No. Absen 18 - I Kadek Agus Wira Putra - Tugas 5 - Hukum Adat Bali - Kelas B
No. Absen 18 - I Kadek Agus Wira Putra - Tugas 5 - Hukum Adat Bali - Kelas B
OLEH :
1804551081
NO. ABSEN 18
KELAS B
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2020
1. Bagaimana konsep warisan menurut hukum adat bali?
Jawaban :
Selain pewaris, unsur penting lainnya untuk berjalannya pewarisan adalah harta warisan.
Hilman Hadikusuma mengemukakan bahwa warisan adalah barang-barang berupa harta benda
yang ditinggalkan oleh seorang pewaris.1 Sementara Retnowulan Sutantio mengatakan bahwa
harta warisan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris setelah dikurangi hibah-hibah dan
hutang-hutang almarhum, biaya penguburan, selamatan, biaya-biaya lainnya sehubungan dengan
kematian. Korn mengatakan bahwa men urut Hukum Adat Bali, warisan adalah semua harta
kekayaan berupa material (yang berwujud) yang ditinggalkan oleh pewaris.2
Secara umum untuk dapat berjalannya pewarisan ada tiga unsur penting yang harus
dipenuhi yaitu adanya pewaris, harta warisan dan ahli waris. Pewaris adalah orang yang
meningglkan warisan sedangkan harta warisan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik
yang materiil maupun immateriil. Sementara ahli waris adalah orang-orang yang menerima harta
warisan. Unsur yang paling terakhir inilah yang dominan menjadi masalah dalam pewarisan akan
tetapi unsur lainnya juga tidak kalah pentingnya karena salah satu dari unsur-unsur pewarisan tidak
ada maka pewarisan tidak dapat dilaksanakan. Hanya saja yang paling krusial adalah pada unsur
ahli waris.3
Dalam hukum adat bali, warisan bukan hanya harta kekayaan semata atau hanya benda
berwujud melainkan berupa hak-hak dalam masyarakat. Contohnya hak atas tanah karang desa
yang melekat pada masyarakat desa adat (krama desa adat) hak memanfaatkan setra (kuburan
milik desa) bersembahyang dikarangan desa, mengurus sanggah atau merajan dan masih banyak
hal lainnya. Pada hukum adat bali, warisan yang berwujud harta keluarga dilihat dari sumbernya
dapat digolongkan sebagai berikut:
1
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat, CV Mandar Maju, Bandung, 2003, h. 35.
2
Ni Nyoman Sukerti, dkk, 2016, “Pewarisan Pada Masyarakat Adat Bali Terkait Ahli Waris Yang Beralih
Agama”, Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, Acta Comitas (2016) 2, h. 135-136.
3
Ibid.
(1). Harta pusaka (tetamian) yaitu berupa harta yang diperoleh karena pewarisan secara
turun temurun. Tetamian meliputi:
Tetamian yang tidak dapat dibagi, ialah harta yang mempunyai nilai magis
relegius seperti tempat persembahyangan keluarga, pura dadia dan lain
sebagainya.
Tetamian yang dapat dibagi, ialah harta warisan yang tidak mempunyai nilai
religius, seperti sawah, ladang dan lain lain.
(2). Tetatadan, yaitu harta yang dibawa oleh masing-masing pasangan suami atau istri
kedalam perkawinan baik hasil kerja kerasnya sendiri ataupun titipan dari orang tuanya.
(3). Pegunakaya, yaitu harta yang diperoleh bersama oleh pasangan suami istri dalam
pernikahan.4
Menurut peswara pewarisan Tahun 1900, harta warisan terjadi dari hasil bersih kekayaan
pewaris setelah dipotongkan hutangnya termasuk juga hutang-hutang yang dibuat ongkos
penyelenggaraan pengabenan pewaris. Terdapat penafsiran terhadap peswara ini bahwa hutang
pewaris tidak ditanggung oleh ahli warisnya, jika harta warisan tidak mencukupi. Sementara Korn,
menulis bahwa tidak saja sisa yang beralih dari harta warisan yang diterima tetapi juga termasuk
hutang-hutang pewaris diwariskan kepada ahli warisnya kecuali hutang-hutang karena perjudian.
5
2. Apakah menurut hukum adat bali seorang anak kandung selalu berstatus sebagai ahli
waris dari orang tua kandungnya?
Jawaban :
Ahli waris adalah orang yang menerima warisan. Dalam hukum adat bali yang berdasarkan
pada sistem kekeluargaan kepurusa, orang-orang yang dapat diperhitungkan sebagai ahli waris
Wayan P. Windia dan Ketut Sudantra, 2016, “Pengantar Hukum Adat Bali”, Cetakan Kedua, Lembaga
4
Mengenai ahli waris, dalam hukum adat dikenal adanya penggolongan ahli waris
berdasarkan garis pokok keutamaan dan garis pokok pengganti. Garis pokok keutamaan adalah
garis hukum yang menentukan urutan-urutan keutamaan di antara golongangolongan keluarga
pewaris dengan pengertian bahwa golongan yang satu lebih diutamakan dari golongad yang lain.
Garis pokok pengganti adalah garis hukum yang bertujuan untuk menentukan siapa di antara
kelompok keutamaan tertentu, tampil sebagai ahli waris. Dalam menentukan ahli waris
berdasarkan garis pokok keutamaan dan garis pengganti ini maka harus diperhatikan dengan
seksama sistem kekeluargaan yang berlaku. Dengan garis pokok keutamaan tadi, maka orangorang
yang mempunyai hubungan darah dibagi dalam golongangolongan, yaitu:
4. Kelompok keutamaan keempat adalah kakek dan nenek pewaris, dan seterusnya.
Namun dalam hal ini jika tidak memiliki keturunan, masyarakat hukum adat bali
mengangkat anak atau sentana rajeg dengan upacaranya. Selain anak kandung mempunyai hak
waris penuh terhadap harta warisan orang tuanya, anak angkat juga mempunyai hak waris penuh
terhadap harta warisan orang tua angkatnya.7. Apabila ahli waris dari golongan keutamaan pertama
tidak ada, maka yang berhak atas harta warisan adalah golongan ahli waris dari kelompok
keutamaan kedua, yaitu orang tua pewaris, jika masih ada. Setelah itu barulah diperhitungkan
saudara-saudara pewaris sebagai kelompok keutamaan ketiga dan keturunan sebagai ahli waris
pengganti. Menurut Perwara Pewaris Tahun 1990 yang berhak atas harta warisan seseorang duda
6
Wayan P. Windia dan Ketut Sudantra, Op. Cit., h. 155.
7
Ni Nyoman Sukerti, dkk, Op. Cit., h. 137.
atau seseorang janda yang tidak mempunyai anak laki-laki adalah anggota-anggota keluarga laki-
laki sedarah yang terdekat dalam pancar laki-laki sedarah yang terdekat dalam pancar laki-laki
sampai derajat ke delapan (ming telu).8
Akibat orang menjadi ahli waris maka ia dibebani kewajiban-kewajiban baik kewajiban
keluarga maupun kewajiban masyarakat adat. Adapun kewajiban-kewajiban ahli waris yaitu :
1. Memelihara pewaris ketika pewaris dalam keadaan tidak mampu secara fisik;
2. Menguburkan jenazah pewaris atau mengabenkan pewaris serta menyemayamkan
arwahnya di sanggah/merajan;
3. Menyembah arwah leluhur yang bersema yan di sanggah/merajan;
4. Melaksanakan kewajiban kemasyarakatan adat berupa ayahan terhadap banjar/desa
adat.
8
Wayan P. Windia dan Ketut Sudantra, Op. Cit., h. 155-156.
9
Ni Nyoman Sukerti, dkk, Op. Cit., h. 137
10
Wayan P. Windia dan Ketut Sudantra, Op. Cit., h. 157.
DAFTAR BACAAN
I. BUKU
Hadikusuma, Hilman, 2003, “Pengantar Ilmu Hukum Adat”, Bandung, CV Mandar Maju.
P. Windia, Wayan dan Ketut Sudantra, 2016, “Pengantar Hukum Adat Bali”, Cetakan
Kedua, Denpasar, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas
Udayana,.
II. JURNAL
Sukerti, Ni Nyoman, dkk, 2016, “Pewarisan Pada Masyarakat Adat Bali Terkait Ahli
Waris Yang Beralih Agama”, Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, Acta
Comitas (2016) 2.