Panduan Ukai Formatif
Panduan Ukai Formatif
APOTEKER MUDA
REPUBLIK INDONESIA
2016
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia yang
diberikan sehingga penyusun dapat menyelesaikan Panduan UKAI Formatif tahun
2016. Panduan UKAI ini dibuat sebagai gambaran hasil try out UKAI Desember
2015 yang memudahkan mahasiswa Program Studi Profesi Apoteker diseluruh
Indonesia untuk mempelajari materi yang diujikan pada UKAI Formatif 2016.
Penulis
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................1
KATA PENGANTAR.............................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................3
BAGIAN 1 FARMAKOLOGI DAN TERAPI........................................................4
BAGIAN 2 FARMASETIKA DAN TEKNOLOGI FARMASI...........................32
BAGIAN 3 FARMAKOGNOSI............................................................................39
BAGIAN 4 KIMIA FARMASI.............................................................................45
BAGIAN 5 FARMASI SOSIAL DAN ADMINISTRATIF..................................53
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................55
3
BAGIAN 1 FARMAKOLOGI DAN TERAPI
1.1. Penggolongan Obat
Golongan Obat Logo Keterangan
Dapat digunakan
Obat Bebas
untuk swamedikasi.
Dapat digunakan
untuk swamedikasi,
harus diberikan
Obat Bebas Terbatas
informasi lebih karena
mengandung obat
keras.
Khasiat yang
dicantumkan
merupakan khasiat
empiris di masyarakat,
Jamu
belum sepenuhnya
terstandar, dan belum
dilakukan uji praklinik
dan klinik.
Khasiat yang
dicantumkan sudah
dibuktikan dengan uji
praklinik, sudah
Obat Herbal Terstandar
terstandar, dan sudah
dilakukan uji praklinik
dan/atau uji klinik
belum lengkap.
4
Khasiat yang
dicantumkan sudah
dibuktikan dengan uji
praklinik dan klinik,
Fitofarmaka sudah terstandar, dan
sudah dilakukan uji
klinik dengan lengkap
(fase 1, fase 2, dan
fase 3).
Harus dengan resep
dokter dan
mengakibatkan
Narkotika ketergantungan yang
kuat. Distribusinya
dikendalikan oleh
pemerintah.
Harus dengan resep
dokter dan kadang
Psikotropika
mengakibatkan
ketergantungan.
Obat keras yang dapat
diserahkan oleh
apoteker dengan
syarat dan ketentuan
Obat Wajib Apotek yang berlaku menurut
undang-undang, dapat
digunakan untuk
swamedikasi atau
pengobatan rutin.
1.2. Farmakologi
Golongan Mekanisme Aksi Contoh Obat
5
Farmakologi
Anastesi Amida Blokade reversibel pada Lidokain, bupivikain
Anastesi Ester kanal natrium pada akson Benzokain, prokain
Inhibisi hidrolisis
Piridostigmin,
Antikolinesterase asetilkolin pada enzim
neostigmin
kolinesterase
Agonis Memacu reseptor
Pilokarpin
muskarinik muskarinik
Memacu reseptor
Agonis nikotinik Nikotin
nikotinik
Menghambat reseptor
Antagonis muskarinik dan Atropin, hiosin,
muskarinik mengakibatkan efek ipatropium
excitatory
Menghambat reseptor
Alfa blocker alfa adrenergik, sehingga Prazosin
terjadi dilatasi vena.
- Beta-1 selektif :
bisoprolol (low
dose), atenolol,
Menghambat reseptor
Beta blocker metoprolol
beta adrenergik.
- Beta blocker
nonselektif :
propanolol
Meningkatkan kerja
reseptor beta adrenergik
Salbutamol,
Beta-2 agonis 2, sehinga terjadi
formoterol, salmeterol
relaksasi otot polos
bronkus.
Menghambat perubahan
Kaptopril, lisinopril,
ACE Inhibitor angiotensin I menjadi
enalapril
angiotensin II pada ginjal
Angiotensin Menghambat pada Valsartan, losartan,
Receptor Blocker reseptor angiotensin candesartan
6
- DHP : Amlodipin,
Menghambat masuk nifedipin
Calcium Channel
kalsium pada sel otot - NonDHP :
Blocker
jantung Diltiazem,
verapamil
Menghambat reabsorbsi
natrium di tubulus distal,
Diuretik thiazide sehingga meningkatkan Hidroklortiazid
eksresi air, natrium, dan
ion hidrogen.
Menghambat reabsorbsi
natrium dan klorida di
tubulus proksimal,
tubulus distal, dan
Diuretik sulfon lengkung Henle, Furosemid
sehingga meningkatkan
eksresi air, natrium,
klorida, magnesium, dan
kalsium.
Mengikat reseptor
aldosteron di tubulus
distal, sehingga
Antagonis
meningkatkan sekresi Spironolakton
aldosteron
natrium dan klorida dan
menahan kalium dan ion
hidrogen.
Kortikosteroid Modulasi metabolisme Metilprednisolon,
lipid, karbohidrat, dan hidrokortison
protein serta
mempertahankan
keseimbangan cairan.
Mengontrol sintesis
7
protein, menekan migrasi
PMN dan fibroblas,
mengubah kapilaritas
membran, dan
menstabilkan lisosom.
Menurunkan produksi
glukosa hepatik,
menurunkan absorbsi
Biguanid glukosa di saluran cerna, Metformin
dan meningkatkan
sensitivitas reseptor
insulin.
Meningkatkan sekresi
insulin, Menurunkan
produksi glukosa hepatik, Glibenklamid,
Sulfonilurea
dan meningkatkan glimepirid
sensitivitas reseptor
insulin.
Menghambat enzim
HMG-CoA Simvastatin,
pengubah substrat
Reductase atorvastatin,
kolesterol (HMG-CoA
Inhibitor rosuvastatin
Reductase)
Menghambat lipolisis
perifer dan menurunkan
Asam Fibrat Gemfibrozil
pengambilan asam lemak
bebas oleh hati.
Kolestipol,
Resin Asam Mengikat asam empedu
Koleselvam,
Empedu pada saluran cerna.
Kolestiramin
Bifosfonat Mengikat kristal Asam alendronat,
hidroksiapatit pada asam risendronat
tulang dan menghambat
osteoklast serta
8
menghambat pelepasan
mineral dan kolagen dari
tulang.
Menghambat pompa
Proton Pump Omeprazol,
proton dalam sekresi ion
Inhibitor pantoprazol
hidrogen pada lambung.
Menghambat reseptor H-
2 pada sel parietal
Famotidin, ranitidin,
H-2 Antagonis lambung, sehingga
simetidin
menghambat sekresi
asam lambung.
- Generasi lama :
klorfeniramin
Menghambat reseptor H-
maleat.
H-1 Antagonis 1, sehingga tidak tejadi
- Generasi baru :
aktivasi oleh histamin.
loratadin, cetirizin,
fexofenadin.
Antibiotika
Amoksisilin, ampisilin
Penisilin
- Generasi 1 :
Cefradoksil
Menghambat sintesis
- Generasi 2 :
dinding bakteri
Antibiotika Cefuroksim
(golongan beta laktam).
Sefalosporin - Generasi 3 :
Ceftriakson,
cefotaksim,
ceftazidim
Menghambat sintesis
protein dengan mengikat
Tetrasklin,
Antibiotika subunit ribosom 30S dan
oksitetrasiklin,
Tetrasiklin 50S dan mengikat logam
doksisiklin
untuk metabolisme
bakteri.
9
Menghambat DNA
Antibiotika girase, sehingga merusak Ciprofloksasin,
Quinolon struktur double helix levofloksasin
DNA.
Menghambat sintesis
Azitromisin,
Antibiotika protein dengan mengikat
klaritomisin,
Makrolida subunit ribosom 30S dan
eritromisin
50S.
Menghambat sintesis
Antibiotika Kloramfenikol,
protein dengan mengikat
Fenikol tiamfenikol
subunit ribosom 50S.
10
tetap belum ada studi
terkontrol terhadap
manusia.
C Studi pada binatang Penggunaan obat
percobaan harus
memperlihatkan adanya mempertimbangkan
efek terhadap janin dan manfaat klinis dan
studi terkontrol pada resiko terhadap
wanita dan binatang tidak janin.
tersedia atau tidak dapat
dilakukan.
D Terdapat bukti adanya Penggunaan obat
resiko pada janin pada dapat digunakan
binatang percobaan atau dalam kasus life-
studi pada manusia. threatening atau
apabila ada alternatif
lebih baik harus
diutamakan.
X Studi pada manusia dan Tidak dianjurkan
binatang memperlihatkan penggunaannya
adanya abnormaltas pada selama masa
janin. kehamilan.
11
cerna, tinitus
Hidroklortiazid Hipokalemia, kenaikan
asam urat
Kortikosteroid Inhalasi Candidasis
Kortikosteroid Oral Iritasi saluran cerna,
moon face karena retensi
Na dan Air, keropos
tulang
Etambutol Buta warna, kebutaan
Fenitoin Gingival hyperplasia,
induser sitokrom
Karbamazepin Hepatotoksik dari
metabolitnya, induser
sitokrom
Orlistat Feses berlemak
Antibiotika Kuinolon Menghambat
pertumbuhan anak
Antibiotika Tetrasiklin Kolorasi gigi menjadi
kuning
Antibiotika Nefrotoksis
Aminoglikosida
Bifosfonat Iritasi saluran cerna
Semua OAT Mual dan muntah
Codein Konstipasi
1.3.2. Toksikologi
Kasus keracunan selalu ditemukan terkait dengan
penggunaan bahan kimia sebagai obat atau kecelakaan.
Berikut adalah daftar senyawa yang dapat bersifat racun
dan penawar yang dapat diberikan :
Substrat Racun Penawar
Parasetamol Asetilsistein
Logam berat (As, Pb, Hg,
BAL (dimecaprol)
Cu)
Logam berat (Pb) EDTA
12
Ferrum Deferoksamin
Opioid Nalokson
Pestisida organofosfat Atropin, Pralidoksim
Sianida Nitrit, Nitrat
Metanol, etilen glikol Etanol
Beta blocker Glukagon
Benzodiazepin Flumazenil
Karbonmonoksida Oksigen, hiperbarik oksigen
Kumarin Vitamin K
Digoksin Digoksin FAB
Heparin Protamin
INH Piridoksin
Nitrit Metilen Blue
1.5. Farmakokinetika
1.5.1. Kecepatan Infus
S x Dosis
R=
ᶵ
Dimana :
R = kecepatan infus
S = fraksi aktif
13
ᶵ = interval pemberian
Pasien ATS menerima infus teofilin dengan dosis 40 mg
tiap jam. Berapakah kecepatan infus yang harus diatur?
Diketahui teofilin memiliki fraksi aktif sebesar 80 %.
S x Dosis
R=
ᶵ
0,8 x 40
R=
1
R = 32 mg/jam
14
Diketahui :
Vd = 0,2 L/kgBB x 78 kg = 15,6 L
K = 0,693/t1/2 = 0,693/10,6 = 0,065 /jam
Cav x k x Vd x ᶵ
D=
F xS
mg
35 x 0,065 x 15,6 x 6
D= mL
0,77 x 1
D = 276,54 mg ~ 300 mg
15
ARB + CCB
Geriatrik < 140/90 mmHg ACE Inhibitor,
ARB, atau
diuretik tiazid
Gagal ginjal < 130/80 mmHg ACE Inhbitor
kronis dengan atau ARB
albuminuria (> 30
mg albumin/24
jam)
Diabetes mellitus < 130/80 mmHg - First line :
ACE Inhbitor
atau ARB
- Second line :
CCB
- Third line :
diuretik tiazid
atau beta-
blocker
Gagal jantung < 130/80 mmHg - First line :
dengan ACE Inhbitor
pengurangan atau ARB +
volume beta-blocker
- Second line :
antagonis
aldosteron
Post-myocardial < 130/80 mmHg Beta blocker +
infark ACE Inhibitor
atau ARB
Coronary artery < 130/80 mmHg - First line :
disease beta-blocker +
ACE Inhbitor
atau ARB
- Second line :
16
CCB
- Third line :
diuretik tiazid
Pencegahan < 130/80 mmHg Diuretika tiazid
kekambuhan atau diuretika
stroke tiazid + ACE
Inhibitor
17
1.6.2. Dislipidemi dan Berat Badan Berlebih
Menurut ATP III, dalam tata laksana penurunan LDL dan
manajemen resiko penyakit degeneratif ada faktor resiko
yang harus diketahui, berikut adalah faktor resiko menurut
ATP III.
Faktor Resiko Nilai
Lingkar Pinggang Wanita >88 cm (>35 inch)
Lingkar Pinggang Pria >120 cm (> 40 inch)
Trigliserida ≥150 mg/dL
HDL Pria < 40 mg/dL
HDL Wanita < 50 mg/dL
Tekanan darah ≥ 130/85 mmHg
Glukosa puasa ≥ 110 mg/dL
18
disease atau
dengan
faktor
resiko setara
≥ 2 faktor < 130 mg/dL ≥ 130 mg/dL Pantauan
resiko selama 10
tahun
dengan 10
– 20 %
resiko
≥ 130
mg/dL
Pantauan
selama 10
tahun
dengan
resiko <
10 %
≥ 160
mg/dL
0 – 1 faktor < 160 mg/dL ≥ 160 mg/dL ≥ 190
resiko mg/dL
19
HDL absorbsi obat
Asam Asam Menurunka Muka merah Penyakit liver kronis
nikotinat nikotinat n LDL dan Hipoglikemi Gout parah
trigliserida, Hiperurisemia
menaikkan Hepatotoksis
HDL GI Upset
Asam fibrat Gemfibrozil Menurunka Dispepsia Gangguan ginjal dan hati
Fenofibrat n LDL dan Batu empedu parah
trigliserida, Miopati
menaikkan
HDL
20
tirotoksikosis);
agen antitiroid
(propilthiourasil,
methimazol, KI)
Hipotiroid Kelemahan, Levotiroksin,
bradikardi, mudah liothironin
mengantuk,
goiter
Anemia Nilai MCV besar, Sianokobalamin,
Megaloblastik nilai kadar B-12 asam folat
rendah, atau nilai
kadar asam folat
rendah.
Anemia Aplastik Kelemahan, - Agen
perdarahan gusi, imunosupresan
bengkak pada :
kaki, serta nilai metilprednisolo
rendah pada n, siklosporin
retikulosit dan - Hemapoetic
WBC. Growth Factor :
filgastrim
- Agen
antineoplastik :
fludarabin
- Kelator :
Deferoxamin
Anemia Nilai MCV Fe Sulfat, Fe
defisiensi besi rendah dan serum Fumarat
feritrin rendah.
Osteoporosis Sakit pada tulang Suplementasi
tertentu, kalsium (kalsium
penurunan tinggi karbonat, kalsium
21
badan, perubahan sitrat), first line
struktur tubuh, (asam alendronat,
nilai T score di asam risendronat),
bawah – 2,5. alternatif
(raloksifen, asam
ibandronat)
1.6.4. Diabetes
Diabetes ditanda dengan gejala : polivagi (banyak makan),
poliuria (banyak buang air kecil), dan polidipsi (banyak
minum). Diabetes digolongkan menjadi dua tipe utama,
yaitu tipe I dan tipe II.
Pada tipe I, pasien lebih cenderung memiliki berat badan
rendah dan mengalami ketoasidosis, sedangkan pada tipe II
cenderung obesitas.
Berikut adalah target terapi dari diabetes mellitus :
22
nonfarmakologi belum mengontrol
kadar glukosa pasien
Insulin + antidiabetika oral atau Pasien baru terdiagnosa gejala DM
insulin tunggal tipe 2 atau terjadi kenaikan kadar
glukosa atau HbA1C
Penambahan antidiabetika oral Apabila antidiabetika oral tidak
kedua atau insulin menunjukkan perbaikan setelah 3
bulan pada nilai HbA1C
Dalam terapi DM tipe 1 harus menggunakan insulin.
Berikut adalah jenis insulin yang dapat digunakan :
Kerja Insulin Contoh Penggunaan
Rapid Acting Humalog (insulin 5 – 15 menit sebelum
lispro), NovoLog makan
(insulin aspart),
Apidra (insulin
glulisine)
Short Acting Humulin R, 30 menit sebelum makan
Novolin R
Intermediat Humulin N, Umumnya 1 x sehari
Novolin N
Long Acting Lantus (insulin Umumnya 1 x sehari di
glargine), Levemir waktu yang sama
(insulin detemir)
urat serum lebih besar dari 6,8 atau 7,0 mg/dl. Pada
adalah :
23
3. Menghindari komplikasi yang disebabkan oleh
kadar asam urat dalam darah agar tidak lebih dari 6,8 atau
probenesid.
Kondisi Keterangan
Hiperurisemia First line yang digunakan
digunakan probenesid.
urikosurik (probenesid)
terkadang dibutuhkan.
24
inflamasi dan tingkat nyeri
adalah : NSAID,
yang digunakan :
(kodein)
Parah (7 – 10) Morfin atau fentanil bisa
obat kejang
25
1.6.7. Epilepsi
Jenis Epilepsi First Line Alternatif
menurut UK menurut UK
Guideline Guideline
Partial Seizure Karbamazepin, Levetiracetam,
(Diagnosis Baru) lamotrigin oxkarbazepin,
asam valproat
Partial Seizure Lamotrigin, -
(refractory oxcarbazepin,
monotherapy) topiramat
Partial Seizure Karbamazepin, Lacosamid,
(refractory klobazam, fenobarbital,
adjunct) gabapentin, fenitoin,
lamotrigin, pregabalin,
levetiracetam, tiagabin,
oxcarbazepin, vigabatrin,
asam valproat, zonisamid
topiramat
Generalized Etoksusimid, Klobazam,
Seizure absence lamotrigin, asam klonazepam,
valproat levetiracetam,
topiramat,
zonisamid
Primary general Asam valproat, Klobazam,
(tonic-clonic) lamotrigin, levetiracetam,
karbamazepin, topiramat
oxkarbazepin
Juvenile Etoksusimid, Klobazam,
myoclonic lamotrigin, asam klonazepam,
epilepsy valproat levetiracetam,
topiramat,
zonisamid
26
1.6.8. Asma
Pada kondisi asma, pasien harus sering dikontrol. Kontrol
dapat menggunakan spirometri dan memantau frekuensi
serangan asma. Berikut adalah tahapan dalam terapi asma
dan rekomendasi yang diberikan :
27
mulut
Teofilin Sebaiknya digunakan di jam
yang sama dan waspada
terhadap obat induser
maupun inhibitor.
28
metronidazol
Tuberkulosis Untuk memudahkan
kombinasi terapi TBC
digunakan singkatan. H =
INH, R = Rifampisin, Z =
Pirazinamid, E = Etambutol,
S = Streptomisin.
- Fase intensif : digunakan
setiap hari selama dua
bulan. Minimal 3
gabungan obat umumnya
digunakan 2HRZE atau
2HRZ.
- Fase lanjutan : setelah dua
bulan dinyatakan BTA (-),
dilanjutkan 4 bulan dengan
dosis 2 – 3 x seminggu
(4H3R3).
- Fase sisipan : apabila
diakhir fase intensif
dinyatakan BTA (+)
digunakan 1 bulan
gabungan HRZE
(1HRZE).
- Relaps, gagal, atau
kambuh : digunakan
2HRZES dilanjut HRZE
dilanjut 5H3R3E3.
29
BAGIAN 2 FARMASETIKA DAN TEKNOLOGI FARMASI
2.1. Sediaan Farmasi
2.1.1. Biofarmasetika
Pada pembuatan obat, harus diperhatikan kelas
penggolangan obat menurut BSC. Berikut adalah kelas
pembagian obat berdasarkan BSC :
Kelas BSC Rate Limiting Step Solusi
I (kelarutan besar, Kecepatan disolusi Menambahkan
permeabilitas tinggi) bahan untuk
mempercepat
disolusi
II (kelarutan kecil, Kelarutan senyawa Menambahkan
pemeabilitas tinggi) bahan yang dapat
meningkatkan
kelarutan senyawa
III (kelarutan tinggi, Permeabilitas senyawa Menambahkan
permeabilitas rendah) permeability
enhancer pada
formulasi
IV (kelarutan rendah, Tidak diketahui (tidak -
permeabilitas rendah) ada hubungan antara
invitro dan invivo)
2.1.2. Padat
Sediaan padat contohnya adalah serbuk, granul, tablet, dan
kapsul. Pada sediaan padat apabila ingin dibuat tablet harus
memperhatikan bentuk partikel, ukuran partikel, dan sifat
kimia, sehingga dapat ditentukan cara pembuatan tablet.
Metode Keterangan
Granulasi Basah Senyawa aktif tahan air dan
panas, sifat alir jelek,
30
dilakukan pembuatan massa
dengan pengikat,
dikeringkan lalu diayak.
Granulasi Kering Senyawa aktif tidak tahan
panas dan air, sifat alir jelek,
dilakukan kempa dengan
bahan pengisi lalu
dihancurkan dan diayak.
Kempa Langsung Senyawa aktif tidak tahan
panas dan air, sifat alir baik.
2.1.3. Semipadat
Sediaan semipadat contohnya adalah salep, krim, dan gel.
Pada pembuatan sediaan semipadat, harus memperhatikan
sifat hidrofilisitas dan stabilitas senyawa aktif, sehingga
dapat ditentukan cara pembuatan sediaan semipadat.
Apabila dalam pencampuran krim dengan salep harus
digunakan surfaktan agar tidak terjadi pemisahan fase.
Pemilihan emulgator dalam pembuatan krim sangat
diperlukan dengan menghitung nilai HLB yang diperlukan.
Umumnya senyawa yang hidrofob dibuat sediaan salep dan
krim emulsi o/w serta senyawa hidrofil dibuat sediaan gel
atau krim emulsi w/o. Dalam kontrol kualitas sediaan
semipadat dapat dilakukan keseragaman bobot,
31
keseragaman kadar, uji pelepasan obat, uji daya lekat, dan
uji penyebaran. Untuk uji stabilitas dapat dilakukan
menurut ICH.
2.1.4. Cair
Sediaan cair contohnya adalah larutan, suspensi, dan
emulsi. Pada pembuatan sediaan cair, harus memperhatikan
polaritas, stabilitas, dan kelarutan senyawa aktif, sehingga
dapat ditentukan cara pembuatan sediaan cair. Sediaan cair
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu steril dan nonsteril.
Pada pembuatan sediaan steril, stabilitas senyawa aktif
harus diperhatikan karena akan memilih metode sterilisasi
atau pembuatan sediaan steril. Pada larutan, senyawa aktif
harus melarut pada medium dispersi. Pada suspensi,
senyawa aktif harus terdispersi pada medium dispersi. Pada
sediaan emulsi, senyawa aktif harus dapat berpartisi pada
medium dispersi. Dalam pembuatan sediaan cair, metode
peningkatan kelarutan senyawa (solubilisasi) dapat
dilakukan dengan pengubahan pH larutan, penambahan
surfaktan, atau menambahkan kosolven agar mudah
melarut. Dalam pembuatan suspensi, bahan tambahan dapat
berupa agen flokulasi (pencegah penempelan partikel
dengan tolakan muatan listrik) dan thickening agent
(menambah kekentalan medium dispersi agar partikel tidak
mudah mengendap). Dalam pembuatan emulsi, harus
diperhatikan emulgator yang digunakan serta nilai HLB
yang akan digunakan. Sediaan emulsi dan suspensi harus
dikocok dahulu dalam penggunaan agar penyebaran
senyawa aktif merata. Sediaan emulsi dan suspensi
disarankan tidak disimpan dalam lemari es karena dapat
mengubah penyebaran partikel dan pemisahan fase emulsi.
32
Dalam kontrol kualitas sediaan semipadat dapat dilakukan
keseragaman volume dan keseragaman kadar. Untuk uji
stabilitas dapat dilakukan menurut ICH.
2.1.5. Gas
Sediaan gas contohnya adalah aerosol dan spray. Pada
pembuatan sediaan gas, harus memperhatikan volatilitas
senyawa aktif, jenis propelan, dan kompatibilitas senyawa
aktif dengan propelan, sehingga dapat ditentukan cara
pembuatan sediaan gas. Sediaan gas harus disimpan jauh
dari api agar tidak meledak.
33
peralatan, fasilitas, sistem penunjuang sesuai dengan
spesifikasi yang telah ditetapkan. Tahapan kualifikasi ada
empat, yaitu :
- Kualifikasi Desain
- Kualifikasi Instalasi
- Kualifikasi Operasional
- Kualifikasi Performa
Validasi merupakan tindakan pembuktian dengan cara yang
sesuai bahwa tiap bahan, prosedur, kegiatan, sistem,
perlengkapan, atau mekanisme yang digunakan dalam
produksi dan pengawasan akan senantiasa mencapai hasil
yang diharapkan. Validasi yang dikenal adalah validasi
metode analisis, validasi proses, dan validasi pembersihan.
Kualifikasi dilakukan sebelum validasi.
34
dari 100000 ruang, gudang,
partikel berukuran kamar mandi
0,5 µm
2.3.2. Perkolasi
Merupakan metode pembuatan ekstrak dengan cara
merendam simplisia dalam larutan penyari dan diesktraksi
dengan mengalirkan larutan dalam periode tertentu.
Digunakan pada bahan yang keras seperti kulit batang,
akar, batang, biji, dan beberapa buah. Pada perkolasi tidak
menggunakan panas, sehingga cocok untuk senyawa aktif
yang tidak tahan panas dan oksidasi.
35
2.3.4. Sokhletasi
Merupakan metode pembuatan ekstrak dengan cara
mengalirkan solven panas yang menguap selama beberapa
periode. Digunakan pada senyawa aktif yang tahan panas
dan oksidasi.
2.3.6. Destilasi
Merupakan metode pembuatan minyak atsiri dengan
memanfaatkan volatilitas senyawa. Ada tiga jenis destilasi,
yaitu uap, air, dan uap-air. Destilasi uap dilakukan untuk
senyawa yang tahan panas dan oksidasi. Destilasi air
digunakan untuk senyawa yang tidak terhidrolisis.
36
BAGIAN 3 FARMAKOGNOSI
3.1. Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai bahan obat,
kecuali dinyatakan lain berupa bahan yang telah yang dikeringkan. Simplisia
terdiri dari nabati, hewan, dan mineral. Nama simplisa terdiri dari dua kata kata
pertama mengacu pada nama tanaman dalam bahasa latin dan kata kedua mengacu
pada bagian tanaman dengan nama latin.
Berikut adalah tatanama baku simplisia :
Nama Bagian Tumbuhan Nama Latin Contoh
Caesalpiniae lignum
Kayu Lignum
(Kayu secang)
Tinospora caulis
Batang Caulis
(Batang brotowali)
Piperi fructus
Buah Fructus
(Cabe Jawa/Buah cabe)
Jasminum flos
Bunga Flos
(Bunga melati)
Cinchonae cortex
Kulit Kayu Cortex
(Kulit kayu kina)
Myristae semenis
Biji Semen
(Biji pala)
Solanum tuber
Umbi Tuber
(Umbi kentang)
Rhei radix
Akar Radix
(Akar kelembak)
Curcuma xanthorrhizae
Akar tinggal Rhizome rhizome
(Temulawak)
Alii sativum Bulbus
Umbi lapis Bulbus
(Bawang putih)
Granati pericarpii
Kulit buah Pericarpium
(Kulit buah delima)
Daun Folium Orthosiphonis folium
37
(Daun kumis kucing)
Centellae herba
Bagian di atas tanaman Herba
(Herba pegagan)
Oleum cocos
Minyak Oleum
(Minyak kelapa)
38
mengendap.
Relatif polar,
mengandung gugus
karboksilat (-COOH) dan Lisin, arginin,
Asam Amino
amina (-NH-), aspartat.
mengendap dengan
logam berat.
Nonpolar, mengandung
gugus karboksilat (- Asam linoleat, asam
Asam Lemak
COOH), dapat laurat.
tersabunkan dengan basa.
Relatif polar,
mengandung gugus
hidroksi (-OH), senyawa Asam galat, EGCG,
aromatis (ada benzena asam sinamat,
Fenolik
dengan gugus hidroksi), kumarin,
membentuk kompleks kurkuminoid.
berwarna bila bertemu
logam tertentu.
Relatif polar,
mengandung gugus
hidroksi (-OH), senyawa
aromatis (ada benzena
dengan gugus hidroksi),
membentuk kompleks
Apigenin, narigenin,
Flavonoid berwarna bila bertemu
antosianin.
logam tertentu,
merupakan bagian dari
senyawa fenolik (semua
flavonoid adalah fenolik,
tetapi fenolik belum tentu
flavonoid)
39
Dapat polar atau
nonpolar, mengandung
atom N, mengendap
Alkaloid Kuinin, nikotin.
dengan logam berat,
memiliki aktivitas
farmakologi.
Polar, mengandung
Apiin, amigdalin,
Glikosida bagian gula (glikon) dan
aloin.
nongula (aglikon)
Relatif polar,
mengandung gugus
hidroksi (-OH) dan keton
(-CO-), senyawa
aromatis (ada benzena
dengan gugus hidroksi),
membentuk kompleks
Antrakuinon berwarna merah bila Aloin, rhein, senosida
bertemu basa, merupakan
bagian dari senyawa
fenolik (semua
antrakuinon adalah
fenolik, tetapi fenolik
belum tentu
antrakuinon).
Triterpenoid Nonpolar, mudah Limonen, karvon,
menguap (mono, seskui, timol (mudah
dan diterpenoid; tri dan menguap); asam
politerpenoid sulit glisirizat,
menguap), politerpenoid andrografolid (tidak
umumnya berwarna, mudah menguap);
tidak bisa tersabunkan. beta karoten,
zeaxanthin
40
(politerpenoid).
Nonpolar, umumnya
Senyawa pahit senyawa alkaloid dan Andrografolid, kuinin.
triterpenoid.
Nonpolar, umumnya
Senyawa pedas resin dari senyawa Gingerol, shogaol.
fenolik.
Nonpolar, merupakan
Iridoid kerangka modifikasi dari Valetriproat.
triterpenoid.
41
herba
darah
(Herba sambiloto)
Phyllanti herba
Imunomodulator Filantin Triterpenoid
(Herba meniran)
Orthosiphonis
folium
Diuretika Orthosiphonin Triterpenoid
(Daun kumis
kucing)
Sonchi folium
Glikosida
(Daun Diuretika Sonchosida
flavonoid
tempuyung)
42
BAGIAN 4 KIMIA FARMASI
4.1. Konsep kimia dasar
4.1.1. Kesetaraan mol
Kesetaraan mol sering digunakan dalam penggantian bahan
baku dari suatu bahan yang setara. Misalnya dalam
membuat tablet atorvastatin, tetapi kita mendapat bahan
baku atorvastatin kalsium dari supplier. Apabila BM
atorvastatin adalah 559 dan atorvastatin kalsium adalah
599. Hitung berapa mg setara atorvastatin kalsium terhadap
10 mg atorvastatin.
Konsep mol :
Bobot
mol = BM
10 X
559
= 599
599
X = 569 x 10
X = 10,53 mg
Jadi, 10 mg atorvastatin setara dengan 10,53 mg
atorvastatin kalsium.
4.1.2. Pengenceran
Praktek pengenceran sering ditemukan pada praktek sehari-
hari pada pelayanan kefarmasian, misalnya dalam
pembuatan alkohol cuci atau mengencerkan bahan obat
43
tertentu. Prinsip pengenceran adalah kesetaraan jumlah
molekul atau jumlah bobot senyawa dalam larutan.
Bagaimana cara pembuatan alkohol 70 % dengan volume
1,5 liter dari alkohol 95 %?
Konsep pengenceran :
volume awal x konsentrasi awal = volume akhir x
konsentrasi akhir
Atau,
V 1 x C1 = V 2 x C2
95 % x X = 70 % x 1,5 L
X = (70/95) x 1,5 L
X = 1,1 L
Jadi, ambil 1,1 liter alkohol 95 % lalu ditambahkan akuades
sampai 1,5 liter.
44
Rumus untuk basa lemah :
100
% terionisasi =
1+ 10( pH − pka)
- Rule of Thumb
Untuk senyawa asam lemah :
pH = pKa Umumnya 50 % fraksi terionisasi
pH = pKa + 1 Umumnya 90 % fraksi terionisasi
pH = pKa + 2 Umumnya 99 % fraksi terionisasi
pH = pKa + 3 Umumnya 99,9 % fraksi terionisasi
pH = pKa + 4 Umumnya 99,99 % fraksi terionisasi
Contoh :
1. Metrotreksat merupakan obat golongan inhibitor
asam folat yang memiliki pKa 5,4 dan bersifat asam
lemah. Dalam terapi, pasien harus mempertahankan
pH urin pada nilai sekitar 7 agar metrotreksat tidak
mengendap di ginjal. Berapa % fraksi terionisasi
metrotreksat pada pH urin di nilai sekitar 7?
Jawab :
Dengan rule of thumb dapat diramalkan bahwa pH
= 7 memiliki selisih 1 – 2 nilai dengan pKa,
sehingga bisa dikatakan 90 – 99 % senyawa
metrotreksat dalam bentuk terion.
Dengan perhitungan :
45
100
% terionisasi =
1+ 10( pKa− pH )
100
% terionisasi =
1+ 10(5,4−7 )
100
% terionisasi =
1+ 0,025
% terionisasi = 97,5 %
Dengan perhitungan :
100
% terionisasi =
1+ 10( pH − pKa)
100
% terionisasi =
1+ 10(7,4−9,4)
100
% terionisasi =
1+ 0,01
% terionisasi = 99 %
% tidak terionisasi = 100 – 99 = 1 %
4.1.4. Polaritas
46
Dalam praktek kefarmasian, polaritas merupakan suatu
acuan untuk menentukan partisi obat berdasarkan sifat
kimianya. Misalnya senyawa hormon cenderung lebih
bercampur dengan minyak dibandingkan dengan air.
Semakin banyak gugus polar (misalnya : -OH, -COOH,
-NH2), senyawa tersebut memiliki kecendrungan menetap
pada fase berair dan polaritasnya akan meningkat.
Dalam menentukan polaritas, digunakan pendekatan
koefisien partisi dengan rumus sebagai berikut :
(Konsentrasi Senyawa Dalam Fase Organik )
P=
( Konsentrasi Senyawa Dalam Fase Berair)
Koefisien partisi yang sering digunakan dalam farmasi
adalah koefisien partisi apparent (Papp). Dengan rumus
sebagai berikut :
Papp = P x fraksi tak terion
atau
(Konsentrasi Senyawa Dalam Fase Organik )
Papp =
( Konsentrasi Senyawa Dalam Fase Berair)
Contoh :
Senyawa x merupakan basa lemah yang diberikan secara
intravena. Senyawa x memiliki pKa = 9,4 dengan P = 65.
Senyawa x kemudian dianalisis dengan cara mengambil 5
mL sampel darah dan diekstraksi dengan 10 mL oktanol.
Berapakah konsentrasi senyawa x dalam plasma.
Diasumsikan pH plasma pasien adalah 7,4 dan dari hasil
analisis senyawa x memiliki konsentrasi sebesar 34 ng/mL
dalam oktanol.
Jawab:
Gunakan rumus :
100
% terionisasi =
1+ 10( pH − pKa)
47
100
% terionisasi =
1+ 10(7,4−9,4)
100
% terionisasi =
1+ 0,01
% terionisasi = 99 %
% tidak terionisasi = 100 – 99 = 1 %
Atau fraksi tak terion = 0,01
Papp = P x fraksi tak terion
Papp = 65 x 0,01 = 0,65
(Konsentrasi Senyawa Dalam Fase Organik )
Papp =
( Konsentrasi Senyawa Dalam Fase Berair)
34 ng/mL
Papp =
(Konsentrasi Senyawa Dalam Fase Berair)
34 ng /mL
Konsentrasi dalam Plasma =
0,65
Konsentrasi dalam Plasma = 52,31 ng/mL
48
sehingga
menimbulkan warna
Titrasi Redoks Reaksi redoks dalam Analisis serimetri (Ce),
larutan permanganometri, iodo-
iodimetri
Titrasi Pengendapan Kelarutan senyawa Analisis argentometri
hasil reaksi yang untuk kadar NaCl
mudah mengendap
Asidi-alkalimetri Reaksi asam basa Analisis basa dan asam
yang tidak diganggu kuat
air
49
menguap
KCKT (HPLC) Pemisahan Dapat digunakan fase
berdasarkan polaritas normal (fase gerak
senyawa dan ikatan nonpolar dan fase diam
pada fase gerak polar) atau fase terbalik
(fase gerak polar dan
fase diam nonpolar)
Elektroforesis Pemisahan Biasanya digunakan
berdasarkan muatan pada analisis asam
listrik senyawa dan amino dan protein
ukuran molekul
50
BAGIAN 5 FARMASI SOSIAL DAN ADMINISTRATIF
5.1. Memulai Praktek Apoteker
Setelah menyelesaikan pendidikan Apoteker, apoteker baru akan
mendapatkan STRA, sumpah Apoteker, sertifikat kompetensi
Apoteker, dan ijazah. Apabila apoteker baru akan praktek di luar kota
kelulusan harus mengurus surat lolos butuh. Apoteker yang akan
berpraktek di pelayanan harus mengurus SIPA dan Apoteker yang
akan bekerja di fasilitas produksi dan distribusi harus mengurus
SIKA. Apoteker mengajukan pembuatan SIPA dan SIKA kepada
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada Dinas
Kesehatan Provinsi. Syarat pembuatan SIPA adalah melampirkan
legalisir STRA dan rekomendasi Organisasi Profesi setempat.
5.2. Pricing
Penetapan harga merupakan hal yang penting di dalam praktek
keseharian farmasis. Mulai dari pembuatan obat sampai menjual obat.
Berikut adalah contoh penentuan harga pada praktek farmasis.
a. Pembuatan obat
Industri farmasi Y ingin membuat sirup parasetamol dengan dosis
250 mg/5 mL. Setiap kali produksi membutuhkan biaya total Rp
10.000.000 untuk 2000 botol. Berapakah harga satu botol sirup
parasetamol dosis 250 mg/5 mL?
Pada kasus di atas, dalam menentukan harga per botol dapat
ditentukan sebagai berikut :
Biaya Produksi Total
Harga per botol = + pajak pertambahan nilai
Jumlah Produksi
Rp 10.000 .000 Rp 10.000 .000
Harga per botol = + (10 % x )
2000 2000
Harga per botol = Rp 5.000 + Rp 500 = Rp 5.500
51
b. Penjualan obat di Apotek
Pada penjualan obat di Apotek, umumnya menggunakan HJA
dengan rumus :
HJA = Harga jual + (% kenaikan x Harga jual)
Berapakah harga Allopurinol 100 mg apabila satu tablet berharga
Rp 500 dan persen kenaikan allopurinol 100 mg adalah 25 %?
HJA = Rp 500 + (0,25 x Rp 500)
HJA = 1,25 x Rp 500
HJA = Rp 625
52
DAFTAR PUSTAKA
Agoes, G., 2009, Teknologi Bahan Alam : Seri Farmasi Industri 2, Edisi Revisi,
ITB, Bandung, Indonesia.
Anonim, 1977, Materia Medika Indonesia, Jilid I, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta, Indonesia.
Anonim, 1985, Cara Pembuatan Simplisia, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta, Indonesia.
Anonim, 1994, Kodifikasi Peraturan Perundang-Undangan Obat Tradisional,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, Indonesia.
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta, Indonesia.
Anonim, 2008, Farmakope Herbal Indonesia, Edisi I, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta, Indonesia.
Anonim, 2012, Penerapan Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik, Badan
Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta, Indonesia.
Anonim, 2013, MIMS Petunjuk Konsultasi 2013/2014, Gramedia, Jakarta,
Indonesia.
Anonim, 2014, 2014 Evidence Based Guideline for the Management of High
Blood Pressure in Adults : Report from the Panel Member Appointed to
the Eighth Joint National Committee (JNC 8), American Medical
Association, Amerika.
Anonim, 2015, 2015 American Diabetes Association Diabetes Guideline,
American Diabetes Association, Amerika.
Ansel, H C., 2010, Pharmaceutical Calculation, 13th Edition, Lippincott Wiliam
& Wilkins, Philadephia.
Ansel, H C., Allen, L V., Popovich, N G., 2011, Ansel’s Pharmaceutical Dosage
Form and Drug Delivery Systems, 9th Edition, Lippincott Wiliam & Wilkins,
Philadephia.
Cairns, Donald, 2008, Essential of Pharmaceutical Chemistry, Third Edition,
Pharmaceutical Press, London, Inggris.
DiPiro, J T., Wells, B G., Schwinghammer, T L., DiPiro, C V., 2015,
Pharmacotherapy Handbook 9th Edition, McGraw-Hill Education, New York,
Amerika.
Djunarko, I., Hendrawati, Y D., 2011, Swamedikasi yang Baik dan Benar, Citra
Aji Pratama, Yogyakarta.
Gandjar, I G., Rohman, A., 2010, Kimia Farmasi Analisis, Cetakan IV, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
Hartini, Y S., Sulasmono., 2007, Apotek : Ulasan Beserta Naskah Peraturan
Perundang-undangan terkait Apotek Termasuk Naskah dan Ulasan
Permenkes tentang Apotek Rakyat, USD Press, Yogyakarta.
Hendriati, L, 2013, Compounding dan Dispensing, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2009,
Peraturan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
53
Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian,
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jakarta,
Indonesia.
Lachman, L., Lieberman, H A., Kanig, J L., 1986, The Theory and Practice of
Industrial Pharmacy, Lea & Febiger, Philadephia.
Neal, M J, 2012, Medical Pharmacology at A Glance, Seventh Edition, Wiley-
Blackwell, Inggris.
Priyanto, 2009, Farmakoterapi dan Terminologi Medis, Leskonfi, Jakarta.
Priyanto, 2009, Toksikologi : Mekanisme, Terapi Antidotum, dan Penilaian
Resiko, Leskonfi, Jakarta.
Seto, S., Nita, Y., Triana, L., 2012, Manajemen Farmasi : Apotek, Rumah Sakit,
Pedagang Besar Apotek, dan Industri Farmasi Edisi Ketiga, Airlangga
University Press, Surabaya.
Swarbrick, J, 2007, Encyclopedia of Pharmaceutical Technology, 3rd Edition,
Informa Helathcare, Amerika.
Waller, G D., Sampson, A P., Renwick, A., Hillier, K., 2014, Medical
Pharmacology and Therapeutics, Fourth Edition, Elsevier, Inggris.
Winter, M E., 2014, Basic Clinical Pharmacokinetics, Fifth Edition, Lippincott
William and Wilkins, Amerika.
World Health Organization, 2003, Drug and Therapeutic Commites : A practical
Guide, Department Of Essential Drug And Medicine Policy Geneva,
Switzerland.
World Health Organization, 2009, WHO Pain Relief Ladder, WHO, Geneva,
Switzerland.
54