Anda di halaman 1dari 13

1.

Anatomi Prostat
1.1 Makroskopik
1.2 Mikroskopik
2. Fisiologi Prostat
3. Benign Prostat Hyperplasia
3.1 Definisi
Hipertrofi prostat benigna (HPB) adalah kelainan histologis yang khas ditandai
dengan proliferasi sel-sel prostat. Istilah lain hyperplasia prostat adalah pembesaran atau
pertumbuhan kelenjar prostat yang menyebabkan sumbantan pada uretra, dan menyebabkan
terjadiya gejala pada traktus urinarius bawah, infeksi saluran kemih, hematuria atau
membahayakan fungsi traktus urinarius bagian atas. Hiperplasia prostat benigna dapat di
definisikan sebagai pertumbuhan histologic kelenjar prostat jinak (non malignan).
3.2 Epidemiologi
Menurut data dasar World Health Organization (WHO) angka kematian HPB negara
berkembang di tahun 1988 antara 0,5 – 1,5/100.000, sedangkan di Amerika lebih jarang.
Studi kohort yang dilakukan antara tahun 1976 – 1984 terhadap 4708 laki – laki yang
menjalani transurethral resection of prostat (TURP) menunjukan bahwa angka kematian pada
pasien (dengan kelompok umur yang sama) yang menjalani tindakan TURP lebih besar
dibandingkan pasien yang tidak menjalani tindakan tersebut.
Kelenjar prostat rata – rata beratnya 20 gram pada orang normal umur 21 – 30 tahun,
dan akan meningkat ukurannya bersama dengan kenaikan umur seseorang. Dan meningkat
terus hingga setelah 50 tahun. Prevalensi diagnosis histologis HPB meningkat dari 8% pada
laki-laki umur 31-40 tahun menjadi 40-50% pada laki-laki umur 50-60 tahun dan lebih dari
80% pada laki-laki diatas umur 80 tahun.
Faktor risiko HPB belum banyak diketahui, beberapa studi mengatakan predisposisi
genetic, suku dan ras sebagai faktor risiko. Hampir 50% laki-laki dibawah umur 60 tahun
menjalani operasi PHB mempunyai faktor risiko tersebut. Bentuk ini merupakan dominant
autosomal pada laki – laki dan risiko kenaikan relative 4 kali lipat.
The Baltimore Longitudinal Study of Aging membandingkan prevalensi secara
patologi pada biopsy PHB dengan prevalensi klinik berdasarkan riwayat dan hasil
pemeriksaan colok dubur, ternyata ada penyesuaian pada semua laki-laki.
The Olmsted study mendapatkan prevalensi gejala traktus urinarius bawah (LUTS)
yang sedang dan berat pada laki – laki umur dekade ke 50, 60, 70, dan 80 masing – masing
sebesar 26, 33, 44, dan 46%.
3.3 Etiologi
Faktor risiko terjadinya hyperplasia prostat masih kurang diketahui. Beberapa studi
mengatakan faktor genetik merupakan predisposisi, karena hampir 50% laki – laki umur 60
tahun yang menjalani operasi hyperplasia prostat benigna ternyata telah mempunyai
kecenderungan (secara genetic) menderita hipertrofi prostat.
Yigal Gat dan Menachem Goren dalam studinya tahun 2008 yang telah di
publikasikan pada majalah Andrologia melaporkan bahwa banyaknya testosterone yang
bebas dan aktif pada aliran vena prostat yang ekstrem tinggi akan meningkatkan proliferasi
sel prostat, dan meneyebabkan pembersaran kelenjar prostat. Pada studi ini, hyperplasia
prostat dianggap akibat dari malfungsi katup vena spermatika interna akibat varikokel.
Hiperplasia prostat akan meningkat dengan cepat sesuai pertambahan umur, sekitar 10-15%
tiap dekade kehidupan. Dengan memperbaiki varikokel, hyperplasia prostat benigna dapat
diatasi. Bukti lain adalah seorang anak yang mengalami kastrasi ternyata tidak mengalami
hyperplasia prostat bila sudah tua.
Namun dipihak lain, pemberian testosterone ternyata tidak ada hubungannya dengan
peningkatan risiko gejala hyperplasia prostat. Sehingga, pengaruh testosterone terhadap
hyperplasia prostat sampai sekarang masih kontroversi. Dehidrostestosteron, metabolit
testosterone yang terdapat di sel stroma, bila berikatan dengan reseptor androgen akan
menyebabkan pertumbuhan sel epitel dan sel stroma, sehingga mengakibatkan pembesaran
kelenjar prostat.

3.4 Klasifikasi
Hiperplasia prostat sering merupakan gambaran umum pada laki-laki dengan testis
yang utuh. Peningkatan level hormone androgen plasma dan reseptor androgen dalam prostat
serta studi tentang efek pemberian berbagai hormone terhadap pertumbuhan kelenjar prostat
pada anjing yang dikastrasi, merupakan hipotesis kerja sebagai pathogenesis HPB.
Penumpukan Dehidrotestosteron (DHT) dalam kelenjar prostat menjadi mediator terjadinya
hyperplasia pada manusia maupun anjing. Hiperplasia prostat tidak terjadi pada laki – laki
yang mengalami kastrasi sejak umur dini, dan kastrasi ternyata dapat meregresi hal tersebut.
Testosteron, andogen yang terbesar dalam sirkulasi, menyebar ke seluruh sel prostat, dan
predominan berubah menjadi DHT oleh enzim 5-alfa reductase. Hampir 90% testosterone
dalam prostat berasal dari testis dan sisanya dari kelenjar adrenal. Testosteron dan DHT
berikatan dengan reseptor androgen dan hasilnya meningkatkan biosintesis protein dan
hiperplasoa. Dengan demikian hyperplasia prostat tergantung secara langsung dari
rangsangan androgen. Obstruksi prostat terdiri dari 2 elemen yaitu komponen statis dan
dinamis. Komponen statis berhubungan dengan pembesaran kelenjar prostat, yang
membutuhkann adanya DHT, sehingga penggunaan antiandrogen dan 5-alfa resuktase
inhibitor merupakan pilihan terapinya. Komponen dinamis berasal dari tonus otot polos
prostat dan dipengaruhi oleh sistem sarah simpatis. Kontraksi otot polos uretra, prostat dan
leher kandung kemih merupakan kontribusi gejala hyperplasia prostat, sehingga alfa-1
adrenergik antagonis selektif dapat digunakan sebagai terapi.
Teori lain terjadinya hyperplasia prostat yaitu :
1. Teori hormonal
Kenaikan DHT dalam sel prostat akan merangsang pertumbuhan sel. Perkembangan
dan stabilitas prostat normal tergantung fungsi androgensignaling axis yang melibuti
komponen
a. Sintesis testosterone di testis dan kelenjar adrenal
b. Konversi testosterone menjadi DHT
c. Transport DHT ke target jaringan
d. Ikatan DHT dengan reseptor androgen dengan konsekuensi terjadi modulasi gene.

2. Teori Sel Punca


Dengan reaktivitas sel punca dan pembesaran prostat benigna. Teori sel punca
menyatakan bahwa terjadinya proliferasi sel pada hyperplasia prostat merupakan akibat
ketidaktepatan aktivitas sel punca sehingga terjadi produksi yang berlebihan pada sel stroma
maupun sel epitel

3. Teori Berkuranganya Kemarian Sel Prostat (apoptosis)


Menyebabkan jumlah sel – sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat
sehingga menyebabkan pertambahan massa prostat

4. Teori Interaksi Stroma-Epitelial


Faktor pertumbuhan yang merangsang proliferasi sel. Menurut teori ini mekanisme
terjadinya hyperplasia prostat pada orang tua adalah akumulasi sel epitel senescence yang
mengekspresikan IL-1 alfa yang menyebabkan kenaikan sekresi FGF7 dan proliferasi non
senescence epithelial.

5. Teori Faktor Inflamasi dan Sindrom Metabolik


Bukti terkini menunjukan bahwa hyperplasia prostat adalah suatu immune
inflammatory disease. Inflamasi dimuali dengan rangsangan yang menciptakan suatu
lingkungan proinflamasi di dalam kelenjar prostat. Teori ini telah dikonfirmasi dengan studi
beberapa otopsi klinis yang menggambarkan hubungan yang signifikan antara indlamasi
dengan berat dan progresivitas hyperplasia prostat. Dengan basis data yang ada maka
pengelolaan hyperplasia prostat berdasar inflamasi menjadi penting. Sindrom metabolic yang
terdiri dari Diabetes Mellitus type2, hipertensi obesitas dan HDL-C rendah merupakan faktor
risiko terjadinya hyperplasia prostat.

WHO membuat pedoman untuk melakukan pemantauan berkala derajat gangguan


berkemih dan sekaligus menentukan terapi yang disebut bedah dianjurkan bila selama
pengamatan WHO PSS tetap di bawah 15. Apabila dalam pemantauan didapatkan WHO PSS
lebih dari 35 atau bila timbul gejala obstruksi, maka dianjurkan untuk melakukan terapi
pembedahan.
Di dalam praktek, klasifikasi derajat hyperplasia prostat digunakan untuk menentukan
terapi. Hiperplasia prostat derajat I biasanya belum memerlukan tindakan bedah dan dapat
diberikan terapi konservatif misalnya dengan penghambat adrenoreseptor alfa seperti
alfazosin, prazosin dan terazosin.
Hiperplasia prostat derajat II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan.
Biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (transureththral resection of prostat =
TURP). Namun, kadangkala, pada derajat ini dapat dicoba dengan terapi konservatif dulu.
Pada hyperplasia prostat derajat III, tindakan TURP dapat dikerjakan oleh ahli bedah
yang cukup berpengalaman. Namun, apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar sehingga
reseksi tidak akan selesai dalam satu jam, sebaiknya dilakukan operasi terbuka, kemudia
prostat dienukleasi dari dalam simapinya.
Pada hyperplasia prostat derajat IV, tindakan pertama yang harus segera dikerjakan
ialah membebaskan penderita dari retensi urin total dengan memasang kateter atau sistostomi.
Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melangkapi diagnosis, kemudian
dilakukan terapi definitive dengan TURP atau pembedahan.

3.5 Patofisiologi
Pembesaran prostat tergantung potensi DHT. Dalam kelenjar prostat 5-alfa-reduktase
tipe 2 merubah testosterone menjadi DHT yang bekerja lokal dan menyebabkan hyperplasia
prostat. Pada penelitian invitro reseptor alfa-1 adrenergik terdapat di otot polos stroma,
kapsul prostat, dan leher kandung kemih. Rangsangan pada reseptor-2 ini akan meningkatkan
tonus otot polos yang dapat memperburuk gejala traktus urinarius bawah, sebaliknya bila
dihambat akan menyebabkan relaksasi dan memperbaiki gejala traktus urinarius bawah.
Secara mikroskopis, pembesaran prostat merupakan proses hyperplasia, yang akan
menekan aliran urin dalam kandung kemih, dan akhirnya akan menimbulkan manifestasi
klinik. Teori tradisional mengatakan, hyperplasia prostat adalah pembesaran prostat yang
mengelilingi dan menekan uretra, sehingga terjadi obstruksi dan menyebabkan disfungsi
kandung kemih, yang pada akhirnya menimbulkan gejala pada traktus urinarius bawah.
Peningkatan sensitivitas otot detrusor, bahkan dengan volume urin yang sedikit dalam
kandung kemih, diyakini sebagai kontribusi terjadinya peningkatan frekuensi berkemih dan
gejala traktus urinarius bagian bawah lainnya. Kandung kemih secara bertahap akan
bertambah lemah dan kehilangan kesanggupan mengeluarkan/mengososngkan urin secara
sempurna, akibatnya dapat terjadi peningkatan residu urin dan retensi urin akut ataupun
kronik.
Fungsi utama kelenjar prostat adalah mensekresi cairan alkali yang terdiri dari hampir
70% volume seminal, yang berguna untuk lubrikasi dan nutrisi sperma. Saat ejakulasi, cairan
ini akan menyababkan pengenceran seminal dan membantu menetralisir lingkungan asam
vagina.
Obstruksi saluran keluar kandung kemih akan menyebabkan hipertrofi otot detrusor
dan penebalan kandung kemih akibat peningkatan beban melawan resistensi jalan keluar.
Dalam kondisi normal, pengososngan kandung kemih terjadi dengan tekanan detrussor
dibawah 30 cmH2O dan maksimal peak flow rate lebih dari 25 cc/detik. Pada fase awal
obstruksi saluran keluar, flow rate dipertahankan dengan peningkatan tekanan pengosongan,
sehingga terjadi kompensasi hipertrofi. Pada obstruksi lebih lanjut, tekanan detrusor
meningkat lebih tinggi dan flow rate turun dengan sejumlah besar residu urin dalam kandung
kemih. Otot detrusor diganti dengan jaringan fibrosis, sehingga menjadi lemah dan
mengalami penurunan tonisitas. Pada fase akhir terjadi dekompensasi hipertrofi dan
kerusakan kandung kemih menjadi irreversible akibat adanya penebalan dinding kandung
kemih, Selain terjadi peningkatan tekanan detrusor, terjadi juga pembentukan trabekula,
saccule dan divertikel pada kandung kemih. Jika obstruksi tidak bisa diperbaiki dengan terapi
medik maka perlu tindakan operatif (TURP).
3.6 Manifestasi Klinis (Luts)
Gejala klinis hyperplasia prostat dapat dibagi dalam 2 keluhan yaitu gejala obstruksi
dan iritasi. Keluhan karena obstruksi antara lain berupa penurunan kekuatan dan besarnya
aliran urin, perasaan pengosongan urin dari kandung kemih yang tak tuntas, double voiding,
strining urinate dan post-void dribbling. Sedangkan gejala iritasi antara lain urgency,
peningkatan frekuensi berkemih, dan nokturia. The American urological Assosiation
membuat skor untuk menilai berat ringannya gejala obstruksi dan iritasi. Sistem skor ini
terdiri dari 7 pertanyaan dan masing-masing pertanyaan memiliki skor 0-5, sehingga nilai
keseluruhan berkisar antara 0-35. Skor 0-7 menunjukan keluhan ringan, skor 8-19
menunjukan keluhan sedang, dan skor 20-35 menunjukan keluhan berat.

Tabel 1. Sistem Skor Menurut American Urological Association (AUA)


No. Pertanyaan Skor
1. Dalam satu bulan terakhir, seberapa sering anda mengalami sensasi 0 -5
berkemih yang tidak lampias setelah anda selesai berkemih?
2. Dalam satu bulan terakhir, seberapa sering anda berkemih lagi dalam 0 -5
waktu kurang dari 2 jam sejak anda selesai berkemih?
3. Dalam satu bulan terakhir, seberapa sering anda mendapatkan anda 0 -5
berkemih terputus-putus?
4. Dalam satu bulan terakhir, seberapa sering anda mengalamai kesulitan 0 -5
untuk menahan rasa ingin berkemih?
5. Dalam satu bulan terakhir, seberapa sering anda mengalami pancaran 0 -5
urin yang lemah?
6. Dalam satu bulan terakhir, seberapa sering anda harus mengedan 0 -5
untuk mulai berkemih?
7. Dalam satu bulan terakhir, berapa kali anda bangun utnuk berkemih 0 -5
sejak mulai tidur pada malam hari hingga bangun di pagi hari?
Skor Gejala

Keterangn :
0 = Tidak pernah
1 = Kurang dari satu kali dalam 5 kali
2 = Kurang dari setengah
3 = Kadang-kadang (sekitar setengah)
4 = Lebih dari setengah
5 = Hampir selalu

3.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding (Radiologi, Pa, Pk)


Diagnosis hyperplasia prostat benigna ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik (termasuk pemeriksaan colok dubur), dan pemeriksaan penunjang yang
meliputi pemeriksaan laboratorium, urodinamik, maupun ultrasonografi.
Evaluasi dengan menggunakan American Urological Assosiation Symptoms Score
Questuinnaire (BPH index) juga diperlukan

Riwayat penyakit
Riwayat perjalanan penyakit biasanya merupakan dasar untuk mendiagnosis penyakit
hyperplasia prostat, seperti mulai dan lamanya gejala timbul, riwayat seksual, kebugaran
karena intervensi pembedahan, beratnya gejala atau bagaimana mereka mempertahankan
kualitas hidupnya, pengobatan, dan usaha pengobatan sebelumnya. Gejala penyakit lain yang
memberikan gambaran mirip hyperplasia penyebab lain dari gejala traktus urinarius bagian
bawah. Bila sudah terjadi pembesaran prostat tentu akan menyebabkan gejala klinis yang
nyata antara lain : peningkatan frekuensi berkemih. Urinary urgency, hesistency, incomplete
bladder emptying, straining, decreased force stream dan dribbling. Riwayat seksual sangat
penting, karena berdasarkan studi epidemiologi, gejala traktus urinarius bagian bawah
merupakan faktor risiko independent dari disfungsi ereksi dan disfungsi ejakulasi.

Colok Dubur
Prosedur pemeriksaan colok dubur biasanya dilakukan dokter dengan memasuki jari
yang terbungkus sarung tangan dan dioles gel ke dalam rectum untuk meraba permukaan
kelenjar prostat melalui dinding rectum, menentukan ukuran, bentuk dan konsistensi kelenjar.
Prostat yang normal akan teraba keras, kadang seperti batu dan sering tak teratur, bila prostat
teraba membesar dan terasa tidak normal, perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan yang lain.

American Urological Assosiation Symptoms Score Questionnaire (AUA Symptom Index)


Penderita harus jujur menjawab pertanyaan yang ada pada AUA Symptom Index.
Skor 0-7 menunjukan gejala ringan, 8-19 menunjukan gejala sedang, dan 20 – 35
menunjukan gejala berat

Pemeriksaan Prostat Spesific Antigen (PSA) dan Prostatic Acid Phosphate (PAP)
Tes ini dilakukan dengan menentukan kadar PSA dalam darah, dan PAP pada
penderita HPB.
PSA adalah antigen spesifik yang dihasilkan oleh sel kapsul prostat (membrane yang
meliputi prostat) dan kelenjar periuretral. Peningkatan kadar PSA menunjukan pembesaran
kelenjar prostat atau prostatitis, dan juga dapet menentukan perkiraan ukuran dan berat
prostat. Kadar PSA normal adalah kurang dari 4 ng/ml. Kadar PSA 4-10 ng/ml menunjukan
pembesaran ringan, kadar 10-20 ng/ml menunjukan pembesaran sedang dan 20-35 ng/ml
menunjukan pembesaran berat. Seseorang yang mempunyai kadar PSA ringan biasanya
masih normal atau bukan keganasan. Bila kadarnya sedang dan berat biasanya keganasan
prostat.
Hasil pemeriksaan PSA dapat menghasilkan positif palsu bila kadar PSA naik tetapi
tak ada gejala keganasan, sedangkan hasil negative palsu terjadi bila kadar PSA normal tetapi
terdapat keganasan prostat. Pada keadaan tersebut di atas, maka harus dilakukan biopsi.
Dalam darah, terdapat 2 macam PSA, yaitu yang bebas dan yang terikat dengan protein.
Beberapa studi menunjukan bahwa sel ganas banyak menghasilkan PSA terikat protein,
karenanya bila dalam darah kadar PSA bebas lebih sedikit berarti ada keganasan sedangkan
bila kadar PSA bebas lebih sedikit berarti ada keganasan sedangkan bila kadar PSA bebas
yang tinggi menunjukan PHB atau prostatitis. Berdasarkan calles age specific PSA. PSA
sampai dengan 2,5 ng/ml pada laki-laki umur 40-49, 3,5 ng/ml pada laki-laki umur 50-59, 4,5
ng/ml untuk umur 60-69 dan 6,5 ng/ml untuk umur 70 tahun atau lebih masih dianggap
kelenjar prostat normal.

Pemeriksaan Urodinamik
Pemeriksaan urodinamik digunakan untuk mengukur volume dan tekanan urin di
dalam kandung kemih dan untuk mengevaluasi aliran urin. Pemeriksaan ini digunakan untuk
mendiagnosis gangguan sfingter intrinsik dan menentukan tipe inkontinensia seperti
overflow, urgency atau inkontinesia total.

Uroflowmetery
Pemeriksaan ini adalah pemeriksaan sederhana untuk mencatat aliran urin, menentukan
kecepatan dan kesempurnaan kandung kemih dalam mengosongkan urin dan untuk
mengevaluasi obstruksi. Penurunan kecepatan aliran menunjukan adanya hyperplasia prostat.

Ultrasonografi (USG) Rektal


Pemeriksaan USG rektal sering dilakukan untuk menentukan keganasa maupun
kelainan lainnya dari kelenjar prostat. Caranya dengan memasukan langsung probe USG ke
dalam rectum dan melihat gambaran prostat di layer monitor.

Sistoskopi
Sistoskopi dilakukan untuk melihat keadaan uretra dan kandung kemih dengan jalan
memasuk alat cysctoscope ke dalam uretra dan kandung kemih. Test ini dapat menentukan
ukuran kelenjar prostat dan dapat mengidentifikasi lokasi dan tingkat obstruksinya.

Urinalisis
Urinalisis dapat menunjukan adanya infeksi atau kondisi lain yang sangat mendukung
diagnosis maupun komplikasi dari hyperplasia prostat.

Pemeriksaan Fungsi Ginjal


Pemeriksaan ini diperlukan untuk menentukan adakah gangguan fungsi ginjal akibat
obstruksi karena hyperplasia prostat.

Diagnosis Banding HPB


1. Keganasan : adenokarsinoma prostat, karsinoma sel transisional vesika urinaria, karsinoma
sel skuamosa penis
2. Infeksi : sistitis, prostatitis, penyakit menular seksual (klamidiasis, gonnorhea, dll)
3. Gangguan neurologi : cedera tulang belakang (spinal chord injury), sindrom kauda equine,
stroke, parkinsonisme, neuropati autonomy diabetikum, multiple sclerosis, penyakit
alzheimer
4. Gangguan metabolic : diabetes melitus tak terkontrol, diabetes insipidus, gagal jantung
kronik, hiperkalsemia, obstructive sleep apneu
5. Iatrogenik : prostatektomi, sistektomi, trauma akibat prosedur uretrisistoskopik, sistitis
radiasi
6. Gangguan anatomik : batu uretra dan batu kandung kencing
7. Gangguan perilaku : polidipsi, konsumsi alkohol atau kafein berlebih
8. Pengaruh obat : diuretik (furosemide, hidroklorotiazid), simpatomimetik (efedrin,
dekstrometorfan), antikolinergik (oksibutinin, amantadine, dipenhidramin, amitriptilin), dan
kelebihan dekongestan
9. Lain-lain : overactive bladder

3.8 Penatalaksanaan
Terapi Obeservasi (Watchful Waiting)
Beberapa studi melaporkan terjadinya resolusi spontan dan pengurangan gejala secara
signifikan pada beberapa pria yang mengalami hyperplasia prostat, sedangkan studi lainnya
melaporkan terjadinya progresivitas dan komplikasi yang semakin nyata. Untuk itulah, pada
penderita hyperplasia prostat dengan skor AUA 0-7, terapi obeservasi merupakan pilihan.

Terapi Medik
1. Pengharmbat Alfa :
Penghambat alfa bekerja dengan menghambar efek pelepasan noradrenalin endogen
pada otot polos sel prostat, sehingga menurunkan tonus prostat dan mengurangi obstruksi
saluran keluar kandung kemih. Penghambat adrenoreseptor Alfa-1A lebih dominan dari pada
alfa-1B, sehingga penggunaan penggunaan penghambat alfa selektif banyak digunakan

Ada 4 jenis obat penghambat alfa di Indonesia yaitu : Alfuzosin HCL (alfuzosin), doxazosin
mesylate (doxozosin), Tamsulosin HCL (Tamsulosin) dan terazosin HCL (terazosin). Di
negara lain, baik di eropa maupun amerika, tersedia lebih banyak lagi jenis obat penghambat
alfa.

Manfaat : bila dibandingkan secara langsung maupun tak langsung, ke-4 obat tersebut
mempunyai mandaat yang hampir sama pada dosis yang sesuai. Terapi ini dapat menurunkan
gejala 35-45% dan dapat meningkatkan maximum urinary flow rate (Qmax) hingga 20-25%.

Penggunaan praktis : Penghambat alfa merupakan obat lini pertama pada laki-laki dengan
gejala traktus urinarius bagian bawah. Frekuensi pemberian obat ini cukup satu kali sehari.
Untuk meminimalisasi efek samping, terapi menggunakan doxazosin dan terazosin sebaiknya
dilakukan dengan cara titrasi dosis, sedangkan untuk alfuzosin dan tamsuzosin, hal tersebut
tidak perlu dilakukan.
Karena onset kerja yang cepat, penghambat alfa dapat dipertimbangkan untuk penggunaan
intermiten pada pendertia dengan gejala yang fluktuatif dan tidak membutuhkan terapi jangka
panjang.
Efek samping yang sering terjadi adalah pusing dan hipotensi ortostatik.

2. Penghambat 5 Alfa reductase


Penghambat 5 alfa reductase bekerja dengan menghambat
5 alfa reductase merupakan enzim untuk mengubah testosterone menjadi DHT, sehingga
diharapkan dapat mengecilkan kelenjar prostat.
Ada 2 tipe yaitu :
a. Tipe – 1 : memiliki aktivitas predominan diluar kelenjar prostat (missal: kulit dan hati)
b. Tipe – 2 : memiliki ekspresi dominan pada kelenjar prostat.
Dua jenis penghambat 5 alfa reductase yang direkomendasikan yaitu Dutasteride dengan
dosis 1 kali 0,5 mg/hari dan finasteride dengan dosis 1 kali 5 mg/hari.

Manfaat :
Manfaat terapi baru terlihat apabila terapi telah diberikan selama 6-12 bulan. Terapi
menggunakan obat ini dalam jangka waktu 2-4 tahun akan mengurangi gejala saluran kemih
bagian bawah sebanyak 15-30%, penurunan volume prostat sekitar 18-25% dan peningkatan
Qmax bebas uroflowmeter sekitar 1,5 – 2,0 ml/detik.

Penggunaan praktis :
Terapi dengan 5-alfa reductase inhibitor hanya dipertimbangkan untuk pasien dengan gejala
saluran kemih bagian bawah dan pembesaran prostat. Karena efeknya yang lambat, maka
obat ini hanya cocok untuk terapi jangka panjang. Efek samping yang terjadi antara lain
penurunan libido, disfungsi ereksi retrograde, ejakulasi (walau jarang) seperti ejakulasi
retrograde, kegagalan ejakulasi atau penurunan volume semen ginekomastia dapat terjadi
pada 1-2% penderita.

3. Fitofarmaka
Penggunaan fitofarmaka masih menjadi perdebatan, komponen utama dari obat ini adalah
phytosterol, yang dari hasil studi invitro diperkirakan memiliki manfaat sbb: memiliki efek
anti inflamasi, antiandrogenic ataupun efek estrogenic.
- Menurunkan kadar sexual hormone binding globulin (SHBG)
- Menghambat aromatase, lipoksigenase, faktor pertumbuhan yang merangsang proliferasi sel
prostat, alfa adrenoreseptor, 5-alfa reductase, muscarinic cholinocepter, reseptor
dihidropiridin atau reseptor viniloid
- Memperbaiki fungsi detrusor
- Menetralkan radikal bebas
Namun demikian studi invivo mengenai manfaat obat ini belum jelas, begitupula dengan
mekanisme kerjanya. Jenis obat fitofarmaka yang paling banyak digunakan untuk terapi
hiperrplasia prostat adalah serenoa repens. Hasil uji klinis (randomized clinical trial) terkini
mendapatkan bukti manfaat beta-sitosterol, suatu ekstrak dari saw palmetto yang berisi
beberapa fitosterol yang dapat menurunkan gejala traktus urinarius bagian bawah samapi 7,4
poin. Penelitian James Tacklind, dkk terhadap 2053 penderita PHB juga menunjukan hal
yang sama.

4. Terapi Kombinasi
Obat yang sering digunakan sebagai terapi kombinasi adalah penghambat alfa dan
penghambat 5 alfa -reduktase. Loper, dkk (1996) adalah peneliti pertama yang menggunakan
terapi kombinasi terazosin dan finasteride, sedangkan studi lain yang dilakukan Roehrbom
dkk (2008) menggunakan kombinasi Tamsulosin dengan Dutasteride.
Hasil studi MTOPS (medical Theraphy of Prostatic Symptom) dan CombAT
(Combination of Avodart dan Tamsukosin) menunjukan bahwa terapi kombinasi lebih
superior dibandingkan monoterapi dalam mencegah progresivitas penyakit berdasarkan
kriteria IPSS. Dari kedua penelitian ini (MTOPS versus CombAT) didapatkan adanya
penurunan :
- Seluruh risijo progresivitas penyakit 66% versus 44%
- Progresivitas gejala klinik 81% versus 41%
- Retensi urin akut 81% versus 68%
- Inkontinesisa urin 65% versus 26%
- Pembedahan prostat 67% versus 71%
Terapi kombonasi direkomendasikan pada penderita dengan gejala traktus urinarius
sedan dan berat, pembesaran prostat, dan penurunan Qmax. Terapi kombinasi tidak
direkomendasikan untuk terapi jangka pendek (<1 tahun).

Terapi Pembedahan Konvensional


Indikasi pembedahan pada hyperplasia prostat adalah sebagai berikut :
- Tidak menunjukan perbaikan dengan terapi medikamentosa
- Retensi urin
_Infeksi saluran kemih berulang
- Hematuria
- Gagal ginjal
- Timbul batu saluran kemih atau penyulit lain akibat obstruksi saluran kemih bagian bawah
Beberapa tindakan pembedahan yang dilakukan untuk terapi hyperplasia prostat
anatara lain :
a. Transurethral Resection of Prostat (TURP)
b. Transurethral Insicion of The Prostat
c. Open Simple Prostatectomy
d. Laser Therapy
e. Transurethral Electrovaporization of The Prostate
f. Hyperthermy
g. Transurethral Needle Ablation of The Prostate
h. High-Intensity Focused ultrasound
i. Intraurethral stents
j. Transurethral Ballon Dilation of The Prostate

3.9 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada hyperplasia prostat antara lain :
1. Retensi urin
2. Batu kandung kemih, ISK, kerusakan kandung kemih atau ginjal
3. Inkontinensia
4. Ejakulasi retrograde
5. Inkefsi
6. Pneumonia
7. Terjadinya bekuan darah
8. Perdarahan berlebihan
9. Impotensi

3.10 Prognosis
Lebih dari 90% pasien mengalami perbaiki sebagian atau perbaikann dari gejala yang
dialaminya. Sekitar 10-20% akan mengalami kekambuhan penyumbatan dalam 5 tahun.

3.11 Pencegahan
Perubahan histologi dan pembesaran prostat akan terjadi pada hampir semua laki-laki
seiring peningkatan usia. Hal ini dapat diprediksi dengan pemeriksaan PSA yang merupakan
marker dan pengukuran volume prostat. Biasanya bila volume prostat lebih dari 30 ml dan
PSA lebih dari 1,5 ng/ml, maka risiko preogresivitas akan meningkat. Terapi pencegahan
yang dapat diberikan adalah penghambat 5 alfa reductase yang akan menurunkan risiko
penyakit hyperplasia prostat karena pengaruh DHT.

4. Pandangan Islam Mengenai Pelaksanaan Ibadah dengan Pemasangan Kateter

Anda mungkin juga menyukai