Anda di halaman 1dari 6

DEFINISI

Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran napas yang
menyebabkan hiperektivitas bronksu terhadap berbagai rangsanagan yang ditandai dengan gejala
episodic berulang berupa mengi, batuk, sesak napas dan rasa berat di dada terutama pad malam
dan atau dini yang umumnya bersifat reversible baik dengan atau tanpa pengobatan. Asma
bersifat fluktuati ( hilang timbul) artinya dapat tenang tanpa geja;a tidak mengganggu aktivitas
tetapi dapat eksaserbsi dengan ringan sampai berat bahkan dapat menimbukan kematian.

Epidemiologi

Asma merupakan salah satu penyakit kronis yang secara umum sering ditemui di seluruh dunia.
Prevalensi asma telah dilaporkan sampai 40% di beberapa daerah di Inggris, Australia, Selandia
Baru, dan Irlandia, sedangkan di negara-negara yang lainnya seperti Indonesia, China, India, dan
Ethiopia dengan prevalensi yang lebih rendah 4% (Chung and Adcock, 2012). Prevalensi asma
di Amerika Serikat sekitar 22 juta orangyang merupakan salah satu penyakit kronis yang paling
umum dari masa kanak-kanak, yang mempengaruhi lebih dari 6 juta anak. Data menunjukan
pasien dengan asma yang membutuhkan rawat inap lebih dari 497.000 setiap tahunnya (Bosse et
al., 2009). Peningkatan prevalensi asma bronkial di Indonesia seiring dengan bertambahnya usia,
dimana umur kurang dari 1 th sebesar 1,1%, umur lebih dari 75 tahun prevalensinya sebesar
12,4%, dan prevalensi asma bronkial tertinggi pada umur 25-34 tahun sebesar 5,7 %. Pada rawat
inap berdasarkan umur 45–64 tahun sebesar 25,66% dan terendah pada umur 0-6 th sebesar
0,10%. Sedangkan prevalensi rawat jalan berdasarkan umur tertinggi 25-44 tahun sebesar
24,05% dan terendah umur 0-6 tahun sebesar 0,13% (RISKESDAS, 2013). Peningkatan kejadian
asma disebabkan oleh adanya atopi, peningkatan serum imunoglobulin E (IgE), paparan asap
rokok pasif. Peningkatan prevalensi asma dapat disebabkan oleh perubahan lingkungan indoor
atau outdoor dan dapat melibatkan aeroallergen terutama tungau debu rumah. Peningkatan
prevalensi alergi dan asma bisa disebabkan oleh aksi sinergis polusi udara atau tembakau
merokok dengan sensitisasi alergi (Chung and Adcock, 2012). Woolcock dan Konthen (1990) di
Bali mendapatkan prevalensi asma dengan hiperreaktivitas bronkus 2,4% dan hiperreaktivitas
bronkus serta gangguan faal paru adalah 0,7%. Salah satu kemungkinan adalah bahwa perubahan
pola infeksi dapat mempengaruhi perkembangan atopi melalui perubahan respon sel-T spesifik
mendukung produksi sitokin dari 2 jenis T-helper limfosit (Th2) seperti IL-4 dan IL-5, dengan
penurunan sitokin Th1, seperti IFN-γ. Selain prevalensi, tingkat keparahan asma tampaknya juga
meningkat dengan adanya peningkatan jumlah kunjungan ke rumah sakit untuk asma dan dalam
penggunaan obat asma, seperti β-agonis dan steroid inhalasi (PDPI, 2006). Angka kematian
secara umum masih rendah. Beberapa alasan mendasari angka kematian asma adalah
meningkatnya tingkat keparahan, sehingga menambah jumlah pasien pada risiko kematian,
kegagalan untuk menggunakan obat yang sesuai, karena profesional perawatan kesehatan tidak
mengevaluasi keparahan penyakit, kurangnya akses ke perawatan medis dan penyebab iatrogenik
(Chung and Adcock, 2012).

Patogenesis

Hiperaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas bronkus ini dapat
diukur secara tidak langsung. Pengukuran ini merupakan parameter objektif untuk menentukan
beratnya hipereaktivitas bronkus yang ada pada seseorang pasien. Berbagai cara digunakan untuk
mengukur hipereaktivitas bronkus ini, antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi
udara dingin, inhalasi antigen maupun inhalasi zat nonspesifik.

Pencetus serangan asma dapat disebabkan olegh sejumlah faktor antara lain allergen, virus, dan
iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut yang terdiri atas reaksi asma dini( early
asthma reaction + EAR) dan reaksi asma lambat( late asthma recation+LAR). Setelah reaksi
asma awal dan reaksi asma lambat, proses dapat terus berlanjut menjadi reaksi inflamasi sub-
akut atau kronik. Pada keadaan ini terjadi inflamasi di bronkus dan sekitarnya, berupa infiltrasi
sel-sel inflamasi terutama eosinophil dan monosit dalam jumlah besar ke dinding dan lumen
bronkus.

Asma akibat alergi bergantung kepada respon IgE yang dikendalikan oleh limfosit T dan B.
Asma diaktifkan oleh interaksi antara antigen dengan molekul IgE yang berikatan dengan sel
mast. Sebagian besar alergen yang menimbulkan asma bersifat airbone. Alergen tersebut harus
tersedia dalam jumlah banyak dalam periode waktu tertentu agar mampu menimbulkan gejala
asma. Namun, pada lain kasus terdapat pasien yang sangat responsif, sehingga sejumlah kecil
alergen masuk ke dalam tubuh sudah dapat mengakibatkan eksaserbasi penyakit yang jelas. Obat
yang sering berhubungan dengan induksi fase akut asma adalah aspirin, bahan pewarna seperti
tartazin, antagonis beta-adrenergik dan bahan sulfat. Sindrom khusus pada sistem pernafasan
yang sensitif terhadap aspirin terjadi pada orang dewasa, namun dapat pula dilihat dari masa
kanak-kanak. Masalah ini biasanya berawal dari rhinitis vasomotor perennial lalu menjadi
rhinosinusitis hiperplastik dengan polip nasal akhirnya diikuti oleh munculnya asma progresif.
Pasien yang sensitif terhadap aspirin dapat dikurangi gejalanya dengan pemberian obat setiap
hari. Setelah pasien yang sensitif terhadap aspirin dapat dikurangi gejalanya dengan pemberian
obat setiap hari. Setelah menjalani bentuk terapi ini, toleransi silang akan terbentuk terhadap
agen anti inflamasi nonsteroid. Mekanisme terjadinya bronkuspasme oleh aspirin ataupun obat
lainnya belum diketahui, tetapi mungkin berkaitan dengan pembentukan leukotrien yang
diinduksi secara khusus oleh aspirin. Antagonis delta-agrenergik merupakan hal yang biasanya
menyebabkan obstruksi jalan nafas pada pasien asma, demikian juga dengan pasien lain dengan
peningkatan reaktifitas jalan nafas. Oleh karena itu, antagonis beta-agrenergik harus dihindarkan
oleh pasien tersebut. Senyawa sulfat yang secara luas digunakan sebagai agen sanitasi dan
pengawet dalam industri makanan dan farmasi juga dapat menimbulkan obstruksi jalan nafas
akut pada pasien yang sensitif. Senyawa sulfat tersebut adalah kalium metabisulfit, kalium dan
natrium bisulfit, natrium sulfit dan sulfat klorida. Pada umumnya tubuh akan terpapar setelah
menelan makanan atau cairan yang mengandung senyawa tersebut seperti salad, buah segar,
kentang, kerang dan anggur. Faktor penyebab yang telah disebutkan di atas ditambah dengan
sebab internal pasien akan mengakibatkan reaksi antigen dan antibodi. Reaksi tersebut
mengakibatkan dikeluarkannya substansi pereda alergi yang merupakan mekanisme tubuh dalam
menghadapi serangan, yaitu dikeluarkannya histamin, bradikinin, dan anafilatoksin. Sekresi zat-
zat tersebut menimbulkan gejala seperti berkontraksinya otot polos, peningkatan permeabilitas
kapiler dan peningkatan sekresi mukus.

DIAGNOSA

1. Anamnesis
- Apakah ada batuk yang berulang terutama pada malam menjelang dini hari?
- Apakah pasien mengalaami mengi atau dada terasa berat atau batuk setelah terpajan
allergen atau polutan ?
- Apakah pada waktu psien mengalami selesma(common cold) meraskaan sesak di
dada dan selesmanya menjadi berkepanjangan (10 hari atau lebih?)
- Apakah gejala-grjala tersebut berkurang/ hilang setelah pemberian obat
pelega(bronkodilator)?
- Apakah ada batuk, mengi, sesak didada jika terjadi perubahan musim/cuaca atau suhu
yang ekstrim ( tiba-tiba)?
- Apakah ada penyakit alergi lainnya ? (rhinitis, dermatitis atopi, konjungtiva alergi)?
- Apakah dalam keluarga ada yan menderita sama alergi?

2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi :
- pasien terlihat gelisah
- sesak ( napas cuping hidung, napas cepat, retraksi sela iga, retraksi epigastrium,
retraksi suprasternal)
- sianosis
b. Palpasi :
- biasanya tidak ditemukan kelainan
- pada seranagan berat dapat terjadi pulsus paradoksus
c. Perkusi :
- biasanya tidak ditemukan kelainan
d. Auskultasi :
-ekspirasi memanjang
- mengi
-suara lender

3. Pemeriksaan Penunjang
- Fungsi faal paru ( dengan alat spirometer)
- Pemeriksaan arus puncak ekspirasi dengan alat peak flow rate meter
- Uji reversibilitas ( dengan bronlodiator)
- Uji provokasi bronkus
- Uji alergi
- Foto toraks

Penatalaksanaan

Prinsip umum dalam pengobatan saat terjadi serangan asma antara lain :

1) Menghilangkan obstruksi jalan nafas

2) Mengenali dan menghindarkan faktor yang dapat menimbulkan serangan asma

3) Memberi penerangan kepada penderita atau keluarga dalam cara pengobatan atau
penanganan penyakit

Penatalaksanaan asma dapat dibagi menjadi menjadi 2 yaitu :

1) Pengobatan dengan obat-obatan : a) Beta agonist (beta adregenik agent)

b) Methylxanlines (enphy bronkodilator)

c) Anti kolinergik (bronkodilator)

d) Kortekosteroid

e) Mast cell inhibitor (inhalasi)

2) Tindakan yang spesifik a) Pemberian oksigen

b) Pemberian agonis B2 (salbutamol 5 mg atau veneteror 2,5 mg atau


terbutalin 10 mg), inhalasi nebulezer dan pemberiannya dapat diulang
setiap 30 - 60 menit
c) Aminofilin bolus IV 5-6 mg/kg BB d) Kortekosteroid hidrokortison
100-200 mg, digunakan jika tidak ada respon segera atau klien sedang
menggunakan steroid oral atau dalam serangan yang sangat berat

Kompliakasi

1. Pneumotoraks
2. Atelectasis
3. Aspergilosis
4. Gagal napas
5. Bronchitis
6. Farktur iga

Anda mungkin juga menyukai