Anda di halaman 1dari 25

ANALISIS BIAYA ANTIDIABETIK KOMBINASI PADA

PASIEN DIABETES MELITUS RAWAT INAP


JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN)
DI RSU ANUTAPURA PULA

PROPOSAL

NUR EKASANDRA
G70118019

PROGRAM STUDI FARMASI JURUSAN FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM
UNIVERSITAS TADULAKO
MEI 2021
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Judul : Analisis Biaya Antidiabetik Kombinasi pada Pasien Diabetes Melitus


Rawat Inap Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di RSU Anutapura Palu

Nama : Nur Ekasandra

Stambuk : G70118019

Telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan pada Seminar Proposal

Palu, 21 Mei 2021

Pembimbing I Pembimbing II

Apt. Muh. Rinaldhi Tandah, M.Sc. Apt. Khusnul Diana., S.Far., M.Sc.
NIDN: 19860202 201504 2 003 NIP. 198602022015042001

Mengetahui,
Ketua Jurusan Farmasi
FMIPA Universitas Tadulako

Syariful Anam, S.Si., M.Si., Ph.D


NIP. 19800226 200501 1 001
ANALISIS BIAYA ANTIDIABETIK KOMBINASI PADA
PASIEN DIABETES MELITUS RAWAT INAP
JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN)
DI RSU ANUTAPURA PALU

A. Latar Belakang Masalah


Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu penyakit kronis yang tidak bisa
disembuhkan akan tetapi masih dapat dikendalikan. Berdasarkan data statistik
kematian di dunia, WHO mengatakan bahwa sekitar 3,2 juta tiap tahun penduduk
dunia meninggal akibat DM. 2025 mendatang, WHO memperkirakan jumlah
penderita DM akan meningkat menjadi 333 juta jiwa. WHO juga memprediksi
penderita DM di Indonesia mengalami peningkatan dari 8,4 juta di tahun 2000
menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030.[ CITATION Leo20 \l 1033 ]

Penatalaksanaan DM selain dengan pola hidup sehat juga dengan menggunakan


antidiabetik, dimana antidiabetik dapat diberikan secara tunggal ataupun
dikombinasikan. (PERKENI, 2019) Berdasarkan hasil penelitian Gumantara et al
(2017) di Lampung disimpulkan bahwa kombinasi terapi pada pasien DM lebih
efektif dalam mengontrol gula darah pasien daripada monoterapi. Efek samping
yang mungkin timbul lebih sering dijumpai pada monoterapi dibandingkan
dengan terapi kombinasi. (Gumantara et al., 2017)

Tujuan utama terapi DM adalah mencegah atau menunda perkembangan


komplikasi mikro dan makrovaskular jangka panjang. (Dipiro et al., 2020)
Penatalaksanaan DM berupa pengobatan dan pengukuran outcome terapi tentu
saja dapat meningkatkan biaya perawatan. Menurut International Diabetes
Federation (IDF) (2013) penyakit DM menyebabkan beberapa kerugian
perekonomian kesehatan diantaranya peningkatan biaya perawatan, kehilangan
produktivitas tenaga kerja dan penurunan perkembangan perekonomian. (IDF,
2013)

Berdasarkan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas) tahun 2013 menunjukkan


bahwa prevelensi DM di Indonesia berdasarkan yang tertinggi terdapat di
Sulawesi Tengah (3,7%) dan paling rendah pada daerah Lampung (0,9%)
(KEMENKES RI, 2013b)

Berdasarkan profil kesehatan provinsi Sulawesi Tengah (2019) kota Palu


menempati posisi kedua tertinggi dengan jumlah penderita 27.005 jiwa, dimana
hanya sekitar 4.533 jiwa (16,86%) yang memperoleh pelayanan kesehatan.
(DINKES RI, 2019) Ini menunjukkan bahwa semakin besar biaya pengobatan
yang diperlukan, menjadi alasan sulitnya masyarakat dan pemerintah
menanganinya, sehingga dibutuhkan asuransi kesehatan dalam bentuk suatu
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

JKN dijalankan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Dalam sistem
JKN, BPJS Kesehatan akan membayar dengan sistem paket INA-CBG’s
(Indonesia Case Base Group) untuk Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat
Lanjutan (FKRTL) (KEMENKES RI, 2014) INA-CBG’s adalah sistem paket
pembayaran berdasarkan penyakit yang diderita oleh pasien. (BPJS, 2014)

RSU Anutapura Palu merupakan salah satu rumah sakit pemerintah, termasuk
dalam rumah sakit tipe B dan merupakan rumah sakit rujukan bagi daerah-daerah
sekitarnya. Rumah sakit rujukan berperan dalam program JKN, dimana BPJS
melakukan pembayaran berdasarkan tarif INA-CBG’s, namun hal ini belum
efektif karena adanya ketidaksesuaian antara biaya rill dengan tarif INA-CBG’s.
Hal ini dapat dilihat pada hasil penelitian Mawaddah & Tasminatun (2015) di
rumah sakit kalisat Jember, yaitu terdapat perbedaan yang secara statistik
signifikan antara tarif riil dan tarif paket INA-CBG’s pada pembayaran klaim
BPJS pasien diabetes melitus tipe II rawat inap di RS Kalisat. (Mawaddah &
Tasminatun, 2015) Hal yang sama juga dibuktikan pada penelitian Sari (2014) di
RSUP dr. Sardjito Yogyakarta, yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
antara tarif RS dengan tarif INA-CBG’s pada pasien diabetes melitus. (Sari, 2014)
Permasalahan tersebut yang melatarbelakangi peneliti untuk melakukan penelitian
mengenai analisis biaya antidiabetik kombinasi pada pasien diabetes melitus rawat
inap jaminan kesehatan nasional (JKN) di Rumah Sakit Umum Anutapura Palu.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran terapi antidiabetik kombinasi pada pasien JKN kode
INA-CBG’s E-4-10 diabetes melitus rawat inap di RSU Anutapura Palu?
2. Bagaimana outcome penggunaan antidiabetik kombinasi pada pasien JKN
kode INA-CBG’s E-4-10 diabetes melitus rawat inap di RSU Anutapura Palu?
3. Berapa biaya medis langsung diabetes melitus terapi antidiabetik kombinasi
pada pasien JKN kode INA-CBG’s E-4-10 diabetes melitus rawat inap di RSU
Anutapura Palu berdasarkan perspektif rumah sakit?
4. Apakah terdapat perbedaan antara biaya rill dengan tarif INA-CBG’s pada
pasien diabetes melitus di RSU Anutapura Palu?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Mengetahui gambaran terapi antidiabetik kombinasi pada pasien JKN kode
INA-CBG’s E-4-10 diabetes melitus rawat inap di RSU Anutapura Palu.
2. Mengetahui outcome penggunaan antidiabetik kombinasi pada pasien JKN
kode INA-CBG’s E-4-10 diabetes melitus rawat inap di RSU Anutapura Palu.
3. Mengetahui besar biaya medis langsung diabetes melitus terapi antidiabetik
kombinasi pada pasien JKN kode INA-CBG’s E-4-10 diabetes melitus rawat
inap di RSU Anutapura Palu berdasarkan perspektif rumah sakit.
4. Mengetahui perbedaan antara biaya rill dengan tarif INA-CBG’s pada pasien
diabetes melitus di RSU Anutapura Palu.

D. Manfaat Penelitian
1. Pelayanan
Diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi dokter, farmasis dan
tenaga kesehatan lainnya dalam mengevaluasi biaya penggunaan obat
antidiabetik kombinasi yang harus dikeluarkan pasien dan sebagai referensi
peningkatan mutu pelayanan medis.
2. Pendidikan
Diharapkan dapat digunakan sebagai referensi yang menunjang proses belajar
mengajar untuk kepentingan pendidikan terutama terhadap analisis biaya
pengobatan kombinasi pada pasien diabetes melitus.

3. Penelitian
Diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan untuk penelitian lain terkait analisis
biaya pengobatan kombinasi pada pasien diabetes melitus.

E. Batasan Masalah
Batasan masalah dalam penelitian ini dibatasi pada analisis biaya secara
retrospektif pada biaya medis langsung meliputi biaya obat antidiabetik, biaya
kamar, biaya pelayanan, biaya laboratorium, biaya alat kesehatan serta penunjang
lain pada pasien rawat inap diabetes melitus di RSU Anutapura Palu periode
Januari sampai Desember 2020 dan Januari sampai Mei 2021.

F. Tinjauan Pustaka
1. Diabetes
Diabetes adalah sekelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan
hiperglikemia akibat kerusakan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya.
Hiperglikemia kronis pada diabetes dikaitkan dengan kerusakan jangka
panjang, disfungsi, dan kegagalan berbagai organ, terutama mata, ginjal, saraf,
jantung, dan pembuluh darah. (ADA, 2018)

2. Diabetes Melitus
Diabetes mellitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik, yang
terjadi akibat dari kelainan sekresi insulin, kerja insulin ataupun keduanya
dengan karakterisitik hiperglikemia. (PERKENI, 2019)

3. Klasifikasi Etiologi Diabetes Melitus


Klasifikasi DM dibagi menjadi 4 (PERKENI, 2019) :
a. Diabetes Melitus (DM) Tipe 1
DM tipe 1 merupakan jenis DM yang terjadi karena destruksi sel beta.
Kerusakan ini berdampak pada defisiensi insulin yang terjadi secara
absolut. Autoimun dan idopatik merupakan penyebab terjadinya kerusakan
sel beta.
b. Diabetes Melitus (DM) Tipe 2
DM tipe 2 merupakan salah satu jenis DM yang dominan dengan resistensi
insulin. Pankreas masih dapat memproduksi insulin serta jumlah insulin di
dalam tubuh terbilang cukup tetapi kualitas insulin yang diproduksi oleh
pankreas buruk sehingga tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya dan
menyebabkan meningkatnya kadar gula darah. Defisiensi insulin juga
kerap kali terjadi pada penderita DM tipe 2 dan besar kemungkinan untuk
menjadi defisiensi absolut.
c. Diabetes melitus gestasional
Diabetes jenis ini merupakan diabetes yang terjadi pada saat kehamilan,
dimana sebelumnya penderita tidak mengalami diabetes. Diabetes jenis ini
didiagnosis pada trimester kedua atau ketiga kehamilan.
d. Tipe spesifik yang berkaitan dengan penyebab lain
Diabetes tipe ini merupakan diabetes yang terjadi karena penyebab lain.
Misalnya Sindroma diabetes monogenik seperti diabetes neonatal dan
diabetes yang dimulai sejak usia dini (maturity-onset diabetes of the young
[MODY]). Penyakit eksokrin pankreas seperti fibrosis kistik dan
pankreatitis, selain itu juga ada Diabetes yang disebabkan oleh obat atau
zat kimia misalnya penggunaan glukokortikoid pada terapi HIV/AIDS atau
setelah tranplantasi organ.

4. Patofisiologi Diabetes Melitus


a. Diabetes melitus Tipe 1
DM tipe 1 merupakan diabetes yang terjadi akibat dari pankreas tidak lagi
dapat atau kurang mampu untuk memproduksi insulin, sehingga tubuh
mengalami kekurangan insulin atau bahkan tidak memiliki insulin sama
sekali. Dengan demikian, gula tidak dapat diangkut ke dalam sel dan
menumpuk dalam peredaran darah. Penyakit ini biasanya menyerang usia
anak-anak atau remaja dan bisa terjadi pada pria maupun wanita. Kerap
kali gejala diabetes tipe ini timbul secara mendadak dan bisa bersifat berat
bahkan menimbulkan koma apabila tidak segera ditolong dengan suntikan
insulin. (Tandra, 2018)
b. Diabetes melitus Tipe 2
Pada DM tipe 2, pankreas masih dapat memproduksi insulin tetapi insulin
yang dihasilkan kualitasnya buruk sehingga insulin tersebut tidak dapat
berfungsi dengan baik dan menyebabkab meningkatnya glukosa darah .
Hal lain yang menyebabkan terjadinya DM tipe 2 yaitu si penderita sudah
resisten terhadap insulin dimana sel-sel jaringan tubuh dan otot si
penderita tidak peka. Akibat dari resistensi ini kualitas insulin yang
diproduksi oleh pankreas menjadi buruk sehingga pada akhirnya gula
tertimbun dalam peredaran darah. (Tandra, 2018)
c. Diabetes melitus Gestasional
DM tipe ini biasanya terjadi pada masa kehamilan, dimana penderita tidak
mengalami diabaetes sebelumnya. DM tipe ini terjadi diakibatkan oleh
terbentuknya beberapa hormon pada masa kehamilan sehingga
menyebabkan resistensi insulin (Tandra, 2018)
d. Diabetes melitus tipe lain
DM tipe ini, terjadi akibat dari faktor penyakit lain, yang mengganggu
produksi atau kerja insulin. Contoh penyakit-penyakit itu adalah radang
pankreas (pankreatitis), gangguan kelenjar adrenal atau hipofisis,
penggunaan hormon kortikosteroid, pemakaian beberapa obat
antihipertensi atau antikolesterol, malnutrisi, atau infeksi. (Tandra, 2018)

5. Gejala dan Diagnosis Diabetes Melitus


Gejala yang biasa terjadi pada penderita DM terbagi menjadi dua yaitu
keluhan klasik diantaranya sering buang air kecil di malam hari atau juga
dikenal dengan polyuria, frekuensi minum air meningkat atau polydipsia,
sangat sering lapar atau juga dikenal dengan polyfagia, penurunan berat badan
yang tidak diketahui penyebabnya. Serta keluhan lain seperti kesemutan,
badan lemah, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, dan pruritus vulva pada
wanita. Diagnosis diabetes melitus ditegakkan berdasarkan dengan
pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan glukosa darah dilakukan
berdasarkan pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik yang menggunakan
plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat diukur dengan
glukometer. (PERKENI, 2019)

Terdapat beberapa kriteria diagnosis Diabetes melitus, yaitu (PERKENI,


2019) :
a. Pemeriksaan glukosa plasma puasa (GDP)  126 mg/dL, dengan kondisi
puasa atau dalam kata lain tidak ada asupan kalori minimal 8 jam;
b. Pemeriksaan glukosa plasma atau juga dikenal dengan glukosa 2 jam post
prandial (GDPP)  200 mg/dL, dilakukan 2 jam setelah Tes Toleransi
Glukosa Oral (TTGO) dengan menggunakan beban glukosa anhidrat
sebanyak 75 gram yang dilarutkan dalam air;
c. Pemeriksaan glukosa sewaktu atau gula darah sewaktu (GDS)  200
mg/dL, yang disertai dengan keluhan klasik; dan
d. Pemeriksaan HbA1C  6,5% dengan menggunakan metode High-
Performance Liquid Chromatography (HPLC) dimana metode ini telah
terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program
(NGSP).

6. Komplikasi Diabetes Melitus


a. Ketoasidosis Diabetik (KAD)
Komplikasi diabetes ketosiadosis disebabkan oleh meningkatnya hormon
kortisol epinefrin, dan glukagon serta menurunnya jumlah insulin, selain
itu infeksi juga merupakan salah satu penyebab umum dari diabetes
ketoasidosis dan harus dieksplorasi secara menyeluruh. (Dipiro et al.,
2020)
b. Status Hiperglikemia Hiperosmolar (SHH)
SHH berpotensi mengancam jiwa. Pada keadaan ini terjadi peningkatan
glukosa darah yang sangat tinggi, biasanya lebih dari 400 mg/dL (22,2
mmol/L).(Dipiro et al., 2020)
c. Komplikasi Makrovaskular
Komplikasi makrovaskular merupakan komplikasi penyebab utama
kematian pada penderita diabetes. Resiko terjadinya jantung coroner serta
stroke iskemik menjadi empat kali lebih besar pada penderita diabetes
dibandingkan dengan individu tanpa diabetes. (Dipiro et al., 2020)
d. Komplikasi Mikrovaskular
1) Nefropati Diabetik
Nefropati diabetik merupakan penyebab paling utama terjadinya Gagal
Ginjal Stadium Akhir. Tanda dini nefropati diabetik pada DM tipe 2
yaitu ditandai dengan didapatkannya albuminuria persisten dengan
kisaran 30-299 mg/24 jam. Diagnosis nefropati diabetic ditegaskan jika
didapatkan kadar albuminuria >30 mg dalam urin 24 jam pada 2 dari 3
kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3-6 bulan, tanpa disertai dengan
penyebab albuminuria lainnya. (PERKENI, 2019)
2) Retinopati Diabetik
Retinopati diabetik merupakan komplikasi diabetes yang disebabkan
oleh iskemi pada mikrosirkulasi di mata, dimana diperparah dengan
pelepasan faktor pertumbuhan vascular yang tidak tepat. (Dipiro et al.,
2020)
3) Neuropati Diabetik
Pada neuropati perifer, yang menjadi faktor penting yaitu dengan
hilangnya sensasi distal beresiko tinggi adanya ulkus kaki sehingga
meningkatkan resiko terjadinya amputasi. Kaki terasa terbakar dan
bergetar sendiri, serta terasa lebih sakit di malam hari menjadi gejala
yang sering dirasakan pada penderita neuropati. (PERKENI, 2019)

7. Target Terapi Diabetes Melitus


Target terapi didasarkan dengan hasil pemeriksaan kadar glukosa, kadar
HbA1c, dan profil lipid. DM dikendali apabila kadar glukosa darah, kadar
lipid dan HbA1c mencapai kadar yang diharapkan, disertai dengan status gizi
dan tekanan darah mencapai target yang telah ditentukan. (PERKENI, 2019)
Tabel 6.1 Target Penatalaksanaan Terapi Diabetes Melitus
Parameter Kadar yang diharapkan
IMT (kg/m2) 18,5-22,9
Tekanan Darah (mmHg) <140/<90
HbA1c (%) <7 atau individual
Glukosa darah preprandial kapiler (mg/dL) 80-130
Glukosa darah 2 jam PP kapiler (mg/dL) <180
Kolesterol LDL (mg/dL) <100, <70 bila risiko KV sangat
tinggi
Trigliserida (mg/dL) <150
Kolesterol HDL (mg/dL) Laki-laki : >40; Perempuan >50
Apo-B (mg/dL) <90
Sumber : Pedoman pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 dewasa di
indonesia.

8. Terapi Diabetes Melitus


Tujuan utama terapi untuk DM adalah untuk mencegah atau menunda
perkembangan komplikasi mikro dan makrovaskular jangka panjang termasuk
retinopati, neuropati, penyakit ginjal diabetes, dan ASCVD. Tujuan tambahan
terapi yaitu mengurangi gejala hiperglikemia dan efek samping lainnya,
meminimalkan terapi pengobatan, dan menjaga kualitas hidup pasien. (Dipiro
et al., 2020)
a. Terapi non farmakologi
Terapi non farmakologi bagi penderita diabetes merupakan landasan
pengobatan seperti terapi nutrisi medis (TNM), aktivitas fisik, dan edukasi
manajemen diri diabetes (EMDD). (Dipiro et al., 2020)
Terdapat bebapa terapi non farmakologi, diantaranya : (Dipiro et al., 2020)
1) Terapi Nutrisi Medis (TNM)
Terapi nutrisi medis merupakan salah satu terapi non farmakologi yang
direkomendasikan bagi penderita diabetes melitus. Penderita DM tipe
1 disarankan untuk mempertahankan berat badan yang ideal dengan
diet seimbang. Penderita DM tipe 2 perlu melakukan pembatasan
kalori agar dapat menurunkan berat badan, sebab beberapa penderita
DM tipe 2 mengalami kelebihan berat badan atau juga dikenal dengan
obesitas.
2) Aktivitas Fisik
Penderita diabetes juga disarankan untuk melakukan aktivitas fisik
sebab dengan itu dapat meningkatkan sensitivitas insulin, sedikit dapat
meningkatkan control glikemik. Aktivitas fisik juga dapat mengurangi
faktor resiko kardiovaskular, berkontrubusi dalam penerunanan atau
pemeliharaan berat badan serta meningkatkan kesejahteraan. (Dipiro et
al., 2020)
3) Edukasi Manajemen Diri Diabetes (EMDD)
Pasien dituntut untuk memiliki pemahaman yang baik tentang penyakit
mereka serta ikut serta dalam strategi manajemen diri rutin untuk
mengendalikannya, diakibatkan oleh kontrol diabetes jangka panjang
yang konsisten. Semua pasien penderita diabetes harus
direkomendasikan untuk mengikuti program edukasi manajemen diri
diabetes.
b. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi pada pasien penderita DM diberikan bersamaan
dengan pengaturan makanan sehari-hari serta modifikasi gaya hidup sehat.
Terapi farmakologi pada penderita DM terbagi menjadi dua yaitu obat oral
dan bentuk suntikan. (PERKENI, 2019)
1) Obat Antihiperglikemia Oral
Obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi 6 golongan, berdasarkan
cara kerjanya, yaitu : (PERKENI, 2019)
a) Pemacu sekresi insulin
(1) Sulfonilurea
Sulfonilurea merupakan terapi farmakologi DM yang efek
utamanya yaitu dengan meningkatkan sekresi insulin oleh beta
sel pankreas. Hipoglikemia serta peningkatan berat badan
adalah efek samping utama yang sering muncul ketika
mengkonsumsi obat ini. Orang tua, serta penderita gangguan
fungsi hati dan ginjal di peringatkan untuk berhati-hati dalam
mengkonsumsi obat ini karena berisiko tinggi mengalami
hipoglikemia.
(2) Glinid
Glinid adalah salah satu terapi DM yang cara kerjanya sama
dengan sulfonilurea, namun lokasi reseptornya berbeda. Hasil
akhir pengobatan berupa penekanan pada peningkatan sekresi
insulin fase pertama. Efek samping yang sering muncul yaitu
hipoglikemia. Obat jenis ini sudah tidak tersedia di Indonesia.
b) Peningkat sensitivitas terhadap insulin
(1) Metformin
Metformin memiliki efek utama mengurangi produksi glukosa
hati atau yang dikenal dengan gluconeogenesis, serta
memperbaiki glukosa di jaringan perifer. Metformin
merupakan lini pertama dalam beberapa kasus besar DM tipe
2. Dispepsia, diare dan beberapa gangguan saluran pencernaan
merupakan efek samping yang mungkin terjadi.
(2) Tiazolidinedion (TZD)
Tiazolidinedion merupakan golongan obat yang memiliki efek
menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah
protein pengangkut glukosa sehingga meningkatkan ambilan
glukosa di jaringan perifer.
c) Penghambat Alfa Glukosidase
Cara kerja obat ini yaitu dengan menghambat enzim alfa
glukosidase di saluran pencernaan sehingga menghambat absorbs
glukosa dalam usus halus. Penumpukan gas dalam usus
merupakan salah satu efek samping yang terjadi akibat
mengkonsumsi obat ini, sehingga sering menimbulkan flatus.
Contoh obat golongan ini adalah acarbose.
d) Penghambat enzim Dipeptidyl Peptidase-4 (DPP-4 inhibitor)
Obat ini bekerja dengan menghambat inaktivasi dari glucagon-like
peptide (GLP)-1 dengan cara penghambat DPP-4 akan
menghambat lokasi pengikatan pada DPP-4. Penghambat DPP-4
merupakan agen oral, dan yang termasuk dalam golongan ini
adalah vildagliptin, linagliptin, sitagliptin, saxagliptin dan
alogliptin.
e) Penghambat enzim Sodium Glucose co-Transporter 2 (SGLT-2
inhibitor)
Obat ini bekerja dengan menghambat reabsorpsi glukosa di
tubulus proksimal dan meningkatkan ekskresi glukosa melalui
urin. Obat ini juga bermanfaat untuk menurunkan berat badan
serta tekanan darah.
Tabel 6.2 Profil Obat Antihiperglikemia Oral yang Tersedia di
Indonesia
Golongan Cara Kerja Efek Samping Penurunan
Obat Utama Utama HbA1c

Metformin Menurunkan produksi Dispepsia, 1,0-1,3 %


glukosa hati dan diare, asidosis
meningkatkan laktat
sensitifitas terhadap
insulin

Thiazolidinedione Meningkatkan Edema 0,5-1,4%


sensitifitas terhadap
insulin

Sulfonilurea Meningkatkan sekresi BB naik 0,4-1,2%


insulin hipoglikemia
Glinid Meningkatkan sekresi BB naik 0,5-1,0%
insulin hipoglikemia
Penghambat Alfa- Menghambat absorpsi Flatulen, tinja 0,5-0,8%
Glukosidase glukosa lembek
Penghambat DPP-4 Meningkatkan sekresi Sebah, muntah 0,5-0,9%
insulin dan
menghambat sekresi
glucagon
Penghambat SLGT-2 Menghambat Infeksi saluran 0,5-0,9%
reabsorbsi glukosa di kemih dan
tubulus distal genital
Sumber : Pedoman pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2
dewasa di indonesia
2) Obat Antihiperglikemik Suntik
Obat antihiperglikemik suntik terbagi menjadi 3, diantaranya :
(PERKENI, 2019)
a) Insulin
Insulin dapat digunakan apabila keaadaan HbA1c berada pada
angka >7,5 % juga sudah menggunakan satu ataupun dua obat
diabetes oral, insulin juga digunakan saat penderita mengalami
penurunan berat badan yang signifikan, Hiperglikemia berat yang
disertai dengan ketosis, krisis hiperglikemia, gagal dengan terapi
kombinasi obat oral, stress berat, saat masa kehamilan dengan
pencernaan makanan yang tidak terkendali, gangguan fungsi hati
atau ginjal yang berat, pasien mengalami kontraindikasi dengan
obat oral serta adanya kondisi perioperatif.
b) Agonis GLP-1/Incretin Mimetic
Inkretin berpotensi untuk meningkatkan sekresi insulin melalui
stimulasi glukosa, dimana hormone ini disekresi gastrointestinal
setelah makanan dicerna.
c) Kombinasi Insulin dan Agonis GLP-1/Incretin Mimetic

9. Farmakoekonomi
Farmakoekonomi merupakan deskripsi dan analisis biaya terapi pengobatan
terhadap sistem perawatan kesehatan dan masyarakat.(Tjandrawinata, 2016)
Kajian farmakoekonomi bermanfaat untuk memilih pengobatan yang efektif.
Analisis umum yang digunakan dalam studi farmakoekonomi ada 4, yaitu :
(Tjandrawinata, 2016)
a. Analisis manfaat-biaya (cost-benefit)
Analisis manfaat-biaya (cost-benefit) atau merupakan analisis
farmakoekonomi yang membandingkannilai moneter dari penggunaan
alternatif sumber daya.
b. Analisis efektivitas-biaya (cost-effectiveness)
Analisis efektivitas-biaya (cost-effectiveness) merupakan analisis
farmakoekonomi yang membandingkan biaya terhadap hasil dimana
kaitannya dengan hasil kesehatan, seperti pengurangan tingkat LDL darah,
atau dalam unit alami, seperti tahunhidup yang didapat atau hilang.
c. Analisis utilitas-biaya (cost-utility)
Analisis utilitas-biaya (cost-utility) merupakan pengukuran hasil dengan
kaitannya faktor kualitas.
d. Analisis minimalisasi-biaya (cost-minimalization)
Analisis minimalisasi-biaya (cost-minimalization) ini merupakan analisis
farmakoekonomi dengan perbandingan antara biaya ketika akibat-
akibatnya diasumsikan sama.

10. Biaya
Biaya merupakan salah satu sumber daya yang hilang dari pilihan nilai terbaik,
biaya tidak selamanya berbentuk uang, namun dapat juga berbentu jasa
ataupun barang dari sumber daya tersebut. Dalam bidang kefarmasiaan
pelayanan resep pada pasien juga dikategorikan sebagai biaya. (Andayani,
2013)

11. Kategori Biaya


Terdapat beberapa kategori biaya, yaitu : (Andayani, 2013)
a. Biaya medis langsung (direct medical cost)
Biaya ini merupakan biaya yang digunakan secara langsung dalam
memberikan terapi, seperti biaya produk kemoterapi, biaya rawat inap,
biaya kunjungan dokter, biaya kunjungan medic dan lain-lain.
b. Biaya langsung non medis langsung (direct nonmedical cost)
Biaya ini didefinisikan sebagai biaya yang dikeluarkan untuk membiayai
segala pengeluaran yang diakibatkan suatu penyakit dari pengobatannya.
Contohnya biaya transportasi.
c. Biaya tidak langsung (indirect cost)
Biaya tidak langsung merupakan biaya yang secara tidak langsung
dikeluarkan oleh pasien maupun keluarga pasien, dimana disebabkan oleh
hilangnya produktivitas karena suatu penyakit ataupun kematian yang
dialami oleh pasien. Contoh : hilangnya produktivitas karena sakit.
d. Biaya tidak teraba (intangible cost)
Biaya tidak teraba merupakan biaya yang disebabkan oleh adanya terapi
suatu penyakit. Contohnya biaya untuk menurunkan nyeri, sakit, ataupun
lemah karena suatu penyakit.

12. Jaminan Kesehatan Nasional


Jaminan kesehatan nasional yang dikembangkan di Indonesia merupakan
bagian dari system jaminan nasional yang diselenggarakan dengan
menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib
(mandatory).(KEMENKES RI, 2013)

Tujuan JKN yaitu agar dapat memberikan acuan bagi Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS), Pemerintah baik pusat, propinsi, maupun
kabupaten/kota. JKN juga bertujuan sebagai acuan bagi pemberi pelayanan
kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS seperti Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan serta oihak terkait dalam
penyelenggara JKN. (PERMENKES RI, 2014b)

a. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan)


BPJS Kesehatan merupakan badan hokum publik yang bertanggung jawab
kepada Presiden dimana BPJS Kesehatan ini bersifat nirlaba. BPJS
Kesehata berfungsi untuk menyelenggarakan program jaimanan kesehatan.
(PERMENKES RI, 2014b)
b. Indonesian Case Base Groups (INA-CBG’s)
INA-CBG’s merupakan jumlah pembayaran klaim oleh BPJS kesehatan
kepada Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan atas paket layanan
yang didasarkan dengan pengelompokkan diagnosis penyakit serta
prosedur. (PERMENKES RI, 2016)

Sistem koding INA-CBG’s mengacu pada ICD-10 untuk diagnosis dan


ICD-9-CM. Tindakan/prosedur INA-CBG’S untuk variasi tarif
dikelompokkan menjadi 2 yaitu 789 kode group untuk pelayanan rawat
inap dan 288 kode group untuk pelayanan rawat jalan. (PERMENKES RI,
2014)

G. Metode Penelitian
1. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan studi farmakoekonomi dengan menggunakan metode
observasional dan rancangan penelitian cross sectional berdasarkan perspektif
Rumah Sakit. Data diperoleh dari rekam medis pasien diabetes melitus, data
berkas klaim BPJS dan bukti pembayaran pengobatan pasien diabetes melitus
di instalasi rawat inap RSU Anutapura Palu 2020-2021. Data tersebut
kemudian akan diakumulasikan untuk mendapatkan rata-rata dan total biaya
rill serta biaya tarif INA CBG’s pasien diabetes melitus, sehingga akan
diketahui persentase kesesuaian biaya rill dan tarif INA CBG’s pada pasien
diabetes melitus rawat inap di RSU Anutapura Palu tahun 2020-2021.

2. Lokasi dan Waktu Penelitian


a. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Instalasi Rekam Medis RSU Anutapura
Palu dan bagian keuangan RSU Anutapura Palu.

b. Waktu Penelitian
Penelitian ini berlangsung pada bulan Juni-Oktober 2021.

3. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel


a. Populasi
Populasi target dalam penelitian ini adalah pasien dengan diagnosa
diabetes melitus menggunakan antidiabetik kombinasi yang memiliki
asuransi kesehatan JKN kode INA-CBG’s E-4-10 di RSU Anutapura Palu
serta menjalani rawat inap selama periode 2020-2021.
b. Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah sebagian pasien diabetes mellitus yang
menggunakan antidiabetik kombinasi dan menjalani rawat inap di RSU
Anutapura Palu periode 2020-2021. Teknik pengambilan sampel dalam
penelitian ini adalah total sampling dimana data populasi dijadikan sebagai
jumlah sampel pada penelitian ini.
Untuk kriteria inklusi dan kriteria eksklusi sebagai berikut :
Kriteria Inklusi :
1) Pasien peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan diagnosis
diabetes melitus yang menjalani rawat inap di RSU Anutapura Palu
periode 2020-2021.
2) Pasien yang memuat informasi dasar seperti diagnosis, identitas, biaya
medis langsung serta terdapat kode INA-CBG’s E-4-10
3) Pasien dengan rekam medis yang lengkap meliputi nomor rekam
medis, data laboratorium, nama obat yang digunakan.
4) Pasien dengan data pembiayaan lengkap dan telah di klaim BPJS
Kesehatan.
Kriteria eksklusi
1) Data rekam medis pasien diabetes melitus rawat inap yang tidak
lengkap.
2) Pasien naik kelas VIP.
3) Pasien meninggal.
4) Pasien yang keluar kategori tarif INA-CBG’s diabetes melitus.

4. Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan pada penelitian ini meliputi karakteristik demografi
(usia, jenis kelamin, ruang perawatan, kelas perawatan,), karakteristik klinis
(diagnosis rekam medis, obat antidiabetik kombinasi,jumlah penyakit
penyerta, outcome terapi) karakteristik biaya (biaya obat antidiabetik, biaya
kamar, biaya pelayanan, biaya laboratorium, biaya alat kesehatan serta
penunjang lain), dan kesesuaian biaya INA CBG’s.
5. Definisi Operasional
a. Karakteristik Demografi
1) Usia merupakan selisih waktu sejak pasien dilahirkan dengan waktu
masuk rumah sakit.
Kategori :
a) 15-34 Tahun
b) 35-50 Tahun
c) 51-65 Tahun
d) >65 Tahun
Skala : Interval
2) Jenis kelamin merupakan perbedaan antara perempuan dan laki-laki
secara biologis sejak pasien dilahirkan.
Kategori :
a) Laki-laki
b) Perempuan
Skala : Nominal
3) Kelas perawatan merupakan tingkatan kelas ruangan yang ditempati
oleh pasien diabetes melitus di RSU Anutapura Palu.
Kategori :
a) Kamar perawatan III
b) Kamar perawatan II
c) Kamar perawatan I
d) Kamar perawatan Intermediet
Skala : Ordinal
4) Lama perawatan merupakan durasi perawatan yang diperoleh pasien
diabetes melitus, yang dimulai dari tanggal masuk perawatan hingga
tanggal keluar perawatan.
Kategori :
a) < 6 hari
b)  6 hari
Skala : Interval
b. Karakteristik Klinis
1) Diagnosis rekam medis, diabetes melitus merupakan penyakit kronis
yang disebabkan dengan meningkatnya kadar gula darah hingga berada
diatas normal. DM merupakan penyakit kronis yang juga berlangsung
jangka panjang . Diabetes melitus di RSU Anutapura Palu dari data
rekam medis dengan kode E-4-10-I, E-4-10-II, dan E-4-10-III.
2) Obat Antidiabetik kombinasi merupakan gambaran terapi kombinasi
yang diberikan pada pasien diabetes melitus yang diperoleh
berdasarkan hasil rekam medis pasien dengan menggunakan lembaran
observasi.
3) Jumlah penyakit penyerta (comorbid) merupakan gambaran kondisi
pasien diabetes melitus yang memiliki penyakit lainnya selain penyakit
utama.
Kategori :
a) Tanpa comorbid
b) 1 comorbid
c) 2 comorbid
d) 3 comorbid
Skala : Ordinal
4) Outcome terapi merupakan target terapi yang diukur dengan
menggunakan GDS saat pasien keluar rumah sakit. Target terapi
adalah Glukosa Darah Sewaktu >200 mg/dL.
Kategori
a) Outcome tercapai
b) Outcome tidak tercapai
Skala : Nominal
c. Karakteristik Biaya
1) Biaya merupakan biaya medis langsung berdasarkan perspektif rumah
sakit.
2) Biaya medis langsung merupakan seluruh biaya yang berhubungan
langsung dengan terapi diabetes melitus, meliputi biaya obat
antidiabetik, biaya kamar, biaya laboratorium, biaya obat penyakit
penyerta, biaya alat kesehatan dan penunjang kesehatan lainnya.
3) Biaya obat antidiabetik merupakan seluruh jumlah biaya yang
dikeluarkan untuk mengatasi diabetes mellitus selama masa perawatan.
4) Biaya kamar inap merupakan biaya yang digunakan oleh pasien
diabetes melitus selama masa perawatan.
5) Biaya laboratorium merupakan biaya pemeriksaan laboratorium yang
dilakukan pasien berdasarkan daftar biaya laboratorium di RSU
Anutapura Palu.
6) Biaya obat penyakit penyerta merupakan biaya obat yang digukan
untuk menangani penyakit penyerta.
7) Biaya alat kesehatan merupakan biaya yang dikeluarkan pasien untuk
alat kesehatan selama masa perawatan.
8) Biaya penunjang kesehatan lainnya merupakan biaya yang dikeluarkan
untuk penunjang kesehatan lainnya selama menjalani masa perawatan.

6. Teknik Pengambilan Data


Teknik pengambilan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah teknik
observasi. Data yang digunakan yaitu data kualitatif dan kuantitatif tahun
2020-2021. Data kualitatif diperoleh dari data rekam medis pasien diantaranya
nomor rekam medis, tanggal pemeriksaan, jenis kelamin, usia,lama perawatan,
kelas perawatan, diagnosa utama, nama obat, penyakit penyerta. Hasil
laboratorium adalah Glukosa Darah Sewaktu. Data kuantitatif didapat dari
bagian keuangan seperti biaya obat antidiabetik, biaya kamar, biaya
pelayanan, biaya laboratorium, biaya alat kesehatan serta penunjang lain.

7. Analisis Data
Analisis data dilakukan berdasarkan sudut pandang instalasi rumah sakit yang
meliputi :
a. Analisis dekskriptif yaitu analisis yang digunakan untuk mengetahui
deksripsi dari karakteristik subjek penelitian yaitu :
1) Usia
2) Jenis kelamin
3) Kelas perawatan
4) Lama perawatan
5) Diagnosis utama
6) Obat antidiabetik
7) Jumlah penyakit penyerta
8) Outcome terapi
b. Perhitungan outcome terapi
Perhitungan outcome terapi ditentukan berdasarkan persentase jumlah
pasien yang mencapai target GDS terkendali dibagi dengan jumlah seluruh
pasien yang mendapatkan terapi antidiabetik kombinasi.
c. Perhitungan total biaya medis langsung dengan menggunakan rumus:
Total Biaya Medis Langsung : B1+B2+B3+B4+B5+B6
Keterangan :
B1 = Biaya obat antidiabetik
B2 = Biaya kamar
B3 = Biaya laboratorium
B4 = Biaya obat penyakit penyerta
B5 = Biaya alat kesehatan
B6 = Biaya penunjang kesehatan lainnya
d. Perhitungan biaya rata-rata
Perhitungan biaya rata-rata yaitu dengan menjumlahkan masing-masing
komponen biaya yang digunakan selama masa perawatan di rumah sakit
kemudian dibagi total paisen. Persentase dihitung dengan menjumlahkan
masing-masing komponen biaya yang digunakan selama menjalani
perawatan di rumah sakit kemudian dibagi total pasien lalu dikalikan
dengan 100%.
e. Perhitungan kesesuaian biaya dengan menggunakan rumus :
Kesesuaian biaya ; Jumlah biaya INA-CBG’s – Jumlah Biaya medis
langsung.
DAFTAR PUSTAKA

ADA. (2018). STANDARDS OF MEDICAL CARE IN DIABETES — 2018.


41(January).
Andayani, T. M. (2013). Farmakoekonomi Prinsip dan Metodologi. Bursa Ilmu.
BPJS. (2014). INA-CBG’s Membuat Biaya Kesehatan Lebih Efektif. Info BPJS
Kesehatan.
DINKES RI. (2019). Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2019.
Dipiro, J. T., Hayes, P. E., Talbert, R. L., Yee, G. C., Matzke, G. R., Wells, B. G., &
Posey, L. M. (2020). Pharmacotherapy: A Physiologic Approach. Mc Graw
Hill.
Gumantara, M. P. B., Oktarlina, R. Z., Farmakologi, B., Kedokteran, F., & Lampung,
U. (2017). Perbandingan Monoterapi dan Kombinasi Terapi Sulfonilurea-
Metformin terhadap Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Comparison of
Monotherapy and Sulfonylurea-Metformin Combination Therapy to Patient
with Type 2 Diabetes Mellitus.
IDF. (2013). Diabetes Atlas Sixth edition. International Diabetes Federation.
KEMENKES RI. (2013a). Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam Sistem
Jaminan Sosial Nasional. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
KEMENKES RI. (2013b). Riset Kesehatan Dasar.
KEMENKES RI. (2014). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
28 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan
Nasional. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Mawaddah, A. I., & Tasminatun, S. (2015). ANALISIS PERBEDAAN PEMBIAYAAN
BERBASIS TARIF INA-CBG’s DENGAN TARIF RIIL RUMAH SAKIT PADA
PASIEN PESERTA JKN KASUS DIABETES MELLITUS TIPE II RAWAT INAP
KELAS III.
PERKENI. (2019). PEDOMAN PENGELOLAAN DAN PENCEGAHAN
DIABETES MELITUS TIPE 2 DEWASA DI INDONESIA 2019. In Nursing
Management (Vol. 19, Issue 4). PB PERKENI.
https://doi.org/10.7748/NM.2020.E1928
PERMENKES RI. (2014a). PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2014 TENTANG PETUNJUK TEKNIS
SISTEM INDONESIAN CASE BASE GROUPS (INA-CBGs). Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia.
PERMENKES RI. (2014b). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan
Kesehatan Nasional.
PERMENKES RI. (2016). PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2016 TENTANG STANDAR TARIF
PELAYANAN KESEHATAN DALAM PENYELENGGARAAN PROGRAM
JAMINAN KESEHATAN. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Sari, R. P. (2014). Perbandingan Biaya Riil Dengan Tarif Paket INA CBGs. Journal
Spread, 4(April), 61–70.
Tandra, H. (2018). Diabetes Bisa Sembuh, Petunjuk praktis mengalahkan dan
menyembuhkan diabetes. PT Gramedia Pustaka Utama.
Tjandrawinata, R. R. (2016). Peran Farmakekonomi dalam Penentuan Kebijakan
yang Berkaitan dengan Obat-Obatan. Working Paper of Dexa Medica Group,
29(January 2016), 46–52.

Anda mungkin juga menyukai