Anda di halaman 1dari 4

IBUKU MALAIKAT (MAUT) KU

"Drrrrtt.. Drrrrtt.. Drrrrtt.. " Getar dari handphone yang ku letakkan di atas nakas dekat tempat
tidurku membuat ku terbangun. Sambil mengernyit tangan kananku mengambil handphone
yang bahkan sudah ku hapal letaknya dengan mata masih terpejam. Baru saja aku terlelap
beberapa jam karena pekerjaan segunung yang ditinggalkan teman satu divisi ku. Rasanya
badan ini remuk apalagi di bagian punggung karena terlalu banyak duduk tegak. Ku tempelkan
handphone ku ke telinga dan tanpa basa-basi aku mengawali pembicaraan dengan berkata
"Halo, siapa yang telepon malam-malam begini ?". "Halo, maaf saya dari kepolisian". Suara
berat di seberang membuat ku terduduk dan mataku yang sebelumnya lengket seperti di lem
terbuka selebar-lebarnya.

"Saya menginformasikan bahwa adik Anda sekarang akan dibawa ke kantor polisi, karena
ditemukan narkotika jenis sabu di jok motornya. Dan Anda diharuskan menebus sebesar 20 juta
jika tidak ingin adik Anda di bawa ke kantor polisi untuk di penjara" Jelas si Pak polisi yang
langsung menghujani ku dengan serentetan kalimat yang masih ku cerna. Setelah cukup lama
terdiam aku tersadar dan ingin mengumpat rasanya. "Maaf, seperti Bapak salah orang, saya
tidak punya adik" Langsung kututup telepon tersebut dan membantingnya ke ujung kasur.
Kulihat jam dinding sudah pukul 4 pagi, telepon iseng itu membuat 10 menit yang berharga ku
hilang. Ingin rasanya aku kembali tidur tapi suara adzan shubuh membuatku mengurungkan
nya.

Aku bangun dan melihat sekeliling kamar kubusku yang berukuran 3x3 meter. Mungkin tikus
pun tidak mau tinggal disini. Spring bed doubel size tanpa dipan dengan seprei kuning yang
sudah kumal di sisi kiri, lalu ada meja dari kayu jati yang masih terlihat kilapan pernis nya yang
cuma di tumpangi lampu tidur jadul dengan warna emas dan putih. Di sisi kanan atau di depan
pintu persis terdapat rak buku putih polos setinggi 100 cm dengan lebar 40 cm berisi novel yang
kebanyakan bergenre romantis berwarna pastel.

Sebenarnya perabotan kamar ini cukup layak, hanya saja cat tembok biru atau hijau yang sudah
tidak bisa dikenali dengan jamur dan keropos di sana-sini. Juga meja kecil yang kusebut tadi
tidak hanya di isi oleh lampu tidur melainkan tumpukan sampah makanan ringan dan beberapa
mangkok mie instan yang sudah 2 hari belum kubuang. Di lantai juga tidak kalah mengerikan,
beberapa baju kotor dan baju bersih yang tidak jadi kugunakan sebelum berangkat kerja tadi
tercampur jadi satu. Dan yang bisa ku banggakan dari ruangan ini adalah kamar mandinya yang
putih, bersih dan wangi untuk yang satu ini aku setuju.
Aku melihat jam dinding lagi sudah pukul 4 lebih 15 menit, memandangi ruangan ini
membuatku buang-buang waktu lagi, aku ambil air wudhu di kamar mandi dan segera sholat di
lantai bersih yang baju-bajunya sudah ku singkirkan ke dalam kantong laundry. Kalau ibuku tahu
pasti akan ada perang dunia ke dua. Ah aku baru ingat ini sudah sebulan aku memutuskan
untuk tinggal di kosan yang jauh dari rumah karena bertengkar hebat dengan ibu. Selama
sebulan ini pun aku juga tidak mengabari orang rumah maupun ibuku. Aku mengganti nomer
telepon dan kemarin ijin cuti tahunan yang tidak kugunakan selama beberapa tahun akan
kugunakan besok, bos kantor ku juga sudah menyetujui nya.

Besoknya pagi-pagi betul aku sudah siap dengan hoodie putih yang di padukan dengan kulot
dan jilbab dengan warna hitam senada serta tas selempang kecil disisi kiri berwarna pastel
berisi handphone dan dompet. Aku pergi mengelilingi jalanan, entah kemana kaki mungilku
yang berbalut kan sneakers putih ini membawa. Aku berjalan cukup jauh selama 2 jam sambil
memperhatikan orang-orang lalu lalang dan tiba-tiba aku sampai di depan panti asuhan dengan
plakat bertuliskan One Day One Charity atau yang artinya Satu Hari Satu Amal.

Aku masuk ke dalam dan seorang ibu paruh baya berumur sekitar 40 tahunan menyapaku dan
memeberikan selembar brosur sambil berkata "Kalau mbak berkenan silahkan, silahkan di
baca". Kupandangi ibu tersebut dan brosur yang sudah ditangan ku secara bergantian. Sambil
membaca isi brosur ibu itu melanjutkan perkataan nya. " Mbak boleh menyumbang pakaian
atau buku untuk anak-anak panti disini, bukan cuma berupa barang mbak juga boleh
menyumbangkan waktu dengan bermain dan mengajar anak-anak panti seharian mulai dari jam
8 pagi sampai 4 sore. Oh iya perkenalkan nama saya Bu Ratna, orang-orang dan anak-anak panti
disini biasa memanggil saya dengan sebutan Bunda". Ucapnya sambil menyodorkan tangan
untuk berjabat. Aku segera menyodorkan tangan juga sambil memperkenalkan diri."Nama saya
Lia" ucapku lemas karena saat berkeliling aku belum sarapan.

Aku akhirnya ikut acara dadakan tersebut dan beliau menawariku sarapan karena bibir ku
terlihat pucat dan suaraku lirih. Aku merasa sungkan tapi juga tidak menolak pemberian nya.
Aku di bawa menjelajahi panti ini oleh Bunda sambil berkata "Mbak Lia, acara ini diadakan
setiap seminggu sekali di hari Sabtu karena Senin sampai Jumat itu hari sibuk". Kita sampai di
ruangan yang dimaksud Bunda. Ternyata yang berpartisipasi lumayan banyak sekitar 5 orang
termasuk aku. Anak-anak disini cukup penurut dan manis-manis menurutku. Sekitar 15 anak
berusia sekitar 7 sampai 10 tahun, 9 anak perempuan dan 6 anak laki-laki.

Ada satu anak yang mirip sekali denganku waktu kecil, namanya Meli. Meli berumur 7 tahun
dan yang paling muda disini. Kata Bunda dia ditinggal di depan kantor pos dekat panti dan
ditemukan jam 5 shubuh oleh warga sekitar, bayi Meli akhirnya di bawa ke panti dan warga
melaporkan nya ke kantor polisi, tapi selama seminggu tidak ada orang tua yang menjemput
nya. Meli menjadi anak terkahir yang di asuh Bunda di panti ini selama 7 tahun terakhir. Karena
mendengar cerita itu aku akhirnya menjadi dekat dengan Meli. Tiap Sabtu aku selalu mampir
kesini bahkan jika ada waktu aku sehabis pulang kerja aku juga mampir untuk membawakan
nasi goreng untuk seluruh anak panti.

Meli termasuk anak yang cukup pintar dari kebanyakan anak seusinya yang pernah kutemui,
contohnya sepupuku. Dia pandai dalam sastra dan merangkai kata. Suatu hari aku mengunjungi
panti dan Meli menyodorkan ku sebuah buku berisi puisi yang dibuatnya. Puisi itu berisi tentang
kerinduan terhadap ibunya tapi juga hari bahagia yang dia lalui bersama anak panti lainnya
yang sudah di anggap sebagai saudara kandung serta ada Bunda yang selalu menemaninya.

Air mata yang tidak kusangka akan menetes, menjadi deras karena sambil membacanya aku
memikirkan ibuku. Kupeluk Meli dan menangis sesenggukan selama kurang lebih seperempat
jam Meli yang sedang memelukku juga memberikan tepukan halus di punggung ku. Bunda juga
ternyata melihat dari kejauhan dan setelah tangisku reda menghampiri ku. Beliau berkata
"Bunda tahu kamu adalah masalah keluarga bukan, kebanyakan yang datang kesini begitu.
Segera selesaikanlah masalahmu". Kata Bunda dengan suara lembut menenangkan dan senyum
manisnya. Aku mengangguk dan berpamitan kepada anak-anak panti serta Bunda.

Aku pulang dan segera mengemasi beberapa baju dan barang penting lainnya. Aku
memutuskan untuk ke stasiun dan naik kereta menuju rumah ibuku. Iya, aku akan pulang
karena sadar akan kesalahan ku selama ini. Ibu juga pasti merindukan ku dan sedang mencari-
cari ku. Aku akan ke Surabaya, sebelum nya aku kabur ke Malang. Aku rela menempuh 2 jam
perjalanan ke kantor dari Malang ke Surabaya hanya untuk menghindari ibu. Aku sampai di
Surabaya pada sore hari dan segera mencari taksi.

Aku sampai di depan pagar rumah ku dan ada ibuku sedang menyiram tanaman di teras rumah.
Aku langsung berlari dan berteriak "Ibu... ". Beliau menoleh dan akhirnya aku memelukku. Aku
menangis tersedu-sedu sambil meminta maaf. Ibu juga menangis sambil berkata "Kamu
kemana saja nak selama ini Ibu, Ayah dan kakakmu rindu sekali, nomer tidak aktif dan
kawanmu juga tidak mau bilang kamu kemana, semua tutup mulut" ucap Ibu sambil mengusap
air matanya.
Aku menyambung katanya "Iya maaf Bu, aku terlalu terbawa emosi dan tidak berpikir jernih
saat itu. Sekarang aku sadar kalau aku yang salah dan aku minta maaf sekali lagi kepada Ibu."
Ibuku mengangguk dan masuk ke rumah sambil menyuruh ku untuk tunggu disini sebentar.
Saat kembali Ibu mengacungkan sapu sambil berlari dari arah pintu ke arahku. Wajahku kaget
sekali dan aku berlari sekencang mungkin ke jalan, sambil berlari aku makin menyadari
kesalahanku dan tidak mau kabur-kaburan lagi. Muka ibu yang semula merah karena menangis
di depan ku kini merah padam bagaikan udang rebus. Ibuku bagai malaikat, iya malaikat maut
yang siap mencabut nyawa orang, sangat mengerikan.

Anda mungkin juga menyukai