Anda di halaman 1dari 16

Scott (2004) mengemukakan bahwa teori institusional memberi perhatian yang mendalam dan

sungguh-sungguh pada struktur sosial. Teori ini memperhatikan bagaimana struktur, seperti
skema, aturan, norma dan rutin, menjadi bentuk yang bersifat otoritatif untuk terjadinya
perilaku sosial. Teori institusional mempertanyakan bagaimana hal-hal tersebut dibuat, berpadu,
diadaptasi dalam ruang dan waktu. Merujuk Gerhard Linski dalam Sunarto (2004) dan juga
Svejvig (2010) teori institusional dapat membahas perilaku sosial baik dalam jenjang makro-
struktur, meso-struktur ataupun mikro-struktur.

Barley (2001) mengemukakan teori institusional ini dapat memberikan analisis alternatif dengan:
“develop a more structural and systemic understanding for how technologies are embedded in
complex interdependent social, economic, and political networks, and how they are consequently
shaped by such broader institutional influences”

Svejvig (2010) teori institusional dapat membahas perilaku sosial baik dalam jenjang makro-
struktur, meso-struktur ataupun mikro-struktur

Teori institusional (Institutional Theory) atau teori kelembagaan core idea-nya adalah terbentuknya


organisasi oleh karena tekanan lingkungan institusional yang menyebabkan terjadinya
institusionalisasi. Zukler (1987) dalam Donaldson (1995), menyatakan bahwa ide atau gagasan
pada lingkungan institusional yang membentuk bahasa dan simbol yang menjelaskan
keberadaan organisasi dan diterima (taken for granted) sebagai norma-norma dalam konsep
organisasi.

Eksistensi organisasi terjadi pada cakupan organisasional yang luas dimana setiap organisasi
saling mempengaruhi bentuk organisasi lainnya lewat proses adopsi atau institusionalisasi
(pelembagaan).

Di Maggio dan Powell (1983) dalam Donaldson (1995), menyebutnya sebagai proses imitasi
atau adopsi  mimetic sebuah organisasi terhadap elemen organisasi lainnya.

Menurut Di Maggio dan Powell (1983) dalam Donaldson (1995), organisasi terbentuk oleh
lingkungan institusional yang ada di sekitar mereka. Ide-ide yang berpengaruh kemudian di
institusionalkan dan dianggap sah dan diterima sebagai cara berpikir ala organisasi tersebut.
Proses legitimasi sering dilakukan oleh organisasi melalui tekanan negara-negara dan
pernyataan-pernyataan. Teori institusional dikenal karena penegasannya atas organisasi hanya
sebagai simbol dan ritual.

Perspektif yang lain dikemukakan oleh Meyer dan Scott (1983) dalam Donaldson (1995), yang
mengklaim bahwa organisasi berada dibawah tekanan berbagai kekuatan sosial guna
melengkapi dan menyelaraskan sebuah struktur, organisasi harus melakukan kompromi dan
memelihara struktur operasional secara terpisah, karena struktur organisasi tidak ditentukan oleh
situasi lingkungan tugas, tetapi lebih dipengaruhi oleh situasi masyarakat secara umum dimana
bentuk sebuah organisasi ditentukan oleh legitimasi, efektifitas dan rasionalitas pada
masyarakat.

Kekhususan teori institusional terletak pada paradigma norma-norma dan legitimasi, cara
berpikir dan semua fenomena sosiokultural yang konsisten dengan instrumen tehnis pada
organisasi. DiMaggio dan Powell (1983) dalam Donaldson (1995), melihat bahwa organisasi
terbentuk karena kekuatan di luar organisasi yang membentuk lewat proses mimicry atau imitasi
dan compliance. Kontributor lain teori ini adalah Meyer dan Scott (1983) dalam Donaldson (1995),
menyatakan bahwa organisasi berada di bawah tekanan untuk menciptakan bentuk-bentuk
sosial yang hanya terbentuk oleh pendekatan konformitas dan berisi struktur-struktur terpisah
pada aras operasional.

DiMaggio dan Powell (1983) dalam Donaldson (1995), melihat ada tiga bentukan institusional
yang bersifat isomorphis yaitu, pertama; coersif isomorphis yang menunjukkan bahwa organisasi
mengambil beberapa bentuk atau melakukan adopsi terhadap organisasi lain karena tekanan-
tekanan negara dan organisasi lain atau masyarakat yang lebih luas. Kedua; mimesis
isomorphis, yaitu imitasi sebuah organisasi oleh organisasi yang lain. Ketiga, normatif isomorphis,
karena adanya tuntutan profesional. Sementara konsep lain pada teori institusional menurut
Meyer dan Scott (1983) dalam Donaldson (1995) adalah loose-coupling yaitu teori institusional
mengambil tempatnya sebagai sistem terbuka.

Institusionalisasi

Coercive isomorphism (ketika organisasi terpaksa melakukan adopsi struktur atau aturan). Mimetic
Isomorphism (ketika organisasi mengkopi atau meniru organisasi lainnya, biasanya disebabkan
karena ketidakpastian). Normative Isomorphism (ketika orang mengadopsi berbagai bentuk karena
tuntutan profesional organisasi sementara itu sendiri mengklaim bahwa mereka superior), Di
Maggio dan Powell (1983) dalam Donaldson (1995), kemudian mengidentifikasikan beberapa
penyesuaian organisasi pada teori institusional antara lain:

1. Penyesuaian Kategorial
Hal ini terjadi ketika aturan-aturan institusional mengarahkan organisasi membentuk struktur
mereka. Konvensi-konvensi tersebut kemudian ia akan menghasilkan struktur yang homogen.
Konvensi-konvensi tersebut kemudian menjadi semacam ‘kamus struktur’ (Meyer dan Rowan,
1977). Organisasi digabungkan dalam sebuah sistem keyakinan kognitif seperti ini karena akan
memperbesar legitimasi mereka dan akan menambah sumber dan kapasitas ketahanan mereka.

2. Penyesuaian Struktural
Disebabkan oleh peraturan pemerintah, ketidakpastian lingkungan, atau mencari legitimasi.
Perusahaan akan mengadopsi struktur organisasi yang spesifik (biasanya dengan menyewa
seseorang dari perusahaan yang sukses atau menyewa konsultan). Pemerintah biasanya
memberlakukan peraturan baru pada organisasi seperti program keselamatan kerja atau
kelompok gerakan afirmatif. Kelompok profesional biasanya membentuk sejumlah program-
program akreditasi.

3. Penyesuaian Prosedural
Disamping struktur, organisasi biasanya terpengaruh untuk melakukan sesuatu dalam beberapa
cara pula. Kadangkala penyesuaian atau adopsi adalah hasil dari ketidakpastian atau paksaan
(coersive), dan pemaknaan normatif. Pada umumnya ‘rasionalitas mitos atau ritual’ diacu dari
Meyer dan Rowan (1977), sebagai prosedur standar pada program TQM (Total Quality
Management), PERT Chart (Program Evaluation Review Techniques) dalam mencapai standar
prosedur pengoperasian, dua kelompok utama yang membutuhkan prosedur adalah pemerintah
dan kelompok profesional (DiMaqqio dan Powell, 1983). Para pengacara menjadi perantara bagi
keduanya dan menguasai sebagian prosedur keorganisasian.

4. Penyesuaian Personil
Organisasi modern memiliki berbagai aturan spesialisasi disertai dengan sertifikat profesional
(khususnya pada organisasi di Barat). Penyesuaian terhadap aturan-aturan institusi biasanya
perlu untuk menyewa atau menggunakan personil yang spesifik. Kebutuhan lisensi atau
akreditasi biasanya harus memenuhi presentasi (%) kualifikasi personil dalam posisi kunci.
Sertifikat sangat penting sebagai sumber legitimasi. Kebutuhan pendidikan selalu meningkat
sesuai bagian dari posisi kerja walaupun tidak jelas hubungan antara tujuan pendidikan dengan
produktifitas. Hal ini terlihat jelas pada benda institusional ketimbang ketrampilan tehnis yang
berbasis pada efektivitas. Memiliki secarik sertifikat atau pekerja berpendidikan merupakan
signal bagi lingkungan bahwa seseorang merupakan pekerja modern, perusahaan yang
bertanggung jawab menggunakan kriteria rasional dalam menyeleksi dan mempromosikan
personilnya.

Pertanyaan mengapa organisasi pada umumnya (sebagai fakta sosial) melakukan isomorphis?
Jawabannya menurut penganut teori institusional adalah karena organisasi mengadaptasikan
dirinya lewat proses mimesis atau pengadopsian dan imitasi isomorphis, berupa penerimaan
nilai-nilai, norma-norma dalam membentuk aturan yang dilegitimasi. Pemenuhan lewat nilai-nilai
dan norma-norma dapat terjadi karena perilaku sebagai implikasi dari penerimaan nilai dan
norma tersebut dapat dipahami dan bersifat taken for granted. Realitas bagi penganut teori
institusional merupakan produk dari proses sosial. Pilihan sosial dilakukan dan dimediasikan
serta dihubungkan oleh perencanaan institusional.

Penganut teori institusional meyakini bahwa keteraturan dapat dicapai melalui institusi. Teori ini
mengkritisi model ekonomi neo-klasik, yang menurut hemat mereka mendiskriminasikan atau
menciptakan asumsi yang tidak rasional antara nilai-nilai pasar dengan nilai-nilai sosial. Mereka
menolak model rasional aktor dan curiga terhadap deduksi yang dirumuskan pada model neo-
klasik karena dominannya kepentingan pribadi di dalamnya. Penganut teori ini mempercayai
bahwa keteraturan dapat dicapai via institusi, dimana institusi dibangun atas tindakan sosial.
Institusi merupakan tempat untuk membatasi individu dan kelompok.

Studi empiris terhadap coersif isomorphism dilakukan oleh Tolbert dan Zuckler (1983), Fleigstein
(1990), Baron (1986), Dobbin (1988), Orru (1991), dalam Donaldson (1995). Studi Tolbert
Zuckler (1983), mendukung adanya coersif isomorphism dalam penjelasan kognitif terhadap efek
institusional. Mereka menemukan bahwa proses  coersif harusnya mengadopsi bentuk yang lain
terhadap organisasi sebagai alternatif pembentuk bukan hanya bersifat taken for granted,
menerima nilai-nilai dan norma-norma dalam lingkungan tetapi perlu ada faktor actor pada
organisasi yang menentukan bentuk organisasi. Fleigstein (1990) dalam Donaldson (1995),
mendukung adanya coersif isomorphism sebagai aspek yang terjadi dalam organisasi, namun
temuan Fleigstein menunjukkan bahwa aspek strategi dalam organisasi yang lebih
menentukan struktur.

Baron (1986) dalam Donaldson (1995), menjelaskan bahwa coersif isomorphism terbentuk oleh


faktor besaran (size) organisasi. Dobbin (1988) dalam Donaldson (1995), menjelaskan
bahwa coersif isomorphism dipengaruhi oleh besaran, penyeragaman (unionization), dan
pemerintah. Orru (1991) dalam Donaldson (1995), melihat ada kekhasan isomorphis pada pola,
strategi dan budaya setempat yang menentukan adopsi organisasi. Jadi konsep ini merujuk
pada organisasi yang mengadopsi ciri-ciri tertentu karena tekanan dari negara, organisasi lain
atau masyarakat yang lebih luas.

Konsep ini menyebutkan ada berbagai macam tekanan antara lain dalam hal kekuasaan,
kewajiban legal, ancaman gugatan, perolehan legitimasi, sumber dana, subordinasi pada
organisasi induk, kebutuhan untuk menyesuaikan pada sebuah sistem tehnis (telekomunikasi
dan interkoneksi), penyesuaian dengan aturan-aturan yang dilembagakan. Kesemuanya ini perlu
mendapat penerimaan pada struktur organisasi yang kuat dan hirarki serta idiologi-idiologi yang
terasionalisasi. Bentuk-bentuk coersif tersebut bisa formal maupun informal dan mengarah pada
kepatuhan atau hanya kepatuhan secara sitiuasional. Penyelidikan empiris isomorphisme
coersif yang dipelajari oleh kelima peneliti adalah sebagai berikut:

1. Tolbert dan Zuckler (1983)

Mereka menemukan bahwa disuatu negara dimana pemerintahan negara secara legal
membutuhkan suatu bentuk pengadopsian pemerintahan kota, maka mereka mengadopsi
peraturan-peraturan pelayanan sipil lebih dahulu katimbang dalam negara yang tidak memiliki
aturan legal demikian.

Pemikiran ini konsisten dengan pemikiran Weberian yang menyatakan bahwa tatanan legal
dapat menyebabkan kepatuhan badan-badan yang berada pada satu subyek.

2. Fleigstein (1990)

Ia mengungkapkan peran negara secara ekstensif pada badan ekonomi khususnya pengaruh
peraturan anti trust dalam mewujudkan bentuk dan tingkatan difersifikasi. Fleigstein (1990),
berusaha membuktikan bahwa teori institusional berusaha menunjukkan secara empiris
bagaimana peran negara dalam pembentukkan organisasi. Menurut Donaldson (1995) hal ini
merupakan subyektifitas Fleigstein. Aspek yang subyektif pada teori institusional adalah
mengenai kontrol dan hal-hal kognitif yang hanya merupakan interpretasi Fleigstein semata.
Fleigstein mengemukakan bahwa negara mempengaruhi tingkat difersifikasi yang digunakan
oleh sebuah koorporasi dalam strategi mereka, karena strategi difersifikasi mempengaruhi
struktur organisasi. Akan tetapi hal ini menurut Donaldson (1995) tidak terjadi secara langsung
karena struktur organisasi lebih dipengaruhi oleh strategi.

3. Baron (1986)

Baron (1986), meneliti perubahan-perubahan administrasi personel pada industri Amerika


Serikat selama PD-II. Selama masa perang, pemerintah di negara liberal (Barat) sangat dominan
dalam menjalankan kehidupan kenegaraan (dilegitimasi oleh situasi gawat darurat), yang
menurunkan otonomi dari sektor swasta dan badan-badan komersial lainnya. Badan-badan
tersebut mengubah administrasi personel internal mereka, yang pada situsasi gawat darurat
diperlukan oleh pemerintah. Hal ini menunjukkan besarnya kekuatan negara terhadap
organisasi.

4. Dobbin (1988)

Ia meneliti tentang kasus jabatan-jabatan personel. Dobbin membuat indeks jumlah personel
dibandingkan dengan pengaruh jumlah, penyatuan, dan pemerintahan. Hasilnya Dobbin
mendukung pengaruh pemerintahan pada organisasi sebagai bentuk isomorphis coersif dan
mendukung aspek-aspek yang dikemukakan Baron. Dobbin juga mempelajari tentang
pengadopsian oleh organisasi yang berorientasi pada elemen struktural, guna menjamin proses
yang sedang berlangsung atau dipakai untuk para pegawai. Apa yang diungkapkan Dobbin
menunjukkan bahwa pemerintah mempengaruhi organisasi yang menjadi bagian dari
pemerintah atau bergantung terhadap pemerintah.
5. Orru (1991)

Orru (1991), menyajikan analisis mengenai organisasi pasar di Jepang, Korea Selatan dan
Taiwan yang terbentuk secara institusional. Ia menunjukkan adanya perbedaan karakter
institusionalisasi yang khas di masing-masing negara tersebut. Karakter institusional di masing-
masing negara memiliki keistimewaan tersendiri, termasuk pada sistem pemerintahan negara,
pola warisan kekayaan, strategi dan kebijakan, dan definisi kultur dari organisasi yang
terlegitimasi. Obyek studi Orru sebenarnya berfokus bukan pada perusahaan, akan tetapi lebih
pada kelompok-kelompok perusahaan sebagai kunci untuk mengetahui kondisi tiap negara dan
homogenitas pada tiap negara. Ia berusaha untuk meneliti tentang peranan negara dan efek dari
kekayaan milik perusahaan keluarga.

Kesimpulan dari kelima peneliti ini adalah; bukti tentang struktur internal organisasi dipengaruhi
oleh negara. Tahap analisa pada teori institusional biasanya dimulai dengan persoalan adaptasi
intern perusahaan kemudian baru dibahas tentang persoalan institusional. Penekanan yang
dilakukan organisasi adalah entitas yang diberdayakan dengan memberi arti dan penyesuaian
secara antusias terhadap perilaku individual. Pada perusahaan multinasional manajer berfungsi
sebagai subyek organisasi, ditinjau dari sisi perusahaan dan pengaruh luar, hal ini menjadi hal
yang paling utama yang dibahas oleh teori institusional. (Doz dan Prahalad, 1991).

Dampak negara terhadap struktur organisasional secara langsung dipelajari pada tiga penilitian;
Tolbert dan Zuckler, Baron, Dobbin. Secara tidak langsung (melalui strategi) dikemukakan oleh
Fleigstein. Baik secara langsung maupun tidak langsung hal ini merupakan kesimpulan yang
dibuat oleh Orru. Pengaruh-pengaruh yang mencerminkan koersi (pemaksaan/tekanan) dan
kewajiban legal dapat pula merefleksikan kekuasaan negara yang memberikan legitimasi atau
penghargaan berupa kontrak, sertifikat dan lainnya. Jadi kekuasaan negara terhadap organisasi
yang menjadi subyek hanya merujuk pada konsep coersif ishomorphism pada teori institusional.
Aspek ini didukung oleh kelima peneliti tersebut.

Isomorphisme mimetis, merujuk pada peniruan dari suatu organisasi oleh organisasi lain (Di
Maggio dan Powell, 1991, 1969) dalam Donaldson (1995). Bila tidak yakin mengenai bagaimana
upaya untuk melangkah maju, sebuah organisasi dapat meniru dari organisasi yang lain. Pola ini
memfokuskan pada organisasi-organisasi yang terlihat ‘lebih sukses’ dan lebih mendapatkan
legitimasi dari organisasi yang menirunya. Bagi sebuah organisasi dengan suatu masalah yang
memerlukan solusi secara rasional, terutama yang berada dibawah ketidakpastian, dalam artian
tidak dimilikinya pengetahuan ilmiah mengenai solusi paling efektif maka organisasi tersebut
melakukan adopsi terhadap organisasi yang lain.

Ada empat isu yang dibahas pada isomorphisme mimesis yaitu:

1. Peningkatan isomorphisme

Mengungkapkan definisi peningkatan isomorphisme institusional adalah peningkatan


homogenitas antara negara-negara di Amerika Serikat, yang mengindikasikan peningkatan
homogenisasi pada negara sebagai refleksi proses institusionalisasi berupa penyesuaian dan
rasionalisasi.

2. Late Adoption

Tolbert dan Zuckler (1983) menggunakan sebuah kasus untuk menjelaskan secara institusional
analisis mereka mengenai pengadopsian secara historis dari peraturan sipil sebagai bagian dari
reformasi administrasi kependudukan di Amerika Serikat. Mereka mengemukakan bahwa
pengadopsian awal dari praktek-praktek tersebut oleh beberapa kota merupakan suatu upaya
rasional untuk mengatasi masalah. Pengadopsian selanjutnya oleh kota lain merupakan suatu
respons terhadap apa yang telah menjadi norma institusional yang menentukan praktek-praktek
legitimasi. Tolbert dan Zuckler (1983) melihat perubahan struktur sebagai orientasi terhadap
keefektifan internal untuk pengadopsian awal, tetapi tidak terhadap penyesuaian institusional
selanjutnya. Ia hanya berupa adopsi nilai-nilai dan norma-norma.

3. Teori institusional sebagai sebuah tradisi

Teori institusional sebagai sebuah tradisi dijelaskan oleh Eisenhardt (1998) dari pengamatannya
terhadap sistem pembayaran yang berbeda-beda yang digunakan pada toko-toko retail. Alasan
mengapa toko-toko retail atau grosir membayar dengan cara yang berbeda adalah karena sejak
awal toko-toko tesebut sudah menerapkan cara-cara demikian atau sudah menjadi tradisi.

4. Mimicry

Fleigstein (1985) menawarkan sebuah analisis secara sosiologis mengenai penyebabpenyebab


pengadopsian struktur yang bersifat multidivisi oleh sebuah koorporasi. Fleigstein (1985)
kemudian menemukan bukti bahwa perusahaan lebih suka mengadopsi struktur multidivisional
sebagaimana telah mereka temukan dari perusahaan lain dalam industri yang sama yang telah
melakukannya. Hal ini diidentifikasikannya sebagai efek mimesis. Fleigstein juga mencatat
bahwa perusahaan akan mendivisionalisasikan strukturnya apabila pesaing-pesaing merubah
strukturnya pula. Bila pesaing mengadopsi struktur yang layak, dan mereka mencapai
performansi organisasi yang secara relatif superior dibanding perusahaan yang sudah dan
belum mendivisionalisasikan strukturnya maka akan terjadi apa yang disebut sebagai efek
mimesis.

Loose-coupling, menjelaskan organisasi sebagai sistem terbuka agak berbeda dengan


pandangan konvensional teori organisasi yang melihat pengoperasian organisasi sebagai inti
pembahasan. Pengoperasian lewat pengendalian terhadap hirarki manajemen atau tugas
manajemen dalam penjelasan teori institusional bukanlah variabel utama, tetapi lingkungan
institusionallah yang lebih menentukan lewat penjelasan idiologi, norma, dan nilai-nilai pada
masyarakat sebagai variabel utama penjelasan teori organisasi sebagai sebuah sistem terbuka.
Hal ini dijelaskan oleh argumen Meyer dan Scott (1983, dalam Donaldson, 1995), pada penilitian
mereka terhadap sekolah di Amerika Serikat yang membuktikan adanya loose-coupling pada
organisasi karena tekanan lingkungan institusional, dengan kata-kata mereka sebagai berikut:

  Agreement on the nature of the school system and norms governing it are worked out at quite general
collective levels (through political processes, the development of common symbols, occupational
agreements). Each school and district, and each teacher, each pricipal, and district officer, acquires an
understanding of eductional process and division of labour not from relating to others within same
institutional environtment. From sharing the same educational; culture (hlm.176).

 Dalam perspektif yang lain Donaldson (1995) melihat bahwa teori ini dibentuk karena adanya
konstruksi-konstruksi sosial. Menurut Donaldson (1995) teori ini berbasis pada Weber (1922),
tentang birokrasi, yang kemudian dikembangkan lebih lanjut misalnya oleh Meyer dan Rowan
(1977) yang berargumen bahwa legitimasi rasional pada struktur formal (legitimacy of rational
formal structures) memiliki pengaruh besar terhadap proses birokrasi. Norma-norma yang berlaku
pada masyarakat modern dibangun dalam aturan, pengertian, dan pemaknaan yang diadopsikan
ke dalam institusi struktur sosial.

Aturan-aturan institusional kemudian diidentifikasikan sebagai konstruksi sosial (Berger dan


Lukman, 1967), taken for granted, yang didukung oleh opini publik, dipaksa oleh undang-undang
(Starbuck, 1976). Institusi biasanya memasuki kehidupan sosial sebagai fakta yang harus
diterima oleh para aktor pada organisasi. Implikasinya adalah kegiatan manajemen merupakan
kegiatan ritual pada organisasi. Meyer dan Rowan (1977) menyebutkan pada pengantar
bukunya sebagai berikut;

  In modern societies, formal organizational structures arise in institutionalized context. These formal
organization seek legitimacy from their environments in order to maintain survival. Legitmacy by
adopting, in ceremonial way, powerful myths in the shape of institutionalized poducts, service, techniques,
policies, and programs. Rationalized myths as the principles of universalism (Parsons, 1971), contrcts,
(Spencer, 1897), restitution (Durkheim, 1933) and expertise (Weber, 1947) are reflected in diverse
occupations, organizational programs and organizational practices. Comformity to this institutional
forces may conflict with the efficiency criteria. On the other hand, opperations aimed towards the
accomplisment of efficiency…are said to undermine an organization’s ceremonial conformity (p.340), and
consequently, its legitimacy. Thus in order to resolve these conflicts, organization build gaps between their
formal structures and actual works activities, and become loosely coopled (hlm.I).

 DiMaggio dan Powell (1983) dalam Donaldson (1995), menyatakan bahwa trend perkembangan
birokrasi dan efisiensi yang dipacu oleh kompetisi yang dikembangkan oleh teori Weber sudah
tidak relevan lagi. Perkembangan birokrasi masih berlangsung tetapi tidak dipacu oleh kompetisi
dan pencapaian efisiensi, tapi karena birokrasi sudah menjadi norma-norma pada sebuah
organisasi dan merupakan bagian yang sifatnya homogen pada struktur organisasi. Terjadi
demikian karena adanya tekanan dari negara dan profesi-profesi pada masyarakat.

Jadi teori ini dibahas dalam elemen kultural yang luas, struktur sosial dan simbol-simbol yang
membentuk lingkungan institusional. Adopsi terhadap struktur yang spesifik merupakan tujuan
utama pandangan teori ini katimbang pemaknaannya sebagai sebuah usaha untuk
meningkatkan performansi secara sempit pada sebuah organisasi.

Mainstream utama teori ini adalah proses isomorphism (pengadopsian) yang dibahas oleh


DiMaggio, Powell, dan Zuckler, dengan argumen mereka yang menyatakan bahwa organisasi
melakukan proses mimicry dan compliance dalam mendesain struktur organisasi. Teori
Institusional pada cakupan perusahaan multinasional memberikan sumbangan dalam hal
keluasan hubungan, kesadaran akan saling ketergantungan, informasi dan pola dari kompetisi,
dan tentang perilaku penggabungan antar organisasi sebagai faktor yang menentukan sebuah
organisasi beradaptasi, pada konteks lingkungan yang kompleks dan tak terkendali. Dalam hal
ini memang teori institusional sangat konsisten, terutama pada semangat awal pengkategorian
atau mengkatergorisasi pekerjaan dalam struktur perusahaan multinasional, serta memberikan
pemahaman terhadap studi tentang adaptasi organisasi dalam keberagaman tipe lingkungan
dimana sebuah perusahaan multinasional berada. Dalam tinjauan tertentu teori institusional
dapat diterapkan pada cakupan organisasi yang luas, karena teori institusional konsisten dengan
observasi mereka terhadap perusahaan multinasional dengan berbagai pendekatan mereka
khususnya terhadap organisasi transnasional. Dalam konteks perusahaan multinasional
pendekatan proses dalam manajemen dilakukan dengan dua jalan yaitu; strategi yang tepat dan
pencapaian tujuan dengan tingkat kesulitan tinggi.

Kritik Terhadap Teori Institusional


 Kritik terhadap teori institusional dilakukan oleh Rogers (1962), Thompson (1967), Rumelt
(1974), Fleigstein (1985), Donaldson (1987), Eisenhardt (1998), Baron (1986), Dobbin (1988,
1991), Orru (1991), Mars dan Manari (1976, 1980), Suzuki (1980), Lincoln (1981), Oliver (1992),
Pfeffer dan Salancik (1978), Galakiewicz (1991), Kraatz dan Zajak (1992). Donaldson (1995),
sangat detail membahas teori ini, sekitar 50 halaman dicurahkan olehnya dalam buku American
Anti-Management Theories of Organization untuk membahas perspektif ini. Donaldson
menemukan adanya kontradiksi pada tubuh teori institusional baik dalam hal penulisan dan isi
paradigma yang oleh Donaldson digambarkan sebagai ‘fatally flawed teoritically and empiritically’,
terutama terhadap observasi yang dilakukan oleh Scott (1983) tentang teori institusional yang
masih belum matang. Dengan sinis dikatakan oleh Donaldson (1995) bahwa observasi tersebut
sebagai ketidakinginan untuk mencapai kedewasaan.

Donaldson (1995), melihat bahwa riset empiris pada mimetic isomorphism ternyata tidak
mendukung klaim adanya peningkatan bentuk srtuktur yang semakin homogen dan seragam.
Pendapat yang menyatakan bahwa coersif isomorphism berimplikasi terhadap struktur internal
organisasi ternyata hanya didukung oleh kelompok teoritisi institusional sendiri dan tidak
mendapat dukungan yang lebih luas dari teoritisi organisasi yang lain.

Begitu pula terhadap klaim loose-coupling yang dikemukakan oleh Meyer dan Scott dukungan
empirisnya sangat terbatas karena adanya kontradiksi verifikasi teori institusional dan konten
atau isi yang cacat secara teori dan empiris. Inkonsistensi teori ini terlihat pada pernyataan-
pernyataan teori institusional. Menurut Powell (1983) lingkungan merupakan determinan utama
yang menentukan struktur, oleh karenanya organisasi selalu dituntut untuk kreatif, sementara
menurut Meyer dan Scott (1983), pengaruh institusional terhadap organisasi semakin diperkuat
dengan adanya institusionalisasi organisasi dimana pengaruh pasar (market driven) ditentukan
dengan adanya penciptaan tugas situasional. Kemudian menurut Powell (1983), elit kekuasaan
lewat aturan-aturan yang diciptakan yang diterima oleh kelompok profesi atau yang lain yang
diterima sebagai nilai yang bersifat taken for granted akan menentukan struktur organisasi.

Teori ini sulit untuk berkembang lebih jauh karena begitu beragamnya formulasi teoritikal yang
cenderung antagonis. Perdebatan penganut teori ini tidak pernah tuntas. Yang terjadi adalah
kritik mengkritik antara penganut teori old institusional dengan new institusional. Penulis teori
institusional yang menyatakan diri sebagai new institusional menyatakan bahwa mereka berbeda
secara prinsip dengan penganut old institusional yang dikemukakan oleh Selznick, North,
Mitchell dan lainnya. Sementara Brint dan Kabarel mengkritisi teori new institusional dengan
mengatakan bahwa kritik mereka sebagai usaha memperbaharui apresiasi teori old institusional,
yang dikemukakan Selznick dan lainnya.

Sintesa lahirnya teori institusional sangat tidak konsisten terhadap dasar pengembangan teori
sebagai acuan yaitu terhadap pandangan Parson (1961), seorang sosiolog terkenal yang
berpengaruh terhadap perkembangan ilmu-ilmu sosial. Di dalam teorinya, Parson menyatakan
bahwa analisa terhadap organisasi dibagi atas tiga level yaitu; level tehnikal, manajerial dan
institusional. Pada level tehnik yang dibahas adalah pekerjaan sehari-hari, dalam level
manajerial yang dilakukan adalah koordinasi. Sedangkan pada level institusional pergumulan
yang dihadapi adalah pencarian legitimasi organisasi lewat transformasi nilai-nilai yang berlaku
di masyarakat. Menurut Scott (1983) mengatakan bahwa Talcot Parson mencoba
mengembangkan dan menyempurnakan suatu model analisis umum yang pantas untuk
menganalisis seluruh tipe kolektifitas, berbeda dengan metode Marxist yang memfokuskan pada
perubahan yang bersifat radikal. Parson menyelidiki mengapa sistem bersifat stabil dan
fungsional.

Sementara pandangan teoritisi institusional tidak memiliki pandangan yang sama sebagai dasar
pengembangan teori mereka. Model Parsons melihat bahwa organisasi selalu menghandle
proses transformasi input menjadi output, lewat pekerjaan-pekerjaan yang dilegitimasi oleh
masyarakat, pandangan Parson malahan konsisten dengan pengembangan teori struktur
kontingensi, dimana basis pembahasan teori ini bertumpu pada pengembangan performansi
organisasi.

Kraatz dan Zajac (1992) dalam Donaldson (1995) mengkritik hasil temuan Meyer (1988)
mengenai aspek mimetic isorphism pada perubahan struktur dalam teori institusional yang
menginterpretasikan bahwa struktur organisasi hanya diadopsi karena adanya ritual organisasi
katimbang secara rasional. Dari hasil penilitian Kraatz dan Zajac pada Liberal Art College
ditemukan bahwa perubahan struktur pada sekolah tersebut ternyata memilki penjelasan
rasional dengan motif ekonomi. Sementara temuan Meyer (1988) mengatakan bahwa ada
peningkatan institusional isomorphism pada sekolah-sekolah di beberapa negara bagian USA,
dimana terjadi homogenisasi struktur sekolah secara bersama-sama.

Berbeda dengan hasil penilitian Meyer (1988), yang ditemui oleh Kraatz dan Zajac (1992)
ternyata menunjukkan bahwa sekolah tersebut tidak memiliki kecenderungan untuk mengadopsi
struktur dari sekolah lain. Kenyataannya mereka sangat berbeda antara satu dengan lainnya, hal
ini terlihat dari perubahan struktur yang dilakukan pada Liberal Art College tersebut ternyata
bersifat rasional dengan adanya berbagai instrumen dalam melakukan adaptasi terhadap
lingkungan. Kasus Liberal Arts College membuktikan bahwa teori institusional gagal dalam
menjelaskan perubahan struktural pada organisasi.

Perubahan struktural pada organisasi menurut Donaldson (1995) memperoleh penjelasannya


pada pendekatan teori struktur kontingensi.

Dalam mengukur kontribusi teori institusional terhadap organisasi yang berskopa luas dan
kompleks yaitu perusahan multinasional. Kritik terhadap teori ini dilakukan oleh Westley dan
Ghosal (1989), Scott (1987), Bartlet dan Ghosal (1989), Doz dan Prahalad (1991). Indikator
kontribusi teorKonsep ini menyebutkan ada berbagai macam tekanan antara lain dalam hal
kekuasaan, teori institusional adalah terbentuknya organisasi oleh karena tekanan lingkungan
institusional yang menyebabkan terjadinya institusionalisasi. Zukler (1987) dalam Donaldson
(1995), menyatakan bahwa ide atau gagasan pada lingkungan institusional yang membentuk
bahasa dan simbol yang menjelaskan keberadaan organisasi dan diterima (taken for granted)
sebagai norma-norma dalam konsep organisasi. Eksistensi organisasi terjadi pada cakupan
organisasional yang luas dimana setiap organisasi saling mempengaruhi bentuk organisasi
lainnya lewat proses adopsi atau institusionalisasi kewajiban legal, ancaman gugatan, perolehan
legitimasi, sumber dana, subordinasi pada organisasi induk, kebutuhan untuk menyesuaikan
pada sebuah sistem tehnis (telekomunikasi dan interkoneksi), penyesuaian dengan aturan-
aturan yang dilembagakan. Kesemuanya ini perlu mendapat penerimaan pada struktur
organisasi yang kuat dan hirarki serta idiologiidiologi yang terasionalisasi. Bentuk-
bentuk coersif tersebut bisa formal maupun informal dan mengarah pada kepatuhan atau hanya
kepatuhan secara sitiuasional. Penyelidikan empiris Isomorphisme Coersif yang dipelajari oleh
kelima peneliti adalah sebagai berikut: institusional diukur pada beberapa elemen manajemen
antara lain determinansi teori tersebut. Ia meneliti tentang kasus jabatan-jabatan personel.
Dobbin membuat indeks jumlah personel dibandingkan dengan pengaruh jumlah, penyatuan,
dan pemerintahan. Hasilnya Dobbin mendukung pengaruh pemerintahan pada organisasi
sebagai bentuk isomorphis coersif dan mendukung aspek-aspek yang dikemukakan Baron.

Dobbin juga mempelajari tentang pengadopsian oleh organisasi yang berorientasi pada elemen
struktural, guna menjamin proses yang sedang berlangsung atau dipakai untuk para pegawai.
Apa yang diungkapkan Dobbin menunjukkan bahwa pemerintah mempengaruhi organisasi yang
menjadi bagian dari pemerintah atau bergantung terhadap pemerintah.hadap struktur,
diferensiasi internallisasi pengambilan keputusan, pengelolaan informasi, akselerasi, penciptaan
hubungan antar perusahaan, kontinuitas dan pembelajaran. In modern societies, formal
organizational structures arise in institutionalized context. These formal organization seek legitimacy from
their environments in order to maintain survival. Legitmacy by adopting, in ceremonial way, powerful
myths in the shape of institutionalized poducts, service, techniques, policies, and programs. Rationalized
myths as the principles of universalism (Parsons, 1971), contracts, (Spencer, 1897), restitution (Durkheim,
1933) and expertise (Weber, 1947) are reflected in diverse occupations, organizational programs and
organizational practices. Comformity to this institutional forces may conflict with the efficiency criteria.
On the other hand, opperations aimed towards the accomplisment of efficiency…are said to undermine an
organization’s ceremonial conformity (p.340), and consequently, its legitimacy. Thus in order to resolve
these conflicts, organization build gaps between their formal structures and actual works activities, and
become loosely coopled (hlm.I).

Teori ini hanya konsisten dan antusias pada semangat awal memandang persoalan manajemen
perusahaan multinasional, namun teori ini perlu di kembangkan lebih lanjut terhadap level yang
lebih aplikatif. Pada manajemen perusahaan multinasional teori ini menjadi tidak relevan. Teori
institusional pada cakupan organisasional memberi sumbangan pada hal keluasan hubungan,
kesadaran akan saling ketergantungan, informasi dan pola-pola kompetisi, dan tentang perilaku
penggabungan antar organisasi sebagai faktor yang menentukan sebuah organisasi
beradaptasi, dalam konteks lingkungan yang kompleks dan tak terkendali. Dalam hal ini memang
teori institusional sangat konsisten terutama terhadap semangat awal pengkategorian atau
mengkategorisasi pekerjaan pada struktur perusahaan multinasional, serta memberikan
pemahaman bagi studi tentang adaptasi organisasi pada keberagaman tipe lingkungan dimana
sebuah perusahaan multinasional berada. Tinjauan tertentu teori institusional memang dapat
diterapkan pada cakupan organisasi yang luas, karena teori institusional konsisten dengan
observasi mereka terhadap perusahaan multinasional dengan berbagai pendekatan mereka,
khususnya terhadap organisasi transnasional pada tahap awal. Dalam konteks perusahaan
multinasional, pendekatan proses manajemen dilakukan dengan dua jalan yaitu; strategi yang
tepat dan pencapaian tujuan dengan tingkat kesulitan tinggi.

Tahap analisa pada teori institusional biasanya dimulai dengan persoalan adaptasi intern
perusahaan kemudian baru dibahas tentang persoalan institusional. Penekanan yang dilakukan
pada organisasi adalah entitas yang diberdayakan dengan memberi arti dan penyesuaian secara
antusias terhadap perilaku individual51. Pada perusahaan multinasional manajer berfungsi
sebagai subyek organisasi, ditinjau dari sisi perusahaan dan pengaruh luar, dan menjadi hal
paling utama yang dibahas oleh teori institusional namun perlu dilengkapi lagi pada
pengembangan teori ini karena masih tidak konsistennya asumsi teori ini dengan penerapannya
pada manajemen perusahaan multinasional.

Teori institusional tidak terlalu spesifik karena analisis dan konseptualisasi teori sangat
mekanistis untuk diaplikasikan pada perusahaan yang sifatnya transnasional tetapi teori
institusional sangat menolong untuk mengembangkan teori organisasi sebagai basis penilitian
karena teori institusional memungkinkan diformulasikannya persoalan hubungan antara pusat
organisasi dengan pemilik modal (subsidiaries), mengintegrasikan permintaan global dalam
berbagai tingkatan, baik secara individual maupun pada tingkatan hubungan antar organisasi52.
Jadi teori institusional sangat konsisten dalam  pendekatan terhadap fenomena organisasi pada
kriteria awal yang menunjukkan bahwa teori ini masih perlu lagi untuk dikembangkan.
Kekurangan dari teori ini adalah disiplin terhadap perusahaan multinasional yang dirasa kurang
dalam hal metodelogi dan epistimologi yang berbeda antara teori dan penerapannya pada kerja
manajemen, khususnya manajemen perusahaan multinasional.

Ketidakkonsistenan metodelogi dan epistimologi pada perusahaan multinasional menurut Doz


dan Prahalad (1991) harus dibenahi oleh teori institusional karena fakta di perusahaan
multinasional menunjukkan bahwa seorang manajer adalah subyek dalam perusahaan dan
pemberi pengaruh terhadap lingkungan luar, bukan hanya sekedar melakukan tindakan
isomorphis atau melakukan ritual dalam organisasi dan berkompromi dengan pengaruh tekanan
dari lingkungan.

Teori institusional masih perlu lagi membangun mekanisme institutsional yang lebih berbasis
pada fenomena perusahaan multinasional. Kelemahan teori ini dalam manajemen perusahaan
multinasional adalah ketiadaan basis pendekatan terhadap manajemen perusahaan
multinasional karena metodelogi dan epistimologi yang berbeda antara antara para penganut
teori institusional dan pengamat yang meneliti manajemen perusahaan multinasional.

Sementara Scott (1987), melihat bahwa kelemahan teori institusional adalah karena tidak
menjelaskan secara spesifik antara analisis teori dan konseptualisasi mekanisme teori ini dalam
aplikasi manajemen perusahaan multinasional, misalnya formulasi terhadap persoalan
hubungan perusahaan pusat dengan pemilik modal, dan kemampuan organisasi merespons
kebutuhan-kebutuhan nasional maupun global pada level inter-organisasional.

Pengembangan teori institusional masih tidak terlalu spesifik pada analisis dan konseptualisasi.
Teori ini sangat mekanistis untuk diaplikasikan pada perusahaan yang sifatnya transnasional
tetapi menurut Scott (1987) teori institusional sangat menolong untuk mengembangkan teori
organisasi sebagai basis penilitian, teori institusional memungkinkan untuk diformulasikannya
persoalan hubungan antara pusat organisasi dengan pemilik modal (subsiders) dalam perspektif
perusahaan yang berskopa luas, serta mengintegrasikan permintaan global pada berbagai
tingkatan, baik secara individual maupun pada tingkatan hubungan antar organisasi. Oleh
karenanya teori ini direkomendasikan untuk diperbaiki kelemahan-kelemahannya.
Tabel kriteria relevansi pada aras makro bagi sebuah teori organisasi:

Teori Institusional

Kesimpulan Teori Institusional


 Teori institusional memberikan kontribusi sebagai dalil-dalil bahwa beberapa unsur struktur
internal organisasi dimunculkan oleh lingkungan institusional, khususnya oleh negara yang
memaksakan adanya pemenuhan atau penyesuaian (Di Maggio dan Powell (1983), Tolbert dan
Zuckler (1983), dalam Donaldson, 1995).

Dalam hubungan dengan teori struktur fungsional (dalam konteks akumulasi atau integrasi
paradigma teori organisasi), unsur fungsional yang diadopsi oleh organisasi adalah adaptasi
yang khusus, yang berguna bagi organisasi juga masyarakat, dan biasanya juga berguna bagi
kedua-duanya yaitu organisasi dan negara, yang dimotivasi untuk mendorong pengadopsian dari
unsur struktural yang tidak berhubungan dengan tujuan mereka (Parsons (1961,1966) dalam
Donaldson (1995), oleh karena itu pengadopsian dari segi struktural organisasi adalah rasional
khususnya pada tingkat kolektif.

Selznick (1948) menyatakan bahwa individu-individu menciptakan komitmen lainnya terhadap


organisasi agar dapat tercapai pengambilan keputusan rasional. Organisasi melakukan tawar-
menawar dengan lingkungan dalam hal mencapai tujuan penting atau
kemungkinankemungkinan masa mendatang, akhirnya adaptasi struktur organisasi didasari oleh
tindakan individu dan tekanan lingkungan. Oleh karenanya peran institusional yang krusial pada
organisasi sebagai bagian dari proses-proses organisasi tidak boleh diabaikan.

Share it...
Teori institusional (Institutional Theory)atau teori kelembagaan dasar pikirannya adalah
terbentuknya organisasi oleh karena tekanan lingkungan institusional yang menyebabkan terjadinya
institusionalisasi. Zukler (1987) dalam Donaldson (1995), menyatakan bahwa ide atau gagasan pada
lingkungan institusional yang membentuk bahasa dan simbol yang menjelaskan keberadaan
organisasi dan diterima (taken for granted) sebagai norma-norma dalam konsep organisasi.

Eksistensi organisasi terjadi pada cakupan organisasional yang luas dimana setiap organisasi saling
mempengaruhi bentuk organisasi lainnya lewat proses adopsi atau institusionalisasi (pelembagaan).

Di Maggio dan Powell (1983) dalam Donaldson (1995), menyebutnya sebagai proses imitasi atau
adopsi mimetic sebuah organisasi terhadap elemen organisasi lainnya.

Menurut Di Maggio dan Powell (1983) dalam Donaldson (1995), organisasi terbentuk oleh
lingkungan institusional yang ada di sekitar mereka. Ide-ide yang berpengaruh kemudian di
institusionalkan dan dianggap sah dan diterima sebagai cara berpikir ala organisasi tersebut. Proses
legitimasi sering dilakukan oleh organisasi melalui tekanan negara-negara dan pernyataan-
pernyataan. Teori institusional dikenal karena penegasannya atas organisasi hanya sebagai simbol
dan ritual.

Perspektif yang lain dikemukakan oleh Meyer dan Scott (1983) dalam Donaldson (1995), yang
mengklaim bahwa organisasi berada dibawah tekanan berbagai kekuatan sosial guna melengkapi
dan menyelaraskan sebuah struktur, organisasi harus melakukan kompromi dan memelihara
struktur operasional secara terpisah, karena struktur organisasi tidak ditentukan oleh situasi
lingkungan tugas, tetapi lebih dipengaruhi oleh situasi masyarakat secara umum dimana bentuk
sebuah organisasi ditentukan oleh legitimasi, efektifitas dan rasionalitas pada masyarakat.

Teori kelembagaan dalam administrasi publik berkaitan dengan organisasi dan manajemen institusi
publik, mencakup hubungan antara struktur organisasi, peraturan terkait serta norma-norma, dan
proses organisasi, perilaku, hasil, dan akuntabilitas lembaga publik. Dalam administrasi publik, istilah
"lembaga" biasanya mengacu pada sebuah organisasi publik yang dapat memanggil otoritas negara
untuk menegakkan keputusannya. Dalam konteks ini, lembaga-lembaga umum didefinisikan sebagai
konstruksi sosial, aturan dan norma-norma yang membatasi perilaku individu dan kelompok.

Teori kelembagaan didasarkan pada asumsi bahwa hasil kolektif dan perilaku individu yang
terstruktur oleh lembaga. Teori kelembagaan mencakup literatur lintas disiplin, termasuk cabang di
ekonomi, sosiologi, dan ilmu politik. Teori kelembagaan dalam administrasi publik bisa dilihat dalam
konsep Birokrasi klasik Wilson: Apa yang Pemerintah Lakukan dan Mengapa Mereka Melakukannya.

Meskipun teori kelembagaan menyediakan konsep yang detail dan kaya dengan deskripsi perilaku
organisasi, ternyata pluralisme yang sangat besar bisa menimbulkan permasalahan terkait upaya
penghematan dan sehingga sulit untuk menilai kapasitas secara jelas, replikasi, dan prediktif. Karena
teori kelembagaan (tunggal) tidak memiliki inti konseptual, mungkin lebih akurat untuk
menggunakan, teori institusional yang jamak. Secara keseluruhan, teori kelembagaan memiliki lebih
banyak tinjauan/perspektif yang beragam.

Teori kelembagaan baru (new institutional theory), juga dikenal sebagai paham neo-kelembagaan
(neo-institutinalism). Para ilmuwan menelusuri munculnya teori kelembagaan mengenai reaksi
terhadap munculnya paham perilaku ilmu sosial. Dalam suatu peristiwa, teori kelembagaan yang
mungkin merupakan pendekatan teoritis tunggal yang terpopuler dewasa ini di dalam administrasi
publik, sebagaimana diendors oleh H George Fredericson (1999) yang merupakan salah satu figur
terkemuka di bidang teori administrasi publik.

Hall & Taylor (1996), membedakan tiga tradisi pada paham kelembagaan:

1. Pilihan rasional (rational choice).

2. Paham kelembagaan historis (historical institutionalism).

3. Paham kelembagaan sosial (sosiological institutionalism).

Konsep utama dan syarat:

· Lembaga-lembaga (institutional), merupakan struktur-struktur pemerintahan berdasarkan aturan,


norma, nilai, dan sistem-sistem makna kultural.

· Kepemerintahan sebagai jejaring kerja (governance as networking) , merangkul/mencakup intitusi


ke dalam seluruh sektor dan bagian dari konstribusinya mengenai isu-isu administrasi publik di
dalam dunia kepartneran antar-sektor yang lebih besar, kebersamaan/kerjasama, dan saling
memberi.

· Kepemimpinan transformasi (transformation leadership), adalah analisis kelembagaan yang


mengandalkan peran-peran baru para pemimpin agensi di dalam kepemerintahan, melalui jaringan-
jaringan, merekonstruksi simbol dan makna-makna.

· Pengandungan dan legitimasi (embeddedness and legitimation), melakukan asumsi-asumsi


tentang individu yang menjadi rasional, dan aktor-aktor yang memaksimalkan manfaat. Prilaku
menjadi sesuatu yang berakar dan relektif terhadap konteks-konteks ganda/muti yang meliputi
kultur, kerangka hukum, kepentingan agensi.

· Legitimasi organisasi, kepercayaan yang wajar menyatakan bahwa legitimasi membawa kepada
konstinuasi arus sumber atas nama organisasi, sehingga mewujudkan efektifitas organisasi dalam
mencapai efisiensi agensi.

· Pengimplementasian teknologi, teori pengundangan teknologi adalah sebuah contoh dari teori
institusional/ kelembagaan yang menekankan penanaman/pelekatan (embeddedness), bagi isi
adopsi terhadap teknologi informasi.
· Ketekunan kultural (cultural persistence), tiga langkah tentang pembangunan kultur kelembagaan:
habit/kebiasaan, keobjetifan, sedimentasi.

Pembagian Dalam Teori Kelembagaan

Ide-ide generatif utama yang diikuti oleh para penganut paham kelembagaan ini,memberi
Kekuasaan adalah kekuatan yang dapat dipakai dan dikendalikan. Persoalan besar sejarah adalah
mengubah kekuasaan mutlak untuk dapat diubah kearah demokrasi. Kekuasaan merupakan dasar
politik. Dalam demokrasi, pemakaiannya harus sesuai dengan patokan-patokan kewajaran atau
keadilan. Hal ini selanjutnya tercermin dalam hukum. Hukum menciptakan wewenang dan
memungkinkan perwakilan menjadi sarana pembuatan hukum. Selanjutnya jika perwakilan
didasarkan persamaan, maka ia akan mendorong kebebasan dan demokrasi itu sendiri. Demokrasi
adalah sistem sistem yang menjamin kebebasan. Kebebasan-kebebasan ini diabadikan dalam hak-
hak, yang diungkapkan secara politik dalam perwakilan.

Dalam demokrasi melalui kedaulatan rakyat, hak menimbulkan wewenang, suatu wewenang yang
didukung oleh hukum. Hasilnya adalah sebuah sistem ketertiban yang menjadi landasan yang
memungkinkan dijalankannya kekuasaan serta ditetapkannya asas-asas kewajaran atau keadilan.
Selanjutnya lembaga-lebaga pemerintahan ini terbagi dalam tiga wewenang yang merupakan
perhatian utama kaum institusionalis, yaitu:

1.Badan Legislatif

Badan ini merupakan pengawas terpenting terhadap kekuasaan yang nyata maupun potensial.
Badan ini terdiri atas wakil-wakil rakyat. Semua pemberlakuan hukum harus disetujui oleh badan
legislatif ini, namun sangat sedikit kebijaksanaan barasal langsung dari inisiatifnya (Apter, 1996:
145). Fraksi-fraksi, kelompok-kelompok kepentingan, dan koalisi-koalisi partai politik

campur tangan dalam pemberlakuan kebijaksanaan-kebijaksanaan penting. Badan legislatif jarang


mengusulkan rancangan undang-undang khusus, sekalipun ada krisis dalam jumlah suara. Tetapi
mereka meninjau, mengkritik, mengusulkan perubahan, memperbaiki dan sering menolak rancangan
undang-undang.

2.Badan Eksekutif

Badan eksekutif pemerintah ini

bertanggungjawab sesuai dengan makna yang terkandung dalam namanya, yaitu melaksanakan
keinginan-keinginan rakyat. Dalam sistem demokrasi, eksekutifkut ini. bertindak atas nama rakyat.
Semakin banyak mendapat dukungan yang diperoleh eksekutif dari rakyat, semakin efektif tindakan-
tindakannya, dan begitu sebaliknya. Tetapi seorang eksekutif yang demokratis sangat berbeda
dengan seorang jenderal atau presiden perusahaan bisnis. Eksekutif harus memimpin, tetapi harus
tanggap juga terhadap rakyat. Sebab publik secara kontradiktif mengharapkan agar eksekutif: (1)
mengambil inisiatif, (2) tidak melakukan sesuatu tanpa berkonsultasi dengan publik. Namun
demikian eksekutif yang kuat akan selalu dituduh berkecenderungan menjadi diktator, dan
sebaliknya eksekutif yang lemah senantiasa akan diejek karena kurang mengambil inisiatif
(Apter,1996: 148).

3.Badan Yudikatif

Dengan adanya yurisdiksi-yurisdiksi kekuasaan yang dibatasi konstitusi dalam hal mana mereka
harus saling berhubungan dalam urusan pembuatan kebijaksanaan, selalu ada kemungkinan
terjadinya pelanggaran konstitusi. Jika demikian halnya diperlukan adanya pengadilan tinggi yang
berfungsi sebagai wasit agung untuk masalah-masalah penafsiran konstitusional. Pengadilan tinggi
semacam itu mewakili asas mengenai lembaga yudikatif agung yang independen.

Perkembangan Teori Institusional

Teori institusional telah berkembang dalam berbagai disiplin ilmu, bahkan bersifat multi dan
interdisipliner. Diantara kelompok disiplin ilmu yang memberikan sumbangan utama terhadap
perkembangan teori institusional adalah ilmu ekonomi, ilmu politik dan sosiologi (Scott, 2001).

Pendekatan ekonomi kelembagaan pada awalnya menggunakan asumsi-asumsi rasionalitas klasik


dengan asumsi-asumsi ekonomi untuk mewujudkan eksistensi organisasi dan institusi. Williamson
(1989) telah mengembangkan pendekatan transaction-cost analysis dalam organisasi. Dan
selanjutnya dalam teori neo-institusional menekankan pada pentignya peranan agen dalam sistem
ekonkmi, koordinasi dalam aktivitas ekonomi menyangkut transaksi pasar dan struktur institusi.
Dalam hal ini peran sistem pemerintah dalam ekonomi kelembagaan menjadi penting dalam struktur
institusi dan organisasi.

Pengaruh ilmu politik dalam perkembangan teori insitusi awalnya dapat dilihat dari dua hal;
pertama, menerapkan rational choice economic models pada sistem politik;kedua, pandangan
historis tentang sifat institusi yang berpengaruh besar terhadap konstruksi aktor dan
kepentingannya. Dari dua hal tersebut berkembang pandangan institusi sebagai organisasi yang
memiliki tiga pendekatan analisis, yaitu menyangkut: suatu proses politik, kesadaran dan artikulasi
dalam suatu struktur pekerjaan, dan aktivitas organisasi yang tidak dapat dipisahkan dari kebijakan.
Pengertian institusi mencakup aspek yang luas. Luasnya cakupan tersebut dapat dilihat dari definisi
sebagaimana yang dikemukakan Scott (2001) :

· Institusi adalah struktur sosial yang memiliki tingkat ketahanan yang tinggi

· Institusi terdiri dari kultur-kognitif, normatif, dan elemen regulatif yang berhubungan dengan
sumberdaya, memberikan stabilitas dan makna kehidupan sosial

· Institusi ditransmisikan oleh berbagai jenis operator, termasuk sistem simbol, sistem relasional,
rutinitas, dan artifak

· Institusi beroperasi pada berbagai tingkat yurisdiksi, dari sistem dunia ke hubungan
interpersonal lokal

· Institusi menurut definisinya berarti kestabilan tetapi dapat berubah proses, baik yang selalu
bertambah maupun yang tersendat.

Scott (2001) mengembangkan tiga pilar dalam tatanan sebuah kelembagaan, yaitu regulatif,
normatif, dan kognitif. Pilar regulatif menekankan aturan dan pengaturan sanksi, pilar normatif
mengandung dimensi evaluatif dan kewajiban, sedangkan pilar kognitif melibatkan konsepsi
bersama dan frame yang menempatkan pada pemahaman makna. Setiap pilar tersebut memberikan
alasan yang berbeda dalam hal legitimasi, baik yang berdasakan sanksi hukuman, secara
kewenangan moral dan dukungan budaya.

Anda mungkin juga menyukai