TESIS
OLEH
NURKARISMAYA
147020012/AR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
TESIS
Oleh
NURKARISMAYA
147020012/AR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
JUDUL TESIS
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan
sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam
(Nurkarismaya)
i
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRACT
ii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang maha pengasih
lagi maha penyayang atas berkat rahmat Nya telah menjadi sumber kekuatan dan
inspirasi kepada penulis hingga terselesaikannya penelitian ini. Salawat dan salam
kepada nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari alam
jahiliyah ke alam islamiyah. Tesis ini merupakan syarat yang diwajibkan bagi
Arsitektur (Alur Riset) pada Universitas Sumatera Utara. Adapun Judul yang
diangkat dalam tulisan ini yaitu “Pengaruh Arsitektur Tradisional Aceh pada
Lhokseumawe)”.
bimbingan dari banyak pihak. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada seluruh
staf pengajar pada Magister Teknik Arsitektur Universitas Sumatera Utara. Penulis
menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besar nya kepada Ibu Ir. Nurlisa
Ginting, M.Sc, Ph.D, IPM sebagai Ketua Program Studi Magister Teknik Arsitektur
Universitas Sumatera Utara dan ibu Hilma Tamiami Fachrudin, ST, M.Sc, PhD
Utara. Pada kesempatan ini, dengan tulus dan kerendahan hati, penulis
iii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
pembimbing I bapak Dr. Ir. Nelson M. Siahaan, Dipl.TP, M.Arch dan bapak Firman
memotivasi, pengarahan dan waktu beliau kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis ini. Ucapan terimakasih juga taklupa penulis sampaikan sebesar-
besarnya kepada dosen penguji Bapak Dr. Imam Faisal Pane, ST, MT, IPM dan Ibu
Amy Marisa, ST, M.Sc, PhD atas masukan dan arahannya sehingga penelitian ini
angkatan 2014 yang telah memberikan dorongan, semangat, bantuan dalam melewati
suka duka selama hingga akhir pendidikan. Dengan segala hormat, kecintaan yang
dalam dan tulus kepada Bapak dan Ibu serta saudara(i) ku, yang telah memberikan
segala pengorbanan, dorongan, semangat, doa dan restunya selama penulis mengikuti
Pada akhirnya, penulis berharap agar tesis ini dapat berguna bagi pembaca
Nurkarismaya
NIM 147020012
iv
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Agama : Islam
RIWAYAT PENDIDIKAN
v
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ......................................................................................................... i
ABSTRACT ........................................................................................................ ii
DAFTAR ISI...................................................................................................... vi
vi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... . 9
vii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3.2 Variabel Penelitian ......................................................................... 50
viii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 97
ix
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR GAMBAR
x
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2.17 Pola Geometris pada Tradisional Aceh .................................................. 37
xi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4.14 Bentuk Pintu masuk pada Kantor Walikota ........................................... 84
xii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR TABEL
4.2 Elemen Fisik Arsitektur Tradisional Aceh pada kantor walikota ........... 93
xiii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB I
PENDAHULUAN
iklim dan teknologi yang ada. Dikarenakan memiliki ciri yang berbeda-beda sehingga
setempat. Arsitektur Tradisional sebagai suatu bentuk dari kebudayaan sangat erat
kaitannya dengan tradisi. Tradisi merupakan satu aturan atau kesepakatan yang
diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya yang didalamnya memuat suatu
norma dan nilai-nilai. Aturan tersebut akan tetap ditaati selama masih dianggap dapat
suatu konsep bangunan yang dikenal dengan konsep tradisional. Konsep tradisional
berkaitan dengan suatu rancangan bangunan yang bentuk atau pola tata ruangnya
mengadopsi budaya dari daerah itu sendiri baik dari aktifitas masyarakatnya maupaun
dari mata pencaharian mereka. Dari budaya tersebut muncullah sebuah karya
1
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2
budaya, pola hidup, dan nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat Aceh, sehingga
bentukan arsitektur tradisionalnya dapat terlihat pada “Rumoh Aceh” (Hoesin, 1970).
Rumoh Aceh merupakan wujud ekspresi keyakinan terhadap Tuhan dan adaptasi
Aceh terlihat pada bentuk rumah panggung yang ditopang oleh tiang-tiang yang
diatur sejajar, orientasi menghadap Utara dan Selatan, sehingga rumah membujur dari
kebutuhan, pola hidup, serta seluruh aspek kehidupannya manusia secara tidak
keadaan tradisional menuju kearah modern. Hampir setiap bangunan dalam kurun
waktu tertentu akan mengalami perubahan baik secara langsung maupun tidak
adat, budaya, kondisi alam dan material bangunan setempat. Dengan kemajuan
pada ciri kedaerahan. Ciri kedaerahan yang dimaksud berkaitan erat dengan budaya
setempat, iklim, dan teknologi pada saatnya (Ozkan, 1985). Gagasan regionalisme
merupakan peleburan antara yang lama dan yang baru (Curtis,1985). Sedangkan
dapat menghasilkan bangunan yang bersifat abadi, melebur atau menyatu antara yang
lama dan yang baru, antara regional dan universal. Arsitektur tradisional mempunyai
kemudian menjadi inspirasi desain arsitektur modern sebagai usaha untuk bertindak
lebih baik terhadap lingkungan. Usaha ini mendukung untuk menciptakan suatu
desain yang baik di Indonesia, hal ini umumnya diterapkan pada rancangan bangunan
kantor pemerintah, yang merupakan salah satu usaha untuk mengangkat ciri khas
setiap daerah dari segi karya arsitektur. Prijotomo (1998) menyatakan bahwa suatu
karya arsitektur dapat dirasakan dan dilihat sebagai karya yang bercorak lokal atau
Indonesia bila karya ini mampu untuk berikut : (1) Membangkitkan perasaan dan
suasana ke-Indonesiaan lewat rasa dan suasana lingkungan visual dan (2)
corak kedaerahannya, tetapi tidak hadir sebagai tempelan atau tambahan saja.
suatu daerah, tentu seharusnya memiliki ciri khas arsitektur yang disesuaikan dengan
studi kasus untuk melihat pengkaitan antara Arsitektur Masa Lalu (AML) pada
yang khas dan unik. Biasanya Arsitektur Tradisional di suatu daerah disesuaikan
dengan kondisi alam dan budaya setempat. Akibat dari kemajuan teknologi dan
modernisasi membuat nilai-nilai tradisi sebagai bagian dari bangsa Indonesia semakin
dengan semakin memudarnya tradisi tersebut dalam diri bangsa Indonesia, dapat
dilihat dalam berbagai aspek, salah satunya dalam bentuk arsitektur tradisional. Pada
mengandung nilai-nilai tradisi, namun sebagian besar sudah lebih memilih tipe desain
Salah satu cara untuk tetap mempertahankan ciri khas Arsitektur Tradisional
di zaman modern seperti sekarang ini adalah dengan menerapkan ciri kedaerahan
bangsa Indonesia, khususnya daerah Aceh pada bangunan modern. Untuk itu di
pilihlah objek bangunan pemerintahan daerah sebagai wujud identitas budaya di suatu
daerah. Kantor walikota Lhokseumawe dipilih sebagai studi kasus untuk melihat
kaitan Asitektur Tradisional Aceh pada Arsitektur yang berkembang saat ini.
Lhokseumawe.
Teori utama dalam penelitian ini yaitu teori Wondoamiseno. Teori mengenai
karakter Arsitektur Tradisional Aceh sebagai bagian dari Arsitektur Masa Lalu
(AML) dan ciri Arsitektur Modern sebagai bagian dari Arsitektur Masa Kini (AMK)
Arsitektur Masa Kini (AMK) melalui : (1) Tempelan elemen AML pada AMK, (2)
Elemen fisik AML menyatu di dalam AMK, (3) Elemen fisik AML tidak terlihat jelas
dalam AMK, (4) Wujud AML mendominasi AMK, (5) Ekspresi ujud AML menyatu
di dalam AML. Namun untuk dapat mengatakan bahwa AML menyatu di dalam
AMK, maka AML dan AMK secara visual harus merupakan kesatuan (unity).
Kesatuan yang dimaksud adalah kesatuan dalam komposisi arsitektur dengan tiga
syarat utama yaitu adanya : (1) Dominasi, (2) Pengulangan dan (3) Kesinambungan
dalam komposisi. Oleh karena itu untuk mengetahui penerapan Arsitektur Tradisional
Aceh pada bangunan Kantor Walikota Lhokseumawe dan juga elemen fisik
Arsitektur Tradisional Aceh yang paling dominan pada bangunan Kantor Walikota
Material), serta Elemen Fisik Arsitektur ( Entrance, Atap, Dinding, Jendela, dan
Ornamen).
setempat agar menjadi simbol pemerintahan suatu wilayah kota dan lambang
1.1
Permasalahan :
Analisa dan Pembahasan :
Sejauhmana pengaruh Arsitektur
Tradisional Aceh pada Kantor Walikota Pengkaitan antara AML pada AMK
Lhokseumawe. dilihat pada Wujud, elemen fisik dan
ekspresi Arsitektur Tradisional Aceh
pada bangunan Kantor Walikota
Wujud Arsitektur : proporsi,
orientasi, warna dan material
Elemen fisik : entrance, atap,
Pengumpulan Data :
dinding, pintu, jendela dan ornamen
Elemen bangunan Arsitektur Tradisional
Aceh
Ornamen yang di gunakan pada Arsitektur
Tradisional Aceh
Orientasi bangunan pada Arsitektur Penemuan:
Tradisional Aceh
Ukuran bangunan/ruang pada bangunan Adanya pengaruh Arsitektur Tradisional
kantor pemerintahan
Aceh (Arsitektur Masa Lalu) pada
Fungsi dan aktivitas pada bangunan kantor
pemerintahan tampilan bangunan Kantor Walikota
Warna Bangunan pada bangunan kantor Lhokseumawe ( Arsitektur Masa Kini)
Kesimpulan :
TINJAUAN PUSTAKA
terkandung tradisi yang mengandung arti suatu kebiasaan yang dilakukan dengan cara
yang sama oleh beberapa generasi tanpa atau sedikit sekali perubahan-perubahan,
dengan kata lain kebiasaan yang sudah menjadi adat dan membudaya. Pada dasarnya
yang masih menganut tata kehidupan kolektif, yaitu memiliki keserasian dan
keselarasan antara makro kosmos (alam semesta) dan mikro kosmos (bangunan).
Hampir semua seni bangunan tradisional merupakan arsitektur kayu (bahan utamanya
memakai material dari kayu), (2) Hampir semua bangunan tradisional mempunyai
tekanan pada atap (atap sebagai mahkota bangunan ditampilkan secara spesifik dan
sifat ringan (dinding bersifat transparant dan sistem knock down), (5) Menggunakan
9
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
10
waktu, pengaruh budaya luar, pola hidup, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Puncak
agama Hindu dan Budha. Menurut Hasbi (2012) arsitektur Indonesia banyak
dipengaruhi oleh arsitektur dari luar wilayah Indonesia seperti Arsitektur Hindu,
Budha, Islam dan Kolonial. Perkembangan dan kemajuan dalam bidang teknologi
berikutnya mulai timbul usaha untuk mempertautkan antara yang lama dan yang baru
akibat adanya krisis identitas pada arsitektur. Aliran-aliran tersebut antara lain adalah
besar pada ciri kedaerahan, aliran ini tumbuh terutama di negara berkembang. Ciri
kedaerahan yang dimaksud berkaitan erat dengan budaya setempat, iklim, dan
adanya kesinambungan antara yang lama dan yang baru. Regionalsime merupakan
peleburan/ penyatuan antara yang lama dan yang baru (Curtis,1985). Sedangkan Post-
modern berusaha menghadirkan yang lama dalam bentuk universal (Jenks, 1977).
mempunyai lingkup universal. Dengan demikian maka yang menjadi ciri utama
kenyamanan pada bangunan baru ditunjang dengan kualitas bangunan lama. abstract
antara Arsitektur Masa Lampau (AML) dan Arsitektur Masa Kini (AMK) adalah (1)
Tempelan elemen AML pada AMK, (2) Elemen fisik AML menyatu di dalam AMK,
(3) Elemen fisik AML tidak terlihat jelas dalam AMK, (4) Wujud AML mendominasi
Untuk dapat mengatakan bahwa AML menyatu di dalam AMK, maka AML
dan AMK secara visual harus merupakan kesatuan (unity). Kesatuan yang dimaksud
adalah kesatuan dalam komposisi arsitektur. Apabila yang dimaksud menyatu bukan
utama yaitu adanya : (1) Dominasi, (2) Pengulangan dan (3) Kesinambungan dalam
dapat dilakukan dengan berbagai irama atau repetisi agar tidak terjadi kesenadaan
Bentuk dapat dikenali karena memiliki ciri-ciri visual yaitu salah satunya
wujud (Ching, 1979). Wujud adalah hasil konfigurasi tertentu dari permukan-
permukaan dan sisi-sisi suatu bentuk. Selain wujud, ada beberapa ciri-ciri visual yang
menunjukkan bentuk yaitu : (1) Warna menunjukkan corak, intensitas dan nada
permukaan pada suatu bentuk. Warna adalah atribut yang paling mencolok yang
visual pada bentuk. (2) Orientasi adalah posisi relatif suatu bentuk terhadap bidang
dasat, arah mata angin atau terhadap pandangan seseorang yang melihatnya, (3)
Proporsi mengacu pada ukuran sesuatu dibandingkan dengan suatu standar referensi
atau dengan ukuran sesuatu yang dapat dijadikan patokan. Proporsi dapat
memberikan kesan keseimbangan pada bentuk bangunan, baik dari segi estetika juga
dari segi arsitektural dan (4) Material atau bahan adalah zat atau benda yang dimana
sesuatu dapat dibuat darinya, atau barang yang dibutuhkan untuk membuat sesuatu.
Material merupakan faktor yang mempengaruhi tekstur permukaan sebuah benda atau
bidang.
dengan elemen fasade bangunan. Menurut Krier (1983) elemen fasade bangunan
meliputi : (1) Atap berperan sebagai mahkota yang disandang oleh tubuh bangunan,
sehingga secara visual, atap merupakan akhiran dari fasad dan titik akhir dari
bangunan, (2) Pintu masuk atau entrance merupakan komponen yang memiliki peran
penting, sebagai akses dan tanda transisi dari area publik (eksterior) ke bagian privat
(interior), (3) Jendela adalah bukaan yang terletak didinding sebuah bangunan yang
berfungsi sebagai sirkulasi udara dan cahaya dalah sebuah ruangan atau bangunan.
Sebagai salah satu komponen fasad, figur jendela memberikan artikulasi tersendiri
sebagai karakter atau citra dari sebuah bangunan, (4) Dinding adalah salah satu
elemen fasad bangunan yang memperkuat ciri dan karakter suatu bangunan.
material, tekstur dan warna. (5) Ornamen sering juga disebut sebagai desain dekoratif
atau desain ragam hias. Ornamen berfungsi untuk menambah nilai estetis dari suatu
bangunan yang akhirnya akan menambah nilai finansial dari bangunan tersebut.
Ornamen juga menunjukkan gaya arsitektur yang terdapat dalam desain suatu
bangunan.
kebudayaan Aceh. Ada dua hal yang menjadi dasar dalam pembentukan arsitektur
tradisional Aceh yaitu berkenaan dengan penampilan fisik arsitektur dan hal yang
tersebut. Dalam hal ini budaya Arsitektur Aceh membentuk ciri khas, ini berkaitan
erat dengan sifat budaya religius masyarakat Aceh yang mendasari hampir seluruh
sisi kehidupan sosialnya. Antara gaya arsitektur dengan bentuk kegiatan masyarakat
Aceh, terjalin dalam perpaduan yang saling mengisi. Bentuk arsitektur akan
nilai kuat dalam pembentukan arsitektur tersebut. Manifestasi dari kearifan lokal
tersebut.
dari bangunan tempat tinggal masyarakat Aceh merupakan cerminan dari kearifan
dalam menyikapi alam dan keyakinan (religius). Rumoh Aceh berbentuk panggung
keseimbangan hubungan dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam. konsep segitiga
keseimbangan itu diwujudkan pada pola ruang bangunan rumoh Aceh yang sangat
sakral karena memiliki makna dan dasar pembentukan yang seluruhnya memiliki
pertimbangan yang sangat erat kaitannya dengan penerapan faktor non fisik, seperti
Rumoh Aceh adalah sebuah rumah dengan struktur panggung dengan tinggi
tiang 2,5 sampai dengan 3 meter dari permukaan tanah. Keseluruhan rumah dibuat
dari bahan kayu, kecuali atapnya yang terbuat dari bahan daun rumbia atau daun enau
yang dianyam, serta lantainya yang dibuat dari bambu (Gambar 2.1).
rumah, tangga (reunyeun) pada Rumoh Aceh berjumlah ganjil yaitu mulai dari 7
hingga 9 tangga. Jumlah ini sesuai dengan kepercayaan masyarakat Aceh, fungsi lain
dari tangga ini juga sebagai palang bagi selain keluarga atau kerabat dekat terutama
bila tidak ada penghuni pria di dalam rumah, sehingga tangga ini dapat menjadi
1. Bagian bawah (yup moh), merupakan ruang antara tanah dengan lantai
ayam, kambing dan itik. Tempat ini juga sering digunakan kaum
menyimpan padi).
Aceh baik yang bersifat privat ataupun bersifat public. Pada bagian ini,
secara umum terdapat tiga ruangan, yaitu serambi depan (seuramo keue),
3. Bagian atap (bubong), atap Rumoh Aceh biasanya terbuat dari daun
Bentuk bagian bawah rumah (yup moh) merupakan kolong bangunan yang
bersifat terbuka pada Rumoh Aceh. Kolong bangunan (Gambar 2.3) terdiri dari tiang-
tiang yang menopang bagian atas bangunan. Material yang digunakan untuk
membuat tiang ini biasanya dari bahan kayu dan bentuknya bulat dengan diameter
(gaki tameh atau keuneleung), umpak ini tidak ditanam dalam tanah.
berapa banyak ruangan yang terdapat di dalam rumah atau dari seberapa luas ukuran
rumah. Biasanya masyarakat aceh membangun rumah dengan jumlah tiang sebanyak
16, 18, 22 dan 24. Namun ada pula yang sanggup membangun dengan jumlah tiang
mencapai 40 atau bahkan 80. Tiang penopang ini diletakkan dengan posisi berjajar
sebanyak empat baris dengan jarak setiap baris sejauh 2,5-4 m. Jumlah tiang 16
biasanya untuk rumah yang mempunyai tiga ruangan, sedangkan jumlah tiang 24
Bentuk atap pada rumoh aceh (Gambar 2.4) merupakan atap dengan rabong
atau tampong satu yang ditempatkan di atas ruang tengah yang direntangkan dari
ujung kiri ke kanan dan cucuran atap ditempatkan di area depan dan belakang rumah.
Atap rumah pada rumah aceh tidak bersifat permanen atau mudah untuk dilepaskan
karena hanya dihubungkan menggunakan tali ijuk. Hal ini dilakukan mengingat
bahan dasar atap yaitu daun rumbia atau daun enau yang rentan terbakar. Untuk
mengurangi rambatan api maka tali ijuk dapat dipotong dan atap dapat dilepaskan
(Hadjad dkk, 1984). Fungsi yang lain dari penggunaan atap daun rumbia adalah
menambah kesejukan ruangan dan juga penutupatap berbahan rumbia juga memiliki
andil besar dalam memperingan beban bangunan sehingga saat gempa tidak mudah
roboh.
Material utama penyusun atap adalah daun rumbia atau kadang menggunakan
daun enau. Daun ini diikat dengan belahan rotan yang tipis. Sedangkan bahan utama
tulang atap adalah belahan batang bambu. Karena bagian tengah atap yang berbentuk
rabong menjadikan ruang kosong dibagian atas ruang tengah dan di bawah atap
Ketinggian pintu masuk utama pada rumoh Aceh tidak seperti pintu pada
pintunya hanya berkisar diantara 120-150 cm. Berbanding terbalik dengan bangunan
yang besar dan juga tinggi, pintu masuk utama rumoh Aceh ini sangatlah rendah. Hal
ini membuat orang yang hendak masuk otomatis menundukkan kepala agar tidak
terbentur. Konsep ukuran pintu yang rendah ini menggambarkan bahwa siapa pun
orang yang hendak masuk, kaya atau miskin, tua atau muda hendaknya menghormati
sang pemilik rumah. Karena pintu ibarat hati pemilik rumah, perlu upaya untuk
memasukinya namun apabila telah masuk maka akan diterima dengan penuh
kebesaran hati tanpa sekat sekat seperti luasnya bagian dalam rumah.
Untuk masuk ke dalam rumoh Aceh bisa dicapai dengan tangga, Jumlah anak
tangga yang pada rumah aceh pada umumnya berjumlah ganjil, yaitu berjumlah 7
tangga. Letak tangga pada rumoh Aceh ada pada bagian depan yang biasanya
mempunyai lebar sekitar 3 meter. Namun ada pula tangga pada bagian bawah, yang
terdapat pada kolong bangunan. Tangga tersebut sama fungsinya yaitu sebagai pintu
masuk dengan pintu dibuka keatas (gambar 2.5). Untuk melindungi tangga ini dari
Serupa dengan pintu pada rumoh Aceh (pinto Aceh), jendela rumah aceh pun
sebelah barat dan timur yaitu pada setiap kamar serta dua buah jendela berada di
Susunan ruangan Rumoh Aceh terdiri atas tiga ruangan (Gambar 2.7) yaitu :
1. Ruangan depan (serambi depan) yang disebut seuramo keu atau seuramo
Susunan ruang pada rumoh Aceh (Tabel 2.1) berbentuk persegi dan juga
Seuramoe keu (serambi depan) adalah sebuah ruangan luas memanjang tanpa sekat-
sekat yang berfungsi sebagai ruang tamu. Ruang tamu ini terbuka bagi siapa saja baik
pria maupun wanita. Selain untuk menerima tamu, ruang ini juga dimanfaatkan
sebagai area mengaji dan istirahat anak laki-laki, area pertemuan keluarga, area
makan-makan saat ada upacara pernikahan atau upacara adat lainnya. Ruang ini yang
paling sering digunakan dalam aktivitas berskala rumah tangga (mikro). Ruang ini
merupakan core area (area inti/pusat) dari rumoh Aceh, karena menjadi tempat
berkumpul, baik antar anggota keluarga maupun dengan kerabat yang lebih jauh,
ketika terjadi ritual budaya, tanpa adanya pembedaan antara laki-laki dan perempuan.
Sebaliknya pada ruang lainnya yang menjadi pinggiran (periphery) yaitu seuramoe
teungoh (tungai/lorong dan juree/kamar tidur), seuramoe likot dan rumoh dapu hanya
Ruang tengah atau tungai merupakan ruang bersekat yang berada di antara
ruang depan dan belakang dan memiliki posisi lebih tinggi setengah meter dari kedua
ruang tersebut. Menurut Arif (2015), bagian paling utama rumah dari rumoh aceh
adalah pada bagian tengah, yang dibuat lebih tinggi sekitar 25 sampai 40 cm dari
pada lantai serambi. Pada bagian Tungai ini terletak dua kamar tidur, yaitu rumoh
Inong dan anjông. Rumoh inong adalah kamar peurumoh (master bedroom),
sedangkan anjông adalah kamar untuk anak perempuan. Di antara kedua kamar tidur
itu ada lorong penghubung antara seuramoë rinyeuen dengan seuramoë likôt, yang
bernama Rambat (Gambar 2.8). Namun akses rambat ini pun terbatas apalagi bila
lelaki ingin melewatinya. Akses hanya diberikan kepada kerabat keluarga yang
dekat. Hal ini dilakukan karena rambat merupakan akses jalan menuju ruang
belakang dengan ketinggian lantai yang sama dengan ruang depan dan juga tidak ada
ruang makan, tempat para wanita berkegiatan seperti menjahit dan menganyam serta
merangkap sebagai dapur. Namun ada pula yang memisahkan dapurnya di belakang
seuramoe likot atau disebut rumoh dapu dengan posisi lantai yang sedikit lebih
rendah.
membujur dari Timur ke Barat. Tampak depan rumah yang menghadap utara-selatan
(Gambar 2.9) diterapkan untuk menghindari arah angin yang bertiup di daerah Aceh,
yaitu dari arah timur ke barat atau sebaliknya yang berpotensi merubuhkan bangunan.
Selain itu, arah rumah menghadap ke utara-selatan juga dimaksudkan agar sinar
matahari lebih mudah masuk ke kamar-kamar, baik yang berada di sisi Timur atau
pun disisi Barat. Orientasi rumoh Aceh menghadap Utara-Selatan merupakan wujud
. Selatan
Timur Barat
Utara
Gambar 2.9 Orientasi Rumah Aceh
Sumber : Analisa penulis, 2016 berdasarkan tulisan Arief (2015)
dapat dilihat pada orientasi rumah yang selalu berbentuk memanjang dari timur ke
barat, yaitu bagiandepan menghadap ke timur dan sisi dalam atau belakang yang
sakral berada di barat. Arah Barat mencerminkan upaya masyarakat Aceh untuk
sebagai ragam hias yang menempel pada bangunan (Gambar 2.10), ada beberapa
macam ragam hias (ornamen) yang dipakai (Hadjad dkk, 1984), yaitu:
3. Motif fauna, yaitu ukiran berbentuk binatang-binatang yang sering dilihat dan
disukai.
4. Motif alam, yaitu ukiran berebentuk seperti : langit dan awannya, langit dan
5. Motif lainnya, seperti taloe meuputa, rantee, lidah, dan lain sebagainya.
1. Rinyeuen (tangga), terdapat dari bagian bawah tangga sampai di bagian atas
tangga, berbentuk memanjang seperti ukiran busur panah, tali, rantai dan
sebagainya.
rumah aceh, ukiran berbentuk flora dan fauna disepanjang dinding bawahnya.
3. Binteih (dinding), dibuat ukiran dengan serat kayu sebagai motif dasarnya.
4. Bara (lisplank atap), terdapat di bagian lisplank atap, yaitu bagian luar
bagian atasnya. Ukiran yang terdapat pada bagian bara ini biasanya ukiran
5. Tingkap (jendela), ukiran kaligrafi dan bunga, tapi pada beberapa rumoh aceh
6. Pinto (pintu), terdapat ukiran yang terdiri dari bunga seulanga, mawar dan
jeumpa.
7. Tulak Angen (kisi-kisi di atap rumah), dibuat ukiran yang beragam bentuknya
dan dibagian ini biasanya ukiran dilubangi sesuai bentuknya. Pada bagian ini
fungsi dari ukiran ini adalah membuat lubang angin yang terdapat di kedua
Bara
Tulak Angen
Tingkap
Binteih
Kindang
Bentuk dan konfigurai Rumah Tradisional Aceh berbentuk persegi empat dan
dibagi jadi tiga bagian yakni kolong sebagai kaki bangunan, badan rumah dan bagian
kepala (atap). Proporsi kaki (kolong dan atap terlihat sangat dominan dibanding
badan rumah. secara umum proporsi rumoh Aceh, tinggi tiang lebih tinggi dari pada
Warna pada rumah tradisional Aceh umumnya memakai warna kuning, krem
dan merah, orange, hitam yang kadang kadang di kombinasikan dengan warna putih.
Jika terdapat warna warna lain itu merupakan akibat pengaruh masa kini (Hadjad
dkk, 1984).
Tabel 2.2. Kesan Warna pada Rumoh Aceh (Hadjad dkk, 1984)
Warna Kesan
Merah Emosi yang berubah-ubah, naik turun,
hidup menggairahkan dan menyenangkan,
menumbuhkan semangat.
Kuning Memiliki karakter kuat, hangat, dan
memberi nuansa cerah. Menciptakan
suasana nyaman dan menyenangkan
Putih Bersifat netral, tanpa perasaan dan memliki
kesan suci
Orange Menunjukkan kehangatan, kesehatan
pikiran
dan kegembiraan
Hitam Melambangkan perlindungan
dari alam mempunyai makna bahwa masyarakat Aceh mempunyai kehidupan yang
dekat dengan alam. Masyarakat Aceh bahkan tidak menggunakan paku dalam
membuat rumah tradisional Aceh. Mereka menggunakan tali untuk mengikat satu
bahan bangunan dengan bahan bangunan yang lain. Pembangunan rumah tradisional
(bambu), enau (temor), taloe meu-ikat (tali pengikat), oen meuria (daun rumbia),
peuleupeuk meuria (pelepah rumbia) dan daun enau (Hadjad dkk, 1984).
Dalam masyarakat Aceh, Bangunan tempat ibadah ada dua jenis yaitu
bangunan tempat ibadah yang disebut meuseujid (mesjid) dan bangunan tempat
ibadah yang di sebut meunasah (surau). Meuseujid adalah rumah ibadah yang
meuseujid juga berfungsi sebagai tempat bermusyawarah bagi seluruh penduduk pada
timur, sehingga sisi belakangnya berada pada sisi di sebelah barat, karena disesuaikan
dengan arah kiblat. Ruangan pada bangunan Meuseujid berbentuk persegi (Gambar
2.12) yang didirikan di atas tanah. Bangunan tersebut di topang oleh 4 buah tiang
utama, tiang itu berada tepat ditengah-tengah bangunan untuk menopang atap
berbentuk limasan. Selain itu, pada keempat sisi bangunan juga terdapat tiang-tiang
pendek yang berjumlah 12 buah yang berfungsi sebagai penopang atap bawah
meseujid.
didepannya (Gambar 2.13). Bangunan ini didirikan diatas tiang-tiang kayu dengan
tinggi bangunan sampai batas lantai kurang lebih kurang 2,5 meter. Meunasah terdiri
dari bagian kolong, bagian ruangan dan bagian atap. Bagian kolong meunasah berada
di bawah lantai bangunan hingga permukaan tanah, bagian ini berada dalam keadaan
terbuka karena tidak berdinding. Bagian ruangan meunasah merupakan bagian lantai
bangunan yang dipergunakan sebagai tempat shalat, tempat belajar mengaji dan
kegiatan ibadah lainnya. Atap pada meunasah menajang lurus dari Utara ke Selatan
sedangkan cucuran air hujan berada di depan dan di belakang pintu masuk (Hadjad
dkk,1984).
Bedanya hanya pada bentuk tiangnya dan susunan pada ruang –ruangannya. Kolong
pada bagian bawah lantai memiliki tinggi dari lantai lebih kurang 2.8 meter. Letak
terdapat 4 buah tiang. Ruangan pada meunasah terdapat 3 buah ruang, Lantai ruang
yang sama dengan ornamen pada rumah tradisional Aceh. Selain ragam hias/ornemen
bermotif flora, fauna, alam dan keagamaan, maka pada bangunan tradisional Aceh
1. Ragam hias/Ornamen berbentuk pintalan tali yang disebut taloe meuputa, karena
bagian dinding saja. Pola-pola geometris yang digunakan pada masjid tradisional
Struktur bangunan pada masjid tradisonal Aceh ditunjang oleh empat buah
tiang utama yang bersegi delapan yang disebut tameh teungoh. Keempat buah tiang
utama itu tepat di tengah-tengah bangunan mesjid tradisional Aceh dan menjadi
penunjang pokok atap lapisan atas yang berbentuk limas. Selain empat buah tiang
pokok yang terdapat di tengah-tengah bangunan mesjid tradisional Aceh, maka pada
keempat sisi bangunan mesjid tradisional Aceh itu terdapat juga tiang-tiang pendek
yang juga bersegi delapan yang disebut tameh Ungka yang jumlahnya dua belas
buah. Tiang-tiang itu berfungsi sebagai penunjang atap lapisan bawah mesjid
hanya satu setengah meter. Lantai ruangan terbuat terbuat dari semen. Pada sisi
sebelah Timur (sisi depan) terdapat tangga dari beton setinggi dinding beton. Tangga
itu dipergunakan sebagai jalan untuk masuk ke dalam ruangan mesjid tradisional
Bentuk atap mesjid tradisional Aceh berbentuk atap tumpang yang terdiri atas
dua lapisan yaitu atap lapisan bawah dan atap lapisan atas. Atap lapisan atas
berbentuk limas, sehingga pada mesjid tradisional Aceh tidak didapati kubah seperti
yang lazim kita dapati pada mesjid-mesjid zaman sekarang. Namun didapati juga
mesjid tradisional Aceh yang sudah diubah puncak bentuk limas dengan puncak
bentuk kubah. Bangunan meuseujid itu selalu menghadap ke Timur, sehingga sisi
belakangnya berada di sebelah Barat, karena disesuaikan dengan arah kiblat (Hadjad
dkk, 1984).
Arsitektur
Gambar
Tradisional Karakteristik Arsitektur Tradisional Aceh
Aceh
Rumoh Aceh berstruktur panggung, di topang oleh
tiang-tiang dan beratapkan pelana
Susunan ruangan terdiri atas 3: ruangan depan
(serambi depan), ruangan tengah (tungai ataupun
juree) dan ruangan belakang (seuramo likot).
Letak rumoh Aceh menghadap ke Utara dan Selatan
sehingga rumah membujur dari Timur ke Barat
Bangunan Menggunakan ornamen dengan motif : Keagamaan,
Tempat flora, fauna, alam yang aplikasikan pada : tangga,
Tinggal dinding, jendela,pintu,dll.
Proporsi kolong dan atap terlihat sangat dominan
dibanding badan rumah.
Warna Rumoh Aceh umumnya memakai warna
kuning, krem dan merah, orange, hitam yang
kadang kadang di kombinasikan dengan warna
putih.
Material yang diperlukan di antaranya adalah:
kayu, papan, bambu, tali pengikat dan daun rumbia
Arsitektur modern merupakan gaya arsitektur yang terbentuk pada akhir abad
pembangunan terutama dalam hal waktu dan harga. Menurut Banham (1978)
dengan bentukan platonic solid yang serba kotak, tak berdekorasi dan perulangan
dihubungkan dengan revolusi industri pada tahun 1760-1863. Adapun periode waktu
1. Periode I (1900-1929)
Berkembang konsep free plan atau universal plan, yaitu ruang yang ada dapat
dipergunakan untuk berbagai macam aktifitas atau ruang dapat diatur fleksibel dan
dapat digunakan untuk berbagai fungsi, sehingga typical concept mulai berkembang
yaitu ruang- ruang dibuat standar dan berlaku universal. Konsep open space nampak
dengan menggunakan jendela kaca yang lebar dan menerus serta pemakaian material
utama berupa baja, beton dan kaca yang menonjolkan bentuk polos. Ornamen
dianggap sebagai suatu kejahatan dalam arsitektur modern. Arsitektur modern berarti
Konsep baru dan mendasar dari arsitektur modern antara lain adalah Form
Follows Function (bentuk mengikuti fungsi) yang dikembangkan oleh Louis Sullivan,
dengan beberapa ciri sebagai berikut: (1) Ruang yang dirancang harus sesuai dengan
fungsinya, (2) Struktur hadir secara jujur dan tidak perlu dibungkus dengan bentukan
masa lampau (tanpa ornamen), (3) Bangunan tidak harus terdiri dari bagian kepala,
badan dan kaki dan (4) Fungsi sejalan atau menyertai dengan wujud.
2. Periode II (1930-1939)
Perkembangan metode hubungan ruang, bentuk, bahan dan struktur tidak lagi
bersifat universal, akan tetapi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan tempat
atau lokasi dimana bangunan itu didirikan, dan dengan karakteristik daerah tersebut.
Karakteristik bentuk dan tampilan dengan gaya international style atau universal style
dari arsitektur modern pada peride ini diwarnai oleh tipe-tipe tampilan baru, yaitu
misalnya iklim. Bangunan yang tercipta mencerminkan hubungan yang erat dengan
teknologi. Hal ini terlihat dari penggunaan produk baru pada masa itu, seperti baja,
dan karakteristik dari Arsitektur modern antara lain: (1) Terlihat memiliki
dipergunakan sesuai dengan fungsinya. (3) Bentuk bangunan sederhana dan bersih
yang berasal aliran kubisme dan abstrak (4) Memperlihatkan konstruksi. (5)
Pemakaian bahan pabrik atau industrial yang diperlihatkan secara jujur dan tidak
diberi ornamen. (6) Interior dan eksterior bangunan terdiri dari garis-garis vertikal
dan horizontal. (7) Konsep open plan, yaitu konsep yang membagi dalam bentuk
Indonesia merupakan salah satu negara yang juga terkena pengaruh gaya
Arsitektur Modern. Hal ini terjadi terutama karena pada masa perkembangan
Arsitektur Modern, Belanda yang termasuk bangsa Barat sedang menjajah Indonesia.
karakter sebagai berikut : (1) Terfokus pada fungsi ruang yang terbentuk dari pola
aktivitas penghuni didalamnya, (2) Terfokus pada material bangunan yang digunakan
untuk menciptakan hasil akhir bernilai estetika yang diinginkan, (3) Analogi mesin
METODOLOGI PENELITIAN
untuk meneliti suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu
peristiwa pada masa sekarang untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan
secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan
antar fenomena yang diselidiki. Objek yang diamati adalah bangunan yang akan
dijadikan studi kasus dalam penelitan Pengaruh Arsitektur Tradisional Aceh pada
Hasil analisis dari penelitian ini dapat menemukan penerapan Arsitektur Tradisional
pada bangunan kantor Walikota Lhokseumawe. Hal ini dilakukan dengan cara
secara sistematis atau mengikuti langkah yang teratur. Penelitian yang dilakukan
penelitian dan tercapainya tujuan dari penelitian ini Adapun langkah-langkah yang
Lhokseumawe yaitu :
49
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
50
untuk dipelajari, sehingga dapat diperoleh sebuah informasi mengenai data yang
yang telah di kutip pada Bab II Kajian Pustaka. Variabel tersebut diharapkan dapat
peneliti untuk mengumpulkan data. Data yang diperoleh digunakan untuk membantu
pengumpulan data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan
penelitian, yakni data kualitatif. Data kualitatif adalah data yang tidak terukur secara
nominal (data fisik bangunan, yang meliputi unsur pembentuk Arsitektur Traditional
lokasi objek penelitian, dan untuk mengetahui kondisi fisik bangunan. Observasi
menggunakan kamera digital, terdiri dari gambar fasade bangunan, kawasan disekitar
juga untuk mengetahui berbagai aktifitas dalam bangunan yang dapat digunakan
Data sekunder merupakan data pelengkap yang berisi mengenai hal-hal yang
dapat mendukung dan mempunyai hubungan dengan data primer. Data sekunder juga
berfungsi sebagai bahan arahan dan pertimbangan dalam proses komparasi. Data
sekunder tersebut antara lain: Arsitektur Tradisional Aceh, Arsitektur Modern serta
Mengetahui karakter
Arsitektur Arsitektur Tradisional Aceh :
Tradisional bentuk panggung, orientasi,
Aceh material kayu, ornamen dan
teknologi tradisional
Jenis Survei
Sekunder
Data literatur Mengetahui ciri arsitektur
Arsitektur modern, serta
Modern perkembangannya di
indonesia
Mengetahui pengkaitan
Arsitektur antara Arsitektur Tradisional
Regionalisme (AML) dan arsitektur
Modern (AMK)
Kota Lhokseumawe merupakan salah satu kota yang menjadi bagian wilayah
Propinsi Aceh yang terletak di antara 5°7′ Lintang Utara dan 97°2′ Bujur Timur
dengan ketinggian rata-rata 13 meter diatas permukaan laut (Gambar 3.1). Posisi Kota
Lhokseumawe berada di antara Kota Banda Aceh dan Medan. Sejak terbentuk pada
wilayah Kota Lhokseumawe, sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah
Selatan dengan Kecamatan Kuta Makmur (Aceh Utara), sebelah Timur dengan
Kecamatan Syamtalira Bayu (Aceh Utara), dan sebelah Barat dengan Kecamatan
kota tempat dimana kepala daerah melaksakan tugas dan wewenang dalam
perkantoran. Di sebelah kiri dan kanan gedung Kantor Walikota bersebelahan dengan
Kantor Pos dan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara. Gedung ini merupakan
gedung yang dibangun khusus untuk Kantor Walikota setelah pemekaran kota ini dari
Metoda analisa data merupakan suatu alat yang digunakan dalam pembahasan
menggunakan penjelasan data berupa kondisi objek penelitian yang telah diperoleh
melalui hasil survei lapangan, yaitu pengamatan. Dari hasil survei lapangan tersebut
bangunan Kantor Walikota, ditinjau dari wujud dan Elemen Fisik arsitektur berupa :
Bentuk bangunan, Ornamen, orientasi, material, proporsi serta warna pada bangunan.
Beberapa aspek yang akan dilakukan analisis menggunakan metode deskripsi analisis
ini yaitu :
Lhokseumawe
Tradisional yang diwakili oleh Arsitektur Masa Lampau (AML) dengan Bangunan
Kantor Walikota Lhokseumawe sebagai bagian dari Arsitektur Masa Kini (AML)
melalui teori Wondoamiseno. Keterkaitan Antara AML pada AMK dilihat dari
Tempelan elemen AML pada AMK, Elemen fisik AML menyatu di dalam AMK,
Elemen fisik AML tidak terlihat jelas dalam AMK, Wujud AML mendominasi AMK
Lhokseumawe
Pada tahap ini bertujuan untuk mengetahui wujud dan elemen fisik Arsitektur
Tradisional Aceh pada Kantor Walikota Lhokseumawe. Dalam tahap ini diperlukan
(1) analisis mengenai wujud Arsitektur Tradisional Aceh pada Kantor Walikota
Lhokseumawe berupa: orientasi bangunan, material, proporsi, dan warna. (2) analisis
Lhokseumawe berupa: atap, entrance, dinding, pintu dan jendela serta ornamen.
Bangunan Kantor Walikota ini dibangun pada tahun 2002, sebagai gedung
2001. Sebelummnya Lhokseumawe menjadi bagian dari kabupaten Aceh Utara yang
memiliki bangunan kantor administrasi daerah yaitu kantor bupati Aceh Utara.
Lhokseumawe
Arsitektur Masa Kini (AMK) adalah (1) Tempelan elemen AML pada AMK, (2)
Elemen fisik AML menyatu di dalam AMK, (3) Elemen fisik AML tidak terlihat jelas
dalam AMK, (4) Wujud AML mendominasi AMK, (5) Ekspresi ujud AML menyatu
di dalam AML.
59
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
60
Lhokseumawe
bangunan dalam tapak. Orientasi bangunan memiliki peranan yang penting dalam
tapak. Selain itu juga orientasi suatu bangunan ditentukan dari nilai-nilai kepercayaan
Aceh letaknya membujur dari Timur ke Barat. Hal ini diyakini dengan posisi seperti
ini bangunan senantiasa akan menghadap ke arah Barat yang merupakan arah kiblat
ibadah shalat. Disamping itu faktor alam berupa arah angin di Aceh yang bertiup dari
arah Timur ke Barat atau sebaliknya juga menjadi pertimbangan yang menyebabkan
arah orientasi bangunan Rumah Tradisional Aceh membujur dari Timur ke Barat.
kearah jalan utama yang berada di depan bangunan. Pencapaian menuju bangunan
bangunan terlihat dari arah jalan utama. Kondisi ini membuat orientasi bangunan
Kantor Walikota kearah Selatan. Orientasi bangunan seperti ini sama halnya dengan
orientasi pada Rumah Tradisional Aceh yang bagian panjang bangunan menghadap
arah Utara ataupun Selatan. Arah depan bangunan Kantor Walikota Lhokseumawe
yang menghadap Selatan sehingga bangunan ini posisnya membujur dari Timur ke
Orientasi bangunan
Kantor Walikota
menghadap arah
U selatan
dan Selatan dan sisi terpendek bangunan menghadap Timur dan Barat. Dengan
orientasi seperti ini, membuat bangunan Kantor Walikota nyaman karena tidak
mendapat sinar matahai langsung dari arah Timur pada pagi hari dan Barat pada sore
hari.
Dalam kaitannya antara AML (Arsitektur Masa Lalu) pada AMK (Arsitektur
Masa Kini), wujud Arsitektur berupa orientasi dari Arsitektur Tradisional Aceh yang
menbujur dari Timur Ke Barat, sehingga Arah depan Bangunan Menghadap Selatan
satu dengan yang lainnya atau dengan keseluruhannya, atau bisa pula hubungan
antara satu obyek dengan obyek lainnya. Proporsi digunakan untuk membagi bidang
atau lahan tertentu dengan perbandingan rasio yang ideal sehingga desain memiliki
Proporsi dapat terbentuk dari hubungan antara bagian-bagian suatu elemen, hubungan
antara elemen-elemen, serta hubungan antara elemen dan ruang secara keseluruhan.
Walikota secara umum hampir terlihat sama dengan rumah Tradisional Aceh. Pada
bagian tampak depan Rumah Tradisional Aceh, bangunan di topang oleh tiang yang
berumlah 4 sama dengan yang di gunakan pada di Kantor Walikota, hanya saja jika
diperhatikan dari segi ukuran, maka akan terlihat perbedaannya. Jarak antar tiang
pada Kantor Walikota berjarak 3 meter dengan modul yang sama hampir di seluruh
bangunan. Sedangkan pada Rumah Tradisional Aceh jarak antar tiang berbeda-beda
sesuai dengan Gambar (4.2). Dengan mengunakan Rasio Perbandingan Lebar dan
Tinggi ( L:T ) akan terlihat bahwa rasio proporsi Rumah Tradisonal Aceh
Dalam kaitannya antara AML (Arsitektur Masa Lalu) pada AMK (Arsitektur
Masa Kini), Proprosi dari Arsitektur Tradisional Aceh berdasarkan hasil rasio
perbandingan Tinggi dan Lebar berbeda dengan proporsi yang digunakan pada
Warna merupakan salah satu elemen penting dalam arsitektur. Sebuah objek
yang serupa tapi diberi sentuhan warna yang berbeda akan menimbulkan kesan yang
berbeda, karena setiap warna mempunyai karakter yang berbeda sehingga mampu
memberi efek secara psikologis bagi orang yang melihat. Untuk tidak terlihat
lain.
krem
Coklat
Merah Hitam
Walikota menggunakan kombinasi warna krem pada seluruh bagian bangunan dan
warna coklat pada bagian ornamen di bawah atap. Penggunaa warna ini, terkesan
monoton tanpa adanya penggunaan unsur warna yang lain seperti yang terlihat pada
Rumah Tradisional Aceh yang menggunaka warna hitam, merah, hijau, kuning dan
warna yang senada hampir sama penggunaannya seperti pada kebanyakan bangunan
Dalam kaitannya antara AML (Arsitektur Masa Lalu) pada AMK (Arsitektur
Masa Kini), warna dari Arsitektur Tradisional Aceh yang menggunakan warna-warna
yang khas daerah Aceh, sama sekali tidak mempengaruhi penggunaan warna pada
modern. Berbeda jauh dengan material bangunan yang digunakan pada Arsitektur
Tradisional Aceh yang masih menggunakan material yang terdapat di alam seperti
kayu dan bambu yang di pergunakan untuk membangun dinding, kolong dan atap
bangunan. Material atap pada Arsitektur Tradisional Aceh masih menggunakan daun
rumbia. Material bangunan yang digunakan pada aristektur tradisional Aceh tidak
diadopsi dikarenakan kemudahan dalam perawatan material sekarang ini dan juga
material yang dulu sekarang susah di dapatkan pada jaman sekarang ini.
Genteng
Metal
Kaca dan
aluminium
Beton
Atap Rumbia
Kayu
Dalam kaitannya antara AML (Arsitektur Masa Lalu) pada AMK (Arsitektur
Masa Kini), penggunaan marerial yang berbeda antara Arsitektur Tradisional Aceh
berkembang dengan saat ini sehingga tidak dipengaruhi oleh material yang di
gunakan pada arsitektur Tradisional Aceh yang masih menggunakan material alami.
4.1.2 Elemen fisik Arsitektur Tradisional Aceh pada bangunan kantor walikota
Lhokseumawe
Entrance merupakan pintu masuk atau area yang pertama kali diakses dalam
dibutuhkan pertanda yang jelas dan lebih menonjol dari bidang sekitarnya untuk
memperjelas keberadaan entrance jika dilihat dari jarak tertentu. Menurut Ching
(2000 ) jenis entrance dapat di kelompokkan Menjadi : (a) entrance Rata (b) entrance
Menjorok keluar dan (c) entrance Menjorok kedalam. Bentuk entrance yang berbeda
dari bidang sekitarnya akan membuat manusia yang akan melewati entrance merasa
yakin jika bangunan tersebut yang akan menjadi tujuan. entrance Menjorok keluar
akan membentuk sebuah ruang transisi, sedangkan entrance yang menjorok ke dalam
dalam bangunan.
bangunannya. Kolong pada rumah Tradisional Aceh dibangun tinggi diatas tiang-
tiang berbentuk bulat dengan jarak antara tanah ke lantai rata-rata mencapai 2 sampai
3 meter. Tiang-tiang yang membentuk kolong tersusun atas empat tiang yang berjajar
kebelakang dari arah Timur ke Barat ataupun sebaliknya. Pada bagian kolong
bangunan, terdapat area tangga masuk menuju Rumah Tradisional Aceh yang
letaknya berada pada bagian sebelah Selatan ataupun Utara. Jumlah anak tangga yang
ganjil bermakna bahwa setiap jumlah hitungan selalu ada hubungan dan pengaruhnya
dengan ketentuan langkah, rezeki, pertemuan dan maut. Jika anak tangga dibuat
ganjil, maka anak tangga yang terakhir jatuh pada hitungan pertemuan dan langkah
genap, akan berakhir pada maut, maka penghuninya atau tamu pada rumah itu akan
entrance yang menjorok kedalam akan membentuk sebagian ruang eksterior kedalam
area bangunannya. Bentuk entrance yang menjorok kedalam dengan ditopang 4 tiang
pada bagian depannya, seperti mengadopsi bentuk entrance pada rumah Tradisional
Aceh (Gambar 4.5). Penggunaan bentuk entrance Rumah Tradisionalnya Aceh tidak
Lhokseumawe, sehingga hanya menjadi tempelan Arsitektur Masa Lalu (AMK) pada
Arsitektur Masa Kini (AMK). Akan tetapi penggunaan bentuk entrance Rumah
Tradisional Aceh melebur menjadi satu kesatuan dengan bentuk entrance bangunan
Bentuk Entrance
pada Kantor
Walikota mendapat
pengaruh dari bentuk
Entrance pada
rumoh aceh.
Tampak
Selatan
Tampak Barat
dan Timur
tiang-tiang pada Rumah Tradisional Aceh, dengan bentuk tiang bulat dan tersusun
atas empat tiang sejajar (Gambar 4.6). Hal lainnya yang mengadopsi bentuk entrance
Rumah Tradisional Aceh yaitu akses tangga menuju kedalam bangunan Kantor
Walikota Lhokseumawe, dengan anak tangga berjumlah ganjil yaitu 5 anak tangga.
Perbedaanya hanya saja letak posisi tangga berada pada bagian tengah bangunan
kantor walikota, sedangkan Rumah Tradisional Aceh letak posisi tangga berada pada
Dalam kaitannya antara AML (Arsitektur Masa Lalu) pada AMK (Arsitektur
Masa Kini), elemen fisik berupa entrance Arsitektur Tradisional Aceh terlihat
Tradisional Aceh berupa entrance tidak hanya sekedar tempelan dari elemen
bentuk entrance terlihat menyatu menjadi satu kesatuan dengan adanya pengulangan
dan dominasi dari bentuk tiang-tiang bulat, yang membentuk entrance Arsitektur
suatu bangunan. Menurut Krier (1988), ada beberpa hal yang perlu diperhatikan
dalam pemilihan atap untuk menentukan tampilan bangunan yaitu : Bentuk atap,
kemiringan atap, warna atap serta bahan atap. Pemilihan Bentuk atap dengan
kemiringan, warna dan bahan yang sesuai akan mendukung perwujudan citra suatu
Aceh, atapnya berbentuk pelana dengan kemiringan 30 derajat, berbahan dan warna
alami dari daun rumbia. Pada perkembangan jaman selanjutnya di era modern, atap
bangunan sudah lebih beragam bentuk, warna dan bahan atap yang digunakan untuk
tampilan bangunan.
seperti bentuk atap pada Rumah Tradisional Aceh (Gambar 4.8) menggunakan bentuk
atap pelana. Akan Tetapi bentuk atap pelana seperti pada Rumah Tradisional Aceh
tidak diaplikasi ataupun diduplikasi begitu saja pada Kantor Walikota Lhokseumawe
melainkan adanya variasi dari bentuk atap pelana dengan dua bentuk tingkatan atap
Dalam kaitannya antara AML (Arsitektur Masa Lalu) pada AMK (Arsitektur
Masa Kini), elemen fisik berupa bentuk atap Arsitektur Tradisional Aceh terlihat
atap Pelana yang mendominasi keseluruhan Arsitektur Aceh sama dengan bentuk
atap pelana yang mendominasi bentuk atap bangunan kantor walikota, hanya saja
bentuk atap kantor walikota terbentuk dari pengulangan bentuk dari atap pelana
sehingga terjadi variasi bentuk, tidak hanya bentuk atap pelana yang monoton.
Bentuk
Atap
pelana
rumoh
Aceh
bangunan. Bagian terluas dari suatu fasade adalah dinding bangunan, jadi dinding
merupakan faktor penentu utama penilaian terhadap eksistensi bangunan. Kriteria dan
komponen penilaian pada dinding bangunan menurut Krier (1988) adalah : (a)
Dinding, (c) Warna Dinding (d) Bahan Dinding. Proporsi Masif-Transparan pada
bukaan (transparan) dan dinding tertutup (massif). Pada dinding Efek Vertikalitas -
material alami dari kayu. Efek visual yang ditampilkan pada rumah Tradisional Aceh,
cenderung vertikal, karena bentuk dinding didominasi dari kisi-kisi jendela dan juga
Tampak Selatan
Tampak Utara
Gambar 4.9 Dinding pada bagian Barat dan Timur Rumah Tradisional Aceh
Sumber : Analisa penulis, 2019
Tampak Selatan
Tampak Utara
Gambar 4.10 Dinding pada bagian Selatan dan Utara Rumah Tradisional Aceh
Sumber : Analisa penulis, 2019
yang merupakan penambahan panjang atau lebar dari bentuk pesegi. Menurut Ching
(1996) bentuk persegi menghasilkan keteraturan dan juga kejernihan secara visual.
Bentuk yang teratur juga dipertegas dari bentuk fasad dan layout bangunan Kantor
Komposisi berpola simetri memberikan kesan tertata rapi dan formal, sesuai dengan
fungsi bangunan sebagai kantor pemerintahan. Proporsi antara dinding massif dan
dinding transparan (berupa jendela dan pintu) seimbang pada tampilan bangunan
arsitektur Rumah Tradisional Aceh. Pada setiap sisi dinding tampilan luar
dari Timur ke Barat, atapnya yang berbentuk pelana, memiliki ornamen serta di
memiliki arah Selatan, sehingga bangunan membujur dari Timur ke Barat, sesuai
dengan dinding Rumah Tradisional Aceh. Akan tetapi dinding bangunan bagian
Timur dan Barat pada Rumah Tradisional Aceh, ditampilkan pada dinding bangunan
bagian Utara dan Selatan pada bangunan Kantor Walikota. dinding bangunan bagian
Barat dan Timur Rumah Tradisional Aceh ditampilkan pada setiap dinding bangunan
pada Kantor Walikota yaitu dinding bagian Utara, dinding bagian Selatan, dinding
bagian Timur dan dinding bagian Barat (Gambar 4.9). Begitu pula sebaliknya dinding
bagian Utara dan Selatan pada Rumah Tradisional Aceh ditampilkan pada setiap
dinding bagian bangunan Kantor Walikota (Gambar 4.10). Sehingga bentuk dinding
Rumah Tradisional Aceh mengadopsi dinding bangunan dari segala sisi pada
Dalam kaitannya antara AML (Arsitektur Masa Lalu) pada AMK (Arsitektur
Masa Kini), elemen fisik berupa bentuk dinding bangunan Kantor walikota
dipengaruhi oleh bentuk dinding dari Arsitektur Tradisional Aceh. Bentuk dinding
rumah Tradisional Aceh terlihat menyatu dengan bentuk dinding bangunan kantor
sama disetiap sisi dinding bangunan mencoba menghadirkan Arsitektur Masa Lalu
(AML) pada Arsitektur Masa Kini (AMK) yaitu bangunan kantor walikota
Lhokseumawe.
Jendela merupakan salah satu bagian dari bangunan yang memiliki beberapa
fungsi. Tidak hanya fungsi ventilasi udara, jendela juga berfungsi sebagai
Bentuk jendela yang beraneka ragam akan meningkatkan citra visual sebuah
bangunan. Pada Arsitektur Tradisional Aceh, jendela umumnya dibuat pada dinding
sebelah Barat dan Timur. Jendela ini merupakan jendela utama yang menyambut
udara bersih dan sinar mataharai pagi ke dalam rumah. Sedangkan jendela yang
dibuat pada dinding bagian Utara dan Selatan hanya berfungsi untuk menerangi
Bukaan Model 1
ventilasi
ukuran, dan desain yang beraneka ragam. Ada beberapa jenis desain bentuk jendela
pada bangunan Kantor Walikota (Gambar 4.11). Pada dasarnya keseluruhan bentuk
jendela hampir sama tetapi adanya variasi bentuk menjadikan tampilan jendela ini
berbeda. Keseluruhan jendela berbentuk persegi dan persegi panjang dengan variasi
penggunaan bentuk lengkungan pada baian atas jendela. Bentuk jendela pada Kantor
Pintu merupakan elemen penting dalam bangunan yang menjadi akses untuk
keluar masuk bangunan. Pemilihan bentuk pintu yang tepat menjadikan bangunan
bernilai secara estetika. Menurut Krier (1988): Pintu memainkan peranan yang
menentukan dalam menghasilkan arah dan makna yang tepat pada suatu ruang.
Ukuran umum yang digunakan adalah perbandingan proporsi 1:2 atau 1:3. Ukuran
pintu selalu memiliki makna yang berbeda, misalnya pintu berukuran pendek untuk
masuk ke dalam ruangan yang lebih privat. Posisi sebuah pintu dapat dipengaruhi
Pada rumah tradisional Aceh, Tinggu pintu masuk sekitar 120-150 cm.
Dengan ketinggian yang tidak melebihi dahi manusia ini membuat siapapun yang
hendak masuk ke dalam Rumoh harus merunduk. Hal ini merupakan aturan turun
menurun yang berarti sebuah penghormatan kepada tuan rumah saat memasuki
bentuk dan ukuran pintu seperti pada bangunan perkantoran lainnya , tidak ada detail
Dalam kaitannya antara AML (Arsitektur Masa Lalu) pada AMK (Arsitektur
Masa Kini), elemen fisik berupa pintu dan jendela bangunan kantor walikota
bervariasi jenisnya agar tidak terkesan monoton. Pengulangan bentuk jendela yang
menciptakan suatu keharmonisan bentuk. Sama halnya dengan bentuk dan material
pintu yang digunakan pada bangunan kantor walikota. Sehingga bentuk pintu dan
jendela bangunan kantor walikota tidak dipengaruhi oleh arsitektur tradisional Aceh.
suatu hiasan yang melekat pada bangunan. Ornamen pada bangunan berfungsi untuk
menambah estetika pada bangunan, selain itu ornamen juga mengandung simbol/
ornamen berbagai macam ragam sesuai dengan budaya yang melekat pada masyarkat.
maupun motif-motif yang berasal dari alam. Penerapan ornamen pada setiap
Ornamen pada bangunan Kantor Walikota ini mengadopsi dari ornamen budaya
masyarakat setempat, yaitu budaya Aceh. Pada Rumah Tradisional Aceh, penerapan
ornamen khas Aceh hampir diseluruh elemem bangunannya. Seperti pada bagian kisi-
kisi atap, tangga, dinding, jendela, pintu, dan juga tiang/ kolom pada bangunan.
kisi-kisi atap atau tulak angen (tolak angin) pada bagian atap umunmnya
berfungsi sebagai sirkulasi udara masuk kedalam bangunan. Pada Rumah Tradisional
Aceh, tulak angen terdapat pada ujung atap pelana pada bagian timur dan Barat.
Jenis motif ornamen yang digunakan pada tulak angen dari motif kaligrafi, sulur
terdapat di alam. Walaupun pada bagian elemen bangunan lainnya tidak memiliki
ornamen, tetapi hampir di setiap rumah orang Aceh, ornamen pada bagian tulak
angen ini diterapkan pada Rumah Tradisional Aceh dari rumah yang berbentuk
pangggung hingga rumah yang tidak lagi menggunakan bentuk panggung pada zaman
sekarang ini.
Pada bagian atap Kantor Walikota, dipengaruhi oleh ornamen pada kisi-kisi
atapnya, atau dalam bahasa Aceh di sebut tulak angen (tolak angin) seperti yang
digunakan pada Rumah Tradisional Aceh. Pengaruh pengunaan ornamen ini juga
sama pada ujung-ujung atap pelana, tetapi karena bentuk atap bangunan Kantor
Walikota ini kombinasi arah dari bentuk atap pelana, sehingga ornamen ini terlihat
dari arah Selatan, Utara, Barat atau pun Timur dari bangunan Kantor Walikota.
Secara makna penggunaan ornament pada bagian tersebut menjadi suatu identitas
dari Arsitektur Aceh. Walaupun pada bagian lain tidak mempergunakan ornament
Aceh, tapi hanya dengan adanya tulak angen pada bagian atap membuat sebuah
dinding luar pembatas antara lantai satu dengan lantai dua bangunan. Ornamen ini
menonjol, dikarenakan bentuknya yang berada dalam kotak persegi dan juga
menggunakan warna yang sama dengan dinding bangunan. Pengaruh ornamen ini
pada dinding bangunan tidak penuh di semua dinding seperti pada ornamen dinding
Tradisional Aceh menyeluruh pada bagian antar kolong dengan dinding. Pada Kantor
bagiannya.
Pada bagian jendela, pengunaan ornamen terlihat dibagian jendela lantai 2 dan
pada lantai 3 saja. Ornamen pada jendela terletak pada bagian atas jendela, ornamen
tidak langsung menempel pada jendela, akan tetapi pada bagian sun shading dari
bentuk jendelanya. Motif ornamen pada bagian jendela ini, menggunakan motif
dipenaruhi dari penggunaan ornamen pada dinding di Rumah Tradisional Aceh. Pada
Rumah Tradisional Aceh ornamen pada dinding berada pada dinding bagian atas
jendela, bentuk ornamen tidak massif, sehingga mealui ornamen dapat masuk sinar
matahari dan juga aliran udara. Pada Kantor Walikota, ornamen pada dinding hanya
Dalam kaitannya antara AML (Arsitektur Masa Lalu) pada AMK (Arsitektur Masa
Kini), elemen fisik berupa ornamen diterapkan pada Ornamen pada Tulak angen
(kisi-kisi atap), Ornamen pada Kindang, Ornamen pada Tingkap (Jendela) Dan
Ornamen pada Binteih (dinding) akan tetapi penggunaannya tidak sebanyak dan
Lhokseumawe
Berdasarkan analisa yang telah dilakukan tehadap wujud dan elemen fisik
Walikota Lhokseumawe, dan hanya elemen fisik arsitektur berupa atap, dinding dan
Tabel 4.1 Wujud Arsitektur Tradisional Aceh pada Kantor Walikota Lhokseumawe
Unit amatan Arsitektur Tradisional Aceh Bangunan Kantor Walikota Kaitan dan
Penerapannya
Dipengaruhi oleh
Material Bangunan
Arsitektur Modern
Dipengaruhi oleh
Warna Bangunan
Arsitektur Modern
Menggunakan warna kream
Menggunakan warna : hitam, merah,
kunng dan hijau
Tabel 4.2 Elemen Fisik Arsitektur Tradisional Aceh pada Kantor Walikota Lhokseumawe
Dipengaruhi oleh
Arsitektur Tradisional
Aceh
Entrance
Dipengaruhi oleh
Arsitektur Tradisional
Aceh
Atap
Dipengaruhi oleh
Pintu
Arsitektur Modern
Pintu kayu
pintu kaca
Dipengaruhi oleh
Bentuk Jendela
Arsitektur Modern
Dipengaruhi oleh
Bentuk Ventilasi
Arsitektur Modern
Dipengaruhi oleh
Arsitektur Modern
Adanya ornamen
Ornamen
Tingkap
(Jendela)
Dipengaruhi oleh
Arsitektur Modern
Ornamen pada luar sisi jendela
tidak menyatu dengan jendela,
5.1 Kesimpulan
2. Kaitan antara Arsitektur Masa Lalu (AML) pada Arsitektur Masa Kini (AMK)
Lhokseumawe
3. Tidak ada Wujud Arsitektur Masa Lalu (AML) mendominasi Arsitektur Masa
Kini (AMK) baik dari segi orientasi Bangunan, warna Bangunan, proporsi
walikota Lhokseumawe.\
4. Elemen fisik Arsitektur Masa Lalu (AML) menyatu di dalam Arsitektur Masa
97
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
98
walikota Lhokseumawe.
terlihat pada :
a. entrance bangunan,
5.2 Saran
Pada penelitian yang berjudul pengaruh Arsitektur Tradisional Aceh ini hanya
melihat pada salah satu objek bangunannya. harapan kedepannya tidaknya melihat
pengaruh Arsitektur Aceh pada satu objek, tapi dapat melihat pengaruh Arsitektur
99
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Hasjmy, Ali (1983) Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, Jakarta: Beuna.
Hoesin, Moehammad (1970) Adat Atjeh, Banda Atjeh: Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Atjeh,.
Hurgronje, Snouck C. (1906) The Acehnese, Translated by A.W.S. O’Sullivan, Vol.
I-II, Leyden.
Hurgronje, C. Snouck (1985) Aceh di Mata Kolonialis Jilid 1, Terjemahan- Ng.
Singarimbun, dkk, Jakarta: Yayasan Soko Guru.
Hurgronje, C. Snouck (1985) Aceh di Mata Kolonialis Jilid II-Terj Singarimbun,
Jakarta: Yayasan Soko Guru.
Jenks, C. (1977). The Language of Post Modern Architecture. New York: Rizolli.
Koentjaraningrat (1982) Manusia dan Kebudayaan. PT Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Koentjaraningrat (2000) Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineke Cipta.
Koesaerini.et.all (2002) Transformasi Arsitektur Nusantara. Seminar Arsitektur,
Unpublished. Departemen Arsitektur ITB, Bandung
Krier, Rob (2001). Komposisi Arsitektur, Erlangga. Jakarta
Leigh, Barbara. (1982). “Design Motifs in Aceh: Indian and Islamic Influences. In
The Malay Of Islamic World, edited by J Maxwell: Centre Of South East
Asian Studies, Monash University.
Leigh, B (1988) Tangan-tangan Trampil Seni Kerajinan Aceh. Pustaka Djambatan,
Jakarta
Mangunwijaya (1992). “Wastu Citra”. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama
Meutia, Erna (2017) Identifikasi Model Proporsi Bangunan Arsitektur Tradisional
Aceh. Prosiding Seminar Kearifan Lokal dan Lingkungan Binaan 25-26
Januari 2017
Messakh, Jeni (2014) Akulturasi Yang Mengedepankan Lokalitas Dalam Membentuk
Identitas Arsitektur Nusa Tenggara Timur. E-Journal Graduate Unpar Part D
– Architecture Vol. 1, No. 2 : 178 -188.
Mirsa Rinaldi (2013) Rumoh Aceh. Graha Ilmu. Yogyakarta
Moehammad Hoesin, (1970), Adat Atjeh, Dinas P dan K Propinsi Daerah Istimewa
Atjeh, Banda Atjeh
100
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Muchamad, Bani Noor dan Ikaputra (2010) Model Ekspresi Arsitektur. Seminar
Nasional : Metodologi Riset dalam Arsitektur .
Nazir Moh (2005) Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Bogor.
Nesbitt. Kate. Et.all (1995) Theorizing new Agenda for Architecture. Princeton Arch
press
Ozkan, Suha (1985) Regionalism within Modernism dalam Regionalism in
Architectur. Singapura. Concept Media.
Pangarsa, Galih Wijil (2006) Merah Putih Arsitektur Nusantara, Penerbit Andi
Offset, Yogyakarta
Peraturan Menteri PU No.45/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Pembangunan
Bangunan Gedung Negara
Prijotomo Josef (1998) Pasang Surut Arsitektur Indonesia. Wastu Lanas Grafika.
Surabaya
Putra, Riza Aulia dan Ekomadyo, Agus S (2015) Penguraian Tanda (Decoding) Pada
Rumoh Aceh Dengan Pendekatan Semiotika. Institut Teknologi Bandung
Rahmansah dan Rauf, Bakhrani (2014) Arsitektur Tradisional Bugis Makassar
(Survei pada Atap Bangunan Kantor di Kota Makassar). Makassar. Jurnal
forum Bangunan vol 12 no 2: 56-63
Rapoport, A. (1969). House Form and Culture. N.J: Englewood Cliffs
Sabila, Farisa (2014) Tipologi Tata Ruang Dalam Rumoh Aceh Di Kawasan Mukim
Aceh Lhee Sagoe: arsitektur e-Journal, Vol 7, No 1: 1-19.
Sabila, Farisa. (2014) pengaruh faktor non fisik terhadap pembentukan pola ruang
bangunan Rumoh Aceh di kabupaten Aceh Besar, fakultas teknik universitas
brawijaya
Said, Muhammad (1981) Aceh Sepanjang Abad Jilid I, Medan: Waspada
Said, Muhammad. (1985). Aceh Sepanjang Abad Jilid II, Medan: Waspada
Setyowati, Suryaning (2007) Pengaruh arsitektur keraton kasunan Surakarta pada
gaya arsitektur bangunan kantor pemerintah di kota Surakarta.Yogyakarta
Snyder, James C. Dan Anthony J. Catanese (1984) Pengantar Arsitektur, terj.
Hendro Sangkayo, ed. Yani Sianipar, Cetakan ke-9 2005, Jakarta: Penerbit
Erlangga.
101
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Suriastuti, Mira Zulia; Wahjudi, Deddy dan Handoko Bagus (2014) Kajian Penerapan
Konsep Kearifan Lokal Pada Perancangan Arsitektur Balaikota Bandung.
Bandung. Jurnal Itenas Rekarupa No 1 Vol 2: 122-128
Sumalyo Yulianto, (1997). Arsitektur Modern Akhir Abad XIX dan Abad XX. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta
Wahid, J. dan Alamsyah, B. 2013. Teori arsitektur: suatu kajian pemahaman Teori
Barat dan Timur. Graha Ilmu. Yogyakarta
Widosari (2010) Mempertahankan Kearifan Lokal Rumoh Aceh dalam Dinamika
Kehidupan Masyarakat Pasca Gempa dan Tsunami. Local wisdom-Jurnal
Ilmiah Online. Vo II. No 2: 27-36
Wondoamiseno, RA (1991) Regionalisme Dalam Arsitektur Indonesia Sebuah
Harapan. Yogyakarta: Penerbit Yayasan Rupaduta
Zainuddin H. M ,(1961). Tarich Aceh dan Nusantara Djilid 1, Medan: Pustaka
102
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA