Anda di halaman 1dari 15

FARAIDH

1.Pengertian Faraidh
2.Ahli Waris,ashabah
3.Pembagian warisan dan hijab
4.Pengertian Wasiat
5.Syarat Wasiat
6. Rukun Wasiat
7. Hukum Melaksanakan dan menginggalkan wasiat
8. Nilai-Nilai Filosofi dalam kewarisan
Dosen pengampu : DR.Muhammad Ali Noer,MA

Penyusun :

Habib Abdillah 193210265

M.Fariz Rizaldi.W 193210181

PROGRAM STUDI TEKNIK PERMINYAKAN

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS ISLAM RIAU

TA.1441 H/ 2020
Kata Pengantar

Assalamu`alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Puji syukur penulis kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
anugerah-Nya kepada kita dan shalwat beriring salam kita sampaikan kepada nabi besar
Muhammad SAW yang telah mengubah zaman dari zaman jahiliah ke zaman yang penuh
ilmu dan teknologi yang maju seperti saat ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan dan penyusunan makalah sebagai tugas kelompok yang berjudul Faraidh ini
dengan baik dan tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari
bapak pada mata kuliah Agama Islam II Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang Faraidh bagi para pembaca dan penulis.

Segala usaha telah penulis lakukan dengan sebaik-baiknya, namun, penulis menyadari
sepenuhya bahwa isi dari makalah ini masih jauh dari kesempurnaaan dan tidak luput dari
kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kepada pembaca agar
dapat memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan penulisan
makalah ini.

Wasiat merupakan salah satu perbuatan yang sudah lama dikenal sebelum Islam.
Misalnya dalam masyarakat pada masa arab jahiliah, banyak sekali wasiat yang diberikan
kepada orang lain yang tidak mempunyai hubungan kekeluargaan dengan orang yang
bewasiat, karena pada masa itu orang yang memberikan sebagian besar harta miliknya
memperlambangkan orang yang sangat kaya raya dan mendapatkan pujian dari semua orang

Pekanbaru, 18 April 2020

Penulis

i
Daftar isi
Kata Pengantar............................................................................................................................i

Daftar isi.....................................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................iii

1.1 Latar Belakang................................................................................................................iii

1.2 Rumusan masalah...........................................................................................................iv

1.3 Tujuan Pembahasan........................................................................................................iv

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................1

2.1 Pengertian Faraidh...........................................................................................................1

2.2 Ahli Waris dan Ashabah..................................................................................................1

2.3 Pembagian Warisan dan Hijab........................................................................................2

2.4 Pengertian Hijab...............................................................................................................4

2.5 Pengertian wasiat.............................................................................................................5

2.6 Syarat Wasiat...................................................................................................................6

2.7 Rukun Wasiat...................................................................................................................6

2.8 Hukum Melaksanakan dan menginggalkan wasiat..........................................................7

2.9 Nilai Nilai Filosifi............................................................................................................8

BAB III PENUTUP....................................................................................................................9

3.1 Analisa..............................................................................................................................9

3.2 Kesimpulan......................................................................................................................9

3.3 Saran.................................................................................................................................9

Daftar Pustaka..........................................................................................................................10

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ilmu Faraidh merupakan salah satu ilmu yang paling agung dalam islam dan paling
tinggi derajatnya, karena Allah SWT sendiri yang menangani pembagian faraidh dan
memberikan setiap hak pada pemiliknya, sebagaimana yang telah diturunkan pemaparannya
dalam kitab-nya tang mulia, dalam 3 ayar dalam surat An-Nisa, Telah dijelaskan secara detail
bagian setiap ahli waris, yaitu ½,1/4,1/8,2/3,1/3,dan 1/6.

Sunnah Nabi yang mulia juga menyempurnakan, menerangkan dan menguatkan apa
yang dating dari Al-Quran serta memotivasi untuk mempelajarinya, maka cukuplah ini
sebagai pemuliaan atas ilmu ini dan penggerak perhatian untuk mengkaji sabda Rasul yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah.

Penulusuran terhadap perbedaan jenis kelamin telah dilakukan oleh para ulama
terdahulu. Mereka mengidentifikasi jenis kelamin berdasarkan hal-hal yang bersifat lahiriyah.
Laki- laki ditandai dengan adanya dzakar,tumbuhnya kumis,kumis,dan jenggot sedangkan
perempuan ditandai dengan keluarnya darah haid, memiliki sel telur, hamil, dan
berkembangnya buah dada.

Wasiat merupakan salah satu perbuatan yang sudah lama dikenal sebelum Islam.
Misalnya dalam masyarakat pada masa arab jahiliah, banyak sekali wasiat yang diberikan
kepada orang lain yang tidak mempunyai hubungan kekeluargaan dengan orang yang
bewasiat, karena pada masa itu orang yang memberikan sebagian besar harta miliknya
memperlambangkan orang yang sangat kaya raya dan mendapatkan pujian dari semua orang

Kata wasiat disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 9 kali. Dalam bentuk kata kerja,
wasiat disebut 14 kali, dan dalam bentuk kata benda jadian disebut 2 kali. Seluruhnya kata
wasiat dan derivatnya disebut sebanyak 25 kali. Dalam penggunaannya, kata wasiat berarti;
berpesan, menetapkan, memerintah,mewajibkan.

iii
filosofi adalah kerangka berpikir kritis untuk mencari solusi atas segala
permasalahan. Solusi yang ditemukan untuk mengatasi suatu persoalan melalui
berpikir secara kritis merupakan buah dari pemikiran filosofis.  

1.2 Rumusan masalah

1. Jelaskan Pengertian Faraidh?


2. 2.Ahli Waris,ashabah?
3. Apa saja Pembagian warisan dan hijab?
4. Jelaskan Pengertian Wasiat?
5. Apa saja Syarat Wasiat?
6. Apa saja Rukun Wasiat?
7. Apa Hukum Melaksanakan dan menginggalkan wasiat?
8. Nilai-Nilai Filosofi?

1.3 Tujuan Pembahasan


Tujuan pembahasan makalah ini ialah agar pembaca mengetahui bagaimana ketentuan yang
terdapat dalam ilmu waris, wasiat,faraidh, dan juga permasalahan ahli waris beserta
klasifikasinya

iv
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Faraidh

Faraidh adalah bentuk jama’ dari kata fariidhah. Kata fariidhah terambil dari kata
fardh yang berarti taqdir, ketentuan. Allah swt berfirman:“(Maka bayarlah) separuh dari
mahar yang telah kamu tentukan itu.” (QS al-Baqarah: 237). Sedang menurut istilah syara’
kata fardh ialah bagian yang telah ditentukan untuk ahli waris.

Menurut bahasa “faraidh” diambil dari kata “‫( ”الفرض‬alfardhu), yang mempunyai arti sebagai
berikut:
1. 1.“al-hazzu” yang artinya ikatan.
2. “al-qath’u” yang artinya memotong.
3. “at-taqdiir” yang artinya ukuran/kadar.
4. “at-tabyiin” yang artinya penjelasan.
5. “al-ihlaal” yang artinya menghalalkan.

2.2 Ahli Waris dan Ashabah

Ahli waris dalam kajian hukum Islam adalah orang yang berhak mendapat bagian


dari harta orang yang meninggal. Kata ini berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari
gabungan kata "ahl" (berarti keluarga, famili) dan "waris" (berarti penerima harta
peninggalan orang yang meninggal dunia). 

Menurut bahasa ashabah adalah bentuk jamak dari ”ashib” yang artinya mengikat,
menguatkan hubungan kerabat/nasab. Menurut syara’ ’ashabah adalah ahli waris yang
bagiannya tidak ditetapkan tetapi bisa mendapat semua harta atau sisa harta setelah harta
dibagi kepada ahli waris dzawil furudh.

Ada 2 (dua) macam ashabah di dalam ilmu faraidl, yakni ashabah sababiyah dan
ashabah nasabiyah:

1. Ashabah sababiyah adalah ashabah karena adanya sebab, yaitu sebab memerdekakan
budak. Ketika seorang budak yang telah dimerdekakan meninggal dunia dan tak
memiliki kerabat secara nasab maka sang tuan yang memerdekakannya bisa mewarisi
1
harta peninggalannya secara ashabah, sebagai balasan atas kebaikannya yang telah
memerdekakan sang budak (Wahbah Az-Zuhaili, 2011: 385).

2. Sedangkan ashabah nasabiyah adalah ashabah karena adanya hubungan nasab


dengan si mayit. Mereka yang masuk dalam kategori ini adalah semua orang laki-laki
yang telah disebutkan dalam pembahasan para penerima waris dari pihak laki-laki
selain suami dan saudara laki-laki seibu, keduanya hanya menerima dari bagian pasti
saja (Musthafa Al-Khin, al-Fiqhul Manhaji, Damaskus, Darul Qalam, 2013, jilid II,
halaman 298).

2.3 Pembagian Warisan dan Hijab

Adapun besar kecilnya bagian yang diterima bagi masing-masing ahli waris dapat
dijabarkan sebagai berikut:

Pembagian harta waris dalam islam telah ditetukan dalam al qur an surat an nisa
secara gamblang dan dapat kita simpulkan bahwa ada 6 tipe persentase pembagian harta
waris, ada pihak yang mendapatkan setengah  (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua
per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6), mari kita bahas satu per satu.

Pembagian harta waris bagi orang-orang yang berhak mendapatkan waris separoh
(1/2):

1. Seorang suami yang ditinggalkan oleh istri dengan syarat ia tidak memiliki keturunan
anak laki-laki maupun perempuan, walaupun keturunan tersebut tidak berasal dari
suamin yakini (anak tiri).

2. Seorang anak kandung perempuan dengan 2 syarat: pewaris tidak memiliki anak laki-
laki, dan anak tersebut merupakan anak tunggal.

3. Cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki dengan 3 syarat: apabila cucu tersebut
tidak memiliki anak laki-laki, dia merupakan cucu tunggal, dan Apabila pewaris tidak
lagi mempunyai anak perempuan ataupun anak laki-laki.

4. Saudara kandung perempuan dengan syarat: ia hanya seorang diri (tidak memiliki
saudara lain) baik perempuan maupun laki-laki, dan pewaris tidak memiliki ayah atau
kakek ataupun keturunan baik laki-laki maupun perempuan.

2
5. Saudara perempuan se-ayah dengan syarat: Apabila ia tidak mempunyai saudara
(hanya seorang diri), pewaris tidak memiliki saudara kandung baik perempuan
maupun laki-laki dan pewaris tidak memiliki ayah atau kakek dan katurunan.

Pembagian harta waris dalam Islam bagi orang-orang yang berhak mendapatkan waris
seperempat(1/4):
yaitu seorang suami yang ditinggal oleh istrinya dan begitu pula sebaliknya

1. Seorang suami yang ditinggalkan dengan syarat, istri memilki anak atau cucu dari
keturunan laki-lakinya, tidak peduli apakah cucu tersebut dari darah dagingnya atau
bukan.

2. Seorang istri yang ditinggalkan dengan syarat, suami tidak memiliki anak atau cucu,
tidak peduli apakah anak tersebut merupakan anak kandung dari istri tersebut atau
bukan.

Pembagian harta waris bagi orang-orang yang berhak mendapatkan waris


seperdelapan (1/8): yaitu istri yang ditinggalkan oleh suaminya yang memiliki anak atau
cucu, baik anak tersebut berasal dari rahimnya atau bukan.

Pembagian harta waris dalam Islam bagi orang-orang yang berhak mendapatkan waris
duapertiga (2/3):

1. Dua orang anak kandung perempuan atau lebih, dimana dia tidak memiliki saudara
laki-laki (anak laki-laki dari pewaris).

2. Dua orang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki dengan syarat pewaris tidak
memiliki anak kandung, dan dua cucu tersebut tidak mempunyai saudara laki-laki

3. Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) dengan syarat pewaris tidak memiliki
anak, baik laki-laki maupun perempuan, pewaris juga tidak memiliki ayah atau kakek,
dan dua saudara perempuan tersebut tidak memiliki saudara laki-laki.

4. Dua saudara perempuan seayah (atau lebih) dengan syarat pewaris tidak mempunyai
anak, ayah, atau kakek. ahli waris yang dimaksud tidak memiliki saudara laki-laki se-
ayah. Dan pewaris tidak memiliki saudara kandung.

3
Pembagian harta waris dalam Islam bagi orang-orang yang berhak mendapatkan waris
sepertiga (1/3):

1. Seorang ibu dengan syarat, Pewaris tidak mempunyai anak atau cucu laki-laki dari
keturunan anak laki-laki. Pewaris tidak memiliki dua atau lebih saudara (kandung atau
bukan)

2. Saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu, dua orang atau lebih dengan syarat
pewaris tidak memiliki anak, ayah atau kakek dan jumlah saudara seibu tersebut dua
orang atau lebih.

2.4 Pengertian Hijab

Hijab secara harfiyah berarti satir, penutup atau penghalang. Dalam fiqh mawaris,
istilah hijab   digunakan untuk menjelaskan ahli waris yang jauh hubungan kerabatnya yang
kadang-kadang atau seterusnya terhalang oleh ahli waris yang lebih dekat. Orang yang
menghalangi disebut hajib, dan orang yang terhalang disebut mahjub.

Hijab terbagi 2:

1. Hijab Nuqshan
Yaitu penghalang yang menyebabkan berkurangnya bagian seorang ahli waris,
dengan kata lain berkurangnya bagian yang semestinya diterima oleh seorang ahli waris
karena ada ahli waris lain.
Seperti suami, seharusnya menerima bagian ½, akan tetapi karena bersama anak
perempuan maka bagiannya menjadi ¼. Seharusnya Ibu mendapat bagian 1/3, karena
bersama anak maka bagian Ibu berkurang menjadi 1/6.

4
2. Hijab Hirman
Yaitu penghalang yang menyebabkan seseorang ahli waris tidak memperoleh sama
sekali warisan disebabkan ahli waris yang lain. Contoh, seorang cucu akan terhijab jika si
mayat mempunyai anak laki-laki.

2.5 Pengertian wasiat

Kata wasiat itu diambil dari kata wahshaitu asy-syaia,


uushiihi, artinya aushaltuhu ( aku menyampaikan sesuatu). Maka orang yang berwasiat
adalah orang yang menyampaikan pesan diwaktu dia hidup untuk dilaksanakan sesudah dia
mati.

Menurut syara’ wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik itu
berupa barang, piutang ataupun mamfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat
sesudah orang yang berwasiat tersebut mati.

Sebagian fuqaha mengartikan bahwa wasiat itu adalah pemberian hak milik secara
sukarela yang dilaksanakan setelah pemberinya mati. Dari sini jelas perbedaan antara hibah
dan wasiat. Pemilikan yang diperboleh dari hibah itu terjadi pada saat itu juga; sedangkan
pemilikan yang diperboleh dari wasiat itu terjadi setelah orang yang berwasiat itu mati. Ini
dari satu segi; sedangkan dari segi yang lain hibah itu berupa barang, sementara wasiat bisa
berupa barang, piutang ataupun mamfaat.

5
2.6 Syarat Wasiat

Wasiat yang disandarkan atau diikat dengan disertai syarat itu sah, bila syaratnya itu
syarat yang dibenarkan, yakni yang mengandung maslahat bagi si pemberi, si penerima, atau
bagi orang lain, sepanjang syarat itu tidak dilarang atau bertentangan dengan maksud-
maksud syari'ah. Apabila syaratknya itu benar, maka syarat itu wajib dipelihara selama
masalahnya masih ada. Apabila maslahat yang dimaksud telah hilang, atau tidak benar, maka
syarat itu tidak wajib dipelihara.

2.7 Rukun Wasiat

Rukun wasiat adalah ijab dari orang yang mewasiatkan. 

1. Ijab dengan ucapan. Ijab itu dengan segala lafadz yang menunjukkan kepemilikan
yang dilaksanakan sesudah dia matai dan tanpa adanya imbalan. Seperti: "Aku
wasiatkan kepada si A begini setelah aku mati", atau "Aku berikan itu " atau "Aku
serahkan pemilikannya kepada si B sepeninggalku." dll.

2. Ijab dengan isyarat dan tulisan. Selain terjadi dengan melalui pernyataan, wasiat bisa
terjadi pula melalui isyarat yang dapat dipahami, bila pemberi wasiat tidak sanggup
berbicara; juga sah pula akad wasiat melalui tulisan.

3. Wasiat untuk umum. Apabila penerima wasiat tidak tertentu, seperti untuk masjid,
tempat pengungsian, sekolah atau rumah sakit, maka ia tidak memerlukan kabul;
cukup dengan ijab saja, sebab dalam keadaan yang demikian wasiat itu
menjadi shadaqah. 

4. Wasiat untuk orang tertentu. Apabila wasiat diberikan kepada orang tertentu, maka
ia memerlukan kabul dari si penerima wasiat setelah si pemberi mati, atau kabul dari
walinya jika si penerima wasiat belum memiliki kecerdasan. Jika wasiat diterima,
maka terjadilah wasiat itu, tetapi jika ditolak, maka batallah wasiat itu, dan ia tetap
menjadi milik para ahli waris si pemberi.

6
5. Hak mengubah dan membatalkan. Di dalam wasiat, si pemberi punya hak untuk
mengubah atau menarik kembali wasiatnya. Penarikan kembali (Ruju') itu harus
dinyatakan dengan ucapan, misalnya: "Aku tarik kembali wasiat itu." boleh juga
penarikan kembali itu dengan perbuatan, misalnya tindakan si pembari wasiat menjual
objek wasiat.

2.8 Hukum Melaksanakan dan menginggalkan wasiat

Mengenai dasar hukumnya, sebaiknya melaksanakan atau meninggalkan, para ulama berbeda
pendapat. Berikut saya sajikan ringkasannya:

1. Wajib. Memandang bahwa wasiat itu wajib bagi seriap orang yang meninggalkan
harta, baik harta itu banyak maupun sedikit, mereka berdalih dengan firman Allah
Surah Al-Baqarah ayat 180. (Pendapat Az-Zuhri dan Abu Miljan).

2. Wajib kepada orang tua dan kerabat. Memandang bahwa wasiat kepada kedua orang


tua dan karib kerabat yang tidak mewarisi dari si mati wajib hukumnya
(Pendapat Mazhab Masruq, Iyas, Qatadah, Ibnu Jarir dan Az-Zuhri).

3. Terkadang wajib, sunat, haram, makruh, dan terkadang jaiz (boleh).(Pendapat Imam


yang empat dan aliran Zaidiyah). Rinciannya, sebagai berikut:

a. Wajibnya Wasiat. Bila manusia mempunyai kewajiban syara' yang


dikhawatirkan akan disia-siakan bila dia tidak berwasiat, misalnya: adanya
titipan, hutang kepada Allah dan manusia, hutang zakat atau haji, atau
mempunyai amanat yang harus disampaikan, atau mempunyai hutang yang
tidak diketahui selain oleh dirinya, atau dia mempunyai titipan yang tidak
dipersaksikan.

b. Sunatnya wasiat. Bila ia diperuntukkan bagi kebajikan, karib kerabat, orang-


orang fakir, dan orang-orang shaleh.

c. Haramnya wasiat. Bila ia merugikan ahli waris. Diriwayatkan dari Sa'id bin
Manshur dengan isnad yang shahih, berkata Ibnu 'Abbas r.a.:"Merugikan ahli
waris di dalam wasiat itu termasuk dosa besar." Wasiat jenis ini termasuk
katergori batil, sekalipun jumlahnya tidak mencapai sepertiga harta.
Diharamkan pula mewasiatkan khamar, membangun gereja atau tempat hiburan.

7
d. Makruhnya wasiat. Bila yang berwasiat sedikit hartanya, sementara ia
mempunyai ahli waris (sedikit/banyak) yang membutuhkan hartanya. Demikian
juga wasiat untuk orang fasik yang dikhawatirkan akan digunakan untuk
melakukan kefasikan atau kerusakan. Tapi jika si pemberi wasiat tahu atau
yakin bahwa si penerima akan menggunakan harta untuk ketaatan, maka
hukumnya menjadi sunah.

e. Jaiznya wasiat. Bila ia ditujukan kepada orang yang kaya, baik dia kerabat
ataupun bukan. 

2.9 Nilai Nilai Filosifi

Seperti telah disebutkan diawal bahwa ketentuan Kewarisan telah diatur sedemikian
rupa dalam Al-Qur’an. Dibandingkan dengan ayat-ayat hukum lainnya, ayat-ayat hukum
inilah yang paling tegas dan rinci isi kandungannya. Ini tentu ada hikmah yang ingin di capai
oleh Al-Qur’an tentang ketegasan hukum dalam hal Kewarisan.

Berikut ini ada beberapa hikmah adanya pembagian waris menurut hukum islam:

1. Pembagian waris dimaksudkan untuk memelihara harta (Hifdzul Maal). Hal ini sesuai
dengan salah satu tujuan Syari’ah (Maqasidus Syari’ah) itu sendiri yaitu memelihara
harta.

2. Mengentaskan kemiskinan dalam kehidupan berkeluarga.

3. Menjalin tali silaturahmi antar anggota keluarga dan memeliharanya agar tetap utuh.

4. Merupakan suatu bentuk pengalihan amanah atau tanggung jawab dari seseorang
kepada orang lain, karena hakekatnya harta adalah amanah Alloh SWT yang harus
dipelihara dan tentunya harus dipertanggungjawabkan kelak.

5. Adanya asas keadilan antara laki-laki dan perempuan sehingga akan tercipta
kesejahteraan sosial dalam menghindari adanya kesenjangan maupun kecemburuan
sosial.

8
BAB III

PENUTUP

3.1 Analisa

3.2 Kesimpulan

3.3 Saran
1. Kepada pembaca agar lebih mendalami agama yang kita miliki dan menjadikan pedoman
hidup bagi kita

9
Daftar Pustaka

ilmu Faraidh dan mewaris (aisyah as-salafiyah)

Hukum Waris Islam ( Dr. HJ. Suryati, S.H., M.H.

Pembagian waris menurut islam (Muhammad Ali Ash-Shabuni

Wahbah Az-Zuhaili (2011:385)

Panduan wakaf,hibah,dan wasiat (menurut Al-Quran dan As-Sunnah)

10

Anda mungkin juga menyukai