Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH STUDI KASUS FARMAKOTERAPI TERAPAN

DIABETES MELLITUS

Oleh:
Kelompok 4

Yudistia A. N. 182211101099
Vivi Dwi Rahayu 182211101100

Monica Cinuradha A.S. 182211101101

Zahra Puspa Diani 182211101102

Sheila Aprillia Izzati 182211101103

Ramadhan Rizki P. 182211101104

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS JEMBER
2019
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Diabetes Mellitus

1.1.1 Definisi

Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit metabolik yang dikarakterisasi dengan


hiperglikemia dan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak dan protein sebagai hasil
dari rendahnya sekresi insulin, sensitifitas insulin atau keduanya. DM mengakibatkan
komplikasi mikrovaskular, makrovaskular dan neuropatik kronis (Dipiro, 7ed).

1.1.2 Etiologi

Diabetes Mellitus (DM) adalah golongan penyakit kronis yang ditandai dengan
peningkatan kadar gula dalam darah sebagai akibat adanya gangguan sistem metabolisme
dalam tubuh, dimana organ pankreas tidak mampu memproduksi hormon insulin sesuai
kebutuhan tubuh. DM sendiri diklasifikasikan menjadi 2, yaitu DM tipe 1 dan DM tipe 2.
DM tipe 2 merupakan DM yang tidak tergantung pada insulin, karena pada pasien DM tipe
2 pankreas masih dapat menghasilkan insulin, hanya saja terjadi resistensi terhadap insulin
ataupun gangguan sekresi insulin di dalam tubuh.

Mekanisme pasti penyebab resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada DM
tipe 2 masih belum diketahui. Faktor genetik diperkirakan memegang peranan dalam
proses terjadinya DM tipe 2. Berikut ini merupakan etiologi DM tipe 2 :

a. Usia

Resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 tahun.

b. Obesitas

Pada orang yang mengalami obesitas, tubuhnya memiliki kadar lemak yang
tinggi atau berlebihan sehingga jumlah cadangan energi dalam tubuhnya juga
banyak, begitupun dengan yang tersimpan dalam hati dalam bentuk glikogen.
Insulin merupakan hormon yang bertugas untuk menurunkan kadar glukosa dalam
darah yang mengalami penurunan fungsi akibat kerja keras melakukan tugas
pendistribusian glukosa sekaligus pengkompresian dan peningkatan glukosa darah.
Hal tersebut menyebabkan resistensi insulin dan berdampak terjadinya DM tipe 2.
c. Riwayat keluarga

1.1.3 Gejala Klinis Diabetes

Pasien diabetes tipe 2 biasanya tidak menampakkan gejala dan didiagnosa melalui
test darah pasien sehingga pasien sering kali tidak menyadari dirinya mengidap penyakit
diabetes. Bila tampak gejala, gejala klinis yang biasa menyertai antara lain :

 Poliuria

 Polidipsia

 Polifagia

 Penurunan berat badan secara signifikan yang tidak jelas penyebabnya

 Lemas, mudah lelah

 Penyembuhan luka yang buruk/lambat

th
 Obesitas (Dipiro 9 Ed.)

1.1.4 Patofisiologi

a. DM tipe 2 memiliki karakteristik sekresi insulin yang tidak adekuat, resistensi


insulin, produksi glukosa hepar yang berlebihan dan metabolisme lemak yang tidak
normal. Pada tahap awal, toleransi glukosa akan terlihat normal, walaupun
sebenarnya telah terjadi resistensi insulin. Hal ini terjadi karena kompensasi oleh
sel beta pankreas berupa peningkatan pengeluaran insulin. Proses resistensi insulin
dan kompensasi hiperinsulinemia yang terus menerus terjadi akan mengakibatkan
sel beta pankreas tidak lagi mampu berkompensasi (Harrison, 2012). Apabila sel
beta pankreas tidak mampu mengkompensasi peningkatan kebutuhan insulin, kadar
glukosa akan meningkat dan terjadi DM tipe 2.

b. Keadaaan yang menyerupai DM tipe 1 akan terjadi akibat penurunan sel beta yang
berlangsung secara progresif yang sampai akhirnya sama sekali tidak mampu lagi
mensekresikan insulin sehingga menyebabkan kadar glukosa darah semakin
meningkat (Rondhianto, 2011). Selain itu DM tipe 2 disebabkan buruknya pola
hidup seperti merokok, makan-makanan yang berisiko seperti makanan manis,
makanan asin, berpenyedap, berlemak, dan mengandung banyak kolesterol yang di
mana perilaku
tersebut akan menganggu elastisitas pembuluh darah dan bisa juga menyebabkan
penyumbatan yang akan menjadi aterosklerosis.

1.1.5 Klasifikasi

a. Diabetes tipe 1, yang meliputi simtoma ketoasidosis hingga rusaknya sel beta di
dalam pankreas yang disebabkan atau menyebabkan autoimunitas, dan bersifat
idiopatik. Diabetes tipe ini terjadi karena berkurangnya rasio insulin dalam sirkulasi
darah akibat hilangnya sel beta penghasil insulin pada sel langerhans pankreas.

b. Diabetes tipe 2, yang diakibatkan oleh defisiensi sekresi insulin, seringkali disertai
dengan sindrom resistansi insulin. DM ini merupakan tipe diabetes melitus yang
terjadi bukan disebabkan oleh rasio insulin di dalam sirkulasi darah, melainkan
merupakan kelainan metabolisme yang disebabkan oleh mutasi pada banyak gen,
termasuk yang mengekspresikan disfungsi sel β, gangguan sekresi hormon insulin,
resistansi sel terhadap insulin yang disebabkan oleh disfungsi GLUT10 dengan
kofaktor hormon yang menyebabkan resistensi sel jaringan, terutama pada hati
menjadi kurang peka terhadap insulin serta RBP4 yang menekan penyerapan
glukosa oleh otot lurik namun meningkatkan sekresi gula darah oleh hati. Mutasi
gen tersebut sering terjadi pada kromosom 19 yang merupakan kromosom terpadat
yang ditemukan pada manusia.

c. Diabetes gestasional, diabetes melitus yang terjadi hanya selama kehamilan (terjadi
pada kehamilan trimester kedua maupun ketiga) dan pulih setelah melahirkan,
dengan keterlibatan interleukin-6 dan protein reaktif C pada lintasan
patogenesisnya.

d. Diabetes Tipe Spesifik karena penyebab lain, misalnya sindrom diabetes


monogenik (meliputi neonatal diabetes dan maturity-onset diabetes of the young),
penyakit eksokrin pankreas, diabetes yang diinduksi oleh obat atau bahan kimia
(seperti penggunaan glukokortikoid, dalam pengobatan HIV/AIDS, atau setelah
melakukan transplantasi organ) (ADA, 2017).
1.1.6 Faktor Resiko
Setiap orang yang memiliki satu atau lebih faktor risiko diabetes selayaknya waspada akan
kemungkinan dirinya mengidap diabetes. Para petugas kesehatan, dokter, apoteker dan
petugas kesehatan lainnya pun sepatutnya memberi perhatian kepada orang-orang seperti
ini, dan menyarankan untuk melakukan beberapa pemeriksaan untuk mengetahui kadar
glukosa darahnya agar tidak terlambat memberikan bantuan penanganan. Karena makin
cepat kondisi diabetes melitus diketahui dan ditangani, makin mudah untuk mengendalikan
kadar glukosa darah dan mencegah komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi. Beberapa
faktor risiko untuk diabetes melitus, terutama untuk DM Tipe 2, dapat dilihat pada tabel 3
berikut ini.
1.1.7 Golongan Obat DM
Berdasarkan cara kerjanya , Obat Diabetes Melitus sendiri dibagi menjadi beberapa
golongan yaitu :
1. Obat Hipoglikemik oral (OHO)
a) Pemicu Sekresi Insulin
❖ Golongan Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel
beta pankreas. Efek samping yang paling umum terjadi adalah hipoglikemia,
peningkatan berat badan, diare, mual muntah, konstipasi. Individu yang
berisiko tinggi terkena ESO ini adalah pasien geriatri, pasien yang memiliki
masalah renal atau hati. Sulfonilurea dapat meningkatkan resiko hipoglikemik
jika diberikan bersama dengan insulin, alkohol, fenformin, sulphonamide,
kloramfenikol, fenilbutazon dan sulfonamide. Contoh obat golongan
sulfonilurea adalah glibenclamide, glimepiride, glipizide, gliquidone, gliclazide.
(Dipiro, 2015).
❖ Golongan Glinid
Glinid memiliki cara kerja yang sama dengan sulfonilurea yaitu dengan
penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri
dari 2 macam obat yaitu repaglinid dan nateglinid. Obat ini diabsorpsi dengan
cepat setelah pemberian secara oral dan dieskresi secara cepat melalui hati.
Efek samping yang terjadi adalah hipoglikemia (Soelistijo, 2015).
b) Penambah Sensitivitas Terhadap Insulin
❖ Biguanida
Salah satu obat yang termasuk dalam golongan Biguanida yang paling sering
digunakan adalah metformin. Metformin memiliki efek utama mengurangi
produksi glukosa hati dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer.
Metformin menjadi pilihan pertama pasien. Efek samping yang mungkin
terjadi adalah anoreksia, mual muntah, diare, nyeri perut, asidosi laktat
(Soelistijo, 2015).
❖ Thiazolidinedione
Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa sehingga meningkatkan
ambilan glukosa di jaringan perifer. Contoh obat yang masuk dalam golongan
ini adalah Rosiglitazone dan Pioglitazone (Soelistijo, 2015).
c) Penghambat absorbsi glukosa
❖ Penghambat alfa glukosidase
Obat ini bekerja memperlambat absorbsi glukosa dalam usus halus, sehingga
memberikan efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Obat yang
masuk dalam golongan ini adalah Acarbose (Soelistijo, 2015).
d) Penghambat absorbsi glukosa
❖ Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase - IV)
Obat golongan ini menghambat kerja enzim DPP-IV sehingga GLP-1 tetap dalam
konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan
sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon bergantung pada kadar glukosa
darah. Contoh obat golongan ini adalah Sitagliptin dan Linagliptin. Obat Sitagliptin
jika digunakan bersamaan dengan digoksin dapat menyebabkan peningkatan kadar
digoksin dalam darah serta pada penggunaan bersamaan dengan insulin dilaporkan
hipoglikemi berat (Soelistijo, 2015).

e) Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)


Obat ini merupakan obat antidiabetes oral jenis baru yang menghambat penyerapan
kembali glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara menghambat kinerja transporter
glukosa SGLT-2. Contoh obat golongan SLT-2 adalah Dapagliflozin (Soelistijo,
2015).
2) Insulin
Beda dengan Obat Hipoglimik Oral (OHO), Insulin dapat diberikan untuk pasien
DM tipe 1 dan DM tipe 2. Pasien yang diberikan insulin jika memiliki indikasi:
- HbA1c >9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
- Stress berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)
- DM gestasional yang tidak terkendali dengan perencanaan makanan
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
- Kontraindikasi / alergi terhadap OHO
- Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi
Jenis-jenis obat insulin berdasarkan cara kerjanya terdiri dari insulin bekerja
pendek/cepat yang lama kerjanya 4-8 jam (contoh: insulin manusia regular kerja pendek),
insulin kerja menengah yang lama kerjanya 8-12 jam digunakan untuk mengendalikan
glukosa darah basal (contoh: insulin manusia NPH), serta insulin kerja panjang yang lama
kerjanya paling lama yaitu 12-24 jam. Untuk memenuhi kebutuhan pasien tertentu maka
dapat dibuat insulin capuran (premixed), yang terdiri dari insulin kerja pendek dan kerja
menengah atau insulin kerja cepat dan kerja menengah (Perkeni, 2015).

1.1.7 Tata Laksana Terapi

Tujuan dilakukannya terapi diabetes yaitu untuk memperbaiki gejala, mengurangi


risiko mikrovaskular dan makrovaskular komplikasi, mengurangi angka kematian, dan
meningkatkan kualitas hidup.

a. Terapi Non Farmakologi :

 Terapi nutrisi direkomendasikan untuk semua pasien. Untuk DM tipe 1 fokus


untuk mengatur administrasi insulin dengan diet seimbang untuk mencapai dan
menjaga berat badan yang sehat. Direkomendasikan makan makanan yang
mengandung karbohidrat sedang dan rendah lemak jenuh. Pasien dengan DM tipe
2 dibutuhkan pembatasan asupan kalori untuk meningkatkan penurunan berat
badan (Dipiro, 9ed ).
 Latihan aerobik dapat meningkatkan sensitivitas insulin, mengkontrol glikemik
dan mengurangi resiko kardiovaskular. Menurut ADA (2018), aktivitas fisik 150
menit/minggu, seperti jalan cepat bermanfaat bagi pasien prediabetes dan dapat
meningkatkan sensitivitas insulin.

 Terapi gaya hidup untuk mengurangi resiko komplikasi diabetes (AACE, 2018).

b. Terapi Farmakologi DM Tipe 1

 Kebanyakan orang dengan diabetes tipe 1 harus diterapi dengan insulin prandial
dan insulin basal secara subkutan secara terus menerus (A).
Hipoglikemia dan pertambahan berat badan adalah efek samping insulin yang
paling umum. Terapi hipoglikemia adalah sebagai berikut:
- Glukosa (10-15 g) diberikan secara oral untuk pasien yang sadar.
- Dekstrosa IV mungkin diperlukan untuk pasien yang tidak sadar.
- Glukagon, 1 g secara intramuskular, lebih disukai pada pasien yang tidak sadar
ketika secara intravena tidak bisa diberikan (Dipiro, 9Ed)
c. Terapi Farmakologi DM Tipe 2

 Inisial terapi

Monoterapi metformin dimulai pada diagnosis diabetes tipe 2 kecuali ada


kontraindikasi. Metformin efektif dan aman, tidak mahal dan dapat menurunkan
resiko terjadinya kardiovaskular dan kematian. Dibandingkan dengan
sulfonylureas, metformin sebagai lini pertama terapi memiliki efek
menguntungkan pada A1C, berat badan, dan mortalitas kardiovaskular.
Metformin dapat digunakan dengan aman pada pasien dengan eGFR serendah 30
2
mL/menit/1,73 m dan FDA baru-baru ini merevisi label metformin untuk
2
mencerminkan keamanan pada pasien dengan eGFR ≥ 30 mL/min/ 1,73 m .
Pasien harus menghentikan penggunaan obat jika mengalami mual, muntah, atau
dehidrasi (ADA, 2018).

Pada pasien dengan kontraindikasi metformin atau intoleransi terhadap


metformin, pertimbangkan obat dari kelas lain (Fig 8.1). Ketika nilai A1C adalah
≥ 9% (75 mmol/mol), pertimbangkan untuk memulai terapi kombinasi (Fig 8.1)
untuk mencapai A1C target dengan cepat (ADA, 2018).

 Terapi kombinasi

Jika target A1C tidak tercapai setelah kira-kira 3 bulan dan pasien tidak
menderita atherosclerotic cardiovascular disease (ASCVD), pertimbangkan terapi
kombinasi
metformin dengan yang lain dari enam pilihan terapi : sulfonylurea, tiazolidinedione,
DPP-4 inhibitor, inhibitor SGLT2 , GLP-1 reseptor agonis, atau insulin basal. Pilihan
terapi didasarkan pada efek obat dan faktor pasien (ADA, 2018).

Jika target A1C masih belum tercapai setelah 3 bulan dual terapi, dilanjutkan
ke kombinasi tiga obat. Sekali lagi, jika target A1C tidak tercapai setelah 3 bulan
terapi tiga obat, dilanjutkan ke kombinasi terapi injeksi. Pemilihan obat didasarkan
pada preferensi pasien, karakteristik pasien, penyakit, dan karakteristik obat dengan
tujuan mengurangi glukosa darah dan meminimalkan efek samping khususnya
hipoglikemia (ADA, 2018).
Pharmaceutical Care Plan

I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Ny. K
Umur : 66 tahun
Status : BPJS Non PBI kelas 2
Tanggal MRS : 9 Juni 2017
Tanggal KRS : 14 Juni 2017
Diagnosa : DM, Hipertensi, Dispepsia, Anemia

II. SUBYEKTIF
2.1. Keluhan Pasien :
Mual, muntah lebih dari 10x, nyeri perut.
2.2. Riwayat Penyakit Dahulu : -
2.3. Riwayat Pengobatan : -
2.4. Riwayat Keluarga/Sosial : -
2.5. Alergi Obat : -
III. OBYEKTIF
3.1 Tanda-Tanda Vital (TTV) Pasien

Parameter Tanggal

9/6 10/6 11/6 12/6 13/6 14/6

Nilai
normal

166/100 160/100 126/70 160/80 180/90 120/60

TD 120/80

- 108 84 84 92 86

N 60-100

12-20 - 24 20 20 24 20

RR

- 36,4 36 36 36 36

S 35-37,5

3.2 Data Laboratorium


Parameter Nilai normal Tanggal

10/6 11/6 12/6 13/6 14/6

Na 135 -145 mmol/L 132

Cl 95 – 105 mmol/L 102

Ca 8,8 - 10,4 mg/dL 4,6

Kreatinin 0,6-1,2 mg/dL 3,1

BUN 8-20 mg/dL 52

Urea 6-20 mg/dL 112


SGOT <35 U/L 27

SGPT <35 U/L 14

Trombosit 150-450 x 103/ 345

Hb 12-16 g/dL 9,4

Leukosit 4-11 x 103 / 37,4

Hematokrit 33-43% 27,9

GDA <200 mg/dL 586 149 68 84 110

Terapi
1. IGD
Nama Obat Dosis

PZ

Seftriakson serb 1 g 2x1

Ranitidine inj 25 mg/ml 1x1

Omperazole inj 40 mg 1x1

Metronidazole 5 mg/ml 1x1

Ondansentron inj 8 mg 1x1

Santagesik inj 500 mg/ml 1x1

Actrapid 100 IU/ml 16 IU

2. Rawat Inap

Nama Obat Dosis Tanggal

10/6 11/6 12/6 13/6 14/6

PZ v v v v v

2x1

Seftriakson serb 1 g v v v v v
2x1

Ranitidine inj 25 v v v v v
mg/ml

2x1 v v v v v

Omeprazole inj 40 mg

3x1 v v v v v

Metronidazole 5 mg/ml

v v v v v

Ondansetron inj 8 mg 3x1

v v v v v

Santagesik inj 500 3x1


mg/ml

v v v v v

Actrapid 3x10
IU/sc

v v v v v

Levemir 0-16
IU
- - - v v

Microlac supp

- - - v v

Laxadyn 3x1

3. KRS

Nama Obat Dosis

Klorpromazin tab ½-0-½


100mg

Acarbose tab 100 mg 3x1

Lansoprazole cap 30 2x1


mg

Sukralfat syr 100 ml 3x1

Sefiksim tab 100 mg 3x1


V. ANALISIS SOAP
Terapi KRS
Proble Subyekti Terapi Analisis Obat DRP Plan & Monitoring
m f/
Medis Obyektif

Diabet Subjektif: -KRS Acarbose adalah dosis awal Plan:


es - Acarbose obat antidiabetes penggunaa terapi acarbose tetap
Mellit tab 100 golongan n pasien dilanjutkan, dengan
us tipe Objektif: mg 3x1 penghambat alfa lansia penurunan dosis yaitu
2 GDA glukosidase yang terlalu 50 mg 3x1 hari.
(mg/dL) memiliki tinggi. Penggunaan obat
-10/6 (586 mekanisme kerja acarbose diminum
mg/dL) mengontrol kadar bersamaan saat
-11/6 (149 gula darah dengan makan.
mg/dL) memperlambat
-12/6 (68 proses pencernaan
mg/dL) karbohidrat Monitoring:
-13/6 (84 menjadi senyawa GDA, GDP, serum
mg/dL) gula yang lebih kreatinin, HbA1c
14/6 (110 sederhana dan
mg/dL membantu
menurunkan
kadar gula dalam
darah setelah
makan
(DIH,2007)
dosis : untuk
pasien dewasa 50
- 100 mg 3 kali
sehari saat makan

Dispep Subyektti - Klorpr Klorpromazine Penyesuaia Plan : menyarankan


sia f: omazi merupakan n sediaan pada dokter
mual, ne tab Agentimanik, Agen Penyesuaia mengganti sediaan
muntah 100 Antipsikotik, Khas, n dosis tablet salut
10x dan mg Fenotiazin. klorpromazine 25mg
nyeri (½-0- digunakan untuk dengan dosis
perut ½) pengobatan mual 4x1(DIH 17th
dan muntah, Edition).
Obyektif menghilangkan
: kegelisahan dan
Leukosit kekhawatiran Monitoring :
4,11x103 intermiten akut diberikan sampai
(DIH 17th Edition).. kondisi mual muntah
pasien hilang

- Sukral Sukralfat Double Plan : Menyarankan


fat syr merupakan obat Terapi kepada dokter untuk
100 Agen agent menghentikan
ml Gastrointestinal karena sudah ada
3x1 yang digunakan pengobatan yang
untuk tukak memiliki terapi sama
lambung dan tukak dan lini pertama
duodenum. yaitu lansoprazol +
Dosis : sefiksim (antibiotik)
Oral : larutan
suspensi : 2 sdt Monitoring : -
4x/hari

- Lanso Lansoprazol adalah Terapi obat Plan :


prazol kelompok obat tambahan Mengkombinasikan
cap 30 proton pump dengan antibiotik.
mg inhibitor (PPI).
2x1 Obat ini digunakan Monitoring :
untuk mengatasi Efek samping
gangguan pada lansoprazol
sistem pencernaan
akibat produksi
asam lambung yang
berlebihan.
Dosis :
Oral: 30 mg sekali
sehari atau 60 mg /
hari dalam 2 dosis
terbagi;
membutuhkan
terapi kombinasi
dengan antibiotik
(DIH 17thEdition)

- Sefiks Sefiksim adalah - Plan : -


im tab antibiotik golongan
100 sefalosporin yang Monitoring :
mg digunakan untuk Kepatuhan pasien
3x1 mengobati infeksi mengkonsumsi
yang disebabkan antibiotik.
oleh bakteri.
Dosis umum yang
direkomendasikan
50–100 mg, oral
dua kali sehari
dapat ditingkatkan
sampai 200 mg dua
kali sehari (PIOnas
BPOM).
Terapi MRS

Proble Subyekti Terapi Analisis Obat DRP Plan & Monitoring


m f/
Medis Obyektif

Diabet Subjektif: Levemir Levemir (insulin Penggunaa Plan : -


es - (IU) determin) adalah n dosisnya
Mellit 10-11/6 insulin yang kurang
us tipe Objektif: = 16 IU digunakan untuk sesuai.
2 GDA 12-14/6 pengobatan DM
(mg/dL) = 14 IU tipe 2. golongan
-10/6 (586 insulin kerja Monitoring : -
mg/dL) lambat (long
-11/6 (149 acting insulin)
mg/dL) (Dipiro).
-12/6 (68 -Pasien yang
mg/dL) belum pernah
-13/6 (84 menggunakan
mg/dL) insulin (diabetes
-14/6 (110 tipe 2 saja): 0,1-
mg/dL 0,2 unit / kg satu
kali sehari pada
malam hari atau
10 unit sekali
(DIH, 17th)

Dispeps Subyektti Seftriaks Seftriakson Double Plan : -


ia f: on serb 1 merupakan terapi
mual, g antibiotic yang
muntah umum Monitoring : -
10x dan diindikasikan
nyeri untuk mengobati
perut infeksi saluran
kemih
Obyektif
:
Leukosit
4,11x103
BAB II. PEMBAHASAN

Diabetes Melitus Tipe 2


Diabetes melitus merupakan penyakit kronis kompleks yang membutuhkan perawatan
medis berkelanjutan dengan strategi mengurangi risiko multifaktorial. Manajemen diri
pasien yang sedang berlangsung adalah penting untuk mencegah komplikasi akut dan
mengurangi risiko komplikasi jangka panjang (ADA, 2018).
Pada pasien Ny. K terapi untuk diabetes melitus saat KRS (rawat jalan) yaitu
acarbose. Acarbose pada kasus tersebut digunakan dengan dosis 100 mg 3x/hari yang
diminum bersamaan saat makan. Dosis tersebut untuk pasien lansia merupakan dosis yang
tinggi sehingga pada pasien tetap terus dilanjutkan dengan penurunan dosis yaitu 50 mg
3x/hari (Dipiro 9th ed, 2015). Penggunaan acarbose perlu dimonitor yaitu nilai GDA dan
GDP pada pasien dan serum kreatinin sehingga perlu adanya pemeriksaan berulang saat
pasien KRS dan saat pasien pengobatan rawat jalan. Seharusnya dilakukan pemeriksaan
HbA1c lebih lanjut agar dapat lebih tepat untuk melakukan terapi pada pasien diabetes
melitus tersebut.
Pasien dengan DM juga harus diimbangin dengan terapi non farmakologi seperti diet
dengan komposisi makanan yang seimbang dengan komposisi protein, lemak dan
karbohidrat dengan kecukupan gizi yang baik serta hindari konsumsi garam yang berlebih.
Selain itu, perlu olahraga secara teratur untuk menjaga kadar gula darah tetap normal,
olahraga yang dibutuhkan tidak perlu olahraga yang berat cukup dengan olahraga yang
ringan.

Dispepsia
Istilah dispepsia berkaitan dengan makanan dan menggambarkan keluhan atau
kumpulan gejala yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual,
muntah, kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh, sendawa, regurgitasi dan rasa panas
yang menjalar di dada. Sindrom atau keluhan ini dapat disebabkan atau didasari berbagai
macam penyakit. Pada pasien Ny. K terapi untuk dispepsia yaitu Klorpromazine tablet 100
mg ½ - 0 - ½ . Klorpromazine merupakan agen antimanik, Agen Antipsikotik, Khas,
Fenotiazin. digunakan untuk pengobatan mual dan muntah. Penggunaan obat ini
disarankan diganti dengan dosis sediaan tablet salut klorpromazine 25 mg sebanyak
4x/hari. penggunaan selanjutnya adalah Sukralfat yang merupakan obat Agen
Gastrointestinal yang digunakan untuk tukak lambung dan tukak duodenum dengan dosis
Oral larutan suspensi : 2 sdt 4x/hari. Pemberian sukralfat tidak di rekomondasikan karena
pasien sudah mendapatkan terapi untuk dispepsia dengan obat lansoprazol (DIH 17th
=
Edition).
Lanzoprazol merupakan kelompok obat proton pump inhibitor (PPI). Obat ini
digunakan untuk mengatasi gangguan pada sistem pencernaan akibat produksi asam
lambung yang berlebihan. Dosis untuk oral 30 mg sekali sehari atau 60 mg / hari dalam 2
dosis terbagi; membutuhkan terapi kombinasi dengan antibiotik (DIH 17 th =Edition) maka
dari itu penggunaan Sefiksim tetap perlu dilanjutkan. Penggunaan antibiotik Sefiksim
harus dikonsumsi hingga habis sehingga kepatuhan pasien perlu dimonitoring agar tidak
terjadinya resistensi antibiotik.

Anemia
Anemia merupakan kelainan pada darah yang ditandai dengan penurunan jumlah
sel darah merah di dalam tubuh di bawah ambang normal. Pasien dalam kasus ini
mengalami anemia yang ditunjukkan dengan kadar Hb dibawah batas normal 9,4g/dL dan
hematokrit 27, 9 g/dL. Anemia dapat disebabkan karena kondisi DM (Dipiro, 9th ed) dan
dispepsia (US Department of Health and Human Services, 2011) yang dialami oleh
pasien. Sehingga terapi yang diberikan untuk mengatasi anemia adalah menggunakan
terapi yang juga digunakan untuk mengobati DM dan dispepsia. Sebaiknya monitoring
Hb dan hematokrit dilakukan setiap hari hingga KRS agar dapat diketahui perkembangan
kondisi anemia pasien, dengan mengetahui kadar Hb dan hematokrit setiap harinya dapat
dilihat apakah terdapat perbaikan pada kondisi anemia, apabila anemia tidak kunjung
membaik dengan kadar Hb <9 g/dL maka dapat direkomendasikan untuk menggunakan
terapi Fe.
Daftar Pustaka

AACE/ACE Guidelines (American Association of Clinical Endocrinologist and


American College of Endocrinology). 2015. Clinical Practice Guidelines, Diabetes
Comprehensive Care.
Aberg, J.A., Lacy,C.F, Amstrong, L.L, Goldman, M.P, and Lance, L.L. 2009.
Drug Information Handbook, 17th Edition. Lexi-Comp for the American Pharmacists
Association.
American Diabetes Association. 2013. Standar of Medical Care in Diabetes.
Diabetes Care. 2013; 36(suppl 1): 11-66.
American Diabetes Association. 2017. Standards of Medical Care in Diabetes
2017. Vol. 40. USA : ADA.
BNF. 2016. British National Formulary 70th Edition. London: Pharmaceutical
Press.

DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. dan DiPiro C. V. 2015.


Pharmacotherapy Handbook 9th Ed . London: McGraw-Hill Education.

Isselbacher dkk. 2012. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Alih bahasa
Asdie Ahmad H. Edisi 13. Jakarta: EGC.

Perkeni. 2015. Konsensus Penggunaan Insulin. Jakarta: PB Perkeni.

Rondhianto. 2011. Pengaruh Diabetes Self Management Education Dalam


Discharge Planning Terhadap Self Efficacy dan Self Care Behavior Pasien Diabetes
Mellitus Tipe 2. Tidak Diterbitkan. Tesis. Surabaya: Universitas Airlangga.

Soleistijo SA, Novida H, Rudjianto A, et al. 2015. Konsensus Pengelolaan dan


Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta: Perkeni.

US Departement of Health and Human Service. 2011. Anemia: Healthy Lifestyle


Changes. Washington DC: National Institute of Health.

Anda mungkin juga menyukai