebagai studi kasus untuk melihat

kaitan Asitektur Tradisional Aceh pada Arsitektur yang berkembang saat ini.

Adapun Permasalahan dari penelitian pengaruh Arsitektur Tradisional Aceh

pada bangunan pemerintahan di kota Lhokseumawe adalah untuk mengetahui

sejauhmana Pengaruh Arsitektur Tradisional Aceh pada Kantor Walikota

Lhokseumawe.

1.3 Landasan Teori

Teori utama dalam penelitian ini yaitu teori Wondoamiseno. Teori mengenai

karakter Arsitektur Tradisional Aceh sebagai bagian dari Arsitektur Masa Lalu

(AML) dan ciri Arsitektur Modern sebagai bagian dari Arsitektur Masa Kini (AMK)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


6

menjadi pendukung teori utama. Dalam teori Wondoamiseno (1991), adanya

kemungkinan-kemungkinan pengkaitan antara Arsitektur Masa Lampau (AML) dan

Arsitektur Masa Kini (AMK) melalui : (1) Tempelan elemen AML pada AMK, (2)

Elemen fisik AML menyatu di dalam AMK, (3) Elemen fisik AML tidak terlihat jelas

dalam AMK, (4) Wujud AML mendominasi AMK, (5) Ekspresi ujud AML menyatu

di dalam AML. Namun untuk dapat mengatakan bahwa AML menyatu di dalam

AMK, maka AML dan AMK secara visual harus merupakan kesatuan (unity).

Kesatuan yang dimaksud adalah kesatuan dalam komposisi arsitektur dengan tiga

syarat utama yaitu adanya : (1) Dominasi, (2) Pengulangan dan (3) Kesinambungan

dalam komposisi. Oleh karena itu untuk mengetahui penerapan Arsitektur Tradisional

Aceh pada bangunan Kantor Walikota Lhokseumawe dan juga elemen fisik

Arsitektur Tradisional Aceh yang paling dominan pada bangunan Kantor Walikota

Lhokseumawe melalui variabel : Wujud Arsitektur ( Orientasi, Ornamen, Warna dan

Material), serta Elemen Fisik Arsitektur ( Entrance, Atap, Dinding, Jendela, dan

Ornamen).

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian pengaruh Arsitektur Tradisional Aceh pada

Bangunan Pemerintahan di kota Lhokseumawe adalah untuk menemukan sejauhmana

penerapan Arsitektur Tradisional Aceh pada Kantor Walikota Lhokseumawe

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


7

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian Pengaruh Arsitektur Tradisional Aceh pada

Bangunan Pemerintahan di kota Lhokseumawe adalah sebagai berikut:

1. Memberikan rekomendasi kepada pemerintahan kota Lhoksumawe, agar

dalam mendirikan bangunan khususnya bangunan kantor pemerintahan

menggunakan wujud, elemen dan ekspresi Arsitektur Tradisional daerah

setempat agar menjadi simbol pemerintahan suatu wilayah kota dan lambang

kekhasan tradisi masyarakat setempat

2. Memberikan satu pemikiran baru bagi arsitek agar tidak mengabaikan

Arsitektur Tradisional, sehingga kehadiran Arsitektur Modern dapat menjadi

satu kesatuan dengan Arsitektur Tradisional, tanpa menghilangkan nilai-nilai

tradisi setempat yang telah ada sebelumnya.

1.6 Kerangka Berfikir

Kerangka berpikir penelitian Pengaruh Arsitektur Tradisional Aceh pada

Bangunan Pemerintahan di Kota Lhokseumawe dapat dilihat pada diagram Gambar

1.1

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


8

Latar Belakang : Landasan Teori :

 Beragamnya Arsitektur Tradisional yang  Arsitektur Tradisional


berada tersebar di seluruh nusantara dan  Pengkaitan antara Arsitektur Masa Lalu (AML) pada
memiliki identitas lokal yang menjadi Arsitektur Masa Kini (AMK)
ciri-ciri arsitektur daerah tersebut  Regionalisme
 Akibat dari modernisasi dan globalisai,  Karakter pembentuk Arsitektur Tradisional Aceh
beralih kepada arsitektur modern  Ciri Arsitektur Modern
 Kebosanan terhadap modern, membuat
sejumlah pihak, ingin menhadirkan
kembali Arsitektur Tradisonal pada
zaman modern Metode Penelitian :
 Munculnya Regionalism yang mencoba
menyatukan Arsitektur Tradisonal  Menggunakan metode penelitian kualitatif-deskriptif
dengan Arsitektur Modern  Menggunakan metode pengumpulan data berupa data
primer (observasi dan dokumentasi ) dan data
sekunder (data literatur).

Permasalahan :
Analisa dan Pembahasan :
Sejauhmana pengaruh Arsitektur
Tradisional Aceh pada Kantor Walikota  Pengkaitan antara AML pada AMK
Lhokseumawe. dilihat pada Wujud, elemen fisik dan
ekspresi Arsitektur Tradisional Aceh
pada bangunan Kantor Walikota
 Wujud Arsitektur : proporsi,
orientasi, warna dan material
 Elemen fisik : entrance, atap,
Pengumpulan Data :
dinding, pintu, jendela dan ornamen
 Elemen bangunan Arsitektur Tradisional
Aceh
 Ornamen yang di gunakan pada Arsitektur
Tradisional Aceh
 Orientasi bangunan pada Arsitektur Penemuan:
Tradisional Aceh
 Ukuran bangunan/ruang pada bangunan Adanya pengaruh Arsitektur Tradisional
kantor pemerintahan
Aceh (Arsitektur Masa Lalu) pada
 Fungsi dan aktivitas pada bangunan kantor
pemerintahan tampilan bangunan Kantor Walikota
 Warna Bangunan pada bangunan kantor Lhokseumawe ( Arsitektur Masa Kini)

Kesimpulan :

Pengaruh Arsitektur tradisional Arsitektur Aceh pada Bangunan


Kantor walikota Lhokseumawe dilihat dari karakteristik Arsitektur
Tradisional Aceh dan Arsitektur Modern untuk kemudian dikaitkan
antara arsitektur Masa Lalu ( AML) dan Arsitektur Masa Kini
(AMK) dengan hasil elemen fisik berupa atap, dinding, ornamen
bangunan kantor walikota mendapat pengaruh dari arsitektur
Tradisional Aceh.

Gambar 1.1 Bagan Kerangka Penelitian

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Arsitektur Tradisional

Arsitektur Tradisional merupakan bentukan arsitektur yang diturunkan dari

satu generasi ke generasi berikutnya (Rapoport, 1960). Pada bangunan tradisional

terkandung tradisi yang mengandung arti suatu kebiasaan yang dilakukan dengan cara

yang sama oleh beberapa generasi tanpa atau sedikit sekali perubahan-perubahan,

dengan kata lain kebiasaan yang sudah menjadi adat dan membudaya. Pada dasarnya

keberadaan Arsitektur Tradisional lekat dengan hidup keseharian masyarakatnya

yang masih menganut tata kehidupan kolektif, yaitu memiliki keserasian dan

keselarasan antara makro kosmos (alam semesta) dan mikro kosmos (bangunan).

Ciri fisik bangunan tradisional Indonesia menurut Wondoamiseno (1991) : (1)

Hampir semua seni bangunan tradisional merupakan arsitektur kayu (bahan utamanya

memakai material dari kayu), (2) Hampir semua bangunan tradisional mempunyai

tekanan pada atap (atap sebagai mahkota bangunan ditampilkan secara spesifik dan

dapat berfungsi menangkis kondisi alam setempat), (3) Hampir semuanya

memperlihatkan struktur rangka dengan empat tiang penunjang utama yang

dihubungkan dengan pasak (secara struktural tiang-tiang dan pasak-pasak saling

berhubungan), (4) Dinding senantiasa berfungsi sebagai penyekat dan mempunyai

sifat ringan (dinding bersifat transparant dan sistem knock down), (5) Menggunakan

9
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
10

sistem bongkar pasang pada konstruksi kayunya (pada umumnya bangunan

tradisional dengan sistem 'knock down".sehingga dapat saja dipindah-pindahkan).

2.2 Perkembangan Arsitektur Tradisonal

Perkembangan Arsitektur Tradisional dipengaruhi oleh banyak faktor seperti:

waktu, pengaruh budaya luar, pola hidup, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Puncak

perkembangan Arsitektur Tradisional Indonesia terjadi pada masa berkembangnya

agama Hindu dan Budha. Menurut Hasbi (2012) arsitektur Indonesia banyak

dipengaruhi oleh arsitektur dari luar wilayah Indonesia seperti Arsitektur Hindu,

Budha, Islam dan Kolonial. Perkembangan dan kemajuan dalam bidang teknologi

membuat Arsitektur Tradisional mulai ditinggalkan dan beralih kepada Arsitektur

Modern. Selanjutnya kejenuhan terhadap arsitektur modern membuat sejumlah pihak

ingin menghadirkan kembali Arsitektur Tradisional, hingga hadirnya Regionalisme

yang mencoba untuk menyatunya Arsitektur Tradisional dan Arsitektur Modern.

Regionalisme berawal dari munculnya Arsitektur Modern yang berusaha

meninggalkan masa lampaunya, meninggalkan ciri serta sifat-sifatnya. Pada periode

berikutnya mulai timbul usaha untuk mempertautkan antara yang lama dan yang baru

akibat adanya krisis identitas pada arsitektur. Aliran-aliran tersebut antara lain adalah

tradisionalisme, regionalisme, dan post-modernisme.

Regionalisme diperkirakan berkembang sekitar tahun 1960 (Jenks, 1977).

Sebagai salah satu perkembangan Arsitektur Modern yang mempunyai perhatian

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


11

besar pada ciri kedaerahan, aliran ini tumbuh terutama di negara berkembang. Ciri

kedaerahan yang dimaksud berkaitan erat dengan budaya setempat, iklim, dan

teknologi pada saatnya (Ozkan, 1985).

Secara prinsip, tradisionalisme timbul sebagai reaksi terhadap adanya tidak

adanya kesinambungan antara yang lama dan yang baru. Regionalsime merupakan

peleburan/ penyatuan antara yang lama dan yang baru (Curtis,1985). Sedangkan Post-

modern berusaha menghadirkan yang lama dalam bentuk universal (Jenks, 1977).

Arsitektur Tradisional mempunyai lingkup regional sedangkan Arsitektur Modern

mempunyai lingkup universal. Dengan demikian maka yang menjadi ciri utama

Regionalisme adalah menyatunya Arsitektur Tradisional dan Arsitektur Modern.

Ozkan (1985) membagi Regionalisme menjadi dua bagian yaitu Concrete

Regionalism dan Abstract Regionalism. Concrete regionalisme meliputi semua

pendekatan kepada ekspresi daerah dengan mencontoh kehebatannya, bagian-

bagiannya atau keseluruhan bangunan di daerah tersebut dan mempertahankan

kenyamanan pada bangunan baru ditunjang dengan kualitas bangunan lama. abstract

regionalism adalah menggabungkan unsur-unsur kualitas abstrak bangunan misalnya

massa, rongga, proporsi, rasa meruang, penggunaan pencahayaan dan prinsip-prinsip

struktur yang diolah kembali.

Menurut Wondoamiseno (1991), kemungkinan-kemungkinan pengkaitan

antara Arsitektur Masa Lampau (AML) dan Arsitektur Masa Kini (AMK) adalah (1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


12

Tempelan elemen AML pada AMK, (2) Elemen fisik AML menyatu di dalam AMK,

(3) Elemen fisik AML tidak terlihat jelas dalam AMK, (4) Wujud AML mendominasi

AMK, (5) Ekspresi ujud AML menyatu di dalam AML.

Untuk dapat mengatakan bahwa AML menyatu di dalam AMK, maka AML

dan AMK secara visual harus merupakan kesatuan (unity). Kesatuan yang dimaksud

adalah kesatuan dalam komposisi arsitektur. Apabila yang dimaksud menyatu bukan

menyatu secara visual, misalnya kwalitas abstrak bangunan yang berhubungan

dengan perilaku manusia, maka secara penilaian dapat dengan menggunakan

observasi langsung maupun tidak langsung.

Untuk mendapatkan kesatuan dalam komposisi arsitektur ada tiga syarat

utama yaitu adanya : (1) Dominasi, (2) Pengulangan dan (3) Kesinambungan dalam

komposisi. Dominasi yaitu ada satu yang menguasai keseluruhan komposisi.

Dominasi dapat dicapai dengan menggunakan warna, material, maupun obyek-obyek

pembentuk komposisi itu sendiri. Pengulangan di dalam komposisi dapat dilakukan

dengan mengulang bentuk, warna, tekstur, maupun proporsi. Didalam pengulangan

dapat dilakukan dengan berbagai irama atau repetisi agar tidak terjadi kesenadaan

(monotone). Kesinambungan dalam komposisi Kesinambungan atau kemenerusan

adalah adanya garis penghubung imaginer yang menghubungkan perletakan obyek-

obyek pembentuk komposisi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


13

2.2.1 Wujud arsitektur

Bentuk dapat dikenali karena memiliki ciri-ciri visual yaitu salah satunya

wujud (Ching, 1979). Wujud adalah hasil konfigurasi tertentu dari permukan-

permukaan dan sisi-sisi suatu bentuk. Selain wujud, ada beberapa ciri-ciri visual yang

menunjukkan bentuk yaitu : (1) Warna menunjukkan corak, intensitas dan nada

permukaan pada suatu bentuk. Warna adalah atribut yang paling mencolok yang

membedakan suatu bentuk terhadap lingkunganya. Warna juga mempengaruhi bobot

visual pada bentuk. (2) Orientasi adalah posisi relatif suatu bentuk terhadap bidang

dasat, arah mata angin atau terhadap pandangan seseorang yang melihatnya, (3)

Proporsi mengacu pada ukuran sesuatu dibandingkan dengan suatu standar referensi

atau dengan ukuran sesuatu yang dapat dijadikan patokan. Proporsi dapat

memberikan kesan keseimbangan pada bentuk bangunan, baik dari segi estetika juga

dari segi arsitektural dan (4) Material atau bahan adalah zat atau benda yang dimana

sesuatu dapat dibuat darinya, atau barang yang dibutuhkan untuk membuat sesuatu.

Material merupakan faktor yang mempengaruhi tekstur permukaan sebuah benda atau

bidang.

2.2.2 Elemen fisik arsitektur

Elemen fisik merupakan pembentuk karakter visual yang berkaitan erat

dengan elemen fasade bangunan. Menurut Krier (1983) elemen fasade bangunan

meliputi : (1) Atap berperan sebagai mahkota yang disandang oleh tubuh bangunan,

sehingga secara visual, atap merupakan akhiran dari fasad dan titik akhir dari

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


14

bangunan, (2) Pintu masuk atau entrance merupakan komponen yang memiliki peran

penting, sebagai akses dan tanda transisi dari area publik (eksterior) ke bagian privat

(interior), (3) Jendela adalah bukaan yang terletak didinding sebuah bangunan yang

berfungsi sebagai sirkulasi udara dan cahaya dalah sebuah ruangan atau bangunan.

Sebagai salah satu komponen fasad, figur jendela memberikan artikulasi tersendiri

sebagai karakter atau citra dari sebuah bangunan, (4) Dinding adalah salah satu

elemen fasad bangunan yang memperkuat ciri dan karakter suatu bangunan.

Permukaan suatu dinding dapat memperkuat karakter suatu bangunan melalui

material, tekstur dan warna. (5) Ornamen sering juga disebut sebagai desain dekoratif

atau desain ragam hias. Ornamen berfungsi untuk menambah nilai estetis dari suatu

bangunan yang akhirnya akan menambah nilai finansial dari bangunan tersebut.

Ornamen juga menunjukkan gaya arsitektur yang terdapat dalam desain suatu

bangunan.

2.3 Arsitektur Tradisional Aceh

Arsitektur tradisional Aceh merupakan cerminan dari suatu karakteristik

kebudayaan Aceh. Ada dua hal yang menjadi dasar dalam pembentukan arsitektur

tradisional Aceh yaitu berkenaan dengan penampilan fisik arsitektur dan hal yang

berkenaan dengan faktor budaya yang melatarbelakangi pembentukan arsitektur

tersebut. Dalam hal ini budaya Arsitektur Aceh membentuk ciri khas, ini berkaitan

erat dengan sifat budaya religius masyarakat Aceh yang mendasari hampir seluruh

sisi kehidupan sosialnya. Antara gaya arsitektur dengan bentuk kegiatan masyarakat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


15

Aceh, terjalin dalam perpaduan yang saling mengisi. Bentuk arsitektur akan

mewadahi kegiatan masyarakat yang berlangsung, sementara aspek religi memiliki

nilai kuat dalam pembentukan arsitektur tersebut. Manifestasi dari kearifan lokal

dalam menyikapi alam dan keyakinan (religiusitas) masyarakat Aceh diwujudkan

dalam kebiasaan-kebiasaan dan pola kehidupan masyarakat Aceh. Dari kebiasaan-

kebiasaan itulah menghasilkan suatu karya arsitektur untuk menunjang aktivitas

tersebut.

Menurut Hadjad dkk (1984), dalam menunjang aktivitas masyarakat Aceh,

arsitektur tradisional Aceh dikelompokkan atas bangunan tempat tinggal (Rumoh

Aceh), bangunan tempat ibadah seperti meunasah (surau/langgar) dan meuseujid

(mesjid), serta bangunan tempat menyimpan padi (krong pade).

2.3.1 Bangunan tempat tinggal

Bangunan tempat tinggal masyarakat Aceh dinamakan Rumoh Aceh. Wujud

dari bangunan tempat tinggal masyarakat Aceh merupakan cerminan dari kearifan

dalam menyikapi alam dan keyakinan (religius). Rumoh Aceh berbentuk panggung

dengan menggunakan kayu sebagai bahan dasarnya merupakan bentuk adaptasi

masyarakat Aceh terhadap kondisi lingkungannya. Rumoh Aceh juga merupakan

perwujudan dari pola segitiga yang berhubungan dengan penerapan nilai

keseimbangan hubungan dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam. konsep segitiga

keseimbangan itu diwujudkan pada pola ruang bangunan rumoh Aceh yang sangat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


16

sakral karena memiliki makna dan dasar pembentukan yang seluruhnya memiliki

pertimbangan yang sangat erat kaitannya dengan penerapan faktor non fisik, seperti

nilai-nilai keagamaan, sosial, ekonomi, budaya masyarakat Aceh (Sabila, 2014).

2.3.1.1 Bentuk rumah tradisional Aceh

Rumoh Aceh adalah sebuah rumah dengan struktur panggung dengan tinggi

tiang 2,5 sampai dengan 3 meter dari permukaan tanah. Keseluruhan rumah dibuat

dari bahan kayu, kecuali atapnya yang terbuat dari bahan daun rumbia atau daun enau

yang dianyam, serta lantainya yang dibuat dari bambu (Gambar 2.1).

Gambar 2.1 Rumoh Aceh

Sebagai rumah berbentuk panggung, maka diperlukan tangga untuk mencapai

rumah, tangga (reunyeun) pada Rumoh Aceh berjumlah ganjil yaitu mulai dari 7

hingga 9 tangga. Jumlah ini sesuai dengan kepercayaan masyarakat Aceh, fungsi lain

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


17

dari tangga ini juga sebagai palang bagi selain keluarga atau kerabat dekat terutama

bila tidak ada penghuni pria di dalam rumah, sehingga tangga ini dapat menjadi

pengawas dalam hubungan sosial antar warga.

Bagian Atap (Bubong)

Bagian Atas (Ateuh Rumoh)

Bagian Bawah (yup moh)

Gambar 2.2 Bagian-bagian Rumoh Aceh

Rumoh Aceh terdiri atas 3 bagian (Gambar 2.2) yaitu :

1. Bagian bawah (yup moh), merupakan ruang antara tanah dengan lantai

rumah. Bagian ini berfungsi untuk tempat bermain anak-anak, kandang

ayam, kambing dan itik. Tempat ini juga sering digunakan kaum

perempuan untuk berjualan dan membuat kain songket Aceh, juga

digunakan untuk menyimpan jeungki (penumbuk padi) dan krong (tempat

menyimpan padi).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


18

2. Bagian atas (ateuh rumoh), merupakan tempat segala aktivitas masyarakat

Aceh baik yang bersifat privat ataupun bersifat public. Pada bagian ini,

secara umum terdapat tiga ruangan, yaitu serambi depan (seuramo keue),

ruang tengah (tungai) dan serambi belakang (seuramo likot).

3. Bagian atap (bubong), atap Rumoh Aceh biasanya terbuat dari daun

rumbia yang diikat dengan rotan yang telah dibelah kecil-kecil.

Bentuk Kolong pada Rumoh Aceh

Bentuk bagian bawah rumah (yup moh) merupakan kolong bangunan yang

bersifat terbuka pada Rumoh Aceh. Kolong bangunan (Gambar 2.3) terdiri dari tiang-

tiang yang menopang bagian atas bangunan. Material yang digunakan untuk

membuat tiang ini biasanya dari bahan kayu dan bentuknya bulat dengan diameter

kurang lebihnya 20-35 cm. Tiang-tiang tersebut didirikan di atas pondasi/umpak

(gaki tameh atau keuneleung), umpak ini tidak ditanam dalam tanah.

Gambar 2.3 Kolong Bangunan Rumoh Aceh

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


19

Banyaknya jumlah tiang penopang di rumah aceh bervariasi tergantung dari

berapa banyak ruangan yang terdapat di dalam rumah atau dari seberapa luas ukuran

rumah. Biasanya masyarakat aceh membangun rumah dengan jumlah tiang sebanyak

16, 18, 22 dan 24. Namun ada pula yang sanggup membangun dengan jumlah tiang

mencapai 40 atau bahkan 80. Tiang penopang ini diletakkan dengan posisi berjajar

sebanyak empat baris dengan jarak setiap baris sejauh 2,5-4 m. Jumlah tiang 16

biasanya untuk rumah yang mempunyai tiga ruangan, sedangkan jumlah tiang 24

untuk rumah yang mempunyai 5 ruangan (Hadjad dkk, 1984).

Bentuk Atap pada Rumoh Aceh

Bentuk atap pada rumoh aceh (Gambar 2.4) merupakan atap dengan rabong

atau tampong satu yang ditempatkan di atas ruang tengah yang direntangkan dari

ujung kiri ke kanan dan cucuran atap ditempatkan di area depan dan belakang rumah.

Atap rumah pada rumah aceh tidak bersifat permanen atau mudah untuk dilepaskan

karena hanya dihubungkan menggunakan tali ijuk. Hal ini dilakukan mengingat

bahan dasar atap yaitu daun rumbia atau daun enau yang rentan terbakar. Untuk

mengurangi rambatan api maka tali ijuk dapat dipotong dan atap dapat dilepaskan

(Hadjad dkk, 1984). Fungsi yang lain dari penggunaan atap daun rumbia adalah

menambah kesejukan ruangan dan juga penutupatap berbahan rumbia juga memiliki

andil besar dalam memperingan beban bangunan sehingga saat gempa tidak mudah

roboh.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


20

Material utama penyusun atap adalah daun rumbia atau kadang menggunakan

daun enau. Daun ini diikat dengan belahan rotan yang tipis. Sedangkan bahan utama

tulang atap adalah belahan batang bambu. Karena bagian tengah atap yang berbentuk

rabong menjadikan ruang kosong dibagian atas ruang tengah dan di bawah atap

dimanfaatkan menjadi loteng sebagai tempat penyimpanan barang

Gambar 2.4 Bentuk Atap Rumoh Aceh

Bentuk Pintu dan Jendela pada Rumoh Aceh

Ketinggian pintu masuk utama pada rumoh Aceh tidak seperti pintu pada

umumnya yang mempunyai ketinggian 2 meteran. Di rumah aceh, ketinggian

pintunya hanya berkisar diantara 120-150 cm. Berbanding terbalik dengan bangunan

yang besar dan juga tinggi, pintu masuk utama rumoh Aceh ini sangatlah rendah. Hal

ini membuat orang yang hendak masuk otomatis menundukkan kepala agar tidak

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


21

terbentur. Konsep ukuran pintu yang rendah ini menggambarkan bahwa siapa pun

orang yang hendak masuk, kaya atau miskin, tua atau muda hendaknya menghormati

sang pemilik rumah. Karena pintu ibarat hati pemilik rumah, perlu upaya untuk

memasukinya namun apabila telah masuk maka akan diterima dengan penuh

kebesaran hati tanpa sekat sekat seperti luasnya bagian dalam rumah.

Gambar 2.5 Akses Pintu Masuk Rumoh Aceh

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


22

Gambar 2.6 Bentuk Jendela Rumoh Aceh

Untuk masuk ke dalam rumoh Aceh bisa dicapai dengan tangga, Jumlah anak

tangga yang pada rumah aceh pada umumnya berjumlah ganjil, yaitu berjumlah 7

tangga. Letak tangga pada rumoh Aceh ada pada bagian depan yang biasanya

mempunyai lebar sekitar 3 meter. Namun ada pula tangga pada bagian bawah, yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


23

terdapat pada kolong bangunan. Tangga tersebut sama fungsinya yaitu sebagai pintu

masuk dengan pintu dibuka keatas (gambar 2.5). Untuk melindungi tangga ini dari

siraman hujan, biasanya perlu dibuat seulasa (semacam kanopi).

Serupa dengan pintu pada rumoh Aceh (pinto Aceh), jendela rumah aceh pun

bentuknya kecil, dengan ukuran 0.6x1 m. Biasanya jendela diletakkan di dinding

sebelah barat dan timur yaitu pada setiap kamar serta dua buah jendela berada di

bagian depan rumah (Gambar 2.6).

2.3.1.2 Tata ruang rumah tradisional Aceh

Susunan ruangan Rumoh Aceh terdiri atas tiga ruangan (Gambar 2.7) yaitu :

1. Ruangan depan (serambi depan) yang disebut seuramo keu atau seuramo

reunyen (serambi yang bertangga)

2. Ruangan tengah yang disebut tungai ataupun juree

3. Ruangan belakang (seuramo likot), serambi bagian belakang

Susunan ruang pada rumoh Aceh (Tabel 2.1) berbentuk persegi dan juga

persegi panjang, ketiga ruangan memanjang sejajar dengan bubungan atapnya.

Seuramoe keu (serambi depan) adalah sebuah ruangan luas memanjang tanpa sekat-

sekat yang berfungsi sebagai ruang tamu. Ruang tamu ini terbuka bagi siapa saja baik

pria maupun wanita. Selain untuk menerima tamu, ruang ini juga dimanfaatkan

sebagai area mengaji dan istirahat anak laki-laki, area pertemuan keluarga, area

makan-makan saat ada upacara pernikahan atau upacara adat lainnya. Ruang ini yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


24

paling sering digunakan dalam aktivitas berskala rumah tangga (mikro). Ruang ini

merupakan core area (area inti/pusat) dari rumoh Aceh, karena menjadi tempat

berkumpul, baik antar anggota keluarga maupun dengan kerabat yang lebih jauh,

ketika terjadi ritual budaya, tanpa adanya pembedaan antara laki-laki dan perempuan.

Sebaliknya pada ruang lainnya yang menjadi pinggiran (periphery) yaitu seuramoe

teungoh (tungai/lorong dan juree/kamar tidur), seuramoe likot dan rumoh dapu hanya

diperbolehkan untuk perempuan.

Seuramoe Keu (Serambi Depan)


Juree (Kamar)
Rambat (Lorong antar Kamar)
Seuramoe Likot (Serambi Belakang)

Gambar 2.7 Susunan Ruang pada Rumoh Aceh


Sumber : Analisa penulis, 2016 berdasarkan tulisan Sabila dkk, 2014

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


25

Gambar 2.8 Denah Rumah Aceh


Sumber : Analisa penulis, 2016 berdasarkan tulisan Hurgronje (1985)

Tabel 2.1 Nama-nama ruang pada rumoh Aceh

No Nama Ruang Arti


1 Seuramo Keue Serambi depan, tempat kaum lelaki.
2 Tungai Ruang tengah yang elevasinya lebih tinggi
daripada lantai serambi. Di dalam tungai
terdapat bilik dan rambat.
3 Rambat Lorong penghubung kedua serambi.
4 Rumoh Inong Kamar tidur untuk orang tua atau anak
perempuan yang baru menikah.
5 Anjong Kamar depan, yang berfungsi sebagai kamar
untuk anak perempuan.
6 Seuramo Likot Serambi belakang, tempat kaum perempuan dan
anak-anak.
7 Dapu Dapur, Untuk kegiatan masak-memasak.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


26

Ruang tengah atau tungai merupakan ruang bersekat yang berada di antara

ruang depan dan belakang dan memiliki posisi lebih tinggi setengah meter dari kedua

ruang tersebut. Menurut Arif (2015), bagian paling utama rumah dari rumoh aceh

adalah pada bagian tengah, yang dibuat lebih tinggi sekitar 25 sampai 40 cm dari

pada lantai serambi. Pada bagian Tungai ini terletak dua kamar tidur, yaitu rumoh

Inong dan anjông. Rumoh inong adalah kamar peurumoh (master bedroom),

sedangkan anjông adalah kamar untuk anak perempuan. Di antara kedua kamar tidur

itu ada lorong penghubung antara seuramoë rinyeuen dengan seuramoë likôt, yang

bernama Rambat (Gambar 2.8). Namun akses rambat ini pun terbatas apalagi bila

lelaki ingin melewatinya. Akses hanya diberikan kepada kerabat keluarga yang

dekat. Hal ini dilakukan karena rambat merupakan akses jalan menuju ruang

belakang yaitu area khusus wanita.

Ruang Belakang atau Seuramoe likot merupakan ruangan yang terletak di

belakang dengan ketinggian lantai yang sama dengan ruang depan dan juga tidak ada

sekat-sekat. Ruangan ini digunakan sebagai tempat berkumpulnya penghuni rumah,

ruang makan, tempat para wanita berkegiatan seperti menjahit dan menganyam serta

merangkap sebagai dapur. Namun ada pula yang memisahkan dapurnya di belakang

seuramoe likot atau disebut rumoh dapu dengan posisi lantai yang sedikit lebih

rendah.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


27

2.3.1.3 Orientasi rumah tradisional Aceh

Letak rumoh Aceh menghadap ke Utara dan Selatan sehingga rumah

membujur dari Timur ke Barat. Tampak depan rumah yang menghadap utara-selatan

(Gambar 2.9) diterapkan untuk menghindari arah angin yang bertiup di daerah Aceh,

yaitu dari arah timur ke barat atau sebaliknya yang berpotensi merubuhkan bangunan.

Selain itu, arah rumah menghadap ke utara-selatan juga dimaksudkan agar sinar

matahari lebih mudah masuk ke kamar-kamar, baik yang berada di sisi Timur atau

pun disisi Barat. Orientasi rumoh Aceh menghadap Utara-Selatan merupakan wujud

masyarakat aceh dalam menyikapi kondisi iklim.

. Selatan

Timur Barat

Bagian depan rumah


menghadap Utara

Utara
Gambar 2.9 Orientasi Rumah Aceh
Sumber : Analisa penulis, 2016 berdasarkan tulisan Arief (2015)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


28

Pengaruh keyakinan masyarakat Aceh terhadap arsitektur bangunan rumahnya

dapat dilihat pada orientasi rumah yang selalu berbentuk memanjang dari timur ke

barat, yaitu bagiandepan menghadap ke timur dan sisi dalam atau belakang yang

sakral berada di barat. Arah Barat mencerminkan upaya masyarakat Aceh untuk

membangun garis imajiner dengan Ka„bah yang berada di Mekkah

2.3.1.4 Ornamen rumah tradisional Aceh

Bangunan rumah Aceh pada umumnya memiliki banyak ukiran-ukiran

sebagai ragam hias yang menempel pada bangunan (Gambar 2.10), ada beberapa

macam ragam hias (ornamen) yang dipakai (Hadjad dkk, 1984), yaitu:

1. Motif keagamaan, yaitu ukiran-ukiran yang diambil dari ayat-ayat al-Quran.

2. Motif flora, yaitu ukiran berbentuk stelirisasi tumbuh-tumbuhan berbentuk

daun, akar, batang, ataupun bunga-bungaan

3. Motif fauna, yaitu ukiran berbentuk binatang-binatang yang sering dilihat dan

disukai.

4. Motif alam, yaitu ukiran berebentuk seperti : langit dan awannya, langit dan

bulan, dan bintang dan laut.

5. Motif lainnya, seperti taloe meuputa, rantee, lidah, dan lain sebagainya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


29

Gambar 2.10 Motif Ornamen Aceh


Sumber: Mirsa, 2013

Ornamen pada umummnya mengunakan pola-pola simetris yang

penggunaannya dilakukan berulang-ulang. Ukiran-ukiran (ornamen) pada rumoh

Aceh berhubungan dengan status sosial seseorang dalam masyarakat Aceh.

Banyaknya ukiran pada rumah Aceh yang dimiliki seseorang menentukan

kemampuan ekonomi dari orang tersebut. Kesemuanya ornamen tersebut diterapkan

ke beberapa elemen bangunan dalam rumoh Aceh seperti pada:

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


30

1. Rinyeuen (tangga), terdapat dari bagian bawah tangga sampai di bagian atas

tangga, berbentuk memanjang seperti ukiran busur panah, tali, rantai dan

sebagainya.

2. Kindang (dinding paling bawah dari rumah aceh), terdapat di sekeliling

rumah aceh, ukiran berbentuk flora dan fauna disepanjang dinding bawahnya.

3. Binteih (dinding), dibuat ukiran dengan serat kayu sebagai motif dasarnya.

4. Bara (lisplank atap), terdapat di bagian lisplank atap, yaitu bagian luar

bangunan rumah Aceh, terdapat ukiran-ukiran disepanjang rumoh aceh di

bagian atasnya. Ukiran yang terdapat pada bagian bara ini biasanya ukiran

bunga, bentuk alam dan lainnya.

5. Tingkap (jendela), ukiran kaligrafi dan bunga, tapi pada beberapa rumoh aceh

hanya terdapat kisi-kisi udara.

6. Pinto (pintu), terdapat ukiran yang terdiri dari bunga seulanga, mawar dan

jeumpa.

7. Tulak Angen (kisi-kisi di atap rumah), dibuat ukiran yang beragam bentuknya

dan dibagian ini biasanya ukiran dilubangi sesuai bentuknya. Pada bagian ini

fungsi dari ukiran ini adalah membuat lubang angin yang terdapat di kedua

sisi, yaitu Timur dan Barat.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


31

Bara

Tulak Angen
Tingkap

Binteih

Kindang

Gambar 2.11 Penerapan Motif Ornamen Aceh

2.3.1.5 Proporsi rumah tradisional Aceh

Bentuk dan konfigurai Rumah Tradisional Aceh berbentuk persegi empat dan

memanjang kearah timur–barat. Elemen-elemn pembentuk rumah secara umum

dibagi jadi tiga bagian yakni kolong sebagai kaki bangunan, badan rumah dan bagian

kepala (atap). Proporsi kaki (kolong dan atap terlihat sangat dominan dibanding

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


32

badan rumah. secara umum proporsi rumoh Aceh, tinggi tiang lebih tinggi dari pada

rata-rata rumah tinggal, 2-5 m dengan jarak antara tiang 2.5 – 3 m.

Gambar 2.12 Proporsi rumoh Aceh


Sumber: Meutia, 2017

2.3.1.6 Warna rumah tradisional Aceh

Warna pada rumah tradisional Aceh umumnya memakai warna kuning, krem

dan merah, orange, hitam yang kadang kadang di kombinasikan dengan warna putih.

Jika terdapat warna warna lain itu merupakan akibat pengaruh masa kini (Hadjad

dkk, 1984).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


33

Gambar 2.13. Warna Dinding rumoh Aceh

Tabel 2.2. Kesan Warna pada Rumoh Aceh (Hadjad dkk, 1984)
Warna Kesan
Merah Emosi yang berubah-ubah, naik turun,
hidup menggairahkan dan menyenangkan,
menumbuhkan semangat.
Kuning Memiliki karakter kuat, hangat, dan
memberi nuansa cerah. Menciptakan
suasana nyaman dan menyenangkan
Putih Bersifat netral, tanpa perasaan dan memliki
kesan suci
Orange Menunjukkan kehangatan, kesehatan
pikiran
dan kegembiraan
Hitam Melambangkan perlindungan

2.3.1.7 Material rumah tradisional Aceh

Penggunaan bahan materi bangunan dalam membangun Rumoh Aceh diambil

dari alam mempunyai makna bahwa masyarakat Aceh mempunyai kehidupan yang

dekat dengan alam. Masyarakat Aceh bahkan tidak menggunakan paku dalam

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


34

membuat rumah tradisional Aceh. Mereka menggunakan tali untuk mengikat satu

bahan bangunan dengan bahan bangunan yang lain. Pembangunan rumah tradisional

Aceh, bahan-bahan yang diperlukan di antaranya adalah: kayu, papan, trieng

(bambu), enau (temor), taloe meu-ikat (tali pengikat), oen meuria (daun rumbia),

peuleupeuk meuria (pelepah rumbia) dan daun enau (Hadjad dkk, 1984).

2.3.2 Bangunan tempat ibadah

Dalam masyarakat Aceh, Bangunan tempat ibadah ada dua jenis yaitu

bangunan tempat ibadah yang disebut meuseujid (mesjid) dan bangunan tempat

ibadah yang di sebut meunasah (surau). Meuseujid adalah rumah ibadah yang

terdapat pada setiap pemukiman, selain berfungsi sebagai tempat beribadah,

meuseujid juga berfungsi sebagai tempat bermusyawarah bagi seluruh penduduk pada

suatu pemukiman. Sedangkan meunasah (surau) merupakan tempat ibadah bagi

penduduk dalam suatu desa.

2.3.1.1 Bentuk bangunan tempat ibadah

Menurut Hadjad dkk (1984), orientasi bangunan meuseujid selalu menghadap

timur, sehingga sisi belakangnya berada pada sisi di sebelah barat, karena disesuaikan

dengan arah kiblat. Ruangan pada bangunan Meuseujid berbentuk persegi (Gambar

2.12) yang didirikan di atas tanah. Bangunan tersebut di topang oleh 4 buah tiang

utama, tiang itu berada tepat ditengah-tengah bangunan untuk menopang atap

berbentuk limasan. Selain itu, pada keempat sisi bangunan juga terdapat tiang-tiang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


35

pendek yang berjumlah 12 buah yang berfungsi sebagai penopang atap bawah

meseujid.

Bangunan meunasah berbentuk empat persegi dengan sebuah serambi

didepannya (Gambar 2.13). Bangunan ini didirikan diatas tiang-tiang kayu dengan

tinggi bangunan sampai batas lantai kurang lebih kurang 2,5 meter. Meunasah terdiri

dari bagian kolong, bagian ruangan dan bagian atap. Bagian kolong meunasah berada

di bawah lantai bangunan hingga permukaan tanah, bagian ini berada dalam keadaan

terbuka karena tidak berdinding. Bagian ruangan meunasah merupakan bagian lantai

bangunan yang dipergunakan sebagai tempat shalat, tempat belajar mengaji dan

kegiatan ibadah lainnya. Atap pada meunasah menajang lurus dari Utara ke Selatan

sedangkan cucuran air hujan berada di depan dan di belakang pintu masuk (Hadjad

dkk,1984).

Gambar 2.14 Mesjid tradisional Aceh


Sumber : Hadjad dkk, 1984

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


36

Secara keseluruhan bentuk meunasah sama dengan bentuk rumoh Aceh.

Bedanya hanya pada bentuk tiangnya dan susunan pada ruang –ruangannya. Kolong

pada bagian bawah lantai memiliki tinggi dari lantai lebih kurang 2.8 meter. Letak

tiang-tiang pada meunasah berderet-deret dalam 3 deretan masing-masing deretan

terdapat 4 buah tiang. Ruangan pada meunasah terdapat 3 buah ruang, Lantai ruang

depan lebih rendah sedikit dari ruang lainnya.

Gambar 2.15 Meunasah tradisional Aceh


Sumber : Hadjad dkk, 1984

2.3.1.2 Ornamen bangunan tempat ibadah

Ornamen pada mesjid tradisional Aceh biasanya mengunakan jenis ornamen

yang sama dengan ornamen pada rumah tradisional Aceh. Selain ragam hias/ornemen

bermotif flora, fauna, alam dan keagamaan, maka pada bangunan tradisional Aceh

terdapat juga ragam hias/ornemen yang lain seperti :

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


37

1. Ragam hias/Ornamen berbentuk pintalan tali yang disebut taloe meuputa, karena

ragam ini menyerupai pintalan tali.

Gambar 2.16. Ornamen pintalan tali Mesjid Tradisional Aceh


Sumber : Analis Penulis, berdasarkan buku arsitektur traditional Aceh oleh Hadjad
dkk, 1984

2. Ragam Hias/Ornamen Geometris

Ornamen geometris termasuk kedalam ornamen keagamaan sebagai pendukung di

ornamen kaligrafi islam, pada masjid tradisional Aceh biasanya diaplikasikan di

bagian dinding saja. Pola-pola geometris yang digunakan pada masjid tradisional

Aceh umumnya berbentuk lingkaran, segitiga, persegi, dan segi enam.

Gambar 2.17. Pola Geometris pada Tradisional Aceh


Sumber : Hadjad dkk, 1984

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


38

2.3.1.3 Struktur dan konstruksi bangunan tempat ibadah

Struktur bangunan pada masjid tradisonal Aceh ditunjang oleh empat buah

tiang utama yang bersegi delapan yang disebut tameh teungoh. Keempat buah tiang

utama itu tepat di tengah-tengah bangunan mesjid tradisional Aceh dan menjadi

penunjang pokok atap lapisan atas yang berbentuk limas. Selain empat buah tiang

pokok yang terdapat di tengah-tengah bangunan mesjid tradisional Aceh, maka pada

keempat sisi bangunan mesjid tradisional Aceh itu terdapat juga tiang-tiang pendek

yang juga bersegi delapan yang disebut tameh Ungka yang jumlahnya dua belas

buah. Tiang-tiang itu berfungsi sebagai penunjang atap lapisan bawah mesjid

tradisional Aceh (Hadjad dkk, 1984).

Gambar 2.18. Tampak Masjid Tradisional Aceh


Sumber : Portalsatu.com

Dinding pada mesjid tradisional Aceh mengunakan dinding setengah

terbuka/setengah permanen karena dikelilingi oleh dinding tembok yang tingginya

hanya satu setengah meter. Lantai ruangan terbuat terbuat dari semen. Pada sisi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


39

sebelah Timur (sisi depan) terdapat tangga dari beton setinggi dinding beton. Tangga

itu dipergunakan sebagai jalan untuk masuk ke dalam ruangan mesjid tradisional

Aceh (Hadjad dkk, 1984).

Bentuk atap mesjid tradisional Aceh berbentuk atap tumpang yang terdiri atas

dua lapisan yaitu atap lapisan bawah dan atap lapisan atas. Atap lapisan atas

berbentuk limas, sehingga pada mesjid tradisional Aceh tidak didapati kubah seperti

yang lazim kita dapati pada mesjid-mesjid zaman sekarang. Namun didapati juga

mesjid tradisional Aceh yang sudah diubah puncak bentuk limas dengan puncak

bentuk kubah. Bangunan meuseujid itu selalu menghadap ke Timur, sehingga sisi

belakangnya berada di sebelah Barat, karena disesuaikan dengan arah kiblat (Hadjad

dkk, 1984).

Gambar 2.19. Konstruksi Masjid Tradisional Aceh


Sumber : Hadjad dkk, 1984

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


40

Tabel 2.3 Karakteristik Arsitektur Tradisional Aceh

Arsitektur
Gambar
Tradisional Karakteristik Arsitektur Tradisional Aceh
Aceh
Rumoh Aceh berstruktur panggung, di topang oleh
tiang-tiang dan beratapkan pelana
Susunan ruangan terdiri atas 3: ruangan depan
(serambi depan), ruangan tengah (tungai ataupun
juree) dan ruangan belakang (seuramo likot).
Letak rumoh Aceh menghadap ke Utara dan Selatan
sehingga rumah membujur dari Timur ke Barat
Bangunan Menggunakan ornamen dengan motif : Keagamaan,
Tempat flora, fauna, alam yang aplikasikan pada : tangga,
Tinggal dinding, jendela,pintu,dll.
Proporsi kolong dan atap terlihat sangat dominan
dibanding badan rumah.
Warna Rumoh Aceh umumnya memakai warna
kuning, krem dan merah, orange, hitam yang
kadang kadang di kombinasikan dengan warna
putih.
Material yang diperlukan di antaranya adalah:
kayu, papan, bambu, tali pengikat dan daun rumbia

ada dua jenis yaitu : meuseujid (mesjid) dan


meunasah (surau).
 bentuk meunasah : empat persegi dengan
sebuah serambi didepannya. sama dengan
bentuk rumoh Aceh. Bedanya hanya pada
bentuk tiangnya dan susunan pada ruang –
Bangunan ruangannya
Tempat  bentuk meuseujid : persegi yang didirikan di
Ibadah atas tanah, di topang oleh 4 buah tiang utama,
tiang itu berada tepat ditengah-tengah bangunan
untuk menopang atap berbentuk limasan.
Bentuk atap mesjid tradisional Aceh berbentuk atap
tumpang yang terdiri atas dua lapisan yaitu atap
lapisan bawah dan atap lapisan atas
Selain ornamen yang sama di gunakan pada rumoh
aceh, juga terdapat tambahan pola geometris

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


41

2.4 Perkembangan Arsitektur Modern

Arsitektur modern merupakan gaya arsitektur yang terbentuk pada akhir abad

ke 18 akibat terjadinya revolusi industri dan demokrasi yang memacu terbentuknya

modern age. Revolusi industri menyebabkan terjadinya produksi material dan

elemen-elemen dekorasi secara massal (pre-fabrikasi) sehingga memudahkan proses

pembangunan terutama dalam hal waktu dan harga. Menurut Banham (1978)

perkembangan arsitektur modern menekankan pada kesederhanaan suatu desain

dengan bentukan platonic solid yang serba kotak, tak berdekorasi dan perulangan

yang monoton. Arsitektur modern mulai berkembang sebagai akibat adanya

perubahan dan perkembangan dalam teknologi, sosial dan kebudayaan yang

dihubungkan dengan revolusi industri pada tahun 1760-1863. Adapun periode waktu

pada perkembangan arsitektur modern dapat dibagi sebagai berikut:

1. Periode I (1900-1929)

Berkembang konsep free plan atau universal plan, yaitu ruang yang ada dapat

dipergunakan untuk berbagai macam aktifitas atau ruang dapat diatur fleksibel dan

dapat digunakan untuk berbagai fungsi, sehingga typical concept mulai berkembang

yaitu ruang- ruang dibuat standar dan berlaku universal. Konsep open space nampak

dengan menggunakan jendela kaca yang lebar dan menerus serta pemakaian material

utama berupa baja, beton dan kaca yang menonjolkan bentuk polos. Ornamen

dianggap sebagai suatu kejahatan dalam arsitektur modern. Arsitektur modern berarti

putusnya hubungan dengan sejarah dan daerah serta bersifat universal.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


42

Konsep baru dan mendasar dari arsitektur modern antara lain adalah Form

Follows Function (bentuk mengikuti fungsi) yang dikembangkan oleh Louis Sullivan,

dengan beberapa ciri sebagai berikut: (1) Ruang yang dirancang harus sesuai dengan

fungsinya, (2) Struktur hadir secara jujur dan tidak perlu dibungkus dengan bentukan

masa lampau (tanpa ornamen), (3) Bangunan tidak harus terdiri dari bagian kepala,

badan dan kaki dan (4) Fungsi sejalan atau menyertai dengan wujud.

2. Periode II (1930-1939)

Perkembangan metode hubungan ruang, bentuk, bahan dan struktur tidak lagi

bersifat universal, akan tetapi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan tempat

atau lokasi dimana bangunan itu didirikan, dan dengan karakteristik daerah tersebut.

Karakteristik bentuk dan tampilan dengan gaya international style atau universal style

dari arsitektur modern pada peride ini diwarnai oleh tipe-tipe tampilan baru, yaitu

tampilan dengan memperhatikan penggunaan bahan-bahan lokal setempat.

3. Periode III (1949-1966)

Perancangan tidak hanya mempertimbangkan bagian dalamnya saja, tetapi

juga hubungannya dengan keadaan lingkungan bangunan tersebut akan berdiri,

misalnya iklim. Bangunan yang tercipta mencerminkan hubungan yang erat dengan

teknologi. Hal ini terlihat dari penggunaan produk baru pada masa itu, seperti baja,

alumunium, metal dan beton pracetak.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


43

Dalam periode perkembangan arsitektur modern dapat disimpulkan ciri-ciri

dan karakteristik dari Arsitektur modern antara lain: (1) Terlihat memiliki

keseragaman dalam penggunaan skala manusia. (2) Bangunan bersifat fungsional,

yaitu sebuah bangunan dapat mencapai tujuan semaksimal mungkin, bila

dipergunakan sesuai dengan fungsinya. (3) Bentuk bangunan sederhana dan bersih

yang berasal aliran kubisme dan abstrak (4) Memperlihatkan konstruksi. (5)

Pemakaian bahan pabrik atau industrial yang diperlihatkan secara jujur dan tidak

diberi ornamen. (6) Interior dan eksterior bangunan terdiri dari garis-garis vertikal

dan horizontal. (7) Konsep open plan, yaitu konsep yang membagi dalam bentuk

elemen-elemen struktur primer dan sekunder yang bertujuan untuk mendapatkan

fleksibilitas dan variasi di dalam bangunan

Indonesia merupakan salah satu negara yang juga terkena pengaruh gaya

Arsitektur Modern. Hal ini terjadi terutama karena pada masa perkembangan

Arsitektur Modern, Belanda yang termasuk bangsa Barat sedang menjajah Indonesia.

Prinsip Arsitektur Modern di Indonesia menyesuaikan keberadannya, dengan

karakter sebagai berikut : (1) Terfokus pada fungsi ruang yang terbentuk dari pola

aktivitas penghuni didalamnya, (2) Terfokus pada material bangunan yang digunakan

untuk menciptakan hasil akhir bernilai estetika yang diinginkan, (3) Analogi mesin

dalam penyusunan dan pengembangan ruang, (4) Menghindari ornamen pada

bangunan dan (5) Penyederhanaan bentuk.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


44

2.5 Kerangka Teori

Berikut teori-teori yang menjadi acuan dalam penelitian (Gambar 2.20):

Menurut Hadjad dkk (1984)


Karakteristik Arsitektur Tradisional Aceh :
1. Terdiri 3 bagian; kolong, dinding, atap
2. Atap pelana sederhana dengan tulak
angen (penolak angin)
3. Lantai bagian tengah arah lebih tinggi
dari lantai di sebelah kiri dan kanan
4. Terdapat kolong yang tersusun dari tiang-
tiang
Menurut William Curtis (1985) : 5. Jendela di sisi depan dan samping
Regionalisme diharapkan dapat 6. Pintu selalu berada dibawah (lantai)
menghasilkan bangunan yang 7. Ornamen berbentuk flora, fauna, alam,
melebur atau menyatu antara dan unsur islami.
yang lama dan yang baru, antara 8. Memakai material dinding-lantai-tiang
kayu dan atap rumbia
regional dan universal.

Ciri Arsitektur Modern :


Menurut Wondoamiseno (1991) 1. Memiliki keseragaman dalam
pengkaitan antara Arsitektur penggunaan skala manusia
Masa Lampau (AML) dan 2. Bangunan bersifat fungsional
Arsitektur Masa Kini (AMK) : 3. Bentuk bangunan sederhana dan bersih
1. Tempelan elemen AML 4. Memperlihatkan konstruksi
pada AMK 5. Bahan pabrik atau industrial
2. Elemen fisik AML menyatu 6. Interior dan eksterior bangunan terdiri
di dalam AMK dari garis-garis vertikal dan horizontal.
3. Elemen fisik AML tidak 7. Konsep open plan
terlihat jelas dalam AMK
4. Wujud AML mendominasi
AMK
5. Ekspresi wujud AML
menyatu di dalam AML

3 syarat kesatuan dalam


komposisi Arsitektur :
 Dominasi
 Pengulangan
 kesinambungan

Gambar 2.20 Bagan Kerangka Teori

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


45

2.6 Penelitian Sejenis

Adapun penelitian sejenis yang pernah dilakukan adalah sebagai berikut :

Tabel 2.4 Penelitian Sejenis

Judul Tujuan Metode Hasil


Penelitian Penelitian Penelitian Penelitian
 Dominasi pemakaian bentuk Gapura
 Penelitian ini Gladag (sebagai karakteristik paling
Menemukenali corak
menggunakan paradigma menonjol) pada 42 sampel yang diteliti.
gaya arsitektur bangunan
“rasionalistik kualitatif”.  Jarak bangunan dari letak bangunan
Pengaruh dalam kasus bangunan
Wilayah penelitian Kraton inti tidak mempengaruhi tingkat
arsitektur kantor pemerintah dalam
berada di Kota Surakarta pemakaian bentuk Gapura ini.
keraton kaitannya dengan
(5 Kecamatan)  Pemakaian ornamen Kraton hanya
kasunan arsitektur tradisional Jawa
 Menggunakan metode ditemui pada bangunan kantor
Surakarta pada dalam hal ini budaya
survei untuk pemerintah pada skala kota yaitu
gaya arsitektur Kraton Kasunanan
mengumpulkan data Balaikota dan DPRD yang merupakan
bangunan Surakarta sebagai salah
lapangan semua pusat pemerintahan Kota Solo saat.
kantor satu nilai yang diduga
pemerintah di dapat berpengaruh pada
bangunan kantor  Pengaruh arsitektur Kraton pada gaya
pemerintah yang ada di arsitektur bangunan kantor pemerintah di
kota Surakarta. pembentukan gaya
kota Surakarta, Kota Surakarta paling menonjol adalah
2007. arsitektur bangunan
Yogyakarta.Sur kantor pemerintah sebagai  Variabel yang dikaji pada pemakaian elemen bangunan Kraton
yaning salah satu identitas kota gaya arsitektur bangunan yang diaplikasikan pada bangunan
Setyowati. Surakarta yang kental meliputi fasad atau kantor pemerintah, dalam hal ini bentuk
dengan budaya tradisional wajah, bentuk, Gapura Gladag dan pengaplikasiannya
Jawa. penampilan, ornamen didasari oleh p emahaman karakter
dan seting bangunan budaya Jawa dan keinginan untuk
menciptakan citra image kota Solo

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


46

Tabel 2.4 (Lanjutan)

Judul Tujuan Metode Hasil


Penelitian Penelitian Penelitian Penelitian
Penggunaan Mengidentifikasi Metode yang digunakan  Berdasarkan hasil temuan penelitian
Langgam keberadaan langgam dalam penelitian adalah ini maka dapat disimpulkan bahwa
Rumoh Aceh Aceh yang di metode mixed-method terdapatnya penga-bungan antara
pada Bangunan aplikasikan pada (Creswell, 2008) dengan arsitektur modern dan arsitektur
Perkantoran di bangunan perkantoran di pengumpulan data secara tradisional rumah Aceh pada bangunan
Kota Banda Kota Banda Aceh. random- purposive perkantoran di Banda Aceh.
Aceh.2016. Bangunan yang sampling. Data diambil  Karakter fisik khas rumoh aceh seperti
Temu Ilmiah dijadikan objek melalui survei online penggunaan ornamen khas aceh, tulak
Iplbi. Saiful penelitian Bangunan terhadap masyarakat Aceh angen, tameh, seuramoe rambat, Toi
Anwar Kantor Gubernur, dengan usia res-ponden 20- dan Rhoek, bentuk atap diterapkan
Kantor DPRA, Kantor 60 tahun. Setelah Bangunan secara lansung di ba-ngunan Kantor
Walikota Banda Aceh, terpilih maka dilakukan Gubernur, Kantor DPRA, Kantor Bank
Kantor Bank Syariah observasi lansung Syariah Mandiri dan Bank Mandiri.
Mandiri dan Kantor dilapangan. Kantor Walikota Banda Aceh tidak
Bank Mandiri menggunakan penerapan secara fisik.

Arsitektur  Penelitian deskriptif  Perubahan ketinggian/kemiringan atap


Tradisional dengan Variabel yang kantor tidak dipengaruhi oleh adanya
Bugis diteliti adalah perubahan strata sosial melainkan hanya dipandang
Makassar Mengetahui perubahan atap yaitu a) perubahan dari sisi estetika dan kemampuan
(Survei pada arsitektur bentuk atap, b) perubahan perencana mengombinasikan struktur
Atap Bangunan tradisional Bugis warna atap, c) perubahan atap tersebut.
Kantor di Kota Makassar pada atap susunan timpalaja, dan d)
Makassar). bangunan kantor di Kota perubahan ketinggian
2014 Makassar yang atap.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


47

Tabel 2.4 (Lanjutan)

Judul Tujuan Metode Hasil


Penelitian Penelitian Penelitian Penelitian
Makassar . terdiri atas: a) bentuk  Sample penelitian  Perubahan ketinggian/kemiringan atap
Rahmansah dan atap, b) warna atap, berupa Bangunan tersebut didasari oleh budaya dan tradisi
Bakhrani Rauf . c) susunan timpalaja, kantor di kota Makasar yang melekat pada masyarakat Bugis
dan d) yaitu kantor Gubernur Makassar. Selain itu juga diwarnai
ketinggian/kemiringan Provinsi Sulawesi dengan kemampuan perencana,
atap. Selatan, kantor DPRD pelaksana.
Provinsi Sulawesi
Selatan, kantor DPRD
Kota Makassar, dan
kantor PT. PELNI
Cabang Makassar.
 Mengkaji transformasi Metode yang  Bangunan Kantor Walikota Bandung
dalam penerapan unsur digunakan dalam teori memiliki tipe bentuk arsitektur Nusantara.
kearifan lokal (local Transforming Tradition ini Implementasi system konstruksi yang ada
genius) pada gedung sebagai parameter merupakan kajian sistem konstruksi pada
Balaikota Bandung. pengendali untuk melihat bangunan tradisional setempat dengan
Kajian bentuk disesuaikan dengan nilai-nilai teknologi
Penerapan transformasi dari teori modern.
Konsep Transforming Tradition  Mengkombinasi unsur-unsur tradisional
Kearifan Lokal adalah metode ATUMICS. (dekorasi dan konstruksi) dengan material
Pada Artefact- Technique – natural seperti kayu dan batu alam. Hal
Perancangan Utility- Material-Icon- tersebut menjadi media penerjemahan
Arsitektur Concept-Shape. yang saling berkesinambungan dari
Balaikota bangunan tradisional ke bangunan di masa
Bandung.2014 sekarang.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


48

Tabel 2.4 (Lanjutan)

Judul Tujuan Metode Hasil


Penelitian Penelitian Penelitian Penelitian
Bandung. Mira  Mengkaji bagaimana Prinsip utama metode  Interpretasi desain dilakukan dengan
Zulia Suriastuti pencapaian konsep ATUMICS adalah tentang memasukkan unsur tradisional kedalam
, Deddy kearifan lokal pengaturan, kombinasi, modernitas bangunan
Wahjudi dan diterapkan pada integrasi, atau campuran  Nilai sejarah dan estetika sudah diaplikasi
Bagus perancangan antara unsur-unsur dasar di bangunan Kantor Walikota Bandung,
Handoko. arsitektur dan interior tradisi dengan modernitas. yang keberadaannya menjadi salah satu
di Gedung Balaikota pendukung pertumbuhan nilai-nilai
Bandung. budaya lokal. Adanya pengaruh kuat gaya
Art Deco tidak serta-merta meninggalkan
ciri khas tradisional Jawa Barat lainnya.
Bahkan menjadi salah satu bagian.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Bentuk penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif yang bertujuan

untuk meneliti suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu

peristiwa pada masa sekarang untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan

secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan

antar fenomena yang diselidiki. Objek yang diamati adalah bangunan yang akan

dijadikan studi kasus dalam penelitan Pengaruh Arsitektur Tradisional Aceh pada

Bangunan Kantor Pemerintahan yaitu Bangunan Kantor Walikota Lhokseumawe.

Hasil analisis dari penelitian ini dapat menemukan penerapan Arsitektur Tradisional

pada bangunan kantor Walikota Lhokseumawe. Hal ini dilakukan dengan cara

mengkaji karakteristik Arsitektur Tradisional Aceh serta karakteristik Arsitektur

Modern yang kemudian dikaitkan dengan Arsitektur Regionalisme.

Di dalam proses pelaksanaan suatu penelitan, hendaknya penelitian dilakukan

secara sistematis atau mengikuti langkah yang teratur. Penelitian yang dilakukan

dengan mengikuti langkah yang teratur, diharapkan mampu menjawab permasalahan

penelitian dan tercapainya tujuan dari penelitian ini Adapun langkah-langkah yang

dilakukan peneliti dalam melakukan penelitian (Tabel 3.1) mengenai Pengaruh

Arsitektur Tradisional Aceh terhadap bangunan kantor pemerintahan di kota

Lhokseumawe yaitu :

49
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
50

Tabel 3.1 Langkah Penelitian

Kegiatan yang dilakukan Instrumen yang


digunakan
Dokumentasi gambar fisik bangunan
dengan cara mengamati kondisi objek Kamera
penelitian pada saat ini
Mengumpulkan informasi mengenai
karakteristik Arsitektur Tradisional yang
terdapat pada lokasi penelitian, khususnya Literatur
Arsitektur Tradisional Aceh;
Langkah- Mengumpulkan informasi mengenai
langkah arsitektur apa saja yang mempengaruhi Literatur
Bangunan Kantor walikota Lhokseumawe
penelitian
Melakukan perbandingan antara hasil yang
didapat dari lapangan dengan literatur,
sehingga didapatkan hasil bagaimana Analisa Penulis
penerapan Arsitektur Tradisonal Pada
Bangunan Kantor Walikota Lhokseumawe

Membuat kesimpulan tentang penerapan


Arsitektur Tradisonal Pada Bangunan
Analisa Penulis
Kantor Walikota Lhokseumawe pada
bagian Wujud dan Elemen Fisik Arsitektur

3.2 Variabel Penelitian

Variabel penelitian merupakan berbagai hal yang ditetapkan oleh peneliti

untuk dipelajari, sehingga dapat diperoleh sebuah informasi mengenai data yang

dibutuhkan untuk dianalisa dan didapat kesimpulan. Variabel tersebut perlu

didefinisikan dengan jelas, sehingga dapat memudahkan dalam pengaplikasiannya.

Pengolahan data dilakukan dengan mencari dan mengumpulkan berbagai variabel

yang berhubungan dengan objek penelitian.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


51

Pemilihan variabel penelitian dilakukan berdasarkan berbagai teori/pendapat

yang telah di kutip pada Bab II Kajian Pustaka. Variabel tersebut diharapkan dapat

mempermudah untuk melakukan pengelompokan data (Tabel 3.2).

Tabel 3.2 Variabel Penelitian


Teori Variabel Parameter

Karekteristik Arsitektur Tradisonal


Aceh : (1) Terdiri 3 bagian; kolong,
dinding, atap, (2) Atap pelana
sederhana dengan tulak angen
(penolak angin), (3) Lantai bagian
Arsitektur yang tengah arah lebih tinggi dari lantai
Lama di sebelah kiri dan kanan, (4)
(Arsitektur Terdapat kolong yang tersusun dari
Tradisional) tiang-tiang, (5) Jendela di sisi
depan dan samping, (6) Pintu selalu
Menurut William Curtis berada dibawah (lantai), (7)
(1985) : Regionalisme Ornamen berbentuk flora, fauna,
diharapkan dapat alam, dan unsur islami, (8)
menghasilkan bangunan yang Memakai material dinding-lantai-
melebur atau menyatu antara tiang kayu dan atap rumbia
yang lama dan yang baru,
antara regional dan universal. Karakteristik Arsitektur Modern:
(1)Memiliki keseragaman dalam
penggunaan skala manusia, (2)
Arsitektur yang Bangunan bersifat fungsional, (3)
Baru Bentuk bangunan sederhana dan
(Arsitektur bersih, (4) Memperlihatkan
Modern) konstruksi, (5) Bahan pabrik atau
industrial, (6) Interior dan eksterior
bangunan terdiri dari garis-garis
vertikal dan horizontal dan (7)
Konsep open plan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


52

Tabel 3.2 (Lanjutan)

Teori Variabel Parameter

Selain wujud, ada beberapa ciri-ciri


Menurut Wondoamiseno visual yang menunjukkan bentuk
(1991) pengkaitan antara Wujud yaitu(1) Orientasi Bangunan, (2)
Arsitektur Masa Lampau Arsitektur Proporsi Bangunan,
(AML) dan Arsitektur Masa (3)WarnaBangunan dan(4) Material
Kini (AMK) berupa : (a) Bangunan
Tempelan elemen AML pada
AMK, (b) Elemen fisik AML
menyatu dalam AMK, (c) Elemen fisik merupakan pembentuk
Elemen fisik AML tidak karakter visual yang berkaitan erat
terlihat jelas di dalam AMK, dengan elemen fasade yaitu:(1)
(d) Wjud AML mendominasi Elemen Fisik
Entrance Bangunan, (2) Atap
AMK dan (e) Ekspresi wujud Arsitektur
Bangunan,(3) Dinding bangunan,
AML menyatu didalam AMK (4) Pintu dan Jendela Bangunan
serta (4) Ornamen Bangunan

3.3 Metoda Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan cara-cara yang dapat digunakan oleh

peneliti untuk mengumpulkan data. Data yang diperoleh digunakan untuk membantu

peneliti dalam melakukan penelitiannya. Tahap pengumpulan data terdiri dari

pengumpulan data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan

dengan melakukan survei dan observasi.

3.3.1 Data primer


Data primer merupakan data pokok yang didapat langsung dari objek

penelitian, yakni data kualitatif. Data kualitatif adalah data yang tidak terukur secara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


53

nominal (data fisik bangunan, yang meliputi unsur pembentuk Arsitektur Traditional

Aceh), serta kondisi bangunan. (Tabel 3.3)

Tabel 3.3 Jenis Data Primer

Jenis Sumber Kegunaan


Data Primer Data Primer Data Primer
Data fisik Literatur terkait
bangunan Untuk mengetahui wujud
Hasil survei
Jenis Survei dan elemen fisik
Primer Data bangunan bangunan sebagai penentu
Perkembangan Literatur terkait pengaruh Arsitektur
fisik bangunan Tradisional Aceh pada
Hasil survei
bangunan
Data bangunan

Proses pengumpulan data primer dilakukan dengan metode observasi

lapangan. Observasi dilakukan dengan cara peneliti melakukan pengamatan secara

langsung ke lokasi objek penelitian, yakni Kantor Walikota Lhokseumawe.

Pengamatan ini untuk memperoleh gambaran secara langsung mengenali

lokasi objek penelitian, dan untuk mengetahui kondisi fisik bangunan. Observasi

lapangan ini dilakukan dengan melakukan pengambilan gambar (visual) dengan

menggunakan kamera digital, terdiri dari gambar fasade bangunan, kawasan disekitar

bangunan, dan interior bangunan. Dengan melakukan pengambilan gambar bertujuan

juga untuk mengetahui berbagai aktifitas dalam bangunan yang dapat digunakan

dalam menganalisa pengaruh Aristektur Tradisional Aceh.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


54

3.3.2 Data sekunder

Data sekunder merupakan data pelengkap yang berisi mengenai hal-hal yang

dapat mendukung dan mempunyai hubungan dengan data primer. Data sekunder juga

berfungsi sebagai bahan arahan dan pertimbangan dalam proses komparasi. Data

sekunder tersebut antara lain: Arsitektur Tradisional Aceh, Arsitektur Modern serta

Arsitektur Regionalisme (Tabel 3.4).

Tabel 3.4 Jenis Data Sekunder

Jenis Data Sumber Kegunaan


Sekunder Data Sekunder Data Sekunder

Mengetahui karakter
Arsitektur Arsitektur Tradisional Aceh :
Tradisional bentuk panggung, orientasi,
Aceh material kayu, ornamen dan
teknologi tradisional
Jenis Survei
Sekunder
Data literatur Mengetahui ciri arsitektur
Arsitektur modern, serta
Modern perkembangannya di
indonesia
Mengetahui pengkaitan
Arsitektur antara Arsitektur Tradisional
Regionalisme (AML) dan arsitektur
Modern (AMK)

3.4 Gambaran Umum Objek Penelitian

Kota Lhokseumawe merupakan salah satu kota yang menjadi bagian wilayah

Propinsi Aceh yang terletak di antara 5°7′ Lintang Utara dan 97°2′ Bujur Timur

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


55

dengan ketinggian rata-rata 13 meter diatas permukaan laut (Gambar 3.1). Posisi Kota

Lhokseumawe berada di antara Kota Banda Aceh dan Medan. Sejak terbentuk pada

tanggal 21 Juni 2001, Lhokseumawe ditetapkan statusnya menjadi kotamadya

berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2001. Pada awalnya Kota

Lhokseumawe menjadi bagian dari kabupaten Aceh Utara, dimana kota

Lhokseumawe ditetapkan sebagai kota administratif dari kabupaten Aceh Utara.

Gambar 3.1 Lokasi Kota Lhokseumawe


Sumber : Google.map

Luas wilayah Kota Lhokseumawe adalah 181,06 Km². Secara administratif

Kota Lhokseumawe terdiri dari 4 kecamatan dan 68 Desa/kelurahan. Batas-batas

wilayah Kota Lhokseumawe, sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah

Selatan dengan Kecamatan Kuta Makmur (Aceh Utara), sebelah Timur dengan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


56

Kecamatan Syamtalira Bayu (Aceh Utara), dan sebelah Barat dengan Kecamatan

Dewantara (Aceh Utara).

Gambar 3.2 Lokasi Kantor Walikota Lhokseumawe

Kantor Walikota merupakan kantor administratif utama bagi pemerintahan

kota tempat dimana kepala daerah melaksakan tugas dan wewenang dalam

memimpin penyelenggaraan daerah. Gedung Kantor Walikota Lhokseumawe

terletak di jalan Merdeka 1 no 2 kota Lhokseumawe (Gambar 3.2), berada dikawasan

perkantoran. Di sebelah kiri dan kanan gedung Kantor Walikota bersebelahan dengan

Kantor Pos dan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara. Gedung ini merupakan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


57

gedung yang dibangun khusus untuk Kantor Walikota setelah pemekaran kota ini dari

Kabupaten Aceh Utara.

3.5 Metoda Analisa Data

Metoda analisa data merupakan suatu alat yang digunakan dalam pembahasan

dan penyelesaian rumusan masalah yang bertujuan untuk mendapatkan suatu

kesimpulan. Analisis data yang dilakukan dalam Pengaruh Arsitektur Tradisional

Aceh pada bangunan kantor pemerintahan ini menggunakan analisis kualitatif.

Metode pendekatan menggunakan deskriptif analisis (pemaparan kondisi), dengan

menggunakan penjelasan data berupa kondisi objek penelitian yang telah diperoleh

melalui hasil survei lapangan, yaitu pengamatan. Dari hasil survei lapangan tersebut

akan ditemukan kemungkinan adanya Pengaruh Arsitektur Tradisional Aceh pada

bangunan Kantor Walikota, ditinjau dari wujud dan Elemen Fisik arsitektur berupa :

Bentuk bangunan, Ornamen, orientasi, material, proporsi serta warna pada bangunan.

Beberapa aspek yang akan dilakukan analisis menggunakan metode deskripsi analisis

ini yaitu :

1. Kaitan antara Arsitektur Tradisional Aceh pada bangunan Kantor Walikota

Lhokseumawe

Analisis bangunan dilakukan dengan melihat keterkaitan antara Arsitektur

Tradisional yang diwakili oleh Arsitektur Masa Lampau (AML) dengan Bangunan

Kantor Walikota Lhokseumawe sebagai bagian dari Arsitektur Masa Kini (AML)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


58

melalui teori Wondoamiseno. Keterkaitan Antara AML pada AMK dilihat dari

Tempelan elemen AML pada AMK, Elemen fisik AML menyatu di dalam AMK,

Elemen fisik AML tidak terlihat jelas dalam AMK, Wujud AML mendominasi AMK

seta Ekspresi wujud AML menyatu di dalam AML

2. Pengaruh Arsitektur Tradisional Aceh pada bangunan Kantor Walikota

Lhokseumawe

Pada tahap ini bertujuan untuk mengetahui wujud dan elemen fisik Arsitektur

Tradisional Aceh pada Kantor Walikota Lhokseumawe. Dalam tahap ini diperlukan

(1) analisis mengenai wujud Arsitektur Tradisional Aceh pada Kantor Walikota

Lhokseumawe berupa: orientasi bangunan, material, proporsi, dan warna. (2) analisis

mengenai elemen fisik Arsitektur Tradisional Aceh pada Kantor Walikota

Lhokseumawe berupa: atap, entrance, dinding, pintu dan jendela serta ornamen.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB IV

PEMBAHASAN DAN HASIL

Kantor Walikota Lhokseumawe merupakan sebuah bangunan yang

dipergunakan sebagai kantor administrasi bagi pemerintahan kota Lhokseumawe.

Bangunan Kantor Walikota ini dibangun pada tahun 2002, sebagai gedung

administrasi pemerintahan kota setelah Lhokseumawe menjadi kotamadya pada tahun

2001. Sebelummnya Lhokseumawe menjadi bagian dari kabupaten Aceh Utara yang

memiliki bangunan kantor administrasi daerah yaitu kantor bupati Aceh Utara.

Setelah berpisah dengan Aceh Utara, kota Lhokseumawe membangun kantor

pemerintahan sendiri, yaitu Kantor Walikota Lhokseumawe.

4.1 Kaitan Arsitektur Tradisional Aceh pada Bangunan Kantor Walikota

Lhokseumawe

Dalam menganalisa kaitan Arsitektur Tradisonal Aceh Pada Bangunan Kantor

Walikota Lhokseumawe akan dibahas menurut teori Wondoamiseno (1991) yaitu

kemungkinan-kemungkinan pengkaitan antara Arsitektur Masa Lampau (AML) dan

Arsitektur Masa Kini (AMK) adalah (1) Tempelan elemen AML pada AMK, (2)

Elemen fisik AML menyatu di dalam AMK, (3) Elemen fisik AML tidak terlihat jelas

dalam AMK, (4) Wujud AML mendominasi AMK, (5) Ekspresi ujud AML menyatu

di dalam AML.

59
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
60

4.1.1 Wujud Arsitektur Tradisional Aceh pada bangunan kantor walikota

Lhokseumawe

4.1.1.1 Orientasi bangunan

Pada sebuah bangunan, orientasi memiliki makna pada keberadaan sebuah

bangunan dalam tapak. Orientasi bangunan memiliki peranan yang penting dalam

menentukan kenyamanan dalam bangunan akibat dari pergerakan matahari terhadap

tapak. Selain itu juga orientasi suatu bangunan ditentukan dari nilai-nilai kepercayaan

suatu daerah. Kepercayaan masyarakat Aceh terhadap agama Islam memberikan

pengaruh terhadap orientasi bangunan tradisionalnya. Orientasi Arsitektur Tradisional

Aceh letaknya membujur dari Timur ke Barat. Hal ini diyakini dengan posisi seperti

ini bangunan senantiasa akan menghadap ke arah Barat yang merupakan arah kiblat

ibadah shalat. Disamping itu faktor alam berupa arah angin di Aceh yang bertiup dari

arah Timur ke Barat atau sebaliknya juga menjadi pertimbangan yang menyebabkan

arah orientasi bangunan Rumah Tradisional Aceh membujur dari Timur ke Barat.

Bangunan Kantor Walikota Lhokseumawe memiliki orientasi bangunan

kearah jalan utama yang berada di depan bangunan. Pencapaian menuju bangunan

langsung masuk kebangunan tanpa perlu memutar karena pencapain menuju

bangunan terlihat dari arah jalan utama. Kondisi ini membuat orientasi bangunan

Kantor Walikota kearah Selatan. Orientasi bangunan seperti ini sama halnya dengan

orientasi pada Rumah Tradisional Aceh yang bagian panjang bangunan menghadap

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


61

arah Utara ataupun Selatan. Arah depan bangunan Kantor Walikota Lhokseumawe

yang menghadap Selatan sehingga bangunan ini posisnya membujur dari Timur ke

Barat (Gambar 4.1).

Orientasi rumah tradisional Aceh


membujur dari Timur ke Barat

Orientasi bangunan
Kantor Walikota
menghadap arah
U selatan

Gambar 4.1 Orientasi Bangunan Kantor Walikota


Sumber : Analisa penulis, 2019

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


62

Dari segi pengaruh iklim orientasi seperti ini, juga mempengaruhi

kenyamanan penggunan bangunan dengan sisi panjang bangunan menghadap Utara

dan Selatan dan sisi terpendek bangunan menghadap Timur dan Barat. Dengan

orientasi seperti ini, membuat bangunan Kantor Walikota nyaman karena tidak

mendapat sinar matahai langsung dari arah Timur pada pagi hari dan Barat pada sore

hari.

Dalam kaitannya antara AML (Arsitektur Masa Lalu) pada AMK (Arsitektur

Masa Kini), wujud Arsitektur berupa orientasi dari Arsitektur Tradisional Aceh yang

menbujur dari Timur Ke Barat, sehingga Arah depan Bangunan Menghadap Selatan

ataupun Utara tidak mempengaruhi orientasi pada bangunan kantor walikota

lhokseumawe yang berorientasi kearah Selatan.

4.1.1.2 Proporsi bangunan

Menurut Ching (2007) proporsi menyangkut tentang hubungan dari bagian

satu dengan yang lainnya atau dengan keseluruhannya, atau bisa pula hubungan

antara satu obyek dengan obyek lainnya. Proporsi digunakan untuk membagi bidang

atau lahan tertentu dengan perbandingan rasio yang ideal sehingga desain memiliki

pembagian yang ideal baik untuk bagian-bagian detailnya maupun keseluruhannya.

Proporsi dapat terbentuk dari hubungan antara bagian-bagian suatu elemen, hubungan

antara elemen-elemen, serta hubungan antara elemen dan ruang secara keseluruhan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


63

Gambar 4.2 Proporsi Bangunan Kantor Walikota Lhokseumawe


Sumber : Analisa penulis, 2019

Proporsi pada bagian entrance yang digunakan pada bangunan Kantor

Walikota secara umum hampir terlihat sama dengan rumah Tradisional Aceh. Pada

bagian tampak depan Rumah Tradisional Aceh, bangunan di topang oleh tiang yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


64

berumlah 4 sama dengan yang di gunakan pada di Kantor Walikota, hanya saja jika

diperhatikan dari segi ukuran, maka akan terlihat perbedaannya. Jarak antar tiang

pada Kantor Walikota berjarak 3 meter dengan modul yang sama hampir di seluruh

bangunan. Sedangkan pada Rumah Tradisional Aceh jarak antar tiang berbeda-beda

sesuai dengan Gambar (4.2). Dengan mengunakan Rasio Perbandingan Lebar dan

Tinggi ( L:T ) akan terlihat bahwa rasio proporsi Rumah Tradisonal Aceh

menghasilkan perbandingan Lebar Bangunan dan Tinggi Bangunan 8 : 6.7 meter,

sedangkan rasio proporsi bangunan Kantor Walikota 9 : 12 meter.

Dalam kaitannya antara AML (Arsitektur Masa Lalu) pada AMK (Arsitektur

Masa Kini), Proprosi dari Arsitektur Tradisional Aceh berdasarkan hasil rasio

perbandingan Tinggi dan Lebar berbeda dengan proporsi yang digunakan pada

bangunan kantor walikota Lhokseumawe, sehingga proporsi dari Arsitektir

Tradisional Aceh tidak mempengaruhi bangunan kantor walikota.

4.1.1.3 Warna bangunan

Warna merupakan salah satu elemen penting dalam arsitektur. Sebuah objek

yang serupa tapi diberi sentuhan warna yang berbeda akan menimbulkan kesan yang

berbeda, karena setiap warna mempunyai karakter yang berbeda sehingga mampu

memberi efek secara psikologis bagi orang yang melihat. Untuk tidak terlihat

monoton, penggunaan warna-warna pada bangunan dapat dikombinasikan satu sama

lain.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


65

krem

Coklat

Hijau Putih Kuning

Merah Hitam

Gambar 4.3 Pengunnaan warna bangunan Kantor Walikota Lhokseumawe


Sumber : Analisa penulis, 2019

Secara umum penggunaan warna pada bangunan pada bangunan Kantor

Walikota menggunakan kombinasi warna krem pada seluruh bagian bangunan dan

warna coklat pada bagian ornamen di bawah atap. Penggunaa warna ini, terkesan

monoton tanpa adanya penggunaan unsur warna yang lain seperti yang terlihat pada

Rumah Tradisional Aceh yang menggunaka warna hitam, merah, hijau, kuning dan

putih yang menghiasi keseluruhan penampilan bangunannya (Gambar 4.3). Kesan

warna yang senada hampir sama penggunaannya seperti pada kebanyakan bangunan

yang begaya Arsitektur Modern menggunakan satu warna yang mendominasi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


66

keseluruhan bangunan. Penggunaan warna ini juga dimaksudkan menyesuaikan

dengan fungsi bangunan sebagai kantor pemerintahan yang bersifat formal.

Dalam kaitannya antara AML (Arsitektur Masa Lalu) pada AMK (Arsitektur

Masa Kini), warna dari Arsitektur Tradisional Aceh yang menggunakan warna-warna

yang khas daerah Aceh, sama sekali tidak mempengaruhi penggunaan warna pada

bangunan kantor walikota Lhokseumawe, yang keseluruhan bangunan didominasi

oleh satu warna saja.

4.1.1.4 Material bangunan

Material bangunan yang digunakan pada bangunan Kantor Walikota

mengunakan material dinding beton, atapnya bermaterialkan genteng metal serta

jendela-jendela kaca. Kesemuanya material menggunakan material pabrikasi dan

modern. Berbeda jauh dengan material bangunan yang digunakan pada Arsitektur

Tradisional Aceh yang masih menggunakan material yang terdapat di alam seperti

kayu dan bambu yang di pergunakan untuk membangun dinding, kolong dan atap

bangunan. Material atap pada Arsitektur Tradisional Aceh masih menggunakan daun

rumbia. Material bangunan yang digunakan pada aristektur tradisional Aceh tidak

diadopsi dikarenakan kemudahan dalam perawatan material sekarang ini dan juga

material yang dulu sekarang susah di dapatkan pada jaman sekarang ini.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


67

Genteng
Metal

Kaca dan
aluminium

Beton

Atap Rumbia

Kayu

Gambar 4.4 Material Bangunan Kantor Walikota Lhokseumawe


Sumber : Analisa penulis, 2019

Dalam kaitannya antara AML (Arsitektur Masa Lalu) pada AMK (Arsitektur

Masa Kini), penggunaan marerial yang berbeda antara Arsitektur Tradisional Aceh

dengan Bangunan Kantor walikota jelas menujukkan bahwa penggunaan material

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


68

bangunan kantor walikota Lhokseumawe didominasi oleh material bangunan yang

berkembang dengan saat ini sehingga tidak dipengaruhi oleh material yang di

gunakan pada arsitektur Tradisional Aceh yang masih menggunakan material alami.

4.1.2 Elemen fisik Arsitektur Tradisional Aceh pada bangunan kantor walikota

Lhokseumawe

4.1.2.1 Entrance bangunan

Entrance merupakan pintu masuk atau area yang pertama kali diakses dalam

memasuki sebuah bangunan. Entrance digunakan sebagai sirkulasi manusia kedalam

bangunan yang menghubungkan ruang luar dan dalam bangunan, sehingga

dibutuhkan pertanda yang jelas dan lebih menonjol dari bidang sekitarnya untuk

memperjelas keberadaan entrance jika dilihat dari jarak tertentu. Menurut Ching

(2000 ) jenis entrance dapat di kelompokkan Menjadi : (a) entrance Rata (b) entrance

Menjorok keluar dan (c) entrance Menjorok kedalam. Bentuk entrance yang berbeda

dari bidang sekitarnya akan membuat manusia yang akan melewati entrance merasa

yakin jika bangunan tersebut yang akan menjadi tujuan. entrance Menjorok keluar

akan membentuk sebuah ruang transisi, sedangkan entrance yang menjorok ke dalam

memberikan perlindungan dan menerima sebagian ruang eksterior menjadi bagian

dalam bangunan.

Pada Rumah Tradisional Aceh, entrance berada pada bagian kolong

bangunannya. Kolong pada rumah Tradisional Aceh dibangun tinggi diatas tiang-

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


69

tiang berbentuk bulat dengan jarak antara tanah ke lantai rata-rata mencapai 2 sampai

3 meter. Tiang-tiang yang membentuk kolong tersusun atas empat tiang yang berjajar

kebelakang dari arah Timur ke Barat ataupun sebaliknya. Pada bagian kolong

bangunan, terdapat area tangga masuk menuju Rumah Tradisional Aceh yang

letaknya berada pada bagian sebelah Selatan ataupun Utara. Jumlah anak tangga yang

ganjil bermakna bahwa setiap jumlah hitungan selalu ada hubungan dan pengaruhnya

dengan ketentuan langkah, rezeki, pertemuan dan maut. Jika anak tangga dibuat

ganjil, maka anak tangga yang terakhir jatuh pada hitungan pertemuan dan langkah

sehingga menguntungkan dalam kehidupan. Sebaliknya apabila anak tangga dibuat

genap, akan berakhir pada maut, maka penghuninya atau tamu pada rumah itu akan

selalu mendapat kecelakaan.

Entrance pada bangunan Kantor Walikota Lhokseumawe memiliki jenis

entrance yang menjorok kedalam akan membentuk sebagian ruang eksterior kedalam

area bangunannya. Bentuk entrance yang menjorok kedalam dengan ditopang 4 tiang

pada bagian depannya, seperti mengadopsi bentuk entrance pada rumah Tradisional

Aceh (Gambar 4.5). Penggunaan bentuk entrance Rumah Tradisionalnya Aceh tidak

langsung diaplikasi/duplikasi bentuknya kedalam bangunan kantor walikota

Lhokseumawe, sehingga hanya menjadi tempelan Arsitektur Masa Lalu (AMK) pada

Arsitektur Masa Kini (AMK). Akan tetapi penggunaan bentuk entrance Rumah

Tradisional Aceh melebur menjadi satu kesatuan dengan bentuk entrance bangunan

kantor walikota Lhokseumawe.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


70

Bentuk Entrance
pada Kantor
Walikota mendapat
pengaruh dari bentuk
Entrance pada
rumoh aceh.

Tampak
Selatan
Tampak Barat
dan Timur

Gambar 4.5 Entrance Bangunan Kantor Walikota


Sumber : Analisa penulis, 2019

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


71

Gambar 4.6 Jumlah tiang yang membentuk kolong


Sumber : Analisa penulis, 2019

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


72

Gambar 4.7 Letak pintu masuk pada kolong bangunan


Sumber : Analisa penulis, 2019

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


73

Bentuk tiang dan susunan tiang-tiang yang menbentuk entrance pada

bangunan Kantor Walikota Lhokseumawe juga mengadopsi bentuk dan susunan

tiang-tiang pada Rumah Tradisional Aceh, dengan bentuk tiang bulat dan tersusun

atas empat tiang sejajar (Gambar 4.6). Hal lainnya yang mengadopsi bentuk entrance

Rumah Tradisional Aceh yaitu akses tangga menuju kedalam bangunan Kantor

Walikota Lhokseumawe, dengan anak tangga berjumlah ganjil yaitu 5 anak tangga.

Perbedaanya hanya saja letak posisi tangga berada pada bagian tengah bangunan

kantor walikota, sedangkan Rumah Tradisional Aceh letak posisi tangga berada pada

bagian sebelah Selatan ataupun Utara.

Dalam kaitannya antara AML (Arsitektur Masa Lalu) pada AMK (Arsitektur

Masa Kini), elemen fisik berupa entrance Arsitektur Tradisional Aceh terlihat

menyatu dengan bangunan kantor walikota Lhokseumawe. Elemen fisik Arsitektur

Tradisional Aceh berupa entrance tidak hanya sekedar tempelan dari elemen

Arsitektur Tradisional Aceh pada bangunan kantor walikota Lhokseumawe, tetapi

bentuk entrance terlihat menyatu menjadi satu kesatuan dengan adanya pengulangan

dan dominasi dari bentuk tiang-tiang bulat, yang membentuk entrance Arsitektur

Tradisional Aceh. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa entrance Arsitektur

Tradisional Aceh mempengaruhi bangunan kantor walikota Lhokseumawe.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


74

4.1.2.2 Atap bangunan

Atap pada bangunan berfungsi sebagai kepala bangunan, penentu tampilan

suatu bangunan. Menurut Krier (1988), ada beberpa hal yang perlu diperhatikan

dalam pemilihan atap untuk menentukan tampilan bangunan yaitu : Bentuk atap,

kemiringan atap, warna atap serta bahan atap. Pemilihan Bentuk atap dengan

kemiringan, warna dan bahan yang sesuai akan mendukung perwujudan citra suatu

tampilan bangunan. Bentuk atap bangunan tradisional memiliki berbagai ragam

jenisnya sesuai dengan kebudayaan darerah tertentu. Pada Arsitektur Tradisional

Aceh, atapnya berbentuk pelana dengan kemiringan 30 derajat, berbahan dan warna

alami dari daun rumbia. Pada perkembangan jaman selanjutnya di era modern, atap

bangunan sudah lebih beragam bentuk, warna dan bahan atap yang digunakan untuk

tampilan bangunan.

Atap pada bangunan Kantor Walikota Lhokseumawe memiliki karakteristik

seperti bentuk atap pada Rumah Tradisional Aceh (Gambar 4.8) menggunakan bentuk

atap pelana. Akan Tetapi bentuk atap pelana seperti pada Rumah Tradisional Aceh

tidak diaplikasi ataupun diduplikasi begitu saja pada Kantor Walikota Lhokseumawe

melainkan adanya variasi dari bentuk atap pelana dengan dua bentuk tingkatan atap

dengan bentuk yang sama serta ukuran yang berbeda.

Dalam kaitannya antara AML (Arsitektur Masa Lalu) pada AMK (Arsitektur

Masa Kini), elemen fisik berupa bentuk atap Arsitektur Tradisional Aceh terlihat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


75

menyatu dengan bentuk atap bangunan kantor walikota. sehingga Arsitektur

Tradisional Aceh mempengaruhi bangunan kantor walikota Lhokseumawe. Bentuk

atap Pelana yang mendominasi keseluruhan Arsitektur Aceh sama dengan bentuk

atap pelana yang mendominasi bentuk atap bangunan kantor walikota, hanya saja

bentuk atap kantor walikota terbentuk dari pengulangan bentuk dari atap pelana

sehingga terjadi variasi bentuk, tidak hanya bentuk atap pelana yang monoton.

Bentuk Atap pelana rumoh Aceh pada bangunan


Kantor Walikota

Bentuk
Atap
pelana
rumoh
Aceh

Gambar 4.8 Atap Kantor Walikota Lhokseumawe


Sumber : Analisa penulis, 2019

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


76

4.1.2.3 Dinding bangunan

Dinding Bangunan merupakan Elemen fasade yang terdekat dengan pengguna

bangunan. Bagian terluas dari suatu fasade adalah dinding bangunan, jadi dinding

merupakan faktor penentu utama penilaian terhadap eksistensi bangunan. Kriteria dan

komponen penilaian pada dinding bangunan menurut Krier (1988) adalah : (a)

Proporsi Masif-Transparan pada Dinding, (b) Efek Vertikalitas - Horisontalitas pada

Dinding, (c) Warna Dinding (d) Bahan Dinding. Proporsi Masif-Transparan pada

Dinding memberikan penilaian efek visual yang ditampilkan oleh perbandingan

bukaan (transparan) dan dinding tertutup (massif). Pada dinding Efek Vertikalitas -

Horisontalitas memberikan penilaian mengenai efek visual yang dihasilkan oleh

konfigurasi unsur-unsur vertikal dan horizontal dari bidang fasad.

Pada rumah Tradisional Aceh, dinding didominasi warna hitam dengan

material alami dari kayu. Efek visual yang ditampilkan pada rumah Tradisional Aceh,

terlihat massif dengan lebih banyaknya dinding-dinding tertutup. Dari segi

perbandingan efek yang ditampilkan, dinding pada rumah Tradisional Aceh

cenderung vertikal, karena bentuk dinding didominasi dari kisi-kisi jendela dan juga

didukung oleh tiang-tiang kolong bangunan yang menghadirkan kesan tampilan

bangunan dengan efek vertikalitas.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


77

Tampak Selatan

Tampak Barat dan Timur Tampak Barat dan Timur


Rumoh Aceh

Tampak Utara
Gambar 4.9 Dinding pada bagian Barat dan Timur Rumah Tradisional Aceh
Sumber : Analisa penulis, 2019

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


78

Tampak Selatan

Tampak Barat dan Timur Tampak Utara dan


Selatan
Rumoh Aceh

Tampak Utara

Gambar 4.10 Dinding pada bagian Selatan dan Utara Rumah Tradisional Aceh
Sumber : Analisa penulis, 2019

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


79

Bangunan Kantor Walikota Lhokseumawe ini, berbentuk persegi panjang,

yang merupakan penambahan panjang atau lebar dari bentuk pesegi. Menurut Ching

(1996) bentuk persegi menghasilkan keteraturan dan juga kejernihan secara visual.

Bentuk yang teratur juga dipertegas dari bentuk fasad dan layout bangunan Kantor

Walikota yang simetri. Komposisi yang berpola simetri meletakkan fokusnya

ditengah, dan meletakkan unsur-unsurnya dibagian kiri dan kanan seimbang.

Komposisi berpola simetri memberikan kesan tertata rapi dan formal, sesuai dengan

fungsi bangunan sebagai kantor pemerintahan. Proporsi antara dinding massif dan

dinding transparan (berupa jendela dan pintu) seimbang pada tampilan bangunan

kantor walikota Lhokseumawe.

Tampilan luar bangunan Kantor Walikota Lhokseumawe menghadirkan ciri

arsitektur Rumah Tradisional Aceh. Pada setiap sisi dinding tampilan luar

bangunannya. Rumah Tradisional Aceh memiliki bentuk persegi panjang, membujur

dari Timur ke Barat, atapnya yang berbentuk pelana, memiliki ornamen serta di

topang oleh tiang-tiang berbentuk panggung (kolong).

Pada dinding bangunan bagian depan Kantor Walikota Lhokseumawe

memiliki arah Selatan, sehingga bangunan membujur dari Timur ke Barat, sesuai

dengan dinding Rumah Tradisional Aceh. Akan tetapi dinding bangunan bagian

Timur dan Barat pada Rumah Tradisional Aceh, ditampilkan pada dinding bangunan

bagian Utara dan Selatan pada bangunan Kantor Walikota. dinding bangunan bagian

Barat dan Timur Rumah Tradisional Aceh ditampilkan pada setiap dinding bangunan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


80

pada Kantor Walikota yaitu dinding bagian Utara, dinding bagian Selatan, dinding

bagian Timur dan dinding bagian Barat (Gambar 4.9). Begitu pula sebaliknya dinding

bagian Utara dan Selatan pada Rumah Tradisional Aceh ditampilkan pada setiap

dinding bagian bangunan Kantor Walikota (Gambar 4.10). Sehingga bentuk dinding

Rumah Tradisional Aceh mengadopsi dinding bangunan dari segala sisi pada

bangunan Kantor Walikota Lhokseumawe, walaupun tidak semua karakteristik

Rumah Tradisional Aceh pada tampak disetiap sisi yang diadopsi.

Dalam kaitannya antara AML (Arsitektur Masa Lalu) pada AMK (Arsitektur

Masa Kini), elemen fisik berupa bentuk dinding bangunan Kantor walikota

dipengaruhi oleh bentuk dinding dari Arsitektur Tradisional Aceh. Bentuk dinding

rumah Tradisional Aceh terlihat menyatu dengan bentuk dinding bangunan kantor

walikota. Pengulangan bentuk dari karakteristik Arsitektur Tradisional Aceh yang

sama disetiap sisi dinding bangunan mencoba menghadirkan Arsitektur Masa Lalu

(AML) pada Arsitektur Masa Kini (AMK) yaitu bangunan kantor walikota

Lhokseumawe.

4.1.2.4 Pintu dan jendela bangunan

Jendela merupakan salah satu bagian dari bangunan yang memiliki beberapa

fungsi. Tidak hanya fungsi ventilasi udara, jendela juga berfungsi sebagai

penghubung ke pemandangan diluar bangunan. Kehadiran jendela akan

meningkatkan keindahan bangunan, terlebih lagi dengan pemilihan bentuk jendela.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


81

Bentuk jendela yang beraneka ragam akan meningkatkan citra visual sebuah

bangunan. Pada Arsitektur Tradisional Aceh, jendela umumnya dibuat pada dinding

sebelah Barat dan Timur. Jendela ini merupakan jendela utama yang menyambut

udara bersih dan sinar mataharai pagi ke dalam rumah. Sedangkan jendela yang

dibuat pada dinding bagian Utara dan Selatan hanya berfungsi untuk menerangi

bagian dalam rumah.

Bukaan Model 1

ventilasi

Jendela Model 2 Jendela Model 3

Gambar 4.11 Jendela pada bangunan Kantor Walikota


Sumber : Analisa penulis, 2019

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


82

Jendela pada bangunan Kantor Walikota Lhokseumawe memiliki bentuk,

ukuran, dan desain yang beraneka ragam. Ada beberapa jenis desain bentuk jendela

pada bangunan Kantor Walikota (Gambar 4.11). Pada dasarnya keseluruhan bentuk

jendela hampir sama tetapi adanya variasi bentuk menjadikan tampilan jendela ini

berbeda. Keseluruhan jendela berbentuk persegi dan persegi panjang dengan variasi

penggunaan bentuk lengkungan pada baian atas jendela. Bentuk jendela pada Kantor

Walikota tidak mengadopsi bentuk jendela pada Arsitektur Tradisional Aceh.

Gambar 4.12 Bentuk lengkungan pada jendela Kantor Walikota


Sumber : Analisa penulis, 2016

Pintu merupakan elemen penting dalam bangunan yang menjadi akses untuk

keluar masuk bangunan. Pemilihan bentuk pintu yang tepat menjadikan bangunan

bernilai secara estetika. Menurut Krier (1988): Pintu memainkan peranan yang

menentukan dalam menghasilkan arah dan makna yang tepat pada suatu ruang.

Ukuran umum yang digunakan adalah perbandingan proporsi 1:2 atau 1:3. Ukuran

pintu selalu memiliki makna yang berbeda, misalnya pintu berukuran pendek untuk

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


83

masuk ke dalam ruangan yang lebih privat. Posisi sebuah pintu dapat dipengaruhi

oleh fungsi, bahkan pada batasan-batasan tertentu, yang memiliki keharmonisan

geometris dengan ruangan tersebut.

Gambar 4.13 Ventilasi pada Kantor Walikota Lhokseumawe


Sumber : Analisa penulis, 2019

Pada rumah tradisional Aceh, Tinggu pintu masuk sekitar 120-150 cm.

Dengan ketinggian yang tidak melebihi dahi manusia ini membuat siapapun yang

hendak masuk ke dalam Rumoh harus merunduk. Hal ini merupakan aturan turun

menurun yang berarti sebuah penghormatan kepada tuan rumah saat memasuki

rumahnya. Bentuk pintu pada bangunan Kantor Walikota Lhokseumawe memiliki

bentuk dan ukuran pintu seperti pada bangunan perkantoran lainnya , tidak ada detail

arsitektur yang menjadi ciri khas dari Arsitektur Aceh.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


84

Gambar 4.14 Bentuk Pintu masuk pada Kantor Walikota


Sumber : Analisa penulis, 2019

Dalam kaitannya antara AML (Arsitektur Masa Lalu) pada AMK (Arsitektur

Masa Kini), elemen fisik berupa pintu dan jendela bangunan kantor walikota

bervariasi jenisnya agar tidak terkesan monoton. Pengulangan bentuk jendela yang

terdapat pada bangunan kantor walikota membentuk suatu kesatuan yang

menciptakan suatu keharmonisan bentuk. Sama halnya dengan bentuk dan material

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


85

pintu yang digunakan pada bangunan kantor walikota. Sehingga bentuk pintu dan

jendela bangunan kantor walikota tidak dipengaruhi oleh arsitektur tradisional Aceh.

4.1.2.5 Ornamen bangunan

Ornamen merupakan elemen seni yang di tambahkan pada bangunan sebagai

suatu hiasan yang melekat pada bangunan. Ornamen pada bangunan berfungsi untuk

menambah estetika pada bangunan, selain itu ornamen juga mengandung simbol/

makna-makna tertentu dari kearifan budaya masyarakat setempat. Bentuk dari

ornamen berbagai macam ragam sesuai dengan budaya yang melekat pada masyarkat.

Motif ornament muali dari bentuk tumbuh-tumbuhan, hewan, keagamaan, geometri

maupun motif-motif yang berasal dari alam. Penerapan ornamen pada setiap

bangunan berbeda-beda sesuai dengan perkembangan budaya dari masyarakat.

Kantor Walikota Lhokseumawe juga mempunyai ornamen pada bangunan.

Ornamen pada bangunan Kantor Walikota ini mengadopsi dari ornamen budaya

masyarakat setempat, yaitu budaya Aceh. Pada Rumah Tradisional Aceh, penerapan

ornamen khas Aceh hampir diseluruh elemem bangunannya. Seperti pada bagian kisi-

kisi atap, tangga, dinding, jendela, pintu, dan juga tiang/ kolom pada bangunan.

pengaruh ornamen Aceh pada bangunan Kantor Walikota Lhokseumawe, terlihat

pada bagian kisi-kisi atap, dinrding, jendela dan juga kindang.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


86

a. Ornamen pada Tulak angen (kisi-kisi atap)

kisi-kisi atap atau tulak angen (tolak angin) pada bagian atap umunmnya

berfungsi sebagai sirkulasi udara masuk kedalam bangunan. Pada Rumah Tradisional

Aceh, tulak angen terdapat pada ujung atap pelana pada bagian timur dan Barat.

Jenis motif ornamen yang digunakan pada tulak angen dari motif kaligrafi, sulur

tumbuh-tubuhan denga bunga dan daunnya, hingga menggunakan motif-motif yang

terdapat di alam. Walaupun pada bagian elemen bangunan lainnya tidak memiliki

ornamen, tetapi hampir di setiap rumah orang Aceh, ornamen pada bagian tulak

angen ini diterapkan pada Rumah Tradisional Aceh dari rumah yang berbentuk

pangggung hingga rumah yang tidak lagi menggunakan bentuk panggung pada zaman

sekarang ini.

Pada bagian atap Kantor Walikota, dipengaruhi oleh ornamen pada kisi-kisi

atapnya, atau dalam bahasa Aceh di sebut tulak angen (tolak angin) seperti yang

digunakan pada Rumah Tradisional Aceh. Pengaruh pengunaan ornamen ini juga

sama pada ujung-ujung atap pelana, tetapi karena bentuk atap bangunan Kantor

Walikota ini kombinasi arah dari bentuk atap pelana, sehingga ornamen ini terlihat

dari arah Selatan, Utara, Barat atau pun Timur dari bangunan Kantor Walikota.

Secara makna penggunaan ornament pada bagian tersebut menjadi suatu identitas

dari Arsitektur Aceh. Walaupun pada bagian lain tidak mempergunakan ornament

Aceh, tapi hanya dengan adanya tulak angen pada bagian atap membuat sebuah

bangunan sudah dipengaruhi bentuk Arsitektur Tradisional Aceh.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


87

Gambar 4.15 Ornamen pada bagian Atap Kantor Walikota Lhokseumawe


Sumber : Analisa penulis, 2019

b. Ornamen pada Kindang

Ornamen bagian kindang pada Kantor Walikota Lhokseumawe, terletak pada

dinding luar pembatas antara lantai satu dengan lantai dua bangunan. Ornamen ini

berbentuk persegi dengan motif tumbuhan. Bentuk ornamennya tidak kelihatan

menonjol, dikarenakan bentuknya yang berada dalam kotak persegi dan juga

menggunakan warna yang sama dengan dinding bangunan. Pengaruh ornamen ini

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


88

pada dinding bangunan tidak penuh di semua dinding seperti pada ornamen dinding

pada Arsitketur Tradisional Aceh. Peletakan ornamen pada kindang di Rumah

Tradisional Aceh menyeluruh pada bagian antar kolong dengan dinding. Pada Kantor

Walikota, perletakan ornamen pada kindang mempunyai jarak, pada setiap

bagiannya.

Gambar 4.16 Ornamen pada bagian kindang Kantor Walikota Lhokseumawe


Sumber : Analisa penulis, 2018

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


89

c. Ornamen pada Tingkap (Jendela)

Pada bagian jendela, pengunaan ornamen terlihat dibagian jendela lantai 2 dan

pada lantai 3 saja. Ornamen pada jendela terletak pada bagian atas jendela, ornamen

tidak langsung menempel pada jendela, akan tetapi pada bagian sun shading dari

bentuk jendelanya. Motif ornamen pada bagian jendela ini, menggunakan motif

tumbuh-tumbuhan. Sama jenis motifnya dengan ornamen pada tulak angen.

Perbedaan material membuat penerapannya berbeda dengan ornamen pada jendela

Rumah Tradisional Aceh. Jendela pada Rumah Tradisional Aceh mengunakan

material kayu dan memiliki ukiran langsung pada daun jendelanya.

Gambar 4.17 Ornamen pada bagian jendela Kantor Walikota Lhokseumawe


Sumber : Analisa penulis, 2019

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


90

d. Ornamen pada Binteih (dinding)

Penggunaan ornamen pada dinding bangunan Kantor Walikota juga

dipenaruhi dari penggunaan ornamen pada dinding di Rumah Tradisional Aceh. Pada

Rumah Tradisional Aceh ornamen pada dinding berada pada dinding bagian atas

jendela, bentuk ornamen tidak massif, sehingga mealui ornamen dapat masuk sinar

matahari dan juga aliran udara. Pada Kantor Walikota, ornamen pada dinding hanya

pada area di bawah tulak angen saja.

Gambar 4.18 Ornamen pada bagian dinding Kantor Walikota Lhokseumawe


Sumber : Analisa penulis, 2019

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


91

Dalam kaitannya antara AML (Arsitektur Masa Lalu) pada AMK (Arsitektur Masa

Kini), elemen fisik berupa ornamen diterapkan pada Ornamen pada Tulak angen

(kisi-kisi atap), Ornamen pada Kindang, Ornamen pada Tingkap (Jendela) Dan

Ornamen pada Binteih (dinding) akan tetapi penggunaannya tidak sebanyak dan

sedetail yang di gunakan pada rumah tradisonnal aceh.

4.2 Pengaruh Arsitektur Tradisional Aceh pada Bangunan Kantor Walikota

Lhokseumawe

Berdasarkan analisa yang telah dilakukan tehadap wujud dan elemen fisik

Arsitektur Tradisional Aceh terhadap Kantor Walikota Lhokseumawe : wujud

Arsitektur Tradisional Aceh sama sekali tidak mempengaruhi bangunan Kantor

Walikota Lhokseumawe, dan hanya elemen fisik arsitektur berupa atap, dinding dan

ornamen Arsitektur Tradisional Aceh saja yang dominan mempengaruhi bangunan

Kantor Walikota Lhokseumawe.

Berikut ini adalah kesimpulan hasil pembahasan diatas :

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


92

Tabel 4.1 Wujud Arsitektur Tradisional Aceh pada Kantor Walikota Lhokseumawe

Unit amatan Arsitektur Tradisional Aceh Bangunan Kantor Walikota Kaitan dan
Penerapannya

Proporsi Bangunan Dipengaruhi oleh


Arsitektur Modern

Ukuran berbeda antar tiang/kolom Jarak antar kolom sama


Orientasi rumah tradisional Aceh Orientasi bangunan Kantor Walikota
membujur dari Timur ke Barat menghadap arah jalan Dipengaruhi oleh
Orientasi Bangunan
Arsitektur Modern

Dipengaruhi oleh
Material Bangunan
Arsitektur Modern

Kayu dengan atap rumbia Beton dengan atap genteng metal

Dipengaruhi oleh
Warna Bangunan
Arsitektur Modern
Menggunakan warna kream
Menggunakan warna : hitam, merah,
kunng dan hijau

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


93

Tabel 4.2 Elemen Fisik Arsitektur Tradisional Aceh pada Kantor Walikota Lhokseumawe

Unit amatan Arsitektur Tradisional Aceh Bangunan Kantor Walikota Hasil

Dipengaruhi oleh
Arsitektur Tradisional
Aceh

Entrance

Bangunan berbentuk panggung


sehingga bagian bawah Kolong bangunan hanya pada
bangunan berupa kolong bagian depan

Dipengaruhi oleh
Arsitektur Tradisional
Aceh
Atap

Bentuk atap menggunakan atap kombinasi dari penggunaan


pelana. atap pelana
Dipengaruhi oleh
Arsitektur Tradisional
Aceh
Dinding
Dinding Bagian Depan dan
Dinding bagian depan dan Samping kanan dan Kiri
Belakang Bangunan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


94

Tabel 4.2 (Lanjutan)

Unit amatan Arsitektur Tradisional Aceh Bangunan Kantor Walikota Hasil

Dipengaruhi oleh
Pintu
Arsitektur Modern
Pintu kayu
pintu kaca

Dipengaruhi oleh
Bentuk Jendela
Arsitektur Modern

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


95

Tabel 4.2 (Lanjutan)

Unit amatan Arsitektur Tradisional Aceh Bangunan Kantor Walikota Hasil

Dipengaruhi oleh
Bentuk Ventilasi
Arsitektur Modern

Ventilasi hanya berupa kisi-kisi


diatas jendela
Kindang

Dipengaruhi oleh
Arsitektur Modern
Adanya ornamen
Ornamen
Tingkap
(Jendela)
Dipengaruhi oleh
Arsitektur Modern
Ornamen pada luar sisi jendela
tidak menyatu dengan jendela,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


96

Tabel 4.2 (Lanjutan)

Unit amatan Arsitektur Tradisional Aceh Bangunan Kantor Walikota Hasil

Binteih Dipengaruhi oleh


(dinding) Arsitektur Modern
Adanya ornamen pada dinding
Ornamen

Tulak angen Dipengaruhi oleh


(kisi-kisi atap) Arsitektur Tradisional
Aceh

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari analisis yang telah dilakukan, kesimpulan yang didapat diantaranya:

1. Bentuk Bangunan Kantor Walikota Lhokseumawe merupakan

penyatuan/peleburan antara Arsitektur Tradisional Aceh dengan Arsitektur

yang berkembang saat ini (Arsitektur Modern).

2. Kaitan antara Arsitektur Masa Lalu (AML) pada Arsitektur Masa Kini (AMK)

dilihat dari wujud (Orientasi Bangunan, Proporsi Bangunan, Warna Bangunan

dan Material Bangunan) Arsitektur Aceh yang mempengaruhi bangunan

kantor walikota dan elemen fisik (entrance Bangunan, atap Bangunan,

dinding Bangunan, pintu dan jendela Bangunan serta ornamen Bangunan)

Arsitektur Aceh yang mempengaruhi Bangunan Kantor Walikota

Lhokseumawe

3. Tidak ada Wujud Arsitektur Masa Lalu (AML) mendominasi Arsitektur Masa

Kini (AMK) baik dari segi orientasi Bangunan, warna Bangunan, proporsi

Bangunan maupun material Bangunan yang digunakan pada bangunan kantor

walikota Lhokseumawe.\

4. Elemen fisik Arsitektur Masa Lalu (AML) menyatu di dalam Arsitektur Masa

Kini (AMK), terlihat dari Entrance Bangunan, Atap Bangunan, Dinding

97
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
98

Bangunan, serta Ornamen Bangunan yang digunakan pada bangunan kantor

walikota Lhokseumawe.

5. Pengaruh Arsitektur Tradisional Aceh pada bangunan Kantor Walikota dapat

terlihat pada :

a. entrance bangunan,

b. Bentuk atap bangunan,

c. Bentuk dinding bangunan, serta

d. Penggunaan ornamen bangunan seperti pada bagian kisi-kisi atap.

6. Dari segi wujud Arsitektur Tradisional Aceh berupa: material, proporsi,

orientasi dan warna sama sekali tidak mempengaruhi bangunan Kantor

Walikota Lhokseumawe. Wujud bangunan kantor walikota Lhokseumawe

lebih mendapat pengaruh dari arsitektur Modern dengan menggunakan

material pabrikasi serta penggunaa warna yang monoton.

5.2 Saran

Pada penelitian yang berjudul pengaruh Arsitektur Tradisional Aceh ini hanya

melihat pada salah satu objek bangunannya. harapan kedepannya tidaknya melihat

pengaruh Arsitektur Aceh pada satu objek, tapi dapat melihat pengaruh Arsitektur

Aceh pada semua bangunan perkantoran pemerintah di Aceh (khususnya kota

Lhokseumawe), sehingga dapat menemukan elemen Arsitektur Aceh yang paling

dominan mempengaruhi bangunan kantor pemerintahan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Saiful (2016) Penggunaan Langgam Rumoh Aceh pada Bangunan


Perkantoran di Kota Banda Aceh. Temu Ilmiah Iplbi.
Arif, Kamal A. (2008) Ragam Citra Kota Banda Aceh, Interpretasi Sejarah, Memori
Kolektif dan Arketipe Arsitekturnya. Banda Aceh: Penerbit Pustaka
Bustanussalatin
Arif, Kamal A (2015) Keluhuran Seni Arsitektur Rumoh Aceh. Seminar Nasional
Kriya: Inovasi Seni Kriya Berbasis Lokal Tradisi ISBI Aceh. akses 16
Agustus 2016
A. Musa, Sujiman, dkk (1996) Seni Rupa Aceh. Banda Aceh: Penerbit CV. Sepakat
Baru Darussalam
Budiharjo, Eko (1997) Jati Diri Arsitektur Indonesia. Bandung: Penerbit Alumni
Burhan, I., M, Antariksa, Meidiana, C (2008) Pola Tata Ruang Permukiman
Traditional Gampong Lubuk Sukon, Kabupaten Aceh Besar. Arsitektur
ejournal III(1): 172-189
Ching, Francis D.K. (2000). Bentuk, Ruang, danTatanan. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Curtis, W. (1985) Regionalism in Architecture. Singapura: Concept Media.
Couto, Nasbahary (2011) Masalah Regionalisme dalam Desain Arsitektur, Padang
Dharma, Agus. ‘Aplikasi Regionalisme Dalam Desain Arsitektur’. Fakultas Teknik
Sipil dan Perencanaan, Univ. Gunadharma jurnal pdf
Ferris, Pedro dan Junyandari, Rivhani (2013) Konteks Bangunan Tradisional pada
Bangunan Pemerintahan di Pontianak. KABOKA (konferensi Antar Universiti
Se Borneo Kalimantan Ke 7 2013) diakses 7 Juli 2016
Frampton, Kenneth (1994) Modern Architecture a Critical History, Thames and
Hudson, London
Hadjad, dkk (1984) Arsitektur Tradisional Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Kebudayaan Daerah
Hasbi, Rahil (2012). Modul Sejarah Arsitektur Dunia. Universitas
Mercubuana,Jakarta

99
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Hasjmy, Ali (1983) Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, Jakarta: Beuna.
Hoesin, Moehammad (1970) Adat Atjeh, Banda Atjeh: Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Atjeh,.
Hurgronje, Snouck C. (1906) The Acehnese, Translated by A.W.S. O’Sullivan, Vol.
I-II, Leyden.
Hurgronje, C. Snouck (1985) Aceh di Mata Kolonialis Jilid 1, Terjemahan- Ng.
Singarimbun, dkk, Jakarta: Yayasan Soko Guru.
Hurgronje, C. Snouck (1985) Aceh di Mata Kolonialis Jilid II-Terj Singarimbun,
Jakarta: Yayasan Soko Guru.
Jenks, C. (1977). The Language of Post Modern Architecture. New York: Rizolli.
Koentjaraningrat (1982) Manusia dan Kebudayaan. PT Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Koentjaraningrat (2000) Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineke Cipta.
Koesaerini.et.all (2002) Transformasi Arsitektur Nusantara. Seminar Arsitektur,
Unpublished. Departemen Arsitektur ITB, Bandung
Krier, Rob (2001). Komposisi Arsitektur, Erlangga. Jakarta
Leigh, Barbara. (1982). “Design Motifs in Aceh: Indian and Islamic Influences. In
The Malay Of Islamic World, edited by J Maxwell: Centre Of South East
Asian Studies, Monash University.
Leigh, B (1988) Tangan-tangan Trampil Seni Kerajinan Aceh. Pustaka Djambatan,
Jakarta
Mangunwijaya (1992). “Wastu Citra”. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama
Meutia, Erna (2017) Identifikasi Model Proporsi Bangunan Arsitektur Tradisional
Aceh. Prosiding Seminar Kearifan Lokal dan Lingkungan Binaan 25-26
Januari 2017
Messakh, Jeni (2014) Akulturasi Yang Mengedepankan Lokalitas Dalam Membentuk
Identitas Arsitektur Nusa Tenggara Timur. E-Journal Graduate Unpar Part D
– Architecture Vol. 1, No. 2 : 178 -188.
Mirsa Rinaldi (2013) Rumoh Aceh. Graha Ilmu. Yogyakarta
Moehammad Hoesin, (1970), Adat Atjeh, Dinas P dan K Propinsi Daerah Istimewa
Atjeh, Banda Atjeh

100
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Muchamad, Bani Noor dan Ikaputra (2010) Model Ekspresi Arsitektur. Seminar
Nasional : Metodologi Riset dalam Arsitektur .
Nazir Moh (2005) Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Bogor.
Nesbitt. Kate. Et.all (1995) Theorizing new Agenda for Architecture. Princeton Arch
press
Ozkan, Suha (1985) Regionalism within Modernism dalam Regionalism in
Architectur. Singapura. Concept Media.
Pangarsa, Galih Wijil (2006) Merah Putih Arsitektur Nusantara, Penerbit Andi
Offset, Yogyakarta
Peraturan Menteri PU No.45/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Pembangunan
Bangunan Gedung Negara
Prijotomo Josef (1998) Pasang Surut Arsitektur Indonesia. Wastu Lanas Grafika.
Surabaya
Putra, Riza Aulia dan Ekomadyo, Agus S (2015) Penguraian Tanda (Decoding) Pada
Rumoh Aceh Dengan Pendekatan Semiotika. Institut Teknologi Bandung
Rahmansah dan Rauf, Bakhrani (2014) Arsitektur Tradisional Bugis Makassar
(Survei pada Atap Bangunan Kantor di Kota Makassar). Makassar. Jurnal
forum Bangunan vol 12 no 2: 56-63
Rapoport, A. (1969). House Form and Culture. N.J: Englewood Cliffs
Sabila, Farisa (2014) Tipologi Tata Ruang Dalam Rumoh Aceh Di Kawasan Mukim
Aceh Lhee Sagoe: arsitektur e-Journal, Vol 7, No 1: 1-19.
Sabila, Farisa. (2014) pengaruh faktor non fisik terhadap pembentukan pola ruang
bangunan Rumoh Aceh di kabupaten Aceh Besar, fakultas teknik universitas
brawijaya
Said, Muhammad (1981) Aceh Sepanjang Abad Jilid I, Medan: Waspada
Said, Muhammad. (1985). Aceh Sepanjang Abad Jilid II, Medan: Waspada
Setyowati, Suryaning (2007) Pengaruh arsitektur keraton kasunan Surakarta pada
gaya arsitektur bangunan kantor pemerintah di kota Surakarta.Yogyakarta
Snyder, James C. Dan Anthony J. Catanese (1984) Pengantar Arsitektur, terj.
Hendro Sangkayo, ed. Yani Sianipar, Cetakan ke-9 2005, Jakarta: Penerbit
Erlangga.

101
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Suriastuti, Mira Zulia; Wahjudi, Deddy dan Handoko Bagus (2014) Kajian Penerapan
Konsep Kearifan Lokal Pada Perancangan Arsitektur Balaikota Bandung.
Bandung. Jurnal Itenas Rekarupa No 1 Vol 2: 122-128
Sumalyo Yulianto, (1997). Arsitektur Modern Akhir Abad XIX dan Abad XX. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta
Wahid, J. dan Alamsyah, B. 2013. Teori arsitektur: suatu kajian pemahaman Teori
Barat dan Timur. Graha Ilmu. Yogyakarta
Widosari (2010) Mempertahankan Kearifan Lokal Rumoh Aceh dalam Dinamika
Kehidupan Masyarakat Pasca Gempa dan Tsunami. Local wisdom-Jurnal
Ilmiah Online. Vo II. No 2: 27-36
Wondoamiseno, RA (1991) Regionalisme Dalam Arsitektur Indonesia Sebuah
Harapan. Yogyakarta: Penerbit Yayasan Rupaduta
Zainuddin H. M ,(1961). Tarich Aceh dan Nusantara Djilid 1, Medan: Pustaka

102
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Anda mungkin juga menyukai